You are on page 1of 19

MAKALAH

SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM KONTEMPORER: STUDI NEGARA ARAB


SAUDI, TURKI, INDONESIA

(Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Nizam Daulah)

Dosen pengampu: Miski, M.Sos.

Disusun Oleh:

Muh. Yasin Farhan (20103070124)

Muhammad Haikal Hilmi (20103070129)

Candrika Vania (20103070029)

Hany Ubaidillah (20103070087)

Fatlinda Norma Meilani (20103070063)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2023
Abstrak

Islam memiliki sejarah panjang sebagai agama dan sistem pemerintahan yang telah
mempengaruhi berbagai negara dan masyarakat di seluruh dunia. Dalam Islam sudah mengenal
model sistem pemerintahan sejak zaman Nabi dengan memakai sistem Teokrasi, dan Islam
telah memiliki model-model pemerintahan yang berbeda, mulai dari kekhalifahan di masa awal
Islam hingga berbagai bentuk pemerintahan Islam kontemporer. Pada sistem pemerintahan
Islam kontemporer merujuk pada berbagai model pemerintahan yang menerapkan prinsip-
prinsip Islam dalam konstitusi dan kebijakan pada masing-masing negara, seperti Arab Saudi
dengan sistem pemerintahan Monarki Islam yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, serta
memiliki kebijakan yang sangat terkait dengan agama. Di sisi lain, Turki dengan negara yang
memakai sistem pemerintahan parlementer, serta mengadopsi pendekatan yang lebih sekuler
dalam sistem pemerintahannya. Meskipun mayoritas penduduknya Muslim, Turki memisahkan
agama dan negara dengan menganut prinsip sekularisme. Berbeda dengan Indonesia, yakni
negara presidensial yang mencerminkan pendekatan yang inklusif dan pluralistik, negara
dengan mayoritas penduduknya Muslim, negara mengakui dan menghormati keberagaman
agama dan budaya yang ada di dalamnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian
ini bertujuan untuk memaparkan lebih lanjut tentang sistem pemerintahan islam kontemporer
yang di anut oleh negara Arab Saudi, Turki, dan Indonesia. Dalam penelitian ini memakai
yuridis normatif dengan menggunakan metode studi kepustakaan. Dengan sifat penelitian
deskriptif analisis, dan menggunakan pendekatan yang dilakukan yakni pendekatan historical
dan juga konseptual yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian.

Kata kunci : Pemerintahan Islam, Kontemporer, Arab Saudi, Turki, Indonesia


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam memiliki sejarah panjang sebagai agama dan sistem pemerintahan yang telah
mempengaruhi berbagai negara dan masyarakat di seluruh dunia. Dalam Islam sudah
mengenal model sistem pemerintahan sejak zaman Nabi, di antaranya pada jaman Nabi
memakai sistem Teokrasi (pemerintahan Tuhan yang dilaksanakan oleh Nabi), jaman
Sahabat memakai sistem Teodemokrasi (nilai-nilai ketuhanan yang ada pada sahabat), dan
jaman Umayah memakai sistem Monarki (kerajaan). Sejak awal sejarahnya, Islam telah
memiliki model-model pemerintahan yang berbeda, mulai dari kekhalifahan di masa awal
Islam hingga berbagai bentuk pemerintahan Islam kontemporer.

Sistem pemerintahan Islam kontemporer merujuk pada berbagai model pemerintahan


yang menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam konstitusi dan kebijakan mereka. Islam
merupakan ajaran yang diberikan kepada manusia untuk dijadikan dasar pedoman hidup
sebagai nilai-nilai dasar yang diturunkan Allah SWT,1 Meskipun tidak ada satu model yang
diadopsi secara universal, beberapa bentuk sistem pemerintahan Islam kontemporer yang
umum ditemukan diantaranya adalah:

• Republik Islam: Beberapa negara, seperti Iran, menganut sistem pemerintahan


republik dengan elemen Islam yang kuat. Dalam model ini, terdapat kombinasi antara
elemen demokrasi modern dan prinsip-prinsip Islam. Pemimpin tertinggi negara biasanya
seorang ulama atau pemimpin agama dengan kekuasaan yang signifikan dalam hal
kebijakan negara.
• Monarki Islam: Beberapa negara, termasuk Arab Saudi dan Yordania, menganut
sistem pemerintahan monarki dengan dasar Islam. Dalam model ini, raja atau penguasa
monarki adalah kepala negara dan kepala pemerintahan, dan hukum Islam (Syariah) sering
menjadi sumber hukum yang penting.
• Demokrasi Islam: Beberapa negara, seperti Turki dan Indonesia, menganut
sistem pemerintahan demokrasi dengan dasar Islam. Dalam model ini, prinsip-prinsip
Islam dihormati dan diakui sebagai sumber inspirasi dalam pembuatan kebijakan, tetapi

1
Ali Anwar Yusuf, Wawasan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 33.
ada pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Partai politik berbasis Islam
berpartisipasi dalam proses politik dan pemilihan umum.
• Konstitusi Islam: Beberapa negara memiliki sistem pemerintahan yang
berdasarkan pada konstitusi Islam yang ditetapkan sebagai hukum dasar negara. Konstitusi
ini biasanya mencakup ketentuan-ketentuan yang mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-
prinsip Islam dalam sistem pemerintahan, seperti Pakistan dengan konstitusi Islami.

Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam praktiknya, implementasi sistem


pemerintahan Islam kontemporer dapat bervariasi di setiap negara. Prinsip-prinsip dan
ajaran Islam diinterpretasikan secara berbeda dan terdapat keragaman dalam praktik dan
penerapan Islam dalam sistem pemerintahan di negara-negara yang menganut Islam. Hal
seperti dapat terjadi karena di latar belakangi oleh sejumlah faktor historis, politik, dan
sosial. Berdasarkan uraian singkat diatas, maka dalam penelitian ini bertujuan untuk
memaparkan lebih lanjut tentang sistem pemerintahan islam kontemporer yang di anut
oleh negara Arab Saudi, Turki, dan Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem pemerintahan Islam kontemporer diterapkan pada negara Arab
Saudi, Turki, dan Indonesia?
2. Apa yang menjadi perbedaan antara sistem pemerintahan yang diterapkan pada
negara Arab Saudi, Turki, dan Indonesia?

C. Metode penelitian.

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode studi
kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan melalui referensi pustaka yang relevan dan
terkait dengan topik penelitian, yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari sumber-sumber kepustakaan, seperti buku, jurnal, artikel, dan dokumen
lainnya.2 Dengan sifat penelitian deskriptif analisis, yaitu metode untuk mendeskripsikan,
menjelaskan, dan memberikan gambaran tentang suatu objek yang diteliti melalui data atau
sampel yang telah dikumpulkan. Sifat dari penelitian ini ditujukan untuk saran tentang apa

2
Winarmo Surachman, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode, dan Teknik, (Bandung:Tarsito,
1990), hlm.139.
yang harus dilakukan memecahkan masalah tertentu.3 Pendekatan yang dilakukan yakni
pendekatan historical dan juga konseptual yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian.

BAB 11

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Pemerintahan Kerajaan Arab Saudi


Negara yang memiliki nama lengkap Kingdom of Saudi Arabia/ Al-Mamlakah
Al-Arabiyah As-Sa’udiyah, merupakan negara yang menganut sistem kerajaan. Sumber
pendapatan negara ini sebagian berasal dari penglolaan minyak bumi. Banyaknya
minyak bumi di Arabb Saudi, telah memperkuat kerajaan Saud hingga sekarang.
Namun, faktor tersebut tidak membuat kerajaan ini melepaskan Islam sebagai asas
konstitusi negara. Kekayaan warisan dan sejarah yang erat hubungannya dengan Islam
menjadi salah satu alasannya. 4
Mayoritas penduduk di Arab Saudi menganut agama Islam. Negara ini secara
resmi didirikan pada tanggal 23 September 1932 setelah perjuangan Abdul Aziz bin
Abdurrahman bin Faisal Al-Saud atau Ibn Saud. Sebagai raja pertama Arab Saudi, Ibn
Saud berhasil membangun sistem pemerintahan yang berbentuk monarki absolut.
Hingga saat ini, Arab Saudi telah mengalami tujuh periode kepemimpinan, yaitu:
pertama, Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud (1935-1953); kedua, Saud bin Abdul
Aziz Al-Saud (1953-1964); ketiga, Faisal bin Abdul Aziz Al-Saud (1964-1975);
keempat, Khalid bin Abdul Aziz Al-Saud (1975-1982); kelima, Fahd bin Abdul Aziz
Al-Saud (1982-2005). Keenam, Abdullahgbin Abdul Aziz Al-Saud (2005-2014).
Ketujuh, Salman bin AbdulaAziz Al-Saud (2015-2017),2 dan saat ini Arab Saudi
dipimpin oleh Mohammed bin Salman atau orang Barat menyingkat (MBS). 5
Masyarakat Arab Saudi memiliki karakter kabilah (kesukuan) dan kekeluargaan
yang kuat, sehingga lebih mengutamakan suku di atas pribadi, kehormatan keluarga
dan kabilah yang utama. Sistem kabilah ini berpengaruh terhadap cara orang Arab
Saudi memperlakukan tamu. Tamu merupakan orang yang harus dihormati, dan harus
dilindungi kalau perlu dengan nyawa, khususnya ketika salah satu anggota sukunya
sedang berada diluar wilayah sukunya. Sikap timbal balik penghormatan tamu antar

3
Soerjono Sekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. Re-3 (kartu Ul-Press, 1986), hlm. 10.
4
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII: akar
Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 53-53.
5
Abu Haif, Perkembangan Islam di Arab Saudi (Studi Sejarah Islam Modern), (Jakarta, Rihlah: Jurnal
Sejarah dan Kebudayaan 3, no. 01, 2015), hlm. 15–16.
kabilah tersebut yang kemudian menciptakan citra bahwa orang Arab sangat
menghormati tamu. Profil masyarakat dan budaya Arab6.
Di samping itu, Arab Saudi merupakan sebuah kerajaan dengan sistem
pemerintahan berbentuk monarki absolut, di mana satu orang raja menjabat sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan. Negara ini mengklaim bahwa konstitusi
kerajaannya didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Di negara
ini, tidak ada partai politik yang diizinkan berdiri atau beroperasi.
Arab Saudi menerapkan sistem pemerintahan berbentuk monarki absolut,
namun negara ini memiliki sistem pembagian kekuasaan yang terdiri dari lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serupa dengan negara-negara republik lainnya,
meskipun keberadaan lembaga-lembaga tersebut masih di bawah pengawasan raja dan
belum memiliki independensi sepenuhnya seperti yang berlaku dalam sistem
pemerintahan republik, misalnya seperti di Indonesia. Pemimpin eksekutif di Arab
Saudi adalah raja, dengan perdana menteri saat ini adalah Mohammed ibn Salman sejak
tahun 2017.

