You are on page 1of 19

URGENSI PENGADILAN AGAMA SEBAGAI PENYELESAI

SENGKETA EKONOMI SYARIAH

Sufiarina1

Abstract
his study examines the urgency/virtues as a religious court dispute settlement
Islamic economics. Article 49 of Law No. 3 of 2006 provides authority to the
expansion of the religious court to examine and decide disputes of Islamic
economics. The expansion of the authority of the legal consequences District
Court no longer authorized to receive, examine and decide disputes of Islamic
economics. Diversion dispute settlement and expansion of the authority of
Islamic economics is interesting to study the religious court of the urgency.
Study of through legislation approach as normative legal research equipped
with a study of the principles of Islamic economic law, the legal principle of
dispute resolution, legal systematic, vertical and horizontal synchronization
level, comparative law and legal history. The Supreme Court has contributed
to foster religious court as Islamic economics of dispute settlement. Equipped
existence of material and formal law specifically applies only in religious
courts, officials and functional recruitment requires Islamic religious
background. It is religion that was supposed to be the main court to decide
disputes of Islamic economics. Urgency Religious Court as dispute settlement,
especially Islamic economics to better meet the principles of sharia.

Keywords: urgency, religious courts, disputes, Islamic economics

Abstrak
Penelitian ini mengkaji urgensi/keutamaan Pengadilan Agama sebagai
penyelesai sengketa ekonomi syariah. Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 memberikan perluasan kewenangan pada Pengadilan Agama untuk
memeriksa dan memutus sengketa ekonomi syariah. Perluasan kewenangan
membawa konsekuensi hukum Pengadilan Negeri tidak lagi berwenang untuk
menerima, memeriksa dan memutus sengketa ekonomi syariah. Pengalihan
penyelesaian sengketa ekonomi syariah dan perluasan kewenangan pengadilan
agama menarik untuk dikaji dari sisi urgensinya. Kajian melalui pendekatan
perundang-undangan sebagai penelitian hukum normatif yang dilengkapi
dengan penelitian terhadap asas-asas hukum ekonomi syariah, asas hukum
penyelesaian sengketa, sistematik hukum, taraf singkronisasi vertikal dan
horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Mahkamah Agung telah
ikut berkontribusi membina Pengadilan Agama sebagai penyelesai sengketa
ekonomi syariah. Dilengkapi keberadaan hukum materil dan formil yang

1
Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa, alamat
korespondensi: sufiarina_01@yahoo.com.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina 227

khusus hanya berlaku di lingkungan peradilan agama, perekrutan pejabat dan


fungsional yang mensyaratkan latar belakang agama Islam. Memang
seharusnya Pengadilan Agamalah yang lebih utama untuk memutus sengketa
ekonomi syariah. Urgensi Pengadilan Agama sebagai penyelesai sengketa
ekonomi syariah terutama untuk lebih memenuhi prinsip syariahnya.

Kata kunci: urgensi, pengadilan agama, sengketa, ekonomi syariah

I. Pendahuluan

Saat ini ekonomi syariah menarik perhatian banyak kalangan, baik


akademisi maupun para praktisi.2 Ekonomi syariah memiliki perbedaan dalam
mengatasi persoalan ekonomi yang didasarkan pada ajaran Syariat Islam3.
Ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw, bersifat universal, tidak
terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Ajaran Islam juga berlaku untuk
seluruh manusia, dimana pun mereka berada.4 Keuniversalan ajaran Islam
membawa konsekuensi komprehensif kandungan ajarannya dalam menjawab
permasalahan yang muncul dari waktu ke waktu. Setiap perbuatan dan aktifitas
umat manusia, baik yang sudah, sedang, maupun yang akan terjadi telah ter-
cover dalam kandungan ajaran Islam.5 Islam merupakan rahmatan lil alamin,
rahmat bagi semua, bukan hanya sekedar retorika politik yang tidak terwujud
dalam kenyataaannya. Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Asy
Syakhsiyah al Islamiyah jilid III, menjelaskan seluruh syariat Islam yang
datang merupakan rahmat bagi hamba-Nya (Allah Swt). Lebih lanjut beliau
menjelaskan rahmat tersebut merupakan natiijah (hasil) dari penerapan syariah
Islam.6 Masuknya lembaga-lembaga dan negara non-muslim ke dalam sektor
industri keuangan syariah sebenarnya menjustifikasi konsep universalitas
ajaran Islam yang rahmatan lil‟alamin dan shalih likulli zaman wa makan,
yaitu bahwa Islam adalah ajaran yang sesuai untuk seluruh umat manusia di
berbagai penjuru bumi, baik dulu, sekarang maupun akan datang.7
Bagi kegiatan ekonomi syariah dalam menjalankan aktifitasnya tidak
hanya kegiatan usaha, atau produknya saja yang harus sesuai dengan prinsip
syariah, namun juga meliputi hubungan hukum yang tercipta dan akibat hukum

