You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN

Meningitis merupakan infeksi pada sistem syaraf pusat yang paling sering terjadi.

Meningitis merupakan salah satu infeksi yang menyerang sistem syaraf pusat terutama

lapisan meninges. Lapisan meninges merupakan suatu selaput yang menyelubungi otak dan

berada langsung di dalam cranium. Lapisan meninges berfungsi untuk melindungi otak,

membentuk kerangka penyokong untuk arteri, vena dan sinus venosus, memiliki ruangan

yang berisi cairan, ruang subarakhnoid yang berperan sangat penting dalam fungsi normal

otak.

Pada meningitis terjadi inflamasi pada meninges yang dapat diakibatkan oleh bakteri

ataupun virus. Penderita akan mengalami gejala seperti demam, nyeri kepala yang sangat

hebat dan kaku kuduk. Keadaan seperti ini harus segera ditangani karena merupakan keadaan

gawat darurat yang dapat mengancam jiwa. Meningitis merupakan infeksi pada sistem syaraf

pusat (SSP) yang sering dijumpai di praktek umum. Diagnosis yang cepat dan terapi yang

cocok akan menghasilkan luaran yang baik tanpa ada gejala sisa. Namun pada kenyataannya,

banyak kasus meningitis datang ke RS setelah keadaan umumnya buruk. Untuk itu meningitis

harus bisa dikenali oleh dokter umum.

Gejala klasik meningitis adalah panas badan yang disertai nyeri kepala dan kaku

kuduk. Penurunan kesadaran seringkali dijumpai, terutama pada stadium lanjut dari

meningitis yang bersifat subakut/ kronis. Namun demikian kumpulan gejala ini sebenarnya

tidak spesifik. Pada beberapa keadaan seperti pasien imunokompromi, misalnya pada pasien

HIV/ AIDS, gejala klinis yang ada seringkali tidak khas. Pemeriksaan fisik dan laboratorium

yang terarah dapat membantu untuk sampai ke diagnosis pasti meningitis.

1
BAB 11
STATUS PASIEN

2.1 Keterangan Umum


Nama : Ny. Adah
Usia : 83 tahun
Alamat : Sukaraja
Tanggal Masuk RS : 29 Mei 2018
Tanggal Pemeriksaan : 29 Mei 2018

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran
Anamnesa tambahan:
Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS. Awalnya
pasien tidak kontak ketika diajak berbicara, dan lebih sering memejamkan matanya dan
kadang mengigau. Sebelumnya terdapat bicara kurang jelas (rero). Keluhan disertai demam
sejak 2 minggu yang lalu. Demam hilang timbul dan hangat-hangat saja sehingga tidak
mengkhawatirkan. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri kepala dan pusing. Keluhan lain
adalah batuk berdahak sejak 4 bulan yang lalu. Batuk diketahui tidak sembuh-sembuh dan
tidak berat sehingga pasien mengabaikannya.

Tidak terdapat keluhan kejang, mual, muntah, Lemah pada salah satu bagian sisi
tubuh. Lalu keluhan demam tidak disertai kelainan BAK (jumlah, frekuensi), nyeri saat
berkemih, maupun riwayat mencret.

Tidak ada keluhan serupa pada keluarga pasien. Tidak ada keluarga serumah yang
menderita TBC dan meminum obat 6 bulan. Pasien pernah menjalani pengobatan TBC
sebelumnya tetapi tidak sampai tuntas karena merasa sudah sehat. Riwayat HT -, DM +
terkontrol.

2.3 Pemeriksaan Fisik


 Kesadaran : Sopor GCS10 (E3 M5 V2)
 Keadaan umum: sakit berat
 Tanda Vital
 Tekanan Darah: 100/70 mmhg
 Nadi : 100x/menit
 Pernapasan : 24 x/menit

2
 Suhu : 38,60 C

 Kepala
Mata : konjunctiva anemis (-/-), sklera tidak ikterik, pupil isokor,
reflex cahaya +/+.
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Mulut : bibir kering, mukosa mulut dan lidah basah
Lidah : basah, lembab.
 Leher : Kuduk kaku +, kaku kuduk +
 Thorax
Paru : simetris, VBS kanan = kiri, wheezing (-/-), ronchi (-/-).
Jantung : S1,S2 murni, reguler, murmur(-), gallop (-)
 Abdomen : datar, lembut, BU (+) normal, Hepar dan lien dbn.
 Ekstremitas : hangat, CRT < 2 detik,
 Status neurologis:
CN III, IV, VI, VII, XII tidak dapat dinilai
Mototrik: lateralisasi -
Rangsang meningeal:
Kaku kuduk (+)
Brudzinsky I/II/III/ IV : +/-/-/-
Refleks Fisiologis : brachioradialis +/+, patella +/+
Refleks Patologis : babinski -/-

