You are on page 1of 29

MAKALAH

FARMAKOLOGI & TERAPI

DISTRIBUSI OBAT DALAM TUBUH


Dosen Pengampu H. Ahmad Azrul Z.,M.Farm.,Apt

Disusun oleh :

MEHNA ZAHRA (01021183)

MEGA MUSTIKAWATI (01021070)

REGULER – B

SEMESTER 4

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS YPIB CIREBON


Jl. Perjuangan, Karyamulya, Kec. Kesambi, Kota Cirebon, Jawa Barat 45131

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebelum obat yang diberikan pada pasien tiba pada tujuanya didalam tubuh,yaitu tempat
kerjanya atau targetsite,obat harus mengalami banyak proses. Dalam garis besarnya,proses-
proses ini dapat dibagi dalam tiga tingkatan yaitu fase farmasetik,fase farmokinetika dan fase
farmokodinamika.

Efek obat tidak tergantung dari factor farmakologi saja,tetapi juga dari bentuk pemberian
dan terutama dari formulasinya. Dimana fator formulasi yang dapat mengubah efek obat dalam
tubuh yaitu benuk fisis zat aktif,keadaan kimiawi,zat pembantu,dan proses teknik yang
digunakan untuk membuat sediaan.

Mengingat proses perjalanan obat didalam tubuh ini merupakan proses penting yang
menentukan berhail atau tidaknya obat itu memberikan suatu efek bagi tubuh maka didalam
makalah ini kami akan membahas tentang perjalanan obat didalam tubuh secara lebih dalam lagi.
1.2. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah ingin lebih memahami proes dan nasib
obat yang terjadi di dalam tubuh. Karena seperti yang telah kita ketahui bahwa keberhasilan obat
mencapai target akan menimbulkan efek yang diharapkan. Selain itu juga maksud dengan
pembuatan makalah ini bertujuan untuk memahami proses obat yang bisa memberikan efek yang
tak diinginkan dan bagaimana obat bisa bersifat racun didalam tubuh.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

■ Perjalanan Obat Dalam Tubuh (ADME)

Obat yang diberikan pada pasien, akan banyak mengalami proses sebelum tiba pada
tempat aksi atau jaringan sasaran. Secara garis besar proses-proses ini dapat dibagi menjadi tiga
tingkat atau fase, yaitu fase biofarmasetik atau farmasi, fase farmakokinetik, dan fase
farmakodinamik. Untuk menghasilkan efek farmakologi atau efek terapi, obat harus mencapai
tempat aksinya dalam kosentrasi yang cukup untuk menimbulkan respon. Tercapainya kosentrasi
obat tergantung dari jumlah obat yang diberikan, tergantung pada keadaan dan kecepatan obat
diabsorbsi dari tempat pemberian dan distribusinya oleh aliran darah ke bagian lain dari badan.
Efek karakteristik dari obat akan hilang, apabila obat telah Bergerak ke luar dari badan dan
konsekuens i dari letak aksinya baik dalam bentuk yang tidak berubah atau setelah mengalami
metabolisme obat dan terjadi metabolit yang dikeluarkan melalui proses ekskresi. Oleh karena
itu sangat penting diketahui bagaimana cara badan telah menangani obat dengan proses absorbs,
distribusi, metabolism dan ekskresi, bila kita menentukan suatu dosis, rute, bentuk obat yang
diberikan bila dikehendaki efek terapi yang diinginkan dengan efek toksik yang minimal.

Faktor-faktor formulasi yang dapat merubah efek obat dalam tubuh adalah:

 Bentuk fisik zat aktif (amorf atau kristal, kehalusannya)


 Keadaan kimiawi (ester, garam, garam kompleks dsbnya)
 Zat-zat pembantu (zat pengisi, pelekat, pelicin, pelindung dan sebagainya)
 Proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan
Nasib obat dalam tubuh merupakan peristiwa-peristiwa yang di alami obat
dalam tubuh. Aksi beberapa obat membutuhkan suatu proses untuk mencapai
konsentrasi yang cukup dalam jaringan sasarannya. Dua proses penting yang
menentukan konsentrasi obat di dalam tubuh pada waktu tertentu adalah :
• Translokasi dari molekul obat
• Transformasi senyawa obat
Pada bab ini akan dibicarakan translokasi obat dan faktor yang menentukan
proses absorpsi dan distribusi. Transformasi obat menerangkan proses
metabolisme obat atau proses eliminasi lain yang terlibat dalam tubuh.

A. TRANSPORT OBAT
Transport merupakan suatu peristiwa perpindahan dari satu tempat ke
tempat yang lain disertai dengan penembusan membran seluler. Kecuali
metabolisme, proses farmakokinetika melibatkan transport membran tersebut.
Obat berpindah-pindah dalam tubuh melalui dua jalan yaitu transfer difusional
misalnya molekul ke molekul, dengan jarak yang pendek, transfer beraliran
misalnya dalam aliran darah. Dalam aliran darah (sistem kardiovaskuler), transfer
beraliran tidak dipengaruhi oleh sifat kimiawi obat. Sedangkan pada transfer
difusi dipengaruhi oleh ukuran molekul obat dan kelarutannya dalam lipid.
Semakin kecil ukuran partikel suatu obat maka proses transport obat juga
semakin besar dan semakin larut dalam lipid maka transfer pada barrier
hidrofobik semakin besar pula.
Membran sel
Barrier antara dua kompartemen dalam tubuh terdiri dari membran sel.
Membran tersebut memisahkan antara kompartemen ekstraseluler dengan
intraseluler. Yang dimaksud dengan membran sel adalah suatu organel yang
memisahkan isi sel dari lingkungan sekitarnya. Komposisi dari membran sel dan
fungsinya disajikan pada tabel V dan gambaran membran sel disajikan pada
gambar 10.