2
Renny Supriyatni Bachro, “Sistem Bagi Hasil dengan Mekanisme Pembagian Untung
dan Rugi”, (Bandung: Unpad Press, 2010), hal. 12.
3
Mochtar Naim, “Kompendium Himpunan Ayat-ayat Al-Qur‟an yang berkaitan dengan
Hukum”, (Jakarta: Hasanah, 2001), hal. 327-344.
4
Perhatikan antara lain, QS. As-Saba‟ (34:28) dan al-Anbiya‟ (21:107).
5
Ma‟ruf Amin, “Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam”, (Jakarta: Elsas, 2011), hal. 3.
6
Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Asy Syakhsiyah al Islamiyah jilid III, hlm
365
7
Inilah.com. diakses tanggal 4 November 2012
228 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014

yang ditimbulkannya. Termasuk jika terjadi sengketa antara pelaku ekonomi


syariah, semua harus didasarkan dan diselesaikan sesuai dengan prinsip
syariah.8
Dengan pertumbuhan dan perkembangan kegiatan ekonomi syariah,
maka peluang terjadinya sengketa, konflik (dispute) antara para pelaku
ekonomi syariah juga semakin besar. Suatu sengketa bermula dari perselisihan
paham yang kemudian berlarut-larut tidak terselesaikan antara para subjek
hukum yang sebelumnya telah mengadakan hubungan hukum perjanjian,
sehingga pelaksanaan hak dan kewajiban yang ditimbulkannya berjalan tidak
harmonis.9 Terganggunya hak salah satu pihak merupakan kepentingan hukum.
Semakin banyak dan luas kegiatan bisnis maka frekuensi terjadinya
sengketa juga semakin tinggi, dapat diartikan makin banyak pula sengketa
yang harus diselesaikan. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut
pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Penyelesaian sengketa merupakan
cara, prosedur ataupun mekanisme yang ditempuh oleh para pihak guna
penyelesaian perselisihan atau konflik atas perbedaan kepentingan mereka.
Penyelesaian sengketa ekonomi secara litigasi di pengadilan merupakan
tindakan ultimum remedium melalui lingkungan peradilan yang berwenang.
Ultimum remedium berupa tindakan terakhir yang dapat ditempuh apabila tidak
diperoleh upaya penyelesaian secara kekeluargaan. Saat ini di Indonesia
lingkungan peradilan yang mempunyai kewenangan dalam hal penyelesaian
sengketa ekonomi yaitu lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan
agama. Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi
berdasarkan Undang-Undang Peradilan Agama. Pengadilan Negeri berwenang
menyelesaikan sengketa perdata pada umumnya, berdasarkan Undang-Undang
Peradilan Umum.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan disebut penyelesaian secara
litigasi yang dimulai dengan gugatan dan diatur dalam lapangan hukum acara
perdata (burgerlijk procesrecht, civil law of procedure). Dalam rangka
penegakkan hukum perdata materil, fungsi hukum acara perdata sangat
menentukan. Hukum perdata materil tidak dapat dipaksakan berlakunya tanpa
adanya dukungan hukum acara perdata. Melalui hukum acara perdata ini
diharapkan para pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang
telah dirugikan oleh pihak lain melalui pengadilan. Pengadilan sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah

8
Cik Basir, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan
Mahkamah Syariah”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hal. 5, senada dengan
Muhammad Syafi‟i Antonio, sebagaimana telah digariskan baik BMI maupun BPRS harus
menjalankan kegiatannya berdasarkan syariah. Dengan demikian, menurut hukum hubungan
yang terjadi antara BMI dan BPRS pada satu pihak dan para nasabahnya masing-masing, atau
pihak-pihak lain yang menggunakan jasa-jasa bank tersebut, harus didasarkan pada syariah
Islam, lihat Muhammad Syafi‟i Antonio, “Bank Syariah dari Teori ke Praktek”, Cetakan
Keduabelas, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hal. 213.
9
Suyud Margono, “ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum”,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hal. 12.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina 229

Mahkamah Agung yang membawahi empat lingkungan peradilan yaitu,


lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara.
Berkaitan dengan ekonomi syariah, penyelesaian sengketa melalui
pengadilan (litigasi) telah menjadi kewenangan pengadilan agama berdasarkan
Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
(selanjutnya disebut Undang-Undang Peradilan Agama). Penetapan Pengadilan
Agama sebagai penyelesai sengketa ekonomi syariah berdasarkan Pasal 49
Undang-Undang Peradilan Agama memberikan perluasan kewenangan kepada
Pengadilan Agama. Dengan perluasan kewenangan Pengadilan Agama sebagai
pemutus sengketa ekonomi syariah membawa konsekuensi hukum bahwa
pengadilan negeri tidak lagi berwenang untuk menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah.
Artikel ini bertujuan mencari dan melakukan kajian mengenai urgensi
Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Pengkajiannya dilakukan dengan pendekatan perundang-undangan (statute
approach),10 sehingga masuk dalam penelitian hukum normatif11. Penelitian
hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan. Pendekatan perundang-
undangan dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, peradilan agama dan ekonomi syariah,
melalui kajian terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun
bahan hukum tersier. Kajian pada bahan hukum sekunder berupa penelitian
terhadap asas-asas hukum ekonomi syariah, asas-asas hukum penyelesaian
sengketa, penelitian sistematik hukum, penelitian terhadap taraf singkronisasi
vertikal dan horizontal, melalui perbandingan hukum dan sejarah hukum.
Pengertian urgensi sebagai kata benda menurut Kamus Bahasa Indonesia
yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
mempunyai makna sebagai suatu keharusan yang mendesak, hal yang sangat
penting, pentingnya sesuatu.12 Kata urgensi ini bersinonim dengan keunggulan,
juga bersinonim dengan keutamaan. Keunggulan sebagai kata benda yang
berasal dari kata dasar unggul, mempunyai makna sebagai keadaan (lebih)
unggul; keutamaan; kepandaian (kecakapan, kebaikan, kekuatan) yang lebih
dari yang lain.13 Keutamaan merupakan kata benda yang mempunyai arti
sebagai keunggulan, keistimewaan, hal yg penting.14 Dalam artikel ini penulis

10
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2007), hal. 92.
11
Ronnyi Hanitijo Soemitro, “Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri”, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1990), hal. 11.
12
Kamus Bahasa Indonesia, Diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, hal. 1789.
13
Ibid., hal. 1800.
14
Ibid., hal. 1812.
230 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014

lebih cendrung memaknai kata urgensi dengan menyepadankannya sebagai


keutamaan.

