You are on page 1of 20

ASOSIASI YANG MELANGGAR UU NO 5 TAHUN 1999 TENTANG

LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA


TIDAK SEHAT

Nama : Aulia Rachmawati

Nim : D1A019611

Mata Kuliah : Hukum Pers. Usaha dan Perlind. Konsumen B1

Dosen Pembimbing : Dr. H. Hirsanuddin, SH., MH.

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2022

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas izin-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Kehutanan”.
Sholawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing kita ke jalan yang lurus dan menjadi anugerah terbesar bagi alam semesta.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Persaingan Usaha
dan Perlindunan Konsumen dengan Dosen Pembimbing Dr. H. Hirsanuddin, SH., MH. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya
dapat lebih baik.
Makalah ini masih banyak kekurangan karena pengalaman yang penulis miliki sangat kurang.
Oleh karena itu diharapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan dari makalah ini.

Mataram. 23 Maret 2023

Penulis

ii
Daftar Isi

HALAMAN SAMPUL.................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................iii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................6
1. Bagaimana pengaturan Pembagian Wilayah menurut UU No. 5 Tahun 1999 ?...........................6
2. Bagaimana analisis kasus tentang Pembagian Wilayah yang terjadi di Indonesia ?.....................6
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................................6
BAB II.........................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................7
BAB III......................................................................................................................................................15
PENUTUP.................................................................................................................................................15
Kesimpulan............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkembangan asosiasi perusahaan (trade association) 1 dimulai pada pertengahan abad
19, tetapi hal in tidak menjadi masalah sampai pada perkembangannya yang signifikan yang
dimulai pada tahun 1920. Alasan utama perkembangan asosiasi ini adalah untuk
menghindarkan sesama pelaku usaha dari persaingan mematikan (cut-throat competition)
dan juga untuk meningkatkan keteraturan, keberlanjutan, dan stabilitas dalam bisnis.2
Samuel Harber juga memperhatikan fenomena asosiasi bisnis melalu studinya dalam ilmu
manajemen dari tahun 1890-1920, yang menyatakan bahwa

"Efficiency and Cooperation were bywords of business in progressive era The Spirit of
Business Cooperation was embodied in the flourishing trade associations”3

Pada masa itu di Amerika Serikat berkembangnya asosiasi perusahaan dikarenakan


adanya Webb-Pomerene Act 1918. Web-Pomerene Act 1918 in mengizinkan asosiasi untuk
melakukan kerjasama harga diantara para pesaing domestik yang berhubungan dengan
masalah ekspor.4 Webb-Pomerene Act 1918 ini merupakan respon kepada Kongres untuk
persepsi legislator agar dapat bersaing dengan kartel asing, di mana eksportir keeil
membutuhkan perlindungan suatu asosiasi tertentu yang bebas dari syarat-syarat yang
dibelakukan dalam Sherman Act. Secara khusus dalam bagian kedua dari Webb-Pomerene

1
Trade Association is an association of business organizations having similar problems and engaged in similar
fields formed for mutual protection, interchange of ideas and statistics, and the establishment for maintenance of
standards within their industry. Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary Ninth Edition, ed.Bryan. A. Garner
(West: St. Paul, Minnesota, 2009), hal. 141
2
M. Browning Carrott, "The Supreme Court and American Trade Associations, 1921-1925", The Business
History Review, Vol. 44, No. 3 (autumn, 1970), hal. 320
3
Samuel Haber, Efficiency and Uplift: Scientific Management in the Progressive Era, 1890-1920, (Chicago:
Midway Print, 1964), hal. 72
4
David. A. Larson, "An Economic Analysis of the Webb-Pomerene Act', Journal of Law and Economics, Vol.
13, No. 2 (October, 1970), hal. 461

1
Act 1918 mengecualikan asosiasi tertentu yang memenuhi syarat untuk dapat dikecualikan
dari pembatasan-pembatasan dalam Sherman Act.5

Terdapat dua tujuan yang diakui secara terang-terangan dalam pemberlakuan Webb-
Pomerene Act 1918. Pertama, dengan adanya penggabungan memungkinkan para
perusahaan kecil dalam pasar kompetitif mencapai skala ekonomi (economies of scales)
dalam penjualan mereka di luar negeri. Dan yang kedua adalah sebagai perangkat terhadap
para eksportir dalam neger untuk bersaing dengan kartel yang ada di luar negeri.