Tabel V. Komposisi membran sel dan fungsinya


Komposisi membran sel Fungsi Ketebalan (A)
Protein Lapisan Hidrolifik 20-25
Trigliserida Lapisan Lipofilik 25-35
Steroid (kolesterol) Barier Bimoleuler 25-35
Fosfolipida (lesitin) Barier Bimoleuler 25-35
Protein Lapisan Hidrofilik 20-25
Gambar 10. Diagran skematik struktur membran (Ritschel, 1992)

Dari gambar 10 dan tabel V, mebran sel mempunyai gugus yang dapat membentuk ikatan
ionik atau hidrogen dengan gugus yang sesuai dari suatu obat. Sehingga sifat dari suatu membran
adalah semipermiabel, mempunyai tegangan permukaan yang rendah dan mempunyai tegangan
listrik (potensial membran). Terdapat dua macam model membran sel yaitu model Davson
Danielli dan Mosaik Cair. Pada model Davson Danielli, membran sel terdiri dari 2 lapis lipid
yaitu gugus hidrofil pada permukaan mebran dan gugus hidrofob berada dalam membran sel.
llustrasi membran ini seperti pada gambar 10, dimana kedua gugus tersebut diselubungi oleh
protein. Bangunan membran pada model ini adalh statis. Di lain pihak, model mosaik cair terdiri
dari matrik cair dengan dua lapis molekul lipid. Molekul protein terletak menyebar secara tidak
merata. Protein membran ini dapat berfungsi sebagai pemerkuat membran, molekul pembawa,
enzim, pori senyawa larut dalam air atau reseptor. Bangunan membran bersifat dinamis (gambar
11).

Gambar 11. membran menurut model mozaik cair (Albert et a/., 1994).

Mekanisme transport

Mekanisme transport disajikan pada tabel dan gambar berikut ini:


Tabel VI. Mekanisme absorpsi (Ritschel, 1992)

Mekanisme absorpsi Karakteristik Contoh


Difusi pasif ◦ Obat bergerak searah ◦ Obat bergerak searah
gradien kadar – obat gradien kadar – obat
◦ Keadaan seimbang tercapat ◦ Keadaan seimbang tercapat
jika kadar obat kedua jika kadar obat kedua
kompartemen sama kompartemen sama
◦ Kecepatan difusi ◦ Kecepatan difusi tergantung
tergantung pH medium pH medium
◦ Tergantung koefisien ◦ Tergantung koefisien
partisi, pKa senyawa, partisi, pKa senyawa,
ketebalan membran dan luas ketebalan membran dan luas
area. area.
Transpot aktif ◦ Obat bergerak melawan ◦ Na+ , K+ , I- , heksosa,
gradien kadar atau potensial monosakarida,
eiektrokimia ◦ asam amino, asam organik
◦ Mebutuhkan energi dan kuat, basa organik kuat, fosfat
pembawa organic
◦ Proses dapat jenuh ◦ Glikosida jantung
◦ Proses satu arah ◦ Vit. B, testosteron, estradiol,
◦ Bersifat spesifik vit 812
◦ Berbagai obat dapat
Inhibitor kompetitif
◦ Racun metabolisme
(sianida, dinitrofenol)
menghambat transport
Transport konvektif ◦ Obat terlarut dalam medium ◦ Elektrolit organik maupun
berair anorganik (150 - 400 MW)
◦ Kecepatan tergantung pada ◦ Ion yang bermuatan berbeda
koef. Filtrasi dan terbalik dg pori
dengan viskositas ◦ Diameter ◦ Sulfonamid terisonisiasi
pori 7 A
◦ Tergantung ketebalan
membran, jumlah pori,
perbedaan tekanan hidrostatik
Transport fasilatif ◦ Obat bergerak searah ◦ Vit B12
gradien kadar – obat
◦ Membutuhkan karier
◦ Bersifat spesifik
◦ Proses dapat jenuh
◦ Berbagai obat dapat
inhibitor kompetitif
◦ Racun metabolisme
(sianida, dinitrofenol)
menghambat transport
Transport pasangan ion ◦ Komplek anion organik dari ◦ Asam sulfonat
suatu senyawa dengan kation ◦ Ammonium kuartener
dari medium / membrane
◦ Melalui difusi pasif
◦ Medium biasanya musin
(seny. Endogen)
Pinositosis ◦ Pergerakan dengan bantuan ◦ Lemal, gliserin, vit ADEK,
vesikel dalam membran sel partikel plastik, insulin

Gambar 12. Transport membrane (a) difusi pasif dan (b) Transport aktif
(Ritschel,1992)

Gambar 13. Transport membrane (a) Transport konvektif dan (b) Transport
fasilitatif (Ritschel,1992)
Gambar 14. Transport membran (a) Transport pasangan ion dan (b) Pinositosis
(Ritschel, 1992)

B. ABSORPSI

Absoprsi menggambarkan kecepatan pada saat obat meninggalkan tempat / sisi


pemberian. Obat agar dapat diabsorpsi harus dilepaskan dari bentuk sediaannya sebagai contoh
apabila obat dalam bentuk tablet maka harus mengalami disintegrasi sediaan dan disolusi
senyawa aktifnya. Pelepasan obat dari sediaannya tergantung dari faktor fisika kimiawi obat,
bentuk sediaan, dan lingkungan dalam tubuh tempat obat diabsorpsi. Dalam hal ini, formulasi
bentuk sediaan adalah faktor paling penting dalam pelepasan obat. Apabila molekul obat terikat
pada permukaan kulit atau mukosa oleh ikatan ion, ikatan hidrogen atau van der Waal
dinamakan adsorpsi. Sedangkan jika obat mencapai lapisan yang lebih dalam tapi tidak mencapai
kapiler darah dinamakan peristiwa penetrasi. Kemudian, obat menembus melalui dinding kapiler
dan menuju sirkulasi sistemik dinamakan absorpsi. Secara ringkas, Defmisi absorpsi adalah
perpindahan obat dari tempat pemberian ke sirkulasi sistemik (peredaran darah). Obat harus
berada dalam larutan air pada tempat absorpsi agar dapar dapat diabsorpsi. Absorpsi suatu obat
dapat terjadi pada bagian bukal, sublingual (bawah lidah), gastrointestinal (saluran cerna), kulit
(kutan), otot (muskular), rongga perut (peritoneal), mata (okular), nasal (hidung), paru atau
rektal. Mekanisme absorpsi bisa dengan cara difusi pastf, transport aktif, transport konvektif,
difusi terfasilitasi, transport pasangan ion dan pinositosis. Obat dapat diabsorpsi dengan beberapa
jalur mekanisme.

