You are on page 1of 27

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Tati
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : perempuan
Alamat : Kp. Nangewer
Pekerjaan : Ibu rumah Tangga
Tanggal Masuk RS : 26 Desember 2017
Tanggal Pemeriksaan : 27 Desember 2017

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pusing berputar
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS SMC dengan keluhan pusing berputar sejak
2 HSMRS. Pusing dirasakan selama kurang lebih 5 menit. Pusing yang
dirasakan timbul secara tiba-tiba dan dirasakan hilang timbul. Keluhan
tersebut memberat saat merubah posisi kepala misalnya dari posisi tidur
ke posisi duduk/berdiri atau merubah posisi kepala ke kanan dan kiri,
serta meringan jika tidur dan memejamkan mata. Keluhan juga disertai
dengan mual dan muntah 5x selama pusing berputar.
Pasien menyangkal adanya penurunan pendengaran, berdenging,
pandangan kabur, kejang, penurunan kesdaran, nyeri kepala dalam jangka
waktu lama, dan demam. Pasien sudah berobat ke puskesmas namun tidak
kunjung sembuh. Kebiasaan merokok dan minum alkohol disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat trauma kepala/terjatuh : disangkal
c. Riwayat hipertensi : diakui sejak 5 tahun yang lalu dan
jarang mengikuti kegiatan posbindu atau bakti sosial
d. Riwayat DM : disangkal

1
e. Riwayat penyakit jantung : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disnagkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : kompos mentis, GCS E4 M6 V5
3. Status antropometri
Tinggi Badan : 159 cm
Berat Badan : 69 kg
4. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 150/80 mmHg
Nadi : 96 x/menit, regular, equal, isi cukup
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,2˚ C
5. Status Generalis
a. Kepala dan Leher
1) Kepala : VT -/-
2) Mata : CA -/- SI -/- Pupil isokor diameter 2 mm/2 mm,
RC +/+
3) Hidung : NCH -/- discharge -/-
4) Mulut : bibir sianosis (-), lidah sianosis (-), perot (-)
5) Leher : deviasi trakea (-), JVP 5+2 cmH 20, pembesaran
KGB (-)
b. Thorax

2
1) Pulmo
Inspeksi : hemithorax dextra=sinistra, ketinggalan gerak (-),
bentuk dan gerak simetris
Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru,
batas paru hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara Dasar Vesikuler pada seluruh lapang paru,
ronkhi (-), wheezing (-)
2) Cor
Inspeksi : terlihat ictus cordis di SIC V LMCS, pulsasi
parasternal (-), pulsasi epigastrik(-)
Palpasi : teraba ictus cordis di SIC V LMCS, kuat angkat
Perkusi : batas jantung kanan atas SIC II LPSD
kiri atas SIC II LPSS
kanan bawah SIC IV LPSD
kiri bawah SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
c. Abdomen
Inspeksi : Bentuk: datar simetris, Kulit: turgor kembali cepat
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri
epigastrium (-)
d. Ekstremitas
Akral hangat, CRT <2s, tidak ada edema maupun sianosis pada
keempat ekstremitas, telapak tangan lembab dan basah.
6. Status neurologis
a. Rangsangan Meningeal
Kaku kuduk (-), brudzinski’s sign (-)
b. N. Cranialis
Tidak ada kelainan nervus cranialis

3
c. Fungsi vestibuler
1) Nylen barany test :+
2) Romberg test : + mata tertutup, mata terbuka normal
3) Tandem gait : Baik
4) Past pointing test : baik
d. Test dix hallpike: nistagmus +/+
e. Pemeriksaan sensibilitas : dbn
f. Motorik

Fungsi Motorik Superior (D/S) Inferior (D/S)


Gerak B/B B/B
D. Kekuatan 5/5 5/5
Reflek fisiologis + N/+N + N/+N
Reflek patologis -/- +/-
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Klonus -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Labolatorium 26 Desember 2017
Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan Nilai Normal
Hematologi Rutin
Hb 13.1 12-16
Leukosit 10.900 3800-10600
Hematokrit 43 35-47
Trombosit 233.000 150000-440000
Eritrosit 4.6 4,5 – 6,0
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 157 <150
Ureum 26 15-39
Kreatinin 0.54 0,9 -1,3
SGOT 14 <40
SGPT 16 <41

4
2. Pemeriksaan EKG

E. DIAGNOSA KERJA
Benign Paroxismal Positional Vertigo

F. USULAN PEMERIKSAAN
Profil Lipid, CT Scan Kepala

G. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
a. IVFD RL 20 tpm
b. Ondansentron 2 x 8 mg IV
c. Amlodipin 1 x 10 mg PO
d. Betahistin 3 x 12 mg PO
e. Flunarizin 1 x 5 mg PO
2. Non-Farmakologi