2.4 Pemeriksaan Penunjang:


1. Darah Rutin :
Hb : 11.6
Leukosit : 12.300
Trombosit : 539.000
Ht : 36.6
Eritrosit : 4.4
2. Kimia Klinik
Ureum : 181

3
Kreatinin : 2.6
GDS : 227
3. EKG

4. Ro thorax

Ekspertise :
Hasil
Cor tidak membesar
Sinus dan diafragma normal
Pulmo:
Hili normal
Corakan bronkovaskular normal
Tampak bercak lunak disertai noda dan garis keras di lapang atas sampai tengah
kanan dan bawah kiri

4
Tampak perselubungan opak di lapang atas kanan
Kesan
TBC paru aktif dengan infeksi sekunder
Tidak tampak kardiomegali

2.5 Usulan Pemeriksaan


1. Elektrolit
2. Gen expert jika memungkinkan
3. LCS (BTA)

2.6 Diagnosis Kerja


Susp. Meningitis Tuberculosis
AKI

2.7 Tatalaksanan

Tatalaksana awal di IGD:

1. Non farmakologis
 Nacl 0.9% 20 tpm
 O2 2 lpm
 NGT + DC
2. Farmakologis
 Ceftriaxone 2x1 gram
 Sanmol 3x1 gram
Advis dr. Indra Sp. S:
 Futrolit 20 tpm
 Dexamethasone 4x2 ampul
 Ranitidin 2x1 ampul
 OAT
 Sanmol 3x1 gram
 Ceftriaxon stop
 Rawat

2.8 Follow up

30/05/2018 S: batuk lama, sempat berobat tidak tuntas IVFD futrolit 20 tpm
O: Dexametason 4x2 amp
GCS E3V2M3 Ranitidin 2x1 amp iv

5
Kaku kuduk + Sanmol 3x1 gr
A: Lesipar 1x1
Susp. Meningitis TB OAT kategori I  poli dots
AKI
31/06/2018 S: sesak <<, kejang - IVFD futrolit 20 tpm
O: Dexametason 4x2 amp
Kesadaraan CM Ranitidin 2x1 amp iv
Mata: pupul bulat isokor, RC +/+ Sanmol 3x1 gr
Kaku kuduk + Lesipar 1x1
Rh -/-, wh -/- OAT kategori I
Elektrolit Cek elektrolit
Natrium 138
Kalium 3.9
Klorida 103
A:
Susp. Meningitis TB
AKI
02/060201 S: batuk berdahak IVFD futrolit 20 tpm
8 O: Dexametason 4x2 amp
Kesadaraan CM Ranitidin 2x1 amp iv
Mata: pupul bulat isokor, RC +/+ Sanmol 3x1 gr
Kaku kuduk + Lesipar 1x1
Cor/ pulmo t.a.k OAT kategori I
Abdomen t.a.k
RF+/+, RP -/-
Motorik 3 3
3 3
A:
Susp. Meningitis TB
AKI
03/06/2018 S: penurunan kesadaran, BAB hitam 4x/ hari, IVFD futrolit 20 tpm
riwayat meminum jamu + Dexametason 4x2 amp
O: Ranitidin 2x1 amp iv
Kesadaraan sopor Sanmol 3x1 gr
TD 120/80 Lesipar 1x1
N 80 OAT kategori I
RR 24 As. Tranexamat 2x500mg
S 36.2 iv
Mata: pupul bulat isokor, RC +/+
Kaku kuduk +
Cor/ pulmo t.a.k
Abdomen t.a.k
RF+/+, RP -/-
Motorik 2 2
2 2
A:
Susp. Meningitis TB
AKI
Melena ec susp. Gastritis erosiva
04/06/2018 S: penurunan kesadaran, BAB hitam – IVFD futrolit 20 tpm

6
O: Dexametason 4x2 amp
Kesadaraan sopor Ranitidin 2x1 amp iv
TD 130/80 Sanmol 3x1 gr
N 80 Lesipar 1x1
RR 23 OAT kategori I
S 36.2 Mucosta granul 3x1
Mata: pupul bulat isokor, RC +/+
Kaku kuduk +
RF+/+, RP -/-
Motorik 1 1
1 1
A:
Susp. Meningitis TB
AKI
Melena ec susp. Gastritis erosiva
04/06/2018 Pasien meninggal
(23.40 wib)

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI

3.1.1 Cranial Meninges

Cranial meninges merupakan suatu selaput yang menyelubungi otak dan berada
langsung di dalam cranium.

