Professional Documents
Culture Documents
Bab 7
Bab 7
A. PERDAGANGAN ORANG.
Perdagangan orang menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(selanjutnya disebut dengan UU PTPPO) adalah sebagai berikut:1
4
Pasal 3 huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009.
(destination area).5 Tidak bermaksud untuk membatasi, praktik
perdagangan manusia ini memiliki tiga dimensi jalur perdagangan, yaitu: 6
1) perdagangan orang trans-regional atau trans-benua; 2) perdagangan
orang intra-regional atau antar negara dalam satu regional; dan 3)
perdagangan orang dalam negeri.
Kriminalisasi terhadap perdagangan orang yang telah ditentukan
sebagai kejahatan transnasional ini ditentukan sebagai pemenuhan dan
perlindungan Hak Asasi Manusia. Bahwa perdagangan orang ini adalah
bentuk modern dari perbudakan manusia dan merupakan salah satu
bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat
manusia.7
5
Muhammad Kamal, Human Trafficking, Makassar: Social Politic Genius (SIGn), 2019, hlm. 16
6
Ibid., hlm. 15
7
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009.
8
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang-Orang.
“Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan
seseorang dari satu tempat ke tempat lain.”
2. Cara
Cara yang dimaksud ini memiliki beberapa bentuk, yaitu: “dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut,”.
UU PTPPO terkait komponen cara ini hanya menjelaskan pengertian dari
kekerasan, ancaman kekerasan dan penjeratan uang sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 1 ayat (11), ayat (12), dan ayat (15) UU PTPPO
secara berurutan, sebagai berikut:9
“Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan
atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang
menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan
terampasnya kemerdekaan seseorang.”
“Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum
berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik
dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut
atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.”
“Penjeratan Utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status
atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau
keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau
jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.”
9
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
melakukan suatu perdagangan orang. UU PTPPO menentukan eksloitasi
sebagai tujuannya. Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (7) UU PTPPO dengan
bunyi sebagai berikut:10
“Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban
yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan
paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan,
pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara
melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang
oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun
immateriil.”
10
Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
11
Pasal 3 huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009.
12
Hwian Christianto, Kejahatan Kesusilaan: Penafsiran Ekstensif dan Studi Kasus, Yogyakarta:
Suluh Media, 2017, hlm. 88
pasal yang ada ini ditentukan untuk menjerat semua jenis tindakan dalam
proses, cara atau semua bentuk eksploitasi yang kemungkinan besar terjadi
dalam praktik perdagangan orang antar wilayah ataupun secara
transnasional serta kualitas pelakunya, baik oleh perorangan maupun
korporasi yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP. 13 Berikut bentuk-
bentuk tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh “Setiap
orang” di dalam Undang-undang ini (Pasal 2 – Pasal 6) beserta tindak-
tindak pidana lainnya yang terkait:14
No Ketentuan Perbuatan
. Pasal dan
Rumusan Delik
1. Pasal 2 ayat (1) perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
Delik Formil. seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang
atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan
mengeksploitasi orang
Perbuatan-perbuatan di atas bisa sudah
selesai atau belum asalkan dilakukan dengan
kesengajaan sebagai maksud untuk
mengeksploitasi orang, eksploitasi ini belum
terjadi.
2. Pasal 2 ayat (2) Perbuatannya sama dengan ayat (1). Namun
dengan adanya frasa “mengakibatkan orang
tereksploitasi”. 2 ayat ini berbeda dengan merujuk
13
Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
14
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
Delik Materiil pada keadaan korban pada saat itu, ayat (2)
menentukan bahwa perbuatan telah selesai dan
korban telah dieksploitasi.
3. Pasal 3 memasukkan orang ke wilayah negara Republik
Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di
Delik Formil wilayah negara Republik Indonesia atau
dieksploitasi di negara lain
Korban adalah orang asing yang dimasukkan
ke Indonesia dengan tujuan untuk dieksploitasi di
Indonesia atau akan dieksploitasi di negara lain
dengan Indonesia sebagai tempat berhenti
sementara.
