Professional Documents
Culture Documents
Hukum Persaingan Usaha
Hukum Persaingan Usaha
Nim : D1A019611
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas izin-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Kehutanan”.
Sholawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing kita ke jalan yang lurus dan menjadi anugerah terbesar bagi alam semesta.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Persaingan Usaha
dan Perlindunan Konsumen dengan Dosen Pembimbing Dr. H. Hirsanuddin, SH., MH. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya
dapat lebih baik.
Makalah ini masih banyak kekurangan karena pengalaman yang penulis miliki sangat kurang.
Oleh karena itu diharapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan dari makalah ini.
Penulis
ii
Daftar Isi
HALAMAN SAMPUL.................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................iii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................6
1. Bagaimana pengaturan Pembagian Wilayah menurut UU No. 5 Tahun 1999 ?...........................6
2. Bagaimana analisis kasus tentang Pembagian Wilayah yang terjadi di Indonesia ?.....................6
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................................6
BAB II.........................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................7
BAB III......................................................................................................................................................15
PENUTUP.................................................................................................................................................15
Kesimpulan............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan asosiasi perusahaan (trade association) 1 dimulai pada pertengahan abad
19, tetapi hal in tidak menjadi masalah sampai pada perkembangannya yang signifikan yang
dimulai pada tahun 1920. Alasan utama perkembangan asosiasi ini adalah untuk
menghindarkan sesama pelaku usaha dari persaingan mematikan (cut-throat competition)
dan juga untuk meningkatkan keteraturan, keberlanjutan, dan stabilitas dalam bisnis.2
Samuel Harber juga memperhatikan fenomena asosiasi bisnis melalu studinya dalam ilmu
manajemen dari tahun 1890-1920, yang menyatakan bahwa
"Efficiency and Cooperation were bywords of business in progressive era The Spirit of
Business Cooperation was embodied in the flourishing trade associations”3
1
Trade Association is an association of business organizations having similar problems and engaged in similar
fields formed for mutual protection, interchange of ideas and statistics, and the establishment for maintenance of
standards within their industry. Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary Ninth Edition, ed.Bryan. A. Garner
(West: St. Paul, Minnesota, 2009), hal. 141
2
M. Browning Carrott, "The Supreme Court and American Trade Associations, 1921-1925", The Business
History Review, Vol. 44, No. 3 (autumn, 1970), hal. 320
3
Samuel Haber, Efficiency and Uplift: Scientific Management in the Progressive Era, 1890-1920, (Chicago:
Midway Print, 1964), hal. 72
4
David. A. Larson, "An Economic Analysis of the Webb-Pomerene Act', Journal of Law and Economics, Vol.
13, No. 2 (October, 1970), hal. 461
1
Act 1918 mengecualikan asosiasi tertentu yang memenuhi syarat untuk dapat dikecualikan
dari pembatasan-pembatasan dalam Sherman Act.5
Terdapat dua tujuan yang diakui secara terang-terangan dalam pemberlakuan Webb-
Pomerene Act 1918. Pertama, dengan adanya penggabungan memungkinkan para
perusahaan kecil dalam pasar kompetitif mencapai skala ekonomi (economies of scales)
dalam penjualan mereka di luar negeri. Dan yang kedua adalah sebagai perangkat terhadap
para eksportir dalam neger untuk bersaing dengan kartel yang ada di luar negeri.