5
Latihan Brandt Daroff manuver atau Semont manuver atau Epley
Manuver
3. Edukasi
a. Mengatur pola makan yang sehat, mengurangi konsumsi garam dan
lemak
b. Melakukan olahraga yang teratur
c. Menghindari stress dan beristirahat cukup
H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo adalah gangguan vestibuler yang
paling sering ditemui, dengan gejala rasa pusing berputar diikuti mual muntah
dan keringat dingin, yang dipicu oleh perubahan posisi kepala terhadap gaya
gravitasi tanpa adanya keterlibatan lesi di susunan saraf pusat (Edward dan
Roza, 2014).

B. Epidemiologi
BPPV adalah jenis vertigo vestibuler perifer yang paling umum
ditemukan yakni 75 % dari persentase kasus dan merupakan salah satu
penyebab terbanyak dari serangan vertigo yang tiba-tiba. Wanita memiliki
angka kejadian yang sedikit lebih besar daripada pria. BPPV mempunyai
predileksi lebih tinggi pada populasi yang lebih tua yaitu sekitar usia 50-70
tahun dengan rata-rata onset pada umur 51 tahun. BPPV dapat ditemukan pada
orang dengan usia kurang dari 35 tahun jika ada riwayat cedera kepala. BPPV
kanal posterior merupakan tipe terbanyak dari seluruh BPPV (Lempert, 2009).

C. Klasifikasi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo terbagi atas dua jenis, yaitu :
1. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Posterior Benign
Paroxysmal Positional Vertigo kanalis posterior ini paling sering terjadi,
dimana tercatat bahwa BPPV tipe ini 85 sampai 90% dari kasus BPPV.
Penyebab paling sering terjadi yaitu kanalitiasis. Hal ini dikarenakan
debris endolimfe yang terapung bebas cenderung jatuh ke kanal posterior
karena kanal ini adalah bagian vestibulum yang berada pada posisi yang
paling bawah saat kepala pada posisi berdiri ataupun berbaring
(Purnamasari, 2013).
2. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Horizontal (Lateral)
Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis horizontal pertama kali
diperkenalkan oleh McClure tahun 1985 dengan karakteristik vertigo

7
posisional yang diikuti nistagmus horizontal berubah arah. Arah nistagmus
horizontal yang terjadi dapat berupa geotropik (arah gerakan fase cepat ke
arah telinga di posisi bawah) atau apogeotropik (arah gerakan fase cepat
kearah telinga di posisi atas) selama kepala dipalingkan ke salah satu sisi
dalam posisi telentang. Nistagmus geotropik terjadi karena adanya
otokonia yang terlepas dari utrikulus dan masuk ke dalam lumen posterior
kanalis horizontal (kanalolitiasis), sedangkan nistagmus apogeotropik
terjadi karena otokonia yang terlepas dari utrikulus menempel pada kupula
kanalis horizontal (kupulolitiasis) atau karena adanya fragmen otokonia di
dalam lumen anterior kanalis horizontal (kanalolitiasis apogeotropik)
(Edward dan Roza, 2014).
Pada umumnya BPPV melibatkan kanalis posterior, tetapi beberapa tahun
terakhir terlihat peningkatan laporan insiden BPPV kanalis horizontal. Pasien
dengan keluhan dan gejala yang sesuai dengan BPPV, namun tidak sesuai
dengan kriteria diagnostik BPPV kanalis posterior harus dicurigai sebagai
BPPV kanalis horizontal (Edward dan Roza, 2014).

D. Etiologi dan Faktor Risiko


Benign Paroxysmal Positional Vertigo diduga disebabkan oleh
perpindahan otokonia kristal (kristal karbonat Ca yang biasanya tertanam di
sakulus dan utrikulus). Kristal tersebut merangsang sel-sel rambut di saluran
setengah lingkaran posterior, menciptakan ilusi gerak. Batu-batu kecil yang
terlepas (kupulolitiasis) didalam telinga bagian dalam menyebabkan BPPV.
Batu-batu tersebut merupakan kristal-kristal kalsium karbonat yang normalnya
terikat pada kupula. Kupula menutupi makula, yang adalah struktur padat
dalam dinding dari dua kantongkantong (utrikulus dan sakulus) yang
membentuk vestibulum. Ketika batu-batu terlepas, mereka akan mengapung
dalam kanal semisirkular dari telinga dalam. Faktanya, dari pemeriksaan-
pemeriksaan mikroskopik telinga bagian dalam pasienpasien yang menderita
BPPV memperlihatkan batu-batu tersebut (Anita, 2008; Purnamasari, 2013).
Alasan terlepasnya kristal kalsium dari makula belum diketahui secara
pasti. Debris kalsium sendiri dapat pecah karena beberapa penyebab seperti