II. Pembahasan

1. Ekonomi Syariah

a. Sistem ekonomi syariah

Sistem ekonomi syariah memiliki tiga karakterisitik yang


merupakan pembeda utama dengan sistem ekonomi lainnya, yaitu:
Pertama, ekonomi syariah terinspirasi dan petunjuknya bersumber
kepada Al-Quran dan Sunnah, Kedua: Ekonomi syariah memiliki
perspektif dan pandangan ekonomi berdasarkan pertimbangan
peradaban Islam sebagai sumber, dan ketiga; Ekonomi syariah
bertujuan untuk menemukan dan menghidupkan kembali nilai, dan
etika ekomomi muslim seperti diterapkan pada periode awal
keislaman.
Dengan karakteristik tersebut, ekonomi syariah memiliki
perbedaan fundamental dengan sistem ekonomi lainnnya. Perbedaan
tersebut terutama sekali menyangkut landasan filosofi dan asumsi-
asumsi dasar tentang manusia. Adiwarman Karim mengemukakan
ada empat landasan filosofis sistem ekonomi syariah yang menjadi
pembeda utama dengan sistem ekonomi konvensional, yaitu:15
Pertama: Tauhid, dalam sistem ekonomi syariah tauhid
merupakan landasan fundamental, dengan landasan ketauhidan ini
segala sesuatu yang ada merupakan ciptaan Allah swt dan hanya
Allah pula yang mengatur segala sesuatunya terhadap ciptaan-Nya
tersebut, termasuk mekanisme hubungan pengaturan rezeki terhadap
hamba-hamba-Nya, seperti pemilikannya, cara perolehannya dan
pembelanjaannnya (tauhid rububiyyah). Untuk itu para pelaku
ekonomi (manusia) harus mentaati segala kaidah yang telah
ditetapkan oleh Allah secara kaffah, termasuk dalam bidang aktivitas
perekonomian. Ketaatan tersebut bukan hanya dalam kehidupan
sosial belaka, tetapi meliputi hal-hal yang bersifat etik dan moral
(tauhid uluhiyyah).
Kedua: Keadilan dan keseimbangan; Sistem ekonomi syariah
memandang keadilan dan keseimbangan merupakan sesuatu hal yang
mutlak untuk diamalkan olek pelaku ekonomi. Perlunya hal ini
berulangkali ditegaskan dalam Al-Quran. Keadilan dan
keseimbangan merupakan syarat mutlak untuk tercapainya
kesejahteraan masyarakat. Keadilan dan keseimbangan harus

15
Adiwarman Karim, “Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan”, (Jakarta:
Rajagrafindo, 2004), tanpa halaman.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina 231

teraplikasi sedemikian rupa antara anggota masyarakat yang


melakukan hubungan ekonomi. Artinya keadilan dan keseimbangan
tersebut bukan hanya pada tataran teoritis tetapi juga dalam tataran
teknis, misalnya dua orang melakukan hubungan ekonomi
(contohnya penjual-pembeli, pengusaha-pekerja) berada pada tempat
yang sejajar dan berkeadilan. Allah menegaskan bahwa Ia sangat
mencintai orang-orang yang berlaku adil (QS, 60: 8).
Ketiga: Kebebasan; dalam sistem ekonomi syariah, kebebasan
merupakan hal pokok. Kebebasan dimaksudkan bahwa manusia
bebas untuk melakukan aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada
larangan dari Allah swt. Pelaku ekonomi dalam sistem ekonomi
syariah diberikan keleluasaan untuk berkreatifitas dan berinovasi
dalam mengembangkan kegiatan ekonomi.
Keempat: Pertanggungjawaban; dalam sistem ekonomi syariah
manusia sebagai khalifah pemegang amanah Allah di muka bumi.
Dalam melakukan aktivitas (termasuk aktivitas ekonomi) diberikan
keleluasaan untuk memilih apa yang terbaik untuk dirinya. Sebagai
hamba Allah akan dimintakan pertanggungjawaban atas segala yang
telah dilakukan.
Dengan empat landasan filosofis, menjadikan sistem ekonomi
syariah memiliki keistimewaan dibanding sistem ekonomi
konvensional. Sistem ekonomi syariah tidak memandang manusia
sebagai makhluk ekonomi yang mendewakan materi, akan tetapi
memandang manusia memiliki fitrah sebagai makhluk yang memiliki
kasih sayang. Dengan adanya rasa kasih sayang akan melahirkan
perbuatan tolong menolong antar sesama (taâwun dan takaful).
Manusia memiliki sifat dasar senang memberi bantuan pada orang
lain. Allah mengemukakan, orang yang berkasih sayang digolongkan
kepada golongan kanan (QS, 90: 18).