Area permukaan absorpsi

Absorpsi topikal adalah terbatas karena struktur anatomi dari kulit yang menyebabkan
obat tidak optimal diabsorpsi. Kulit kurang permeabel dibandingkan mukosa (mulut,
gastrointestinal, rektal dan paru). Bahkan area kulit hanya 1,73 m2 , sedangkan area permukaan
absorpsi paru adalah 70 m2 . Luas area permukaan absorpsi gastrointestinal adalah paling luas
120 m2 karena terdapat makrovili dan mikrovili pada usus halus. Dengan pertimbangan tersebut,
banyak obat yang diberikan secara oral dengan harapan tempat absorpsinya terjadi pada traktus
gastrointestinal. Gambaran absorpsi pada traktus gastrointestinal disajikan pada gambar 15.
Gambar 15. Anatomi absorpsi di intestinal (usus) (Ritschel, 1992)

Bioavailibilitas

Bioavailibilitas atau ketersediaan hayati merupakan parameter keefektifan suatu obat


diabsorpsi. Bioavailibilitas merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kandungan obat dimana obat dapat mencapai tempat aksinya. Sebagai contoh obat yang
diabsorpsi dari lambung dan usus (intestin) harus pertama kali melalui hati sebelum mencapai
sirkulasi sistemik. Apabila obat dimetabolisme di hati dan diekskresi pada empedu, beberapa
obat aktif akan diinaktivasi sebelum mencapai tempat aksinya. Dan apabila kapasrtas
metabolisme atau ekskresi hati terhadap obat adalah besar maka bioavailibilitas akan berkurang
dan peristiwa ini disebut efek lintas pertama (first-pass effect).

Bioavailibilitas merupakan fungsi dari dua hal yaitu kecepatan obat terabsorpsi dan
jumlah obat yang diabsorpsi. Dua faktor tersebut dapat diukur dengan cara in vitro (metode
kantong usus atau usus terbalik), in situ (metode Doluisio) dan in vivo (mengukur kadar obat
baik dalam darah maupun urin pada waktu-waktu tertentu).

Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat

Proses awal farmakokinetika adalah absorpsi obat apabila obat diberikan secara
ekstravaskuler. Pada proses absorpsi obat melibatkan transport melewati membran sel sebelum
obat mencapai jaringan atau organ. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain :

1. Kecepatan disolusi obat

Kecepatan disolusi obat merupakan syarat utama bagi obat-obat dalam bentuk padatan
misalnya tablet dan kecepatan disolusi ini dipengaruhi oleh luas permukaan obat yang melarut.

2. Ukuran partikel

Untuk obat yang sukar larut dalam air, ukuran partikel sangat mmpengaruhi. Obat-obat
dengan ukuran partikel kecil relatif mudah larut dalam cairan dibandingkan partikel dengan
ukuran yang besar.

3. Kelarutan dalam lipid atau air


Absorpsi obat juga dipengaruhi oleh koefisien partisi. Telah disampaikan bahwa medium
absorpsi sebagian besar berupa air sedangkan membran sel lebih bersifat lipofilik. Oleh karena
itu, suatu obat harus dapat larut dalam air maupun lipid.

4. lonisasi

Sebagian besar obat merupakan suatu elektrolit lemah sehingga ionisasinya dipengaruhi
oleh pH medium. Dalam mediumnya obat tersebut dalam dua bentuk yaitu bentuk terion yang
lebih mudah larut dalam air dan bentuk tak terionkan yang mudah larut dalam lipid dan lebih
mudah diabsorpsi.

5. Aliran darah pada tempat absorpsi

Aliran darah pada tempat absorpsi adalah penting karena membantu proses absorpsi yaitu
mengambil obat menuju sirkulasi sistemik. Semakin besar aliran darah maka absorpsi juga
semakin besar.

6. Kecepatan pengosongan lambung

Lambung merupakan bagian dari sistem absorpsi suatu obat. Obat yang diabsorpsi di
usus akan meningkat proses absorpsinya jika kecepatan pengosongan lambung besar dan
sebaliknya.

7. Motilitas usus

Motilitias usus yang besar misalnya pada saat diare dapat mengurangi absorpsi obat
karena waktu kontak antara obat dengan absorpsinya adalah pendek.

8. Pengaruh makanan atau obat lainnya.

Beberapa makanan atau obat dapat mempengaruhi proses absorpsi suatu obat lainnya.
Pemberian makanan atau obat dapat mempengaruhi variabel di atas sehingga mempengaruhi
keefektivan absorpsi obat.

9. Cara pemberian

Cara pemberian obat dapat dilakukan dengan jalur enteral dan parenteral. Pemberian
enteral adalah pemberian obat melalui saluran cerna atau dari rongga mulut sampai poros usus
contohnya adalah peroral, sublingual, bukal dan rektal, sedangkan pemberian parenteral adalah
pemberian obat di luar saluran cerna misalnya topikal, suntikan dan inhalasi. Selain itu,
pemberian obat dibedakan berdasarkan sistem vaskuler atau pembuluh darah menjadi pemberian
intravaskuler dan ekstravaskuler. Pemberian intravaskuler adalah pemberian obat melalui
sirkulasi sistemik (pembuluh darah) misalnya intravena, intraarteri dan intrakardial, sedangkan
pemberian ekstravaskuler adalah pemberian obat diluar sirkulasi sistemik misalnya subkutan,
peroral dan intramuskular.

C. DISTRIBUSI
Cairan tubuh didistibusikan ke empat kompartemen utama seperti disajikan pada gambar
16. Cairan tubuh total dalam prosentase berat badan adalah bervariasi 50 hingga 70 %. Pada
wanrta lebih rendah dibandingkan pada pria.

Gambar 16. Kompartemen cairan tubuh utama (dalam presentase berat badan)
(Rang eta/., 1999)

Distribusi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik menuju ke suatu tempat di
dalam tubuh (cairan dan jaringan). Tempat distribusi adalah cairan pada berbagai jaringan yaitu
protein plasma, hati, ginjal, tulang, lemak, barrier darah otak, barter plasenta. Tempat distribusi
tersebut merupakan parameter kualitatif distribusi. Sedangkan mekanisme distribusi dapat
melalui transport konvektif, pinosrtosis atau difusi pasif.