8
trauma atupun infeksi virus, tapi pada banyak keadaan dapat terjadi tanpa
didahului trauma atau penyakit lainnya. Mungkin dapat juga disebabkan oleh
perubahan protein dan matriks gelatin dari membrane otolith yang
berhubungan dengan usia. Lepasnya otokonia dapat juga sejalan dengan
demineralisasi tulang pada umumnya (Purnamasari, 2013).

E. Patofisiologi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo disebabkan oleh kalsium karbonat yang
berasal dari makula pada utrikulus lepas dan bergerak dalam lumen dari salah
satu kanal semisirkular. Kalsium karbonat sendiri dua kali lipat lebih padat
dibandingkan endolimfe, sehingga bergerak sebagai respon terhadap gravitasi
dan pergerakan akseleratif lain. Ketika kalsium karbonat tersebut bergerak
dalam kanal semisirkular, akan terjadi pergerakan endolimfe yang
menstimulasi ampula pada kanal yang terkena, sehingga menyebabkan
vertigo. Patomekanisme BPPV dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Hain, 2015):
1. Teori Kupulolitiasis
Pada tahun 1962, Horald Schuknecht mengemukakan teori ini dimana
ditemukan partikel-partikel basofilik yang berisi kalsium karbonat dari
fragmen otokonia (otolith) yang terlepas dari makula utrikulus yang
berdegenerasi dan menempel pada permukaan kupula. Dia menerangkan
bahwa kanalis semiriskularis posterior menjadi sensitif akan gravitasi
akibat partikel yang melekat pada kupula. Sama halnya seperti benda berat
diletakkan pada puncak tiang, bobot ekstra itu akan menyebabkan tiang
sulit untuk tetap stabil, malah cenderung miring. Begitu halnya
digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita
dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike).
Kanalis semi sirkularis posterior berubah posisi dari inferior ke superior,
kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus
dan keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel tersebut membutuhkan
waktu, hal ini menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya pusing
dan nistagmus.
2. Teori Kanalitiasis

9
Pada 1980 Epley mengemukakan teori kanalitiasis, partikel otolith
bergerak bebas didalam kanalis semi sirkularis. Ketika kepala dalam posisi
tegak, endapan partikel tersebut berada pada posisi yang sesuai dengan
gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika kepala direbahkan ke belakang,
partikel ini berotasi ke atas di sepanjang lengkung kanalis semi sirkularis.
Hal ini menyebabkan cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan
menyebabkan kupula membelok (deflected), sehingga terjadilah nistagmus
dan pusing. Saat terjadi pembalikan rotasi saat kepala ditegakkan kembali,
terjadi pula pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus yang
bergerak ke arah berlawanan. Digambarkan layaknya kerikil yang berada
dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil akan terangkat seberntar kemudian
terjatuh kembali karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut seolah-
olah yang memicu organ saraf menimbulkan rasa pusing. Dibanding
dengan teori kupulolitiasis, teori ini dapat menerangkan keterlambatan
sementara nistagmus, karena partikel butuh waktu untuk mulai bergerak.
Ketika mengulangi maneuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin
kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal ini
menerangkan konsep kelelahan dari gejala pusing.

F. Penegakkan diagnosis
1. Anamnesis
Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20
detik akibat perubahan dari posisi kepala. Posisi yang memicu adalah
berbalik di tempat tidur dengan posisi lateral, bangun dari tempat tidur,
melihat ke atas maupun ke belakang, dan membungkuk. Vertigo juga
dapat disertai dengan keluhan mual. Pada banyak kasus BPPV dapat
mereda sendiri namun berulang di kemudian hari. Dalam anamnesa selain
menanyakan tentang gejala klinis, juga harus ditanyakan mengenai faktor-
faktor yang merupakan etiologi atau yang dapat mempengaruhi
keberhasilan terapi seperti stroke, hipertensi, diabetes, trauma kepala,
migraine, dan riwayat gangguan keseimbangan sebulumnya maupun
riwayat gangguan saraf pusat (Bunjamin et al., 2013).

