You are on page 1of 224

PANDUAN KURSUS

BANTUAN HIDUP
JANTUNG LANJUT

0 0
PANDUAN KURSUS
BANTUAN HIDUP JANTUNG LANJUT

Kontributor
Achyar, dkk

Editor
Radityo Prakoso, dkk

Penerbit
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
2021

0 0
PANDUAN KURSUS
BANTUAN HIDUP JANTUNG LANJUT

Kontributor
dr. Achyar, SpJP (K), FIHA
dr. Adrianus Kosasih, SpJP, FIHA
dr. Agus Harsoyo, SpJP(K),
FIHA dr. Agus Subagyo,
SpJP(K), FIHA
dr. Afdallun A. Hakim, SpJP (K), FIHA
dr. Budi Bhaktijasa Dharmadjati, SpJP(K),
FIHA dr. Erika Maharani, SpJP(K) FIHA
dr. Endang Ratnaningsih, SpJP (K),
FIHA dr. Farial Indra, SpJP(K), FIHA
dr. Firman Fauzan, SpJP FIHA
dr. Liliek Murtiningsih, SpJP(K), FIHA
dr. Made Satria, SpJP FIHA
dr. Radityo Prakoso, SpJP(K), FIHA
dr. Reza Octavianus, SpJP, FIHA
dr. Rizki, SpJP, FIHA
dr. Santoso Karo - Karo SpJP(K),
FIHA dr. Samuel Sudanawijaya,
SpJP(K), FIHA dr. Tantani Sugiman,
SpAn-KIC, MKes

Editor
dr. Radityo Prakoso, SpJP(K), FIHA
dr. Rizki, SpJP, FIHA
dr. Firman Fauzan, SpJP,
FIHA dr. Made Satria, SpJP,
FIHA dr. Dian Aris Priyanti
dr. Tamara Ey Firsty

ISBN
978-602-7885-93-6

Penerbit
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia

2021

ii

0 0
KATA PENGANTAR

Assalammu'alaikum Wr. Wb.

Pertama-tama kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang dengan
rahmat- Nya maka buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut (BHJL)
dalam bahasa Indonesia dapat diselesaikan.

Buku ini merupakan buku pedoman untuk pelatihan Advanced Cardiac Life
Support (ACLS) di seluruh Indonesia. Diharapkan bahwa buku ini dapat menjadi
pedoman dan acuan bagi peserta pelatihan ACLS serta dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya.

Kepada seluruh tim Instruktur ACLS yang menjadi kontributor dan telah bersusah
payah menyusun buku ini, Pengurus Pusat PERKI mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya.

Buku pedoman pelatihan ACLS ini akan terus dievaluasi dan disempurnakan sesuai
dengan perkembangan ilmu kardiologi.

Pengurus Pusat
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia

Dr. dr. Isman Firdaus, Sp.JP(K), FIHA, FAPSIC, FESC, FACC, FSCAI
Ketua Umum PP PERKI

0 0
Da昀琀ar Isi

Daftar isi
............................................................................ iv
Bab I. Tinjauan Pelatihan
..........................................................6
Bab II. Tata Laksana Jalan Napas
............................................... 13
Bab III. Terapi Listrik Defibrilasi, AED, Kardioversi, dan Pacu Jantung...41
Bab IV. Perawatan Pasca Henti Jantung....................................... 51
Bab V. Bradikardia
................................................................60
Bab VI. Takikardia
.................................................................65
Bab VII. Sindrom Koroner Akut (SKA)...........................................81
Bab VIII. Hipotensi, Syok, dan Edema Paru Akut............................106
Bab IX. Obat-obatan yang Digunakan dalam Bantuan Hidup Jantung Lanjut 118
Bab X. Tim Darurat Medis
.......................................................134
Bab XI. Bantuan Hidup Lanjutan Pediatri.................................... 139

0 0
DAFTAR SINGKATAN

DEO Defibrilator Eksternal Otomatis / Automa琀椀c External De昀椀brilator


(AED)
BHJD Bantuan Hidup Jantung Dasar
BHJL Bantuan Hidup Jantung Lanjut
CD Compact Disc
DD Diagnosis Diferensial
EKG Elektrokardiogram
ETT Endo Tracheal Tube
IMA Infark miokard akut
IKP Intervensi Koroner Perkutan/PCI (Percutaneus Coronary Interven琀椀on)
IKPP Intervensi Koroner Perkutan Primer
IO Intraosea
IV Intravenous
LBBB Le昀琀 Bundle Branch Block
LMA Laryngeal Mask Airway
NSTEMI Non-ST Elevation Myocardial Infarction
OPA Oropharyngeal Airway
PJK Penyakit Jantung Koroner
PVC Premature Ventricular Complexes
PSVT Paroxysmal Supraventricular Tachycardia
RBBB Right Bundle Branch Block
RJP Resusitasi Jantung Paru
ROSC Return of Spontaneous Circula琀椀on
SKA Sindroma Koroner Akut
SL Sublingual
STEMI ST Eleva琀椀on Myocardial Infarc琀椀on
VT Ventricular Tachycardia
VF Ventricular Fibrilla琀椀on

0 0
BAB I
TINJAUAN PELATIHAN

A. Pendahuluan
Kejadian mati mendadak masih merupakan penyebab kematian utama baik di
negara maju maupun negara berkembang seperti di Indonesia. Henti jantung
(cardiac arrest) bertanggung jawab terhadap 60% angka kematian penderita dewasa
yang mengalami penyakit jantung koroner (PJK). Di Eropa diperkirakan terdapat
700.000 n hasil Riset
Kesehat erbitkan oleh
Departe a, prevalensi
nasiona ga kesehatan
dan gej ) tahun 2018,
hanya d sebesar 1,5%
dan me henti jantung
mendad
Berb en sindroma
koroner brilla琀椀on/VF),
suatu dden cardiac
death/S ( ventricular
tachycar saat pasien
akhirnya perburukan
lagi me h resusitasi
jantung
Kursu para tenaga
kesehatan yang berperan langsung dalam resusitasi pasien, baik di dalam maupun
di luar rumah sakit. Pada pelatihan ini, anda diharapkan mampu meningkatkan
keterampilan dalam penanganan pasien henti jantung dan penanganan keadaan
sebelum henti jantung. Pelatihan menggunakan metode partisipasi aktif melalui
serangkaian simulasi kasus kardiopulmoner. Simulasi ini dirancang untuk
memperkuat konsep-konsep penting:

0 0
 Identifikasi dan penanganan kondisi medis pada pasien yang mengalami risiko
terjadinya henti jantung
 Survei Primer Bantuan Hidup Jantung Dasar (BHJD)
 Survei Sekunder Bantuan Hidup Jantung Lanjut (BHJL)

0 0
 Algoritma BHJL
 Dinamika tim resusitasi yang efektif
Kursus BHJL dirancang sedemikian rupa dengan menekankan pentingnya
tindakan- tindakan berkelanjutan yang saling terkait satu sama lain agar
memperoleh hasil yang maksimal untuk menyelamatkan hidup pasien. Tindakan
yang berkesinambungan ini disebut dengan rantai kelangsungan hidup (the chain
of survival).
Rantai pertama adalah mendeteksi segera kondisi korban dan meminta
pertolongan (early access), rantai kedua adalah resusitasi jantung paru (RJP)
segera h defibrilasi
segera idup jantung
lanjut s lima adalah
perawa
Jika , pada anak-
anak ad um meminta
bantuan

B. Tujua
Ketika l
 M D, termasuk
m n Automated
Ex O).
 M an (return of
sp u melakukan
ru
 M disi sebelum
henti jantung yang dapat menyebabkan terjadinya henti jantung atau
mempersulit resusitasi.
 Mengidentifikasi dan mempercepat penanganan pasien yang menderita
sindroma koroner akut.
 Mendemonstrasikan komunikasi yang efektif sebagai seorang anggota
atau pemimpin tim resusitasi.

0 0
C. Gambaran Pela琀椀han
Untuk membantu peserta mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas, maka
disiapkan

0 0
pembelajaran melalui praktek, yang meliputi:
 Simulasi skenario klinis
 Diskusi dan bermain peran
 Praktik perilaku tim resusitasi
Pada akhir pelatihan, anda akan menjalani suatu ujian Megacode untuk
memvalidasi pencapaian anda akan tujuan pelatihan ini. Suatu simulasi skenario
henti jantung akan menguji hal-hal berikut ini:
 Pengetahuan mengenai materi kasus inti dan keterampilan
 Pe
 Pe
 Pe
 Ki

D. Prasy
Pelat ehatan yang
berpera i luar rumah
sakit. tahuan dan
keteram




Keteram
Keterampilan BHJD yang kuat merupakan dasar dari Bantuan Hidup Jantung
Lanjut. Anda harus lulus evaluasi RJP/DEO dengan 1 penolong untuk
menyelesaikan pelatihan BHJL dengan sukses.

Interpretasi Irama EKG untuk Irama In琀椀 BHJL


Anda perlu mengetahui irama yang tampak pada monitor ataupun yang
tercetak pada kertas yang berhubungan dengan algoritma dasar henti jantung
atau keadaan

0 0
menjelang henti jantung. Irama-irama ini adalah:
 Irama sinus
 Atrial Fibrilla琀椀on dan Atrial 昀氀u琀琀er
 Bradikardia
 Takikardia
 Blok atrioventrikular
 Asistol
 Pulseless electrical ac琀椀vity (PEA)
 Ve
 Ve

Selam terpretasikan
irama, b

Obat da
Anda ritma BHJL.
Dalam dosis yang
digunak ahui kapan
menggu api.

Aplikasi
Anda a pemberian
semua j pannya pada
kondisi en tersebut.
Terutam

Konsep Tim Resusitasi


Sepanjang pelatihan ini, kemampuan anda sebagai pemimpin tim dan anggota
tim akan dievaluasi. Hal utama yang dinilai adalah kemampuan anda untuk
mengarahkan integrasi BHJD dan BHJL yang dilakukan anggota tim.

E. Syarat-Syarat untuk Lulus Pela琀椀han

0 0
Untuk lulus pelatihan BHJL ini dan memperoleh sertifikat, anda harus:
 Lulus ujian RJP/DEO dengan 1 penolong
 Berpartisipasi, mempraktekkan, dan menyelesaikan semua topik pembelajaran
 Lulus ujian Megacode
 Lulus ujian tertulis tutup buku dengan nilai minimal 75%

0 0
REFERENSI
1. Hayakawa, M., Gando, S., Okamoto, H., Asai, Y., Uegaki, S., & Makise, H.
(2009). Shortening of cardiopulmonary resuscitation time before the
defibrillation worsens the outcome in out-of-hospital VF patients. The
American journal of emergency medicine, 27(4), 470-474.
2. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C.
W.,
... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life
support: 2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary
Circulation,

3. guidelines for
e. Circulation,

4. Deakin, C. D.
ac arrest: a

5. International
es 2000 for
lar care: an

6. c care state of

7. Cave, D. M.,
life support:
diopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
122(18_suppl_3), S685-S705.
8. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, et al. 2015 American Heart
Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care; Part 5: Adult Basic Life Support and
Cardiopulmonary Resuscitation Quality. Circula琀椀on. 2015;132[suppl
2]:S414–S435.

0 0
9. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... &
Sunde, K. (2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation
2015: section
3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
10. Perkins, G. D., Handley, A. J., Koster, R. W., Castrén, M., Smyth, M. A.,

0 0
Olasveengen, T., ... & Ristagno, G. (2015). European Resuscitation
Council Guidelines for Resuscitation 2015: Section 2. Adult basic life
support and automated external defibrillation. Resuscitation, 95, 81-99.
11. Koster, R. W., Baubin, M. A., Bossaert, L. L., Caballero, A., Cassan, P., Castrén,
M.,
... & Raffay, V. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2010 Section 2. Adult basic life support and use of
automated external defibrillators. Resuscitation, 81(10), 1277-1292.
12. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R.,
Hirsch,
Advanced Life
rdiopulmonary
Circulation,

0 0
BAB II

TATA LAKSANA JALAN NAPAS

TUJUAN PEMBELAJARAN
 Menjelaskan cara mengoptimalkan oksigenasi jaringan
 Menjelaskan terapi suplementasi oksigen
 Melakukan pengelolaan jalan napas, pembukaan dan pemeliharaan jalan napas atas
 Penggunaan alat bantu jalan napas dasar dan lanjut
 Pe
 Pe

A. Pend
Hipo a merupakan
penyeba yang sering
berakhi leh karena itu
mengen at merupakan
langkah diovaskular.
Hipo eberapa organ
yang vit kan mengalami
kerusaka n selamanya
(sequela
Fung a O2 yang berdifusi
dari alv e alveoli baik.
Hasil ak

B. Oksigenasi Jaringan
Secara garis besar syarat agar oksigen sampai ke sel / jaringan dan bisa
digunakan untuk metabolisme membentuk energi adalah fungsi pernapasan dan
sirkulasi yang baik. Secara rinci syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fraksi inspirasi O2 (FiO2) cukup.
2. Fungsi respirasi adekuat:
a. Jalan napas baik

0 0
b. Volume tidal cukup

0 0
c. Frekuensi napas cukup
d. Irama napas teratur
e. Keadaan alveoli/ paru baik
3. Pembawa O2
baik:
a. Kadar Hb cukup
b. Sifat Hb
baik
4. Fungsi kardiovaskuler/sirkulasi baik:
a. Volume cairan darah cukup

5. Se

Apab gguan maka akan


terjadi :
1. Pa
2. T
3. Pe

4. De
5. Ir
6. T
7. K

C. Pengelolaan Hipoksia dan Pemberian Bantuan Napas/Ven琀椀lasi


1. Pemberian Suplementasi Oksigen
Tujuan pemberian O2 ialah agar FiO2 meningkat, sehingga tekanan parsial O2
yang dihirup meningkat maka tekanan parsial O2 di alveoli (P AO2) juga akan
meningkat, bila jalan napas dan ventilasi baik. Kalau PAO2 meningkat, yang

0 0
berdifusi ke darah akan lebih banyak sehingga kandungan O2 dalam darah
meningkat.
Bila fungsi sirkulasi (mengedarkan O2 keseluruh tubuh sampai ke sel / jaringan)

0 0
optimal maka hipoksia dapat teratasi. Pada kegawatan kardiopulmoner,
pemberian oksigen harus dilakukan secepatnya jika saturasi kurang dari 94%.
Pemberian oksigen dapat dilakukan dengan memakai berbagai alat.
Keefektifan masing-masing alat ditentukan oleh kemampuan alat untuk
menghantarkan oksigen dengan kecepatan aliran yang cukup tinggi untuk
mengimbangi kecepatan aliran inspirasi pernapasan spontan pasien. Oleh
karena itu, pemberian oksigen yang diinspirasi setinggi 100% (Fraksi oksigen
inspirasi = FiO2:1,0) dianjurkan untuk kegawatan kardiopulmoner. Hal ini
ditujukan untuk mengoptimalkan tekanan oksigen inspirasi yang akan
mem an akhirnya
mem elivery DO2).
Peng atakan dalam
DO2 dalam arteri
(SaO

Alat-
Agar atan dasar yaitu:

 am sungkup muka

Sumb
Ya u unit yang
terte mber oksigen
diken at di rumah
sakit mentasi agar
oksigen dapat dialirkan ke pasien sesuai kebutuhan.
Kelengkapan dari sumber oksigen adalah:
 Pembuka katup untuk membuka tabung, pengukur tekanan, dan aliran

gas (pressure gauge dan 昀氀owmeter).


 Pipa penghubung (tubing connector) ke alat suplementasi oksigen.

0 0
Gam bung ke

Alat-
Al kan menjadi
siste ikan oksigen
samp tinggi, yang
artin nspirasi yang
diatu
a.
diatur dengan
ke oksigen yang
di rgantung dari
ke an FiO2 tidak
da ul nasal tidak
le gen 1 liter per
m 4% (Tabel 3).
Pemberian aliran yang lebih dari 5 liter per-menit tidak akan memberikan FiO2
yang tinggi, malah berakibat mengeringkan dan mengiritasi mukosa nasal.
Oleh karena itu, kanul nasal disebut alat suplementasi oksigen sistem
oksigen-rendah, aliran-rendah. Keuntungan kanul nasal adalah kenyamanan
pasien dan aliran O2 yang terus menerus meskipun pasien sedang makan,
diukur suhu, maupun selama pemakaian pipa nasogastrik.
b. Sungkup muka sederhana

0 0
Sungkup muka sederhana atau dikenal dengan sungkup muka Hudson.
Sungkup muka ini mempunyai lubang tempat pipa saluran masuk O2 di
dasarnya dan lubang-lubang kecil disekililing sungkup muka. Oksigen
dapat dialirkan

0 0
dengan kecepatan 6-10 liter per menit dengan FiO2 yang dicapai sekitar 0,35-
0,6. Bila kecepatan aliran oksigen kurang dari 6 liter per menit akan
terjadi penumpukan CO2 akibat terjadi dead space mekanik. Alat ini
termasuk sistem oksigen-sedang, aliran-tinggi.
c. Sungkup muka non-rebreathing
Sungkup muka ini terdiri atas sungkup muka sederhana yang
dilengkapi dengan kantong reservoir oksigen pada dasar sungkup muka
dan satu katup satu arah yang terletak pada lubang di samping sungkup
da reservoir dan
su
ungkup muka
ak ong reservoir,
se dan sungkup
m sevoir tetapi
di ngkup. Pada
si ong reservoir.
Ke er per-menit
da ar berfungsi
se engembang-
m
d.
ngan kantong
re reservoir terus
m k ke kantong
re en menghisap
kembali sepertiga gas ekspirasinya.

Sungkup muka yang dilengkapi dengan kantong reservoir merupakan alat


sistem oksigen tinggi, aliran-tinggi. Sungkup muka dengan reservoir O2
digunakan pada:
 Sakit kritis, kesadaran masih baik, ventilasi adekuat tetapi membutuhkan
oksigen dengan konsentrasi tinggi.

0 0
 Sebelum ada indikasi intubasi trakea, seperti pada edem paru akut, asma
akut, PPOK, atau pasien tidak sadar tetapi ventilasi adekuat dengan
refleks batuk masih ada.

0 0
A. Ka
B. Su setting

ng diinginkan
C. Su

D. Su ggi

asi dan ekspirasi

E. Su
mixing jet.
D Oksigen yang
di n kecepatan
al aliran 10-12
lit

Sungkup muka ini paling berguna pada pasien dengan penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK) yang diketahui memerlukan sedikit hipoksia untuk
memicu pusat pernapasan, sehingga diperlukan pemberian titrasi FiO2
yang tepat untuk memperbaiki saturasi oksigen tanpa menekan ventilasi
semenit. Alat ini termasuk sistem oksigen-terkendali, aliran-tinggi.

0 0
Tabel 2.1. Alat suplementasi oksigen, kecepatan aliran dan persentase oksigen yang
dihantarkan
Alat Kecepatan Aliran % Oksigen
1 L/menit 21%-24%
2 L/menit 25%-28%
Kanul Nasal 3 L/menit 29%-32%
4 L/menit 33%-36%
5 L/menit 37%-40%
Sungkup Muka Sederhana 6-10 L/menit 35%- 60%
6 L/menit 60%
Sungkup Muka dengan 7 L/menit 70%
8 L/menit 80%
reservoir O2 9 L/menit 90%
10-15 L/menit 95-100%

Su 4%-35%
0%-50%

2. Pe
U u melakukan
tit darah (PaO2
enyut (Pulse
Oxy berasal dari
siny ungkan sifat-
ifat denyutan
alira
Pr berdenyut
anta ; perbedaan
abso moglobin dan
hemo bawah alat
sens
Li ransmisikan
cahaya melalui jaringan (misalnya di ujung jari), dan intensitas cahaya yang
ditransmisikan diukur oleh detektor cahaya pada sisi lainnya. Penggunaan
oksimetri denyut dapat pula sebagai petunjuk pemilihan alat suplementasi
oksigen (Tabel 2).