Bukan hanya asosiasi perusahaan yang mulai meningkat secara signifikan dari tahun
1900 sampai 1920 tetapi juga teknik dari asosiasi perusahaan yang semakin tidak ketara
dalam hukum persaingan.6 Ketika fenomena asosiasi ini menjadi sebuah kebiasaan maka
muncullah sebuah perilaku dalam asosiasi perusahaan yaitu berupa keterbukaan harga (open
price). Asosiasi yang telah ada mulai mengontrol produksi dan harga. Lalu anggota dari
asosiasi yang telah melakukan harga terbuka (open price) mulai melakukan pertukaran
informasi perdagangan untuk mengetahui kondisi industri dalam persaingan mereka. 7 Fakta-
fakta dalam suatu bidang usaha yang sering dipertukarkan dalam suatu asosiasi perusahaan
adalah harga, baik itu yang dikutip ataupun yang dibebankan, syarat pembayaran, produksi
dan biaya penjualan, harga pembelian, harga saham, volume produksi, harga pengiriman,
harga pemesanan, penyelidikan, harga penawaran, kontrak, biaya penundaan, harga iklan,
dan jumlah piutang.8
Banyak faktor yang mendukung terjadinya perilaku keterbukaan harga (open price),
yaitu diantaranya pemilihan seorang sekretaris yang dipilih oleh para perusahaan yang
tergabung dalam asosiasi perusahaan tersebut yang bertugas untuk mengumpulkan,
menyusun, dan selanjutnya menyebarkan informasi dari anggota asosiasi kepada anggota
asosiasi. Kemudian dilakukan pertemuan di antara anggota asosiasi secara berkala yang
tujuannya untuk membahas permasalahan yang terjadi terkait dengan kelangsungan kegiatan
5
Timothy James Peaden, "Antitrust Foreign Import Cartels Are Liable Under The Sherman Act Although
Domestic Export Competitors Are Shielded With A Webb-Pomerene Exemption, Daishowa International V. North
Coast Export Co", Vanderbilt Journal of Transnational Law, (Summer, 1983), hal. 3
6
National Industrial Conference Board. Trade Associations: Their Economic Significance and Legal Status,
(New York: National Industri Confrence Board. Inc, 1925), hal. 16
7
M. Browning Carrott, "The Supreme Court ..." hal. 322
8
Milton. N. Nelson, "The Effect of Price Associations Activities on Competition and Price", The American
Economic Review, Vol. 13 No. 2, (June, 1923), hal. 258
2
usaha dari para anggota asosiasi. Biasanya yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah
faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap situasi permintaan dan penawaran,
menentukan apakah suatu harga akan diikuti atau dibebankan, memperbanyak jumlah saham
yang dikuasai, memperbanyak produksi dan pengiriman, mempengaruhi penawaran, dan lain
sebagainya. Dalam perilaku keterbukaan harga ini tiap anggota dari asosiasi terlihat seolah-
olah independen dari pengaruh kebijakan harga dan produksi dari anggota lainnya.9
Dengan adanya keterbukaan harga dari asosiasi in diharapkan akan adanya pertukaran
statistik yang akan tetap memelihara hubungan kerjasama yang tertutup antara harga dan
produksi, yang nantinya akan menghindari penurunan harga dan memberikan keuntungan
yang seolah-olah sah dari tap perusahaan. Sehingga hasil akhirnya bukan meningkatkan,
akan tetapi menurunkan kompetisi.10
9
Ibid
10
Louis Galambos, Competition and Cooperation: The Emergence of a National Trade Association,
(Baltimore: John Hopkins Press, 1966), hal. 44-54
11
M. Browning Carrott, "The Supreme Court” hal. 323
3
Pada tahun 1915 asosiasi in menjadi lebih terang-terangan dalam peredaran informasi
perdagangan di antara para anggotanya karena pada masa itu terjadi Perang Dunia I dan
negara membiarkan karena terfokus pada perang. Sehingga selanjutnya mereka menikmati
aktivitas ini sampai waktu yang cukup lama.12
Sebelum adanya regulasi persaigan, Indonesia juga mengalami kondisi yang hampir
mirip dengan yang terjadi di Amerika Serikat. Pada akhirnya pemerintah memberlakukan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Schat (selanjutnya "UU No.5/1999”).14 Pengawasan tindakan pelaku usaha
melalui asosiasinya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5/1999 dilakukan
melalui Komisi independen, yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Hal in bisa
dilihat dari dalam pasal 35, 36, dan 40 UU No. 5/1999 di mana peran KPPU di samping
menunggu laporan masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan maupun pihak yang
merasa mengetahui adanya tindakan curang yang dilakukan ole pelaku usaha juga ikut
12
James. W. Silver, "The Hardwood Producers Come of Age", The Journal of Southern History Vol. 23, No. 4
(Nov., 1957) , hal 429-430 dan hal. 434-437
13
M. Browning Carrott, "The Supreme Court" hal. 324
14
Ibid., hal. 156
4
bertindak proaktif dengan mengadakan penelitian, mencari masukan, maupun mengadakan
pemeriksaan terhadap pelaku usaha untuk mencari kebenaran. Dalam pasal 47 UU
No.5/1999 menyebutkan juga bahwa kewenangan komisi juga dirancang sebagai badan yang
dapat mengeluarkan berbagai jenis tindakan tau sanksi administratif kepada pelaku usaha
yang melanggar hukum persaingan.