10
2. Pemeriksaan fisik
Benign Paroxysmal Positrional Vertigo kanalis posterior dapat di diagnosa
ketika pasien mengeluhkan adanya riwayat dari vertigo yang disebabkan
oleh perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi dan ketika dilakukan
pemeriksaan fisik ditemukan nistagmus yang muncul saat melakukan Dix-
Hallpike Test. Pemeriksaan fisik standar untuk BPPV adalah: Dix-
Hallpike, dan tes kalori. Supine Roll Test dilakukan untuk pasien yang
memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV tetapi hasil tes Dix-Hallpike
negatif untuk memeriksa ada tidaknya BPPV kanal lateral.
a. Dix-Hallpike
Test Nistagmus yang ditemukan saat dilakukan pemeriksaan tes Dix-
Hallpike biasanya menunjukkan dua karakteristik penting. Pertama,
terdapat periode laten antara akhir dari masa percobaan dan saat
terjadi serangan dari nistagmus. Periode laten tersebut terjadi selama 5
sampai 20 detik, tetapi dapat juga terjadi hingga 1 menit dalam kasus
yang jarang terjadi. Kedua, hal yang memperberat vertigo dan
nistagmusnya sendiri meningkat, dan hilang dalam periode waktu
tertentu dalam 60 detik dari waktu serangan nistagmus.

11
Gambar 1. Dix-Hallpike Test (Bhattacharyya et al., 2008)

b. Tes kalori
Tes kalori diajukan oleh Dix dan Hallpike. Pada pemeriksaan ini
dipakai air dingin dan air panas. Suhu air dingin adalah 30 C
sedangkan suhu air panas adalah 44 C. Volume air yang dimasukkan
kedalam telinga salah satunya terlebih dahulu sebanyak 250 ml air
dingin , dalam 40 detik. Kemudian pemeriksa memperhatikan saat
nistagmus muncul dan berapa lama kejadian nistagmus tersebut.
Dilakukan hal yang sama pada telinga yang lain. Setelah
menggunakan air dingin, kemudian kita melakukan hal yang sama
pada kedua telinga menggunakan air panas. Pada tiap-tiap selesai
salah satu pemeriksaan, pasien diistirahatkan selama 5 menit untuk
menghilangkan rasa pusingnya (Purnamasari, 2013).
c. Tes Supine Roll
Tes ini diperuntukkan jika pasien memiliki riwayat yang sesuai
dengan BPPV tetapi hasil tes Dix-Hallpike negatif untuk memeriksa
ada atau tidaknya BPPV kanal lateral atau bisa kita sebut juga BPPV
kanal horizontal. Pasien yang memiliki riwayat BPPV tetapi bukan
termasuk kriteria BPPV kanal posterior harus dicurigai sebagai BPPV
kanal lateral. Pemeriksa harus menginformasikan pada pasien bahwa
pada pemeriksaan ini, pasien akan mengalami pusing berat selama
beberapa saat. Saat melakukan tes ini, pasien berada dalam posisi
supinasi atau berbaring telentang dengan kepala pada posisi netral
diikuti dengan rotasi kepala 90 derajat dengan cepat ke satu sisi dan
pemeriksa mengamati mata pasien untuk melihat ada tidaknya
nistagmus. Setelah nistagmus mereda, kepala kembali menghadap ke
atas dalam posisi supinasi. Kemudiaan dimiringkan kembali 90 derajat
ke sisi yang berlawanan dan mata pasien diamati untuk memeriksa
ada tidaknya nistagmus (Purnamasari, 2013).

12
3. Pemeriksaan penunjang
Terdapat tiga jenis pemeriksaan tambahan (Bhattacharyya et al., 2008),
yaitu:
a. Radiografi
Gambaran yang didapatkan tidak terlalu berguna untuk diagnosa rutin
dari BPPV karena BPPV sendiri tidak memiliki karakteristik tertentu
dalam gambaran radiologi. Tetapi radiografi ini memiliki peran dalam
proses diagnosis jika gejala yang muncul tidak khas, hasil yang
diharapkan dari percobaan tidak sesuai, atau jika ada gejala tambahan
disamping dari kehadiran gejala-gejala BPPV, yang mungkin
merupakan gabungan dari central nervous system ataupun otological
disorder.
b. Vestibular Testing
Electronystagmography memiliki kegunaan yang terbatas dalam
mendiagnosa BPPV kanalis, karena komponen torsional dari
nistagmus tidak bisa diketahui dengan menggunakan teknik biasa. Di
sisi lain, dalam mendiagnosa BPPV kanalis horizontal, nistagmus hadir
saat dilakukan tes. Tes vestibular ini mampu memperlihatkan gejala
yang tidak normal, yang berkaitan dengan BPPV, tetapi tidak spesifik
contohnya vestibular hypofunction (35% dari kasus BPPV) yang
umumnya ditemukan pada kasus trauma kapitis ataupun infeksi virus.
c. Audiometric Testing
Tes ini tidak digunakan untuk mendiagnosa BPPV, tapi dapat
memberikan informasi tambahan dimana diagnosa klinis untuk vertigo
masih belum jelas.

