You are on page 1of 21

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TPPO)

A. PERDAGANGAN ORANG.
Perdagangan orang menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(selanjutnya disebut dengan UU PTPPO) adalah sebagai berikut:1

“Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,


pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan
utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara,
untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”

Pengertian perdagangan orang menurut UU PTPPO ini jauh lebih


lengkap dari perdagangan orang yang diatur dalam Pasal 297 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP) yang
tidak dapat menjelaskan apa itu perdagangan orang maupun
mengakomodir modus-modus operandi dan tujuan dilakukannya
perdagangan orang setelah membatasi korbannya pada wanita dan anak
laki-laki yang belum dewasa, pembatasan ini memang tidak patut
disalahkan sebab didasarkan pada bukti empiris pun, perempuan dan
anak-anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak
pidana perdagangan orang. Selanjutnya, keterbatasan-keterbatasan ini
ditujukan oleh R. Sugandhi yang menentukan bahwa perdagangan wanita
dan anak laki-laki yang belum dewasa ke luar negeri hanya terbatas pada
eksploitasi pelacuran atau pelacuran paksa.2
Khusus untuk perdagangan anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 mengaturnya dalam Pasal 76F yang memiliki bunyi sebagai berikut: 3
“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan,
dan/atau perdagangan Anak.”
1
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
2
R. Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, hlm. 314
3
Pasal 76F Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Ketentuan pasal ini sama dengan Pasal 297 KUHP, bahwa tidak ada
penegasan tentang apakah perdagangan itu. Namun, UU Perlindungan
Anak ini di pasal yang berbeda, yaitu Pasal 76I yang menentukan larangan
untuk dapat memidana perbuatan eksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual terhadap Anak, eksploitasi ini ditentukan sebagai komponen
berupa tujuan dari perdagangan orang.
Dilakukan perbandingan terhadap tiga pengaturan di atas, UU
PTPPPO merupakan pembaharuan terhadap KUHP serta telah menjadi
rujukan sistematis dari ketentuan Undang-Undang termasuk UU
Perlindungan Anak yang mengatur mengenai “perdagangan”. Dan tidak
dapat dipungkiri juga bahwa definisi mengenai Perdagangan Orang ini telah
sesuai dengan standar internasional apabila dibandingkan dengan definisi
“perdagangan orang” menurut Pasal 3 huruf a Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Untuk Mencegah, Menindak, Dan
Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan Dan Anak-Anak,
Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak
Pidana Transnasional Yang Terorganisasi adalah sebagai berikut:4
“perekrutan, pengangkutan, pengiriman, penampungan, atau
penerimaan orang-orang, dengan ancaman atau penggunaan
kekerasan atau bentuk lain dari paksaan, penculikan, penipuan,
penyesatan, penyalahgunaan kekuasaan atau keadaan rentan atau
pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk
mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memiliki kekuasaan
atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi, Eksploitasi meliputi,
sekurang-kurangnya, eksploitasi dalam pelacuran seseorang atau
bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktek-praktek serupa dengan perbudakan,
penghambaan atau pengambilan organ-organ.”

Merujuk pada keberadaan Protokol ini, Perdagangan Orang secara


konsekuen telah ditentukan sebagai tindak pidana transnasional yang
terorganisasi. Bahwa praktik perdagangan orang ini seringkali melewati
batas negara sebagaimana yang ditunjukkan oleh Jindy Pettman dalam
upayanya untuk menjelaskan penyebab praktik ini dengan menggunakan
status kondisi dan wilayah sebagai variabel, bahwa ada negara asal yang
miskin (sending area) dan negara tujuannya yang lebih makmur

4
Pasal 3 huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009.
(destination area).5 Tidak bermaksud untuk membatasi, praktik
perdagangan manusia ini memiliki tiga dimensi jalur perdagangan, yaitu: 6
1) perdagangan orang trans-regional atau trans-benua; 2) perdagangan
orang intra-regional atau antar negara dalam satu regional; dan 3)
perdagangan orang dalam negeri.
Kriminalisasi terhadap perdagangan orang yang telah ditentukan
sebagai kejahatan transnasional ini ditentukan sebagai pemenuhan dan
perlindungan Hak Asasi Manusia. Bahwa perdagangan orang ini adalah
bentuk modern dari perbudakan manusia dan merupakan salah satu
bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat
manusia.7