0 0
Tabel 2.2. Pemilihan Alat Suplementasi Oksigen Berdasarkan Nilai Oksimetri
Nilai oksimetri Arti Klinis Pilihan alat suplementasi
denyut Oksigen
95-100% dalam batas normal Kanul nasal O2 max
4L/menit
90-94% Hipoksia ringan-sedang Sungkup muka sederhana O2
6-
10L/menit
85-89% Hipoksia Berat Sungkup muka dengan reservoir
O2 10-15L/menit
n positif O2

3. Pe
Pa n napas yang
terja am kasus ini,
lidah gian farings.
Tand , ada tarikan
otot di daerah iga
dan b

Pemb
Te ngkat kepala
dan m -angkat dagu
(head jalan napas
diseb
Bila pasien yang menderita trauma diduga mengalami cedera leher,
dilakukan penarikan rahang tanpa mendorong kepala. Karena mengelola jalan
napas yang terbuka dan memberikan ventilasi merupakan prioritas, maka
gunakan dorong kepala-tarik dagu bila penarikan rahang saja tidak
membuka jalan napas.

0 0
A

B C

lotis, B.
Ma mbebaskan
ob bila pasien

4. Pe
Po k sadar yang
dapa anpa refleks
batu rhana.
Alat
 A)
 NPA)

4.1.
Alat bantu jalan napas ini hanya digunakan pada pasien yang tidak sadar
bila angkat kepala-angkat dagu tidak berhasil mempertahankan jalan napas atas
terbuka. Alat ini 琀椀dak boleh digunakan pada pasien sadar atau setengah sadar
karena dapat menyebabkan batuk dan muntah. Jadi pada pasien yang masih
ada refleks batuk atau muntah tidak diindikasikan untuk pemasangan OPA.
Bila pasien memiliki refleks batuk atau muntah, OPA dapat menstimulasi
terjadinya muntah dan laringospasme.

0 0
Tabel 2.3. Cara penggunaan alat bantu jalan napas orofaring
Langkah Tindakan
1 Bersihkan mulut dan faring dari sekresi, darah, atau muntahan
dengan menggunakan ujung penyedot faring yang kaku (Yaunker),
bila memungkinkan.
2 Pilihlah ukuran OPA yang tepat yaitu dengan menempatkan OPA
di samping wajah, dengan ujung OPA pada sudut mulut, ujung
yang lain pada sudut rahang bawah. Bila OPA diukur dan
dimasukkan dengan
tepat, maka OPA akan tepat sejajar dengan pangkal glotis.
3 Masukkan OPA sedemikian sehingga ia berputar ke arah belakang
ketika memasuki mulut.
4 Ketika OPA sudah masuk rongga mulut dan mendekati dinding
posterior faring, putarlah OPA sejauh 180O ke arah posisi yang
tepat. Suatu metode alternatif adalah memasukkan OPA secara
lurus ketika menggunakan penekanan lidah atau alat yang serupa
untuk menahan
lidah di dasar mulut.
sien. Jagalah agar kepala dan dagu napas. Lakukan penyedotan berkal

A B
Gambar 2.4. A. Berbagai ukuran alat bantu jalan napas orofaring (OPA),
B. Posisi OPA yang benar

0 0
Perhatikan hal-hal berikut ini ketika menggunakan OPA:
 Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan
menyebabkan trauma pada struktur laring.
 Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat
menekan dasar lidah dari belakang dan menyumbat jalan napas.
 Masukkan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya trauma
jaringan lunak pada bibir dan lidah.

4.2.
u jalan napas
naso ah sadar, jadi
pasie ini berbentuk
pipa sebagai jalan
alira nggunaan NPA
adala ya trauma di
sekit

faring
L

ng dalam
ggunakan
an untuk

ntara ujung

pasien dengan cuping telinga.


2 Basahi NPA dengan pelumas yang larut dalam air atau jelly

0 0
3 Masukkan NPA melalui lubang hidung dengan arah posterior
membentuk garis tegak lurus dengan permukaan wajah.
Masukkan dengan lembut sampai dasar nasofaring.
Bila mengalami hambatan:
 Putar sedikit pipa untuk memfasilitasi pemasangan pada
sudut antara rongga hidung dan nasofaring.
 Cobalah tempatkan melalui lubang hidung yang satunya
karena pasien memiliki rongga hidung dengan ukuran
yang berbeda.

A B
Gambar 2.5. A. Berbagai ukuran alat bantu jalan nafas nasofaring (NPA),
B. Posisi NPA yang benar

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemasangan NPA:


 Usahakan memasukkan NPA dengan lembut untuk menghindari terjadinya
komplikasi. NPA dapat mengiritasi mukosa atau merobek jaringan adenoid
dan menyebabkan pendarahan, dengan kemungkinan terjadinya aspirasi
gumpalan ke trakea. Penyedotan dapat dilakukan untuk mengeluarkan
darah dan sekret.
 NPA dengan ukuran yang tidak tepat dapat masuk ke dalam esofagus.
Dengan ventilasi yang aktif, seperti ventilasi kantong napas-sungkup
muka, NPA dapat menyebabkan terjadinya pemompaan lambung dan
kemungkinan hipoventilasi.
 NPA dapat menyebabkan laringospasme dan muntah, walaupun secara umum

0 0
NPA dapat ditoleransi oleh pasien dalam keadaan setengah sadar.
 NPA tidak boleh dipasang pada pasien yang mengalami trauma wajah
karena adanya risiko terjadinya penempatan yang salah ke dalam rongga
tengkorak melalui lapisan cribiformis yang mengalami fraktur.

4. Pemberian ven琀椀lasi manual


Bila pernapasan tidak adekuat, maka tindakan yang harus dilakukan
adalah memberikan bantuan napas (ventilasi). Target pemberian bantuan ventilasi
ialah fusi ke darah)
dan C

Ven琀椀 )
Al uah kantong
venti muka wajah
dan k uka, kantong
vent seperti pipa
endo an ini telah
menj unakan untuk
venti ungkup muka
adala an ventilasi
bert
Alat
 asa dengan

 egah pasien
menghirup udara yang sudah dihembuskan. Katup ini sebagai saluran
masuk oksigen dengan aliran maksimal 30 liter per menit.
 Konektor dengan diameter 15/22 mm
 Reservoir oksigen
 Bahan tahan cuaca

Indikasi penggunaan alat ventilasi kantong napas-sungkup muka adalah:


 Henti napas

0 0
 Napas spontan tidak adekuat
 Menurunkan kerja napas dengan membantu memberikan tekanan positif
pada saat inspirasi pasien
 Hipoksia akibat ventilasi spontan yang tidak adekuat

Keberhasilan pemberian bantuan napas dengan alat ini tergantung dari:


 Jalan napas terbuka/ tidak ada sumbatan
 Tidak ada kebocoran antara sungkup muka dengan muka pasien
 enekan

Ven ngkup muka


dila
1. atau muntah,

2. jari telunjuk
uka ke wajah
dan wajah,
ngkat rahang
lain menekan
detik setiap

3. nolong, maka
ng memegang
sungkup dengan 2 tangan yang masing-masing membentuk huruf 'C'
dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk menutup kebocoran diantara
sungkup dan wajah, dan membentuk huruf 'E' dengan 3 jari sisanya untuk
mengangkat rahang bawah. Penolong kedua menekan kantong napas dalam
waktu lebih dari 1 detik setiap ventilasi, sampai dada terangkat (Gambar
2.6.). Kedua penolong harus mengamati terangkatnya dada.

0 0
4. Kebocoran antara kantong napas-sungkup muka tidak akan terjadi bila
kantong napas-sungkup muka dihubungkan dengan alat-alat bantu jalan
napas seperti pipa endotrakea, sungkup laring dan pipa esofagotrakea
(combitube).

Gambar 2.6. Pemberian ventilasi dengan alat kantong-napas sungkup muka dengan
teknik E-C clamp untuk mengangkat rahang bawah (kiri) dan dengan 2 penolong
(kanan).

0 0
5. Pemberian Ven琀椀lasi Dengan Alat Bantu Jalan Napas Tingkat Lanjut
Intubasi endotrakea
Intubasi endotrakea adalah proses memasukkan pipa endotrakea ke dalam
trakea pasien. Bila pipa dimasukkan melalui mulut disebut intubasi orotrakea,
bila melalui hidung disebut intubasi nasotrakea. Intubasi di dalam trakea ini
termasuk dalam tata laksana jalan napas tingkat lanjut. Tenaga kesehatan
terlatih yang boleh melakukan intubasi endotrakea.
Kegunaan pipa endotrakea adalah:


 yang tepat

 a padat atau


 pinefrin dan
travena atau

Indik
 p muka

 tidak

 en koma)

Kom
 Trauma:
o Laserasi bibir, lidah faring, atau trakea
o Trauma pita suara
o Perforasi faring-esofagus
o Muntah dan aspirasi isi lambung ke dalam jalan napas bawah
o Meningkatnya sekresi katekolamin yang menyebabkan peningkatan
tekanan darah, takikardia, atau aritmia.

28

0 0
 Intubasi satu bronkus: terjadi lebih sering pada bronkus kanan
dibandingkan bronkus kiri dan dapat berakibat hipoksemia karena tidak
terdapat ventilasi pada salah satu paru-paru, sehingga tindakan yang
harus dilakukan adalah:
o Kempeskan balon pipa endotrakea,
o Tarik pipa endotrakea keluar sekitar 1-2 cm, lalu
o Konfirmasi posisi pipa endotrakea dengan pemeriksaan fisik.

Tekanan krikoid
uk mencegah
re a. Penekanan
dil an dan posisi
stikan tepat.
Pe kan ventilasi
atau
1.
2. ak di bawah

3. t di bawah

4. arah kepala.
sofagus.
5. sisinya dan
orang yang

Bila merujuk pada panduan AHA 2010, tekanan krikoid sudah tidak
dianjurkan lagi karena dari beberapa kasus, ternyata regurgitasi isi lambung tetap
saja dapat terjadi. Namun demikian, pasien dengan lambung penuh masih harus
dilakukan tindakan ini.

0 0
Gambar 2.7. Tekanan Krikoid

Sungkup laring (Laryngeal Mask Airway/LMA)


LMA merupakan pipa yang ujungnya berbentuk sungkup dengan balon yang bisa
dikembangkan. LMA dimasukkan ke dalam farings tanpa laringoskopi.

Gambar 2.8. A. LMA. B,C,D. Langkah-langkah pemasangan LMA

Indikasi pemasangan LMA:


 Ketidakmampuan penolong memberikan ventilasi dengan alat kantong
napas- sungkup muka
 Henti napas dan henti jantung

Cara pemasangan LMA:


1. Masukkan LMA ke dalam mulut sampai terasa ada tahanan. Adanya tahanan

0 0
menunjukkan ujung distal pipa LMA sampai di hipofaring.
2. Kembangkan balonnya. Pengembangan balon akan mendorong
sungkup menutupi lubang trakea dan menyebabkan udara mengalir
lewat pipa masuk.
3. Pemberian ventilasi dengan pipa LMA akan mengalirkan udara lewat
lubang di tengah sungkup.

Combitube (Pipa Esogafus-Trakea)


Combitube merupakan pipa dengan dua lumen dan dua balon. Pipa ini
dipas punyai lubang-
luban talnya buntu.
Satu
B ikembangkan,
balon ga Combitube
bera ri hipofaring.
Peng au esofagus.
Com an ke dalam
trake engan refleks
farin

samping pipa = B
sung ke trakea
U
m batas gigi; Combitube dimasukkan samp

Proksimal

Gambar 2.9. Combitube

Cara pemasangan Combitube:

0 0
1. Pegang dan masukkan pipa combitube yang balonnya dalam keadaan
kempes dengan arah lengkungan pipa searah dengan lengkungan
farings ke dalam

0 0
mulut sampai 2 garis hitam pada pipa terletak di antara gigi atas dan gigi
bawah pasien.
2. Kemudian kembangkan balon faring (proksimal/biru) dengan 80-100ml
udara, dan kemudian balon esofagus (distal/putih) dengan 12-15ml
udara.
3. Pastikan posisi Combitube, di dalam esofagus atau trakea.
4. Dengan memberikan ventilasi melalui pipa biru (faring/proksimal) dan
lihat dada terangkat, maka pipa combitube masuk ke dalam esofagus.
Meskipun combitube masuk ke dalam esofagus tapi dapat
ubang-lubang
udara akan

5. tidak dapat
aka ventilasi
a terangkat,
i combitube

Gambar 2.10. Combitube masuk ke dalam esophagus


 A= pipa esofagus; pemberian ventilasi masuk ke trakea melewati lubang-
lubang di samping pipa = B
 C = Pipa Trakea
 D = Balon faring dikembangkan
 F = Balon esofagus/trakea dikembangkan
 H = Dua garis hitam batas gigi

0 0
6. Pemeriksaan posisi pipa endotrakea dan alat bantu jalan napas supraglo琀椀k
Posisi alat bantu jalan napas secepatnya harus diperiksa dengan cara
pemberian napas buatan dengan alat kantong napas-sungkup muka. Tindakan
ini tidak perlu menghentikan kompresi jantung pada pasien yang sedang
dilakukan resusitasi jantung paru.
Pemeriksaan posisi pipa di dalam trakea dapat dilakukan dengan:
 Pemeriksaan fisik yaitu dengan melihat dada mengembang, lakukan
auskultasi di 5 tempat yaitu di atas perut, lapangan paru atas kanan-kiri,

 or.

Peme
Ap a auskultasi
terde us. Ventilasi
deng endotrakea
dicab
a. rtimbangkan
LMA atau

b. melakukan

c. da dan tidak
di 5 tempat
pangan paru

d. Apabila belum yakin dengan posisi pipa endotrakea, maka lakukan


laringoskopi ulang untuk memastikan ujung pipa endotrakea telah
melewati pita suara.

Kapnogra昀椀
Berbagai alat elektronik dan mekanik dapat digunakan di luar maupun di
dalam rumah sakit. Berbagai model detektor CO2 akhir ekspirasi yang berfungsi

33

0 0
secara kualitatif, kuantitatif, ataupun kontinyu, dan detektor esofagal tersedia
dari yang sederhana sampai yang kompleks dengan harga mahal.
Detektor CO2 akhir ekspirasi merupakan alat untuk mengenali adanya CO2
yang diekspirasi dari paru. Metode yang paling sederhana digunakan untuk
menilai posisi

34

0 0
di dalam jalan nafas atau di esofagus, yaitu dengan adanya warna ungu berarti
tidak ada CO2 yang berarti pipa di dalam esofagus, dan bila warna kuning
berarti pipa di dalam trakea. Meskipun demikian alat ini tidak dapat menilai
kedalaman pipa di dalam trakea.
Kesalahan perubahan warna sering terjadi pada pasien henti jantung atau
dengan emboli paru. Karena itu penilaian dianjurkan setelah dilakukan
pemberian ventilasi sebanyak 5-6 kali. Metode lainnya adalah dengan alat yang
disebut kapnometer yang mengukur secara kuantitatif CO2. akhir ekspirasi
mem ur CO2 akhir
eksp dalam trakea
maka ggambarkan
nilai

Pemb t bantu jalan


napa
Pa ventilasi dengan
mem
1.
g napas-

sar

2. apas-

tasi jantung paru.


b. 12 kali per menit ( setiap 5 detik) pada waktu henti napas tanpa
disertai henti jantung
3. Siklus kompresi dada-ventilasi: tidak ada sinkronisasi antara kompresi
dada dan pemberian ventilasi.

7. Penyedotan Jalan Napas Atas Yang Tersumbat

0 0
Penyedotan adalah komponen yang penting dalam mengelola jalan napas
pasien. Tenaga kesehatan harus siap untuk melakukan penyedotan bila jalan
napas

0 0
tersumbat oleh sekret, darah, atau muntahan. Peralatan penyedot terdiri dari
unit yang mudah dibawa atau unit yang tertanam pada dinding.
Peralatan penyedot yang mudah dibawa, atau dipindahkan dengan mudah
harus memiliki daya sedot yang memadai. Umumnya yang dibutuhkan adalah
daya sedot sebesar -80 hingga -120 mmHg. Unit penyedot yang tertanam pada
dinding dapat memberikan daya sedot hingga lebih dari -300 mmHg ketika
selang dipasang pada daya sedot penuh.

Katet
Te g lunak dan
fleks g lunak dan
fleks nakan untuk
peny Kateter yang
keras ing. Kateter
jenis n partikulat
yang
Je

Lun

belakang
am/mengunci
Ker ya bila

Prosedur penyedotan orofaring


Ikuti langkah-langkah berikut untuk melakukan penyedotan orofaring:

Langkah Tindakan

0 0
1 Masukkan kateter atau alat penyedot dengan lembut ke dalam orofarings
melewati lidah.
Ukurlah kateter sebelum melakukan penyedotan, dan jangan masukkan
kateter lebih jauh dari jarak antara ujung hidung dengan cuping
telinga.

0 0
2 Gunakan penyedot dengan menghambat bagian pangkal pada saat
menarik kateter dengan gerakan memutar atau memilin
Secara khusus, batasi usaha penyedotan hingga 10 detik atau kurang.
Untuk menghindari terjadinya hipoksemia, dahului dan ikuti usaha
penyedotan dengan pemberian oksigen 100% dalam waktu yang
singkat.

Pemantaun denyut jantung, laju nadi, saturasi oksigen, dan keadaan


klinis pasien selama penyedotan. Bila terjadi bradikardia, turunnya saturasi
oksig tan. Berikan
oksig kondisi klinis
mem

D. PENG
Salah dalam darah ke
seluruh
Tanda-ta
Tanda-ta
 Pe

 Te
Syarat a
 D

o Irama yang teratur


 Volume cairan intra vaskuler cukup.
 Pembuluh darah dan mikrosirkulasi baik.
Bila fungsi sirkulasi tidak adekuat, tindakannya ialah optimasi fungsi sirkulasi, yaitu:
 Melakukan resusitasi cairan

0 0
Tujuan resusitasi cairan ialah agar volume cairan intravaskuler cukup, dengan
harapan preload jantung (terutama jantung bagian kiri) cukup sehingga curah
jantung (stroke volume) mencukupi. Dengan demikian cardiac output cukup.
 Mengoptimalkan kontraksi otot jantung
Bila terbukti bahwa kontraksi otot jantung tidak kuat, maka tindakan kita
ialah memperkuat kontraksi otot jantung dengan pemberian obat yang
bersifat inotropik positif, misalnya dopamine, dobutamin, adrenalin.
 Memperbaiki keadaan pembuluh darah
Pa buluh darah,
bi dilatasi). Agar
te ubuh optimal
m gguan dengan
m lin (bersifat
va
 M
G optimal. Oleh
ka ta melakukan
op m obat anti-
ar

Mikrosir
Mikr upan, karena
merupak untuk jaringan
serta pe mi sakit.
Mitok metabolisme
yang menghasilkan ATP (enerji). Apabila mitokondria tidak cukup mendapatkan O2
atau tidak bisa menggunakan O2 akan terjadi distres ditingkat seluler dengan
manifestasi klinis yang bermacam macam dan merupakan awal gagal organ yang
multipel.
Pemantauan gangguan di tingkat mikrosirkulasi dapat dikerjakan secara “bed
side” yaitu dengan mengukur pCO2 jaringan dan menggunakan orthogonal

0 0
polarization spectral (OPS). Jaringan yang bisa mewakili untuk dipantau adalah
dibawah lidah (sublingual).