Terdapat beberapa contoh begitu besarnya pengaruh asosiasi yang cukup signifikan
dalam menentukan pasar di Indonesia. Misalnya ketika pemerintah Indonesia mengizinkan
investor asing berinvestasi pada perusahaan ritel di Indonesia di mana kemudian
hypermarket Carrefour dan Continent masuk dalam pasar ritel di Indonesia. Dan kemudian
pada bulan Juni 1999, Asosiasi Pengusaha Retailer Indonesia (Aprindo) menuduh bahwa
kedua kompetitor tersebut telah melakukan praktek predatory pricing atau menjual rug
dengan cara menjual lebih murah dari swalayan yang lain dan menghancurkan usaha yang
lain dan menghancurkan usaha serupa yang sudah ada terlebih dahulu. Kemudian
selanjutnya oleh Direktorat Jenderal Perdagangan menghimbau agar perwakilan perusahaan
agar merundingkan permasalahan dengan perwakilan Aprindo agar terakomodasi
kepentingan para pihak.15 Dari himbauan in tersirat bahwa terdapat kemungkinan peluang
untuk mencapai kesepakatan penyelesaian di antara pelaku usaha melalui asosiasi mereka.
Kesepakatan yang mungkin akan timbul adalah pembagian pasar atau wilayah dan
konsumen (market and consumer allocation) ataupun keputusan lainnya yang mampu
menjauhkan pasar dari proses persaingan.16
Sebuah asosiasi perusahaan yang merupakan gabungan dari beberapa perusahaan yang
berada dalam satu pasar yang sama dan memiliki permasalahan yang sama dan bertujuan
untuk perlindungan bersama sesama perusahaan dengan melakukan pertukaran ide dan
statistik dan untuk pemeliharaan standar perlindungan industri mereka sangat rentan terkena
dampak dalam hukum persaingan. Dalam kasus di Indonesia sudah beberapa asosiasi
perusuhaan yang telah diduga juga terkait dalam perilaku persaingan usaha tidak sehat.
Dalam beberapa putusan tersebut sebuah asosiasi perusahaan yang juga menjadi mitra
pemerintah juga menjadi media dalam berlangsungnya perilaku persaingan usaha tidak
15
Foreign hypermarkets accused dumping practices http://www.thejakartapost.com/news/1999/06/14/foreign-
hvpermarkets-accused-dumping. practices. html diunduh pada tanggal 20 Maret 2023.
16
Ningrum Natasya Sirait, “Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat", hal. 15
5
sehat. Dalam hal in peneliti akan mempersempit tinjauan perilaku persaingan usaha tidak
sehat pada asosiasi perusahaan yang ada dalam pasar oligopoli. Karena dengan semakin
terkonsentrasinya pasar dan ditambah dengan adanya asosiasi perusahaan akan
menimbulkan kecurigaan akan adanya persaingan usaha yang tidak sehat. Karena jangan
sampai keberadaan asosiasi perusahaan justru disalahgunakan untuk kegiatan yang
melanggar persaingan usaha. Sehingga pembahasan asosiasi perusahaan yang terdapat dalam
pasar oligopoli sangat diperlukan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
1. Untuk memahami pengaturan Pembagian Wilayah menurut UU No. 5 Tahun 1999.
2. Untuk mengetahui analisis kasus tentang Pembagian Wilayah yang terjadi di Indonesia.
6
BAB II
PEMBAHASAN
17
Rachmadi Usman,2004, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, hlm 53
18
Stephen F. Rose, 1993, Principles of Antitrust Law. Westbury New York: The Foundation Press, Inc.,. Hlm.