Hubungan Agama dan Pemerintahan Arab Saudi


Pada dasarnya, Arab Saudi tidak memiliki konstitusi formal yang tertulis.
Meskipun demikian, Kerajaan Arab Saudi telah menyatakan bahwa "prinsip-prinsip
utama yang terdapat dalam Al-Qur'an dianggap sebagai hukum dasar Arab Saudi."
Dengan perkataan lain, al-Qur’an dan as-Sunnah adalah Undang-Undang Dasar tertulis
Kerajaan Saudi Arabia7.
Menurut pandangan Kerajaan Arab Saudi, Al-Qur'an dianggap sebagai sumber
utama Syariah. Karena Syariah tidak secara khusus mengatur pelaksanaan urusan
pemerintahan, para penguasa Arab Saudi, mulai dari Raja Abdul Aziz, telah
mengeluarkan banyak peraturan yang terkait dengan fungsi pemerintahan. Pada awal
tahun 1992, Raja Fahd menjadi raja pertama Arab Saudi yang menggabungkan
peraturan-peraturan tersebut ke dalam satu dokumen yang dikenal sebagai Nizham Al-
Asasi lil Hukmi Tahun 1412 H/1992 M, yang secara keseluruhan disebut sebagai The

6
KBRI Riyadh, Profil Masyarakat dan Budaya Arab Saudi, Kementerian Luar Negeri Repulik
Indonesia, diakses pada tanggal 29 Mei 2023, https://kemlu.go.id/riyadh/id.
7
6 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Bogor: Kencana, 2003), hlm.
220.
Basic Law of Government atau hukum dasar pemerintahan (mirip dengan konsep
hukum dasar di Indonesia yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945).
Walaupun Arab Saudi menyatakan bahwa negaranya berdasarkan pada Al-
Qur'an dan Sunnah, namun dalam praktiknya, dekrit raja memiliki kekuatan tertinggi
dalam hukum. Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 7 dari Nizham al-Asasi lil Hukmi
tahun 1412 H yang menyatakan bahwa "kekuasaan rezim berasal dari Al-Qur'an dan
Sunnah Nabi yang mengatur segala hal dan semua hukum negara." Bahkan,
berdasarkan Pasal 6, warga negara diwajibkan bersumpah setia kepada raja berdasarkan
Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, termasuk kewajiban untuk mendengar dan taat kepadanya,
baik dalam keadaan miskin maupun sejahtera, dalam sukacita maupun duka.
Dalam konteks menggambarkan posisi agama di negara, Kerajaan Arab Saudi
dengan tegas menyatakan bahwa Islam adalah agama resmi Saudi Arabia. Saudi Arabia
adalah salah satu negara yang menjadikan Islam sebagai dasar negara dan agama
negara. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Saudi Arabia didasarkan pada ajaran
agama Islam, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Hukum Dasar Arab Saudi.
Menurut hukum dasar ini, tidak ada pemisahan antara agama dan negara; Islam adalah
agama dan negara (din wa dawlah). Dalam konteks ini, Saudi Arabia telah menegaskan
dirinya sebagai negara berbasis agama, di mana Islam menjadi hukum dasar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini menandakan bahwa pemerintahan Saudi
Arabia didirikan atas dasar keadilan, konsultasi, dan kesetaraan, sesuai dengan syariat
Islam. Masyarakat Saudi Arabia diharapkan mematuhi penerapan syariat Islam. Bagi
bangsa Saudi, agama dan negara merupakan dua komponen yang erat terkait dan
membentuk satu kesatuan yang utuh, yang mencakup seluruh aspek kehidupan sosial
dan politik. Islam memiliki pengaruh sosial dan politik yang luas di Arab Saudi karena
tidak ada pemisahan antara agama dan negara.
Peran politik para ulama dan kehadiran ulama itu sendiri sangat penting bagi
keluarga penguasa Al-Saud. Hubungan erat antara ulama, pendukung interpretasi ketat
Islam oleh Muhammad ibn Abd al Wahhab, dan Al-Saud telah terbentuk sejak abad ke-
18 dan memberikan legitimasi utama bagi dinasti tersebut. Ulama berperan sebagai
kekuatan konservatif dalam menjaga nilai-nilai sosial dan politik tradisional yang telah
menjadi ciri khas Arab Saudi sejak awal tahun 1990-an.

Sistem Pemerintahan
Arab Saudi memiliki sistem pemerintahan yang dikenal sebagai monarki absolut.
Artinya, kekuasaan pemerintahan terpusat pada keluarga Kerajaan Saudi. Dalam sistem ini,
Raja memiliki kekuasaan mutlak dan keputusan-keputusan penting diambil oleh Raja atau
kerabat dekatnya. Ia memiliki wewenang luas dalam mengambil keputusan politik,
ekonomi, dan sosial yang signifikan bagi negara. Raja di Arab Saudi secara tradisional
berasal dari keluarga Al Saud.

