You are on page 1of 15

NAFKAH PEDAGANG PEREMPUAN PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM
(STUDI KASUS DI PASAR LEGI JOMBANG)

Moch. Nurcholis, M.H.


Institut Agama Islam Bani Fattah Jombang
moch.nurcholis@iaibafa.ac.id

Athfiani Shaqiyah
Instutut Agama Islam Bani Fattah Jombang
Shaqiyah98@gmail.com

Abstract: This research departs from the phenomenon of the


large number of women who work as traders in the Legi
market in Jombang to meet household needs, where living is an
obligation of the husband. so that the authors are interested in
raising the title of the research on the Lives of Women
Traders from the Perspective of Islamic Law (Case Study at
Legi Jombang Market). The main issues to be studied are
regarding: (1) Livelihood of women traders at Legi Market in
Jombang (2) Perspective of Islamic Law on Marriage Income
of Women Traders in Legi Market, Jombang. The results of
the study concluded that; (1) In the view of female traders in
the Legislative Market, Jombang, in fact, the income is not
only issued by the husband, but there are also some opinions
which say that the obligation to make a living is on the
husband only, and the wife only helps. The educational,
social and religious backgrounds of the women traders in the
market are a big influence, so that these differences of
opinion arise (2) In the perspective of Islamic law that living
is an obligation of the husband, but Islam does not mention
certain limits in providing a living except the Shafi'i
Madhhab. so that the formulation of Islamic law, especially
KHI, is the correct formulation of Indonesian Islamic law by
not mentioning certain nominal limits and not mentioning
percentages through numbers. However, KHI determines the
amount of income qualitatively, so that qualitatively it can
frame the concept of livelihood related to the community, in
this case the market community.
Keywords: livelihood, Women Traders, Islamic Law