Bukan hanya asosiasi perusahaan yang mulai meningkat secara signifikan dari tahun
1900 sampai 1920 tetapi juga teknik dari asosiasi perusahaan yang semakin tidak ketara
dalam hukum persaingan.6 Ketika fenomena asosiasi ini menjadi sebuah kebiasaan maka
muncullah sebuah perilaku dalam asosiasi perusahaan yaitu berupa keterbukaan harga (open
price). Asosiasi yang telah ada mulai mengontrol produksi dan harga. Lalu anggota dari
asosiasi yang telah melakukan harga terbuka (open price) mulai melakukan pertukaran
informasi perdagangan untuk mengetahui kondisi industri dalam persaingan mereka. 7 Fakta-
fakta dalam suatu bidang usaha yang sering dipertukarkan dalam suatu asosiasi perusahaan
adalah harga, baik itu yang dikutip ataupun yang dibebankan, syarat pembayaran, produksi
dan biaya penjualan, harga pembelian, harga saham, volume produksi, harga pengiriman,
harga pemesanan, penyelidikan, harga penawaran, kontrak, biaya penundaan, harga iklan,
dan jumlah piutang.8

Banyak faktor yang mendukung terjadinya perilaku keterbukaan harga (open price),
yaitu diantaranya pemilihan seorang sekretaris yang dipilih oleh para perusahaan yang
tergabung dalam asosiasi perusahaan tersebut yang bertugas untuk mengumpulkan,
menyusun, dan selanjutnya menyebarkan informasi dari anggota asosiasi kepada anggota
asosiasi. Kemudian dilakukan pertemuan di antara anggota asosiasi secara berkala yang
tujuannya untuk membahas permasalahan yang terjadi terkait dengan kelangsungan kegiatan
5
Timothy James Peaden, "Antitrust Foreign Import Cartels Are Liable Under The Sherman Act Although
Domestic Export Competitors Are Shielded With A Webb-Pomerene Exemption, Daishowa International V. North
Coast Export Co", Vanderbilt Journal of Transnational Law, (Summer, 1983), hal. 3
6
National Industrial Conference Board. Trade Associations: Their Economic Significance and Legal Status,
(New York: National Industri Confrence Board. Inc, 1925), hal. 16
7
M. Browning Carrott, "The Supreme Court ..." hal. 322
8
Milton. N. Nelson, "The Effect of Price Associations Activities on Competition and Price", The American
Economic Review, Vol. 13 No. 2, (June, 1923), hal. 258

2
usaha dari para anggota asosiasi. Biasanya yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah
faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap situasi permintaan dan penawaran,
menentukan apakah suatu harga akan diikuti atau dibebankan, memperbanyak jumlah saham
yang dikuasai, memperbanyak produksi dan pengiriman, mempengaruhi penawaran, dan lain
sebagainya. Dalam perilaku keterbukaan harga ini tiap anggota dari asosiasi terlihat seolah-
olah independen dari pengaruh kebijakan harga dan produksi dari anggota lainnya.9

Dengan adanya keterbukaan harga dari asosiasi in diharapkan akan adanya pertukaran
statistik yang akan tetap memelihara hubungan kerjasama yang tertutup antara harga dan
produksi, yang nantinya akan menghindari penurunan harga dan memberikan keuntungan
yang seolah-olah sah dari tap perusahaan. Sehingga hasil akhirnya bukan meningkatkan,
akan tetapi menurunkan kompetisi.10

Dalam perjalanannya asosiasi perusahaan in bukan tanpa pelanggaran. Pelanggaran-


pelanggaran tersebut terjadi ketika sebelum berlakunya Webb-Pomerene Act 1918 dan
bahkan setelah berlakuna Webb-Pomerene Act. Pada tahun 1904 Supreme Court Amerika
Serikat membubarkan Northern Securities Company yang dimiliki oleh James. J. Hill, J. P.
Morgan, dan E. H. Hariman yang didirikan untuk menguasai sistem rel kereta api di
Amerika. Lalu pada tahun 1911 Supreme Court juga telah memberikan sanksi agar
dipisahkan perusahaan yang tergabung dalam Standard Oil Company' dan juga
memerintahkan agar American Tobacco Company untuk segera di-reorganisasi.11

Setelah Webb-Pomerene Act dibentuk tetap juga terdapat pelanggaran-pelanggaran


yang dilakukan oleh asosiasi perusahaan dalam bidang hukum persaingan. Contohnya ketika
awal-awal tahun 1919 di mana Hardwood Manufacturers Association (HMA) yang
merupakan asosiasi dagang nasional yang anggotanya adalah para perusahaan penghasil
kayu dan para pedagang kayu di mana ketika pada tahun 1900-an mereka sangat aktif dalam
melakukan kegiatan harga terbuka pada asosiasinya. Kegiatan harga terbuka in diantaranya
dengan melakukan penyeragaman penilaian terhadap kayu-kayu, pengedaran daftar harga,
dan pengendalian produksi dalam hal permintaan dan penawaran agar menjadi seimbang.