0 0
Pemantauan terhadap oksigenasi jaringan
Perjalanan O2 dari udara luar sampai ke jaringan perlu dipantau, agar apabila
terjadi gangguan maka antisipasi dan pengelolaannya lebih tepat sesuai dengan
permasalahannya.
 Pemantauan O2 di paru
Tujuan memantau di tingkat paru adalah untuk mengetahui bagaimana proses
difusi gas O2 dan CO2.
Yang dipantau:

 Pe
Tu
da

 Pe
Tu
Ya

0 0
REFERENSI
1. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway,
C. W., ... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life
support: 2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
122(18_suppl_3), S729-S767.
2. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
112(24 Suppl), IV1.
3. Ame tional Liaison
Com diopulmonary
resu consensus on
scie
4. Eise ut-of-hospital
card echnicians. N
Engl
5. Berg D. M., Hazinski, M.
F.,
... 010 American
Hea citation and
eme 685-S705.
6. Klei erican Heart
Asso nd Emergency
Card diopulmonary
Resu
7. Soar P., ... & Sunde, K.
(201 2015: section
3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
8. Perkins, G. D., Handley, A. J., Koster, R. W., Castrén, M., Smyth, M. A.,
Olasveengen, T., ... & Ristagno, G. (2015). European Resuscitation Council
Guidelines for Resuscitation 2015: Section 2. Adult basic life support and
automated external defibrillation. Resuscitation, 95, 81-99.

0 0
9. Koster, R. W., Baubin, M. A., Bossaert, L. L., Caballero, A., Cassan, P., Castrén, M.,
... & Raffay, V. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2010

0 0
Section 2. Adult basic life support and use of automated external
defibrillators. Resuscitation, 81(10), 1277-1292.

———»»»œ«««——

0 0
BAB III
TERAPI LISTRIK DEFIBRILASI, AED, KARDIOVERSI,
DAN PACU JANTUNG

A. Pendahuluan
Terapi listrik berupa defibrilasi, kardioversi, dan pacu jantung transkutan merupakan
bagian dari bantuan hidup dasar maupun bantuan hidup lanjut. Defibrilasi baik
menggunakan defibrilator manual maupun automated external de昀椀brillator (AED)
merupa dengan irama
fibrilasi tersinkronisasi
digunak hemodinamik,
sedangk bradiaritmia
dengan

B. URAI
TINDAK
Defib untuk kejut
jantung balikan irama
menjad ng disebabkan
oleh VT VT polimorfik
(torsade ukan semakin
lama da menit. Angka
kematia pa dilakukan
resusita
Defib ang, monofasik
dan bifasik. Defibrilator monofasik merupakan generasi pertama, tapi defibrilator bifasik
saat ini lebih banyak digunakan. Tingkat energi bervariasi dihubungkan dengan
peluang yang lebih tinggi untuk kembalinya irama secara spontan. Defibrilator
gelombang monofasik menghantarkan energi dengan satu kutub. Defibrilator
gelombang bifasik menggunakan satu dari dua gelombang dan setiap gelombang
terbukti efektif untuk menghilangkan VF dengan dosis tertentu. Pada dosis yang
sama atau lebih rendah dari gelombang monofasik, gelombang bifasik lebih aman

0 0
dan efektif untuk menghilangkan VF. Satu kejut defibrilasi bifasik setara bahkan
lebih baik dari tiga kali kejut defibrilasi

0 0
monofasik.
Pada defibrilator bifasik, rekomendasi besarnya energi yang digunakan umumnya
dicantumkan pada alat (dapat berbeda setiap merk). Bila provider
menggunakan defibrilator bifasik yang tidak mengetahui rentang dosis efektif untuk
mengatasi VF, maka penolong dapat menggunakan pilihan 200 J sebagai dosis
awal dan seterusnya. Bila menggunakan defibrilator monofasik, pilih dosis 360 J
untuk semua kejutan.
Dosis terkecil defibrilasi yang efektif pada bayi dan anak dan batas atas
untuk defibrilasi yang aman juga belum diketahui. Dosis 4 - 10 J/kg efektif
member na. Pada anak
usia 1-8 atau bifasik)
adalah 2 selanjutnya.
Auto rogram oleh
komput mandu tenaga
kesehat un 1995, AHA
telah AED untuk
meningk am ini adalah
untuk kan RJP dan
penghan r yang dilatih
berada menekankan
penting sistem gawat
darurat litas secara
berkesin h VF/VT tanpa
nadi, da Pengguna AED
harus d ggunaan AED
tetapi m RJP sesuai
kebutuhan. Walau AED tidak dirancang untuk memberikan kejutan listrik
tersinkronisasi (misalnya kardioversi pada VT dengan denyut nadi), tetapi AED akan
menganjurkan untuk melakukan kejutan tidak tersinkronisasi pada VT monomorfik
dan polimorfik bila kekerapan dan morfologi gelombang R melampaui nilai
normal.

0 0
A. Persiapan pasien
Buka pakaian pasien bagian dada, siapkan area apex jantung dan bagian
sternum untuk melakukan defibrilasi. Pada pasien pria dengan rambut dada yang
lebat, kontak elektroda ke dada akan terganggu, karena rambut tersebut
dapat menimbulkan jebakan udara antara elektroda dan kulit, sehingga letak
lempeng (paddles) yang tidak tepat akan meningkatkan tahanan dengan lompatan
energi. Walau sangat jarang, pada lingkungan yang kaya oksigen seperti unit
perawatan intensif, lompatan energi ini dapat menimbulkan kebakaran apabila
terdapat percikan api.
Pe kal. Lempeng
dada terior bagian
kana infero-lateral
kiri. a adalah pada
dindi posisi apikal
stand nan atau kiri.
Bi melekatkannya
deng adapan EKG.
Peng nya lompatan
listri h yang akan
dilek ahakan untuk
meng ersebut. Saat
mem acu jantung
perm berikan jarak
mini gah malfungsi
pacu

B. Persiapan penolong
Lanjutkan kompresi dada dan ventilasi hingga alat defibrilator siap.

C. Persiapan alat defibrilator dan penunjang


1. Siapkan alat defibrilator sesuai dengan yang ada di fasilitas
kesehatan setempat serta gel
2. Nyalakan alat defibrilator, pasang lead EKG defibrilator pada pasien

0 0
3. Siapkan alat-alat resusitasi dan bag-valve mask (bagging)

0 0
D. Tindakan defibrilasi
1. Lanjutkan kompresi dada.
2. Nyalakan alat defibrilator. Gunakan dosis energi maksimum (bifasik
200J, monofasik 360 J).
3. Siapkan gel pada paddles.
4. Posisikan paddles pada dada pasien di bagian anterior kanan (bagian
sternum) dan linea aksila kiri (bagian apex jantung). Lakukan
paddles yang

beri aba-aba
kompresi dan

en dan irama
ua tombol di
kanan 12.5 kg

kan kompresi
rama jantung

KARDIO
Kard maan dengan
komplek dari hantaran
kejut se ang digunakan
untuk ke jut yang tidak
tersinkronisasi (defibrilasi). Kejut dengan energi yang rendah ini seharusnya selalu
dihantarkan sebagai kejut yang sinkron karena jika dihantarkan sebagai kejut tidak
tersinkronisasi maka dapat memicu terjadinya VF.
Jika kardioversi dibutuhkan dan tidak mungkin dilakukan kejut sinkron (misalnya
irama jantung pasien iregular), gunakan kejut asinkron energi tinggi. Hantaran
kejut tersinkronisasi (kardioversi) diindikasikan untuk mengobati takiaritmia yang
tidak stabil dengan nadi yang berhubungan dengan pembentukan kompleks QRS

0 0
seperti pada supraventricular tachycardia (SVT), atrial fibrillasi, atrial flutter. Kardioversi
tersinkronisasi

0 0
dapat juga dilakukan pada VT monomorfik dengan nadi dengan hemodinamik yang
tidak stabil.
Dosis energi awal yang direkomendasikan untuk kardioversi atrial fibrillasi adalah
120- 200 J untuk alat bifasik dan 200 J untuk alat monofasik. Sedangkan kardioversi
untuk atrial flutter dan SVT membutuhkan energi yang lebih rendah; yakni 50-100 J.
Jika dengan dosis 50 J awal gagal, penolong sebaiknya meningkatkan dosis secara
bertahap. Pada anak-anak dapat diberikan energi awal 0,5-1 J/kg untuk SVT,
dengan dosis maksimal 2 J/kg. VT monomorfik yang tidak stabil dengan nadi
diobati J. Sedangkan
VT poli menggunakan
energi k ntuk anak-anak
direkom sama seperti
pada SV

A. Pe
skan tentang
mia tersebut,

jantung dan

B. Pe

pasien
sedasi
3. Persiapan resusitasi jantung paru jika diperlukan

C. Persiapan alat kardioversi dan penunjang


Siapkan alat kardioversi. Pasang lead EKG. Siapkan bagging.

D. Tindakan Kardioversi

0 0
1. Bila memungkinkan berikan sedasi (misalnya midazolam) pada pasien
karena dapat menyebabkan nyeri dan rasa tidak nyaman bagi pasien.

0 0
2. Nyalakan alat kardioversi. Gunakan dosis energi sesuai dengan
kelainan irama. Nyalakan mode sinkronisasi.
 Untuk irama takikardia kompleks sempit dan teratur (misalnya
SVT/Atrial flutter) mulai dengan dosis 50-100 J.
 Untuk irama takikardi kompleks sempit dan tidak teratur
(misalnya atrial fibrilasi) mulai dengan dosis 120-200 J untuk
bifasik dan 200 J untuk alat monofasik.
 Untuk irama takikardi kompleks lebar dan teratur (VT) mulai

kanan (bagian
ukan charging
diposisikan di

beri aba-aba

asien, tekan
rikan tekanan

r EKG. Setiap
anya organized
rlebih dahulu
k terkonversi
menjadi VT
ardioversi 50
J dari dosis awal.

PACU JANTUNG TRANSKUTAN


Pacu jantung transkutan termasuk salah satu jenis pacu jantung temporer, dan
dapat dipasang sementara secara cepat dan aman hingga didapat perbaikan klinis
atau metode pacu jantung yang lebih definitif dilakukan. Alat pacu jantung
transkutan adalah alat defibrillator manual yang memiliki fungsi pacu jantung.

0 0
A. Persiapan pasien
1. Informed consent tindakan yang akan dilakukan. Jelaskan tentang
diagnosis aritmia kepada pasien/keluarga, bahaya aritmia tersebut,
rencana tindakan pacu jantung yang akan dilakukan
2. Buka pakaian pasien bagian dada, Anjuran pemasangan pad adalah pada
posisi anterior-posterior dengan elektroda positif diletakkan di posterior
di punggung antara skapula dan tulang vertebra dan elektroda
negatif diletakkan di anterior di antara processus xyphoideus dan
an, payudara
hnya. Jangan
an payudara).
k mencegah
saat pasien
peks- sternum
an pada apeks
n atas. (lihat

pada pasien
yeri dan rasa

B. Pe
Pa

C. Pe
Siapkan alat pacu jantung transkutan. Pasang lead EKG. Siapkan sedasi

D. Tindakan pacu jantung transkutan


1. Nyalakan alat defibrilator, ganti mode pada mode pacu jantung
(pacing). Lepaskan sambungan paddles defibrilator dan ganti dengan pad
elektroda pacu jantung. Anjuran pemasangan pad adalah pada posisi
anterior- posterior dengan elektroda positif diletakkan di posterior di

0 0
punggung antara skapula dan tulang vertebra dan elektroda negatif
diletakkan di anterior di

0 0
antara processus xyphoideus dan areola mammae kiri (posisi V2-V3).
Alternatif posisi pad yang lain adalah posisi apeks-sternum (seperti
saat defibrilasi), dengan elektroda negatif diletakkan pada apeks
jantung dan elektroda negatif pada dada kanan bagian atas. (lihat
gambar 5.1)
2. Pilih mode pacu demand / 昀椀xed (asynchronous)
3. Pilih kecepatan laju pacu yang diinginkan biasanya 60-70x/menit
4. Atur output pacu. Bila hemodinamik tidak stabil pacu dapat dimulai
dari output maksimal kemudian diturunkan bertahap dan dipertahankan
5-10 mA di atas batas ambang pacu.
5. Perhatikan cardiac capture, ditandai dengan timbulnya satu kompleks
QRS setelah setiap stimulus pacu. Selalu konfirmasi cardiac capture
dengan perabaan nadi

Gambar 5.1. Posisi pemasangan pad elektroda pacu jantung transkutan.


Atas: Posisi anterior-posterior. Bawah: posisi apeks-sternum.

0 0
REFERENSI
1. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M.,
Callaway, C. W., ... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced
cardiovascular life support: 2010 American Heart Association guidelines
for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circula琀椀on, 122(18_suppl_3), S729-S767.
2. Link, M. S., Berkow, L. C., Kudenchuk, P. J., Halperin, H. R., Hess, E. P.,
Moitra,
V. K., ... & White, R. D. (2015). Part 7: adult advanced cardiovascular
es update for
ascular care.

3 C., Carli, P., ... &

scitation
on, 95, 100-

4 , R. E., Koster, R.

international
emergency
ns. Circula琀椀on,

5 inger, K., Mori, M.,

cardioversion
ican journal of
emergency medicine, 28(2), 159-165.
6. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines
for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular
care. Circula琀椀on, 112(24 Suppl), IV1.
7. American Heart Association in collaboration with the International Liaison

0 0
Committee on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care: an
international consensus on science. Circula琀椀on, 102.
8. Glover, B. M., Walsh, S. J., McCann, C. J., Moore, M. J., Manoharan, G.,
Dalzell,
G. W., ... & Mathew, T. P. (2008). Biphasic energy selection for
transthoracic cardioversion of atrial fibrillation. The BEST AF Trial. Heart,
94(7), 884-887.

0 0
9. Manegold, J. C., Israel, C. W., Ehrlich, J. R., Duray, G., Pajitnev, D.,
Wegener, F. T., & Hohnloser, S. H. (2007). External cardioversion of atrial
fibrillation in patients with implanted pacemaker or cardioverter-
defibrillator systems: a randomized comparison of monophasic and
biphasic shock energy application. European heart journal, 28(14),
1731-1738.
10. Sado, D. M., Deakin, C. D., Petley, G. W., & Clewlow, F. (2004).
Comparison of the effects of removal of chest hair with not doing so
before external defibrillation on transthoracic impedance. The

1 w, F. (2004).
omparison of
3), 283-286.
1 M. (2011). External

ic ventricular
c Cri琀椀cal Care

1 Nesbitt, L. P.,
ter Regarding
Fixed Lower
on in Out-
523.
1 ., Drennan, I.
ult Basic and
Guidelines for
ascular Care.
Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.

0 0
BAB IV
PERAWATAN PASCA HENTI JANTUNG

A. Pendahuluan
Perawatan pasca henti jantung merupakan komponen penting dalam tata laksana
bantuan hidup jantung lanjut. Pasien henti jantung yang kembali memiliki
sirkulasi spontan tetap memiliki risiko kematian yang tinggi terutama dalam 24 jam
pertama, karena tidak tertutup kemungkinan sudah atau akan terjadi disfungsi
kardiova struktur serta
multidis antung. Pada
modul erlukan untuk
perawat g diperlukan
pada p ng diperlukan
untuk m

Tujuan
 M usi darah ke
or
 Pa e rumah sakit
ya enti jantung
ya perawatan
ne serta terapi
hi
 M f yang dapat
m tung secara
komprehensif.
 Melakukan identifikasi serta memberikan terapi terhadap faktor pencetus
henti jantung dan mencegah terjadinya henti jantung berulang.

Tujuan khusus perawatan pasca henti jantung:


 Mengendalikan suhu tubuh untuk mengoptimalkan pemulihan neurologik
serta kehidupan

0 0
 Melakukan identifikasi serta melakukan tata laksana sindrom koroner akut.
 Memberikan ventilasi mekanik yang optimal demi meminimalkan trauma pada

0 0
paru.
 Mengurangi risiko kerusakan multi organ dan menunjang fungsi organ
tersebut jika diperlukan
 Melakukan penilaian prognosis secara objektif saat pemulihan
 Memberikan pelayanan rehabilitasi untuk pasien yang selamat dari henti
jantung bila diperlukan

B. URAIAN MATERI
Tindak L
e pasca henti
jantun n, namun jika
di akukan adalah
ebagai berikut:
Fase pengelolaan
parame
1. M
Pa n. Bila belum
dipas n pada pasien
deng rdapat tanda-
tand . Pemasangan
kapn penempatan
pipa

2. Pe
H ndari hipoksia
pada pasien pasca henti jantung, gunakan konsentrasi oksigen yang paling tinggi
yang bisa dicapai sampai saturasi darah atau tekanan oksigen darah dapat
diukur. Jika ventilator mekanik sudah tersedia dan titrasi FiO2 sampai batas
yang diperlukan untuk mencapai target saturasi oksihemoglobin (SpO2) 92-98%.
Fraksi oksigen yang terlalu tinggi justru dapat mengakibatkan efek toksisitas
yang berbahaya bagi pasien. Berikan volume tidal 6-8 ml/kgBB. Pertahankan laju
napas mulai dari 10/menit, titrasi ventilasi per menit untuk mencapai target
PaCO2 35-45 mmHg. Hiperventilasi perlu dihindari karena dapat menyebabkan

0 0
penurunan curah jantung (akibat peningkatan tekanan intratorakal) dan
berpotensi menyebabkan iskemia ke otak (akibat penurunan kadar

0 0
PaCO2). Lakukan pemeriksaan rontgen thorax untuk memastikan posisi pipa
Endotrakeal serta mengidentifikasi penyebab atau komplikasi dari henti jantung
seperti adanya edema paru, pneumothorax, pneumonia atau pneumonitis.