Pendahuluan
Perkawinan dan rumah tangga tentunya tidak lepas dari hak
dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban suami istri tersebut
timbul karena adanya ikatan perkawinan antara keduanya.1 Yang
bertujuan menghadirkan pergaulan yang dilandasi tolong menolong.
Dalam hal ini yang berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada
istrinya ialah suami. Kewajiban istri yakni menjaga serta mengurus
urusan rumahtangga, dimana setelah suami memenuhi kewajibannya
yang merupakan hak istri. Jadi kewajiban dan hak suami istri
merupakan hubungan timbal balik antara keduanya. Pernyataan ini
sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam BAB XII Pasal 77 Ayat (1)
samapai (5) yang berbunyi : Bahwa “ (1) Suami Istri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumahtangga yang sakinah,
mawaddah dan rohmah yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat. (2) Suami Istri wajib saling cinta- mencintai, hormat-
menghormati, setia dan memberi bantuan lahur batin yang satun
kepada yang lain. (3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh
dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan
jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agama. (4)
Suami istri wajib memelihara kehormatannya. Jika suami istri melalaikan
kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
pengadilan agama. Hak-hak istri antara lain: a. Mahar (maskawin), b.
nafkah, c. melindungi dan menjaga nama baik istri, d. memenuhi
kebuthan biologis istri, e. Sikap menghormati, menghargai, dan
memperlakukannya dengan baik, sehingga Rumah tangga akan berjalan
dengan baik jika suami dan istri saling menjalankan hak dan
kewajibannya masing-masing. Dan akan terjadi masalah jika hak dan
kewajiban mereka tidak sama-sama terpenuhi.
Dari berbagai hak dan kewajiban antara suami istri salah
satunya ialah hak nafkah yang dimiliki istri dari suami. Dalam Hukum
Islam ketentuan nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya
yakni berupa tempat tinggal, makanan, dan pakaian. Wahbah Zuhaily
menambahkan lauk-pauk, alat kecantikan, peralatan rumah tinggal,
termasuk asisiten rumah tangga.2 Ketentuan ini juga sesui dalam
1
Ardika Lontoh, “Analisis Yuridis Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Dalam Perkawinan
Menurut Hukum Positif Indonesia,” Lex Privatum 3, no. 2 (2015).
2
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani & Darul Fikir,
2011), 97.
Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat (2) dan ayat (4). “Bahwa suami
wajib melindungi istrinya dan memberikan segalan sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan
penghasilannya, suami menanggung: (a) nafkah, kiswah dan tempat
kediaman, biaya istri (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi istri dan anak (c) biaya pendidikan bagi anak”.3
Dalam keterangan tersebut dapat dilihat bahwa nafkah
merupakan hak istri, dan suami wajib memeberikan nafkah kepada
istri yang tidak nusyuz. namun penulis menemukan keadaan di pasar legi
Jombang bahwa pedagang perempun dalam latar belakang pendidikan
dan sosial agamanya rendah, sehingga mereka tidak cakap Hukum
sehingga dalam pemenuhan nafkah perempuan juga andil dalam
mengambil bagian tersebut yakni sebagai pedagang pasar. Kenyataan
ini tidak relevan dengan ketentuan dalam Hukum Islam dimana
kewajiban nafkah dibebankan kepada suami. Dalam hal ini penulis
meneliti dari segi latar belakang pendidikan dan sosial agama
informan, sebab dari latar belakang pendidikan serta sosial agama
informan yang melatar belakangi persepsi para pedgang perempuan
mengenai nafkah dan keputusan mereka menjadi pedagang di pasar
untuk memenuhi nafkah keluarga. Sehingga penulis merasa penelitian
ini perlu untuk di kaji.
Oleh karenanya dalam artikel ini penulis akan menjawab dua
pertanyaan riset. Pertama, Bagaimana Nafkah Perkawinan Pedagang
Perempuan di Pasar Legi Jombang ? Dalam Pertanyaan ini penulis
akan menganalisis mengenai persepsi pedagang perempuan di pasar
legi jombang tentang nafkah serta pelaksanaan nafkah pada keluarga
pedagang perempuan tersebut. Kedua, Bagaimana Perspektif Hukum
Islam tentang Nafkah Perkawinan Pedagang Perempuan di Pasar Legi
Jombang ? Dalam pertanyaan kedua ini, penulis akan berupaya
menganalisis persepsi pedagang perempuan mengenai nafkah dalam
keluarga sesuai dengan tipologi masyarakat pasar dan selanjutnya
dianalisis dengan Hukum Islam.
Dalam upaya untuk menjawab dua pertanyaan di atas, maka
penulis menggunakan landasan hukum islam antara lain Fiqh Klasik,
Ijtihad Ulama’ Madzhab dan juga Fiqh Keindonesiaan (KHI dan
UUP). Dalam pelaksanaannya semisal tidak ditemukan dengan jelas
mengenai hal yang diinginkan, maka penulis akan menggali dari
berbagai sudut.
Pada penalitian terdahulu terdapat tiga pembahasan yang hampir
sama namun dengan beberapa fokus yang berbeda, yakni Desi Lusiana
3
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: CV. Nuansa Aulia,
2017), 26.
dengan judul “ Tinjauan Hukum Islam Tentang Istri Sebagai Pencari
Nafkah Utama Dalam Keluarga (Studi Kasus pada Keluarga TKW di
Desa Karangturi Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap) “. Sippah
Chotban dengan judul “Peran Istri Menafkahi Keluarga Perspektif
Hukum Islam (Studi Kasus di Lamakera Desa Motowutun)”.
Muhammad Amirul Hasbi, Mohd Norhusairi Bin Mat Hussein,
Raihanah Abdullah dengan judul “Istri Wajib Memberikan Nafkah
Kepada Suami: Tradisi Adat Sari Galuh Perspektif Hukum Islam”. Pada
penelitain yang pertama dan yang kedua lebih condong dalam
pembahasan mengeni peran perempuan yang bekerja dalam pandangan
hukum islam, sedangkan pada penelitian yang ketiga berfokus pada
pandangan Hukum Islam mengani adat istriadat tentang kewajiban istri
bekerja. Dari ketiga penelitian sebelumnya, maka penelitian ini memiliki
perbedaan signifikan dimana dalam penelitian ini penulis membaca
tipologi masyarakat pasar yakni pedagang perempuan yang bekerja yang
nantinya akan dianalisis menggunakan Hukum Islam dimana bagaimana
hukum islam menanggapi situasi-situasi yang terdapat pada temuan
lapangan.

Pembahasan
A. KonsepNafkah
Nafkah merupakan pengeluaran kebutuhan hidup dari suami
untuk istri, dalam pemenuhannya kebutuhan tersebut meliputi pangan,
sandang, dan lainnya selama merupakan hal yang baik. Sesuai dalam
firman Allah dalam Surah al-Baqarah (2) ayat 233 :

ِ
ِ ‫ود لَهۥ ِرْزُقه َّن وكِسوُته َّن بِٱلْمعر‬
‫وف‬ُ ْ َ ُ َ ْ َ ُ ُ ُ‫َو َعلَى ٱلْ َم ْول‬
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma’ruf”.4
Ayat tersebut menerangkan bahwa kewajiban nafkah terdapat
pada suami, dan dalam pemenuhannya harus menggunakan cara yang
ma’ruf. Nafkah suami pada istri wajib semenjak akad perkawinan
dilaksanakan. Kemudian Sayyid Sabiq dalam kitabnya menerangkan
bahwa nafkah merupakan penyediaan kebutuhan istri dari suami
berupa pakaian, tempat tinggal, pembantu dan obat-obatan. Meskipun