4. Pasal 4 membawa warga negara Indonesia ke luar
wilayah negara Republik Indonesia dengan
Delik Formil maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara
Republik Indonesia.
Pasal ini ditentukan sebagai bentuk
perlindungan terhadap warga negara Indonesia
yang akan dieksploitasi.
5 Pasal 5 melakukan pengangkatan anak dengan
menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu
Delik Formil dengan maksud untuk dieksploitasi.
Unsur kesengajaan dengan maksud untuk
mengeksploitasi ini perlu dibuktikan sehingga
tiap orang yang melakukan pengangkatan dengan
cara limitatif di atas dapat dipidana.
6 Pasal 6 Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke
dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun
Delik Materiil yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi
Akibat ini merupakan akibat yang di ketahui
dan dikehendaki pelaku. Pelaku dapat dipidana
ketika anak sudah tereksploitasi.
7 Pasal 7 Pemberatan pidana untuk ketentuan Pasal 2 ayat
(2), 3, 4, 5, dan 6 apabila akibat-akibat yang telah
ditentukan oleh UU terjadi.
8 Pasal 8 penyelenggara negara yang menyalahgunakan
kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak
Delik Materiil. pidana perdagangan orang
Ketentuan pasal ini menentukan unsur
subjektif berupa penyelenggara negara dan unsur
objektif yang berisifat materiil, karena dia
menyalahgunakan kekuasaannya, tindak pidana
perdagangan orang terjadi.
9 Pasal 9 berusaha menggerakkan orang lain supaya
melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan
Delik Formil. tindak pidana itu tidak terjadi
Meski perdagangan orang tidak terjadi, pelaku
yang mencoba atau berupaya agar pihak lain mau
melakukannya dapat dipidana.
10 Pasal 10 membantu atau melakukan percobaan untuk
melakukan tindak pidana perdagangan orang,
Delik Formil. dipidana dengan pidana yang sama
Kekhususan dari ketentuan percobaan dan
pembantuan menurut KUHP yang menentukan
pengurangan hukuman, bahwa pelaku percobaan
atau pembantu tindak pidana ini akan dihukum
sama dengan pelaku.
11. Pasal 11 merencanakan atau melakukan permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana
Delik Formil. perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang
sama sebagai pelaku
Pemidanaan terhadap orang yang beru
merencanakan (Akomodasi dari Konvensi
Palermo) atau yang ikut bermufakat, berperan
tidak secara langsung dipidana sama dengan
pelaku yang berbuat secara langsung.
12. Pasal 12 menggunakan atau memanfaatkan korban tindak
pidana perdagangan orang dengan cara
Delik Formil. melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul
lainnya dengan korban tindak pidana
perdagangan orang, mempekerjakan korban
tindak pidana perdagangan orang untuk
meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil
keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan
orang
Berdasar kepada ayat ini, eksploitasi korban
perdagangan orang telah terjadi. Terhadap pihak-
pihak yang mengeksploitasi itu pun dipidana
sama dengan pelaku tindak pidana kejahatan
perdagangan orang.
13. Pasal 13 Unsur subjektif yang melekat pada pelaku, bahwa
pelakunya adalah atau dianggap korporasi,
sebuah badan usaha berbadan hukum.
14 Pasal 16 Unsur subjektif yang melekat pada pelaku, bahwa
pelakunya adalah kelompok yang terorganisir.
Pemidanannya sama dengan pasal 2 dengan
pemberatan 1/3.
Contoh Kasus:
Dalam putusan No. 114/Pid.B/2015/PN. Amb, Majelis Hakim menyatakan
bahwa Terdakwa Maryo Noya alias Ryo terbukti bersalah secara sah dan
meyakinkan telah melakukan tindak pidana “Melakukan perekrutan dengan
penjeratan hutang untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di Wilayah
Negara Republik Indonesia” sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2
ayat (1) UU PTPPO. Dalam kasus, Terdakwa bersama dengan istrinya Lidya
Lily berhasil membawa saksi Ade Irma dan saksi Wirdayanti yang
sebelumnya telah menyetujui tawaran terdakwa untuk bekerja sebagai
pramuria di Fak-Fak Papua Barat dengan jumlah gaji dari 2-6 juta.