B. KOMPONEN PERDAGANGAN ORANG.


Berdasar kepada pengertian perdagangan orang menurut Pasal 1 ayat
(1) UU PTPPO yang telah disebut, maka perbuatan perdagangan orang
telah terjadi apabila telah memenuhi tiga komponen yang ditentukan dalam
pengertian tersebut , yaitu: 1) Proses atau tindakan; 2) cara; dan 3) Tujuan
atau maksud eksploitasi. Berikut bersama dengan penjelasannya:
1. Proses atau Tindakan.
Prose atau tindakan ini berunsurkan “perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang.”,
terpenuhinya komponen proses atau tindakan sehingga seorang subjek
ditentukan melakukan perbuatan ini hanya perlu memenuhi salah satu
unsur saja atau bersifat fakultatif. UU PTPPO terkait proses ini hanya
menjelaskan pengertian dari perekrutan dan pengiriman sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 1 ayat (9) dan ayat (10) UU PTPPO secara berurutan,
sebagai berikut:8
“Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan,
membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau
komunitasnya.”

5
Muhammad Kamal, Human Trafficking, Makassar: Social Politic Genius (SIGn), 2019, hlm. 16
6
Ibid., hlm. 15
7
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009.
8
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang-Orang.
“Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan
seseorang dari satu tempat ke tempat lain.”
2. Cara
Cara yang dimaksud ini memiliki beberapa bentuk, yaitu: “dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut,”.
UU PTPPO terkait komponen cara ini hanya menjelaskan pengertian dari
kekerasan, ancaman kekerasan dan penjeratan uang sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 1 ayat (11), ayat (12), dan ayat (15) UU PTPPO
secara berurutan, sebagai berikut:9
“Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan
atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang
menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan
terampasnya kemerdekaan seseorang.”
“Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum
berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik
dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut
atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.”
“Penjeratan Utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status
atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau
keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau
jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.”

Sama dengan komponen proses yang bersifat fakultatif, suatu subjek


dianggap telah melakukan perbuatan perdagangan orang apabila telah
memenuhi satu unsur saja. Namun berbeda halnya apabila korban adalah
seorang anak, bahwa komponen cara ini tidak perlu dipenuhi atau
digunakan sehingga suatu proses atau tindakan yang dimaksudkan atau
ditujukan agar anak diekploitasi atau telah berakibat demikian telah
ditentukan sebagai bentuk perdagangan orang, hal ini telah diatur dalam
Pasal 3 huruf c UU No. 14 Tahun 2009.
3. Tujuan
Komponen yang terakhir adalah tujuan dari diadakannya proses
dan/atau cara yang ada sehingga suatu subjek tersebut dianggap telah

9
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
melakukan suatu perdagangan orang. UU PTPPO menentukan eksloitasi
sebagai tujuannya. Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (7) UU PTPPO dengan
bunyi sebagai berikut:10
“Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban
yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan
paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan,
pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara
melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang
oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun
immateriil.”

Selain itu, eksploitasi ini diatur dalam Pasal 3 huruf a UU No. 14


Tahun 2009 dengan bunyi sebagai berikut:11

“Eksploitasi meliputi, sekurang-kurangnya, eksploitasi dalam pelacuran


seseorang atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan
paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa dengan perbudakan,
penghambaan atau pengambilan organ-organ.”

C. DASAR HUKUM DAN PENGATURAN DELIK DI DALAMNYA.


Sebagaimana yang telah dijelaskan, tindak pidana perdagangan orang
ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau UU PTPPO.
Undang-undang ini mengatur tentang ketentuan-ketentuan pidana bagi
pelaku ataupun pihak-pihak yang memiliki peran atau terlibat dalam
terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Undang-undang ini
merupakan ketentuan-ketentuan khusus atau lex specialist dari Pasal 297
KUHP yang menentukan tindak pidana perdagangan wanita dan anak
sebagai kejahatan kesusilaan. Dibentuknya UU PTPPO ini pada dasarnya
untuk memberikan pembaharuan pendekatan dalam penegakan hukum
terhadap kejahatan perdagangan orang, pendekatan yang dimaksud adalah
dengan melakukan upaya pencegahan, tidak terbatas pada
penanggulangan.12 Pertama, dengan menaikkan ancaman hukuman pidana.
Lalu dengan merujuk pada penjelasan UU PTPPO, pengaturan-pengaturan

