You are on page 1of 30

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Umar
Umur : 73 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : Puspahiang
Pekerjaan :-
Tanggal Masuk RS : 6 Januari 2018
Tanggal Pemeriksaan : 8 Januari 2018
No . RM : 16-01-71-45

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
sesak napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS SMC pada tanggal 6 Januari 2016
dengan keluhan sesak napas. Sesak napas tersebut sudah dirasakan kurang
lebih 1 tahun, namun memberat 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
napas bersifat hilang timbul, biasanya dirasakan pada malam hari dan
keluhan semakin memberat jika pasien beraktivitas ringan seperti berjalan
dekat /ke kamar mandi. Sesak napas tersebut berkurang apabila pasien
beristirahat dan tidur dengan posisi setengah duduk dengan menggunakan
3-4 bantal dan memberat jika tidur terlentang.
Selain sesak napas, sejak 5 hari yang lalu pasien juga mengeluhkan
perut terasa begah, BAK normal, kadang merasa mual jika makan, dan
kedua kaki yang semakin membengkak. Pasien menyangkal muntah dan
BAK sedikit, nyeri dada, bersuara ngik-ngik, batuk
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama : diakui dan dirawat tahun 2017
b. Riwayat hipertensi : diakui sejak 5 tahun yang lalu dan
jarang mengikuti kegiatan posbindu atau bakti sosial

1
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : diakui dan sering berobat ke poli
penyakit dalam di RS SMC
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disnagkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : tampak sesak sedang
2. Kesadaran : kompos mentis, GCS E4 M6 V5
3. Status antropometri
Tinggi Badan : 169 cm
Berat Badan : 65 kg
4. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 140/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit, regular, equal, isi cukup
Respirasi : 24x/menit
Suhu : 36,2˚ C
5. Status Generalis
a. Kepala dan Leher
1) Kepala : VT -/-
2) Mata : CA -/- SI -/- Pupil isokor diameter 2 mm/2 mm,
RC +/+
3) Hidung : NCH -/- discharge -/-
4) Mulut : bibir sianosis (-), lidah sianosis (-), perot (-)

2
5) Leher : deviasi trakea (-), JVP 5+4 cmH 20, pembesaran
KGB (-)
b. Thorax
1) Pulmo
Inspeksi : hemithorax dextra=sinistra, ketinggalan gerak (-),
bentuk dan gerak simetris
Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru,
batas paru hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara Dasar Vesikuler pada seluruh lapang paru,
ronkhi (-), wheezing (-)
2) Cor
Inspeksi : terlihat ictus cordis di SIC V LMCS, pulsasi
parasternal (-), pulsasi epigastrik(-)
Palpasi : teraba ictus cordis di SIC V LMCS, kuat angkat
Perkusi : batas jantung kanan atas SIC II LPSD
kiri atas SIC II 2 jari Lateral LPSS
kanan bawah SIC IV LPSD
kiri bawah SIC VI LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, gallop (+), murmur (-)
c. Abdomen
Inspeksi : Bentuk: datar simetris, Kulit: turgor kembali cepat
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : hepar teraba 2 jari BACD dan lien tidak teraba,
nyeri epigastrium (+)
d. Ekstremitas
Akral hangat, CRT <2s, edema pitting ekstremitas bawah.

3
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Labolatorium 26 Desember 2017
Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan Nilai Normal
Hematologi Rutin
Hb 11.1 12-16
Leukosit 9.900 3800-10600
Hematokrit 34 35-47
Trombosit 244.000 150000-440000
Eritrosit 3.8 4,5 – 6,0
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 97 <150
Ureum 26 15-39
Kreatinin 0.54 0,9 -1,3

2. Pemeriksaan EKG

E. DIAGNOSA KERJA
CHF

4
Diagnosis etiologi : Hipertensi grade I
Diagnosis anatomis : RAH, OMI
Diagnosis fungsional : NYHA III
Kongesti hepatopati