Fungsi
 Melindungi otak
 Membentuk kerangka penyokong untuk arteri, vena dan sinus venosus
 Memiliki ruangan yang berisi cairan, ruang subarakhnoid yang berperan sangat
penting dalam fungsi normal otak.

Gambar 1 Lapisan Otak

8
CNS dilapisi 3 meninges :

Gambar 2 Meningens

1. Dura mater, merupakan 2 membran fibrous yang melekat.

a. Outer dural layer

Merupakan lapisan dari dura mater (peiosteal dura) yang dekat dengan inner lamina

(bagian terdalam) dari cranium. Di daerah ini terdapat :

- Cabang-cabang utama dari middle meningeal a.

- Epidural space  merupakan space yang berada di antara inner lamina dari

cranium dengan dura mater ini.

b. Inner dural layer

9
Disebut juga true dura mater, yang melekat pada outer dural layer. Di daerah ini

terdapat struktur-struktur:

- Lipatan-lipatan inner dural layer

 Falx cerebri, berada antara cerebral hemisphere

 Falx cerebeli, berada di midsagittal plane

 Tentorium cerebelli, antara cerebrum dengan cerebellum

 Diaphragm sellae

- Dural venous sinuses

Venous drainage

 Superior sagittal sinus, berada di falx cerebri, dimulai dari crista galii ke

posterior, menerima darah dari superficial cerebral vein.

 Inferior sagittal sinus, berada di inferior falx cerebri

 Straight sinus, dari apex tentorium cerebelli lalu bergabung dengan cerebral

vein.

 Confluences sinuses, dibentuk dari gabungan superior sagittal, straight &

occipital sinuses.

 Transverse sinuses, berada dikedua sisi tentorium cerebelli.

 Superior petrosal sinus

 Sigmoid sinus

c. Cranial nerve, ada cranial nerve yang melewati daerah ini dari bagian anterior menuju

posterior.

d. Epidural space,

merupakan space yang berada di antara inner lamina dari cranium dengan dura mater

(outer layer/periosteal dura)

e. Subdural space, merupakan space antara true dura dengan arachnoid layer.

10
2. Arachnoid, terdiri dari fibrous membrane mengandung serat-serat collagen dan elastic.

- Subarachnoid space  antara lapisan arachnoid dengan pia mater, yang berisi CSF

(Cerebropinal Fluid)

3. Pia mater, jaringan ikat transparan, merupakan lapisan yang langsung melekat ke otak.

3.1.2 Cerebrospinal Fluid (CSF)

Cairan yang mengelilingi ruang subaraknoid sekitar otak dan medulla spinalis serta

mengisi ventrikel dalam otak. Komposisi dari CSF menyerupai plasma darah dan cairan

interstisial, tetapi tidak mengandung protein. Fungsi dari CSF, yaitu:

1. Bantalan untuk jaringan lunak otak dan medulla spinalis.

2. Media pertukaran nutrient dan zat buangan antara darah dan otak serta medulla spinalis.

CSF dihasilkan oleh:

1. Pleksus koroid: jarring-jaring kapiler benbentuk bunga kol yang menonjol dari piamater

ke dalam dua vebtrikel otak.

2. Sekresikan oleh sel-sel ependimal, yang mengitari pembuluh darah cerebtral dan melapisi

kanal sentral medulla spinalis.

Gambar 3 Sirkulasi CSF

11
Pembentukan, sirkulasi, dan absorpsi CSF

Pleksus koroid ventrikel lateral Ventrikel lateral


CSF
Melalui foramen interventrikulat

Pleksus koroid ventrikel ketiga Ventrikel ketiga


CSF
Melalui aquaduktus serebral

Pleksus koroid ventrikel keempat Ventrikel keempat


CSF
Melalui 2 foramen Luschka dan 1

foramen Magandie

Ruang subaraknoid

Vili araknoid

Darah arteri Darah vena

Jantung dan paru-paru

3.2 MENINGITIS

3.2.1 Definisi

Meningitis merupakan inflamasi pada meninges biasanya disebabkan oleh bakteri

atau virus. Meningitis juga merupakan infeksi akut purulent di dalam ruang subarachnoid

yang berhubungan dengan reaksi inflamasi CNS yang dapat menyebabkan penurunan

kesadaran, seizure, dan peningkatan tekanan intrakranial, dan stroke.