10
Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
11
Pasal 3 huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009.
12
Hwian Christianto, Kejahatan Kesusilaan: Penafsiran Ekstensif dan Studi Kasus, Yogyakarta:
Suluh Media, 2017, hlm. 88
pasal yang ada ini ditentukan untuk menjerat semua jenis tindakan dalam
proses, cara atau semua bentuk eksploitasi yang kemungkinan besar terjadi
dalam praktik perdagangan orang antar wilayah ataupun secara
transnasional serta kualitas pelakunya, baik oleh perorangan maupun
korporasi yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP. 13 Berikut bentuk-
bentuk tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh “Setiap
orang” di dalam Undang-undang ini (Pasal 2 – Pasal 6) beserta tindak-
tindak pidana lainnya yang terkait:14

No Ketentuan Perbuatan
. Pasal dan
Rumusan Delik
1. Pasal 2 ayat (1) perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
Delik Formil. seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang
atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan
mengeksploitasi orang
Perbuatan-perbuatan di atas bisa sudah
selesai atau belum asalkan dilakukan dengan
kesengajaan sebagai maksud untuk
mengeksploitasi orang, eksploitasi ini belum
terjadi.
2. Pasal 2 ayat (2) Perbuatannya sama dengan ayat (1). Namun
dengan adanya frasa “mengakibatkan orang
tereksploitasi”. 2 ayat ini berbeda dengan merujuk
13
Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
14
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
Delik Materiil pada keadaan korban pada saat itu, ayat (2)
menentukan bahwa perbuatan telah selesai dan
korban telah dieksploitasi.
3. Pasal 3 memasukkan orang ke wilayah negara Republik
Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di
Delik Formil wilayah negara Republik Indonesia atau
dieksploitasi di negara lain
Korban adalah orang asing yang dimasukkan
ke Indonesia dengan tujuan untuk dieksploitasi di
Indonesia atau akan dieksploitasi di negara lain
dengan Indonesia sebagai tempat berhenti
sementara.
4. Pasal 4 membawa warga negara Indonesia ke luar
wilayah negara Republik Indonesia dengan
Delik Formil maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara
Republik Indonesia.
Pasal ini ditentukan sebagai bentuk
perlindungan terhadap warga negara Indonesia
yang akan dieksploitasi.
5 Pasal 5 melakukan pengangkatan anak dengan
menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu
Delik Formil dengan maksud untuk dieksploitasi.
Unsur kesengajaan dengan maksud untuk
mengeksploitasi ini perlu dibuktikan sehingga
tiap orang yang melakukan pengangkatan dengan
cara limitatif di atas dapat dipidana.
6 Pasal 6 Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke
dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun
Delik Materiil yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi
Akibat ini merupakan akibat yang di ketahui
dan dikehendaki pelaku. Pelaku dapat dipidana
ketika anak sudah tereksploitasi.
7 Pasal 7 Pemberatan pidana untuk ketentuan Pasal 2 ayat
(2), 3, 4, 5, dan 6 apabila akibat-akibat yang telah
ditentukan oleh UU terjadi.
8 Pasal 8 penyelenggara negara yang menyalahgunakan
kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak
Delik Materiil. pidana perdagangan orang
Ketentuan pasal ini menentukan unsur
subjektif berupa penyelenggara negara dan unsur
objektif yang berisifat materiil, karena dia
menyalahgunakan kekuasaannya, tindak pidana
perdagangan orang terjadi.
9 Pasal 9 berusaha menggerakkan orang lain supaya
melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan
Delik Formil. tindak pidana itu tidak terjadi
Meski perdagangan orang tidak terjadi, pelaku
yang mencoba atau berupaya agar pihak lain mau
melakukannya dapat dipidana.
10 Pasal 10 membantu atau melakukan percobaan untuk
melakukan tindak pidana perdagangan orang,
Delik Formil. dipidana dengan pidana yang sama
Kekhususan dari ketentuan percobaan dan
pembantuan menurut KUHP yang menentukan
pengurangan hukuman, bahwa pelaku percobaan
atau pembantu tindak pidana ini akan dihukum
sama dengan pelaku.
11. Pasal 11 merencanakan atau melakukan permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana
Delik Formil. perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang
sama sebagai pelaku
Pemidanaan terhadap orang yang beru
merencanakan (Akomodasi dari Konvensi
Palermo) atau yang ikut bermufakat, berperan
tidak secara langsung dipidana sama dengan
pelaku yang berbuat secara langsung.
12. Pasal 12 menggunakan atau memanfaatkan korban tindak
pidana perdagangan orang dengan cara
Delik Formil. melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul
lainnya dengan korban tindak pidana
perdagangan orang, mempekerjakan korban
tindak pidana perdagangan orang untuk
meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil
keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan
orang
Berdasar kepada ayat ini, eksploitasi korban
perdagangan orang telah terjadi. Terhadap pihak-
pihak yang mengeksploitasi itu pun dipidana
sama dengan pelaku tindak pidana kejahatan
perdagangan orang.
13. Pasal 13 Unsur subjektif yang melekat pada pelaku, bahwa
pelakunya adalah atau dianggap korporasi,
sebuah badan usaha berbadan hukum.
14 Pasal 16 Unsur subjektif yang melekat pada pelaku, bahwa
pelakunya adalah kelompok yang terorganisir.
Pemidanannya sama dengan pasal 2 dengan
pemberatan 1/3.