F. USULAN PEMERIKSAAN
Profil Lipid

G. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
a. O2 2-3 Lpm
b. IVFD hidromal asnet
c. Furosemid 1 x 40 mg IV
d. Ramipril 1 x 2.5 mg PO
e. Curcuma 1 x 1 tab PO
2. Non-Farmakologi
a. Bedrest
b. Edukasi tentang penyakit kepada pasien dan keluarga, meliputi faktor
resiko, terapi, komplikasi penyakit, prognosis penyakit dan cara
pencegahan perburukan penyakit
c. Diet rendah garam
3. Edukasi
a. Keadaan umum
b. Tanda vital

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patologis berupa kelainan
fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau hanya mampu jika disertai
peninggian volume diastolik secara abnormal (Singh, 2015). Penamaan gagal
jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung kiri dan
kanan. Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal
jantung kanan.
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan
curah jantung (Caridiac Output = CO) dalam memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh. Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga
mengakibatkan edema paru dan bendungan di system vena, maka keadaan ini
disebut gagal jantung kongestif (Santoso, 2007).

B. Epidemiologi
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien
jantung.Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat
pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal
jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus
baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi
penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar
400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung.
Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka
kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit
gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang
ringan (Wilson, 2006).
Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin
meningkat. Oleh karena itu gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang

6
utama. Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung masih punya
harapan hidup 5 tahun. Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5
tahun sebesar 62% pada pria dan 42% wanita (Wilson, 2006).

C. Etiologi
Perubahan struktur atau fungsi dari ventrikel kiri dapat menjadi faktor
predisposisi terjadinya gagal jantung pada seorang pasien, meskipun etiologi
gagal jantung pada pasien tanpa penurunan Ejection Fraction (EF) berbeda dari
gagal jantung dengan penurunan EF. Terdapat pertimbangan terhadap etiologi
dari kedua keadaan tersebut tumpang tindih. Di Negara-negara industri, Penyakit
Jantung Koroner (PJK) menjadi penyebab predominan pada 60-75% pada kasus
gagal jantung pada pria dan wanita. Hipertensi memberi kontribusi pada
perkembangan penyakit gagal jantung pada 75% pasien, termasuk pasien dengan
PJK. Interaksi antara PJK dan hipertensi memperbesar risiko pada gagal jantung,
seperti pada diabetes mellitus (Eugene, 2008).
Emboli paru dapat menyebabkan gagal jantung, karena pasien yang tidak aktif
secara fisik dengan curah jantung rendah mempunyai risiko tinggi membentuk
thrombus pada tungkai bawah atau panggul. Emboli paru dapat berasal dari
peningkatan lebih lanjut tekanan arteri pulmonalis yang sebaliknya dapat
mengakibatkan atau memperkuat kegagalan ventrikel (Eugene, 2008).
Infeksi apapun dapat memicu gagal jantung, demam, takikardi dan
hipoksemia yang terjadi serta kebutuhan metabolik yang meningkat akan
memberi tambahan beban pada miokard yang sudah kelebihan beban meskipun
masih terkompensasi pada pasien dengan penyakit jantung kronik (Eugene,
2008).

Tabel 1. Etiologi gagal jantung


Dengan Penurunan EF (<40%)
PJK Kardiomiopati dilatasi non iskemik
Infark miokard Familial / kelainan genetic
Iskemia miokard Kelainan infiltrative
Kenaikan tekanan Kerusakan akibat toksin / obat
Hipertensi Penyakit metabolik
Penyakit katup obstruktif Virus
Kenaikan volume Penyakit Chagas
Penyakit katup regurgitasi Kelainan irama dan detak jantung

7
Left to right shunting Bradi aritmia kronis
Extracardiac shunting Takiaritmia kronis
Tanpa Penurunan EF (>40-50%)
Hipertrofi patologis Kardiomiopati restriktif
Primer (kardiomiopati hipertrofi) Kelainan infiltrative (amyloidosis,
sarkoidosis)
Sekunder (hipertensi) Fibrosis
Penuaan Kelainan enso-miokardium
Pulmonary Heart Disease (PHD)
Cor pulmonale
Kelainan pembuluh darah paru
Output meningkat
Kelainan metabolik Aliran darah yang berlebihan
Tirotoksikosis Shunt arteri-vena sistemik
Beriberi Anemia kronis

D. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan
pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis
serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik
terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan
cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (sistem RAA) serta
kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki
lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem
simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-
triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan
dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang
berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan
nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan
konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II
merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi
sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron
akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi

8
kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada
disfungsi endotel pada gagal jantung (Doenges, 2002).
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama
yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf
pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon
terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia
Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas
pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan
dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan
natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan
telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung . Vasopressin
merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung
kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik
yang akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel
endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten
menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang
bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan
semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga
berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure,
perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis
sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya
remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin. Disfungsi diastolik
merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding
ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan
pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit
jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung

9
amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal
jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita
gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul
bersamaan meski dapat timbul sendiri (Joewono, 2002).

E. Penegakan diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan yang dapat ditemukan pada pasien CHF diantaranya:
a. Sesak pada saat beraktifitas (dyspneu d’effort)
b. Gangguan napas pada perubahan posisi (ortopneu)
c. Sesak napas malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu)
d. Keluhan tambahan: lemas, mual, muntah dan gangguan mental pada
orangtua
e. Pasien memiliki faktor risiko
1) Hipertensi
2) Dislipidemia
3) Obesitas
4) Merokok
5) Diabetes melitus
6) Riwayat gangguan jantung sebelumnya
7) Riwayat infark miokard

Tabel 2. Tanda dan gejala gagal jantung

10
Tabel 3. Manifestasi klinis gagal jantung

Dalam mendiagnosis gagal jantung kongestif, dipakai kriteria


Framingham yang di tunjukkan pada tabel 4, yaitu memenuhi 2 kriteria
mayor atau 1 mayur dan 2 minor.

Kriteria mayor Kriteria minor


1. Paroximal nocturnal dispneu 1. Edema ekstremitas bilateral
2. Kardiomegali 2. Batuk malam hari
3. Ronki paru 3. Dispneu d’effort
4. Hepatojugular refluks (HJR) 4. Hepatomegali
5. Edema paru akut 5. Efusi pleura
6. Gallop S3 6. Penurunan Vital Capacity 1/3 dari
7. Distensi vena leher normal
8. Peningkatan Central Venous 7. Takikardi (>120/menit)
Pressure (>16 cmH2O)
9. Penurunan berat badan 4.5 kg
dalam 5 hari sebagai respon
terapi CHF

Tabel 4. Kriteria Framingham

11
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada pasien CHF diantaranya:
a. Peningkatan tekanan vena jugular
b. Frekuensi pernapasan meningkat
c. Kardiomegali
d. Gangguan bunyi jantung (gallop)
e. Ronki pada pemeriksaan paru
f. Hepatomegali
g. Asites
h. Edema perifer

3. Pemeriksaan penunjang
a. Labratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung
adalah darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit),
elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi
hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai
tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna
jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang
belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia
dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien
dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin
Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker),
atau antagonis aldosterone.
b. X Ray thoraks

12
X Ray thoraks Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal
jantung. Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti
paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru
yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas (Tabel 5).
Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan
kronik.

Tabel 5. Abnormalitas foto toraks yang umum ditemukan pada gagal


jantung

c. EKG
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua
pasien diduga gagal jantung.Abnormalitas EKG sering dijumpai pada
gagal jantung (Tabel 6). Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif
yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal,
diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat
kecil (< 10%). Abnormalitas EKG yang dapat ditemukan berupa

13
hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi, perubahan gelombang T, dan
gambaran abnormal lain.

Tabel 6. EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung

F. Klasifikasi
Ada berbagai klasifikasi untuk gagal jantung, diantaranya berdasarkan
abnormalitas struktur jantung yang di susun oleh American Heart
Association/American College of Cardiology (AHA/ACC) atau berdasarkan
gejala berkaitan dengan kapasitas fingsional yang diterbitkan oleh New York
Heart Association (NYHA).