13
G. Diagnosis banding
Tabel 1. Perbedaan vertigo perifer dan sentral (Mark, 2008).
Ciri-ciri Vertigo perifer Vertigo sentral
1. Lesi Sistem vestibuler (telinga Sistem vertebrobasiler dan
dalam, saraf perifer) gangguan vaskular (otak, batang
otak, serebelum)
2. Penyebab Vertigo posisional iskemik batang otak,
paroksismal jinak (BPPV), vertebrobasiler insufisiensi,
penyakit maniere, neoplasma, migren basiler
neuronitis vestibuler,
labirintis, neuroma akustik,
trauma
3. Gejala gangguan Tidak ada Diantaranya :diplopia, parestesi,
SSP gangguan sensibilitas dan fungsi
motorik, disartria, gangguan
serebelar
4. Masa laten 3-40 detik Tidak ada
5. Habituasi Ya Tidak
6. Merasa lelah Ya Tidak
7. Intensitas vertigo Berat Ringan
8. Telinga Kadang-kadang Tidak ada
berdenging dan
atau tuli
9. Nistagmus + -
spontan
10. Bangkitan vertigo Mendadak cepat Lambat
11. Derajat vertigo Berat Ringan
12. Pengaruh gerakan (+) (-)
kepala
13. Gejala otonom (++) (-)
14. Gangguan (+) (-)
pendengaran

1. Ménière’s disease
Ménière’s disease ditandai dengan vertigo yang intermiten diikuti
dengan keluhan pendengaran. Gangguan pendengaran berupa tinnitus
(nada rendah), dan tuli sensoris pada fluktuasi frekuensi yang rendah, dan
sensasi penuh pada telinga. Ménière’s disease terjadi pada sekitar 15%
pada kasus vertigo otologik (Turner, 2010).

14
Ménière’s disease merupakan akibat dari hipertensi endolimfatik.
Hal ini terjadi karena dilatasi dari membrane labirin bersamaan dengan
kanalis semisirularis telinga dalam dengan peningkatan volume endolimfe.
Hal ini dapat terjadi idiopatik atau sekunder akibat infeksi virus atau
bakteri telinga atau gangguan metabolic (Turner, 2010).
2. Vestibular Neuritis
Vestibular neuritis ditandai dengan vertigo, mual, ataxia, dan
nistagmus. Hal ini berhubungan dengan infeksi virus pada nervus
vestibularis. Labirintis terjadi dengan komplek gejala yang sama disertai
dengan tinnitus atau penurunan pendengaran. Keduanya terjadi pada
sekitar 15% kasus vertigo otologik (Turner, 2010).
3. Vertebrobasilar insufficiency
Vertebrobasilar insufficiency biasanya terjadi dengan episode rekuren
dari suatu vertigo dengan onset akut dan spontan pada kebanyakan pasien
terjadi beberapa detik sampai beberapa menit. Lebih sering pada usia tua
dan pada paien yang memiliki factor resiko cerebrovascular disease.
Sering juga berhubungan dengan gejala visual meliputi inkoordinasi, jatuh,
dan lemah. Pemeriksaan diantara gejala biasanya normal (Sura, 2010).
4. Tumor Intrakranial
Tumor intracranial jarang memberikan manifestasi klinik vertigo
dikarenakan kebanyakan adalah tumbuh secara lambat sehingga ada waktu
untuk kompensasi sentral. Gejala yang lebih sering adalah penurunan
pendengaran atau gejala neurologis. Tumor pada fossa posterior yang
melibatkan ventrikel keempat atau Chiari malformation sering tidak
terdeteksi di CT scan dan butuh MRI untuk diagnosis. Multipel sklerosis
pada batang otak akan ditandai dengan vertigo akut dan nistagmus
walaupun biasanya didaptkan riwayat gejala neurologia yang lain dan
jarang vertigo tanpa gejala neurologia lainnya (Sura, 2010).