9
Ibid
10
Louis Galambos, Competition and Cooperation: The Emergence of a National Trade Association,
(Baltimore: John Hopkins Press, 1966), hal. 44-54
11
M. Browning Carrott, "The Supreme Court” hal. 323

3
Pada tahun 1915 asosiasi in menjadi lebih terang-terangan dalam peredaran informasi
perdagangan di antara para anggotanya karena pada masa itu terjadi Perang Dunia I dan
negara membiarkan karena terfokus pada perang. Sehingga selanjutnya mereka menikmati
aktivitas ini sampai waktu yang cukup lama.12

Puncaknya pada tahun1919 ketika HMA melakukan merger dengan American


Hardwood Manufacturers Association (AHMA) dan setelah merger in anggota dari AHMA
menjadi penghasil sepertiga dari kebutuhan kayu di Amerika Serikat. Asosiasi in melakukan
pertemuan tahunan dan juga pertemuan setiap bulan, dan setelah itu mereka mendapatkan
laporan berkala mengenai statistik dari para anggota, dan hal in akan menjadi pedoman
dikeluarkannya laporan analisis mengenai kondisi pasar setiap minggu dan setiap bulan. Dan
untuk memfasilitasi hasil pertemuan yang sangat penting pada pertemuan bulanan maka
manajer pada setiap bulan akan menerbitkan surat kabar yang menyajikan kumpulan
informasi yang secara mum menekankan keuntungan dari bekerja sama dibandingkan
dengan berkompetisi. Hal ini menarik perhatian Department of Justice (DOJ) Amerika
Serikat untuk memeriksa AHMA karena diduga telah mempertahankan harga tetap tinggi
pada tingkat harga yang dibuat olch mereka sendiri. Dan akhirnya pada akhir tahun 1919
American Column and Lumber Company dan 300 perusahaan manufaktur yang berada di
bawah naungan AHMA dinyatakan melanggar Sherman Act karena menekan kompetisi dan
menaikkan harga jual kayu-kayu mereka.13

Sebelum adanya regulasi persaigan, Indonesia juga mengalami kondisi yang hampir
mirip dengan yang terjadi di Amerika Serikat. Pada akhirnya pemerintah memberlakukan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Schat (selanjutnya "UU No.5/1999”).14 Pengawasan tindakan pelaku usaha
melalui asosiasinya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5/1999 dilakukan
melalui Komisi independen, yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Hal in bisa
dilihat dari dalam pasal 35, 36, dan 40 UU No. 5/1999 di mana peran KPPU di samping
menunggu laporan masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan maupun pihak yang
merasa mengetahui adanya tindakan curang yang dilakukan ole pelaku usaha juga ikut
12
James. W. Silver, "The Hardwood Producers Come of Age", The Journal of Southern History Vol. 23, No. 4
(Nov., 1957) , hal 429-430 dan hal. 434-437
13
M. Browning Carrott, "The Supreme Court" hal. 324
14
Ibid., hal. 156

4
bertindak proaktif dengan mengadakan penelitian, mencari masukan, maupun mengadakan
pemeriksaan terhadap pelaku usaha untuk mencari kebenaran. Dalam pasal 47 UU
No.5/1999 menyebutkan juga bahwa kewenangan komisi juga dirancang sebagai badan yang
dapat mengeluarkan berbagai jenis tindakan tau sanksi administratif kepada pelaku usaha
yang melanggar hukum persaingan.

Terdapat beberapa contoh begitu besarnya pengaruh asosiasi yang cukup signifikan
dalam menentukan pasar di Indonesia. Misalnya ketika pemerintah Indonesia mengizinkan
investor asing berinvestasi pada perusahaan ritel di Indonesia di mana kemudian
hypermarket Carrefour dan Continent masuk dalam pasar ritel di Indonesia. Dan kemudian
pada bulan Juni 1999, Asosiasi Pengusaha Retailer Indonesia (Aprindo) menuduh bahwa
kedua kompetitor tersebut telah melakukan praktek predatory pricing atau menjual rug
dengan cara menjual lebih murah dari swalayan yang lain dan menghancurkan usaha yang
lain dan menghancurkan usaha serupa yang sudah ada terlebih dahulu. Kemudian
selanjutnya oleh Direktorat Jenderal Perdagangan menghimbau agar perwakilan perusahaan
agar merundingkan permasalahan dengan perwakilan Aprindo agar terakomodasi
kepentingan para pihak.15 Dari himbauan in tersirat bahwa terdapat kemungkinan peluang
untuk mencapai kesepakatan penyelesaian di antara pelaku usaha melalui asosiasi mereka.
Kesepakatan yang mungkin akan timbul adalah pembagian pasar atau wilayah dan
konsumen (market and consumer allocation) ataupun keputusan lainnya yang mampu
menjauhkan pasar dari proses persaingan.16