14
1. Berdasarkan Tingkat Keparahan Gagal Jantung
Tabel 7. Berdasarkan Tingkat Keparahan Gagal Jantung
Klasifikasi menurut ACC/AHA Klasifikasi menurut NYHA
(Klasifikasi berdasarkan kelainan (Klasifikasi berdasarkan kapsitas
struktural jantung) Fungsional)
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk Pasien dengan penyakit jantung
berkembang menjadi gagal jantung. tetapi tidak ada pembatasan aktivitas
Tidak terdapat gangguan struktural fisik. Aktivitas fisik biasa tidak
atau fungsional jantung. menyebabkan kelelahan berlebihan,
palpitasi, dispnea atau nyeri angina.
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur Pasien dengan penyakit jantung
jantung yang berhubungan dengan dengan sedikit pembatasan aktivitas
perkembangan gagal jantung, tidak fisik. Merasa nyaman saat istirahat.
terdapat tanda dan gejala. Hasil aktivitas normal fisik
kelelahan, palpitasi, dispnea atau
nyeri angina.
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simpatomatis Pasien dengan penyakit jantung yang
berhubungan dengan penyakir terdapat pembatasan aktivitas fisik.
structural jantung yang mendasari Merasa nyaman saat istirahat.
Aktifitas fisik ringan menyebabkan
kelelahan, palpitasi, dispnea atau
nyeri angina.
Stadium D Kelas IV
Penyakit structural jantung yang lanjut Pasien dengan penyakit jantung yang
serta gejala gagal jantung yang sangat mengakibatkan ketidakmampuan
bermakna saat istirahat walaupun telah untuk melakukan aktivitas fisik
mendapat terapi. apapun tanpa ketidaknyamanan.
Gejala gagal jantung dapat muncul
bahkan pada saat istirahat. Keluhan
meningkat saat melakukan aktifitas

2. Berdasarkan Curah Jantung


a. Gagal jantung curah-tinggi
Pada pasien dengan gagal jantung curah-tinggi, curah jantung tidak
melebihi batas atas normal, tetapi mungkin lebih dekat dengan batas
atas normal. Gagal jantung curah-tinggi terlihat pada pasien

15
hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula arteriovenosa, beri-beri,
dan penyakit Paget.
b. Gagal Jantung curah rendah
Pada gagal jantung curah-rendah, curah jantung berada dalam batas
normal pada saat istirahat, tetapi tidak mampu meningkat secara
normal selama aktivitas fisik
3. Berdasarkan Gangguan Fungsi
a. Gagal jantung Sistolik
Gagal jantung sistolik yang utama berkaitan dengan curah jantung
yang tidak adekuat dengan kelemahan, kekelahan, berkurangnya
toleransi terhadap exercise, dan gejala lain dari hipoperfusi.17
b. Gagal Jantung Diastolik
Gagal jantung diastolik berhubungan dengan peningkatan tekanan
pengisian. Pada banyak pasien yang mempunyai hipertrofi ventrikel
dan dilatasi, abnormalitas kontraksi dan relaksasi terjadi secara
bersamaan
4. Berdasarkan letak
a. Gagal jantung kanan
Gagal jantung kanan terjadi Jika abnormalitas yang mendasari
mengenai ventrikel kanan secara primer seperti stenosis katup paru
atau hipertensi paru sekunder terhadap tromboembolisme paru
sehingga terjadi kongesti vena sistemik
b. Gagal jantung kiri
Pada gagal jantung kiri, ventrikel kiri secara mekanis mengalami
kelebihan beban atau melemah, mengalami dispnea dan ortopnea
akibat dari kongesti paru.

16
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal jantung sebagai berikut.
1. Modifikasi gaya hidup
a. Pembatasan asupan cairan maksimal 1,5 liter (ringan), maksimal 1
liter (berat)
b. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol
2. Aktivitas fisik
a. Pada kondisi akut berat: tirah baring
b. Pada kondisi sedang atau ringan: batasi beban kerja sampai 60%
hingga 80% dari denyut nadi maksimal (220/umur)
3. Penatalaksanaan farmakologi:
Pada gagal jantung akut:
a. Terapi oksigen 2-4 liter per menit
b. Pemasangan iv line untuk akses dilanjutkan dengan pemberian
furosemid injeksi 20 s/d 40 mg bolus dapat diulang tiap jam sampai
dosis maksimal 600 mg/hari.
c. Segera rujuk.
Pada gagal jantung kronik:
a. Diuretik: diutamakan loop diuretic (furosemid) bila perlu dapat
dikombinasikan Thiazid, bila dalam 24 jam tidak ada respon rujuk ke
layanan sekunder.
b. ACE Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensine II receptor blocker (ARB)
mulai dari dosis terkecil dan titrasi dosis sampai tercapai dosis yang
efektif dalam beberapa minggu. Bila pengobatan sudah mencapai
dosis maksimal dan target tidak tercapai segera dirujuk.
c. Digoksin diberikan bila ditemukan takikardi untuk menjaga denyut
nadi tidak terlalu cepat.
4. Konseling dan Edukasi
a. Edukasi tentang penyebab dan faktor risiko penyakit gagal jantung
kronik misalnya tidak terkontrolnya tekanan darah, kadar lemak atau
kadar gula darah.

