You are on page 1of 6

Child development psychosocial

Psikososial perkembangan anak

There are 3 developmental domains. 


1. Physical- involves growth and changes in the body and brain, the senses, motor
skills and health and well-being. 
2. Brain development, motor development, brain maturation.
3. Cognitive - involves learning, attention, memory, language, thinking, reasoning,
and creativity. 

Ada 3 domain perkembangan.

1. Fisik- melibatkan pertumbuhan dan perubahan pada tubuh dan otak, indra,
keterampilan motorik, serta kesehatan dan kesejahteraan.

2. Perkembangan otak, perkembangan motorik, pematangan otak.


3. Kognitif - melibatkan pembelajaran, perhatian, ingatan, bahasa, pemikiran,
penalaran, dan kreativitas.

Sensory motor, pre-occupational, concrete, operational, formal operational

Psychosocial envolves emotions, personality, and social relationships.

There are several stages in psychosocial.

Sensorik motorik, pra-okupasi, konkrit, operasional, operasional formal


Psikososial melibatkan emosi, kepribadian, dan hubungan sosial.
Ada beberapa tahapan dalam psikososial.

1. Trust versus Mistrust, 


Infants learn to trust their caregivers to fulfill their needs. Whatever sense of trust they
develop as infants in early childhood can impact our sense of trust later in life even into
adulthood.
The stage begins at birth and continues to about 18 months. If the infants care is
consistent, predictable, and reliable, they will develop a sense of trust, which will carry
over into other relationships. They will feel secure, even when threatened.
If these needs are not consistently met, mistrust, suspicion and anxiety may develop.
If the care has been inconsistent, unpredictable, and unreliable, the infant can develop a
sense of miss trust, suspicion, and anxiety. In this situation they will not have
confidence in the world or in their ability to influence others.
Success in this stage will lead to the virtue of HOPE. Developing a sense of trust the
infant can hope that as new crises arise there is a real possibility that other people will
be there as a source of support.
1. Kepercayaan versus Ketidakpercayaan,
Bayi belajar mempercayai pengasuh mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apa
pun rasa percaya yang mereka kembangkan sebagai bayi di masa kanak-kanak dapat
memengaruhi rasa percaya kita di kemudian hari bahkan hingga dewasa.
Tahap dimulai saat lahir dan berlanjut hingga sekitar 18 bulan. Jika perawatan bayi
konsisten, dapat diprediksi, dan dapat diandalkan, mereka akan mengembangkan rasa
percaya, yang akan terbawa ke dalam hubungan lainnya. Mereka akan merasa aman,
bahkan ketika terancam.
Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi secara konsisten, ketidakpercayaan, kecurigaan, dan
kecemasan dapat berkembang.
Jika perawatan tidak konsisten, tidak dapat diprediksi, dan tidak dapat diandalkan, bayi
dapat mengembangkan rasa tidak percaya, curiga, dan cemas. Dalam situasi ini
mereka tidak akan percaya pada dunia atau pada kemampuan mereka untuk
mempengaruhi orang lain.
Sukses di tahap ini akan mengarah pada kebajikan HARAPAN. Mengembangkan rasa
percaya bayi dapat berharap bahwa saat krisis baru muncul, ada kemungkinan nyata
bahwa orang lain akan hadir sebagai sumber dukungan.

2. Autonomy versus Shame and Doubt, 


Toddlers are exploring autonomy for the first time.
This is when you hear a toddler say “no”. The struggle in this stage is for the toddler to
learn to control their meltdowns, which can impact how this stage in early childhood
relates to autonomy and emotional outburst later in life as well.
The stage occurs between the ages of 18 months and three years. Children at this
stage focus on developing a sense of personal control over physical skills and a sense
of independence.
Success in this stage will lead to the virtue of WILL. If children in this stage are
encouraged and supported in their increased independence, they become more
confident and secure in their own ability to survive in the world.
At this stage, they develop a sense of personal control over their physical skills and a
sense of independence.
If children are criticized overly controlled or not given the opportunity to insert
themselves, then they begin to feel inadequate in their abilities to survive, and may
become overly dependent on others, lack self-esteem, and feel a sense of shame, and
doubt in their abilities.  
In this stage, the child becomes more mobile, discovering that he has skills and abilities,
such as putting on clothes and shoes or playing with toys.
They may want to make choices of what they like to wear or to eat. At this stage,
instead of putting the child’s clothes on a supportive parent should have the patience to
allow the child to try until they exceed or ask for assistance.
Encouragement for the child to become independent, while at the same time protecting
the child, so that consistent failure is avoided.