Meningitis purulenta terjadi apabila disebabkan oleh bakteri, dan meningitis serosa

terjadi apabila pada penderita terdapat gambaran klinis meningitis, tetapi pada pemeriksaan

cairan serebrospinal tidak sampai berwarna keruh. Penyebabnya dapat disebabkan oleh

12
bakteri (meningitis tuberkulosa), virus (meningitis virus/meningitis aseptik), jamur

(meningitis jamur), maupun parasit (syphilitic meningitis)

3.2.2 Etiologi Meningitis :

A. Bakteri

1. Streptococcus pneumoniae

 30 – 50 % pada orang dewasa (>20 tahun)

 10 – 20 % pada anak-anak

 5 % pada bayi

2. Neisseria meningitidis

 60 % kasus pada anak dan dewasa (antara usia 2-20 tahun)

 Jarang ditemukan pada bayi

3. Haemophilus influenzae type B

 1 – 3 % pada orang dewasa (> 50 tahun)

 40 – 60 % pada anak-anak

 Tidak ditemukan pada bayi

4. Staphylococcus aureus & Staph. epidermidis

 Berkaitan dengan hydrocephalus

 Group B Streptococci

 Sering ditemukan pada bayi

5. Anaerobic / microaerophilic streptococci & gram negative bacilli

 Berhubungan dengan brain abscess, epidural abscess, head trauma, neurosurgical

procedure, atau cranial thromboplebitis

 gram negative bacilli paling banyak menyebabkan neonatal meningitis dan orang

dewasa dengan penyakit debil

6. Listeria Monocytogenes
13
 Banyak pada neonatus (< 1 bulan)

 wanita hamil

 dewasa (> 60 tahun)

 orang dengan imunokompromised

7. Pathogen lain yang menyebabkan meningitis namun sangat jarang ialah Salmonella,

Shigella, Clostridium perfringens, dan Neisseria gonorhoeae.

B. Virus

 Enterovirus

 West Nile Virus

 Human herpesvirus

 Lymphocytic choriomeningitis virus

C. Tuberculosis

D. Fungal

a. Aspergillus

b. Candida

3.2.3 Faktor Resiko

1. Acute otitis media & mastoiditis (2% pasien dengan pneumococcal meningitis)

2. Pneumoniae (25 %)

3. Head trauma with basilar skull fracture

4. Sickle cell disease, Hodgkin’s disease, multiple myeloma

5. Immunoglobulin deficiency, splenectomy, renal / bone marrow transplantation

6. CSF rhinorrhea

7. Abnormal immune defense, anatomic defect (dermal / sinus tract, old skull fracture)

8. Staph. aureus dapat menyerang masuk melalui neurosurgical procedure atau

penetrating cranial wound

14
9. Gram negative bacilli masuk melalui neurosurgical procedure dan nosocomial disease

10. Alcoholism

11. Diabetes melitus

12. Hypogammaglobulinemia

13. Complement deficiency

3.3 MENINGITIS TUBERKULOSIS

3.3.1 Definisi

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen)

yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan

salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru.

Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan

hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit,

tulang, sendi, dan selaput otak.

3.3.2 Epidemiologi

Indonesia berada di urutan ke empat dari 5 negara dengan insidensi tuberkulosis

terbanyak. Terjadi 20,6 per 100.000 insidensi kasus tuberkulosis sistem saraf pusat di

tahun 2007, yang banyak terjadi di negara dengan kasus tuberkulosis tinggi. World

Health Organization (WHO) tahun 2013 menyatakan bahwa terdapat 9 juta penduduk

Dunia terinfeksi kuman TB, terjadi peningkatan pada tahun 2014, terdapat 9,6 juta

penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB dimana angka kematian mencapai 1,5 juta

jiwa, wilayah Afrika menduduki jumlah kasus terbanyak (37%), dan wilayah Asia

tenggara (28%) dan wilayah Mediterania Timur (17%) dari jumlah kasus TB pada

tahun 2014.