b. Transaksi yang dilarang dalam ekonomi syariah

Beberapa faktor yang menyebabkan terlarangnya sebuah


transaksi secara syariah, yaitu transaksi yang diharamkan, baik
karena haram zatnya maupun selain zatnya, dan transaksi yang tidak
sah atau tidak lengkap akadnya. Adiwarman Karim menjelaskannya
sebagai berikut.16
(1). Haram zatnya (haram li-dzatihi)
Yaitu transaksi yang dilarang karena objek yang ditransaksikan
(barang dan/atau jasa) merupakan hal yang terlarang dari sudut
pandang Islam, misalnya transaksi berkaitan dengan minuman
keras, bangkai, daging babi dan sebagainya.
(2). Haram selain zatnya (haram li ghairihi)

16
Ibid., hal. 27.
232 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014

Yaitu transaksi yang melanggar prinsip “an taradin mingkum”,


artinya adalah prinsip-prinsip kerelaan antara kedua belah pihak.
Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip
kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka
harus mempunyai informasi yang sama (complete information)
sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi (ditipu). Dalam
bahasa fiqih hal ini disebut tadlis (penipuan). Tadlis dapat terjadi
dalam 4 (empat) hal yaitu, kuantitas, kualitas, harga dan waktu
penyerahan. Suatu transaksi juga dilarang apabila melanggar
prinsip la tazlimuna wa la tuzhlamun, yaitu prinsip jangan
menzalimi dan jangan dizalimi. Praktik-praktik yang melanggar
prinsip la tazlimuna wa tuzlamun adalah; tagrir/gharar, ihtikar,
bai najasy, riba, maysir dan riswah.
(3). Tidak sah (lengkap) akadnya
Suatu transaksi yang tidak masuk dalam kategori haram li dzatihi
ataupun haram li ghairihi, belum tentu serta merta menjadi halal.
Masih ada kemungkinan transaksi tersebut menjadi haram bila
aqad transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap. Suatu transaksi
dapat dikatakan tidak sah dan/atau tidak lengkap aqadnya, bila
terjadi salah satu (atau lebih) faktor-faktor berikut; rukun dan
syarat tidak terpenuhi, terjadi ta‟alluq, terjadi two in one”, yaitu
suatu transaksi yang diwadahi dalam dua akad sekaligus,
sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana
yang harus digunakan atau berlaku. Two in one terjadi bila ketiga
faktor yang ada, yaitu objek sama, pelaku sama dan jangka waktu
yang sama terpenuhi secara kumulatif. Contohnya; lease and
purchase (sewa beli), sell and lease pada leasing”.

Dengan demikian sistem ekonomi syariah menghendaki


terjadinya transaksi-transaksi yang bebas dari unsur riba (usury dan
interest), gharar (uncertainty) dan maysir (spekulatif/judi), ryswah
(suap-menyuap) atau kebatilan yang sering disebut al-magrib.

c. Penerapan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Ekonomi

Adanya keyakinan di kalangan umat Islam yang tidak lagi


menghendaki pembungaan uang sebagai riba, yang telah diharamkan
melalui fatwa MUI sejak tanggal 16 Desember 2003. Sejalan dengan
keyakinan tersebut maka bagi penyelesaian sengketa ekonomi
syariah seharusnya didasarkankan pula kepada syariah (hukum)
Islam. Hukum dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan
kecepatan perubahan masyarakat (yang mengharamkan pembungaan
uang) agar dapat dipergunakan sebagai sarana untuk memberi arah
kepada perubahan, agar perubahan itu berjalan secara tertib.
Perkembangan ekonomi syariah tentunya membawa implikasi
terhadap aktifitas ekonomi di Indonesia, khususnya kesiapan
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina 233