Komposisi cairan tubuh meliputi caitan ekstraseluler dan intraseluler. Cairan ekstraseluler
mengandung plasma darah (berkisar 4,5 % berat badan), cairan interstitial (16 %) dan getah
bening (1,2 %). Cairan intraseluler (30-40 %) merupakan penjumlahan kandungan cairan dari
seluruh sel tubuh. Cairan transeluler (2,5 %) meliputi cairan synovial, pleura!, peritoneal,
intraokular, serebrospinal dan sekresi digestif. Supaya dapat masuk ke kompartemen transeluler
dari kompartemen ekstraseluler, obat harus dapat menembus barter seluler.

Barter darah-otak

Barter mengandung beberapa lapisan sel endotelial yang digabungkan oleh tight junction.
Otak sulit ditembus oleh beberapa obat misalnya beberapa obat antikanker dan antibiotik
misalnya aminoglikosida karena barter tersebut bersifat lipid solubel. Pada kondisi inflamasi
misalnya meningitis, dapat menggangu integritas barter sehingga beberapa obat dapat
menembusnya.

Penisilin diberikan pada meningitis karena pada kondisi penyakit tersebut dapat
menembus barter otak. Beberapa peptida seperti bradikinin dan enkefalin dapat meningkatkan
permeabilitas barter darah otak dengan meningkatkan proses pinosttosis. Hal ini dijadikan suatu
pendekatan dalam strategi kemoterapi pada tumor otak.

Volume distribusi

Volume distribusi adalah volume cairan tubuh tempat suatu obat pada akhirnya
terdistribusikan, dinotasikan Vd. Volume distribusi menggambarkan luas distribusi obat dalam
tubuh. Volume distribusi merupakan parameter kuantitatif distribusi.
Q
Vd = ______
Cp

Dimana Q adalah jumlah obat total dan Cp adalah konsentrasi obat dalam darah. Volume
distribusi dari beberapa obat disajikan pada tabel VII.

Volume plasma berkisar 0,05 L/kg BB. Beberapa obat misalnya heparin yang hanya
didistribusikan pada kompartemen plasma karena molekulnya terlalu besar untuk menembus
dinding kapiler. Di samping itu juga disebabkan karena ikatan yang kuat dengan protein plasma.
Volume ekstraseluler berkisar 0,2 L/kg dan tepat untuk obat-obat yang bersifat polar misalnya
vekuronium, gentamisin dan karbesilin. Obat tersebut sulit menembus sel karena kelarutan lipid-
nya rendah sehingga tidak dapat menembus barier darah-otak dan plasenta. Cairan total tubuh
berkisar 0,55 L/kg dan volume distribusi dicapai oleh obat yang larut dalam lipid misalnya
fenitoin. Ikatan obat diluar kompartemen plasma seperti pada lemak tubuh akan meningkatkan
volume distribusi.

Tabel VII Volume distribusi beberapa obat dibandingkan volume kompartemen


cairan tubuh (Ritschel, 1992)

Volume (L/kg BB) Kompartemen Vd (L/kg BB) Obat


0,05 Plasma 0,05-0,1 Heparin, insulin
0,1-0,2 Warfarin,
sulfametoksasol,
glibenklamid,
atenolol
0,2 Cairan 0,2-0,4 Tubokurarin
Ekstraseluler 0,4-0,7 Teofilin
0,55 Cairan total <1 Etanol, neostigminn,
Tubuh fenitoin
1–2 Metotreksat,
Indometasin,
Parasetamol,
Diazepam,
2–5
Lignokain
Morfin, Propranolol,
Digoksin,
>10
Klorpropamid
Nortriptilm,
Imipramin

Ikatan obat pada material biologi


Plasma darah mengandung 93 % air dan 7 % terdiri berbagai senyawa terlarit terutama
protein. Fraksi protein utama adalah albumin (5 % dari total plasma). Protein tidak hanya
ditemukan pada plasma namun juga pada jaringan. Obat biasanya terikat pada albumin meskipun
beberapa obat terikat pada protein lainnya. Ikatan obat dengan albumin bersifat reversibel dan
ikatan yang terlibat biasanya adalah lemah dan spesifik.

Albumin serum manusia mempunyai BM sebesar 67.500 dan tersusun oleh 20 asam
amino yang berbeda. Jenis asam amino dan posisinya dalam molekul protein menentukan
ikatannya dengan obat. Kelompok basa misalnya arginin, histidin dan lisin bertanggung jawab
mengikat obat asam, sedangkan kelompok asam amino basa misanya asam aspartat, asam
glutamat dan tirosin mengikat obat basa. Pada pH 7,4 darah, kelompok karbonil asam
terprotonasi menjadi ion positif dan membentuk muatan positif maupun negatif pada
permukaannnya. Sehingga dapat menarik ion yang bermuatan ion beriawanan dengan kekuatan
elektrostatik. Obat dapat terikat albumin melalui ikatan hidrogen, van der Waals dan hidrofobik.
Obat asam terikat kuat pada albumin sedangkan obat basa terikat lemah pada albumin. Ikatan
tersebut bersifat reversibel dan tidak spesifik.

Gambar 17. Distribusi dan ikatan obat terhadap plasma dan protein jaringan
(Ritschel, 1992)

D = obat bebas; D-P = obat terikat protein plasma; D-T = obat terikat protein jaringan; D-R obat
terikat reseptor biofase; [ ] = konsentrasi; ↔= kondisi seimbang, ↔ = rasio konstan distribusi
dalam keadaan jenuh

Faktor-faktoryang mempengaruhi distribusi Telah disampaikan bahwa efektivitas


distribusi berkaitan langsung dengan derajat pengikatan pada protein plasma. Derajat pengikatan
obat pada protein tergantung pada afinitas obat terhadap protein, jumlah tempat pengikatan,
kadar protein dan kadar obat. Keempat faktor tersebut dipengaruhi oleh kondisi penyakit dan
pendesakan. Penyakit seperti pada organ hati, ginjal, atau luka bakar dan trauma dapat
mengakibatkan kondisi yang dinamakan hipoalbuminemia (kadar albumin mengalami penurunan
di dalam plasma). Oleh sebab itu, kadar obat dalam bentuk bebas akan meningkat sehingga akan
meningkatkan efek farmakologi obat bersangkutan. Pendesakan dapat terjadi manakala terdapat
obat lain yang mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein plasma sehingga
mengakibatkan kadar obat bebas meningkat dan pada akhirnya efek obat juga meningkat.
Pendesakan akan bermakna klinik manakala ikatan obat dan protein sebesar lebih dari 80-90 %
dan volume distribusinya kecil ( < 0,15 mL/g). Sebagai contoh warfarin dapat didesak oleh
klofibrat atau asam mefenamat sehingga meningkatkan efek antikoagulasi warfarin sehingga
penderita dapat mengalami pendarahan.