147
7
dimiliki untuk bertindak sewenang-wenang terhadap konsumen yang sudah teralokasi
sebelumnya.
Namun pembagian pasar tidak dapat berjalan secara efektif bila konsumen mempunyai
kemampuan yang cukup untuk berpindah dari pasar yang satu ke pasar yang lain untuk
membeli kebutuhannya. Misalkan pemilik Departemen store Matahari dan Ramayana
bersepakat untuk melakukan pembagian pasar di antara mereka, Departemen store
Ramayana hanya beroperasi dan menjalankan usahanya di wilayah Depok saja, sedangkan
Departemen store Matahari akan beroperasi melayani wilayah Ibu kota Jakarta, andaikan
konsumen di wilayah Depok ketika berbelanja di Ramayana merasa tidak puas, kemudian
konsumen masih memiliki kemampuan untuk berbelanja di Departemen store Matahari
Jakarta, meskipun lebih jauh dari tempat tinggalnya.
Dengan adanya perjanjian pembagian pasar ini, jelas dapat membuat pelaku usaha
yang terlibat di dalam praktek ini akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan
aktifitas usahanya. Tetapi hal ini dikompensasi dengan cara melakukan eksploitasi secara
besar-besaran terhadap konsumen. Tetapi di dalam ketentuan persaingan usaha di Amerika
Serikat disebutkan bahwa sesungguhnya kerjasama antara pelaku usaha yang bersaing untuk
melakukan perjanjian pembagian wilayah sebenarnya tidak hanya merugikan konsumen
tetapi juga sesungguhnya dapat merugikan bagi pelaku usaha itu sendiri dimana mereka
akan dibatasi dalam mengembangkan usaha mereka dan hilangnya kesempatan mereka
untuk meningkatkan kekuatan pasar yang dimilikinya.19
19
FTC/DOJ, Collaboration Guidelines, Sections 1.2, 2.2, 3.1, 3.3, 3.31, 3.31(a)
8
“suatu jenis perjanjian yang selalu atau hampir memiliki kecenderungan untuk
menaikan harga atau menurunkan jumlah produksi merupakan per see illegal (secara
mutlak dilarang) seperti perjanjian diantara pelaku usaha yang bertujuan untuk saling
membagi atau mengalokasi pasar melalui alokasi pembali, pemasok, daerah atau sektor
perdagangan.”20
Namun pembagian pasar tidak dapat berjalan secara efektif apabila konsumen
mempunyai kemampuan yang cukup untuk berpindah dari pasar yang satu ke pasar yang
lain untuk membeli kebutuhannya. Permasalahan baru timbul apabila biaya yang diperlukan
untuk pindah pasar tersebut cukup mahal, juga bisa terjadi masalah apabila barang yang
dibutuhkan terbatas dan tidak ada substitusinya.
Perjanjian pembagian pasar dalam perkembangannya bisa terjadi dalam bentuk suatu
pelaku usaha diwajibkan untuk memasok hanya dengan kuantitas atau kualitas barang atau
jasa tertentu, tidak mengiklankan produknya secara gencar, atau tidak melakukan ekspansi
usaha yang berlebihan di wilayah pelaku usaha pesaingnya.
Dengan adanya perjanjian pembagian pasar ini, jelas dapat membuat pelaku usaha
yang terlibat di dalam praktek ini akan berkembang dengan pesat pada wilayah tersebut,
namun dia akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan aktifitas usahanya secara lebih
besar, karena wilayahnya terbatas. Tetapi hal ini dikompensasi dengan cara melakukan
eksploitasi secara besar-besaran terhadap konsumen. Namun dalam kenyataannya,
sesungguhnya kerjasama antara pelaku usaha yang bersaing untuk melakukan perjanjian
pembagian wilayah sebenarnya tidak hanya merugikan konsumen tetapi juga sesungguhnya
dapat merugikan bagi pelaku usaha itu sendiri dimana mereka akan dibatasi dalam
mengembangkan usaha mereka dan hilangnya kesempatan mereka untuk meningkatkan
kekuatan pasar yang dimilikinya.