15
H. Penatalaksanaan
1. Prinsip umum terapi Vertigo
a. Medikasi
Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali
merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali
menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi.
Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu.
Beberapa golongan yang sering digunakan (Edward, 2014):
1) Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo.
Antihistamin yang dapat meredakan vertigo seperti obat
dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin, siklisin. Antihistamin yang
mempunyai anti vertigo juga memiliki aktivitas anti-kholinergik di
susunan saraf pusat. Mungkin sifat anti-kholinergik ini ada kaitannya
dengan kemampuannya sebagai obat antivertigo. Efek samping yang
umum dijumpai ialah sedasi (mengantuk). Pada penderita vertigo
yang berat efek samping ini memberikan dampak yang positif
(Edward, 2014).
a) Betahistin
Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat
meningkatkan sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk
mengatasi gejala vertigo. Efek samping Betahistin ialah
gangguan di lambung, rasa enek, dan sesekali “rash” di kulit.
i. Betahistin Mesylate (Merislon)
Dengan dosis 6 mg (1 tablet) – 12 mg, 3 kali sehari per oral.
ii. Betahistin di Hcl (Betaserc)
Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6
tablet dibagi dalam beberapa dosis.
b) Dimenhidrinat (Dramamine)

16
Lama kerja obat ini ialah 4 – 6 jam. Dapat diberi per oral atau
parenteral (suntikan intramuscular dan intravena). Dapat
diberikan dengan dosis 25 mg – 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari.
Efek samping ialah mengantuk.
c) Difhenhidramin Hcl (Benadryl)
Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam, diberikan dengan dosis
25 mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat
juga diberikan parenteral. Efek samping mengantuk.
2) Antagonis Kalsium
Dapat juga berkhasiat dalam mengobati vertigo. Obat antagonis
kalsium Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering
digunakan. Merupakan obat supresan vestibular karena sel rambut
vestibular mengandung banyak terowongan kalsium. Namun,
antagonis kalsium sering mempunyai khasiat lain seperti anti
kholinergik dan antihistamin. Sampai dimana sifat yang lain ini
berperan dalam mengatasi vertigo belum diketahui (Edward, 2014).
a) Cinnarizine (Stugerone)
Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Dapat
mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis
biasanya ialah 15 – 30 mg, 3 kali sehari atau 1 x 75 mg sehari.
Efek samping ialah rasa mengantuk (sedasi), rasa cape, diare atau
konstipasi, mulut rasa kering dan “rash” di kulit.
3) Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti
muntah). Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo.
Khlorpromazine (Largactil) dan Prokhlorperazine (Stemetil) sangat
efektif untuk nausea yang diakibatkan oleh bahan kimiawi namun
kurang berkhasiat terhadap vertigo (Edward, 2014).
a) Promethazine (Phenergan)
Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif
mengobati vertigo. Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam.
Diberikan dengan dosis 12,5 mg – 25 mg (1 draze), 4 kali sehari

17
per oral atau parenteral (suntikan intramuscular atau intravena).
Efek samping yang sering dijumpai ialah sedasi (mengantuk),
sedangkan efek samping ekstrapiramidal lebih sedikit disbanding
obat Fenotiazine lainnya (Edward, 2014).
b) Khlorpromazine (Largactil)
Dapat diberikan pada penderita dengan serangan vertigo yang
berat dan akut. Obat ini dapat diberikan per oral atau parenteral
(suntikan intramuscular atau intravena). Dosis yang lazim ialah
25 mg (1 tablet) – 50 mg, 3 – 4 kali sehari. Efek samping ialah
sedasi (mengantuk) (Edward, 2014).
4) Obat Simpatomimetik
Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo. Salah
satunya obat simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan
vertigo ialah efedrin.
a) Efedrin
Lama aktivitas ialah 4 – 6 jam. Dosis dapat diberikan 10 -25 mg,
4 kali sehari. Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi
dengan obat anti vertigo lainnya. Efek samping ialah insomnia,
jantung berdebar (palpitasi) dan menjadi gelisah – gugup
(Edward, 2014).
5) Obat Penenang Minor
Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi
kecemasan yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo.efek
samping seperti mulut kering dan penglihatan menjadi kabur
(Edward, 2014).
a) Lorazepam
Dosis dapat diberikan 0,5 mg – 1 mg
b) Diazepam
Dosis dapat diberikan 2 mg – 5 mg.
6) Obat Anti Kholinergik
Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas
sistem vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo.