Factor-faktor penting yang berhubungan dengan distribusi obat antara lain :

 Perfusi darah melalui jaringan

Perfusi darah melalui jaringan dan organ bervariasi sangat luas. Perfusi yang tinggi
adalah pada daerah paru-paru, hati, ginjal, jantung, otak dan daerah yang perfusinya
rendah adalah lemak dan tulang. Sedangkan perfusi pada otot dan kulit adalah sedang.
Perubahan dalam aliran kecepatan darah (sakit jantung) akan mengubah perfusi organ
seperti hati, ginjal dan berpengaruh terhadap kecepatan eliminasi obat.

 Kadar gradien, pH dan ikatan zat dengan makromolekul

Penetrasi obat tergantung pada luasnya kadar gradient, bentuk yang dapat berdifusi
bebas, factor seperti pH gradient dan ikatan pada konstituen intraseluler akan
mempengaruhi akumulasi dalam jaringan.

 Partisi ke dalam lemak

Obat yang larut dalam lipid dapat mencapai kosentrasi yang tinggi dalam jaringan lemak.
Obat akan disimpan oleh larutan fisis dalam lemak netral. Jumlah lemak adalah 15% dari
berat badan dan merupakan tempat penyimpanan untuk obat. Lemak juga mempunyai
peranan dalam membatasi efek senyawa yang kelarutannya dalam lemak adalah tinggi
dengan bekerja sebagai akseptor obat selama fase redistribusi.

 Transfer aktif

Pemasukan ke dalam jaringan dapat juga terjadi dengan proses transport aktif. Metadon,
propanolol dan amfetamin diangkut ke dalam jaringan paru-paru oleh proses aktif. Hal ini
merupakan mekanisme yang penting untuk pemasukan obat tersebut yang besar dalam
paru-paru.

 Sawar

Distribusi obat ke susunan syaraf pusat dan janin harus menembus sawar khusus yaitu
sawar darah otak dan sawar uri. Sawar darah otak, penetrasi obat dari peredaran darah ke
dalam ruang ekstraseluler susunan saraf sentral dan cairan cerebrospinal dibatasi atau
ditentukan oleh keadaan permukaan absorbs.

 Ikatan obat dengan protein plasma

Factor yang penting dalam distribusi obat adalah ikatannya dengan protein plasma yang
merupakan makromolekul. Banyak obat terikat dengan protein di dalam plasma darah dan
jaringan lain. Umumnya ikatannya merupakan proses reversible dan akan berpengaruh
terhadap ketersediaan obat.

Protein yang terdapat dalam plasma dan mengadakan ikatan dengan obat adalah albumin.
Bentuk persamaan obat dengan protein dapat dituliskan sebagai berikut :

Obat + protein plasma kompleks obat-protein plasama

Ikatan senyawa kompleks obat tersebut akan berdisosiasi, hingga bentuk obat tersebut
dapat diekskresikan.

D. METABOLISME ATAU BIOTRANSFORMASI

Metabolisme mempunyai tiga tujuan utama yaitu (1) menyediakan energi bagi fungsi
tubuh dan pemeliharaan, (2) memecah senyawa yang tercema misalnya katabolisme, menjadi
senyawa yang lebih sederhana dan biosintesis molekul yang lebih komplek misalnya anabolisme,
biasanya membutuhkan energi, dan (3) mengubah senyawa asing (obat) menjadi lebih polar,
larut air dan terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi.

Metabolisme obat disebut juga biotransformasi meskipun antara keduanya juga sering
dibedakan. Sebagian ahli mengatakan bahwa istilah metabolisme hanya ditujukan untuk
perubahan-perubahan biokimiawi atau kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa
endogen sedang biotransformasi peristiwa yang sama bagi senyawa eksogen (xenobiotika).
Metabolisme obat atau biotransformasi adalah suatu perubahan secara biokimia atau kimiawi
suatu senyawa di dalam organisme hidup. Definisi lainnya adalah perubahan suatu senyawa
menjadi senyawa lainnya yang disebut metabolit yang terjadi pada sistem biologis. Reaksi
metabolisme obat tersebut sebagian besar terjadi pada oragn hati khususnya pada sub-seluler
retikulum endoplasma. Organ-organ yang bertanggung jawab dalam metabolisme obat adalah
hati, paru, ginjal, mukosa dan darah merah (tabel VIII).

Tabel VIII. Sel yang mengandung enzim metabolisme obat pada berbagai organ

Organ Sel
Hati Sel parenkim (hepatosit)
Ginjal Sel tubulus proksimal (segmen S3)
Paru Sel Clara, Sel jenis II
Usus Sel batas mukosa
Kulit Sel epitel
Testis Tubulus seminrferus, set sertoli

Metabolisme obat adalah sangat komplek. Biasanya, metabolit obat adalah lebih larut
dalam air daripada obatnya karena mengandung gugus fungsional yang dapat berkonjugasi
dengan gugus hidrofilik. Meskipum metabolit biasanya larut dalam air tetapi ada pengecualian
pada p-asam klorofenaseturat (metabolit p-asam klorofenilasetat) atau N4 -asetilsulfanilamid
(metabolit sulfanilamid). Sering bahwa metabolit obat lebih diionisasi pada pH fisiologi daripada
obatnya sehingga bentuk garam yang larut dalam air dapat menurunkan kelarutannya dalam lipid
sehingga mudah untuk diekskresikan.