3. Pengelolaan parameter hemodinamik (sirkulasi) dan kardiovaskular


Perlu dilakukan monitoring irama jantung dan tekanan darah secara kontinyu.
Kecukupan tekanan darah sangat diperlukan untuk perfusi jaringan. Hipotensi
pasca resusitasi memperburuk keluaran dan meningkatkan mortalitas. Bukti
ilmia esusitasi pada
level eri rata-rata
(mea a disebabkan
oleh n pompa. Bila
terda un takiaritmia
ekstr akikardia dan
brad a.
Te itasi adalah
mem mbuluh darah
dapa dari asidosis
meta dalah dengan
men ebabkan oleh
deko diberikan 2-4
cc/k aktat secara
intra sien.
O antung untuk
mem ng dan otak.
Proses iskemia/reperfusi pasca henti jantung dan defibrilasi elektrik dapat
menyebabkan disfungsi/stunning dari miokard yang bisa berlangsung selama
beberapa jam. Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat untuk mendeteksi hal
tersebut. Berbagai obat dapat dipilih dengan tujuan memperbaiki laju jantung
(efek kronotropik), kontraktilitas miokardium (efek inotropik), meningkatkan
tekanan arteri (efek vasokonstriksi) atau mengurangi a昀琀erload (efek
vasodilator). Hati-hati dalam penggunaan obat-obatan inotropik atau
vasopresor dapat meningkatkan

0 0
kemungkinan aritmia dan memperburuk iskemia miokardium sebagai akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium.
Penyebab terbanyak kasus henti jantung adalah penyakit jantung dan
iskemia/infark miokard. EKG 12 sadapan harus dilakukan segera pasca henti
jantung untuk menentukan adanya elevasi segmen ST akut (kasus IMA EST)
atau tidak. Sindroma koroner akut adalah penyebab umum henti jantung di luar
rumah sakit pada pasien yang tidak memiliki penyebab ekstrakardiak yang jelas.
Tindakan intervensi jantung dan angiografi koroner perlu dipertimbangkan bila
didap h jantung dan
terda hemodinamik
(syok lasi mekanik.
Pend koroner akut
baik at dari henti
jantu

Man bel dari henti


jantu rawatan kritis
lanju

4. Ev
La gsi neurologis.
Pada rlu dilakukan
Targe Pasien dibuat
hipot at pendingin.
Kons i (esofageal,
kemi
 Pertahankan saturasi O2 normal, normocapnea dan kadar glukosa darah
normal
 Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) secara kontinyu atau berkala
mungkin diperlukan pada pasien yang koma

5. Evaluasi fungsi metabolik dan tangani etiologi henti jantung yang dapat
dipulihkan dengan cepat. Libatkan konsultasi ahli untuk manajemen

0 0
berkelanjutan. Pemberian sedasi seringkali diperlukan pada pasien dengan
ventilasi mekanik.
Lakukan pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan pasca henti jantung
 Pemeriksaan rontgen thorax jantung

0 0
Rontgen thorax diperlukan untuk memastikan airway (ETT) aman
dan mendeteksi penyebab atau komplikasi dari henti jantung,
misalnya edema paru, pneumonia, tension pneumothorax
 Pemeriksaan analisa gas darah
Deteksi hipoksia dan kelainan gas darah (hydrogen ion/asidosis)
sebagai penyebab henti jantung. Koreksi asidosis metabolik dengan
memperbaiki hemodinamik serta perfusi jaringan, bila asidosis
metabolik berat dapat dipertimbangkan pemberian infus sodium
bikarbonat.

emia) sebagai

0 0
Gambar 4.1 Algoritma perawatan pasca henti jantung 56

0 0
REFERENSI
1. Peberdy, M. A., Callaway, C. W., Neumar, R. W., Geocadin, R. G.,
Zimmerman, J. L., Donnino, M., ... & Vanden Hoek, T. L. (2010). Part 9:
post–cardiac arrest care: 2010 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.
Circulation, 122(18_suppl_3), S768-S786.
2. Callaway, C. W., Donnino, M. W., Fink, E. L., Geocadin, R. G., Golan, E., Kern, K.
B.,
... & Zimmerman, J. L. (2015). Part 8: post–cardiac arrest care: 2015
American Heart Association guidelines update for cardiopulmonary
circulation,

3. R., Deakin, C.
and European
-resuscitation

4. L. L., Deakin,
guidelines for
ation, 81(10),

5. er, M., Callaway, C.

ovascular life
diopulmonary
Circulation,

6. , Hess, E. P.,
ult advanced
cardiovascular life support: 2015 American Heart Association guidelines
update for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.
Circulation, 132(18_suppl_2), S444-S464.
7. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... &
Sunde, K. (2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation
2015: section
57

0 0
0 0
2 Gunakan penyedot dengan menghambat bagian pangkal pada saat
menarik kateter dengan gerakan memutar atau memilin
Secara khusus, batasi usaha penyedotan hingga 10 detik atau kurang.
Untuk menghindari terjadinya hipoksemia, dahului dan ikuti usaha
penyedotan dengan pemberian oksigen 100% dalam waktu yang
singkat.

Pemantaun denyut jantung, laju nadi, saturasi oksigen, dan keadaan


klinis pasien selama penyedotan. Bila terjadi bradikardia, turunnya saturasi
oksig tan. Berikan
oksig kondisi klinis
mem

D. PENG
Salah dalam darah ke
seluruh
Tanda-ta
Tanda-ta
 Pe

 Te
Syarat a
 D

o Irama yang teratur


 Volume cairan intra vaskuler cukup.
 Pembuluh darah dan mikrosirkulasi baik.
Bila fungsi sirkulasi tidak adekuat, tindakannya ialah optimasi fungsi sirkulasi, yaitu:
 Melakukan resusitasi cairan

0 0
Tujuan resusitasi cairan ialah agar volume cairan intravaskuler cukup, dengan
harapan preload jantung (terutama jantung bagian kiri) cukup sehingga curah
jantung (stroke volume) mencukupi. Dengan demikian cardiac output cukup.
 Mengoptimalkan kontraksi otot jantung
Bila terbukti bahwa kontraksi otot jantung tidak kuat, maka tindakan kita
ialah memperkuat kontraksi otot jantung dengan pemberian obat yang
bersifat inotropik positif, misalnya dopamine, dobutamin, adrenalin.
 Memperbaiki keadaan pembuluh darah
Pa buluh darah,
bi 0 0 dilatasi). Agar
te ubuh optimal
m gguan dengan
m lin (bersifat
va
 M
G optimal. Oleh
ka ta melakukan
op m obat anti-
ar

Mikrosir
Mikr upan, karena
merupak untuk jaringan
serta pe mi sakit.
Mitok metabolisme
yang menghasilkan ATP (enerji). Apabila mitokondria tidak cukup mendapatkan O2
atau tidak bisa menggunakan O2 akan terjadi distres ditingkat seluler dengan
manifestasi klinis yang bermacam macam dan merupakan awal gagal organ yang
multipel.
Pemantauan gangguan di tingkat mikrosirkulasi dapat dikerjakan secara “bed
side” yaitu dengan mengukur pCO2 jaringan dan menggunakan orthogonal

0 0
polarization spectral (OPS). Jaringan yang bisa mewakili untuk dipantau adalah
dibawah lidah (sublingual).

0 0
0 0
Pemantauan terhadap oksigenasi jaringan
Perjalanan O2 dari udara luar sampai ke jaringan perlu dipantau, agar apabila
terjadi gangguan maka antisipasi dan pengelolaannya lebih tepat sesuai dengan
permasalahannya.
 Pemantauan O2 di paru
Tujuan memantau di tingkat paru adalah untuk mengetahui bagaimana proses
difusi gas O2 dan CO2.
Yang dipantau:

 Pe
Tu
da

 Pe
Tu
Ya

0 0
REFERENSI
1. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway,
C. W., ... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life
0
support: 2010 American Heart 0
Association guidelines for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
122(18_suppl_3), S729-S767.
2. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
112(24 Suppl), IV1.
3. Ame tional Liaison
Com diopulmonary
resu consensus on
scie
4. Eise ut-of-hospital
card echnicians. N
Engl
5. Berg D. M., Hazinski, M.
F.,
... 010 American
Hea citation and
eme 685-S705.
6. Klei erican Heart
Asso nd Emergency
Card diopulmonary
Resu
7. Soar P., ... & Sunde, K.
(201 2015: section
3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
8. Perkins, G. D., Handley, A. J., Koster, R. W., Castrén, M., Smyth, M. A.,
Olasveengen, T., ... & Ristagno, G. (2015). European Resuscitation Council
Guidelines for Resuscitation 2015: Section 2. Adult basic life support and
automated external defibrillation. Resuscitation, 95, 81-99.

0 0
9. Koster, R. W., Baubin, M. A., Bossaert, L. L., Caballero, A., Cassan, P., Castrén, M.,
... & Raffay, V. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2010

0 0
0 0
Section 2. Adult basic life support and use of automated external
defibrillators. Resuscitation, 81(10), 1277-1292.

———»»»œ«««——

0 0
0 0
BAB III
TERAPI LISTRIK DEFIBRILASI, AED, KARDIOVERSI,
DAN PACU JANTUNG

A. Pendahuluan
Terapi listrik berupa defibrilasi, kardioversi, dan pacu jantung transkutan merupakan
bagian dari bantuan hidup dasar maupun bantuan hidup lanjut. Defibrilasi baik
menggunakan defibrilator manual maupun automated external de昀椀brillator (AED)
merupa dengan irama
fibrilasi tersinkronisasi
digunak hemodinamik,
sedangk bradiaritmia
dengan

B. URAI
TINDAK
Defib untuk kejut
jantung balikan irama
menjad ng disebabkan
oleh VT VT polimorfik
(torsade ukan semakin
lama da menit. Angka
kematia pa dilakukan
resusita
Defib ang, monofasik
dan bifasik. Defibrilator monofasik merupakan generasi pertama, tapi defibrilator bifasik
saat ini lebih banyak digunakan. Tingkat energi bervariasi dihubungkan dengan
peluang yang lebih tinggi untuk kembalinya irama secara spontan. Defibrilator
gelombang monofasik menghantarkan energi dengan satu kutub. Defibrilator
gelombang bifasik menggunakan satu dari dua gelombang dan setiap gelombang
terbukti efektif untuk menghilangkan VF dengan dosis tertentu. Pada dosis yang
sama atau lebih rendah dari gelombang monofasik, gelombang bifasik lebih aman

0 0
dan efektif untuk menghilangkan VF. Satu kejut defibrilasi bifasik setara bahkan
lebih baik dari tiga kali kejut defibrilasi

0 0
0 0
monofasik.
Pada defibrilator bifasik, rekomendasi besarnya energi yang digunakan umumnya
dicantumkan pada alat (dapat berbeda setiap merk). Bila provider
menggunakan defibrilator bifasik yang tidak mengetahui rentang dosis efektif untuk
mengatasi VF, maka penolong dapat menggunakan pilihan 200 J sebagai dosis
awal dan seterusnya. Bila menggunakan defibrilator monofasik, pilih dosis 360 J
untuk semua kejutan.
Dosis terkecil defibrilasi yang efektif pada bayi dan anak dan batas atas
untuk defibrilasi yang aman juga belum diketahui. Dosis 4 - 10 J/kg efektif
member na. Pada anak
usia 1-8 atau bifasik)
adalah 2 selanjutnya.
Auto rogram oleh
komput mandu tenaga
kesehat un 1995, AHA
telah AED untuk
meningk am ini adalah
untuk kan RJP dan
penghan 0 0 r yang dilatih
berada menekankan
penting sistem gawat
darurat litas secara
berkesin h VF/VT tanpa
nadi, da Pengguna AED
harus d ggunaan AED
tetapi m RJP sesuai
kebutuhan. Walau AED tidak dirancang untuk memberikan kejutan listrik
tersinkronisasi (misalnya kardioversi pada VT dengan denyut nadi), tetapi AED akan
menganjurkan untuk melakukan kejutan tidak tersinkronisasi pada VT monomorfik
dan polimorfik bila kekerapan dan morfologi gelombang R melampaui nilai
normal.

0 0
A. Persiapan pasien
Buka pakaian pasien bagian dada, siapkan area apex jantung dan bagian
sternum untuk melakukan defibrilasi. Pada pasien pria dengan rambut dada yang
lebat, kontak elektroda ke dada akan terganggu, karena rambut tersebut
dapat menimbulkan jebakan udara antara elektroda dan kulit, sehingga letak
lempeng (paddles) yang tidak tepat akan meningkatkan tahanan dengan lompatan
energi. Walau sangat jarang, pada lingkungan yang kaya oksigen seperti unit
perawatan intensif, lompatan energi ini dapat menimbulkan kebakaran apabila
terdapat percikan api.
Pe kal. Lempeng
dada terior bagian
kana infero-lateral
kiri. a adalah pada
dindi posisi apikal
stand nan atau kiri.
Bi melekatkannya
deng adapan EKG.
Peng nya lompatan
listri h yang akan
dilek ahakan untuk
meng ersebut. Saat
mem acu jantung
perm berikan jarak
mini gah malfungsi
pacu

B. Persiapan penolong
Lanjutkan kompresi dada dan ventilasi hingga alat defibrilator siap.

C. Persiapan alat defibrilator


0 dan0 penunjang
1. Siapkan alat defibrilator sesuai dengan yang ada di fasilitas
kesehatan setempat serta gel
2. Nyalakan alat defibrilator, pasang lead EKG defibrilator pada pasien

3. Siapkan alat-alat resusitasi dan bag-valve mask (bagging)

0 0
0 0
D. Tindakan defibrilasi
1. Lanjutkan kompresi dada.
2. Nyalakan alat defibrilator. Gunakan dosis energi maksimum (bifasik
200J, monofasik 360 J).
3. Siapkan gel pada paddles.
4. Posisikan paddles pada dada pasien di bagian anterior kanan (bagian
sternum) dan linea aksila kiri (bagian apex jantung). Lakukan
paddles yang

beri aba-aba
kompresi dan
0 0
en dan irama
ua tombol di
kanan 12.5 kg

kan kompresi
rama jantung

KARDIO
Kard maan dengan
komplek dari hantaran
kejut se ang digunakan
untuk ke jut yang tidak
tersinkronisasi (defibrilasi). Kejut dengan energi yang rendah ini seharusnya selalu
dihantarkan sebagai kejut yang sinkron karena jika dihantarkan sebagai kejut tidak
tersinkronisasi maka dapat memicu terjadinya VF.
Jika kardioversi dibutuhkan dan tidak mungkin dilakukan kejut sinkron (misalnya
irama jantung pasien iregular), gunakan kejut asinkron energi tinggi. Hantaran
kejut tersinkronisasi (kardioversi) diindikasikan untuk mengobati takiaritmia yang
tidak stabil dengan nadi yang berhubungan dengan pembentukan kompleks QRS

0 0
seperti pada supraventricular tachycardia (SVT), atrial fibrillasi, atrial flutter. Kardioversi
tersinkronisasi

0 0
0 0
dapat juga dilakukan pada VT monomorfik dengan nadi dengan hemodinamik yang
tidak stabil.
Dosis energi awal yang direkomendasikan untuk kardioversi atrial fibrillasi adalah
120- 200 J untuk alat bifasik dan 200 J untuk alat monofasik. Sedangkan kardioversi
untuk atrial flutter dan SVT membutuhkan energi yang lebih rendah; yakni 50-100 J.
Jika dengan dosis 50 J awal gagal, penolong sebaiknya meningkatkan dosis secara
bertahap. Pada anak-anak dapat diberikan energi awal 0,5-1 J/kg untuk SVT,
dengan dosis maksimal 2 J/kg. VT monomorfik yang tidak stabil dengan nadi
diobati J. Sedangkan
VT poli menggunakan
energi k ntuk anak-anak
direkom sama seperti
pada SV

A. Pe
skan tentang
mia tersebut,

jantung dan

B. Pe

pasien
sedasi
3. Persiapan resusitasi jantung paru jika diperlukan

C. Persiapan alat kardioversi dan penunjang


Siapkan alat kardioversi. Pasang lead EKG. Siapkan bagging.

D. Tindakan Kardioversi

0 0
1. Bila memungkinkan berikan sedasi (misalnya midazolam) pada pasien
karena dapat menyebabkan nyeri dan rasa tidak nyaman bagi pasien.

0 0
0 0
2. Nyalakan alat kardioversi. Gunakan dosis energi sesuai dengan
kelainan irama. Nyalakan mode sinkronisasi.
 Untuk irama takikardia kompleks sempit dan teratur (misalnya
SVT/Atrial flutter) mulai dengan dosis 50-100 J.
 Untuk irama takikardi kompleks sempit dan tidak teratur
(misalnya atrial fibrilasi) mulai dengan dosis 120-200 J untuk
bifasik dan 200 J untuk alat monofasik.
 Untuk irama takikardi kompleks lebar dan teratur (VT) mulai

kanan (bagian
ukan charging
diposisikan di

beri aba-aba

asien, tekan
0 0
rikan tekanan
r EKG. Setiap
anya organized
rlebih dahulu
k terkonversi
menjadi VT
ardioversi 50
J dari dosis awal.

PACU JANTUNG TRANSKUTAN


Pacu jantung transkutan termasuk salah satu jenis pacu jantung temporer, dan
dapat dipasang sementara secara cepat dan aman hingga didapat perbaikan klinis
atau metode pacu jantung yang lebih definitif dilakukan. Alat pacu jantung
transkutan adalah alat defibrillator manual yang memiliki fungsi pacu jantung.

0 0
A. Persiapan pasien
1. Informed consent tindakan yang akan dilakukan. Jelaskan tentang
diagnosis aritmia kepada pasien/keluarga, bahaya aritmia tersebut,
rencana tindakan pacu jantung yang akan dilakukan
2. Buka pakaian pasien bagian dada, Anjuran pemasangan pad adalah pada
posisi anterior-posterior dengan elektroda positif diletakkan di posterior
di punggung antara skapula dan tulang vertebra dan elektroda
negatif diletakkan di anterior di antara processus xyphoideus dan
an, payudara
hnya. Jangan
an payudara).
k mencegah
saat pasien
peks- sternum
an pada apeks
n atas. (lihat

pada pasien
yeri dan rasa

B. Pe
Pa

C. Pe
Siapkan alat pacu jantung transkutan. Pasang lead EKG. Siapkan sedasi

D. Tindakan pacu jantung transkutan


0 0
1. Nyalakan alat defibrilator, ganti mode pada mode pacu jantung
(pacing). Lepaskan sambungan paddles defibrilator dan ganti dengan pad
elektroda pacu jantung. Anjuran pemasangan pad adalah pada posisi
anterior- posterior dengan elektroda positif diletakkan di posterior di

0 0
punggung antara skapula dan tulang vertebra dan elektroda negatif
diletakkan di anterior di
0 0
antara processus xyphoideus dan areola mammae kiri (posisi V2-V3).
Alternatif posisi pad yang lain adalah posisi apeks-sternum (seperti
saat defibrilasi), dengan elektroda negatif diletakkan pada apeks
jantung dan elektroda negatif pada dada kanan bagian atas. (lihat
gambar 5.1)
2. Pilih mode pacu demand / 昀椀xed (asynchronous)
3. Pilih kecepatan laju pacu yang diinginkan biasanya 60-70x/menit
4. Atur output pacu. Bila hemodinamik tidak stabil pacu dapat dimulai
dari output maksimal kemudian diturunkan bertahap dan dipertahankan
5-10 mA di atas batas ambang pacu.
5. Perhatikan cardiac 0capture0, ditandai dengan timbulnya satu kompleks
QRS setelah setiap stimulus pacu. Selalu konfirmasi cardiac capture
dengan perabaan nadi

Gambar 5.1. Posisi pemasangan pad elektroda pacu jantung transkutan.


Atas: Posisi anterior-posterior. Bawah: posisi apeks-sternum.

0 0
REFERENSI
1. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M.,
Callaway, C. W., ... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced
cardiovascular life support: 2010 American Heart Association guidelines
for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circula琀椀on, 122(18_suppl_3), S729-S767.
2. Link, M. S., Berkow, L. C., Kudenchuk, P. J., Halperin, H. R., Hess, E. P.,
Moitra,
V. K., ... & White, R. D. (2015). Part 7: adult advanced cardiovascular
es update for
ascular care.

3 C., Carli, P., ... &

scitation
on, 95, 100-

4 , R. E., Koster, R.

international
emergency
ns. Circula琀椀on,
0 0
5 inger, K., Mori, M.,
cardioversion
ican journal of
emergency medicine, 28(2), 159-165.
6. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines
for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular
care. Circula琀椀on, 112(24 Suppl), IV1.
7. American Heart Association in collaboration with the International Liaison

0 0
Committee on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care: an
international consensus on science. Circula琀椀on, 102.
8. Glover, B. M., Walsh, S. J., McCann, C. J., Moore, M. J., Manoharan, G.,
Dalzell,
G. W., ... & Mathew, T. P. (2008). Biphasic energy selection for
transthoracic cardioversion of atrial fibrillation. The BEST AF Trial. Heart,
94(7), 884-887.