Selain tindak-tindak pidana perdagangan orang di atas, UU PTPPO juga


mengatur tentang Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak
Pidana Perdagangan Orang sebagai Bab tersendiri yang berisikan Pasal 19 –
27 UU PTPPO. Untuk pembahasan kali ini, fokus akan ditujukan pada
tindak pidana atau delik perdagangan orang sebagaimana yang telah
dibahas di atas.
Dilihat dari semua rumusannya, tindak pidana perdagangan orang
dirumuskan dalam dua bentuk, yaitu delik formil dan delik materiil.
Persoalan mengenai perumusan delik ini akan dijelaskan beserta dengan
contoh pasal dan kasusnya, sebagai berikut:
1. Delik formil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan pada
perbuatan yang dilarang, bahwa pembentuk undang-undang
melarang perbuatan ini tanpa mensyaratkan akibat dari perbuatan.
Jadi dapat dianggap delik setelah pelakunya menyelesaikan
perbuatan yang dirumuskan dalam rumusan delik. 15
Tindak pidana perdagangan orang yang termasuk kepada delik formil ini
salah satunya adalah Pasal 2 ayat (1) UU PTPPO, bahwa suatu perbuatan
dapat dipidana apabila terdakwa yang dapat bertanggung jawab telah
memenuhi unsur-unsur pasalnya sebagai berikut:

Unsur Subjektif : Setiap orang, Untuk tujuan mengeksploitasi orang


tersebut di wilayah negara republik Indonesia.
Unsur Objektif : Proses (“perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang”), Cara (“dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain.”

Contoh Kasus:
Dalam putusan No. 114/Pid.B/2015/PN. Amb, Majelis Hakim menyatakan
bahwa Terdakwa Maryo Noya alias Ryo terbukti bersalah secara sah dan
meyakinkan telah melakukan tindak pidana “Melakukan perekrutan dengan
penjeratan hutang untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di Wilayah
Negara Republik Indonesia” sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2
ayat (1) UU PTPPO. Dalam kasus, Terdakwa bersama dengan istrinya Lidya
Lily berhasil membawa saksi Ade Irma dan saksi Wirdayanti yang
sebelumnya telah menyetujui tawaran terdakwa untuk bekerja sebagai
pramuria di Fak-Fak Papua Barat dengan jumlah gaji dari 2-6 juta.

15
RB Budi Prastowo, ”DELIK FORMIL/MATERIIL, SIFAT MELAWAN HUKUM FORMIL.MATERIIL
DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Kajian Teori
Hukum Pidana terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 003/PUU-IV/2016,
Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 24, No. 3, 2006, hlm. 214,
http://journal.unpar.ac.id/index.php/projustitia/article/viewFile/1157/1124
Terdakwa pun membelikan mereka tiket pesawat. Sebelum pergi dari
Ambon, mereka berempat menginap di sebuah kamar hotel. Namun selang
beberapa waktu kemudian, 4 saudara saksi Wirdayanti datang untuk
membawa saksi tetapi pergi lagi setelah Terdakwa meminta ganti rugi uang
tiket. Keesokannya, mereka naik pesawat ke Bandara Torea Fak-Fak, Papua
Barat dan dijemput oleh Aziz, seorang supir dari Café Liquid. Di Café
Liquid, kedua saksi ini menandatangani kontrak kerjanya sebagai Pramuria
akibat permintaan ganti rugi atau utang atas tiket perjalanan sebesar 11
juta.