Jalur metabolisme obat

Telah disampaikan bahwa tempat metabolisme obat terutama pada hati. Enzim yang
berperan dalam metabolisme obat terdapat pada fraksi mitokondrial atau mikrosomal. Bahkan
metabolisme obat dapat terjadi manakala enzim metabolisme diproduksi oleh sel-sel di sirkulasi
sistemik. Obat kemungkinan dimetabolisme dalam epitelium gastrointestinal selama absorpsi
atau oleh hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik, proses terakhir ini dinamakan efek lintas
pertama (first-pass effect) yang mengakibatkan penurunan bioavailabilitas. Reaksi metabolisme
obat atau biotransformasi dibagi menjadi 2 :

1. Metabolisme obat fase I (fase non sintetik)

2. Metabolisme obat fase II (fase sintetik)

Metabolisme obat fase I

Reaksi metabolisme obat ini disebut juga fase non sintetik atau reaksi fungsional. Reaksi
metabolisme obat ini bukan reaksi sintesis atau pembentukan suatu senyawa yang baru tetapi
menciptakan gugus fungsional reaktif bagi senyawa tersebut. Enzim reaksi metabolisme obat
fase I biasanya terdapat pada mikrosomal (retikulum endoplasma). Makna dari reaksi
metabolisme fase I ini adalah meningkatkan efek atau potensi bagi suatu senyawa dan
memudahkan suatu senyawa untuk bereaksi dengan enzim-enzim metabolisme obat fase II.
Contoh metabolisme obat fase I adalah reaksi oksidasi yang melibatkan sitokrom P-450,
oksidasi, reduksi, hidrolisis dan dehalogenasi.

Sistem mono-oksigenase P-450

Enzim sitokrom P-450 merupakan suatu haem protein. Enzim tersebut mempunyai sifat
redoks yang khusus dalam fungsi sebagai pemetabolisme. Enzim P-450 juga mempunyai sifat
spektral yang khusus dan bentuk tereduksi dari enzim tersebut dapat berkombinasi dengan
karbon monooksida untuk membentuk senyawa berwarna merah muda (pink) sehingga disebut
dengan " P " dengan absorsi maksimum pada panjang gelombang 450 (berkisar 447-452). Pada
perkembangan selanjunya, observasi periakuan tikus dengan dengan 3- metil-kolantren (senyawa
penginduksi) mengakibatkan pergeseran pada enzim tersebut. Ini membuktikan bahwa terdapat
lebih dari satu bentuk enzim sitokrom P-450.

Sistem sitokrom P-450 hepatik merupakan suatu super familia yang luas yang terdiri dari
berbagai enzim yang dibedakan oleh susunan asam aminonya, pengaturan suatu senyawa
penginduksi atau pereduksi dan spesifikasi reaksi yang dikatalisnya. Purifikasi enzim P-450 dan
klonining cDNA dapat mengklasifikasi P-450 menjadi beberapa sub-familia. Sebanyak 74 gen
familia telah diketahui dan dikelompokkan menjadi 3 sub-familia yaitu CYP 1, 2 dan 3 yang
tertibat dalam metabolisme hati pada manusia. Sebagai contoh adalah CYP1A2, CYP2A6,
CYP3A4 dan CYP2D6.

Sistem sitokrom P-450 terlibat pada reaksi metaoblisme obat oksidasi yang
membutuhkan molekul oksigen, NADPH dan flavoprotein (NADPH-P 450 reduktase). Efek dari
reaksi tersebut adalah penambahan satu atom oksigen (dari oksigen rnolekular) terhadap obat
untuk membentuk gugus hidroksi (D-OH). Lebih lanjut, senyawa hasil reaksi ini akan bersifat
lebih polar sehingga mudah diekskresikan dan mudah bereaksi dengan enzim-enzim fase
metabolisme obat fase II.

Metabolisme obat fase II

Reaksi metabolisme obat fase II disebut juga fase sintetik atau reaksi konjugasi. Reaksi
metabolisme obat fase II ini merupakan jalur detoksifikasi. Pada reaksi ini menciptakan suatu
senyawa yang baru dan biasanya metabolitnya berupa senyawa tidak aktif yang mudah
dieksresikan. Makna dari reaksi metabolisme fase II adalah metabolit yang terbentuk umumnya
bersifat polar atau mudah terionisasi pada pH fisiologi sehingga lebih mudah diekskresikan dan
mengubah molekui obat yang aktif menjadi metabolit yang relatif kurang aktif. Contoh
metabolisme obat fase II adalah reaksi konjugasi sulfat, konjugasi glukuronat dan konjugasi
merkapturat.

Gugus yang sering terlibat dalam reaksi konjugasi adalah sulfat, metil, asetil, glisil dan
glukuronil. Pembentukan glukuronida melibatkan pembentukan senyawa fosfat energi tinggi,
uridin difosfat asam glukuronat (UDPGA), dari bagian asam glukuronat ditransfer pada atom
kaya elektron (N, O atau S) pada substrat membentuk suatu amida, ester atau tiol. Reaksi
tersebut dikatalis oleh enzim UDP glukuronil transferase yang mempunyai spesifikasi substrat
yang luas sehingga rekasi tersebut dapat terjadi pada beberapa obat dan juga pada senyawa
endogen seperti bilirubin dan kortikosteroid adrenal. Reaksi asetilasi dan metilasi terjadi
berturut-turut dengan asetil-KoA dan S-adenosil metionin beraksi sebagai senyawa donor.

Beberapa reaksi metabolisme baik fase I maupun II beserta contoh obatobatnya disajukan
pada tabel IX, dan Beberapa gugus fungsional obat beserta kemungkinan reaksi metabolismenya
disajikan pada tabel X.
Tabel X Beberapa gugus fungsiona! obat beserta kemungkinan reaksi
metabolismenya

Kelas kimia dan gugus fungsional obat Tipe metabolisme dapat terjadi
Cincin aromatik Hidroksilasi
Gugus hidroksil alifatik Oksidasi, konjugasi glukuronat atau sulfat
pada rantainya
Gugus hidroksil aromatik Hidroksilasi, konjugasi sulfat atau
glukuronat, metilasi pada cincin
Gugus karboksil alifatik Konjugasiasam asam amino atau glukuronat
Gugus karboksil aromatic Hidroksilasi, konjugasi asam amino atau
glukuronat,
Amina primer alifatik Deam.nasi, metilasi
Amina primer aromatik Hidroksilasi, konjugasi glukuronat atau
sulfat, asetilasi atau metilasi
Amina sekunder dan tersier
Dealkilasi,metilasi
Gugus Sulfhidnl
Oksidasi, konjugasi glukuronat, metilasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat

Metabolisme obat di dalam tubuh dapat mengalami perubahan dan hal ini membawa
dampak pada perubahan efek farmakologi obat yang bersangkutan, Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi metabolisme obat adalah :

1. Intrinsik obat

Faktor intrinsik obat ini meliputi kelarutannya dalam lipid, ikatan protein plasma, dosis
yang digunakan dan cara pemberian.