15
3.3.3 Patogenesis

Meningtis tuberkulosis terjadi karena adanya pembentukan metastatic caseous

lesion pada korteks serebral atau meningen yang berkembang melalui penyebaran

lymphohematogenous dari infeksi primer. Lesi awal adalah biasanya membesar dan

terdapat mengeluarkan sejumlah kecil basil tuberkel ke ruang subarakhnoid. Hal ini

menyebabkan adanya gelatinous exudate yang menginfiltrasi pembuluh darah

corticomeningeal, sehingga menyebabkan inflamasi, obstruksi, dan infark korteks

serebri. Brainstem merupakan tempat tersering yang terkena sehingga terjadi

disfungsi saraf kranial III, VI, dan VII. Eksudat juga menyebabkan gangguan aliran

CSF pada sistem ventrikular pada level basilar cistern sehingga menyebabkan

communicating hydrocephalus. Kombinasi vaskulitis, infark, edema serebri, dan

hidrosefal;us menyebabkan kerusakan yang berat yang terjadi dengan cepat atau

perlahan-lahan.

3.3.4 Manifestasi klinis

Perkembangan klinis meningitis tuberkulosis dapat timbul secara cepat atau

perlahan-lahan. Perkembangan yang cepat biasanya cenderung terjadi pada bayi dan

anak muda, dimana muncul gejala hanya beberapa hari sebelum terjadinya

hidrosefalus akut, kejang, dan edema serebri. Kebanyakan gejala dan tanda

berkembang dengan perlahan dalam beberapa minggu dan dibagi ke dalam 3 stadium:

a. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)

 Berlangsung 1 - 2 minggu

 Biasanya gejalanya tidak khas

 Demam

16
 Sakit kepala

 Drowsiness

 Malaise

 Focal neurologic sign tidak ditemukan, tetapi pada bayi dapat terjadi stagnasi

atau hilangnya tahap perkembangan pada milestone.

 Prognosisnya baik

b. Stadium II

 Biasanya timbul lebih mendadak.

 Letargi

 Nuchal rigidity

 Kejang

 Positive Kernig or Brudzinski sign

 Hipertonia

 Muntah

 Cranial nerve palsies

 Dan tanda neurologi fokal lainnya.

 Perkembangan manifestasi klinis berhubungan dengan pekembangan

hidrosefalus, peningkatan tekanan intrakranial, dan vaskulitis.

c. Stadium III

 Koma

 Hemiplegia atau paraplegia

 Hipertensi

 Decerebrate posturing

 Perubahan tanda vital

17
 Kematian

 Pasien yang bertahan akan terjadi cacat permanen yaitu kebutaan, tuli,

paraplegia, diabetes insipidus, atau retardasi mental.

3.3.5 Diagnosis

Gambar 4 Alur Diagnosis Meningitis TB

a. Tes tuberkulin

Pada 50% kasus, tes tuberkulin tidak reaktif. Pada uji mantoux, dilakukan

penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium

tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas

lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian

18
uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari

pembengkakan (indurasi) yang terjadi. Berikut ini adalah interpretasi hasil uji

mantoux :

1. Pembengkakan : 0–4 mm → uji mantoux negatif.

(Indurasi) Arti klinis : tidak ada infeksi

Mycobacterium tuberculosa.

2. Pembengkakan : 3–9 mm → uji mantoux meragukan.

(Indurasi) Hal ini bisa karena kesalahan teknik,

reaksi silang dengan Mycobacterium

atypic atau setelah vaksinasi BCG.

3. Pembengkakan : ≥ 10 mm → uji mantoux positif.

(Indurasi) Arti klinis : sedang atau pernah

terinfeksi Mycobacterium tuberculosa.

Bila dalam penyuntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guérin) terjadi reaksi cepat

(dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi ≥ 5 mm, maka anak dicurigai telah

terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

b. Dari hasil pemeriksaan laboratorium

 Darah: anemia ringan dan peningkatan laju endap darah pada 80% kasus.

 Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara pungsi

lumbal):

o Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-

batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah

berlangsung lama dan ada hambatan di medulla spinalis.

19
o Jumlah leukosit bervariasi dari mulai 10-500 sel/mm3. Jumlah sel: 100 –

500 sel / μl. Mula-mula, sel polimorfonuklear ada, tetapi mayoritas yang

lebih dominan adalah limfosit.

o Kadar protein: meningkat (400-5000 mg/dL) karena hidrosefalus dan blok

spinal.

o Kadar glukosa: biasanya menurun. Kadar glukosa <40 mg/dL tapi jarang

yang < 20 mg/dL.

o Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun.