Adapun yang menjadi tujuan dari perjanjian pembagian wilayah adalah untuk
membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar atas barang atau jasa atau yang dikenal
dengan istilah “location clause” yaitu suatu klausula yang mengatur lokasi dimana suatu
pelaku usaha diberikan kewenangan untuk menjual barang atau jasa.
20
FTC/DOJ, Collaboration Guidelines Section 3.2; cf. also UNTACD, Objective and Provisions, p.11.
9
Tujuan lebih lanjutnya adalah untuk mengontrol kepadatan distribusi dan mencegah
terjadinya kelebihan barang pada lokasi tertentu.135 Perjanjian pembagian wilayah ini
dilarang karena menyebabkan pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian menjadi
memonopoli pada wilayah dimana dia dialokasikan.21
10
Larangan yang bersifat per see illegal adalah larangan yang bersifat jelas, tegas, dan
mutlak dalam rangka memberi kepastian bagi para pelaku usaha. Larangan ini bersifat tegas
dan mutlak disebabkan perilaku yang sangat mungkin merusak persaingan, sehingga perlu
lagi melakukan pembuktian akibat perbuatan tersebut. Tegasnya, pendekatan per see illegal
melihat perilaku usaha atau tindakan yang dilakukan bertentangan dengan hukum.
Pendekatan per see Illegal harus memenuhi dua syarat. Pertama, harus ditujukan lebih
dahulu kepada perilaku bisnis daripada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum
dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut. Misalnya, mengenai akibat dan hal-hal
melingkupinya. Kedua, adanya identifikasi secara cepat dan mudah mengenai praktik atau
batasan perilaku yang terlarang. Dengan kata lain, penilaian atas tindakan dari perilaku baik
di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan dengan mudah. Meskipun
demikian, diakui terdapat perilaku yang terlarang dan perilaku yang sah.
Sebab, penerapan per see illegal yang berlebihan dapat menjangkau perbuatan yang
sebenarnya tidak merugikan bahkan mendorong persaingan. Mengenai jenis perjanjian atau
tindakan yang dikategorikan sebagai per see tidaklah selalu sama di setiap tempat atau
industri. Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam menimbang takaran kepatutan dan
keadilan.
Selain itu, perbedaan penetapan ini juga melihat tingkat efisiensi dan manfaat bagi
masyarakat. Pendekatan ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Ada tiga kelebihannya,
yaitu pertama, terjadinya kepastian terhadap suatu persoalan hukum antimonopoli yang
muncul. Ketika terjadi penetapan harga (price pixing), boycott, horizontal market division,
dan tying arrangement dilakukan pelaku usaha maka hakim dapat menggunakan pendekatan
ini secara langsung. Kedua, jika suatu perjanjian atau perbuatan yang dilakukan yang hampir
pasti merusak dan merugikan persaingan maka untuk apalagi bersusah payah melakukan
pembuktian, tidak hanya memakan waktu, namun juga biaya yang mahal. Ketiga,
pendekatan per see illegal lebih memudahkan hakim memutuskan perkara persaingan usaha.
Penerapan pendekatan per see illegal secara berlebihan dapat menjangkau perbuatan
yang mungkin tidak merugikan. Terkadang pendekatan ini tidak selalu akurat menghasilkan
pandangan apakah suatu tindakan pelaku usaha benar-benar tidak effisien dan merugikan
11
konsumen. Sementara itu, pendekatan secara rule of reason adalah kebalikan per see illegal.
Dalam pendekatan ini hukuman terhadap perbuatan yang dituduhkan melanggar industri
persaingan harus mempertimbangkan situasi dan kondisi kasus.
Dalam teori rule of reason sebuah tindakan tidak secara otomatis dilarang, meskipun
perbuatan yang ditudahkan tersebut kenyataannya terbukti telah dilakukan. Dengan
demikian, pendekatan ini memungkinkan pengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap
undang-undang dan interpretasi pasar.22
Alasan yang sah untuk melarang suatu perjanjian atau kegiatan berbeda-beda antara
satu industi dengan industri lainnya, tergantung dari tujuan industri persaingan yang berlaku.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, rule of reason dapat dilihat dari kalimat
“mengakibatkan atau dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan tidak sehat atau juga dengan patut diduga.” Kalimat ini menyiratkan bahwa
perlu penelitian yang mendalam tentang suatu perjanjian atau kegiatan apakah berdampak
terjadinya praktik monopoli.