4
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemah (Depok: Al Huda,
2011), 38.
istri merupakan orang kaya, namun kewajiban nafkah mutlak dikeluarkan
oleh suami.5
Adapun sebab-sebab wajibnya nafkah antara lain : Pertama,
sebab kekerabatan. Dimana para ahli fiqh berpendapat bahwa
hubungan keluarga yang menjadi sebab terjadinya nafkah yakni keluarga
dekat yang butuh pertolongan. Maksudnya ialah keluarga dekat dari
orangtua ke atas, serta para anak kebawah yang tidak mampu untuk
bekerja serta yang tidak memiliki harta. Jika keluarga tersebut mampu
untuk mencari nafkah maka tidak wajib untuk memberikan nafkah.6
Memberikan nafkah pada keluarga dekat merupakan kewajiban bagi
seseorang apabila seseorang tersebut mampu dan keluarga dekatnya
tersebut benar-benar memputuhkan pertolongan dengan sekedar
mencukupi keperluan hidupnya.7
Kedua, sebab kepemilikan. Seseorang wajib memberi nafkah pada
sesuatu yang dimilikinya. Ahli fiqh berpendapat bahwa barang siapa yang
memiliki budak atau memiliki binatang ternak. Maka wajib bagi
seseorang tersebut untuk menafkahi mereka.8 Dalam pemberian
nafkahnya, seseorang tersebut wajib untuk memberi makan budaknya
dengan makanan pokok yang pantas diberikan seperti makanan
penduduk biasanya, serta memberikan pakaian layak baginya. Serta bagi
yang memiliki binatang peliharaan diwajibkan untuk memberinya makan
dan tempat tinggal.
Ketiga, sebab pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu
sebab wajibnya nafkah, karena dengan adanya akad seorang istri
terikat oleh suaminya, dengan mengurus rumah tangga, mengurus anak
dan lainnya. Serta dalam pemenuhannya, nafkah istri berbeda-beda
tergantug dengan kemampuan suami. Maka jumlah pemberian nafkah
baagi suami kaya, suami miskin, suami sederhana berbeda-beda sesuai
dengan keterangan mushannif.9 Pada biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak jika anak tersebut masih kecil dan belum mampu
untuk mencari nafkah, namun jika anak sudah baligh, dewasa dan
sudah mampu untuk mencari harta, maka tidak wajib bagi bapak
untuk memenuhi kebutuhan anak. Namun ketentuan memberi nafkah
tidak gugur apabila jika anak sudah dewasa namun masih dalam

5
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah (Beirut: Daar al-Fikr, 1983), 109.
6
Imron Abu Amar, Terjemahan Fathul Qorib Jilid 2 (Kudus: Menara Kudus, 1983), 96.
7
Syamsul Bahri, “Konsep Nafkah Dalam Hukum Islam,” Kanun Jurnal Ilmu Hukum 17,
no. 2 (2015): 385.
8
Amar, Terjemahan Fathul Qorib Jilid 2, 96.
9
Ibid,. 97.
keadaan mencari ilmu, hingga sulit baginya untuk bekerja memenuhi
kebutuhannya.

B. Dasar Hukum
Allah berfirman dalam surah at-thalaq ayat (7) :
‫ِ مِم‬ ِ ِ ِِ ٍ ِِ
ُ ِّ‫ليُنف ْق ذُو َس َعة ِّمن َس َعتهۦ ۖ َوَمن قُد َر َعلَْي ه ِرْزقُهُۥ َف ْليُنف ْق َّآ ءَاتَىٰ هُ ٱللَّهُ ۚ اَل يُ َكل‬
‫ف ٱللَّهُ َن ْف ًس ا‬
‫ِإاَّل َمآ ءَاتَٰى َها ۚ َسيَ ْج َع ُل ٱللَّهُ َب ْع َد عُ ْس ٍر يُ ْسًرا‬
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Q.S
At-thalaq : 7)

Maksud dari ayat di atas yakni suami hendaklah memberikan


nafkahnya pada istri dan anaknya yang masih kecil sesuai dengan
kemampuannya. Nafkah yang dikeluarkan harus sesuai dengan kondisi
pemberi nafkah dan yang diberi nafkah.10 Selain dalam firman Allah
tersebut, terdapat juga sunnah Nabi SAW, Rasulullah SAW Bersabda :