2. Otonomi versus Rasa Malu dan Keraguan,


Balita mengeksplorasi otonomi untuk pertama kalinya.
Ini adalah saat Anda mendengar balita berkata "tidak". Perjuangan dalam tahap ini
adalah agar balita belajar mengendalikan kehancurannya, yang dapat berdampak pada
bagaimana tahap ini di masa kanak-kanak terkait dengan kemandirian dan ledakan
emosi di kemudian hari juga.
Tahap terjadi antara usia 18 bulan dan tiga tahun. Anak-anak pada tahap ini fokus pada
pengembangan rasa kontrol pribadi atas keterampilan fisik dan rasa kemandirian.
Sukses dalam tahap ini akan mengarah pada kebajikan WILL. Jika anak-anak dalam
tahap ini didorong dan didukung dalam peningkatan kemandirian mereka, mereka
menjadi lebih percaya diri dan aman dalam kemampuan mereka sendiri untuk bertahan
hidup di dunia.
Pada tahap ini, mereka mengembangkan rasa kontrol pribadi atas keterampilan fisik
mereka dan rasa kemandirian.
Jika anak-anak dikritik terlalu dikendalikan atau tidak diberi kesempatan untuk
memasukkan diri mereka sendiri, maka mereka mulai merasa tidak mampu dalam
kemampuan mereka untuk bertahan hidup, dan mungkin menjadi terlalu bergantung
pada orang lain, kurang percaya diri, dan merasa malu, dan ragu-ragu. kemampuan
mereka.
Pada tahap ini, anak menjadi lebih lincah, menemukan bahwa ia memiliki keterampilan
dan kemampuan, seperti mengenakan pakaian dan sepatu atau bermain dengan
mainan.
Mereka mungkin ingin membuat pilihan tentang apa yang ingin mereka kenakan atau
makan. Pada tahap ini, alih-alih mengenakan pakaian anak pada orang tua yang
mendukung harus memiliki kesabaran membiarkan anak mencoba sampai melebihi
atau meminta bantuan.
Dorongan agar anak menjadi mandiri, sekaligus melindungi anak, sehingga kegagalan
yang terus-menerus dapat dihindari.

3. Initiative versus Guilt, 

This is the stage children start to question and develop curiosity about the world around
them.
When allowed to learn, explore and question, a child can build a healthy foundation of
seeking answers in early childhood for the future selves as well. 
The child can begin to plan activities, make up games and initiate activities with others.
Children can develop a sense of initiative and feel secure in their ability to lead others
and make decisions.
Success at this stage leads to a sense of purpose.
Conversely, if this tendency is squelched, either through harsh criticism or control,
children develop a sense of guilt.
At this stage, the child will begin to ask many questions as his thirst for knowledge
grows. If their questions are treated as being trivial or a nuisance or embarrassing, the
child may feel guilty for being a nuisance.
Too much guilt can slow the child’s interaction with others and inhibit their creativity.
Success in this stage will lead to the virtue of PURPOSE while failure will lead to a
sense of guilt.
3. Inisiatif versus Rasa Bersalah,

Ini adalah tahap anak-anak mulai mempertanyakan dan mengembangkan rasa ingin
tahu tentang dunia di sekitar mereka.
Ketika dibiarkan belajar, bereksplorasi, dan bertanya, seorang anak dapat membangun
landasan yang sehat untuk mencari jawaban di masa kanak-kanak untuk masa
depannya juga.
Anak dapat mulai merencanakan aktivitas, membuat permainan, dan memulai aktivitas
dengan orang lain. Anak-anak dapat mengembangkan rasa inisiatif dan merasa aman
dalam kemampuan mereka untuk memimpin orang lain dan membuat keputusan.
Sukses pada tahap ini mengarah pada rasa tujuan.
Sebaliknya, jika kecenderungan ini dipadamkan, baik melalui kritik keras atau kontrol,
anak mengembangkan rasa bersalah.
Pada tahap ini, anak akan mulai banyak bertanya seiring dengan tumbuhnya rasa haus
akan ilmu. Jika pertanyaan mereka dianggap sepele atau mengganggu atau
memalukan, anak mungkin merasa bersalah karena telah mengganggu.
Terlalu banyak rasa bersalah dapat memperlambat interaksi anak dengan orang lain
dan menghambat kreativitas mereka. Kesuksesan pada tahapan ini akan berujung
pada keutamaan TUJUAN sedangkan kegagalan akan berujung pada rasa bersalah.

4. Industry versus Inferiority 

This stage is often the start of formal education.


The child is coping with new learning and social demands. Success leads to a sense of
competence, while failure leads to inferiority.
A child is evaluated based on performance and production.
A child in this stage wants to feel like they are progressing similar to other children and
can’t feel interior to other children if they fall behind.
This feeling of inferiority can hurt a child in the future.
This is a very important part of childhood development. This happens between the ages
of 5 to 12.
At this stage, the children are learning to read and write and do math on their own.
Teachers take on an important role in the child’s life as they teach specific skills. Peer
groups will gain a greater significance and will become the major source of a child’s
self-esteem.
The child now feels the need to win approval by demonstrating specific competencies
that are valued by society and begin to develop a sense of pride and their
accomplishments.
However, if initiative is not encouraged, or if control is too restrictive, the child can begin
to feel inferior, doubting his own abilities, and therefore not reach his full potential.
Some failures may be necessary so that the child can develop some sense of modesty.
A balance between confidence and modesty is necessary.
Success in this will lead to the virtue of CONFIDENCE.
4. Industri versus Inferioritas

Tahap ini seringkali merupakan awal dari pendidikan formal.