Di samping Raja, terdapat Dewan Penyantun yang bertindak sebagai konsultatif


bagi Raja. Dewan Penyantun terdiri dari para anggota senior keluarga Kerajaan, tokoh-
tokoh agama, dan tokoh-tokoh masyarakat yang dipilih secara langsung oleh Raja. Dewan
ini memberikan nasihat kepada Raja dalam membuat keputusan-keputusan penting. Selain
itu, ada juga Majelis Syura, yang merupakan badan legislatif di Arab Saudi. Majelis Syura
terdiri dari 150 anggota yang ditunjuk oleh Raja dan memiliki wewenang untuk
memberikan saran dan membuat rekomendasi dalam proses perumusan kebijakan. Namun,
keputusan-keputusan akhir tetap ada di tangan Raja.

Seluruh lembaga pemerintahan di Arab Saudi didasarkan pada prinsip-prinsip


Islam, dan agama memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan politik dan sosial negara
tersebut. Keluarga Kerajaan Saudi dianggap sebagai penjaga dan pemelihara dua situs suci
Islam, yaitu Makkah dan Madinah. Dalam sistem pemerintahan Arab Saudi, Raja dan
keluarga Kerajaan Saudi memainkan peran sentral dalam mengambil keputusan politik dan
mengatur negara. Meskipun ada beberapa lembaga konsultatif dan legislatif, kekuasaan
utama tetap berada di tangan Raja dan keluarga Kerajaan.

B. Sistem Pemerintahan Turki


Sistem pemerintahan Turki mengadopsi prinsip sekularisme, yang berarti
adanya pemisahan antara agama dan negara. Konsep sekularisme ini memiliki arti
bahwa pemerintahan dan urusan negara tidak diatur oleh agama tertentu dan tidak
mendiskriminasikan warga negara berdasarkan agama mereka, yang berlaku pada tahun
1923 pada kekuasaan Mustafa Kemal Attaturk. Hal ini terjadi dengan tekad untuk
mengubah Turki dari kekaisaran Islam menjadi negara modern yang berlandaskan pada
prinsip sekularisme. Atatürk berupaya memisahkan agama dari kekuasaan politik, dan
melakukan reformasi yang luas untuk melahirkan sistem pemerintahan yang lebih
inklusif dan modern.
Demikian, pada sistem pemerintahan Turki yang sekuler memiliki tujuan untuk
menjaga pemisahan antara agama dan negara, memberikan kebebasan beragama
kepada warga negara, dan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dalam
pengambilan keputusan politik. Meskipun tetap menghadapi tantangan dan perdebatan,
prinsip sekularisme tetap menjadi karakteristik kunci dalam sistem pemerintahan
Turki.Pada Awalnya turki merupakan kesultanan besar dimasa kepemimpinan Utsmany
dan sekarang telah menjadi Republik Turki.
Pemerintah pusat Turki memiliki kekuasaan penuh atas pemerintahan lokalnya,
hal ini dikarenakan bentuk negaranya yang berbentuk negara kesatuan. Sistem
pemerintahan Turki saat ini menggunakan Sistem Pemerintahan Parlementer, dengan
Presiden selaku kepala Negara dan Perdana Menteri selaku kepala pemerintahan. Sejak
amandemen konstitusi 2007, Presiden Turki dipilih oleh Parlemen (The Grand National
Assembly/TGNA). Presiden terpilih kemudian mengangkat Perdana Menteri,
kemudian Perdana Menteri membentuk Dewan Menteri dengan susunan yang telah
disetujui oleh Presiden. Presiden tidak dapat memberhentikan Menteri tanpa
persetujuan dari Perdana Menteri karena Perdana Menterilah yang menjalankan
pemerintahan di Turki. Perdana Menteri dan Dewan Menteri tidak bertanggung jawab
kepada Presiden, melainkan bertanggung jawab kepada Parlemen. 8
Sistem parlementer yang dilaksanakan di Turki adalah sebuah sistem
pemerintahan yang parlemennya memiliki peranan penting dalam pemerintahan.
Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan
parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan
semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem presidensiil, sistem parlemen
dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang
terhadap jalannya pemerintahan. Dalam presidensiil, presiden berwenang terhadap
jalannya pemerintahan, akan tetapi dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi
simbol kepala negara saja.
Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung
dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen,
sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada
pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif, menuju