2. Delik materil adalah delik yang perumusaannya dititikberatkan pada


akibat yang dilarang, bahwa pembentuk undang-undang melarang
terjadinya akibat tertentu. Oleh karena itu, akibat ini menjadi unsur
yang konstitutif atau harus ada sehingga dapat dianggap delik saat
akibat yang dilarang terjadi.16
Tindak pidana perdagangan orang yang termasuk kepada delik materiil ini
salah satunya adalah Pasal 2 ayat (2) UU PTPPO yang memiliki bunyi
sebagai berikut:
“Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Dari bunyi pasal ini dapat ditentukan bahwa unsur-unsur delik yang
terkandung dalam pasal ini adalah sebagai berikut:

Unsur Subjektif : Setiap orang, Mengakibatkan orang tereksploitasi.


Unsur Objektif : Proses (“perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang”), Cara (“dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain.”

16
Ibid.
Contoh Kasus:
Dalam Putusan Nomor 2055/Pid.Sus/2017/PN Lbp, Majelis Hakim
menyatakan bahwa Terdakwa Parada Harahap terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perdagangan orang”
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU PTPPO. Dalam kasus,
Terdakwa merupakan seorang mucikari (kurang lebih satu tahun). Ia
ditangkap oleh anggota kepolisian Polrestabes Medan setelah ia menerima
orderan perempuan dari saksi John Stepu (polisi) melalui WA. Terdakwa
pun mengirimkan foto-foto perempuan yang diorder, saksi John Stepu
memilih saksi Devi Oktavia dengan layanan short time seharga 2 juta
ditambah 200 ribu uang jasa penjualan bagi terdakwa. Terdakwa pun
mengantar saksi Devi Oktavia ke Hotel Emerald Garden ditemani saksi
Venska Amalia Pohan. Proses transaksi terjadi, terdakwa bersama dengan
saksi Venska pun pergi dan ditangkap di pintu utama Lobby. Menurut
Majelis Hakim, terpenuhinya komponen pasal terkait itu bersifat alternatif
(tindakan atau cara). Bahwa, terdakwa memenuhi unsur pasal berupa
“perekrutan” yang merupakan tindakan terhadap saksi Devi sehingga
terjadinya eksploitasi dalam bidang pelajuran terhadapnya dengan
sejumlah bayaran dan keuntungan bagi terdakwa.

D. Pihak-Pihak dalam Perdagangan Orang


1. Korban
Korban menurut Pasal 1 ayat (3) UU PTPPO adalah “seseorang yang
mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau
sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang”.17
2. Anak
Anak menurut Pasal 1 ayat (5) PTPPO adalah “seseorang yang belum
berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.”18

17
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
18
Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
Anak secara khusus menjadi korban dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU
PTPPO. Selain itu, Pasal 17 UU PTPPO menentukan pemberatan pidana
dengan menambah 1/3 ancaman pidananya kepada pelaku yang
melakukan tindak pidana perdagangan orang yang diatur dalam Pasal 2,
Pasal 3 dan Pasal 4 UU PTPPO.
3. Setiap Orang
Setiap orang menurut Pasal 1 ayat (4) UU PTPPO adalah “orang
perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan
orang.”19
4. Penyelenggara Negara
Penyelenggara Negara disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1), bahwas
ubjek hukum pidana berupa penyelenggara negara ini dapat dipidana
apabila terbukti memiliki peran dalam mengakibatkan terjadinya tindak
pidana perdagangan orang. Peran yang dimaksud memiliki keterkaitan
dengan pelaksanaan kekuasan atau kewenangannya, bahwa penyelenggara
negara ini telah menyalahgunakan kekuasaannya, yakni tidak sesuai
dengan tujuan diberikannya kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan ini
perlu memiliki hubungan kausal dengan akibat terjadinya tindak pidana,
baik itu mempermudah ataupun untuk melakukan tindak pidana
perdagangan orang.
Dalam penjelasan atas UU PTPPO, disebutkan bahwa penyelenggara
negara yang dimaksud adalah pejabat pemerintah, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat
keamanan, penegak hukum atau pejabat publik.
5. Korporasi
Korporasi menurut Pasal 1 ayat (6) UU PTPPO adalah “kumpulan
orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.”20 Korporasi sebagai pelaku tindak pidana
perdagangan orang dapat dimintakan pertanggungjawabannya, hal ini
secara tegas ditentukan dalam Pasal 13 UU PTPPO yang menentukan

19
Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
20
Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
bahwa dalam kondisi tertentu, pelaku yang merupakan subjek hukum
pidana perlu dianggap sebagai suatu entitas korporasi. Berikut kondisi-
kondisi tertentu yang dimaksud:21
a) Orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi;
b) Orang-orang yang bertindak untuk kepentingan korporasi;
Orang-orang dalam kedua poin ini dapat bertindak sendiri maupun
bersama-sama dalam lingkungan korporasi, baik karena memiliki
hubungan kerja ataupun hubungan lain.