‫ على‬-‫ ام رَأة َأيِب س فيان‬-َ‫ «دخلت هن د بنت عُْتبَ ة‬:‫عن عائش ة رض ي اهلل عنه ا ق الت‬
‫ ال‬،‫يح‬ ِ َّ ،‫ يا رسول اهلل‬:‫رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم فقالت‬
ٌ ‫إن َأبَا ُس ْفيَان َر ُج ٌل َش ح‬
‫ َف َه ْل َعلَ َّي‬،‫ت ِم ْن َمالِ ِه بِغَرْيِ ِع ْل ِم ِه‬ ِ
َ ‫ إالَّ ما‬،َّ ‫يُ ْعطيين من النفقة ما يكفيين ويكفي بَيِن‬
ُ ‫َأخ ْذ‬
ِ ‫ك ويك‬ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ٍ َ‫ك ِم ْن ُجن‬ ِ
‫ْفي‬ َ َ ‫ ُخ ذي م ْن َمال ه ب الْ َم ْع ُروف َم ا يَكْفي‬:‫اح؟ َف َق َال رس ول اهلل‬ َ ‫يِف ذَل‬
(‫ متفق عليه‬-‫يك) صحيح‬ ِ ِ‫بن‬
َ
Dari Aisyah R.A, ia berkata, Hindun binti Utbah-istri Abu
Sufyan-pernah masuk menemui Rasulullah SAW, lalu ia
berkata,’ Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan itu
laki-laki yang kikir, ia tidak memeberiku nafkah yang cukup
10
Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi Jilid 18, ed. Mukhlis B. Mukti (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), 680.
buatku dan anak-anakku, kecuali apabila aku mengambilnya
tanpa sepengetahuannya, apaka saya berdosa?’ Maka Beliau
menjawab,’ Ambillah dari hartanya dengan cara yang ma’ruf
yang cukup buatmu dan anak-anakmu’ “ Hadist Shahih
(Muttafaq ‘alaih).11

Para ulama’ sepaka bahwa hadis tersebut menjelaskan tentang


wajibnya seorang suami menafkahi istrinya dan segala yang menjadi
tanggungannya. Terdapat banyak hadist yang menyatakan bentuk
nafkah ada dua, yakni makanan dan pakaian. Namun ulama meluaskan
wilayah nafkah menjadi segala kebutuhan keluarga, meskipun dalam
hadist tidak disebutkan batasan besaran nafkah namun hadist dari
Hindun bin Utbah bahwa kecukupan menjadi ukuran dari nafkah.
Selanjutnya Al Ma’ruf juga menjadi dasar pemberian nafkah. Husein
Muhammad menyatakan bahwa maksud dari Al Ma’ruf dalam hal ini
yakni suatu kebiasaan masyarakat yang menjadi hal yang patut baik
menurut akal pikiran, ajaran agama serta naluri kemanusiaan.12
Para imam madzhab empat yang diantaranya yakni imam
syafi’i, Imam Hambali, Imam Maliki serta Imam Hanafi sepakat
bahwa seseorang wajib menafkahi orang-orang yang menjadi
kewajibannya untuk memberikan nafkah, seperti istri, ayah dan anak
yang masih kecil. Namun dalam penentuan nafkah untuk istri tedapat
perbedaan pendapat, pengukurannya di tentukan oleh syara’ atau
disesuaikan dengan keadaan suami.13 Imam Hanafi, Maliki dan
Hanbali berpendapat bahwa nafkah diukur menurut keadaan suami-
istri. Yakni wajib Hukumnya bagi suami kaya menafkahi istri yang
kaya sebanyak umumnya nafkah orang kaya, jika suami miskin
menafkahi istri yang miskin maka nafkah yang idikeluarkan
secukupnya saja, jika suami kaya dan istri fakir maka penafkahannya
yakni pertengahan diantara dua nafkah mereka, sedagkan jika suami
miskin dan sistri kaya maka dalam pemeuhan nafkah suami
memberikn sekedarnya saja dan yang lannya menjadi hutng baginya.14