8
Bahrum Siregar: Makalah Sistem Pemerintahan Turki.
kritikan dari beberapa yang merasa kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang
ditemukan dalam sebuah republik kepresidenan.
Presiden Turki juga bukan hanya “simbol” negara saja, namun Presiden punya
kewenangan mengembalikan seluruh produk undang-undang (kecuali UU Anggaran)
kepada Parlemen untuk dipertimbangkan kembali keberlakuannya. Dan jika Parlemen
berkeras untuk tetap memberlakukan tetapi Presiden menolak, Presiden dapat
memanfaatkan Mahkamah Konstitusi guna memutuskannya. Selain itu, Presiden
memiliki kewenangan untuk mengadakan Pemilu ulangan jika terjadi kebuntuan
politik.
Peran Presiden yang besar juga terlihat dalam kewenangannya untuk
memutuskan penggunaan Angkatan Bersenjata Turki, mengangkat kepala-kepala Staf
Angkatan Perang, dan bersama-sama TGNA (Turkish Grand National Assembly)
berposisi selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang. TGNA sendiri adalah badan
legislatif Turki yang berkuasa membuat UU-nya tidak bisa didelegasikan kepada badan
lain. Anggotanya terdiri atas 550 orang yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Masa
tugasnya 5 tahun. Presiden Turki juga memiliki sharing kuasa eksekutif dengan Perdana
Menteri.
Menurut pasal 146 Konstitusi Turki , Mahkamah Konstitusi terdiri dari 11
anggota biasa dan 4 anggota pengganti. Presiden Republik mengangkat dua anggota
biasa dan dua anggota pengganti dari Pengadilan Banding Tinggi, dua anggota biasa
dan satu anggota pengganti dari Dewan Negara, dan satu anggota masing-masing dari
Pengadilan Banding Tinggi, Pengadilan Administratif Tinggi, Pengadilan Militer dan
Pengadilan Audit tiga calon masing-masing dinominasikan untuk masing-masing
jabatan yang kosong oleh Majelis Lengkap dari masing-masing pengadilan dari antara
presiden dan anggota-anggota mereka masing-masing, dengan mayoritas mutlak dari
jumlah seluruh anggota.9
Mahkamah Konstitusi Turki didirikan pada 26 April 1962, sesuai dengan
ketentuan Konstitusi 1961. Sebelumnya, parlemen memiliki superioritas mutlak sesuai
dengan prinsip konstitusional. Saat itu tidak ada lembaga hukum untuk meninjau
kembali konstitusionalitas undang-undang yang disahkan oleh parlemen, dan berbagai
keputusan dan tindakan pemerintah.

9
Wahyu purhantara : Jurnal Negara Sekuler Turki, Volume 6 Nomor 2, 2004.
Mahkamah Konstitusi memilih Presiden dan wakil presiden dari antara
anggota-anggota biasanya untuk masa jabatan selama empat tahun dengan pemilihan
rahasia dan dengan mayoritas mutlak dari seluruh jumlah anggotanya. Mereka dapat
dipilih kembali pada akhir masa jabatannya. Anggota-anggota Mahkamah Konstitusi
dilarang memegang jabatan resmi dan swasta lainnya, selain dari fungsi-fungsi utama
mereka.

Hubungan Agama dan Negara

Turki adalah negara dengan mayoritas penduduknya Muslim, namun negara ini
menganut prinsip sekularisme yang mengedepankan pemisahan antara agama dan
negara. Turki juga telah menjalankan sistem pemerintahan yang berdasarkan prinsip
demokrasi parlementer. Negara ini memiliki parlemen yang terdiri dari anggota yang
dipilih melalui pemilihan umum. Proses pengambilan keputusan politik dilakukan
melalui mekanisme demokratis, di mana semua warga negara memiliki hak untuk
berpartisipasi dalam proses tersebut.
Meskipun prinsip sekularisme menjadi dasar sistem pemerintahan Turki, dalam
beberapa tahun terakhir, terjadi pergeseran politik yang mengarah pada peningkatan
pengaruh agama dalam kebijakan publik. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP),
yang berhaluan Islam, telah berkuasa di Turki sejak tahun 2002. Di bawah
pemerintahan AKP, terjadi upaya untuk memperkuat identitas Islam di ruang publik dan
menggabungkan prinsip-prinsip Islam dalam kebijakan negara.
Pemerintahan AKP telah mengimplementasikan kebijakan yang mencerminkan
nilai-nilai Islam dalam beberapa aspek kehidupan publik. Misalnya, di bidang
pendidikan, dilakukan reformasi yang memperkenalkan pendidikan agama yang lebih
kuat dan mengintegrasikan nilai-nilai agama Islam dalam kurikulum sekolah. Selain
itu, pemerintahan AKP juga telah mengadopsi kebijakan yang mendukung
pembangunan masjid, promosi wisata religius, dan memperluas peran lembaga-
lembaga agama dalam kehidupan sosial dan politik.
Meskipun ada pihak yang mendukung upaya ini sebagai bentuk keberpihakan
terhadap nilai-nilai agama dan memperkuat identitas Muslim di Turki, ada juga kritik
dan perdebatan terkait dengan pengaruh agama dalam kebijakan negara. Beberapa
kritikus mengkhawatirkan bahwa penggabungan yang lebih besar antara agama dan
politik dapat mengancam prinsip-prinsip sekularisme dan pluralisme yang telah
menjadi karakteristik Turki.
Sistem Pemerintahan

Turki memiliki sistem pemerintahan yang dikenal sebagai republik parlementer.


Sistem ini didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, di mana kekuasaan politik berada
di tangan rakyat dan diwakili oleh lembaga-lembaga pemerintahan yang dipilih secara
demokratis. Lembaga pemerintahan tertinggi di Turki adalah Majelis Agung Nasional,
yang juga dikenal sebagai Parlemen Turki. Parlemen ini terdiri dari dua kamar, yaitu
Majelis Nasional (Türkiye Büyük Millet Meclisi) dan Senat (Yüksek Seçim Kurulu).
Anggota Majelis Nasional dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum
setiap empat tahun sekali. Sedangkan anggota Senat diangkat oleh Presiden dan
perwakilan daerah.

Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan di Turki. Presiden


dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali.
Sejak perubahan konstitusi pada tahun 2017, peran presiden di Turki telah diperluas
menjadi lebih kuat. Presiden memiliki kekuasaan eksekutif yang luas, termasuk dalam
mengambil keputusan politik, menjalankan kebijakan negara, dan menunjuk kabinet
menteri. Selain Parlemen dan Presiden, sistem pemerintahan Turki juga melibatkan
Mahkamah Konstitusi, yang bertanggung jawab untuk menafsirkan konstitusi dan
memeriksa kesesuaian undang-undang dengan konstitusi. Mahkamah Konstitusi
memiliki peran penting dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi
manusia di Turki. Seluruh lembaga pemerintahan di Turki beroperasi dalam kerangka
konstitusi yang disepakati. Konstitusi Turki memberikan jaminan atas kebebasan
berpendapat, kebebasan beragama, hak asasi manusia, dan perlindungan hukum bagi
warga negara.

Meskipun sistem pemerintahan Turki didasarkan pada prinsip-prinsip


demokrasi, beberapa kritikus mengungkapkan keprihatinan terkait penindasan terhadap
kebebasan berpendapat, hak asasi manusia, dan otonomi lembaga-lembaga
pemerintahan yang independen. Ini telah memunculkan perdebatan dan tantangan
terkait dengan keadaan demokrasi di Turki.

C. Sistem pemerintahan Indonesia


Sistem pemerintahan terdiri atas dua kata yaitu sistem dan pemerintahan. Sistem
dapat berarti disebut sebagai susunan, tatanan, jaringan atau cara. 10 Menurut Carl J.
Friedrich, sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang
mempunyai hubungan fungsional antara sebagian maupun keseluruhannya sehingga
hubungan tersebut menimbulkan ketergantungan yang dapat memengaruhi salah
satunya bila tidak bekerja dengan baik. 11 Sedangkan pemerintahan dalam arti luas yaitu
segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam rangka menyejahterakan rakyat dan
kepentingan negara, tugas-tugas legislatif dan yudikatif juga ikut didalamnya tidak
hanya tugas eksekutif.12
Menurut Mahfud MD, sistem pemerintahan dapat kita pahami sebagai suatu
sistem hubungan kerja antara lembaga-lembaga negara.13 Selanjutnya menurut Jimmly
Ashiddiqie menyatakan bahwa sistem pemerintahan berkaitan dengan regeringsdaad
yang adalah penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan
fungsi legislatif. Sistem yang berkaitan tersebut bertujuan untuk menjaga stabilitas
suatu negara. Secara umum, sistem pemerintahan mengikut sertakan partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan suatu sistem pemerintahan yang diharapkan dapat
mencapai tujuan suatu negara yang disesuaikan dengan landasan yang bersumber pada
nilai-nilai luhur pada suatu negara tersebut.
Dalam dinamika ketatanegaraan yang terjadi di Indonesia, sejak awal
kemerdekaannya Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil. Namun, hal
tersebut ternyata menjadi perdebatan antara kelompok yaitu ada yang berpendapat
Indonesia saat itu menganut sistem presidensil dan juga ada yang berpendapat bahwa
saat itu Indonesia menganut sistem campuran. Adapun Bagir Manan yang berpendapat
bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial dengan alasan
pertanggungjawaban presiden kepada MPR bukan pertanggungjawaban kepada
legislatif namun merupakan upaya checking and balancing. 14 Selain Bagir Manan, A.
Hamid S. Attamimi juga berpendapat dala disertasinya yang berjudul “Peranan
Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

10
Inu Kencana Syafie, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 2011), hlm. 38.
11
Philip W Buck, Carl J Friedrich, dan Zbigniew K Brzezinski, “Totalitarian Dictatorship and
Autocracy”, American Slavic and East European Review, Vol. 16, No. 3, Oktober 1957, hlm. 401.
12
Oktaviani J, Teori Trias Politica (Pemisahan Dan Pembagian Kekuasaan), (Jakarta:Rajawali Press,
2018).
13
Moh Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm.83.
14
Bagi Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Mandar Maju,
1995), hlm. 78.
Negara” yang menyatakan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan
presidensial murni. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, 15 Sri Soemantri berpendapat
bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan campuran karena presiden mendapat
pengawasan dari legislatif yang berarti hal tersebut menunjukkan adanya sistem
parlementer yang terjadi pada saat itu. Oleh karena adanya sistem presidensial dan
sistem parlementer yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 maka Sri Soemantri
menyatakan bahwa Indonesia pada awal kemerdekaan menganut sistem pemerintahan
campuran.16
Tidak selang beberapa lama, Indonesia mengganti konstitusinya pada tahun
1949 yaitu Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dalam Konstitusi Republik
Indonesia Serikat menganut sistem pemerintahan parlementer. Hal ini dibuktikan
dengan adanya Pasal 69 Ayat (1) Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang
menyatakan bahwa Presiden ialah Kepala Negara. Perdana Menteri menjadi kepala
pemerintahan pada kala itu. Konstitusi Republik Indonesia Serikat resmi berlaku pada
27 Desember 1949. Undang-Undang Dasar 1945 tetap berlaku namun hanya berlaku di
negara bagian Republik Indonesia yang terletak di Yogyakarta. 17
Pada tahun 1950 Indonesia mengubah konstitusinya menjadi Undang-Undang
Dasar Sementara 1950. Pada saat itu, Undang-Undang Dasar Sementara menganut
sistem pemerintahan parlementer. Berbeda dengan Kontitusi Republik Indonesia
Serikat, kedudukan menteri pada Undang-Undang Dasar Sementara 1945 lebih tinggi
daripada saat berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 menteri memiliki kewenangan yang besar karena menjadi alat-alat
kelengkapan negara. Selain itu, menteri boleh terlibat langsung dalam proses
pembuatan undang-undang, proses pembuatan anggaran belanja negara yang sekaligus
pemegang umum anggaran, penerbitan uang, kaitan dengan hubungan luar negeri,
mendapat keistimewaan di muka peradilan yakni menteri yang masih menjabat maupun
tidak lagi menjabat hanya bisa diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi oleh
Mahkamah Agung.18