15
RB Budi Prastowo, ”DELIK FORMIL/MATERIIL, SIFAT MELAWAN HUKUM FORMIL.MATERIIL
DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Kajian Teori
Hukum Pidana terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 003/PUU-IV/2016,
Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 24, No. 3, 2006, hlm. 214,
http://journal.unpar.ac.id/index.php/projustitia/article/viewFile/1157/1124
Terdakwa pun membelikan mereka tiket pesawat. Sebelum pergi dari
Ambon, mereka berempat menginap di sebuah kamar hotel. Namun selang
beberapa waktu kemudian, 4 saudara saksi Wirdayanti datang untuk
membawa saksi tetapi pergi lagi setelah Terdakwa meminta ganti rugi uang
tiket. Keesokannya, mereka naik pesawat ke Bandara Torea Fak-Fak, Papua
Barat dan dijemput oleh Aziz, seorang supir dari Café Liquid. Di Café
Liquid, kedua saksi ini menandatangani kontrak kerjanya sebagai Pramuria
akibat permintaan ganti rugi atau utang atas tiket perjalanan sebesar 11
juta.
Dari bunyi pasal ini dapat ditentukan bahwa unsur-unsur delik yang
terkandung dalam pasal ini adalah sebagai berikut:
16
Ibid.
Contoh Kasus:
Dalam Putusan Nomor 2055/Pid.Sus/2017/PN Lbp, Majelis Hakim
menyatakan bahwa Terdakwa Parada Harahap terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perdagangan orang”
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU PTPPO. Dalam kasus,
Terdakwa merupakan seorang mucikari (kurang lebih satu tahun). Ia
ditangkap oleh anggota kepolisian Polrestabes Medan setelah ia menerima
orderan perempuan dari saksi John Stepu (polisi) melalui WA. Terdakwa
pun mengirimkan foto-foto perempuan yang diorder, saksi John Stepu
memilih saksi Devi Oktavia dengan layanan short time seharga 2 juta
ditambah 200 ribu uang jasa penjualan bagi terdakwa. Terdakwa pun
mengantar saksi Devi Oktavia ke Hotel Emerald Garden ditemani saksi
Venska Amalia Pohan. Proses transaksi terjadi, terdakwa bersama dengan
saksi Venska pun pergi dan ditangkap di pintu utama Lobby. Menurut
Majelis Hakim, terpenuhinya komponen pasal terkait itu bersifat alternatif
(tindakan atau cara). Bahwa, terdakwa memenuhi unsur pasal berupa
“perekrutan” yang merupakan tindakan terhadap saksi Devi sehingga
terjadinya eksploitasi dalam bidang pelajuran terhadapnya dengan
sejumlah bayaran dan keuntungan bagi terdakwa.
17
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
18
Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
Anak secara khusus menjadi korban dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU
PTPPO. Selain itu, Pasal 17 UU PTPPO menentukan pemberatan pidana
dengan menambah 1/3 ancaman pidananya kepada pelaku yang
melakukan tindak pidana perdagangan orang yang diatur dalam Pasal 2,
Pasal 3 dan Pasal 4 UU PTPPO.
3. Setiap Orang
Setiap orang menurut Pasal 1 ayat (4) UU PTPPO adalah “orang
perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan
orang.”19
4. Penyelenggara Negara
Penyelenggara Negara disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1), bahwas
ubjek hukum pidana berupa penyelenggara negara ini dapat dipidana
apabila terbukti memiliki peran dalam mengakibatkan terjadinya tindak
pidana perdagangan orang. Peran yang dimaksud memiliki keterkaitan
dengan pelaksanaan kekuasan atau kewenangannya, bahwa penyelenggara
negara ini telah menyalahgunakan kekuasaannya, yakni tidak sesuai
dengan tujuan diberikannya kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan ini
perlu memiliki hubungan kausal dengan akibat terjadinya tindak pidana,
baik itu mempermudah ataupun untuk melakukan tindak pidana
perdagangan orang.