11
Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram (Bandung: Sygma Publishing, 2011), 559.
12
Hairun Hudaya, “Hak Nafkah Istri : Perspektif Hadis Dan Kompilasi Hukum Islam,”
Jurnal Studi Gender dan Anak 1, no. 1 (2013): 30.
13
Syaikh al-Allamah Muhammad bin ’Abdurrahman ad-Damasyqi, Fiqh Empat
Madzhab " Rahmah Al-Ummah Fi Ikhtilaf Al-A’immah " (Bandung: Hasyimi, 2017),
388.
14
Ibid,.
Sedangkan Imam Syafi’I berbeda pendapat bahwa nafkah istri
ditentukan oleh syara’ dan tdak ada pertimbangan ijtihad di dalamnya
menurut keadaan suami. Maka dalam mengeluarkan nafkah Imam
Syafi’I berpendapat bahwa suami wajib mengeluarkan nafkah
sebanyak dua mud dalam sehari. Jika suami dalam keadaan ekonomi
pertengahan maka di turunkan menjadi 1,5 mud sehari. Jika suami
dalam keadaan miskin maka di turunkan lagi menjadi satu mud
sehari.15
Dalam fiqh ndonesia sendiri yakni Kompilasi Hukum Islam
serta Undang Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pengaturan
nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dilihat dalam Pasal 80
Ayat (2) dan ayat (4) yang berbunyi, “ Bahwa Suami Wajib
Melindungi Istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan
penghasilannya suami menanggung a. Nafkah. Kiswah dan tenpat
kediaman bagi istri, b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi istri dan anak, c. Biaya pendidikan anak. “16
Sedangkan pengaturan nafkah dalam Undang Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat kita lihat
dalam pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan, dalam pasal tersebut berkata
bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 17 Dalam
UU Perkawinan dan KHI tidak ditentukan besaran nafkah yang harus
dikeluarkan, hanya mengtakan sesuai dengan kemampuannya.
C. Nafkah Perkawinan Pedagang Perempuan di Pasar Legi
Jombang
Berdasarkan penggalian informasi dari beberapa narasumber,
penulis menemukan fakta bahwa para pedagang perempuan di pasar
legi Jombang memiliki laatar belakang tang berbeda-beda. Bahkan
penulis menemukan fakta bahwa terdapat pedagang pedagang yang
murni membiayai kebutuhan keluarganya, dari mulai kebutuhan
sehari-hari, pedidikan anak-ananya hingga kebutuhan suami.
15
Ibid,.
16
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, 26.
17
Tim Permata Press, Undang-Undang Perkawinan & Administrasi Kependudukan,
Kewarganegaraan (Surbaya: Permata Press, 2016), 8.
Selanjutnya dari penemuan data penulis menemukan bahwa latar
belakang pedidikan serta wilayah pedagang berrbeda-beda. Penulis
menemukan terdapat pedagang perempuan dengan pendidikan Strata 1
bidang psikologi dan pendidikan paling rendah ialah SD atau sekolah
dasar, bahkan terdapat pedagang perempuan yang tidak bersekolah.
Dari latar belakang pendidikan yang berneda. Maka berbeda
pula pandangan pedagang perempuan ini terhadap nafkah, namun
secara garis besar para narasumber mengathui dengan jelas bahwa
nafkah merupakan kewajiban dari pihak suami, namun pandangan lain
mengenai konsepsi nafkah secara garis lurus kemudian penulis
menemukan titik perbedaan pandangan tentag konsepsi nafkah, ambil
sample dari pedagang dengan latar belakang pendidikan tinggi yakni
Strata satu, dimana pedagang dengan pendidikan tersebut mengatakan
bahwa nafkah merupakan kewajiban suami dan jika istri bekerja itu
tergantung dengan istri, mau di arahkan kemana penghasilan istri
tersebut. Dan istri tidak berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan
suami, namun istri berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan anak-
ananya ketika penghasilan suami kurang.
Pedagang dengan latar belakang pendidikan SMA sederajat
mengatakan konsepsi nafkah sebagai syarat suami mutlak dengan
kondisi apapun, dan istri akan membantu jika penghasilan suami tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan anak-anaknya.
Dalam hal membantu suami itu pun dikembalikan kepada istri, jika
penghasilannya cukup istri tidak berkewajiban untuk ikut membantu
nafkah suami karena tempat istri adalah mengurus rumah tangga.
Pedagang dengan latar belakang lebih rending yakni SMP
menyatakan bahwa konsep nafkah merupkan kewajiban suami, namun
tiak sampai mematenkan kewajiban tersebut secara mutlak dikarenakan
dalam kondisi tertentu kewajiban nafkah bisa ada pada istri, oleh
karenanya menurut beliau istri pun harus mengerti dengn kondisi
suami dengan tidak memksaan keadaan suami untuk bekerja jika sudah
tidak mampu untuk bekerja. Namun beliau menuturkan bahwa
kewajiban istri dalam mengurus rumah tangga menjadi kewajiabn
suami jika istri bekerja.
Berbeda dengan pendidikan di atasnya, bagi pedagang dengan
latar belakang pendidika SD/MI sederajat menyatakan bahwa nafkah
merupakan kewajiban antara suami dan istri berkewajiban untuk
membantu untuk memenuhinya, dikarenakan menurut narasumber
nafkah untuk anak-anaknya merupakan kewajiban antara dua belah
pihak dan bukan untuk satu pihak saja, namun untuk kebutuhan satu
sama lain merupakan tanggungan masing-masing pihak dimana
penghasilan dari istri di peruntukkan untuk kebutuhan anak-anaknya.
Selanjutnya pemikiran berbeda terhadap pedagang yang tidak