17
b. Pasien dan keluarga perlu diberitahu tanda-tanda kegawatan
kardiovaskular dan pentingnya untuk kontrol kembali setelah
pengobatan di rumah sakit.
c. Patuh dalam pengobatan yang telah direncanakan.
d. Menjaga lingkungan sekitar kondusif untuk pasien beraktivitas dan
berinteraksi.
e. Melakukan konferensi keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor
pendukung dan penghambat penatalaksanaan pasien, serta
menyepakati bersama peran keluarga pada masalah kesehatan
pasien.
Gagal jantung memiliki terapi yang cukup kompleks, bergantung dari
seberapa parah kondisi penderitanya. Berikut merupakan terapi farmakologis
pada gagal jantung menurut PERKI tahun 2015.

18
Gambar 1. Algoritma Terapi Gagal Jantung (PERKI, 2015)

Gambar 2. Penatalaksanaan menurut kelainan struktural jantung


(Lorezini, et al., 2016)

1. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda
klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk
mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang
serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk
menghindari dehidrasi atau reistensi.

Tabel 8. Dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung

19
2. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. ACEI
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACEI kadang-kadang
menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk dan angioedema (jarang). Oleh sebab itu ACEI hanya
diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium
normal.
Indikasi pemberian ACEI berupa fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
dengan atau tanpa gejala. Kontraindikasi pemberian ACEI :
a. Riwayat angioedema
b. Stenosis renal bilateral
c. Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
d. Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
e. Stenosis aorta berat

Tabel 9. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung

20
3. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah
diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat
antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel
dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternative pada
pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka
kematian karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB:
a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
b. Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai
berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
c. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak
menyebabkan batuk
Kontraindikasi pemberian ARB:
a. Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
b. Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
c. Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB
digunakan bersama ACEI
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB
Sama seperti ACEI, kecuali ARB tidak menyebabkan batuk

4. Beta Bloker
Beta bloker harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. β blocker
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan
kelangsungan hidup

21
Indikasi pemberian β blocker:
a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
b. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
c. ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah
diberikan
d. Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik,
tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi
cairan berat )
Kontraindikasi pemberian β blocker:
a. Asma
b. Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit
(tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50
x/menit)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian β blocker:
a. Hipotensi simtomatik
b. Perburukan gagal jantung
c. Bradikardia

5. Antagonis Aldosteron
Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan
gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa
hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosterone:
a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
b. Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
c. Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan
ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosterone:
a. Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L

22
b. Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
c. Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
d. Kombinasi ACEI dan ARB
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian
spironolakton:
a. Hiperkalemia
b. Perburukan fungsi ginjal
c. Nyeri dan/atau pembesaran payudara

6. Hydralazine dan Isosebide Dinitrate (H-ISDN)


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran
terhadap ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN
a. Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
b. Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron
tidak dapat ditoleransi Jika gejala pasien menetap walaupun sudah
diterapi dengan ACEI, penyekat β dan ARB atau antagonis
aldosterone.
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
a. Hipotensi simtomatik
b. Sindroma lupus
c. Gagal ginjal berat
Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung
a. Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN
b. Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari
c. Naikan dosis secara titrasi
d. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4
minggu.
e. Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
f. Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target
(hydralazine 50 mg dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari).