0 0
9. Manegold, J. C., Israel, C. W., Ehrlich, J. R., Duray, G., Pajitnev, D.,
Wegener, F. T., & Hohnloser, S. H. (2007). External cardioversion of atrial
fibrillation in patients with implanted pacemaker or cardioverter-
defibrillator systems: a randomized comparison of monophasic and
0
biphasic shock energy 0
application. European heart journal, 28(14),
1731-1738.
10. Sado, D. M., Deakin, C. D., Petley, G. W., & Clewlow, F. (2004).
Comparison of the effects of removal of chest hair with not doing so
before external defibrillation on transthoracic impedance. The

1 w, F. (2004).
omparison of
3), 283-286.
1 M. (2011). External

ic ventricular
c Cri琀椀cal Care

1 Nesbitt, L. P.,
ter Regarding
Fixed Lower
on in Out-
523.
1 ., Drennan, I.
ult Basic and
Guidelines for
ascular Care.
Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.

0 0
BAB IV
PERAWATAN PASCA HENTI JANTUNG

A. Pendahuluan
Perawatan pasca henti jantung merupakan komponen penting dalam tata laksana
bantuan hidup jantung lanjut. Pasien henti jantung yang kembali memiliki
sirkulasi spontan tetap memiliki risiko kematian yang tinggi terutama dalam 24 jam
pertama, karena tidak tertutup kemungkinan sudah atau akan terjadi disfungsi
kardiova struktur serta
multidis antung. Pada
modul erlukan untuk
perawat g diperlukan
pada p ng diperlukan
untuk m
0 0

Tujuan
 M usi darah ke
or
 Pa e rumah sakit
ya enti jantung
ya perawatan
ne serta terapi
hi
 M f yang dapat
m tung secara
komprehensif.
 Melakukan identifikasi serta memberikan terapi terhadap faktor pencetus
henti jantung dan mencegah terjadinya henti jantung berulang.

Tujuan khusus perawatan pasca henti jantung:


 Mengendalikan suhu tubuh untuk mengoptimalkan pemulihan neurologik
serta kehidupan

0 0
 Melakukan identifikasi serta melakukan tata laksana sindrom koroner akut.
 Memberikan ventilasi mekanik yang optimal demi meminimalkan trauma pada

0 0
0 0
paru.
 Mengurangi risiko kerusakan multi organ dan menunjang fungsi organ
tersebut jika diperlukan
 Melakukan penilaian prognosis secara objektif saat pemulihan
 Memberikan pelayanan rehabilitasi untuk pasien yang selamat dari henti
jantung bila diperlukan

B. URAIAN MATERI
Tindak L
e pasca henti
jantun n, namun jika
di akukan adalah
ebagai berikut:
Fase pengelolaan
parame
1. M
Pa n. Bila belum
dipas n pada pasien
deng rdapat tanda-
tand . Pemasangan
kapn penempatan
pipa

2. Pe
H ndari hipoksia
pada pasien pasca henti jantung, gunakan konsentrasi oksigen yang paling tinggi
yang bisa dicapai sampai saturasi darah atau tekanan oksigen darah dapat
diukur. Jika ventilator mekanik sudah tersedia dan titrasi FiO2 sampai batas
yang diperlukan untuk mencapai target saturasi oksihemoglobin (SpO2) 92-98%.
Fraksi oksigen yang terlalu tinggi justru dapat mengakibatkan efek toksisitas
yang berbahaya bagi pasien. Berikan volume tidal 6-8 ml/kgBB. Pertahankan laju
napas mulai dari 10/menit, titrasi ventilasi per menit untuk mencapai target
PaCO2 35-45 mmHg. Hiperventilasi perlu dihindari karena dapat menyebabkan

0 0
penurunan curah jantung (akibat peningkatan tekanan intratorakal) dan
berpotensi menyebabkan iskemia ke otak (akibat penurunan kadar

0 0
0 0
PaCO2). Lakukan pemeriksaan rontgen thorax untuk memastikan posisi pipa
Endotrakeal serta mengidentifikasi penyebab atau komplikasi dari henti jantung
seperti adanya edema paru, pneumothorax, pneumonia atau pneumonitis.

3. Pengelolaan parameter hemodinamik (sirkulasi) dan kardiovaskular


Perlu dilakukan monitoring irama jantung dan tekanan darah secara kontinyu.
Kecukupan tekanan darah sangat diperlukan untuk perfusi jaringan. Hipotensi
pasca resusitasi memperburuk keluaran dan meningkatkan mortalitas. Bukti
ilmia esusitasi pada
level eri rata-rata
(mea a disebabkan
oleh n pompa. Bila
terda un takiaritmia
ekstr akikardia dan
brad a.
Te itasi adalah
mem mbuluh darah
dapa dari asidosis
meta dalah dengan
men 0 0 ebabkan oleh
deko diberikan 2-4
cc/k aktat secara
intra sien.
O antung untuk
mem ng dan otak.
Proses iskemia/reperfusi pasca henti jantung dan defibrilasi elektrik dapat
menyebabkan disfungsi/stunning dari miokard yang bisa berlangsung selama
beberapa jam. Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat untuk mendeteksi hal
tersebut. Berbagai obat dapat dipilih dengan tujuan memperbaiki laju jantung
(efek kronotropik), kontraktilitas miokardium (efek inotropik), meningkatkan
tekanan arteri (efek vasokonstriksi) atau mengurangi a昀琀erload (efek
vasodilator). Hati-hati dalam penggunaan obat-obatan inotropik atau
vasopresor dapat meningkatkan

0 0
kemungkinan aritmia dan memperburuk iskemia miokardium sebagai akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium.
Penyebab terbanyak kasus henti jantung adalah penyakit jantung dan
iskemia/infark miokard. EKG 12 sadapan harus dilakukan segera pasca henti
jantung untuk menentukan adanya elevasi segmen ST akut (kasus IMA EST)
atau tidak. Sindroma koroner akut adalah penyebab umum henti jantung di luar
rumah sakit pada pasien yang tidak memiliki penyebab ekstrakardiak yang jelas.
Tindakan intervensi jantung dan angiografi koroner perlu dipertimbangkan bila
didap h jantung dan
terda hemodinamik
(syok lasi mekanik.
Pend koroner akut
baik at dari henti
jantu

Man bel dari henti


jantu rawatan kritis
lanju

4. Ev
La gsi neurologis.
Pada rlu dilakukan
Targe Pasien dibuat
hipot at pendingin.
Kons i (esofageal,
kemi
 Pertahankan saturasi O2 normal, normocapnea dan kadar glukosa darah
normal
 Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) secara kontinyu atau berkala
mungkin diperlukan pada pasien yang koma

0 0
5. Evaluasi fungsi metabolik dan tangani etiologi henti jantung yang dapat
dipulihkan dengan cepat. Libatkan konsultasi ahli untuk manajemen
berkelanjutan. Pemberian sedasi seringkali diperlukan pada pasien dengan
ventilasi mekanik.
Lakukan pemeriksaan penunjang
0 0 lain yang diperlukan pasca henti jantung
 Pemeriksaan rontgen thorax jantung
0 0
Rontgen thorax diperlukan untuk memastikan airway (ETT) aman
dan mendeteksi penyebab atau komplikasi dari henti jantung,
misalnya edema paru, pneumonia, tension pneumothorax
 Pemeriksaan analisa gas darah
Deteksi hipoksia dan kelainan gas darah (hydrogen ion/asidosis)
sebagai penyebab henti jantung. Koreksi asidosis metabolik dengan
memperbaiki hemodinamik serta perfusi jaringan, bila asidosis
metabolik berat dapat dipertimbangkan pemberian infus sodium
bikarbonat.

emia) sebagai

0 0
0 0
0 0
Gambar 4.1 Algoritma perawatan pasca henti jantung 56

0 0
REFERENSI
1. Peberdy, M. A., Callaway, C. W., Neumar, R. W., Geocadin, R. G.,
Zimmerman, J. L., Donnino, M., ... & Vanden Hoek, T. L. (2010). Part 9:
post–cardiac arrest care: 2010 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.
Circulation, 122(18_suppl_3), S768-S786.
2. Callaway, C. W., Donnino, M. W., Fink, E. L., Geocadin, R. G., Golan, E., Kern, K.
B.,
... & Zimmerman, J. L. (2015). Part 8: post–cardiac arrest care: 2015
American Heart Association guidelines update for cardiopulmonary
circulation,

3. R., Deakin, C.
and European
-resuscitation

4. L. L., Deakin,
guidelines for
ation, 81(10),

5. er, M., Callaway, C.

ovascular life
diopulmonary
Circulation,

6. , Hess, E. P.,
ult advanced
cardiovascular life support: 2015 American Heart Association guidelines
update for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.
Circulation, 132(18_suppl_2), S444-S464.
7. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... &
Sunde, K. (2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation
2015: section
57

0 0
3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
8. Morrison, L. J., Deakin, C. D., Morley, P. T., Callaway, C. W., Kerber, R. E.,
Kronick,
S. L., ... & Parr, M. (2010). Part 8: advanced life support: 2010
international consensus on cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care

0 0
58

0 0
science with treatment recommendations. Circulation, 122(16_suppl_2),
S345- S421.
9. Nielsen, N., Wetterslev, J., Cronberg, T., Erlinge, D., Gasche, Y., Hassager, C.,
... & Pellis, T. (2013). Targeted temperature management at 33 C versus 36
C after cardiac arrest. New England Journal of Medicine, 369(23), 2197-
2206.
10. Rittenberger, J. C., & Callaway, C. W. (2013). Temperature management
and modern post-cardiac arrest care. N Engl J Med, 369(23), 2262-2263.
11. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R.,
Hirsch,
Advanced Life
rdiopulmonary
Circulation,

0 0
intraserebral yang lebih rendah. Sedangkan pada IMA EST dengan onset
serangan antara 12 - 24 jam atau infark kecil, atau pasien >75 tahun, strategi ini
dianggap kurang bermanfaat. Fibrinolisis mungkin berbahaya jika diberikan pada (1)
Depresi segmen ST,
(2)Onset > 24 jam (3) Tekanan darah yang tinggi (tekanan darah sistolik >175
mmHg). Selama dilakukan fibrinolisis, penderita harus dimonitor secara ketat
(bedside). Tanda vital dan EKG di evaluasi setiap 5-10 menit untuk mendeteksi
risiko fibrinolisis yaitu: (1) Perdarahan, (2) Alergi, (3) Hipotensi (4) Aritmia
reperfusi; aritmia reperfusi ini sebenarnya adalah salah satu tanda keberhasilan
f ritmia maligna
ular takikardia
maka
Pe ulai dari saat
obat h (1) resolusi
komp erutama pada
sada eperfusi. Bila
fibrin dilakukan IKP
(resc 2015, setiap
pasie kan angiografi
dini

Tinda
adalah terapi
pilih doctor-balloon
atau unyai fasilitas
IKP t
Pedoman 2015 merekomendasikan bahwa IKP primer (Primary Percutaneous
Coronary Interven琀椀on/PPCI) dapat dilakukan bila waktu dari onset keluhan kurang
dari 12 jam dan waktu IKPP dari kontak pertama dengan tenaga kesehatan
kurang dari 120 menit.
Rekomendasi pedoman 2015 yang berhubungan dengan tindakan IKPP:
1) Bilamana terapi fibrinolisis pra rumah sakit memungkinkan untuk
dilakukan selama transfer menuju RS dengan fasilitas IKPP, maka lebih

0 0
diutamakan untuk mengirim ke RS untuk dilakukan IKPP daripada
fibrinolisis, oleh karena

0 0
risiko perdarahan lebih kecil jika dilakukan IKPP, namun tidak
terdapat perbedaan mortalitas antara kedua strategi tersebut.
2) Pada pasien dewasa yang mengalami IMA EST di unit gawat darurat RS
tanpa fasilitas IKP, disarankan agar pasien tersebut segera
dipindahkan tanpa fibrinolisis ke rumah sakit dengan fasilitas IKP,
bukan diberikan fibrinolisis di RS awal dan bukan baru dilakukan
pemindahan untuk dilakukan IKP oleh karena adanya iskemik
residual.
3) Kombinasi tindakan fibrinolisis dahulu kemudian diikuti dengan dengan

4) angkan untuk
uk dilakukan

5) erval antara
contact) dan

6) segera lebih
keterlambatan

7) ki fasilitas IKP
ikan kemudian
utin.
8) tanpa elevasi

9) pada pasien
n kecurigaan
penyebab dari jantung atau elevasi segmen ST pada EKG
10) Angiografi koroner emergensi juga dilakukan pada pasien koma
setelah OHCA yang dicurigai penyebabnya dari jantung tanpa walau
tanpa didapatkan elevasi segment ST.
11) Angiografi koroner dianjurkan pada pasien pasca henti jantung baik
koma maupun sadar.

0 0
Tata laksana SKA non-ST Elevasi
A. Penger琀椀an
Diagnosis IMA-NEST dan angina pektoris tidak stabil (APTS) ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di
dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa
depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang
T pseudo-normaliza琀椀on,
atau bahkan tanpa perubahan (Gambar 1). APTS dan IMA
NEST dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan
peni

B. Ta
An asuk spektrum
SKA ara IMA NEST
deng arus dilakukan
secar ri stratifikasi
risiko an awal tanpa
profi pada proses
diag krining pasien
yang menghindari
pros n risiko sangat
renda major adverse
cardi ngah maupun
jangk uk melakukan
tinda klinis seperti
hemo gan beberapa
skor seperti TIMI dan GRACE.
Untuk stratifikasi risiko tinggi dan sangat tinggi perlu segera dilakukan
revaskularisasi berupa angiografi dan intervensi koroner. Kriteria stratifikasi
risiko ditampilkan pada tabel 7.1. Waktu pemilihan strategi invasif ditampilkan
pada tabel 7.2.

0 0
Tabel 7.1. Stratifikasi risiko pada SKA tanpa ST elevasi
Kriteria risiko sangat 琀椀nggi
 Hemodinamik tidak stabil atau syok kardiogenik
 Nyeri dada yang sedang terjadi atau berulang yang refrakter
terhadap obat
 Aritmia yang mengancam nyawa atau henti jantung
 Komplikasi mekanik infark miokardium
 Gagal jantung akut
segmen

gan

atau

elumnya

Kriteria yang tidak disebutkan di atas

0 0
Tabel 7.2. Pemilihan strategi invasif dini pada SKA tanpa ST Elevasi
Tindakan  Angina refrakter
invasif segera  Tanda dan gejala gagal jantung atau
(dalam 2 jam) regurgitasi mitral baru atau perburukan
 Hemodinamik tidak stabil
 Angina atau iskemia rekuren waktu istirahat
meskipun dilakukan terapi intensif
 VT menetap atau VF

tau 1,

ah dengan

bukan risiko

or GRACE >

ponin
kirakan

nderita

t/1.72 m 2)
.40)

0 0
o

Gamb i risiko awal

0 0
REFERENSI
1. Cannon CP dan Braunwald E, Unstable Angina and Non-ST elevation
myocardial infarction. Dalam Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP,
Braunwald E. Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 8th ed.
Saunders Elsevier. 2008: 53; 1319- 51.
2. ESC Committee for Practice Guidelines. Guidelines for The Diagnosis and
Treatment of Non-ST Elevation Acute Coronary Syndormes. 2007
3. Grubb NR, Newby DE. Cardiology in Acute Coronary Syndrome. Pocket Book
Car
4. O’C s, D., Feitosa-Filho,
G.,
... Collaborators.
Par onsensus on
car care science
wit , S422-S465.
5. We aghami, C., Nonogi,
H.,
... dromes: 2015
inte d emergency
car . Circulation,
132
6. Am E., Ganiats, T. G.,
Hol
D. line for the
ma y syndromes:
exe ogy/American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Journal of the American
college of cardiology, 64(24), 2645- 2687.
7. O'Gara, P. T., Kushner, F. G., Ascheim, D. D., Casey, D. E., Chung, M. K., De
Lemos, J. A., ... & Granger, C. B. (2013). 2013 ACCF/AHA guideline for the
management of ST- elevation myocardial infarction: executive summary: a
report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines. Journal of the American College of
Cardiology, 61(4), 485-510.

0 0
8. Nikolaou, N. I., Arntz, H. R., Bellou, A., Beygui, F., Bossaert, L. L., & Cariou, A.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015 section
8. Initial

0 0
management of acute coronary syndromes. Resuscitation.-Limerick, 1972, currens,
95, 264-277.
9. Van de Werf, F., & Staff, E. S. C. (2008). ESC Guidelines on the management of
acute myocardial infarction in patients presenting with STEMI. European heart
journal, 29, 2909-2945.
10. Steg, P. G., & James, S. (2012). 2012 ESC Guidelines on acute myocardial
infarction (STEMI). European heart journal, 33, 2501-2502.
11. Ibanez, B., James, S., Agewall, S., Antunes, M. J., Bucciarelli-Ducci, C., Bueno, H.,
... ment of acute
my levation: The
Tas n in patients
pre rdiology (ESC).
Eur
12. Pan rennan, I. R.,
Hir nd Advanced
Life rdiopulmonary
Res Circulation,
142

0 0
BAB VIII
TATALAKSANA KEGAWATAN SIRKULASI
(HIPOTENSI, SYOK, EDEMA PARU AKUT)

A. Pendahuluan
Pengetahuan mendasar tentang tekanan darah, faktor-faktor yang
mempengaruhi tekanan darah, fungsi fisiologis pompa jantung, isi sekuncup dan curah
jantung diperlukan untuk menelaah masalah pasien, membuat penilaian kondisi
pasien u singkat dan
kondisi n darah yang
rendah di unit gawat
darurat. si ke jaringan
yang da berat kondisi
penderi nda kegagalan
perfusi

B. Tata
a. Ta
Peng
H 100 mmHg.
Hipo angat penting
untu da syok.
Tatal
D utama pada
pasie epat/lambat),
masalah volume atau masalah pompa. Hipotensi yang disertai dengan
takikardi ekstrim (laju nadi
>150x/menit) atau bradikardi ekstrim (laju nadi <50x/menit) maka dilakukan
tatalaksana sesuai algoritme takikardia/bradikardia (lihat modul bradikardi dan
takikardi). Jika tidak didapatkan kelainan laju jantung yang ekstrim, lakukan uji
cairan untuk menilai status volume jantung dan mengoptimalisasi volume
intravaskuler dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Bila pasien sudah tidak respon

0 0
dengan pemberian cairan dan masih dalam kondisi hipotensi, dapat diberikan
dobutamin drip 2-20 μg/kgBB/menit jika tidak ditemukan tanda-tanda syok.

0 0
b. Tatalaksana syok
Penger琀椀an syok
Syok adalah kumpulan gejala akibat perfusi selular tidak mencukupi dan
pasokan O2 tidak cukup memenuhi kebutuhan metabolik yang dapat disebabkan
oleh beberapa hal dengan gambaran klinis yang bervariasi
Tanda dan gejala syok
Manifestasi klinis tergantung penyakit dasar dan mekanisme kompensasi yang
terjadi, misalnya:
oliguria
ikardi untuk
mual, muntah

dai nyeri dada


an penurunan

Klasi
Syok

erja jantung.

dengan cara
mendek pada

el pada fase

 Tahanan yang harus dilawan ventrikel untuk pengosongan (a昀琀erload)


 Frekuensi kontraksi; menentukan jumlah darah yang dapat
dipompa dalam semenit (curah jantung).
2. Syok hipovolemik
Merupakan penyebab paling sering syok dan hipotensi; bisa akibat
kekurangan cairan absolut (misalnya diare, muntah, perdarahan masif)
atau ekstravasasi (misalnya syok dengue).
3. Syok distributif

0 0
Total cairan tubuh tidak berkurang, tapi volume intravaskular relatif
tidak seimbang dengan kapasitas vaskular, misalnya pada syok
anafilaksis, syok septik dan syok neurogenik.
4. Syok akibat Obstruksi aliran
Misalnya pada emboli paru, tamponade (efusi perikardium), stenosis
katup mitral atau aorta.