megenyam bangku pendidikan dimana meurut beliau nakah
merupakan kewajiban antara suami dan istri, karena menrut beliau
nafkah merupakan sebuah rezeki dari Allah, dan dalam memberi
rezeki Allah memberikannya dari berbagai tempat dan bukan hanya
dari satu tempat, maksudnya ialah rezeki bisa dating dari suami
maupun dari istri.
Selanjutanya pedagang pasar terdiri dari masyarakat yang
berangkat dari daerah yang berbedaa-beda, masyarakat dengan
domisili area pasar memfokuskan kehiduapannya untuk berdagang
dikarenakan wilayah nya yang berpotensi menghasilan, sehingga
dalam urusan agama dirasa kurang memahami. Dari sebagaian
pedagang perempuan pasar legi yang berdomisili di wilayah jombang
kota memiliki pengetahuan agama yang rendah dimana di daerah
tersebut mayoritas pendudukanya adalah beragama kristiani sehingga
kegiatan agama sangat minim. Berbeda lagi dengan pedagang yang
berasal dari pinggiran kota Jombang, dalam hal ini terdapat daerah
yang penganut agama yang taat dan ada pula daerah pinggran kota
Jombang yang masyarakatnya sangat produktif sehingga kegiatan
agama sangat terbatas, Pengetahuan tentang nafkah pun berbeda,
pinggiran kota bagian barat pengetahuan agamanya sangat baik,
Sedangkan pada daerah pingguran Jombang yang lain pemahaman
akan agamanya sangat kurang disebabkan oleh keadaan masyarakat
yang produktif sehingga kegiatan keagamaan tidak berjalan dengan
baik di daerah tersebut.
D. Perspektif Hukum Islam Mengenai Nafkah Perkawinan
Pedagang Perempuan di pasar Legi jombang
Para fuqaha pun berpendapat bahwa pemberian nafkah
dilakukan dengan cara yang baik dengan jumlah yang wajar, artinya
para ahli fiqh mengartikan nafkah dengan luas bahwa nafkah tidak
ditentukan oleh jumlah minimal dan maksimal, semua itu sesuai
dengan kebutuhan individu dan kemampuan masing-masing.18 Namun
mengenai kadar kebutuhan tidak ada yang dapat memutuskan dengan
tepat, sebab dalam hal kecukupan istri akan timbul perselisihan yang
lain. Hal ini dikarenakan pihak istri akan berkata bahwa penghasilan dari
suami tidak cukup, namun sebaliknya suami akan berargumen bahwa
sang istri yang meminta penghasilan lebih dari semestinya.
18
Abu Malik Kemal ibn Sayyid Salim, Fiqh as Sunnah Li An-Nisa’ (Jakarta: Qisthi Press,
2013), 559.
Maka dari itu ulama’ Syafi’iyyah memberikan batasan nafkah
sebanyak dua mud bagi orang kaya, satu setengah mud bagi orang
dengan penghaslan sedang, dan satu mud bagi orang dengan
penghasilan yang sedikit. Namun ulama’ Hanafi, Maliki serta Hambali
ukran kadar nafkah diatur sesuai dengan kemampuan antara suami-
istri.19 Yakni suami kaya wajib memberikan nafkah bagi istri yang
kaya sesuai dengan nafkah yang orang kaya berikan, suami yang
miskin wajib memberikan nafkah yang secukupnya bagi istri yang
miskin, suami kaya wajib membrikan istri miskin nafkah pertengahan
antara keadaan keduanya serta wajib Hukumnya bagi suami miskin
memberikan nafkah bagi istri kaya sesuai dengan kebutuhannya,
sedangkan yang lain adalah hutang baginya.20
Alasan yang mejadikan ulama’ berpendapat bahwa nafkah
merupakan kewajban suami dan hak dari istri dikarenakan ruang
lingkup istri yang sangat terbatas untuk mencari penghasilan, selain
itu str memiliki kewajiban lain untuk mengurus rumah tangga dan
juga mengurus kebutuhan suami. Sayid Sabiq menyebutkan terspat
lima syarat diwajibkannya suami menafkahi istrinya, yakni dengan
adanya perkawinan yang sah, istri menyerahkan dirnya pada suami,
Suami memumgkinkan berjima’ dengan istrinya, istri mengikuti
suami dimanapun suami tinggal, antara suami istri di mungkinkan
untuk berjima’. 21 Sehingga dalam pembahsan Sayid Sabiq dapat
ditarik kesimpulan bahwa hal nafkah juga terkait dengan hubugan
badan antara suami istri (jima’), sehingga jika istri tidak mau
melakukan jima’ dan nusyuz maka gugur kewajiban nafkah bagi
suami untuk istrinya, sebalikya jika suami tidak memberikan nafkah
untuk istrinya maka tidak ada jima’ bagi suaminya. Ketentuan ini
dirasa cukup adil bagi keduanya.
Berdasarkan dari pemaparan diatas, sebagaimana dengan
tipologi pedagang yang penulis teliti. Dimana setiap kondisi pedagang
perempuan berbeda, dan bagamana Hukum Islam menanggapinya ?
Pertama, dari penelitian penulis, terdapat tipologi pedagang yang
berdagang dengan memenuhi kebutuhan rumah tangga di saat
suaminya sedang tidak bekerja. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan
pemaparan di atas dimana kewajiban dalam mencari nafkah ialah
milik siami. Namun Rasulullah dalam hadistnya bersabda bahwa
nafkah dari istri menupakan infaq baginya dan bernilai pahala.
Sealanjutnya tida dwajibkan bagi istri menyerahkan dirimya terhadap
19
ad-Damasyqi, Fiqh Empat Madzhab " Rahmah Al-Ummah Fi Ikhtilaf Al-A’immah ", 388.
20
Ibid.
21
Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, 112.
suaminya untuk dijima’, sebab suami tidak dalam keadaan mampu
untuk membrikan nafkah.22 Sehingga dalam hal ini, Rasulullah
menatakan bahwa jika suami tdak mampu bekerja dan jalan nafkah
terdapat pada pihak istri, maka bernilai infaq bagi istri tersebut selama
ia memenuhi kebutuhan rumah tangga dan anak- anaknya, dan tidak
bernilai hutang jika istri melakukannya dengan ikhlas dan ridho.23