23
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi
H-ISDN:
a. Hipotensi simtomatik
b. Nyeri sendi atau nyeri otot
7. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat
digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun
obatlain (sepertipenyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal
jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama
sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung, tetapi tidak mempunyai
efek terhadap angka kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian digoksin :
a. Fibrilasi atrial dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau
saat aktifitas> 110 - 120 x/menit Irama sinus
b. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
c. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
d. Dosis optimalACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis
aldosteron jika ada indikasi. 24 | Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung
Kontraindikasi:
a. Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika pasien
diduga sindroma sinus sakit
b. Sindroma pre-eksitasi
c. Riwayat intoleransi digoksin
Cara pemberian digoksin pada gagal jantung:
a. Inisiasi pemberian digoksin
b. Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal
normal. Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis
diturunkan menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1 x/hari
c. Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik.
d. Kadar terapi digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL

24
e. Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah
(amiodaron, diltiazem, verapamil, kuinidin).
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:
a. Blok sinoatrial dan blok AV
b. Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
c. Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan
melihat warna

H. Komplikasi
1. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel
kiri atau gagal jantung kongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami
gangguan yang sangat luas. Otot jantung kehilangan kontraktilitasnya,
mengakibatkan penurunan curah jantung dengan perfusi jaringan yang
tidak adekuat ke organ vital (jantung, otak, ginjal). Tanda klasik syok
kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat dan lemah,
hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi,
penurunan keluaran urine, serta kulit yang dingin.
2. Gagal Ginjal
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah menuju ginjal
yang akan menyebabkan gangguan fungsi ginjal apabila tidak diatasi
dengan baik. Penderita gagal ginjal yang disebabkan oleh gagal
jantung biasanya memerlukan terapi dialisis.
3. Kelainan Katup
Seiring dengan bertambahnya pembesaran jantung dan tekanan
di dalam jantung maka katup katup jantung akan berisiko tidak
berfungsi dengan baik. Tanda yang dapat ditemukan dalam
pemeriksaan yaitu tersengarnya murmur pada katup-katup jantung.
4. Kerusakan Hati
Gagal jantung dapat menimbulkan bendungan pada organ-organ
yang dilewati oleh darah sebelum kembali ke jantung, salah satunya
adalah hati. Akan terjadi penumpukan cairan dan peregangan kapsula

25
hati yang menimbulkan nyeri dan penurunan fungsi hati. Kongesti ini
akan disertai oleh pelebaran vena hepatika.

I. Prognosis
CHF memiliki sifat letal dan menyebabkan risiko kematian yang
tinggi. Prognosis lebih baik ditemukan pada wanita dan orang dengan usia
muda. (Anderson, et al, 1993). Prognosis penyakit ini akan jelek bila dasar
atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal
jantung memiliki resiko tinggi meninggal dunia dalam empat tahun sejak
diagnosis ditegakkan dan pada gagal jantung berat, lebih dari 50% akan
meninggal dalam waktu satu tahun (Manggioni,2005).

26
BAB III
PEMBAHASAN

1. Pembahasan Diagnosis CHF


Teori Kasus
Faktor risiko
1. Jantung Faktor risiko pada kasus ini
a. PJK nerupa hipertensi yang
b. Kardiomiopati tidak terkontrol dan adanya
c. Infark miokard OMI pada gambaran EKG
d. Hipertensi
e. Penyakit katup obstruktif
2. Pulmonary Heart Disease (PHD)
a. Cor pulmonale
b. Kelainan pembuluh darah paru
3. Lain-lain yang menyebabkan
output meningkat
a. Kelainan metabolik
b. Tirotoksikosis
c. Anemia kronis
Dasar diagnosis 1. Anamnesis
Untuk mendiagnosis CHF berdasarkan Sesak napas, Sesak napas tersebut
kriteria Framingham berkurang apabila pasien
1. Kriteria mayor beristirahat dan tidur dengan posisi
1. Paroximal nocturnal dispneu setengah duduk (PND) serta
2. Kardiomegali istirahat, memberat jika tidur
3. Ronki paru terlentang (ortopneu) dan aktivitas
4. Hepatojugular refluks (HJR) ringan (DOE),
5. Edema paru akut 2. Pemeriksaan Fisik
6. Gallop S3 a. Tekanan darah:140/70 mmHg
7. Distensi vena leher b. JVP meningkat =JVP 5+4
8. Peningkatan Central Venous c. Abdomen: Hepar teraba 2 jari
Pressure (>16 cmH2O) BACD
9. Penurunan berat badan 4.5 kg d. Extremitas : edema pitting
dalam 5 hari sebagai respon
ekstremitas bawah bilateral
terapi CHF
3. Pemeriksaan penunjang
2. Kriteria minor
a. Laboratorium: darah lengkap
1. Edema ekstremitas bilateral
dalam batas normal
2. Batuk malam hari
b. EKG : adanya q patologis pada
3. Dispneu d’effort
II,III, dan AVF serta adanya
4. Hepatomegali
RAH
5. Efusi pleura
6. Penurunan Vital Capacity 1/3
dari normal Terdapat 2 kriteria mayor pada kasus
7. Takikardi (>120/menit)