Sebuah asosiasi perusahaan yang merupakan gabungan dari beberapa perusahaan yang
berada dalam satu pasar yang sama dan memiliki permasalahan yang sama dan bertujuan
untuk perlindungan bersama sesama perusahaan dengan melakukan pertukaran ide dan
statistik dan untuk pemeliharaan standar perlindungan industri mereka sangat rentan terkena
dampak dalam hukum persaingan. Dalam kasus di Indonesia sudah beberapa asosiasi
perusuhaan yang telah diduga juga terkait dalam perilaku persaingan usaha tidak sehat.
Dalam beberapa putusan tersebut sebuah asosiasi perusahaan yang juga menjadi mitra
pemerintah juga menjadi media dalam berlangsungnya perilaku persaingan usaha tidak

15
Foreign hypermarkets accused dumping practices http://www.thejakartapost.com/news/1999/06/14/foreign-
hvpermarkets-accused-dumping. practices. html diunduh pada tanggal 20 Maret 2023.
16
Ningrum Natasya Sirait, “Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat", hal. 15

5
sehat. Dalam hal in peneliti akan mempersempit tinjauan perilaku persaingan usaha tidak
sehat pada asosiasi perusahaan yang ada dalam pasar oligopoli. Karena dengan semakin
terkonsentrasinya pasar dan ditambah dengan adanya asosiasi perusahaan akan
menimbulkan kecurigaan akan adanya persaingan usaha yang tidak sehat. Karena jangan
sampai keberadaan asosiasi perusahaan justru disalahgunakan untuk kegiatan yang
melanggar persaingan usaha. Sehingga pembahasan asosiasi perusahaan yang terdapat dalam
pasar oligopoli sangat diperlukan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan Pembagian Wilayah menurut UU No. 5 Tahun 1999 ?

2. Bagaimana analisis kasus tentang Pembagian Wilayah yang terjadi di Indonesia ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk memahami pengaturan Pembagian Wilayah menurut UU No. 5 Tahun 1999.
2. Untuk mengetahui analisis kasus tentang Pembagian Wilayah yang terjadi di Indonesia.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengaturan Pembagian Wilayah menurut UU No. 5 Tahun 1999

Dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa :


“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau
jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.” 17
Perjanjian ini dilarang karena dengan adanya pembagian wilayah maka dapat
mentiadakan persaingan usaha antar pelaku usaha.
“Para pesaing dapat bersepakat untuk tidak memproduksi produk-produk tertentu atau
meninggalkan wilayah-wilayah tertentu yang lain untuk mencapai economies of scale dan
spesialis. Dengan kata lain efisiensi yang lebih besar akan tercapai. Namun, efisiensi ini
baru bisa tercapai dengan adanya perjanjian antar pesaing.”18
Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar merupakan salah satu strategi yang dilakukan untuk
menghindari terjadinya persaingan di antara mereka, sehingga pelaku usaha dapat
menguasai wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa harus
melalui persaingan.

Menurut Stephen F. Ross dalam bukunya Principles of Antitrust Law menyatakan


bahwa hilangnya persaingan di antara sesama pelaku usaha dengan cara melakukan
pembagian wilayah bisa membuat pelaku usaha untuk melakukan tindakan pengurangan
produksi ke tingkat yang tidak efesien, kemudian mereka juga dapat melakukan eksploitasi
terhadap konsumen dengan menaikan harga produk, dan menggunakan kekuatan yang

17
Rachmadi Usman,2004, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, hlm 53
18
Stephen F. Rose, 1993, Principles of Antitrust Law. Westbury New York: The Foundation Press, Inc.,. Hlm.
147

7
dimiliki untuk bertindak sewenang-wenang terhadap konsumen yang sudah teralokasi
sebelumnya.

Namun pembagian pasar tidak dapat berjalan secara efektif bila konsumen mempunyai
kemampuan yang cukup untuk berpindah dari pasar yang satu ke pasar yang lain untuk
membeli kebutuhannya. Misalkan pemilik Departemen store Matahari dan Ramayana
bersepakat untuk melakukan pembagian pasar di antara mereka, Departemen store
Ramayana hanya beroperasi dan menjalankan usahanya di wilayah Depok saja, sedangkan
Departemen store Matahari akan beroperasi melayani wilayah Ibu kota Jakarta, andaikan
konsumen di wilayah Depok ketika berbelanja di Ramayana merasa tidak puas, kemudian
konsumen masih memiliki kemampuan untuk berbelanja di Departemen store Matahari
Jakarta, meskipun lebih jauh dari tempat tinggalnya.