Kedua, berdaarkan dari penelitian penulis selanjutnya, terdapat
istri yang ikut bekerja karena kurangnya nafkah suami kepadanya.
Dalam hal ini pihak suami masih melaksanakan kewajibannya dala
memeuhi nafkah untuk keluraganyan, istri hanya membantu sebagai
penunjang kebutuhan dalam rumah tangga. Dalam pelaksanaanya istri
bekerja dengan tidak meninggalkan kewajiban pula sebagai istri dan
ibu bagi anak-anaknya. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan diatas
bahwa dalam menunaikan kewajiban suami atas nafkah tidak ada
batasan kadar nafkah,24dikarenakan kebutuhan dan penghasilan dari
masing-masing indivisu yang berbeda beda.
Ketiga, kondisi ketiga dimana istri bekerja dikarenakan
adanya waktu luang dalam menjalankan kewajibannya sebagai ibu
rumah tangga. Dalam hal pemenuhan nafkah suami sudah memenuhi
nafkah, namun adakala istri merasa bosan di rumah setelah selesai
beraktifitas ehingga memutuskan untuk berdagang. Dalam hal ini
dibolehkan dengan syaat istri menerima izin dari suami untuk
berdagang dan juga tidak melalikan tugasnya sebagai seorang istri
dan ibu bagi anak-anaknya.25
Dalam fiqih keindonesiann yakni kompilasi Hukum Islam,
ketentuan nafkah telah diatur dalam pasal 80 ayat 4 yang menyatakan
bahwa sesuai dengan penghasilannya suami menagnggung (a) nafkah,
kiswah dan tempat kediaman bagi istri (b) biaya rumah tangga, biaya
perawatan dan biaya pengobatan istri dan anak (c) biaya pendidikan
bagi anak. Selanjutnya masih dengan pasal yang sama pada ayat 7
menyatakan bahwa kewajiban nafkah suami gugur jika istri bertindak
nusyuz, gugurnya nafkah suami atas istri juga diperkuat dengan pasal
84 Ayat 2 dimana dalam pasal tersebut menyaakan bahwa selama istr
nusyuz, kewajiban suami kepada istrnya yang berada pasal 80 ayat 4
huruf a dan b tidak berlaku kecuali demi hal kepentinga anak-anak.
Selanjutnya, meskipun kewajiban nafkah terdapat pada suami seperti
22
Ibid., 113.
23
Al Asqalani, Bulughul Maram, 559.
24
ad-Damasyqi, Fiqh Empat Madzhab " Rahmah Al-Ummah Fi Ikhtilaf Al-A’immah ", 388.
25
Rahma Pramudya Nawang Sari and Anton, “Wanita Karier Perspektif Islam,” Jurnal
Pemikiran Syariah dan Hukum 4, no. 1 (2020): 113.
yang dijelaskan pada pasal 80 ayat 4, namun istri pun dapat
membebaskan suaminya akan kewajiban nafkah terhada dirinya yang
telah disebutkan dalam pasal 80 ayat 4, ketentuan ini tercantum dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 6.
Terkat pemisahan hata antara suami dan istri yang dilakukan
sebelum atau sesudah perkaninan sudah diatur dalam KHI, dalam hal
ini meskipun istri memiliki penghasilan sendiri namun kewajiban
nafkah suami tidak gugur dikarenakan adanya akad, dimana selama
akad tidak rusak maka kewajiban nafkah bagi suami tidak dapat gugur.
Dalam ketentuannya KHI menjelaskan dalam pasal 48 ayat 1 yang
menyatakan bahwa apabila dibuat perjnjian perkawinan mengenai
pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjia tersebut
tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga. Dalam hal ini jelas diteragkan meskipun
adanya perjanjian pemisahan harta bersama, namun kewajiban nafkah
bagi suami tetap wajib adanya.
Dalam ketentuan nafkah KHI menyapaikannya menggunakan
bahasa kualitatif dimana tidak menentukan batasan bagi suami
memberikanDengan demikian berdasarkan penelitian yang dilakukan
penulis mengenai persepsi pedagang perempun menganai nafkah
sangat beragam, hal tersebut tidak lepas dari pendidikan serta keadaan
sosial agamanya. Sehingga menciptakan persepsi yang berbeda di
situasi yang bebeda pula. nafkah, sehingga dengan memberikan
bahasa kualitatif tersebut KHI dapat membingkai nafkah bagi
masyarakat Indonesia dimana dalam pemenuhannya setiap kebutuhan
dan penghasilan antar orang lain berbeda-beda. Bagi istri yang
memiliki penghasilan, KHI pun mengatur adanya pemisahan harta
antara suami dan istri dimana ketentuan menganai kewajiban suami
memberikan nafkah tidak dihilangkan. Bilamana perjanjian tersebut
dilaksanakan maka istri memiliki harta yang terpisah dengan suami
namun kehidupannya tetap terjaga dengan adanya nafkah dari suami.
Namun dalam KHI juga menerangkan bahwa nafkah untuk istri akan
gugur bila istri bersikap nusyuz terhadap suaminya.
Rasulullah dalam keterangan seblumnya menerangkan bahwa
nafkah dari istri untuk suaminya bernilai sedekah, dalam KHI juga
menerangkan bahwa istri dapat menggugurkan kewajban suami atas
nafkah. Ketentuan KHI ini kira dapat diterima sebab hakikatnya
kewajiban nafkah merupakan milik suami dan hak dari istri, sehingga
jika istri memiliki enghasilan sendiri ia dapat menggunakannya sesuai
dengan keinginannya dan terpisah dari harta suami.
Sehingga melihat dari temuan data dari penulis, bagi pedagang
perempuan yang bekerja untuk menafkahi keluarganya, maka di nilai
infaq baginya dan bernilau pahala. Selanjutnya dalam KHI sudah
dijelaskan adanya pemisahan harta antara suami dan istri, sehingga
penghasilan dari pedagang perempuan tersebut terpisah dari harta dari
suami, sehingga pedagang perempuan tersebut bebas menggunakan
untuk keperlan apapun tanpa bercampur dengan harta dari suami.