Indonesia dalam mengantisipasi perkembangan ekonomi syariah,


salah satunya dengan melakukan reformasi hukum ke arah hukum
ekonomi syariah. Hukum asal syariah terhadap ibadah dan muamalah
mempunyai kedudukan yang berbeda. Dalam ibadah kaidah hukum
yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada
ketentuannya berdasarkan Al-Qur‟an dan Al-Hadist, sedangkan
dalam urusan muamalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil
yang melarangnya.17
Berarti ketika suatu transaksi baru muncul dan belum dikenal
sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap
dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil Al-qur‟an dan
hadist melarangnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Dengan
demikian dalam bidang muamalah, semua transaksi dibolehkan
kecuali yang diharamkan.18
Ekonomi syariah berada di bawah payung muamalah, ketentuan
hukum dalam bidang muamalah bersifat kebolehan atau mubah,
sehingga memungkinkan perkembangan kegiatan ekonomi syariah
bertumbuh dan berkembang sepanjang tidak ada dalil dalam al-
Qur‟an ataupun Al-Hadist yang melarangnya. Lahirnya kegiatan
ekonomi yang berdasar prinsip syariah secara faktual diperlukan di
Indonesia, mengingat jumlah penduduk Indonesia mayoritas
beragama Islam.
Keberadaan lembaga keuangan dengan basis syariah pada
gilirannya membuat umat Islam merasa tenang dan tenteram dalam
aktifitas ekonomi atau bisnis. Pelaksanaan prinsip syariah sebagai
sebuah paradigma spiritualis, bertujuan untuk membantu manusia
tidak hanya memperoleh kebaikan di dunia dan yang lebih penting
adalah untuk memperoleh kebaikan di akhirat.
Penerapan prinsip syariah adalah penerapan ketentuan hukum
Islam yang menjadi pedoman dalam kegiatan operasional perusahaan
dan transaksi antara lembaga keuangan atau lembaga bisnis.
Penerapan prinsip syariah dalam kegiatan ekonomi didasarkan pada
fatwa-fatwa yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia dan secara internal dalam setiap institusi Dewan
Pengawas Syariah berperan dalam mengawasi pelaksanaannya.
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merupakan lembaga keuangan
yang melakukan kegiatan usahanya sesuai atau mendasarkan pada
prinsip-prinsip syariah. Keberadaannya bertujuan untuk
menghilangkan unsur-unsur yang dilarang dalam Islam dan
menggantikannya dengan akad-akad Islam atau lazim disebut dengan
Prinsip Syariah. Perlunya penegasan berdasarkan prinsip syariah
merupakan upaya untuk menghilangkan unsur-unsur transaksi dalam

17
Ibid., hal. 29.
18
Ibid., hal. 30.
234 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014

kegiatan ekonomi konvensional yang ditemukan larangannya dalam


Islam, dan menggantikan dengan akad-akad Islam.
Menurut Abdul Ghofur Anshori;19 keberadaan akad-akad Islam
sudah ada sejak awal agama Islam, yakni akad jual beli, akad sewa-
menyewa, akad bagi hasil, akad pinjam-memimjam, dan akad-akad
pelengkap. Akad-akad tradisional Islam dimaksud dapat
diimplementasikan pada operasional LKS dengan mengacu pada
Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI) berikut peraturan perundang-undangan terkait berupa undang-
undang, Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan,
Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia,
Keputusan Ketua Bapepam-LK dan sebagainya. Pengertian prinsip
syariah mengacu pada Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 10
tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun
1992 tentang Perbankan yang menyebutkan bahwa:
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan
hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha,
atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan
syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang
dengan memperoleh keuntungan (murabahah) atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan
pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

2. Perluasan Kewenangan Pengadilan Agama

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berarti
pengadilan agama adalah salah satu lingkungan peradilan di bawah
Mahkamah Agung.
Undang-Undang Peradilan Agama yang menjadi hukum positif saat
ini di Indonesia adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah
diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2006 dan perubahan ke dua
dengan Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

19
Abdul Ghofur Anshori, “Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan
Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal.
13.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina 235