Perjanjian pembagian pasar dalam perkembangannya bisa terjadi melalui bentuk


pelaku usaha diwajibkan untuk memasok hanya dengan kuantitas atau kualitas barang atau
jasa tertentu, tidak mengiklankan produknya secara gencar, atau tidak melakukan ekspansi
usaha yang berlebihan di wilayah pelaku usaha pesaingnya.

Dengan adanya perjanjian pembagian pasar ini, jelas dapat membuat pelaku usaha
yang terlibat di dalam praktek ini akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan
aktifitas usahanya. Tetapi hal ini dikompensasi dengan cara melakukan eksploitasi secara
besar-besaran terhadap konsumen. Tetapi di dalam ketentuan persaingan usaha di Amerika
Serikat disebutkan bahwa sesungguhnya kerjasama antara pelaku usaha yang bersaing untuk
melakukan perjanjian pembagian wilayah sebenarnya tidak hanya merugikan konsumen
tetapi juga sesungguhnya dapat merugikan bagi pelaku usaha itu sendiri dimana mereka
akan dibatasi dalam mengembangkan usaha mereka dan hilangnya kesempatan mereka
untuk meningkatkan kekuatan pasar yang dimilikinya.19

Berbeda dengan pengaturan di banyak negara, dimana kegiatan perjanjian pembagian


wilayah dikatagorikan sebagai tindakan yang pasti menghambat persaingan usaha
dirumuskan secara per see. Seperti Hukum Persaingan Usaha di Amerika Serikat
menyebutkan bahwa:

19
FTC/DOJ, Collaboration Guidelines, Sections 1.2, 2.2, 3.1, 3.3, 3.31, 3.31(a)

8
“suatu jenis perjanjian yang selalu atau hampir memiliki kecenderungan untuk
menaikan harga atau menurunkan jumlah produksi merupakan per see illegal (secara
mutlak dilarang) seperti perjanjian diantara pelaku usaha yang bertujuan untuk saling
membagi atau mengalokasi pasar melalui alokasi pembali, pemasok, daerah atau sektor
perdagangan.”20
Namun pembagian pasar tidak dapat berjalan secara efektif apabila konsumen
mempunyai kemampuan yang cukup untuk berpindah dari pasar yang satu ke pasar yang
lain untuk membeli kebutuhannya. Permasalahan baru timbul apabila biaya yang diperlukan
untuk pindah pasar tersebut cukup mahal, juga bisa terjadi masalah apabila barang yang
dibutuhkan terbatas dan tidak ada substitusinya.

Perjanjian pembagian pasar dalam perkembangannya bisa terjadi dalam bentuk suatu
pelaku usaha diwajibkan untuk memasok hanya dengan kuantitas atau kualitas barang atau
jasa tertentu, tidak mengiklankan produknya secara gencar, atau tidak melakukan ekspansi
usaha yang berlebihan di wilayah pelaku usaha pesaingnya.

Dengan adanya perjanjian pembagian pasar ini, jelas dapat membuat pelaku usaha
yang terlibat di dalam praktek ini akan berkembang dengan pesat pada wilayah tersebut,
namun dia akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan aktifitas usahanya secara lebih
besar, karena wilayahnya terbatas. Tetapi hal ini dikompensasi dengan cara melakukan
eksploitasi secara besar-besaran terhadap konsumen. Namun dalam kenyataannya,
sesungguhnya kerjasama antara pelaku usaha yang bersaing untuk melakukan perjanjian
pembagian wilayah sebenarnya tidak hanya merugikan konsumen tetapi juga sesungguhnya
dapat merugikan bagi pelaku usaha itu sendiri dimana mereka akan dibatasi dalam
mengembangkan usaha mereka dan hilangnya kesempatan mereka untuk meningkatkan
kekuatan pasar yang dimilikinya.

Adapun yang menjadi tujuan dari perjanjian pembagian wilayah adalah untuk
membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar atas barang atau jasa atau yang dikenal
dengan istilah “location clause” yaitu suatu klausula yang mengatur lokasi dimana suatu
pelaku usaha diberikan kewenangan untuk menjual barang atau jasa.

20
FTC/DOJ, Collaboration Guidelines Section 3.2; cf. also UNTACD, Objective and Provisions, p.11.

9
Tujuan lebih lanjutnya adalah untuk mengontrol kepadatan distribusi dan mencegah
terjadinya kelebihan barang pada lokasi tertentu.135 Perjanjian pembagian wilayah ini
dilarang karena menyebabkan pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian menjadi
memonopoli pada wilayah dimana dia dialokasikan.21

Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian pembagian wilayah oleh Undang-


undang No.5/1999 khususnya Pasal 9 dirumuskan secara rule of reason, sehingga perlu
dibuktikan apakah perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat, atau apakah pelaku mempunyai alasan-alasan yang dapat
diterima secara akal sehat.