Penutup

Nafkah dalam pandangan pedagang perempuan di pasar legi


Jombang nyatanya tidak haya di keluarkan oleh pihak suami saja,
namun ada beberapa pendapat juga yang mengatakan bahwa
kewajiban nafkah ada pada suami saja, dan istri hanya membantu.
latar belakang pendidikan, sosial dan agama para pedagang
perempuan di pasar menjadi pengaruh besar, sehingga timbullah
perbedaan pendapat tersebut.
Dalam perspektif Hukum Islam bahwa nafkah merupakan
kewajiban dari suami, namun Islam tidak menyebutkan batasan
tertentu dalam pemberian nafkah kecuali Madzhab Syafi’i. sehingga
perumusan Hukum Islam terutama KHI merupakan perumusan
Hukum Islam keindonesiaan yang sudah tepat dengan tidak
menyebutkan batasan nominal tertentu serta tidak menyebutkan
prosentase melalui angka. Namun KHI menetapkan nafkah besarannya
secara kualitatif, sehingga dengan bahwa kualitatif tersebut dapat
membingkai konsepsi nafkah yang terkait di masyarakat, dalam hal ini
masyarakat pasar.

Daftar Pustaka

ad-Damasyqi, Syaikh al-Allamah Muhammad bin ’Abdurrahman. Fiqh


Empat Madzhab " Rahmah Al-Ummah Fi Ikhtilaf Al-A’immah
".Bandung: Hasyimi, 2017.
Amar, Imron Abu. Terjemahan Fathul Qorib Jilid 2. Kudus: Menara Kudus,
1983.
Al Asqalani, Ibnu Hajar. Bulughul Maram. Bandung: Sygma Publishing, 2011.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani &
Darul Fikir, 2011.
Bahri, Syamsul. “Konsep Nafkah Dalam Hukum Islam.” Kanun Jurnal
Ilmu Hukum 17, no. 2 (2015): 381–399.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Dan Terjemah.
Depok: Al Huda, 2011.
Hudaya, Hairun. “Hak Nafkah Istri : Perspektif Hadis Dan Kompilasi
Hukum Islam.” Jurnal Studi Gender dan Anak 1, no. 1 (2013).
Lontoh, Ardika. “Analisis Yuridis Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Dalam
Perkawinan Menurut Hukum Positif Indonesia.” Lex Privatum 3,
no. 2 (2015).
Qurthubi, Imam Al. Tafsir Al Qurthubi Jilid 18. Edited by Mukhlis B.
Mukti. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnah. Beirut: Daar al-Fikr, 1983.
Salim, Abu Malik Kemal ibn Sayyid. Fiqh as Sunnah Li An-Nisa’. Jakarta:
Qisthi Press, 2013.
Sari, Rahma Pramudya Nawang, and Anton. “Wanita Karier Perspektif
Islam.” Jurnal Pemikiran Syariah dan Hukum 4, no. 1 (2020).
Tim Permata Press. Undang-Undang Perkawinan & Administrasi
Kependudukan, Kewarganegaraan. Surbaya: Permata Press, 2016.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: CV.
Nuansa Aulia, 2017.

You might also like