27
ini yaitu adanya PND, distensi vena
leher ( JVP 5+4).
Terdapat 3 kriteria minor pada kasus
ini yaitu edema extremitas bilateral,
hepatomegali, DOE.

2. Pembahasan Terapi Pada Kasus


Teori Kasus
5. Modifikasi gaya hidup 1. Farmakologi
a. Pembatasan asupan cairan f. O2 2-3 Lpm
maksimal 1,5 liter (ringan), g. IVFD hidromal asnet
maksimal 1 liter (berat) (pembatasan asupan cairan
b. Berhenti merokok dan hanya untuk akses IV)
konsumsi alkohol h. Furosemid 1 x 40 mg IV
6. Aktivitas fisik (diuretik)
Tirah baring i. Ramipril 1 x 2.5 mg PO
7. Penatalaksanaan farmakologi: (ACE-I)
Pada gagal jantung akut: j. Curcuma 1 x 1 tab PO
a. Terapi oksigen 2-4 liter per (untuk hepatocongestif)
menit 2. Non-Farmakologi
b. furosemid injeksi 20 s/d 40 a. Bedrest
mg bolus dapat diulang tiap b. Edukasi tentang penyakit
jam sampai dosis maksimal
c. Diet rendah garam
600 mg/hari.
c. Segera rujuk.
Pada gagal jantung kronik:
d. Diuretik: diutamakan loop
diuretic (furosemid) bila perlu
dapat dikombinasikan Thiazid
e. ACE Inhibitor (ACE-I) atau
Angiotensine II receptor
blocker (ARB) mulai dari
dosis terkecil dan titrasi dosis
f. Digoksin diberikan bila
ditemukan takikardi untuk
menjaga denyut nadi tidak
terlalu cepat.

3. Pembahasan Prognosis Pada Kasus

28
Teori Kasus
Prognosis penyakit ini akan jelek bila Quo ad vitam : bonam
dasar atau penyebabnya tidak dapat Quo ad functionam : dubia
diperbaiki. ad bonam
Quo ad sanationam : dubia
ad malam

29
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, I., S. Salim, R. Hidayat, J. Kurniawan, D.L. Tahapary. 2015. Panduan


Praktis Klinis Penatalaksanaan di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : Interna
Publishing

O’ Connor, C.M., D.J. Whellan, K.L. Lee, S.J. Keteyian, L.S Cooper, S.J. Ellis,
W.E. Kraus, et al. 2009. Efficacy and Safety of Exercise Training in
Patients with Chronic Heart Failure. Journal of The American Medical
Association, 301(14) : 1439-1450

Singh, Vibhurti. 2015. Congestive Heart Failure Imaging. American College of


Cardiology

Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S.


Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007

Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006.hal.633-640.

Greenberg, Barry H. Congestuve Heart Failure, Philadephia, USA: Lipincott


Williams & Wilkins 2007 ; hal.167-168.

Joewono, B. S. 2003.. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya : Airlangga University


Press .

Eugene B. Braunwald's Heart Disease, 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;


2008:542-544

Monica Lorenzini, Caterina Ricci, Silvia Riccomi, Federica Abate, Barbara


Casalgrandi, Benedetta Quattrini, Gianbattista Spagnoli, Letizia Reggianini
and Oreste Capelli . 2016. Integrated Care for Heart Failure in Primary
Care. Dalam buku Primary Care in Practice - Integration is Needed.

30

You might also like