Contoh Kasus:
Dalam Putusan No. 459/Pid.Sus/2015/PN.Bks, PT Mahkota Ulfa Sejahtera
diputus bersalah melakukan tindak pidana perdagangan orang, tepatnya
telah melanggar Pasal 6 Jo. Pasal 10 Jo. Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU
PTPPO.

Faktanya, pemidanaan terhadap korporasi ini sulit untuk dilakukan. Untuk


PT Mahkota Ulfa Sejahtera sendiri merupakan korporasi pertama sejak
diundangkannya UU PTPPO yang dapat didakwakan kemudian dipidana.
Kesulitan ini memiliki terkait dengan menjadikan korporasi sebagai subjek
hukum pidana terkait TPPO. Bahwa untuk merumuskan bentuk tindakan
tertentu (actus reus) serta membuktikan unsur kesalahan (mens rea) pada
korporasi jauh lebih sulit dari penuntutan serta pemidanaan terhadap
individu. Selain itu, korporasi sering kali diisi atau memiliki kaitan dengan
tokoh masyarakat yang secara politik atau ekonomi penting sehingga para
penegak hukumnya dapat terpengaruh sehingga menunjukkan
keberpihakan dan pada akhirnya, upaya proses penegakan hukum pidana
terkait pun mulai menjadi tidak maksimal. 22

21
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
22
Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksaan R.I, “Modul Tindak Pidana Perdagangan Orang”,
hlm. 20,
http://badiklat.kejaksaan.go.id/e-akademik/uploads/modul/8c4e2d72b118aa46e57f5d1a98d
8a6c2.pdf, diakses pada tanggal 16 November 2020.
6. Kelompok Terorganisasi
Kelompok Terorganisasi diatur dalam Pasal 16 UU PTPPO yang
memiliki bunyi sebagai berikut:23
“Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok
yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan
orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah
1/3 (sepertiga).”

Dalam penjelasannya, kelompok terorganisasi ditentukan sebagai


kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang
eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan
melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-
Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan materiil atau finansial
baik langsung maupun tidak langsung.

E. ATURAN KHUSUS DALAM UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2007


Yang pertama adalah Pasal 29 UU PTPPO, pasal ini ditentukan
sebagai perluasan dari ketentuan Pasal 184 KUHAP terkait dengan alat
bukti. Singkatnya, Pasal 184 ayat (1) KUHP ini memiliki bunyi sebagai
berikut:24
“Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c.
surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa.”

Sebagai perluasan, Pasal 29 UU PTPPO ini mengatur berbagai macam alat


bukti yang dapat digunakan dalam persidangan selain dari yang diatur
dalam Pasal 184 ayat (1) KUHP, yaitu sebagai berikut: 25
a. “informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;” dan
b. “data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain

23
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
24
Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
25
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Anak.
kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas
pada: 1) tulisan, suara, atau gambar; 2) peta, rancangan, foto, atau
sejenisnya; atau 3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang
memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca
atau memahaminya.”
Selanjutnya diambil dari Penjelasan Pasal demi Pasal, UU PTPPO
memperjelas ketentuan huruf b di atas. Bahwa data, rekaman, atau
informasi ini dapat berbentuk sebagai data yang disave di dalam computer,
telepon atau perlahatan elektonik, atau catatan lainnya seperti:

a. “catatan rekening bank, catatan usaha, catatan keuangan, catatan


kredit atau utang, atau catatan transaksi yang terkait dengan seseorang
atau korporasi yang diduga terlibat di dalam perkara tindak pidana
perdagangan orang;”
b. “catatan pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau
organisasi yang diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut Undang-
Undang ini; atau
c. “dokumen, pernyataan tersumpah atau bukti-bukti lainnya yang
didapat dari negara asing, yang mana Indonesia memiliki kerja sama
dengan pihak-pihak berwenang negara tersebut sesuai dengan ketentuan
dalam undang-undang yang berkaitan dengan bantuan hukum timbal
balik dalam masalah pidana.”