Anak menghadapi pembelajaran baru dan tuntutan sosial. Sukses mengarah pada rasa
kompetensi, sedangkan kegagalan mengarah pada inferioritas.
Seorang anak dievaluasi berdasarkan kinerja dan produksi.
Seorang anak pada tahap ini ingin merasa bahwa mereka mengalami kemajuan yang
sama dengan anak-anak lain dan tidak dapat merasakan interior dari anak-anak lain
jika mereka tertinggal.
Perasaan rendah diri ini dapat melukai seorang anak di masa depan.
Ini adalah bagian yang sangat penting dari perkembangan anak. Ini terjadi antara usia
5 hingga 12 tahun.
Pada tahap ini, anak-anak belajar membaca dan menulis serta berhitung sendiri. Guru
mengambil peran penting dalam kehidupan anak saat mereka mengajarkan
keterampilan khusus. Kelompok teman sebaya akan mendapatkan signifikansi yang
lebih besar dan akan menjadi sumber utama harga diri seorang anak.
Anak sekarang merasa perlu mendapatkan persetujuan dengan menunjukkan
kompetensi khusus yang dihargai oleh masyarakat dan mulai mengembangkan rasa
bangga dan prestasi mereka.
Namun, jika inisiatif tidak didorong, atau jika kontrol terlalu ketat, anak dapat mulai
merasa rendah diri, meragukan kemampuannya sendiri, dan karenanya tidak mencapai
potensi penuhnya. Beberapa kegagalan mungkin diperlukan agar anak dapat
mengembangkan rasa kesopanan. Keseimbangan antara kepercayaan diri dan
kesopanan diperlukan.
Sukses dalam hal ini akan mengarah pada kebajikan PERCAYA DIRI.

5. Identity versus Role Confusion.

This occurs between the ages of 12 and 18. During this stage adolescence search for a
sense of self and personal identity through intense exploration of personal beliefs,
values, and goals.
This is an important transition from childhood to adulthood.
At this stage children become more independent looking at the future regarding careers
relationships families.
The individual wants to belong to a society and fit in.
Teenagers explore who they are as individuals, seek to establish a sense of self, and
experiment with different roles, activities, and behaviors.
It is important to the process of forming a strong identity and develop a sense of
direction in life.
This is a major stage of development where the child has learn the role he will occupy
as an adult. It is during this stage that the adolescent will we examine his identity and try
to find out who he or she is. 
Success in this stage will lead to the virtue of FIDELITY. Fidelity involves being able to
commit oneself to others on the basis of accepting others, even when they may be
ideological differences.
Failure in this area can lead to confusion or identity crisis and adolescence may begin to
experiment with different lifestyles.

5. Identitas versus Kebingungan Peran.

Hal ini terjadi antara usia 12 dan 18 tahun. Selama tahap ini masa remaja mencari rasa
diri dan identitas pribadi melalui eksplorasi yang intens terhadap keyakinan, nilai, dan
tujuan pribadi.
Ini adalah transisi penting dari masa kanak-kanak ke dewasa.
Pada tahap ini anak menjadi lebih mandiri dalam memandang masa depan terkait karir
hubungan keluarga.
Individu ingin menjadi bagian dari masyarakat dan menyesuaikan diri.
Remaja mengeksplorasi siapa mereka sebagai individu, berusaha membangun rasa
diri, dan bereksperimen dengan berbagai peran, aktivitas, dan perilaku.
Ini penting untuk proses pembentukan identitas yang kuat dan mengembangkan rasa
arah dalam hidup.
Ini adalah tahap perkembangan utama di mana anak telah mempelajari peran yang
akan dia tempati sebagai orang dewasa. Pada tahap inilah remaja akan kita periksa
identitasnya dan mencoba mencari tahu siapa dirinya.
Sukses dalam tahap ini akan mengarah pada kebajikan KESETIAAN. Kesetiaan
melibatkan kemampuan untuk berkomitmen pada orang lain atas dasar menerima
orang lain, bahkan ketika mereka mungkin memiliki perbedaan ideologis.
Kegagalan di bidang ini dapat menimbulkan kebingungan atau krisis identitas dan
remaja mungkin mulai bereksperimen dengan gaya hidup yang berbeda.

Key takeaways for child development.

The study of childhood development helps us to identify important physical, cognitive,


and social milestones that children should reach.
When they do not need these milestones, it can help direct us to where adjustments or
environmental interventions can be made.

Kunci untuk perkembangan anak.


Studi tentang perkembangan masa kanak-kanak membantu kita mengidentifikasi
tonggak penting fisik, kognitif, dan sosial yang harus dicapai anak-anak.
Ketika mereka tidak membutuhkan pencapaian ini, ini dapat membantu mengarahkan
kita ke tempat penyesuaian atau intervensi lingkungan dapat dilakukan.

You might also like