22
A.M. Tri Anggraini, “Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal dalam Hukum Persaingan,”
Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24, No. 2, 2005, hlm. 9-10.
12
Dalam Putusan KPPU No. 53/KPPU-L/2008 mengenai Pemagian Wilayah DPP AKLI
Pusat. KPPU memutuskan bahwa bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,
Terlapor V, dan Terlapor VI terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 9
Undangundang Nomor 5 Tahun 1999. Majelis Komisi yang terdiri dari Yoyo Arifardhani
(ketua), Ahmad Ramadhan Siregar dan Anna Maria Tri Anggraini (masing-masing anggota)
menyatakan, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) AKLI dan enam pengurus di bawahnya terbukti
melanggar Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Putusan No. 53/KPPU-L/2008 ini dibacakan pada Jumat
(13/2) tanpa dihadiri pihak terlapor. Pasal 9 menyebutkan, pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Adapun para Terlapor dalam kasus ini adalah Terlapor I adalah Dewan Pengurus Pusat
Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPP AKLI), Terlapor II Dewan
Pengurus Daerah Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPD AKLI)
Sulawesi Selatan, Terlapor III Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan
Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Palopo, Terlapor IV Dewan Pengurus Cabang Asosiasi
Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu Utara, Terlapor V Dewan
Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu
Timur, Terlapor VI Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal
Indonesia (DPC AKLI) Tana Toraja.
Bahwa Terlapor I adalah asosiasi perusahaan yang bergerak di bidang pekerjaan
elektrikal dan mekanikal yang bertujuan membina anggota anggotanya untuk dapat
memenuhi tugas dan tanggung jawab dalam proses pembangunan Indonesia di bidang
ketenagalistrikan. Terlapor I memiliki 32 (tiga puluh dua) Dewan Pengurus Daerah (DPD),
121 (seratus dua puluh satu) Dewan Pengurus Cabang (DPC), dan 4806 (empat ribu delapan
ratus enam) badan usaha instalatir. Terlapor II adalah pengurus daerah Terlapor I di
Propinsi Sulawesi Selatan, Terlapor II membawahi 9 (sembilan) DPC dan memiliki anggota
sebanyak 173 (seratus tujuh puluh tiga) badan usaha instalatir. Terlapor III adalah pengurus
cabang Terlapor I di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, dan memiliki anggota sebanyak 11
(sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor IV adalah pengurus cabang Terlapor I di
13
Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 11 (sebelas) anggota
badan instalatir. Terlapor V adalah pengurus cabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Timur,
Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 10 (sepuluh) anggota badan instalatir.
KPPU berpendapat berdasarkan bukti-bukti bahwa Terlapor I melalui Terlapor II,
Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan DPC-DPC lain di wilayah Sulawesi
Selatan, membagi wilayah kerja PJT berdasarkan wilayah cabang PT. PLN (Persero) di
Sulawesi Selatan. Namun khusus di wilayah PT. PLN (Persero) Cabang Palopo, Terlapor II
membagi lagi wilayah kerja PJT ( Penanggung Jawab Teknik) menjadi 4 (empat) wilayah
berdasarkan tempat kedudukan DPC berada, yaitu: Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V,
dan Terlapor VI. Pembagian wilayah PJT dalam SP-PJT oleh Terlapor I dapat dikategorikan
sebagai perjanjian dilaksanakan oleh Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan
Terlapor VI.
Adapun yang menjadi alasan dari Terlapor I membagi wilayah kerja PJT melalui SP-
PJT adalah untuk keselamatan dan keamanan instalasi, serta memberdayakan potensi
sumber daya PJT setempat.
Pembagian wilayah kerja PJT yang dilakukan oleh Terlapor I di daerah Sulawesi
Selatan melalui Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan
DPCDPC lainnya di Sulawesi Selatan ini, menimbulkan dampak badan usaha instalatir tidak
dapat menggunakan PJTnya di wilayah lain dan harus menggunakan jasa PJT setempat yang
menjadi pegawai di badan usaha instalatir.