Tatalaksana syok
Da pada pasien
adala bat), masalah
volum

Masa
Te x/menit) atau
ekstr gera diketahui
deng ma (bradikardi
akiba pump, volume
dan r Lakukan tata
laksa otensi dengan
tand meningkatkan
rate cairan (昀氀uid
chall

Masa
Be ertimbangkan
vasopresor. Ada 2 macam problem volume yakni:
1. Hipovolemia absolut
Kekurangan cairan akibat hilangnya cairan tubuh, misalnya perdarahan,
muntah, diare, poliuria, penguapan berlebihan, dehidrasi
2. Hipovolemia relatif
Volume sirkulasi berkurang relatif, tidak ada kehilangan cairan
namun kapasitas vaskular meningkat (vasodilatasi atau berpindahnya
cairan sirkulasi ke ruang “ketiga”) sehingga terjadi hipovolemia

0 0
Bila jelas ada kehilangan cairan tubuh, maka pilihan pertama adalah
memenuhi volume intravaskular. Bila volume sudah dicukupi dan tekanan darah
masih rendah, dapat diberikan diberikan vasopresor. Obat vasoaktif yang dapat
diberikan untuk mengatasi vasodilatasi adalah:
 Syok sepsis : norepinefrin, dobutamin bila membutuhkan inotropik
 Syok anafilaksis : epinefrin, norepinefrin, dopamin, fenilefrin
 Keracunan beta blocker : epinefrin, atropine, glukagon,
dopamin, isoproterenol

M i hipovolemia
relat pump. Klinisi
haru mberikan 昀氀uid
challe rtama adalah
mem inkan peran
seku eri vasopresor
tanp n bersamaan.
Pemb jantung dan
menu kard.

Masa
Pe gobatan yang
tepa banyak adalah
kegag t. Kumpulkan
data antung, stroke
atau penyakit ginjal dan tentukan stratifikasi risiko. Data objektif meliputi
pemeriksaan fisik; mungkin dijumpai iktus berpindah akibat kardiomegali, gallop,
aritmia, bising jantung, Foto polos dada tampak kardiomegali dan atau edema
paru, EKG menunjukkan penyakit jantung koroner atau hipertensi.
Pertimbangkan pemeriksaan ekokardiografi segera jika perlu. Ingat, semua pasien
syok dapat jatuh ke problem pump bila sirkulasi tidak dapat memenuhi
kebutuhan O2, gula dan ATP jaringan. Yang diperlukan pasien gagal pompa
adalah:

0 0
 Pengobatan bersama optimalisasi rate (atasi masalah irama jantung
terutama takikardi dan bradikardi ekstrim) dan optimalisasi volume
intravaskular dan tekanan pengisian ventrikel kiri.
 Koreksi problem dasar seperti hipoksia, hipoglikemi, overdosis
obat/racun.
 Memperbaiki kontraktilitas jantung (dopamin, dobutamin, inotropik
lain), vasodilator untuk mengurangi tahanan vaskular sistemik
(a昀琀erload), diuretik dan venodilator untuk mengurangi preload (beban
pengisian), alat bantu sirkulasi mekanik (Intra Aor琀椀c Balloon Pump-

Pa an kebutuhan
teka an intravena
bert lebih dahulu.
Pada 50 mL) dalam
wakt mpak perbaikan
seper antung, maka
pemb ikutnya. Bila
pasie tuhkan obat-
obat

Hipot
an pemberian
caira membutuhkan
tamb akral dingin,
pema pilihan yang
diberikan adalah dobutamin, dengan dosis 2-20 mcg/kgBB/menit. Titrasi hingga
terjadi tekanan arteri rerata >65 mmHg sambil identifikasi dan atasi penyebab
masalah pompa tersebut. Dobutamin tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal
pada tekanan darah di bawah 90 mmHg disertai gejala syok.

Hipotensi disertai gejala-gejala dan tanda-tanda syok

0 0
Kondisi ini memiliki angka kematian tinggi. Optimalkan tekanan pengisian
ventrikel dengan uji cairan terlebih dahulu. Bila pemberian cairan sudah tidak
berespon dan pasien masih dalam hipotensi dan disertai tanda-tanda syok, maka
dibutuhkan obat-

0 0
obatan vasopressor (vasokonstriktor). Norepinefrin 0,1-0,5 mcg/kgBB/menit
intravena mempunyai efek vasopressor kuat yang menjadi pilihan utama pada
kondisi hipotensi disertai syok. Dopamin dosis 5-20 mcg/kgBB/menit dapat
dipertimbangkan sebagai vasopressor sebagai alternatif norepinefrin pada
terutama pada syok dengan laju frekuensi nadi yang rendah (<50x/menit) atau
hipotensi yang disertai bradikardia ekstrim. Dopamin memiliki risiko terjadinya
aritmia lebih tinggi daripada norepinefrin. Pada syok yang menyertai sindroma
koroner akut harus dipikirkan reperfusi koroner segera, dapat berupa
angiografi-intervensi ( erven琀椀on) dan
ulasi mekanik
(c m waktu 12-24
jam,
dan
Do dapat mulai
diber k pada infark
akut an pemberian
dobu ntrikel kanan
wala etik. Tindakan
revas ik.

0 0
Gambar 9.1. Algoritma Tatalaksana Hipotensi/Syok

Keterangan:
*Jika fluid challenge inkonklusif (tensi dan nadi tidak ada perubahan) dapat diulang
1x

0 0
C. Tata laksana edema paru akut
Penger琀椀an edema paru akut
Edema paru akut adalah timbunan cairan di pembuluh darah dan parenkim
paru yang pada sebagian besar kasus disebabkan oleh gagal jantung akut.

Tanda dan gejala


Edema paru akut ditandai dengan gejala sesak napas yang memberat
terutama saat aktifitas, batuk dengan riak berbuih kemerahan, sesak bila
berbaring
Ko i 90% sebelum
pemb n tanda-tanda
kardi di-takiaritmia,
suara ezing (asthma
cardi ungan batwing
appe
Pe edema paru
kardi nik umumnya
didap gagal jantung
akut nik seringkali
didap umnya, paling
serin uk berdahak,
sesa

Tatal
Tata
taha
 Letakkan pasien dalam posisi duduk, tindakan ini bertujuan meningkatkan
volume dan kapasitas vital paru, mengurangi kerja otot pernapasan,
dan menurunkan aliran darah vena balik ke jantung.
 Pasang sungkup muka non-rebreathing dengan aliran 15 L/menit (target SpO2
>92-98%) berikan bersamaan dengan pemasangan akses IV dan monitor EKG
 Oksimetri denyut dapat memberi informasi keberhasilan terapi walaupun
alat pemantauan SpO 2 ini kurang akurat apabila terjadi penurunan perfusi

0 0
perifer. Oleh karena itu dianjurkan melakukan pemeriksaan analisis gas
darah untuk pemantauan oksigenasi ventilasi dan asam basa.

0 0
 Jika terjadi hipoventilasi berikan ventilasi tekanan positif dengan kantung
napas- sungkup muka untuk menggantikan sungkup muka non-
rebreathing.
 Nitrogliserin atau ISDN efektif mengurangi edema paru karena mengurangi
preload. Pemberian tablet atau spray sublingual yang dapat diulangi setiap
5-10 menit bila TD tetap > 90-100 mmHg, maksimal 3x pemberian.
Pastikan tidak ada kontraindikasi pemberian nitrat (lihat bab
farmakologi)
 Furosemide 0,5-1 mg/kgBB IV. Efek bifasik pertama dicapai dalam 5 menit
di mana terjadi venodilatasi, sehingga aliran balik ke jantung dan paru
agai diuretik
n furosemide
de sudah rutin
lam 20 menit
id IV dua kali
njol dan/atau

 mg IV bolus
meningkatkan
ral dan paru,
), dan juga
rkurang. Efek

 ran gas dapat


atory pressure)

Tindakan Kedua
 Jika respon pasien baik setelah mendapatkan tindakan pertama, maka
tidak diperlukan pemeriksaan tambahan, karena menurun tingkat
kegawatannya, khususnya bila normotensi.
 Bila pasien masih belum respon dengan tatalaksana lini pertama, dan
tekanan darah masih baik/tinggi, dapat diberikan nitrogliserin IV 10-

0 0
200µg/menit (atau ISDN IV 1-10 mg/jam) dengan tetap memantau
tekanan darah.
 Bila tekanan darah turun, berikan inotropik atau vasopresor:

0 0
 Dobutamin 2-20 µg/kgBB/menit IV bila hipotensi tanpa syok
 Dopamin 5-20 µg/kgBB/menit IV (terutama dipilih bila frekuensi
nadi
<50x/menit) atau norepinefrin 0,1-0,5 mcg/kgBB/menit IV bila
terdapat tanda syok

Tindakan Ketiga
 Dipersiapkan bila tindakan pertama dan kedua tidak memberi hasil
yang memadai atau terdapat komplikasi spesifik
 tas spesialistik
 roner

D. Penu
Pend at. Pada
topik in kut:

Awali pe
 A-
 O

 Na
 Ad

vo

Pengoba pi gejala-gejala
dan tand
 K
 Gangguan kesadaran
 Perfusi perifer pada ujung-ujung ekstremitas
 Pengisian kapiler
 Gejala syok
 Produksi urin

0 0
Gunakan triad kardiovaskular dan cari jawaban secara terpisah dan terintegrasi perihal:
 Irama

 Volume-resistensi pembuluh darah

 Pompa

Mengenal masalah irama dan putuskan sikap terhadap:


 Bradikardia ekstrim <50x/menit

 Takikardia ekstrim >150x/menit (tidak termasuk sinus takikardia)

volume
 A
 Re

pompa
 Pr

 Se

Ada 琀椀ga
 C
 Ji elum memberi
ob avaskuler dan
te
 Ji ikan inotropik
un kular dengan
pa 5 mmHg

0 0
REFERENSI
1. Van Diepen, S., Katz, J. N., Albert, N. M., Henry, T. D., Jacobs, A. K., Kapur, N.
K., ... & Cohen, M. G. (2017). Contemporary management of cardiogenic
shock: a scientific statement from the American Heart Association.
Circulation, 136(16), e232-e268.
2. Thiele, H., Ohman, E. M., de Waha-Thiele, S., Zeymer, U., & Desch, S.
(2019). Management of cardiogenic shock complicating myocardial
infarction: an update 2019. European heart journal, 40(32), 2671-2683.
3. ; J Am Heart.

4. Aust Prescr :

5. e, Definition
15: 757-68
6. elines update

7. Hypertensive
n in a Patient
t and Review

8. Armstrong, P.
04). ACC/AHA
on myocardial
n College of
ce Guidelines
(Writing Committee to Revise the 1999 Guidelines for the Management of
Patients With Acute Myocardial Infarction). Journal of the American
College of Cardiology, 44(3), 671-719.
9. Paul M, Maxwell W. Optimizing fluid therapy in shock. Critical care; 2019:
25: 246- 251
10. Cecconi M, Backer DD, Antonelli M, et all. Consensus on circulatory
shock and hemodynamic monitoring. Task force of the European Society of
Intensive Care Medicine. Intensive Care Med. 2014; 40: 1795-1815

0 0
BAB IX
OBAT-OBATAN YANG DIGUNAKAN DALAM
BANTUAN HIDUP JANTUNG LANJUTAN

Tujuan Pembelajaran :
1. Mengetahui jenis obat-obatan vasoaktif
2. Mengetahui jenis obat-obatan antiaritmia
3. Mengetahui jenis obat-obatan antithrombotik
4. egawatan

5. batan tersebut

A. PEN

Tuj ntung adalah


memban spontaneous
circula琀椀 fusi jaringan
optimal enti jantung.

B. PE
O
1.
inotropik dan
yai pengaruh

2.
Merupakan obat vasokonstriktor adrenergik-α1 yang potensinya lebih besar
dibandingkan dengan dopamin atau fenilefrin. Kecuali itu norefinefrin
mempunyai efek kronotropik dan inotropik melalui reseptor β1. Seperti
obat vasokonstriktor lainnya, pemberian norefinefrin dapat menurunkan
curah jantung seiring dengan peningkatan afterload dan tekanan darah.
Peningkatan denyut jantung jarang terjadi. Pada pasien yang telah dilakukan

0 0
resusitasi cairan adekuat, norefinefrin dapat meningkatkan aliran darah
ginjal.

0 0
3. Dopamin
Merupakan obat vasoaktif yang mempunyai efek inotropik dan
vasopresor tergantung dosis yang diberikan. Pada infus dosis rendah (2-3
µg/kg BB/menit), dopamin mempunyai efek inotropik dan kronotropik.
Dan mempunyai aksi sebagai reseptor dopaminergik pada ginjal dan dapat
meningkatkan jumlah urin; meskipun demikian penggunaan dengan tujuan
efek pada ginjal tidak dianjurkan karena tidak dapat mencegah disfungsi
ginjal atau memperbaiki keluaran. Pada infus dosis sedang (6-10 µg/kg
dangkan pada
asokonstriktor

4.
trofik. Infus
ng, yang
arah arteri
eningkat.
yang tidak
kanan darah
ergantung

Tabel ik dan Vasopresor


Nama erian
Epinefr konsentrasi
ediaan 1:1000
u 10 ml dosis

pada hipotensi dengan • Kasus henti jantung :


bradikardia dapat IV/IO: 1 mg (1 ml dari 1 : 1000) diberikan
digunakan ketika gagal tiap 3 - 5 menit selama resusitasi, setiap
dengan atropine atau pemberian diikuti dengan flush 20ml NaCl
pada hipotensi akibat 0,9% dan menaikkan lengan selama 10- 20
penggunaan detik setelah pemberian dosis
phosphodiesterase
Rute endotrakeal : 2 - 2,5 mg
enzyme inhibitor.
diencerkan dengan 10 ml NaCl 0.9%
• Anafilaksis, reaksi
diikuti dengan pemberian bantuan
alergi berat dikombinasi
napas/ventilasi.
dengan cairan,
kortikosteroid dan • Kasus bradikardia / hipotensi berat
antihistamin.

0 0
Infus (untuk bradikardi tidak stabil): 2 -
10
µg/menit, dititrasi sesuai respon pasien.

0 0
Norepinefrin ▪ Syok kardiogenik berat • Drip 0,1 - 0,5 µg/kg BB/menit IV; dititrasi
yang membutuhkan sesuai respon
vasopressor terutama
pada syok Perhatian:
kardiogenik dengan • Jangan diberikan bersamaan dengan larutan
frekuensi nadi alkali
normal/tinggi • Koreksi hipovolemia dengan pemberian
▪ Syok dengan volume sebelum pemberian norepinefrin
vasodilatasi (contoh: • Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya
syok sepsis) ekstravasasi yang dapat menyebabkan
nekrosis jaringan.
• Dapat menyebabkan aritmia (risiko aritmia lebih
rendah daripada dopamine).
• Digunakan berhati-hati pada pasien dengan
curah

Dopam titrasi
kkan

da
n pada
ndah)
larutan alkali

Dobuta di titrasi.
dari 10%
babkan

pasien
mik secara

dapat

ketahui

• Koreksi hipovolemia dengan pemberian


volume sebelum pemberian dobutamin
• Dapat menyebabkan takiaritmia, tekanan darah
yang fluktuatif, sakit kepala dan mual.
• Jangan dikombinasi dengan larutan alkali
(natrium bikarbonat).

0 0
OBAT-OBATAN ANTIARITMIA
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat anti aritmia dibagi menjadi 4
kelas. Selain itu akan dibahas pula obat yang dipergunakan pada kasus
bradiaritmia, yaitu sulfas atropin.

Klasi昀椀kasi obat taki-aritmia:


A. Kelas I
Mekanisme kerjanya menghambat kanal natrium; penurunan
fase nol dari
tabilitas dan

B
se 4 sehingga
aktilitas dan
pada terapi
perti fibrilasi
ini termasuk

C
ium sehingga
. Kelas ini
depolarisasi
jang periode

D. Kelas IV (Contoh : Verapamil dan Diltiazem)


Mekanisme kerjanya adalah sebagai penghambat kanal kalsium, sehingga
menyebabkan penurunan kecepatan depolarisasi spontan fase 4 dan
melambatkan konduksi pada jaringan-jaringan yang tergantung pada arus
masuk kalsium seperti nodus AV, otot-otot polos vaskular dan
jantung.
E. Obat takiaritmia lainnya
1. Adenosin

0 0
Merupakan nukleosid alamiah dengan mekanisme kerjanya
menurunkan kecepatan konduksi, memanjangkan periode refrakter
dan menurunkan otomatisasi nodus AV.

0 0
2. Magnesium sulfat
Mekanisme kerjanya memperpanjang siklus sinus, melambatkan
konduksi nodus AV dan konduksi intra atrial dan intra ventricular
3. Digoksin
Mekanisme kerjanya memendekkan periode refrakter sel-sel miokard
atrium dan ventrikel memanjangkan periode refrakter efektif dan
mengurangi kecepatan konduksi serabut purkinje.

Ta iaritmia
Nama rian
Lidokai
s
g/kgBB/IV diulangi
dosis maksimum
3 mg/kgBB.
ngan dosis 2 - 4

dengan tipe yang

IV sampai 1 - 1,5
dengan total dosis

t IV ( 30-50
rose 5% atau NaCl

Amiodar
IV engan 20-30 ml

sebanyak 150 mg IV
3-5 menit.
ang stabil,
t pertama, dapat
10 menit jika
gr IV/24 jam.
selama 6 jam (1
mg IV selama 18
jam berikutnya
(0,5 mg/menit).
Metoprolol 1. Obat lini kedua • Dosis awal: 5 mg IV setiap 5 menit secara lambat dan
IV (saat ini untuk SVT (setelah dapat diulang 3 kali dosis awal. Dititrasi sesuai dengan
sediaan adenosin) denyut jantung dan tekanan darah.
obat belum 2. Mengontrol laju• Dosis oral: 25 - 50 mg selama 6 - 12 jam, kemudian
tersedia di irama pada atrial setelah 2 - 3 hari dinaikkan 2 kali dosis awal; dapat
Indonesia) fibrilasi dititrasi sampai dosis 200 mg/hari
3. Anti angina
pada
SKA
Verapamil 1. Obat lini kedua  Dosis pertama : 2,5-5 mg IV bolus selama 2 menit (3

0 0
IV untuk SVT (setelah menit pada pasien usia lanjut). Dosis berikutnya 5-10
adenosin) mg IV jika diperlukan dengan interval waktu 15-30 menit
dari pemberian
dosis pertama. Dosis maksimum 20 mg IV.

0 0
2. Mengontrol laju  Alternatif: 5 mg bolus setiap 15 menit dengan total
irama pada atrial dosis 30 mg.
fibrilasi
Diltiazem IV 1. Obat lini kedua • Pada kasus akut, berikan 15-20 mg (0,25 mg/kg) IV
untuk SVT (setelah selama 2 menit. Dapat diulangi 15 menit kemudian dengan
adenosin) dosis 20-25 mg (0,35 mg/kg BB) selama 2 menit.
2. Mengontrol laju • Dosis pemeliharaan 5-15 mg/jam, dititrasi hingga
irama pada tercapai laju nadi fisiologis. Dapat diencerkan dengan
atrial fibrilasi dekstros 5% atau normal saline.