Pendekatan Per Se Ilegal dan Rule Of Reason


Rumusan pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999 secara material menentukan pendekatan
dalam penentuan pelanggarannya sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan
terciptanya monopoli. Adanya proses pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran UU No. 5
Tahun 1999 yang diperiksa oleh KPPU, maka KPPU harus mengkaji rumusan pasal terkait
dengan berbagai bentuk larangan terhadap kegiatan usaha atau perjanjian yang dapat
menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha. Untuk membuktikan dugaan
pelanggaran tersebut, KPPU menggunakan dua pendekatan yaitu :12

1. Pendekatan Per se illegal


Larangan dalam pendekatan yang bersifat per se illegal adalah larangan yang memang
secara ilmiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak kegiatan tersebut pada
persaingan, karena pada dasarnya memang menimbulkan persaingan tidak sehat. Kegiatan
yang dapat disebut Per se adalah suatu praktik bisnis yang dilakukan oleh pelaku usaha
secara tegas dan mutlak dilarang, sehingga tidak tersedia ruang untuk melakukan
pembenaran atas praktik tersebut.

Penyelesaian perkara yang dugaan pelanggarannya bersifat per se illegal, KPPU


dibolehkan untuk tidak melakukan pembuktian lebih lanjut. Hal ini dikarenakan, jika dugaan
pelanggaran tersebut bersifat per se illegal, maka sudah dapat diperkirakan pelaku usaha
tersebut nantinya akan terbukti melanggar.
21
Veronica G. Kayne, et. al., 2007, Vertical Restraints: Resale Price Maintenance Territorial and Customer
Restraint, Practising Law Institute, hlm. 9. 12 Op.Cit., Munir Fuady, hlm. 85

10
Larangan yang bersifat per see illegal adalah larangan yang bersifat jelas, tegas, dan
mutlak dalam rangka memberi kepastian bagi para pelaku usaha. Larangan ini bersifat tegas
dan mutlak disebabkan perilaku yang sangat mungkin merusak persaingan, sehingga perlu
lagi melakukan pembuktian akibat perbuatan tersebut. Tegasnya, pendekatan per see illegal
melihat perilaku usaha atau tindakan yang dilakukan bertentangan dengan hukum.

Pendekatan per see Illegal harus memenuhi dua syarat. Pertama, harus ditujukan lebih
dahulu kepada perilaku bisnis daripada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum
dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut. Misalnya, mengenai akibat dan hal-hal
melingkupinya. Kedua, adanya identifikasi secara cepat dan mudah mengenai praktik atau
batasan perilaku yang terlarang. Dengan kata lain, penilaian atas tindakan dari perilaku baik
di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan dengan mudah. Meskipun
demikian, diakui terdapat perilaku yang terlarang dan perilaku yang sah.

Sebab, penerapan per see illegal yang berlebihan dapat menjangkau perbuatan yang
sebenarnya tidak merugikan bahkan mendorong persaingan. Mengenai jenis perjanjian atau
tindakan yang dikategorikan sebagai per see tidaklah selalu sama di setiap tempat atau
industri. Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam menimbang takaran kepatutan dan
keadilan.

Selain itu, perbedaan penetapan ini juga melihat tingkat efisiensi dan manfaat bagi
masyarakat. Pendekatan ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Ada tiga kelebihannya,
yaitu pertama, terjadinya kepastian terhadap suatu persoalan hukum antimonopoli yang
muncul. Ketika terjadi penetapan harga (price pixing), boycott, horizontal market division,
dan tying arrangement dilakukan pelaku usaha maka hakim dapat menggunakan pendekatan
ini secara langsung. Kedua, jika suatu perjanjian atau perbuatan yang dilakukan yang hampir
pasti merusak dan merugikan persaingan maka untuk apalagi bersusah payah melakukan
pembuktian, tidak hanya memakan waktu, namun juga biaya yang mahal. Ketiga,
pendekatan per see illegal lebih memudahkan hakim memutuskan perkara persaingan usaha.

Penerapan pendekatan per see illegal secara berlebihan dapat menjangkau perbuatan
yang mungkin tidak merugikan. Terkadang pendekatan ini tidak selalu akurat menghasilkan
pandangan apakah suatu tindakan pelaku usaha benar-benar tidak effisien dan merugikan

11
konsumen. Sementara itu, pendekatan secara rule of reason adalah kebalikan per see illegal.
Dalam pendekatan ini hukuman terhadap perbuatan yang dituduhkan melanggar industri
persaingan harus mempertimbangkan situasi dan kondisi kasus.

2. Pendekatan Rule of Reason


Larangan dalam pendekatan yang bersifat rule of reason adalah suatu larangan yang
baru berlaku apabila suatu kegiatan usaha dapat menimbulkan praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat rule of reason dapat diartikan bahwa dalam melakukan praktik
bisnisnya, pelaku usaha tidak secara otomatis atau semena-mena dilarang. Pelanggaran
terhadap pasal ini membutuhkan pembuktian lebih lanjut.