18
a) Skopolamin
Skopolamin dapat pula dikombinasi dengan fenotiazine atau
efedrin dan mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin
ialah 0,3 mg – 0,6 mg, 3 – 4 kali sehari.

b. Terapi fisik
Susunan saraf pusat mempunyai kemampuan untuk
mengkompensasi gangguan keseimbangan. Namun kadang-kadang
dijumpai beberapa penderita yang kemampuan adaptasinya kurang atau
tidak baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya gangguan lain di
susunan saraf pusat atau didapatkan deficit di sistem visual atau
proprioseptifnya. Kadang-kadang obat tidak banyak membantu,

19
sehingga perlu latihan fisik vestibular. Latihan bertujuan untuk
mengatasi gangguan vestibular, membiasakan atau mengadaptasi diri
terhadap gangguan keseimbangan. Tujuan latihan ialah (Edward, 2014) :
1) Melatih gerakan kepala yang mencetuskan vertigo atau
disekuilibrium untuk meningkatkan kemampuan mengatasinya
secara lambat laun.
2) Melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan mata.
3) Melatih meningkatkan kemampuan keseimbangan

Ada berbagai macam latihan fisik, sebagai berikut.


1) Epley Maneuver

20
Gambar 2. Terapi Fisik Epley Manuver (Daune, 2002)

2) Terapi Fisik Brand-Darrof

Gambar 3. Terapi Fisik Brand-Darrof (Bhattacharyya et al., 2008)

21
Keterangan Gambar
a) Ambil posisi duduk.
b) Arahkan kepala ke kiri, jatuhkan badan ke posisi kanan,
kemudian balik posisi duduk.
c) Arahkan kepala ke kanan lalu jatuhkan badan ke sisi kiri.
Masing-masing gerakan lamanya sekitar satu menit, dapat
dilakukan berulang kali.
d) Untuk awal cukup 1-2 kali kiri kanan, makin lama makin
bertambah.
e)
2) Semont manuver

Gambar 4. Semont manuver (Bhattacharyya et al., 2008)

2. Terapi Spesifik BPPV


Pada kondisi ini tidak direkomendasikan terapi obat-obatan. Vertigo dapat
membaik dengan maneuver rotasi kepala hal ini akan mmemindahkan
deposit kalsium yang bebas ke belakang vestibule. Manuver ini meliputi
reposisi kanalit berupa maneuver epley, modifikasi maneuver epley. Pasien
perlu tetap tegak selama 24 jam setelah reposisi kanalit untuk mencegah
deposit kalsium kembali ke kanalis semisirkularis,

I. Prognosis
Prognosis BPPV biasanya baik. Remisi spontan dapat terjadi dalam 6
minggu. Setelah pengobatan, tingkat kekambuhan adalah 10-25%. Individu

22
yang telah mengalami BPPV, risiko kekambuhan lebih tinggi pada pasien
wanita, pasien yang lebih tua, dan pasien dengan komorbiditas (terutama
gangguan psikiatri). Tingkat persistensi secara signifikan lebih tinggi pada
orang dengan BPPV pasca trauma (45,2%) dibandingkan pada mereka
dengan BPPV nontraumatik (20,5%). Sebuah penelitian retrospektif oleh Tan
et al (2016) menunjukkan bahwa pasien dengan komorbid hipertensi dengan
BPPV memiliki tingkat kekambuhan BPPV yang lebih besar daripada mereka
dengan BPPV idiopatik (Tan., et al, 2016).

23
BAB III
PEMBAHASAN

1. Pembahasan Diagnosis BPPV


Teori Kasus
Dasar diagnosis
1. Anamnesis 1. Anamnesis
a. Vertigo a. Diabetes, trauma kepala, migraine,
b. onset akut kurang dari 10- dan riwayat gangguan
20 : nisdetik akibat keseimbangan sebulumnya
perubahan dari posisi maupun riwayat gangguan saraf
kepala (posisi lateral, pusat disangkal
bangun dari tempat tidur, b. Kepala pusing berputar terutama
melihat ke atas maupun ke perpindahan posisi
belakang, dan c. Riwayat hipertensi diakui sudah 5
membungkuk) tahun
c. mual d. Keluhan penurunan pendengaran
atau tinitus disangkal. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik ini untuk menyingkirkan diagnosis
a. Dix-Hallpike Test: banding meniere disease dan
nistagmus (+) vestibular neuritis
b. Tes kalori : nistagmus (+) e. Gejala visual meliputi
inkoordinasi/pandangan kabur dan
3. Pemeriksaan penunjang jatuh, usia tua, kejang,
a. Radiografi baal/kesemutanparese wajah dan
b. Vestibular testing ekstremitas disangkal. Anamnesis
c. Audiometric testing ini untuk menyingkirkan diagnosis
banding Vertebrobasilar
insufficiency dan stroke.
f. Nyeri kepala dalam jangka waktu
lama disangkal. Hal ini untuk
menyingkirkan diagnosis banding
tumor intrakranial
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tekanan darah:150/80 mmHg
b. dix hallpike: nistagmus +/+
c. fungsi neurologis dalam batas
normal
d. fusngsi vestibular:
5) Nylen barany test : +
6) Romberg test : + mata
tertutup, mata terbuka normal
7) Tandem gait : Baik
8) Past pointing test : baik
e. Extremitas : edema pitting
ekstremitas bawah bilateral