Adenosin IV 1. Obat lini pertama • Letakkan pasien pada posisi mild-reverse Trendelenburg
(atau ATP) untuk SVT (kepala lebih tinggi daripada kaki) sebelum pemberian
obat.
• Pergunakan three-way pasang akses IV di daerah vena

IV cepat dalam
e normal 20 ml,

enosin (20 mg ATP)

setelah pemberian

Magnes magnesemia atau


Sulfat I 0 ml dari larutan
ml D5% / normal

u infark miokard
1 - 2 gram (5 -10
erkan dalam 50 -
pai 60 menit IV.
IV (titrasi untuk

Digoksi
g dewasa 0.5 mg
t
uk orang dewasa
dalam 4-8 jam
elama 8-16 jam)
mberian iv atau 6

apabila digunakan
bersamaan dengan Amiodaron.
Prokainamid 1. Takikardi QRS Drip 20-50 mg/menit hingga aritmia hilang
IV Lebar yang Stabil
(saat ini obat belum Stop bila muncul hipotensi/durasi QRS meningkat
tersedia di >50% Dosis maksimal 17 mg/kg
Indonesia)
Sotalol IV 1. Takikardi QRS 100 mg (1.5 mg/kgBB) dalam 5
Lebar yang Stabil
(saat ini obat belum menit Hindari bila QT memanjang
tersedia di
Indonesia)

0 0
Obat bradiaritmia
1. Sulfas atropine
Mekanisme kerja utama atropin adalah sebagai zat antagonisme yang
kompetitif, dimana dapat diatasi dengan cara meningkatkan
konsentrasi asetilkolin pada lokasi reseptor dari organ efektor. Atropin
tidak berfungsi efektif pada AV block level infra nodal (high degree AV
block yaitu AV block derajat II tipe 2 dan derajat 3)
2. Dopamin
amin sebagai
eptor beta 1
pik positif dan

3.
efrin sebagai
eptor beta 1
pik positif dan

radiaritmia
Nama O
Sulfas A 1 mg IV (4
ai kebutuhan
.
angka pendek
lebih tinggi
pada kondisi

k high degree

II dan derajat 3)
Dopamin  Bradikardi tidak stabil • Infus: 5 - 20 µg/kg BB/menit, dititrasi
yang tidak respon sesuai respon pasien, dosis dinaikkan
dengan atropin perlahan Perhatian:
• Koreksi hipovolemia dengan penggantian
volume sebelum pemberian dopamin.
• Dapat menyebabkan takiaritmia,
vasokonstriksi eksesif.
Epinefrin • Bradikardia simtomatis : Infus kontinyu: dosis inisial 0,1 - 0,5
dapat dipertimbangkan µg/kg/menit
setelah pemberian • Kasus bradikardia / hipotensi berat
atropin dan alternatif • Infus (untuk bradikardi tidak stabil): 2 -

0 0
dopamin. 10 µg/menit, dititrasi sesuai respon
Hipotensi berat dengan pasien.
bradikardia

0 0
PEMBERIAN OBAT ANTI TROMBOTIK
A. Aspirin
Aspirin menghambat pembentukan thromboxan A2 yang menyebabkan
agregasi platelet dan membuat konstriksi arteri. Penggunaan obat ini
menurunkan mortalitas SKA, reinfark dan stroke-non fatal.
B. Clopidogrel
Merupakan antagonis dari ADP (Adenosine Diphosphate) yang

C
agonis P2Y12
berbeda jika
dogrel atau

D
ulan dengan
) sehingga
gulasi darah,
XIIa. Hal ini
ombin dalam

E
faktor Xa dan
an kompleks
rotein binding
heparin.
F. Fondaparinux
Fondaparinux menghambat pembentukan thrombin dengan menghambat
faktor Xa.
G. Streptokinase
Merupakan obat trombolitik yang bersifat non-fibrin spesifik
H. Alteplase
Merupakan obat trombolitik yang bersifat fibrin spesifik

0 0
Tabel 9.4 Indikasi, Dosis, dan Cara Pemberian Obat-obatan Antitrombotik
Nama Obat Indikasi Dosis dan Cara pemberian
Aspirin Indikasi: • 160 – 320 mg tablet
Diberikan pada semua pasien SKA, (bukan salut selaput)
terutama kandidat revaskularisasi. secepat mungkin (dikunyah
lebih baik)
Kontraindikasi: • Dapat digunakan sediaan
• Absolut: hipersensitif pada aspirin supositoria sebesar 300mg
• relatif : pasien dengan ulser aktif atau bila tidak dapat diberikan
asma per-
oral
Clopidogrel Indikasi: Semua kasus SKA STEMI / UAP-NSTEACS risiko
Perhatikan penggunaan pada sedang-tinggi : dosis awal 300
g/hari
dose 600 mg
an intervensi
an (IKP)

Ticagre mg mg,

am
Unfract : bolus 60
heparin ksimum bolus
anjutkan 12
(dosis
00 IU/jam).
nilai aPTT 1.5
ontrol selama
tau hingga
ografi.
PTT setelah 3
n tiap 6 jam
kemudian tiap

kelainan perdarahan; perdarahan  Ikuti protokol pemberian


saluran cerna. heparin
 Dosis dan target nilai laboratorium
harus sesuai ketika digunakan bersama
dengan terapi fibrinolitik.
 Jangan digunakan jika hitung trombosit
<
100.000 atau diketahui adanya riwayat
trombositopenia yang diinduksi heparin/
Heparin-Induced Thrombocytopenia (HIT).
Untuk pasien seperti ini dapat
dipertimbangkan pemberian agen direct

0 0
Kardioversi
Kardioversi adalah pemberian syok listrik yang penghantarannya disinkronkan
dengan kompleks QRS. Penghantaran listrik yang tersinkronisasi ini akan
menghindarkan pemberian listrik pada masa refrakter relatif yang dapat
menyebabkan ventricular 昀椀brilla琀椀on. Jika memungkinkan, buat akses vena sebelum
kardioversi dan berikan sedasi jika pasien dalam kondisi sadar. Jangan menunda
0 0
kardioversi jika pasien sangat tidak stabil. Untuk informasi lebih lanjut tentang
defibrilasi dan kardioversi, lihat bab “Terapi Listrik”.
Kard energi kecil,
kemudia r energi yang
diberika ma EKG. Pada
penggun teratur, dosis
inisial d 120 J – 200 J
bila me n defibrilator
monofa

Takiarit
1. Peng
Takik Bentuk paling
umum d

 si aberan
 h jalur aksesoris)

Takikardia kompleks QRS lebar dapat regular ataupun iregular. Suatu


takikardia kompleks lebar regular kemungkinan besar adalah VT atau SVT dengan
aberan. Suatu takikardia kompleks lebar iregular kemungkinan adalah atrial
昀椀brilla琀椀on dengan aberan,
atrial 昀椀brilla琀椀on pre-eksitasi (yaitu atrial 昀椀brilla琀
dengan konduksi antegrad melalui jalur aksesoris) atau VT polimorfik/torsades
de pointes. Penolong harus mempertimbangkan perlunya konsultasi ahli ketika
menangani takikardia kompleks QRS lebar.

0 0
Gambar 7.4. Takikardia Ventrikular Monomorfik

2. Tata Laksana Takiaritmia dengan QRS Lebar


Evaluasi awal meliputi evaluasi jalan napas dan pernapasan. Hipoksemia
merupakan penyebab umum takikardia. Beri oksigen dan bantuan pernapasan bila
diperluk dan saturasi
oksigen emungkinkan.
Takiarit s serius yaitu
hipoten ada iskemik,
dan gag rsebut, maka
pasien

2.1. H
0 0
Takikard
Adenosi
Takik i seperti yang
telah di irama dengan
QRS ya eksitasi. Bila
mendap fikasi apakah
takikard tata laksana
spesifik tidak dapat
ditentu
Adenosin tidak boleh diberikan pada takikardia kompleks lebar yang tidak stabil
atau ireguler atau polimorfik, karena dapat menyebabkan perburukan menjadi VF.
Tetapi bila takikardia QRS lebar yang stabil memiliki irama yang regular dan
monomorfik, adenosin IV relatif aman untuk dipertimbangkan pemakaiannya, baik
untuk pengobatan maupun diagnosis. Jika takikardia kompleks lebar adalah SVT
dengan aberansi, maka pemberian adenosin akan memperlambat irama sementara
atau mengkonversi menjadi irama sinus; jika VT maka pemberian adenosin tidak

0 0
akan berpengaruh pada irama (kecuali pada kasus jarang dari VT idiopatik). Efek
transien adenosin yang sangat cepat biasanya dapat ditoleransi secara
hemodinamik. Karena berbagai respon irama pada saat pemberian

0 0
0 0
adenosin ini dapat membantu diagnosis irama yang mendasari, sangat
disarankan melakukan dokumentasi dengan penggunaan rekaman EKG kontinyu.
Cara pemberian adenosin sama dengan pemberian pada PSVT: 6 mg IV bolus
cepat, setelah itu dapat diberikan bolus 12 mg jika irama tidak terkonversi.
Defibrilator harus tersedia jika memberikan adenosin dalam kasus takikardia QRS
lebar. Efek samping dapat terjadi pada pasien dengan atrial 昀椀brilla琀椀on pre-eksitasi
yang diobati dengan adenosin yaitu konversi menjadi atrial 昀椀brilla琀椀on dengan
respon ventrikular cepat. Di samping itu dapat terjadi VF pada atrial 昀椀brilla琀椀on pre-
eksitasi

Obat An
Pada if adalah tata
laksana ocaine dapat
dipertim l, yang harus
dihindar ah satu obat
antiarit oleh diberikan
tanpa ko dioversi atau
konsult
Amio morfik atau
mengob arteri koroner
dan fun IV selama 10
menit; .2 g IV per 24
jam. Do potensi, walau
beberap ktif.
Lidok one. Lidocaine
dapat dipertimbangkan sebagai terapi antiaritmia lini kedua untuk VT monomorfik.
Lidocaine dapat diberikan pada dosis 1-1,5 mg/kgBB IV bolus. Infus rumatan adalah
1-4 mg/menit (30-50 μg/kgBB/menit).

Takikardia QRS Lebar Tidak Teratur


Takikardia QRS lebar tidak teratur biasanya disebabkan oleh atrial 昀椀brilla琀椀on
dengan konduksi aberan, atrial 昀椀brilla琀椀on pre-eksitasi atau VT polimorfik.
 Atrial 昀椀brilla琀椀on dengan konduksi aberan

0 0
Tata laksana atrial 昀椀brilla琀椀on dengan konduksi aberan sama dengan tata
laksana atrial 昀椀brilla琀椀on pada umumnya.
 Atrial 昀椀brilla琀椀on pre-eksitasi
Pada analisis suatu irama kompleks QRS lebar tidak teratur, harus
dipikirkan suatu atrial 昀椀brilla琀椀on pre-eksitasi. Konsultasi ahli dianjurkan.
Pada kasus ini hindari obat-obat penghambat nodus AV seperti adenosin,
penghambat kanal kalsium, digoksin dan kemungkinan penghambat beta
karena secara paradoks obat ini malah dapat menyebabkan peningkatan
re pre- eksitasi
m an kardioversi
el 0 0 tidak efektif,
at irama seperti
am atan maupun
st
 V
dengan energi
ya hemodinamik
st
itujukan pada
pe erval QT pada
ir ngan kata lain
VT tama adalah
m interval QT.
Pe nya (misalnya
ov gunakan pada
VT torsades de pointes (VT polimorfik terkait dengan interval QT
memanjang), secara ilmiah penggunaannya hanya didukung oleh 2 penelitian
observasional yang menunjukkan keefektifannya pada pasien dengan interval
QT memanjang. Pada serial kasus lain isoproterenol atau pacu ventrikel
efektif dalam terminasi torsades de pointes yang terkait dengan bradikardia
dan pemanjangan interval QT yang diinduksi obat. VT polimorfik akibat
sindroma QT memanjang familial dapat diobati dengan magnesium IV,
pacu jantung dan/atau penghambat beta; isoproterenol harus dihindari. VT

0 0
polimorfik terkait dengan sindroma QT memanjang didapat dapat diobati
dengan magnesium

0 0
0 0
IV. Tambahan pacu jantung atau isoproterenol IV dapat dipertimbangkan
pada VT polimorfik dengan bradikardia atau tampak dipicu oleh jeda pada
irama.
VT polimorfik tanpa pemanjangan interval QT paling banyak disebabkan
oleh iskemia miokard. Pada kondisi ini, amiodarone IV dan penghambat
beta dapat menurunkan rekurensi aritmia. Iskemia miokard harus diobati
dengan penghambat beta dan pertimbangkan kateterisasi jantung dan
revaskularisasi. Berbeda dengan amiodaron, magnesium tidak efektif dalam
mencegah VT polimorfik pada pasien dengan interval QT normal.
sindroma QT
m onsif dengan
pe ponsif dengan
is

2.2. H
Ta usaha cepat
mengat da takikardia
tidak st ion).
Pa ompleks QRS lebar
harus d ntaman dada
(precord stabil yang
disaksik ntuk langsung
digunak inisial energi
kecil, k erhasil. Pada
takikard u monofasik).
Sedangk ik, kardioversi
tidak bisa dilakukan. Jadi bila ditemukan pasien tidak stabil dengan takikardia QRS
lebar polimorfik atau bila ada keraguan apakah irama yang ada VT monomorfik atau
polimorfik, lakukan syok listrik tidak tersinkronisasi dosis tinggi, atau dengan kata
lain lakukan defibrilasi. Pasca melakukan kardioversi pada VT, jika tidak ada perubahan
irama jantung, pastikan terlebih dahulu ada tidaknya nadi, karena bisa berubah jadi
VT tanpa nadi. Jika masih terdapat nadi, naikkan dosis kardioversi 50 J dari dosis
sebelumnya. 0 0
0 0
Gambar 7.5. Algoritma Tatalaksana Takikardia

0 0
REFERENSI
1. Neumar RW, Otto CW, Link MS, et al. 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care. Circulation. 2010;122:S729–S767.
2. Katritsis, D. G., Boriani, G., Cosio, F. G., Hindricks, G., Jais, P., Josephson, M. E.,
... & Lane, D. A. (2017). European Heart Rhythm Association (EHRA) consensus
document on the management of supraventricular arrhythmias, endorsed by
Heart Rhythm Society (HRS), Asia-Pacific Heart Rhythm Society (APHRS), and
Soci gia (SOLAECE).
EP E
3. Blom J. S., Calkins,
H., elines for the
man ias—executive
sum merican Heart
Asso an Society of
0 0
Card e to Develop
Guid praventricular
Guid praventricular
Arrh thm Society.
Jou 1.
4. Mon nochie, I. K.,
Niko tation council
guid esuscitation.-
Lim
5. Page al, B. J., ... & Indik,
J. H ent of adult
patients with supraventricular tachycardia: a report of the American College
of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines
and the Heart Rhythm Society. Journal of the American College of Cardiology,
67(13), e27- e115.
6. Kirchhof, P., Benussi, S., Kotecha, D., Ahlsson, A., Atar, D., Casadei, B., ... & Hindricks,
G. (2016). 2016 ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation
developed in collaboration with EACTS. European journal of cardio-thoracic surgery,
50(5), e1-e88.

0 0
7. Authors/Task Force Members, Priori, S. G., Blomström-Lundqvist, C., Mazzanti, A.,

0 0
0 0
Blom, N., Borggrefe, M., ... & Hindricks, G. (2015). 2015 ESC Guidelines for
the management of patients with ventricular arrhythmias and the prevention of
sudden cardiac death: The Task Force for the Management of Patients with
Ventricular Arrhythmias and the Prevention of Sudden Cardiac Death of the
European Society of Cardiology (ESC) Endorsed by: Association for European
Paediatric and Congenital Cardiology (AEPC). Ep Europace, 17(11), 1601-
1687.
8. Glover, B. M., Walsh, S. J., McCann, C. J., Moore, M. J., Manoharan, G., Dalzell, G.
W.,
... & Mathew, T. P. (2008). Biphasic energy selection for transthoracic
card 7), 884-887.
9. Man Wegener, F. T., &
Hoh on in patients
with systems: a
rand y application.
Euro
10. Soar arli, P., ... &
Sund resuscitation
2015 0-147.
11. Pan rennan, I. R.,
Hirs Advanced Life
Sup diopulmonary
Res Circulation,
142

———»»»œ«««———

0 0
BAB VII
SINDROMA KORONER AKUT

Tujuan Pembelajaran
Pada akhir pembahasan kasus ini peserta diharapkan dapat:
 Mendiskusikan diagnosis dan diagnosis banding nyeri dada yang mengancam
nyawa
 Mampu membaca EKG dan mengklasifikasikan ke dalam tiga kategori
0 0

 gunaan obat,
B. KONSEP UTAMA
Terdapat perbedaan penting pada epidemiologi, patofisiologi, dan etiologi
tersering dari henti jantung pada anak dengan henti jantung pada neonatus dan
dewasa. Henti jantung pada bayi dan anak umumnya bukan akibat langsung dari
gangguan jantung, namun merupakan komplikasi gagal napas atau syok
berkelanjutan. Henti jantung pada pasien anak umumnya didahului oleh perburukan
yang berakhir pada kegagalan jantung- paru, bradikardia, hingga henti jantung.
Gangguan jantung sebagai penyebab utama umumnya ditemukan pada anak
dengan penyakit jantung bawaan.
Luar ade terakhir,
sebagia kualitas tinggi,
perawat , kasus henti
jantung asikan bahwa
pasien bih awal dan
dipinda
Di si m sebaik yang
diharap Resuscita琀椀on
Outcom pada OHCA
pediatr % hingga 10,2%
sepanja en. Angka ini
tidak be tatan nasional
di berb udi yang sama
menunj ramedis pada
saat he tinggi. Hal ini
deteksi

0 0
Gambar 11.1. Algoritma Henti Jantung Pasien Anak

0 0
Tatalaksana VF/pVT
Risiko VF/pVT meningkat selama anak-anak dan remaja, walaupun masih lebih
jarang dibandingkan dewasa. Henti jantung dengan irama inisial VF/pVT
memiliki tingkat kelangsungan hidup hingga pulang rawat dan fungsi neurologis
yang lebih baik dibandingkan henti jantung dengan irama inisial yang tidak dapat
didefibrilasi. Irama yang dapat didefibrilasi dapat muncul sebagai irama inisial saat
henti jantung (VF/pVT primer) atau muncul saat upaya resusitasi (VF/pVT
sekunde makin pendek
durasi V perfusi. Baik
defibrila ksana VF/pVT
pada a kejut dapat
dititrasi tinggi dalam
mengide rilator bifasik
lebih di minasi VF/pVT
dengan . Kebanyakan
DEO did yi dan anak di
bawah 8

Alat Ban
Seba urukan fungsi
pernapa enjadi penting
dalam r ebagain besar
pasien metode ini
menyeb o aspirasi dan
barotrauma.
Intervensi bantuan napas tingkat lanjut, seperti penggunaan alat bantu jalan
napas supraglotis atau intubasi endotrakea dapat meningkatkan ventilasi,
mengurangi risiko aspirasi, dan memungkinkan kompresi dada yang tidak
terinterupsi. Meskipun demikian, upaya penempatan alat bantu ini dapat
menginterupsi kompresi atau menyebabkan malposisi alat. Oleh karena ini
dibutuhkan alat bantu yang tepat dan penolong berpengalaman, karena hal ini
mungkin akan sulit pada penolong yang jarang mengintubasi anak.