Teori rule of reason mengharuskan pembuktian, mengevaluasi mengenai akibat


perjanjian, kegiatan atau posisi dominan tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau
kegiatan tersebut menghambat atau mendukung persaingan. Dalam melakukan pembuktian
harus melihat seberapa jauh tindakan yang merupakan anti persaingan tersebut berakibat
kepada pengekangan persaingan di pasar.

Dalam teori rule of reason sebuah tindakan tidak secara otomatis dilarang, meskipun
perbuatan yang ditudahkan tersebut kenyataannya terbukti telah dilakukan. Dengan
demikian, pendekatan ini memungkinkan pengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap
undang-undang dan interpretasi pasar.22

Alasan yang sah untuk melarang suatu perjanjian atau kegiatan berbeda-beda antara
satu industi dengan industri lainnya, tergantung dari tujuan industri persaingan yang berlaku.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, rule of reason dapat dilihat dari kalimat
“mengakibatkan atau dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan tidak sehat atau juga dengan patut diduga.” Kalimat ini menyiratkan bahwa
perlu penelitian yang mendalam tentang suatu perjanjian atau kegiatan apakah berdampak
terjadinya praktik monopoli.

B. Paparan Kasus dan Analisis


Asosiasi Kontraktor Listrik

22
A.M. Tri Anggraini, “Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal dalam Hukum Persaingan,”
Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24, No. 2, 2005, hlm. 9-10.

12
Dalam Putusan KPPU No. 53/KPPU-L/2008 mengenai Pemagian Wilayah DPP AKLI
Pusat. KPPU memutuskan bahwa bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,
Terlapor V, dan Terlapor VI terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 9
Undangundang Nomor 5 Tahun 1999. Majelis Komisi yang terdiri dari Yoyo Arifardhani
(ketua), Ahmad Ramadhan Siregar dan Anna Maria Tri Anggraini (masing-masing anggota)
menyatakan, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) AKLI dan enam pengurus di bawahnya terbukti
melanggar Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Putusan No. 53/KPPU-L/2008 ini dibacakan pada Jumat
(13/2) tanpa dihadiri pihak terlapor. Pasal 9 menyebutkan, pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Adapun para Terlapor dalam kasus ini adalah Terlapor I adalah Dewan Pengurus Pusat
Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPP AKLI), Terlapor II Dewan
Pengurus Daerah Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPD AKLI)
Sulawesi Selatan, Terlapor III Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan
Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Palopo, Terlapor IV Dewan Pengurus Cabang Asosiasi
Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu Utara, Terlapor V Dewan
Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu
Timur, Terlapor VI Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal
Indonesia (DPC AKLI) Tana Toraja.
Bahwa Terlapor I adalah asosiasi perusahaan yang bergerak di bidang pekerjaan
elektrikal dan mekanikal yang bertujuan membina anggota anggotanya untuk dapat
memenuhi tugas dan tanggung jawab dalam proses pembangunan Indonesia di bidang
ketenagalistrikan. Terlapor I memiliki 32 (tiga puluh dua) Dewan Pengurus Daerah (DPD),
121 (seratus dua puluh satu) Dewan Pengurus Cabang (DPC), dan 4806 (empat ribu delapan
ratus enam) badan usaha instalatir. Terlapor II adalah pengurus daerah Terlapor I di
Propinsi Sulawesi Selatan, Terlapor II membawahi 9 (sembilan) DPC dan memiliki anggota
sebanyak 173 (seratus tujuh puluh tiga) badan usaha instalatir. Terlapor III adalah pengurus
cabang Terlapor I di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, dan memiliki anggota sebanyak 11
(sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor IV adalah pengurus cabang Terlapor I di

13
Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 11 (sebelas) anggota
badan instalatir. Terlapor V adalah pengurus cabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Timur,
Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 10 (sepuluh) anggota badan instalatir.
KPPU berpendapat berdasarkan bukti-bukti bahwa Terlapor I melalui Terlapor II,
Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan DPC-DPC lain di wilayah Sulawesi
Selatan, membagi wilayah kerja PJT berdasarkan wilayah cabang PT. PLN (Persero) di
Sulawesi Selatan. Namun khusus di wilayah PT. PLN (Persero) Cabang Palopo, Terlapor II
membagi lagi wilayah kerja PJT ( Penanggung Jawab Teknik) menjadi 4 (empat) wilayah
berdasarkan tempat kedudukan DPC berada, yaitu: Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V,
dan Terlapor VI. Pembagian wilayah PJT dalam SP-PJT oleh Terlapor I dapat dikategorikan
sebagai perjanjian dilaksanakan oleh Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan
Terlapor VI.
Adapun yang menjadi alasan dari Terlapor I membagi wilayah kerja PJT melalui SP-
PJT adalah untuk keselamatan dan keamanan instalasi, serta memberdayakan potensi
sumber daya PJT setempat.
Pembagian wilayah kerja PJT yang dilakukan oleh Terlapor I di daerah Sulawesi
Selatan melalui Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan
DPCDPC lainnya di Sulawesi Selatan ini, menimbulkan dampak badan usaha instalatir tidak
dapat menggunakan PJTnya di wilayah lain dan harus menggunakan jasa PJT setempat yang
menjadi pegawai di badan usaha instalatir.