Yang kedua adalah dengan diaturnya Pasal 30 dalam UU PTPPO yang


secara tegas menentukan bahwa, “sebagai salah satu bukti yang sah,
keterangan seseorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah
lainnya.” Tindak pidana perdagangan orang dalam pembuktiannya memiliki
pengaturan yang menyimpangi KUHAP yang menganut Asas Unus Testis
Nullus Testis dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP, bahwa “Keterangan seorang
saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”
Penyimpangan ini pada dasarnya diatur dalam Pasal 185 ayat (3)
KUHAP, bahwa ketentuan pasal 185 ayat (2) KUHAP tidak berlaku apabila
dalam pembuktian terkait juga disertai dengan alat bukti yang sah lainnya.
Oleh karena itu patut disimpulkan, bahwa kekhususan dalam TPPO terkait
dengan satu saksi itu cukup bila disertai dengan alat bukti sah lainnya
telah memiliki dasar atau memiliki esensi yang sama dengan Pasal 185 ayat
(3) KUHAP. Misalnya terkait dengan pembuktian perkara TPPO, keterangan
seorang saksi korban ditentukan cukup apabila disertai dengan petunjuk.
Selain kekhususan terhadap KUHAP yang bersifat formil ini, TPPO
terkait dengan pola penanganannya telah dikategorikan dalam Penanganan
Perkara Penting (PEKATING). Selanjutnya dengan berdasar kepada Surat
Edaran No. B-185/EJP/03/2005 tanggal 10 Maret 2005 tentang Pola
Penanganan Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dikeluarkan
oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM PIDUM), bahwa dalam
penanganan perkara TPPO ada beberapa hal yang perlu dijadikan acuan,
sebagai berikut:26
1. Konvensi Palermo dijadikan sebagai rujukan untuk mengidentifikasi
dan menganalisis adanya suatu TPPO;
2. Agar suatu kejadian dapat dikatagorikan sebagai TPPO, maka
kejadian tersebut harus memenuhi paling tidak masimg-masing satu
unsur dari kriteria (Proses, Jalan/cara dan Tujuan). Mis : Perekrutan
+ Penipuan + Pelacuran = Perdagangan Orang;
3. Persetujuan Korban tidak relevan apabila sudah ada salah satu dari
jalan/cara di atas; dan
4. Diintensifkan koordinasi dan keterpaduan dengan Penyidik untuk
mengarahkan Penyidikan agar dapat menyajikan segala data dan
fakta yang diperlukan pada tahap penuntutan.

G. MEKANISME RESTITUSI DAN REHABILITASI


1. Restitusi
Restitusi merupakan bentuk perlindungan korban yang bersifat
konkret karena korban sebagai penerima bisa merasakannya secara nyata,
baik itu materiil seperti pemberian kompensasi dan restitusi ataupun non
materiil seperti pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan media yang
telah merendahkan martabat dan harkat korban sebagai manusia. Khusus
untuk pembahasan ini adalah masalah ganti rugi yang dapat dilakukan
melalui kompensasi atau restitusi. Tentunya pembahasan lebih lanjut akan

26
Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksaan R.I., “Modul Tindak Pidana Perdagangan
Orang”, Op.cit., hlm. 29-30
difokuskan kepada restitusi.27 Tetapi sebelumnya, kompensasi dan restitusi
ini perlu dibedakan, yaitu sebagai berikut:28
a. Kompensasi: sesuatu yang timbul atas permintaan korban dan
dibayarkan oleh masyarakat, oleh karenanya kompensasi dapat
diartikan sebagai bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau
negara; dan
b. Restitusi: Restitusi ini memiliki sifat pidana karena timbul dari
putusan pengadilan pidana untuk dibayarkan oleh terpidana, oleh
karenanya dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban terpidana.
Restitusi sebagai pertanggungjawaban terpidana ini diatur definisinya
dalam Pasal 1 ayat (13) UU PTPPO yang memiliki bunyi sebagai berikut:
“pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil
dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.”29
Frasa kerugian materiil dan/atau immaterial ini ditentukan dalam
Pasal 48 ayat (2) UU PTPPO, bahwa restitusi itu berupa ganti kerugian atas:
a. Kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. Penderitaan;
c. Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis;
dan/atau
d. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
Untuk mendapatkan restitusi ini, pengajuannya dapat dilakukan melalui
dua proses, yaitu:
a. Melalui Jalur Tuntutan Pidana
Pengajuan lewat jalur ini perlu dilakukan atau dilaksanakan sejak
korban melaporkan kasusnya kepada Kepolisian RI dan ditanda tangani
oleh Penyidik yang pada saat ini sedang melakukan penanganan tindak
pidana perdagangan orang. Selanjutnya, permintaan ini perlu dimasukkan
kepada Berita Acara Pemeriksaan Saksi Korban.