0 0
Pemberian Obat-Obatan Selama RJP
Agen vasoaktif seperti epinefrin digunakan selama henti jantung untuk
memicu kembalinya sirkulasi spontan dengan optimalisasi perfusi koroner dan
mempertahankan perfusi serebral, namun keuntungan dan waktu pemberian yang
optimal masih belum diketahui dengan pasti. Agen antiaritmia mengurangi risiko
fibrilasi ventrikel (VF) dan takikardia ventrikel tanpa nadi (pVT) berulang setelah
defibrilasi, sehingga mungkin dapat meningkatkan keberhasilan defibrilasi. Data saat
ini tidak mendukung penggunaan rutin sodium bikarbonat maupun kalsium dalam
henti ja elektrolit dan
keracut
Dosi t dinilai pada
kondisi i berat badan
yang da

Penilaia
Mem sikan dengan
peningk is yang lebih
baik; m . Pemantauan
kualitas un noninvasif.
Penguku an gambaran
besaran obat-obatan.
Penguku jantung dan
efektifi kualitas RJP.
Peningk . Alat untuk
member audio, maupun
audiovis terintegrasi
dalam sistem pelatihan dan asesmen kualitas untuk RJP berkualitas tinggi.
Pemeriksaan point of case ultrasound, dalam hal ini ekokardiografi selama RJP
dapat dipertimbangkan untuk mengidentifikasi penyebab henti jantung yang bisa
diatasi. Teknologi yang sedang dikembangkan untuk menilai kualitas resusitasi
diantaranya pengukuran noninvasif oksigenasi serebral, seperti near infrared
spectroscopy.

0 0
Tatalaksana dan Pemantauan Pasien dalam Perawatan Pasca Hen琀椀 Jantung
Dalam hitungan hari setelah keberhasilan resusitasi, dapat muncul “sindrom
pasca henti jantung”. Sindrom ini terdiri dari cedera otak, iskemia sistemik dan
respons reperfusi, disfungsi miokard, dan patofisiologi presipitasi henti jantung
awal yang persisten. Cedera otak pasca henti jantung menurunkan toleransi otak
akan iskemia, hiperemis, dan edema sehingga mengarah pada penyebab utama
terjadinya morbiditas dan mortalitas pada dewasa dan anak. Pelayanan pasca henti
jantung pada pediatri fokus untuk meningkatkan ketahanan hidup dan hasil
neurolo entifikasi, dan
menatal
Targ antauan dan
penjaga ang tertentu.
Seluruh si hipotermik,
TTM me n metabolik,
menuru entifikasi dan
tatalaks karena dapat
berefek terjadi dapat
berupa malitas pada
ventilas

Prognos
Dala tatalaksana,
penyusu ukungan dari
keluarga tuk membuat
prognosi alkan. Untuk
menyusun prognosis, hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah karakteristik
pasien dan henti jantung yang dialami, hasil pemeriksaan neurologis pasca henti
jantung, hasil pemeriksaan laboratorium, EEG, dan pemeriksaan radiologi
neurologis (CT dan MRI). Saat ini, untuk memprediksi apakah prognosis pada
pasien setelah ROSC dalam 24-48 jam adalah baik atau buruk, belum ditemukan
satu faktor utama yang berperan dan belum dapat diidentifikasi suatu
keputusan tervalidasi tertentu. Dibutuhkan banyak data sebelum kita dapat
mengaplikasikan prognosis pada masing-masing individu-individu pasien. EEG, pencitraan

0 0
saraf, maupun serum biomarker bila diambil secara terpisah maka hanya memberikan
prognosis dengan akurasi yang standar.

Gambar 11.2. Daftar Tilik Pelayanan Pasca Henti Jantung

0 0
Pemulihan Pasien Pasca Hen琀椀 Jantung
Pasien pasca henti jantung memiliki risiko yang signifikan terhadap peningkatan
morbiditas neurologis, kognitif, fisik baik jangka pendek maupun panjang, emosional,
dan sosial. Beberapa pasien pasca henti jantung akan memiliki gangguan
neuropsikologi yang lebih ringan apabila berhasil bertahan setelah henti jantung
dengan hasil yang “memuaskan”. Pada pasien anak, perkembangan yang terganggu
sebagai dampak penuh dari cedera otak yang dialami tidak akan terlihat penuh
hingga beberapa bulan atau tahun setelah pasien mengalami henti jantung. Secara
lebih lan ya berdampak
pada an ebut.
Pad gian ke enam
yang di membutuhkan
pelayan abilitasi, dan
dukunga en mengalami
henti ja panjang dan
hubunga elah menjadi
sorotan

Kehadir
Prak angsung terus
meningk pada sebagian
orang t susitasi. Data
yang le ama resusitasi
hingga a serta perilaku
berduka

Evaluasi Hen琀椀 Jantung Secara Mendadak yang Tidak Dapat Dijelaskan


Beberapa penyebab umum henti jantung mendadak yang tidak dapat dijelaskan
pada bayi dan anak-anak adalah kardiomiopati hipertrofi, anomali arteri koroner,
dan aritmia. Tidak ditemukan adanya kelainan pada otopsi dan mikroskopis pada
sepertiga dari pasien muda yang tidak selamat dari serangan jantung mendadak
yang tidak dapat dijelaskan. Untuk mencari etiologi serangan jantung mendadak
yang tidak dapat dijelaskan, semakin banyak digunakan evaluasi genetika

0 0
memberikan penjelasan mengenai henti jantung pasien, diagnosis genetik
dapat mengidentifikasi penyakit jantung yang diturunkan, seperti kardiomiopati,
sehingga memungkinkan skrining dan tindakan pencegahan untuk keluarga.

Gambar 11.3. Peta Perjalanan Menuju Pemulihan

Resusitasi pada Pasien Syok


Syok adalah kejadian yang dapat mengancam nyawa akibat kegagalan
pengiriman oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Syok
hipovolemik merupakan jenis syok yang paling umum terjadi pada pediatri, termasuk
diantaranya syok akibat perdarahan. Beberapa syok yang jarang terjadi diantaranya

0 0
dan obstruktif. Pada kejadian tertentu, kewaspadaan perlu ditingkatkan karena berbagai
jenis syok dapat terjadi secara bersamaan. Indeks kecurigaan yang tinggi diperlukan
pada syok kardiogenik dikarenakan sulitnya diagnosis pada tahap awal.
Syok berkembang sesuai dengan tingkat keparahannya, mulai dari kondisi
kompensasi ke kondisi dekompensasi (hipotensi). Mekanisme kompensasi merupakan
upaya mempertahankan curah jantung dan perfusi organ, termasuk diantaranya
takikardia dan meningkatkan resistensi vaskular sistemik (vasokonstriksi).
Ketika mekanisme kompensasi gagal, dan pasien mulai hipotensi serta
menuju roduksi urin,
asidosis organ sudah
tidak m
Pem epsis memiliki
bukti y n penerapan
pandua dini, kematian
akibat s r. Kontroversi
dalam p vasopressor,
penggu ilaian respon
pasien, am serangan
jantung i generalisasi
hasil ya memerlukan
pertimb dan sindrom
syok de
Pan oragik terus
berkem rah pada awal
resusita id saja pada
resusitasi.

Tatalaksana pada Gagal Napas


Gagal napas terjadi ketika oksigenasi dan ventilasi pada tubuh berjalan tidak
efektif dikarenakan ketidakmampuan tubuh untuk bernapas dengan baik. Hal ini
dapat terjadi karena obstruksi saluran napas atas maupun bawah, kontrol napas
yang terganggu, atau penyakit parenkim paru. Beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk menolong pasien dengan tidak ada napas ataupun napas yang tidak adekuat

0 0
adalah dengan memberikan ventilasi, mengeluarkan benda asing yang menjadi
penyebab obstruksi, dan sebagai

0 0
tindakan penyelamatan pada pasien yang mengalami gagal napas dikarenakan
overdosis opioid, dapat diberikan nalokson.
Beberapa penyebab kematian pada bayi dan anak adalah mati lemas karena
saluran napas mengalami obstruksi benda asing maupun keracunan. Penyebab
tersering terjadinya obstruksi benda asing pada saluran napas anak adalah
balon, makanan (hotdog, kacang, anggur) dan obyek kecil lainnya. Sedangkan
penyebab tersering terjadinya obstruksi benda asing pada saluran napas bayi
adalah cairan. Penting untuk membedakan apakah pasien mengalami obstruksi
benda a bersuara sama
sekali, a as yang ringan
dimana renakan pada
pasien d akan segera
memerl da asing pada
saluran sing tersebut
secara

Intubasi
Pad an dan obat-
obatan n napas pada
pediatri tal terbentuk
sebuah ada pediatrik
lebih d untuk diganti
menjad aan respirasi
yang bu volume tidal,
menurun si kapnografi.
Namun ena memiliki
tekanan yang tinggi pada bagian cu昀昀. Beberapa studi yang telah mencoba
mengidentifikasi mengenai penggunaan ETT ini kemudian menyarankan untuk
menurunkan jumlah penggantian tube denga cara memilih ukuran tube dan
tekanan inflasi cu昀昀 secara tepat yang pada akhirnya dapat menurunkan risiko
terjadinya trauma saluran napas.
Intubasi merupakan suatu prosedur yang memiliki risiko tinggi. Selama
melakukan prosedur intubasi, risiko yang diterima pasien dapat menjadi semakin

0 0
tinggi bergantung pada bagaimana hemodinamik pasien, mekanik pernapasan dan
keadaan saluran napas

0 0
pasien. Oleh sebab itu, sebelum melakukan intubasi penting adanya untuk
menyediakan peralatan resusitasi yang adekuat.
Untuk meminimalisir risiko refluks gaster ke saluran napas, selama ini telah
digunkan tekanan krikoid ketika melakukan prosedur ventilasi bag-mask dan
intubasi, namun kemungkinan terhalanginya kesuksesan prosedur ventilasi bag-
mask dan intubasi dikarenakan adanya kompresi trakea saat ini menjadi suatu
pertimbangan yang cukup menjadi perhatian.
Auskultasi suara napas, adanya kabut pada tube, maupun meningginya dada
bukan m terletak pada
tempat adalah dengan
menggu gunaan ETCO2
ini tidak n aliran darah
paru, p dengan henti
jantung

Tatalaks
Brad an gangguan
hemodin tung. Contoh
bradika ikardi dengan
nadi ku rdiopulmonal
lebih la si merupakan
tatalaks ulmonal yang
membut harus segera
dimulai cul meskipun
oksigena a RJP untuk
bradikardi sebelum mengalami henti nadi berpotensi memiliki hasil yang lebih baik.
Faktor-faktor yang berkontribusi pada bradikardia dan dapat diperbaiki harus
diidentifikasi dan segera diobati. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah
hipoksia, hipotensi, hipoglikemia, hipotermia, asidosis, atau keracunan.

0 0
Gambar 11.4. Algoritma Bradikardi Pediatrik dengan Nadi

0 0
Takiaritmia
Takiaritmia kompleks sempit yang teratur (durasi QRS 0,09 detik atau
kurang) dapat terjadi karena beberapa mekanisme, diantaranya adalah takikardia
atrium ektopik dan fibrilasi atrium, namun penyebab paling sering adalah re-entrant
circuits. Takiaritmia biasa dengan kompleks lebar (lebih dari 0,09 detik) dapat
memiliki banyak mekanisme. Salah satu mekanisme yang termasuk adalah
takikardia supraventrikular (SVT) dengan takikardia ventrikel atau konduksi
menyimpang.
Pada pasien pediatri, dampak hemodinamik dari SVT dapat bervariasi.
Sebagia (tanda-tanda
syok, p ondisi stabil,
manuve T yang terjadi.
Pada ba spon manuver
vagal, a Konsul dengan
ahli me menyesuaikan
pengoba stabil secara
hemodin mbali setelah
pengob
n dengan SVT
yang tid ar.

0 0
Gambar 11.5. Algoritma Takikardi dengan Nadi.

0 0
Tatalaksana Miokardi琀椀s dan Kardiomiopa琀椀
Miokarditis fulminan dapat menyebabkan penyakit sistem konduksi,
termasuk blok jantung lengkap; dan aritmia supraventrikular atau ventrikel yang
persisten; penurunan curah jantung dengan gangguan organ, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan henti jantung. Miokarditis dapat disalah artikan dengan
gejala penyakit lain yang lebih umum karena pasien dapat datang dengan gejala
nonspesifik seperti nyeri perut, diare, muntah, atau kelelahan. Diagnosis dini dan
intervensi cepat, termasuk pemantauan dan terapi ICU merupakan hal-hal yang
dapat mengoptimalkan hasil yang lebih baik pada pasien. Pada pasien dengan
miokard an onset tiba-
tiba ha en segera ke
pusat y l (ECLS) atau
dukunga kel temporer
atau im a perawatan
dengan mungkin tidak
berhasi
ti hipertrofik,
dan ben asia ventrikel
kanan ventrikel kiri,
merupa anak. Pasien
kardiom k ECMO, alat
bantu v mplan jangka
panjang gagal jantung
dekomp n pemberian
vasoakt
ECLS dapat menyelamatkan nyawa ketika dilakukan sebelum serangan
jantung pada pasien yang memiliki status klinis memburuk atau aritmia ventrikel
yang terus- menerus. ECLS juga memberikan kesempatan untuk membantu
pemulihan miokard, weaning dukungan inotropik, dan jika diperlukan dapat
berfungsi sebagai jembatan untuk transplantasi jantung. Penggunaan ECLS dan MCS,
dengan kemungkinan besar pemulihan fungsi miokard sebagian atau seluruhnya, telah
dinilai meningkatkan hasil dari miokarditis akut.

0 0
Resusitasi Pasien dengan Ventrikel Tunggal
Penyakit jantung kongenital pediatrik memiliki kompleksitas dan variabilitas
tersendiri sehingga menimbulkan tantangan unik selama resusitasi. Serangkaian
operasi paliatif bertahap biasanya dijalani oleh anak-anak dengan penyakit jantung
ventrikel tunggal. Selama periode neonatal dapat dilakukan prosedur paliatif
pertama dengan beberapa tujuan yaitu (1) tidak terhalangnya aliran darah sistemik,
(2) memungkinkan mixing tingkat atrium dengan menciptakan komunikasi atrium
yang efektif, dan (3) untuk mencegah sirkulasi berlebih serta menurunkan beban
volume (Gambar 14).
Selama n balik vena
sistemik ner superior,
atau op t anastomosis
(Gamba load ventrikel
tunggal vaskular paru
dengan g ke sirkulasi
paru (G
dengan fisiologi
ventrike menyebabkan
peningk ik relatif (Qs)
dan alir itasi mungkin
memerl si, resistensi
pembul rbaikan yang
terjadi.

0 0
Gambar 11.6. Tahap I paliatif untuk ventrikel tunggal dengan Norwood repair
dan Blalock-Taussig Shunt dari arteri subklavia kanan ke arteri pulmonalis kanan
atau shunt Sano dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis

Gambar 11.7. Paliasi tahap II untuk ventrikel tunggal dengan bidirec琀椀onal Glenn shunt
yang menghubungkan vena kava superior ke arteri pulmonalis kanan

0 0
Gambar 11.8. Tahap III paliasi ventrikel tunggal Fontan dengan saluran
ekstrakaradiak yang menghubungkan vena kava inferior ke arteri pulmonalis
kanan.
Rekomendasi untuk Tatalaksana Anak dengan Hipertensi Pulmonal

Hipertensi pulmonal yang dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang


signifikan merupakan penyakit langka pada bayi dan anak-anak. Pada sebagian
besar pasien anak- anak, hipertensi paru bersifat idiopatik atau berhubungan
dengan penyakit jantung bawaan, penyakit paru kronis, maupun kondisi lain seperti
penyakit tromboemboli atau jaringan ikat. Hipertensi pulmonal memiliki morbiditas
dan mortalitas yang substansial dan terjadi pada 2% sampai 20% pasien setelah
operasi penyakit jantung bawaan. Sebesar 0,7% sampai 5% dari semua pasien bedah
kardiovaskular mengalami hipertensi pulmonal pasca operasi. Hipertensi pulmonal
juga terjadi pada 2% sampai 5% pasien anak setelah operasi jantung. Krisis
hipertensi paru adalah peningkatan tekanan arteri pulmonalis secarra akut dan
cepat dalam tekanan arteri pulmonalis disertai dengan kegagalan jantung sisi
kanan (ventrikel tunggal). Selama krisis hipertensi pulmonal, terjadi
peningkatan a昀琀erload pada ventrikel kanan dan ventrikel kanan gagal, sehingga
menghasilkan kebutuhan oksigen miokard yang meningkat dan pada saat yang
bersamaan tekanan perfusi koroner dan aliran darah koroner menurun. Penurunan
aliran darah paru dan penurunan pengisian jantung sisi kiri pun terjadi karena
adanya peningkatan tekanan ventrikel kiri dan ventrikel kanan, yang pada

0 0
akhirnya mengakibatkan penurunan curah jantung. Untuk meningkatkan fungsi
ventrikel kanan dapat diberikan agen inotropik, dan untuk mengobati hipotensi
sistemik serta

0 0
meningkatkan tekanan perfusi arteri koroner, dapat diberikan vasopresor.
Dengan adanya pirau anatomis kanan-ke-kiri yang memungkinkan preload
ventrikel kiri dipertahankan tanpa aliran darah paru, hal ini dapat
meningkatkan keadaan pasien setelah serangan jantung terjadi. Krisis hipertensi
pulmonal ini mengancam nyawa dan dapat menyebabkan iskemia miokard, serangan
jantung, hipotensi sistemik, dan pada akhirnya kematian. Pemantauan dan
pengelolaan kondisi asidosis dan hipoksemia secara cermat sangat penting dalam
pengelolaan hipertensi pulmonal karena kedua hal in sama- sama merupakan
vasokon p pemberian
sedatif, ru digunakan
untuk l. Termasuk
vasodila iklin inhalasi,
analog terase tipe V
intraven

Tatalaks
Peny a diantaranya
adalah ng traumatik
seringk pkan pedoman
perawat tumpul atau
cedera i. Pada semua
trauma kontusio paru,
maupun oraks karena
dapat m

0 0
REFERENSI
1. Topjian, A. A., Raymond, T. T., Atkins, D., Chan, M., Duff, J. P., Joyner, B. L.,
... & Schexnayder, S. M. (2021). Part 4: Pediatric Basic and Advanced
Life Support 2020 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Pediatrics, 147(Supplement 1).
2. Sutton, R. M., Niles, D., Nysaether, J., Abella, B. S., Arbogast, K. B.,
Nishisaki, A., ... & Nadkarni, V. (2009). Quantitative analysis of CPR
quality during in- hospital resuscitation of older children and
adolescents. Pediatrics, 124(2), 494-499.
3. International Liaison Committee on Resuscitation. (2006). The
International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR) consensus
tric and
support.

4. Berg, R. A., Berg,


asic and
sus on
lar care
culation,

5. Biarent,
pediatric
rt: 2015
on and
reatment

6. Biarent,
pediatric
rt: 2015
on and
reatment

7. , Joyner,
basic life
American
scitation
and emergency cardiovascular care. Circulation, 132(18_suppl_2),
S519-S525.

———»»»œ«««———

0 0
0 0

You might also like