24
3. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium: darah lengkap
dalam batas normal
b. EKG : dalam batas normal

2. Pembahasan Terapi Pada Kasus


Teori Kasus
1. Prinsip umum terapi Vertigo 1. Farmakologi
a. Antihistamin a. IVFD RL 20 tpm
1) Betahistin: dosis 6 mg (1 b. Ondansentron 2 x 8 mg IV
tablet) – 12 mg, 3 kali sehari c. Amlodipin 1 x 10 mg PO
per oral d. Betahistin 3 x 12 mg PO
2) Dimenhidrinat: dosis 25 mg – e. Flunarizin 1 x 5 mg PO
50 mg (1 tablet), 4 kali sehari 2. Non-Farmakologi
3) Difhenhidramin Hcl Latihan Brandt Daroff
(Benadryl): dosis 25 mg (1 manuver atau Semont manuver
kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari atau Epley Manuver
per oral 3. Edukasi
b. Antagonis Kalsium a. Mengatur pola makan
1) Cinnarizine: 15 – 30 mg, 3 yang sehat, mengurangi
kali sehari atau 1 x 75 mg konsumsi garam dan
sehari lemak
2) Flunarizine: 1 x 5-10 mg po b. Melakukan olahraga yang
c. Fenotiazine teratur
1) Promethazine: dosis 12,5 mg – c. Menghindari stress dan
25 mg, 4 kali sehari per oral beristirahat cukup
atau parenteral d. Diet rendah garam
2) Khlorpromazine: 25 mg (1
tablet) – 50 mg, 3 – 4 kali
sehari.
2. Terapi spesifik BPPV
a. Epley Maneuver
b. Brand-Darrof
c. Semont manuver

25
3. Pembahasan Prognosis Pada Kasus
Teori Kasus
Prognosis BPPV biasanya baik. Quo ad vitam : bonam
Remisi spontan dapat terjadi dalam 6 Quo ad functionam : bonam
minggu. Setelah pengobatan, tingkat Quo ad sanationam : dubia
kekambuhan adalah 10-25%. ad bonam (pada kasus memiliki
Risiko kekambuhan lebih tinggi faktor risiko hipertensi sehingga
pada pasien wanita, pasien yang lebih risiko kekambuhan lebih tinggi)
tua, dan pasien dengan komorbiditas
(terutama gangguan psikiatri),pasca
trauma, dan komorbid hipertensi.

26
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Bhattacharyya N1, Baugh RF, Orvidas L, Barrs D, Bronston LJ, Cass S, Chalian


AA, Desmond AL, Earll JM, Fife TD, Fuller DC, Judge JO, Mann
NR, Rosenfeld RM, Schuring LT, Steiner RW, Whitney SL, Haidari J.
2008. Clinical practice guideline: benign paroxysmal positional vertigo.
Journal American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
Foundation.

Bunjamin, F.P., Darmawan B., Suryajaya A. L. & Tjoa,


R. 2013. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Buku Ajar Ilmu penyakit
Saraf

Daune L. MacGregor, 2002. Vertigo. American Academy of Pediatrics


departemen neurology.

Edward Y., Roza Y., 2014. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal
Positional Vertigo. Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
.
Hain Timothy C. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV). [internet].
Chicago,Illianos; the Vestibular Disorder Association;2015

Lempert, T, Neuhauser, H. 2009. Epidemiology of vertigo, migraine and


vestibular migraine. Journal Neurology. (25) : 333-338.

Mark, A. 2008. Symposium on Clinical Emergencies: Vertigo Clinical Assesment


and Diagnosis. British Journal of Hospital Medicine, June 2008, Vol 69, No
6

Purnamasari P., 2010. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal Positional


Vertigo. Universitas Udayana: Denpasar

Sura, DJ, Newell, S. 2010. Vertigo- Diagnosis and management in primary care.
Journal Neurology. (34) : 322-330

Tan J, Deng Y, Zhang T, Wang M. Clinical characteristics and treatment


outcomes for benign paroxysmal positional vertigo comorbid with
hypertension. Acta Otolaryngol. 2016 Nov 14. 1-3.

Turner, B, Lewis, NE. 2010. Symposium Neurology :Systematic Approach that


Needed for establish of Vetigo. The Practitioner September 2010 - 254
(1732): 19-23.

27

You might also like