2. Fisiologi organisme

Faktor fisiologi ini adalah jenis makhluk hidup, galur (ras), jenis kelamin, umur dan
kondisi kehamilan. Malation suatu jenis pestisida, pada mamalia dan manusia diubah menjadi
malation diasid dan mengalami dekarboksilasi dan dikonjugasikan dengan enzim metabolisme
fase II untuk diekskresikan, sedangkan pada insektisida malation diubah menjadi malaokson
yang bersifat toksik. Kasus serupa juga terjadi pada heksobarbital yang disajikan pada tabel XI.

Tabel XI. Durasi, waktu paro dan aktivitas enzim metabolisme pada beberapa
makhluk hidup (Gibson dan Skett, 1986)

Spesies Durasi efek (menit) Waktu paro Aktivitas enzim


(menit) (ng/g/jam)
Mencit 12 19 598
Kelinci 49 60 196
Tikus 90 140 135
Anjing 315 260 36
Proses asetilasi sulfonilamid pada tikus jantan lebih efektif dibandingkan betina. Hal ini
dipengaruhi oleh perbedaan faktor hormonal dari kedua jenis kelamin tersebut. Faktor perbedaan
ras juga dapat mempengaruhi reaksi metabolisme misalnya pada asetilasi beberapa obat antara
lain sulfonamida dan isoniasid. Perbedaan ras tersebut, proses metabolisme asetilasi pada
manusia dibagi menjadi dua tipe yaitu asetilator cepat, dimana proses metabolisme asetilasinya
relatif lebih cepat dan asetilastor lambat, sebaliknya.

3. Farmakologi

Faktor ini meliputi induksi dan inhibisi enzim metabolisme. Beberapa obat yang dapat
menginduksi senyawa lain misalnya fenobarbital, progesteron dan tolbutamid. Obat tersebut
dapat menginduksi enzim metabolisme obat sehingga keberadaan obat dalam tubuh menjadi
berkurang mengakibatkan penurunan efen klinik obat. Sedangkan inhibitor enzim misalnya
aspirin, kloramfenikol, fenilbutason yang masing-masing menghambat metabolisme fase I
klorpropamid, heksobarbital dan difenilhidantion. Adanya inhibitor tersebut akan menghambat
reaksi metabolisme obat sehingga keberadaan obat dalam tubuh meningkat dan sebagai
konsekuensi klinik adalah kenaikan efek farmakologinya.

4. Kondisi patologi

Kondisi patologi meliputi jenis dan tingkat penyakit dapat mempengaruhi metabolisme
suatu obat. Telah disampaikan bahwa hati merupakan organ utama bagi reaksi metabolisme obat
sehingga apabila terjadi kondisi patologi pada organ tersebut misalnya nekrosis hepar atau
hepatitis maka obat yang lebih dominan dimetabolisme di hati seperti tolbutamid dapat
mengalami gangguan metabolisme sehingga efek farmakologinya dapat meningkat. Dalam hal
ini, pengetahuan mengenai penyesuaian dosis pada penderita tersebut adalah penting bagi pada
apoteker yang akan berkerja di rumah sakit.

5. Susunan makanan

Unsur-unsur makanan meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin, unsur runutan dan
alkohol dapat mempengaruhi metabolisme obat. Ini terkait bahwa unsur makanan tersebut dapat
memacu kemampuan baik secara kualitas maupun kapasitas enzim metabolisme obat khususnya
P-450 untuk mengkatalisis reaksi metabolisme obat.

6. Lingkungan

Faktor lingkungan meliputi produk petroleum, logam berat dan insektisida yang berasal
dari cemaran lingkungan. Mekanisme dari faktor tersebut adalah juga terkait dengan
kemampuannya menginduksi atau menghambat enzim pemetabolisme.

E. EKSKRESI

Ekskresi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik (darah) menuju ke organ
ekskresi. Obat mengalami ekskresi untuk keperluan detokstfikasi obat tersebut. Apabila obat
tidak diekskresi maka obat akan tertinggal dalam tubuh dan mengakibatkan ketoksikan pada
organisme bersangkutan. Tempat atau jalur ekskresi adalah melalui ginjal (organ utama), hati
atau empedu, paru, kelenjar saliva, kelenjar susu dan kelenjar keringat, seperti disajikan pada
tabel XII. Pada kesempatan ini hanya dibahas detail ekskresi melalui ginjal dan hati karena dua
mekanisme tersebut merupakan mekanisme ekskresi dari kebanyakan obat.

Tabel XII. Pola dan Mekanisme Eksresi

Pola Eksresi
Jalur ekskresi Mekanisme contoh
Urin Filtrasi glomerulus, sekresi Semua obat dalam bentuk
tubular aktif ion, penisilin, diuretik
merkurat organic
Empedu Transport aktif, difusi pasif Senaya ammonium striknin,
dan kuartener, pinositosis kuinin, tetrasiklin
Intestin / usus Difusi pasif dan sekresi Asam organic terionisasi
empedu
Saliva Difusi pasif dan transport Penisilin, tetrasiklin, tiamin,
aktif etanol dan eter
Paru
Difusi pasif Kamfor, amonium klorida,
iodida, natrium bikarbonat
Keringat
Difusi pasif Asam dan basa lemah
organik, tiamin
Susu
Difusi pasif dan transport Basa organik lemah, anastesi,
aktif eritromisin, streptomisin,
kanamisin dan gentamisin

Mekanisme ekskresi

1. Ekskresi melalui ginjal Organ utama dalam proses ekskresi adalah ginjal. Sebelum
membahas tentang mekanisme mi, terlebih dahulu membahas anatomi dan fisiologi ginjal. Ginjal
mempunyai panjang 10-12 cm dan panjang 5-6 cm, dengan berat 120-200 g. Fungsi organ ini
adalah mengekskresikan senyawa dari darah guna memelihara atau mempertahankan miliu
internal. Dalam ginjal dikenal suatu unit unit fungsional dimana proses ekskresi terjadi yaitu
nefron. Tiap ginjal mengandung sekitar 1 juta nefron dan tiap nefron terdiri dari bagian kapiler
dan pembuluh. Bagian pembuluh terdiri dari pembuluh proksimal, lengkung Henle dan
pembuluh distal, sedangkan bagian kapiler terdiri dari glomerulus yang terdapat dalam jaringan
ikat berbentuk kapsul yang dinamakan Bowman. Gambaran anatomi unit nefron disajikan pada
gambar 18.