Dalam penjelasan atas UU PTPPO, disebutkan bahwa penyelenggara
negara yang dimaksud adalah pejabat pemerintah, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat
keamanan, penegak hukum atau pejabat publik.
5. Korporasi
Korporasi menurut Pasal 1 ayat (6) UU PTPPO adalah “kumpulan
orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.”20 Korporasi sebagai pelaku tindak pidana
perdagangan orang dapat dimintakan pertanggungjawabannya, hal ini
secara tegas ditentukan dalam Pasal 13 UU PTPPO yang menentukan
19
Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
20
Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
bahwa dalam kondisi tertentu, pelaku yang merupakan subjek hukum
pidana perlu dianggap sebagai suatu entitas korporasi. Berikut kondisi-
kondisi tertentu yang dimaksud:21
a) Orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi;
b) Orang-orang yang bertindak untuk kepentingan korporasi;
Orang-orang dalam kedua poin ini dapat bertindak sendiri maupun
bersama-sama dalam lingkungan korporasi, baik karena memiliki
hubungan kerja ataupun hubungan lain.
Contoh Kasus:
Dalam Putusan No. 459/Pid.Sus/2015/PN.Bks, PT Mahkota Ulfa Sejahtera
diputus bersalah melakukan tindak pidana perdagangan orang, tepatnya
telah melanggar Pasal 6 Jo. Pasal 10 Jo. Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU
PTPPO.
21
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
22
Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksaan R.I, “Modul Tindak Pidana Perdagangan Orang”,
hlm. 20,
http://badiklat.kejaksaan.go.id/e-akademik/uploads/modul/8c4e2d72b118aa46e57f5d1a98d
8a6c2.pdf, diakses pada tanggal 16 November 2020.
6. Kelompok Terorganisasi
Kelompok Terorganisasi diatur dalam Pasal 16 UU PTPPO yang
memiliki bunyi sebagai berikut:23
“Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok
yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan
orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah
1/3 (sepertiga).”
23
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
24
Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
25
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Anak.
kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas
pada: 1) tulisan, suara, atau gambar; 2) peta, rancangan, foto, atau
sejenisnya; atau 3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang
memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca
atau memahaminya.”
Selanjutnya diambil dari Penjelasan Pasal demi Pasal, UU PTPPO
memperjelas ketentuan huruf b di atas. Bahwa data, rekaman, atau
informasi ini dapat berbentuk sebagai data yang disave di dalam computer,
telepon atau perlahatan elektonik, atau catatan lainnya seperti:
26
Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksaan R.I., “Modul Tindak Pidana Perdagangan
Orang”, Op.cit., hlm. 29-30
difokuskan kepada restitusi.27 Tetapi sebelumnya, kompensasi dan restitusi
ini perlu dibedakan, yaitu sebagai berikut:28
a. Kompensasi: sesuatu yang timbul atas permintaan korban dan
dibayarkan oleh masyarakat, oleh karenanya kompensasi dapat
diartikan sebagai bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau
negara; dan
b. Restitusi: Restitusi ini memiliki sifat pidana karena timbul dari
putusan pengadilan pidana untuk dibayarkan oleh terpidana, oleh
karenanya dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban terpidana.
Restitusi sebagai pertanggungjawaban terpidana ini diatur definisinya
dalam Pasal 1 ayat (13) UU PTPPO yang memiliki bunyi sebagai berikut:
“pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil
dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.”29
Frasa kerugian materiil dan/atau immaterial ini ditentukan dalam
Pasal 48 ayat (2) UU PTPPO, bahwa restitusi itu berupa ganti kerugian atas:
a. Kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. Penderitaan;
c. Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis;
dan/atau
d. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
Untuk mendapatkan restitusi ini, pengajuannya dapat dilakukan melalui
dua proses, yaitu:
a. Melalui Jalur Tuntutan Pidana
Pengajuan lewat jalur ini perlu dilakukan atau dilaksanakan sejak
korban melaporkan kasusnya kepada Kepolisian RI dan ditanda tangani
oleh Penyidik yang pada saat ini sedang melakukan penanganan tindak
pidana perdagangan orang. Selanjutnya, permintaan ini perlu dimasukkan
kepada Berita Acara Pemeriksaan Saksi Korban.