15
A Hamid S Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara,” (Jakarta: FH UI, 1990), hlm. 126.
16
Sri Soemantri, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, (Bandung: Tarsito, 1976),
hlm.53.
17
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sistem Pemerintahan Negara, (Jakarta: Pusat Pendidikan
Pnacasila dan Konstitusi, 2016), hlm. 23.
18
Ibid, 25.
Pemberlakuan sistem tersebut tidak lama karena dikeluarkannya Dekrit
Presiden pada 5 Juli 1959 oleh presiden yang terdapat pernyataan untuk
memberlakukan kembali UUD 1945. Pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan
sistem pemerintahan parlementer menjadi sistem presidensial. Namun dalam beberapa
literatur menyebutkan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 sistem
pemerintahan Indonesia cenderung menganut sistem campuran atau dapat disebut
sistem quasi presidensil karena adanya unsur parlementer dalam sistem presidensial. 19
Sistem pemerintahan presidensial berlaku sama halnya saat orde baru yang mana
kepemimpinan Indonesia dipimpin oleh Soeharto. Pada masa reformasi hingga saat ini,
Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial ditandai dengan Pasal 4 Ayat (1)
UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”20

Hubungan Agama dan Negara

Sistem pemerintahan Islam kontemporer di Indonesia mencerminkan


pendekatan yang inklusif dan pluralistik. Meskipun mayoritas penduduknya Muslim,
negara ini mengakui dan menghormati keberagaman agama dan budaya yang ada di
dalamnya. Indonesia memiliki sistem pemerintahan yang didasarkan pada prinsip
demokrasi. Negara ini memiliki parlemen yang terdiri dari anggota yang dipilih oleh
rakyat melalui pemilihan umum. Pengambilan keputusan politik dilakukan melalui
proses demokratis, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebebasan berpendapat
dan partisipasi politik.
Dalam kerangka sistem pemerintahan Islam di Indonesia, prinsip Bhinneka
Tunggal Ika menjadi panduan utama. Prinsip ini mengandung arti “berbeda-beda tetapi
tetap satu.” Prinsip ini mengakui keberagaman agama dan budaya di Indonesia, dan
menyatakan bahwa meskipun terdapat perbedaan, semua elemen masyarakat harus
hidup secara harmonis dan saling menghormati. Dalam sistem pemerintahan Indonesia,
prinsip-prinsip Islam diakui sebagai salah satu sumber hukum negara. Undang-undang
dan kebijakan negara juga mencerminkan nilai-nilai Islam yang mengedepankan
keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Selain itu, Indonesia memiliki lembaga-lembaga pemerintahan yang berfokus
pada urusan agama, seperti Kementerian Agama, yang bertanggung jawab atas

19
Sunarso, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: UNY Press, 2016), hlm. 266.
20
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
pengaturan dan perlindungan kebebasan beragama, serta Badan Wakaf Indonesia yang
mengelola harta wakaf untuk kepentingan umum. Pada praktiknya, Indonesia juga
memberlakukan kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi, di mana etiap warga
negara memiliki hak untuk mempraktikkan agama sesuai dengan keyakinan pribadinya.
Negara ini juga melindungi hak-hak minoritas agama dan mendorong dialog
antaragama untuk memperkuat toleransi dan kerukunan antarumat beragama.