Darah dari arteri masuk ke jaringan kapiler melalui arteri afferent. Apabila tekanan intra-
kapiler lebih tinggi daripada tekanan dalam tubulus lumen, cairan yang mengandung senyawa
teriarut pada plasma disaring menembus dinding kapiler dan melalui pori-pori epitelium kapsul
Bowman menuju lumen tubulus. Filtrasi glomelurus dibatasi oleh suatu ukuran molekul senyawa
yaitu kurang dari 20.000 dan dalam bentuk bebasnya. Selanjutnya filtrat akan melalui lumen
tubulus proksimal, lengkung Henle dan tubulus distal memasuki duktus kolektifus. Selama
proses ini senyawa obat dapat mengalami reabsorpsi ke sirkulasi sistemik kembali. Secara
ringkas, proses atau mekanisme ekskresi ginjal melalui 3 tahap yaitu :

● Filtrasi glomerulus

● Sekresi atau reabsorpsi tubulus aktif

● Difusi pasif menembus epitelium tubular

Gambar 18. Struktur anatomi unit nefron dan fungsinya (Ritschel, 1992)

2. Ekskresi melalui emperdu

Sel hati mentransfer beberapa senyawa dari darah menuju empedu dengan mekanisme
yang mirip dengan tubulus renal, dan juga melibatkan Pglikoprotein. Berbagai konjugat obat
hidrofilik (khususnya glukuronida) berada dalam empedu dan dipindahkan menuju usus dimana
glukuronat dihidrolisis, menghasilkan obat bebas dan aktif. Obat aktif tersebut dapat mengalami
reabsorpsi menuju sirkulasi sistemik, peristiwa ini dinamakan sirkulasi enterohepatik. Contort
dari peristiwa ini adalah morfin dan etinilestradiol.

Kliren (Clearance)
Kliren renal (CLR) adalah volume plasma yang mengandung senyawa yang
dipindahkan oleh ginja! per satuan waktu. Definisi lain adalah volume darah yang
dibersihkan dari obat oleh ginjal per satuan waktu. Kliren merupakan tolok ukur
keefektifan ekskresi suatu obat. Kliren tersebut dihitung berdasarkan konsentrasi obat
dalam plasma (Cp) dan konsentrasi obat dalam urin (Cu) dan kecepatan alir urin (Vu)
seperti pada persamaan berikut ini:

CuVu
CL ꓣ = _____________
Cp

Harga kliren renal bervariasi tergantung pada obat yang bersangkutan dan bervariasi hingga 700
mUmenit. Kliren renal ini merupakan representasi dari kecepatan eliminasi obat melalui ginjal.
Kecepatan eliminasi obat melalui ginjal adalahj jumlah kecepatan filtrasi glomerulus dan
kecepatan sekresi tubular dikurangi kecepatan reabsorpsi tubular.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ekskresi

Telah disebutkan sebelumnya bahwa kliren renal dipengaruhi oleh kecepatan filtrasi glomerulus,
sekresi tubular dan kecepatan reabsorpsi tubular. Semakin besar kecepatan filtrasi glomerulus
dan sekresi tubular maka ekskresi obat akan meningkat, namun semakin besar reabsorpsi tubular
menurunkan ekskresi suatu obat. Selain ketiga faktor tersebut, ekskresi dipengaruhi oleh aliran
darah di ginjal, ikatan dalam darah, pH urin dan aliran urin.

Amfetamin suatu basa lemah akan mengalami reabsorpsi apabila pH urin dibuat basa
karena terbentuk senyawa yang tidak terionisasi yang cenderung larut dalam lemak. Sebaliknya,
pengasaman urin akan menyebabkan amfetamin menjadi terionisasi (bentuk garam). Bentuk
garam lebih mudah larut dalam air dan sedikit direabsorpsi dan mempunyai kecenderungan
diekskresi dalam urin lebih cepat.
REFERENSI

Albert, B., Bray, D., Lewis, J., Raff, M., Robert, K. and Watson, J.D., 1994., Molecular
Biology of

The Cell, 3 rd Ed., Garland Publishing Inc., New York.

Bowman, W.C. and Rand, M.J., 1980, Textbook of Pharmacology, 2 nd Ed., Blackwell
Scientific

Publications, Melbourne.

Brody, T.M., Lamer, J.L., Minneman, K.P., and Neu, H.C. (Ed.), 1994, Human
Pharmacology, 2 nd

Ed., Mosby, Sydney.

Ganiswara, S.G. (Ed.), 1995, Farmakologi dan Terapi, Ed. IV, Bagian Farmakologi FK
Ul, Jakarta.

Gibson, G.G. and Skett, P., 1986, Introduction to Drug Metabolism, Chapman and Hall,
London.

Gilman, A.G., Rail, T.W., Nies, A.S., Taylor, P., (Eds.), 1996, The Pharmacological
Basic of

Therapeutics, 9 th Ed., McGraw-Hill Inc., Singapore.

Kenakin, T., 1997, Moleculer Pharmacology, Blackwell Science Inc, Oxford.

Mutschler, E., 1986, Dinamika Obat, diterjemahkan oleh Widiyanto, M.B. dan Ranti,
A.S., Ed. V,

88-93, Instrtut Teknologi Bandung.

Neal, M.J., 1997, Medical Pharmacology at A Glance, 3 rd Ed., Blackwell Science Inc,
Oxford.

Pratt, W.B. and Taylor, P., 1990, Principles of Drug Action, Churchill Livingstone, New
York.

Rang, H.P., Dale, M.M., and Ritter, J.M., 1999, Pharmacology, 4 th Ed., Churchill
Livingstone,

Melbourne.

Ritschel, 1992, Handbook of Basic Pharmacokinetics, 4 th Ed., Hamilton, Illinois.

Rowland, M. and Tozer., T.M., 1989, Clinical Pharmacokinetics : Concept and


Application, 2 nd

Ed., 9-65, 246-266, Lea and Febiger, Philadelphia.


Shargel, L. and Yu, A.B.C., 1999, Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics, 4
TH Ed,

Appleton and Lange, Norwalk, Connecticut, New York.

Stringer, J.L., 2001, Basic Consepts in Pharmacology, 2 nd Ed., McGrawHill


International,

Singapore.

You might also like