27
Salsabila Dewi Vitasari, Satria Sukananda, dan Sandra WIjaya, “Pelaksanaan Pemberian
Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang”, Diversi Jurnal Hukum, Vol. 6,
No. 1, 2020, hlm. 103, https://core.ac.uk/reader/322517470
28
Ibid.
29
Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Mengenai jumlah kerugian, Penuntut Umum akan menyampaikan
jumlah kerugian yang diderita bersama dengan tuntutan. Mekanisme
pengajuan ini perlu dilakukan secara sistematis, yaitu sejak tahap
penyelidikan sebagaimana yang ditentukan dalam penjelasan Pasal 48 ayat
(1) UU PTPPO karena jika permintaan ini tidak diajukan pada tahap
penyelidikan, misalnya baru diajukan oleh JPU bersamaan dengan
tuntutan ketika seharusnya tinggal menyampaikan jumlah kerugian, maka
tuntutan restitusi ini akan dapat ditolak oleh pengadilan. 30
Jika telah dilakukan secara sistematis dan telah dicantumkan
restitusi serta jumlah kerugiannya dalam surat tuntutan pidana, maka
Hakim dengan pertimbangan-pertimbangannya akan mencantumkan
restitusi ini dalam amar putusannya. Berikut restitusi yang berhasil
dieksekusi oleh Penuntut Umum, yaitu:31
1) Putusan No. 2044/Pid.Sus/2013/PN.JKT.BAR, dalam putusan ini
terdakwa Willy dibebankan restitusi sebesar 1, 1 milyar dan dapat
dieksekusi untuk korban Imam Syafei, dkk.
2) Putusan No. 550/Pid.Sus/2013/PN.JKT.SEL, dalam putusan ini
terdakwa Rumoang dan Omi dibebankan restitusi sebesar 60 juta
secara renteng dan dapat dieksekusi untuk korban Ratnasari, Kartika
dan Risca Nurcahya.
b. Melalui Gugatan Perdata
Berdasar kepada Penjelasan Pasal demi Pasal, Penjelasan Pasal 48
ayat (1) menentukan bahwa mekanisme pengajuan restitusi melalui
tuntutan pidana tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan
sendiri gugatan atas kerugiannya.
2. Rehabilitasi
UU PTPPO selain memberikan ancaman pidana yang lebih berat, UU
ini juga menentukan mekanisme khusus sebagai upaya negara untuk
memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dari tindak pidana ini,
seperti restitusi atas kerugian yang telah dijelaskan sebelumnya dan hak-
30
Tim Penyusun Modul Badan DIklat, “Modul Tindak Pidana Perdagangan Orang”, Op.cit., hlm.
35
31
Ibid., hlm. 36
hak lain bagi korban atas rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi dari
pemerintah. Khusus mengenai rehabilitasi, Pasal 1 ayat 14 UU PTPPO
menentukan bahwa, “Rehabilitasi adalah pemulihan dan sosial agar dapat
melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat.”32 Hal-hal mengenai Rehabilitasi ini diatur dalam Pasal
51 – 54 UU PTPPO sebagai berikut:33
Pasal 51 UU PTPPO
1) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, kesehatan sosial,
pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan
mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana
perdagangan orang.
2) Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban atau
keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja
sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain
melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada
pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah
kesehatan dan sosial di daerah.
Pasal 52 UU PTPPO
1) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) wajib memberikan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung
sejak diajukan permohonan.
2) Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial
atau pusat trauma.
3) Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya dapat pula
membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.
Pasal 53 UU PTPPO
32
Pasal 1 ayat 14 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
33
Pasal 51 – Pasal 54 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya
akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan
segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan
dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7
(tujuh) hari setelah permohonan diajukan.
PASAL 54 UU PTPPO
1) Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum
akibat tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia
melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan
korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya
negara.
2) Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka
Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke
negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia.
3) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum
internasional, atau kebiasaan internasional.