27
Salsabila Dewi Vitasari, Satria Sukananda, dan Sandra WIjaya, “Pelaksanaan Pemberian
Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang”, Diversi Jurnal Hukum, Vol. 6,
No. 1, 2020, hlm. 103, https://core.ac.uk/reader/322517470
28
Ibid.
29
Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Mengenai jumlah kerugian, Penuntut Umum akan menyampaikan
jumlah kerugian yang diderita bersama dengan tuntutan. Mekanisme
pengajuan ini perlu dilakukan secara sistematis, yaitu sejak tahap
penyelidikan sebagaimana yang ditentukan dalam penjelasan Pasal 48 ayat
(1) UU PTPPO karena jika permintaan ini tidak diajukan pada tahap
penyelidikan, misalnya baru diajukan oleh JPU bersamaan dengan
tuntutan ketika seharusnya tinggal menyampaikan jumlah kerugian, maka
tuntutan restitusi ini akan dapat ditolak oleh pengadilan. 30
Jika telah dilakukan secara sistematis dan telah dicantumkan
restitusi serta jumlah kerugiannya dalam surat tuntutan pidana, maka
Hakim dengan pertimbangan-pertimbangannya akan mencantumkan
restitusi ini dalam amar putusannya. Berikut restitusi yang berhasil
dieksekusi oleh Penuntut Umum, yaitu:31
1) Putusan No. 2044/Pid.Sus/2013/PN.JKT.BAR, dalam putusan ini
terdakwa Willy dibebankan restitusi sebesar 1, 1 milyar dan dapat
dieksekusi untuk korban Imam Syafei, dkk.
2) Putusan No. 550/Pid.Sus/2013/PN.JKT.SEL, dalam putusan ini
terdakwa Rumoang dan Omi dibebankan restitusi sebesar 60 juta
secara renteng dan dapat dieksekusi untuk korban Ratnasari, Kartika
dan Risca Nurcahya.
b. Melalui Gugatan Perdata
Berdasar kepada Penjelasan Pasal demi Pasal, Penjelasan Pasal 48
ayat (1) menentukan bahwa mekanisme pengajuan restitusi melalui
tuntutan pidana tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan
sendiri gugatan atas kerugiannya.

2. Rehabilitasi
UU PTPPO selain memberikan ancaman pidana yang lebih berat, UU
ini juga menentukan mekanisme khusus sebagai upaya negara untuk
memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dari tindak pidana ini,
seperti restitusi atas kerugian yang telah dijelaskan sebelumnya dan hak-
30
Tim Penyusun Modul Badan DIklat, “Modul Tindak Pidana Perdagangan Orang”, Op.cit., hlm.
35
31
Ibid., hlm. 36
hak lain bagi korban atas rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi dari
pemerintah. Khusus mengenai rehabilitasi, Pasal 1 ayat 14 UU PTPPO
menentukan bahwa, “Rehabilitasi adalah pemulihan dan sosial agar dapat
melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat.”32 Hal-hal mengenai Rehabilitasi ini diatur dalam Pasal
51 – 54 UU PTPPO sebagai berikut:33

Pasal 51 UU PTPPO
1) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, kesehatan sosial,
pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan
mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana
perdagangan orang.
2) Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban atau
keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja
sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain
melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada
pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah
kesehatan dan sosial di daerah.
Pasal 52 UU PTPPO
1) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) wajib memberikan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung
sejak diajukan permohonan.
2) Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial
atau pusat trauma.
3) Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya dapat pula
membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.
Pasal 53 UU PTPPO

32
Pasal 1 ayat 14 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
33
Pasal 51 – Pasal 54 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya
akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan
segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan
dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7
(tujuh) hari setelah permohonan diajukan.
PASAL 54 UU PTPPO
1) Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum
akibat tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia
melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan
korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya
negara.
2) Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka
Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke
negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia.
3) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum
internasional, atau kebiasaan internasional.

You might also like