Putusan ini menunjukkan kepada kita bahwa suatu assosiasi perusahaan dapat
digunakan untuk melakukan aktivitas ataupun perjanjianperjanjian yang anti persaingan.
Dengan adanya pembagian wilayah tersebut, maka kiranya jelas hal tersebut akan
menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Pada sisi lain tidak ditemukan
adanya alasan-alasan yang dapat membenarkan perbuatan tersebut.
14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perjanjian price fixing bukan satu-satunya cara mengontrol harga. Cara lain yang
walaupun tidak secara langsung dapat mengontrolnya, yakni perjanjian di antara pelaku usaha
untuk tidak saling berkompetisi satu sama lain. Caranya, mereka membagi wilayah pemasaran
barang atau jasa mereka. Ada banyak perjanjian pembagian wilayah ini, pertama, pelaku usaha
dapat membagi pasar secara geografis; kedua, membagi jenis atau kelas pelanggan atau
konsumen dan ketiga, mereka bisa membagi pasar berdasarkan jenis produk yang Dikeluarkan.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan
perjanjian pembagian wilayah (market allocation), baik yang bersifat vertikal atau horizontal.
Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa, sehingga mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan /atau persaingan usaha tidak sehat.
Berdasarkan Pasal 9 ini, perjanjian pembagian wilayah yang terkena larangan adalah jika
isi perjanjian pembagian wilayah yang dimaksud bertujuan membagi wilayah pemasaran atau
alokasi pasar terhadap suatu produk barang dan/atau jasa, di mana perjanjian itu dapat
menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian ini dilarang
karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah
pasar atau alokasi pasar.
Wilayah pemasaran di sini dapat berarti wilayah negara Republik Indonesia atau bagian
wilayah negara Republik Indonesia, misalnya provinsi, kabupaten/kota, atau wilayah regional
yang lain. Membagi wilayah. Pemasaran atau alokasi pasar itu berarti membagi wilayah untuk
15
memperoleh atau memasok barang, jasa atau barang, dan jasa tertentu. Perjanjian seperti ini
dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Dari ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa
perjanjian pembagian wilayah tidak termasuk per se illegal; oleh karena itu perjanjian yang
demikian hanya dilarang apabila dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
16
DAFTAR PUSTAKA
A.M. Tri Anggraini, “Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per SeIllegal dalam Hukum
Persaingan,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24, No. 2, 2005.
Arie Siswanto, 2002, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia, Jakarta, Indonesia.
Larrson, David. A., 1970 "An Economic Analysis of the Webb-Pomerene Act." Journal of Law
and Economics”
Munir Fuady, 2003, Hukum Anti Monopoli, Menyongsong Era Persaingan Sehat, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Mustafa Kamal Rokan, 2012, Hukum Persaingan Usaha Teori Praktiknya di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Nelson, Milton. N., 1923, The Effect of Price Associations Activities on Competition and Price."
The American Economic Review.
Rachmadi Usman,2004, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Rizkiyana, Rikrik dan Vovo Iswanto, 2010, Catatan Kecil Tentang Praktek Penyalahggunaan
Posisi Dominan (Studi Kasus di Indonesia). Litigasi Persaingan Usaha. Ed. Abdul Hakim
G. Nusantara et. al., Tangerang: PT Telaga Ilmu Indonesia
R. Subekti, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.
Stephen F. Rose, 1993, Principles of Antitrust Law. Westbury New York: The Foundation Press,
Inc.
Thee Kian Wie, Hukum Persaingan: Aspek-aspek Ekonomi yang Perlu Diperhatikan dalam
Implementasi UU No. 5/1999, 1999, Artikel dalam Jurnal Hukun Bisnis Vokune 7,
YPHB.
Veronica G. Kayne, et. al., 2007, Vertical Restraints: Resale Price Maintenance Territorial and
Customer Restraint, Practising Law Institute.
Wirjono Prodjodikoro, 1989, Azas-azas Hukum Perjanjian, PT. Eresto, Bandung.
Undang-undang
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
17