Putusan ini menunjukkan kepada kita bahwa suatu assosiasi perusahaan dapat
digunakan untuk melakukan aktivitas ataupun perjanjianperjanjian yang anti persaingan.
Dengan adanya pembagian wilayah tersebut, maka kiranya jelas hal tersebut akan
menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Pada sisi lain tidak ditemukan
adanya alasan-alasan yang dapat membenarkan perbuatan tersebut.

14
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Perjanjian price fixing bukan satu-satunya cara mengontrol harga. Cara lain yang
walaupun tidak secara langsung dapat mengontrolnya, yakni perjanjian di antara pelaku usaha
untuk tidak saling berkompetisi satu sama lain. Caranya, mereka membagi wilayah pemasaran
barang atau jasa mereka. Ada banyak perjanjian pembagian wilayah ini, pertama, pelaku usaha
dapat membagi pasar secara geografis; kedua, membagi jenis atau kelas pelanggan atau
konsumen dan ketiga, mereka bisa membagi pasar berdasarkan jenis produk yang Dikeluarkan.

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan
perjanjian pembagian wilayah (market allocation), baik yang bersifat vertikal atau horizontal.
Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa, sehingga mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan /atau persaingan usaha tidak sehat.

Berdasarkan Pasal 9 ini, perjanjian pembagian wilayah yang terkena larangan adalah jika
isi perjanjian pembagian wilayah yang dimaksud bertujuan membagi wilayah pemasaran atau
alokasi pasar terhadap suatu produk barang dan/atau jasa, di mana perjanjian itu dapat
menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian ini dilarang
karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah
pasar atau alokasi pasar.

Wilayah pemasaran di sini dapat berarti wilayah negara Republik Indonesia atau bagian
wilayah negara Republik Indonesia, misalnya provinsi, kabupaten/kota, atau wilayah regional
yang lain. Membagi wilayah. Pemasaran atau alokasi pasar itu berarti membagi wilayah untuk

15
memperoleh atau memasok barang, jasa atau barang, dan jasa tertentu. Perjanjian seperti ini
dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.

Dari ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa
perjanjian pembagian wilayah tidak termasuk per se illegal; oleh karena itu perjanjian yang
demikian hanya dilarang apabila dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.

16
DAFTAR PUSTAKA

A.M. Tri Anggraini, “Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per SeIllegal dalam Hukum
Persaingan,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24, No. 2, 2005.
Arie Siswanto, 2002, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia, Jakarta, Indonesia.
Larrson, David. A., 1970 "An Economic Analysis of the Webb-Pomerene Act." Journal of Law
and Economics”
Munir Fuady, 2003, Hukum Anti Monopoli, Menyongsong Era Persaingan Sehat, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Mustafa Kamal Rokan, 2012, Hukum Persaingan Usaha Teori Praktiknya di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Nelson, Milton. N., 1923, The Effect of Price Associations Activities on Competition and Price."
The American Economic Review.
Rachmadi Usman,2004, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Rizkiyana, Rikrik dan Vovo Iswanto, 2010, Catatan Kecil Tentang Praktek Penyalahggunaan
Posisi Dominan (Studi Kasus di Indonesia). Litigasi Persaingan Usaha. Ed. Abdul Hakim
G. Nusantara et. al., Tangerang: PT Telaga Ilmu Indonesia
R. Subekti, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.
Stephen F. Rose, 1993, Principles of Antitrust Law. Westbury New York: The Foundation Press,
Inc.
Thee Kian Wie, Hukum Persaingan: Aspek-aspek Ekonomi yang Perlu Diperhatikan dalam
Implementasi UU No. 5/1999, 1999, Artikel dalam Jurnal Hukun Bisnis Vokune 7,
YPHB.
Veronica G. Kayne, et. al., 2007, Vertical Restraints: Resale Price Maintenance Territorial and
Customer Restraint, Practising Law Institute.
Wirjono Prodjodikoro, 1989, Azas-azas Hukum Perjanjian, PT. Eresto, Bandung.

Undang-undang
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

17

You might also like