Tabel 1 Perbedaan Pemeriksaan CSF

 Kultur cairan lain misalnya aspirasi lambung atau urin dapat membantu

mendiagnosis meningitis tuberkulosa.

c. Dari pemeriksaan radiologi:

 Foto toraks : pada 20-50% kasus, foto toraks anak menunjukan tidak ada

kelainan.

 CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah

basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran dari pemeriksaan CT-

scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala pada pasien meningitis

tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya

20
penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di daerah

basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda

edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga

ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau

talamus.

Gambar 5 CT Scan Meningitis TB

3.3.6 Terapi

Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk

kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan

tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan

klinis ke arah meningitis tuberkulosis.

- Terapi antituberkulosis: isoniazid, rifampin, ethambutol dan pyrazinamide.

Setelah pengobatan berjalan selama 2 bulan, pyrazynamid boleh dihentikan dan

ethambutol boleh dihentikan ketika telah diketahui strain bakteri peka terhadap

isoniazid. Pengobatan dilanjutkan hingga 9-12 bulan.

a. Fase intensif (2 bulan):

21
i. Isoniazid (5 mg/kg) per oral ~ 300 mg

ii. Rifampisin 10 mg/kg per oral ~ 450 mg

iii. Pirazinamid (25 mg/kgBB, maksimal 2 g/hari)

iv. Etambutol (20 mg/kgBB, maksimal 1,2 g/hari)

v. Streptomisin IM (20 mg/kgBB, maksimal 1 g/hari) diberikan jika ada

riwayat pemberian anti-TB sebelumnya.

b. Fase pemeliharaan (7 bulan):

i. Isoniazid

ii. Rifampisin

Isoniazid

Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan

ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor

cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse

reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa

diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan

dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100

mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah,

sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap

paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat

isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek

toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada

anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang

meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer,

dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg

piridoksin setiap 100 mg isoniazid.

22
Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki

semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh

oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada

saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2

jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari,

dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika

diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg /

kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara

luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi

rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang

sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin

adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warma

oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan

trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg,

dan 450 mg.

Pirazinamid

Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada

jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat

bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran

cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram /

hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid

diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat

suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek

samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan

23
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500

mg.

Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman

ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh

kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan

tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis

tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan

secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari,

dan kadar puncak 45-50 μg / ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik

melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang

tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura

dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat

kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis

berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang

mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga

berdengung (tinismus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga

perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak

saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.

Etambutol

Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika

diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan

pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.

Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan

dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia

24
dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh

dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari,

tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.

Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna merah-

hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat

diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian

etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis

optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi

WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol

dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari.

Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-

obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan

- Dexamethasone

a. TBM grade I (kriteria British Medical Research Council, 1948):

 Minggu 1: 0,3 mg per kgBB per hari intravena

 Minggu 2: 0,2 mg per kgBB per hari intravena

 Minggu 3: 0,1 mg per kgBB per hari per oral

 Minggu 4: 3 mg per kgBB per hari per oral

 Minggu 5: 2 mg per kgBB per hari per oral

 Minggu 6: 1 mg per kgBB per hari per oral

b. TBM grade II atau III:

 Minggu 1: 0,4 mg per kgBB per hari intravena

 Minggu 2: 0,3 mg per kgBB per hari intravena

 Minggu 3: 0,2 mg per kgBB per hari intravena

25
 Minggu 4: 0,1 mg per kgBB per hari intravena

 Minggu 5: 4 mg per kgBB per hari per oral

 Minggu 6: 3 mg per kgBB per hari per oral

 Minggu 7: 2 mg per kgBB per hari per oral

 Minggu 8: 1 mg per kgBB per hari per oral

3.3.7 Komplikasi

Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa

neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia,

dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak,

nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi

pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan

keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri.

Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini

biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis

menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada

kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai

kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual,

hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan

gonadotropin.

3.3.8 Prognosis

Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis

dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila

tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia.

26
Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3

tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Harrison Internal Medicine, 18th ed. USA. 2015.


2. Abrams, Gary M. Merrit’s Neurology. Rowland, Lewis. P, penyunting. Edisi ke 11. New
York: Lippincott Williams & Wilkins; 2005
3. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia: 2012
4. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberculosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2013

27

You might also like