Sistem Pemerintahan
Indonesia memiliki sistem pemerintahan yang dikenal sebagai republik. Sistem
ini didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, di mana kekuasaan politik berada di
tangan rakyat dan diwujudkan melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang dipilih
secara demokratis. Lembaga pemerintahan tertinggi di Indonesia adalah MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat). MPR terdiri dari dua anggota, yaitu DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Anggota DPR dipilih
melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Mereka adalah wakil rakyat yang
bertugas membuat undang-undang, mengawasi pemerintahan, dan menyuarakan
aspirasi rakyat. DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang mewakili
kepentingan-kepentingan daerah di tingkat nasional.
Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan di Indonesia. Presiden
dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Presiden
memiliki kekuasaan eksekutif untuk menjalankan pemerintahan negara, mengambil
keputusan politik, dan menunjuk kabinet menteri. Selain MPR dan Presiden, sistem
pemerintahan Indonesia juga melibatkan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi
bertugas untuk menafsirkan konstitusi, memeriksa kesesuaian undang-undang dengan
konstitusi, serta menyelesaikan sengketa pemilihan umum dan sengketa konstitusional
lainnya. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga independen yang berperan dalam
menjaga supremasi hukum dan keadilan.
Di tingkat daerah, Indonesia memiliki pemerintahan daerah yang terdiri dari
provinsi, kabupaten, dan kota. Setiap daerah dipimpin oleh seorang gubernur (di
provinsi) atau bupati/wali kota (di kabupaten/kota) yang dipilih melalui pemilihan
umum. Mereka bertanggung jawab atas pemerintahan daerah dan pembangunan di
wilayah mereka masing-masing.
Lembaga-lembaga pemerintahan di Indonesia bekerja dalam kerangka
konstitusi yang disebut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945). UUD 1945 menjamin hak-hak dasar warga negara, seperti kebebasan
berpendapat, kebebasan beragama, dan hak asasi manusia lainnya. Sistem
pemerintahan Indonesia terus mengalami perkembangan dan penyesuaian dalam upaya
meningkatkan partisipasi politik rakyat, meningkatkan tata kelola pemerintahan yang
baik, serta memperkuat sistem demokrasi di negara ini.

BAB III

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas yang membahas tentang sistem pemerintahan


Islam kontemporer di negara Arab Saudi, Turki, dan Indonesia, dapat disimpulkan
bahwa ketiga negara tersebut memiliki pendekatan yang berbeda dalam
mengimplementasikan prinsip-prinsip Islam dalam sistem pemerintahan negaranya.
Pada setiap pendekatan, juga memiliki tantangan dan potensi yang berbeda dalam
menghadapi dinamika masyarakat dan mengatur hubungan antara agama dan negara.

Pada Arab Saudi yang sebagai negara dengan sistem pemerintahan Monarki
Islam yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, memiliki kebijakan yang sangat
terkait dengan agama. Sistem pemerintahannya didasarkan pada hukum syariah yang
melibatkan para ulama dalam pengambilan keputusan. Pemerintahan Arab Saudi juga
didasarkan pada monarki absolut yang diperkuat oleh legitimasi agama. Meskipun ada
beberapa reformasi yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, negara ini tetap
mempertahankan struktur pemerintahan yang kuat dengan otoritas yang tinggi.

Di sisi lain, Turki dengan negara yang memakai sistem pemerintahan


parlementer, serta mengadopsi pendekatan yang lebih sekuler dalam sistem
pemerintahannya. Meskipun mayoritas penduduknya Muslim, Turki memisahkan
agama dan negara dan menganut prinsip sekularisme. Negara ini memiliki sistem
pemerintahan demokratis dengan parlemen yang terpilih dan kebebasan beragama yang
dijamin oleh konstitusi. Meskipun demikian, di bawah pemerintahan Partai Keadilan
dan Pembangunan (AKP) yang berhaluan Islam, terjadi upaya untuk memperkuat
identitas Islam di ruang publik dan menggabungkan prinsip-prinsip Islam dalam
kebijakan publik.

Sementara itu, Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di


dunia, mengadopsi sistem pemerintahan yang lebih inklusif dan pluralistik. Negara ini
menganut prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu.”
Indonesia memiliki sistem pemerintahan demokratis dengan konstitusi yang menjamin
kebebasan beragama bagi seluruh warganya. Prinsip-prinsip Islam diakui sebagai salah
satu sumber hukum negara, tetapi negara ini juga memberikan ruang bagi agama-agama
lain dan menghormati keberagaman budaya dan agama.
DAFTAR PUSTAKA

6 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa
Kini, (Bogor: Kencana, 2003)
A Hamid S Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara,” (Jakarta: FH UI, 1990)
Abu Haif, Perkembangan Islam di Arab Saudi (Studi Sejarah Islam Modern), (Jakarta,
Rihlah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan 3, no. 01, 2015)
Ali Anwar Yusuf, Wawasan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2002)
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII: akar
Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004)
Bagi Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Mandar
Maju, 1995)
Bahrum Siregar: Makalah Sistem Pemerintahan Turki.
Inu Kencana Syafie, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 2011)
KBRI Riyadh, Profil Masyarakat dan Budaya Arab Saudi, Kementerian Luar Negeri Repulik
Indonesia, diakses pada tanggal 29 Mei 2023, https://kemlu.go.id/riyadh/id.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sistem Pemerintahan Negara, (Jakarta: Pusat
Pendidikan Pnacasila dan Konstitusi, 2016)
Moh Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993)
Oktaviani J, Teori Trias Politica (Pemisahan Dan Pembagian Kekuasaan), (Jakarta:Rajawali
Press, 2018).
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Philip W Buck, Carl J Friedrich, dan Zbigniew K Brzezinski, “Totalitarian Dictatorship and
Autocracy”, American Slavic and East European Review, Vol. 16, No. 3, Oktober
1957
Soerjono Sekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. Re-3 (kartu Ul-Press, 1986)
Sri Soemantri, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, (Bandung: Tarsito,
1976)
Sunarso, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: UNY Press, 2016)
Wahyu purhantara : Jurnal Negara Sekuler Turki, Volume 6 Nomor 2, 2004
Winarmo Surachman, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode, dan Teknik,
(Bandung:Tarsito, 1990)

You might also like