Tingginya dinamisasi dalam undang-undang peradilan agama berkaitan


dengan penyesuaian regulasi undang-undang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Kekuasaan kehakiman telah beberapa kali mengalami
penyempurnaan dan penggantian dari Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999
dan diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dan terakhir saat ini yang menjadi hukum positif
adalah Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Berkaitan dengan Undang-Undang Peradilan Agama, perubahan
utama merupakan perluasan ditemukan dalam Pasal 2 UU. No. 3 Tahun
2006 yang menyatakan; “Peradilan agama adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini”. Ketentuan Pasal 2 menjadi lebih luas bila dibandingkan dengan
ketentuan Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 yang hanya membatasi
mengenai perkara perdata tertentu.20 Berarti berdasarkan Pasal 2 UU No.
3 Tahun 2006 kewenangan peradilan agama tidak lagi hanya sebatas
perkara perdata saja namun kemungkinan dapat saja berkembang seperti
perkara pidana umum berkaitan dengan perkara tertentu yang telah
ditetapkan dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006.
Tugas pokok pengadilan, yang menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.21 Dalam hal
mengadili setiap pengadilan mempunyai kewenangan tertentu atau
kompetensi absolut (attributie van rechtsmacht). Sifat kewenangan
masing-masing lingkungan peradilan bersifat absolut. Apa yang telah
ditentukan menjadi kekuasaan (yurisdiksi) suatu lingkungan peradilan,
menjadi kewenangan “mutlak” baginya untuk memeriksa dan memutus
perkara. Kewenangan mutlak ini disebut kompetensi absolut atau
yurisdiksi absolut.22 Sebaliknya setiap perkara yang tidak termasuk
bidang kewenangannya secara absolut tidak berwenang pula untuk
mengadilinya. Kompetensi absolut antara masing-masing lingkungan
peradilan, diumpamakan sebagai rel yang menertibkan jalur batas
kewenangan (yurisdiksi) mengadili.23

20
Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989; “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini.
21
Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, Edisi Keenam,
(Yogyakarta: Penerbit Liberty 2002), hal. 75.
22
M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 102.
236 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014

Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989; Pengadilan


Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam;
c. Wakaf dan shadaqah.
Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dengan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006 antara lain berupa memberikan perluasan
kewenangan Pengadilan Agama. Pasal 49 menyatakan; “Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf ;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syariah.24
Membandingkan Pasal 49 dalam kedua undang-undang peradilan
agama tersebut nampak bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah
sebagai penambahan kewenangan Pengadilan Agama. Dengan adanya
muatan ekonomi syariah dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 maka
penyelesaian sengketa ekonomi syariah merupakan kompetensi
pengadilan agama dan pengadilan lain tidak lagi berwenang memeriksa
dan memutus sengketa ekonomi syariah.
Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA)
menyatakan; yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang
beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan
sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Menurut penjelasan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Peradilan
Agama, bidang ekonomi syariah antara lain meliputi: a. Bank syariah; b.
Lembaga keuangan mikro syariah; c.Asuransi syariah; d. Reasuransi
syariah; e. Reksa dana syariah; f. Obligasi syariah dan surat berharga
berjangka menengah syariah; g. Sekuritas syariah; h. Pembiayaan

23
Ibid., hal.136.
24
Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina 237

syariah; i. Pegadaian syariah; j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah,


dan Bisnis syariah.
Dari keseluruhan kegiatan ekonomi syariah, perbankan syariah
sudah mendapatkan payung hukum yang relatif lengkap dibandingkan
dengan kegiatan ekonomi syariah lainnya. Perbankan syariah diatur
dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Penjelasan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Perbankan Syariah
menyatakan Penyelesaian sengketa syariah haruslah sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah. Kewenangan Pengadilan Agama sebagai
penyelesai sengketa ekonomi syariah selain telah ditetapkan oleh Pasal
49 Undang-Undang Peradilan Agama, juga diakui oleh Pasal 55 ayat (1)
UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Penyelesaian
sengketa ekonomi syariah harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah,
seperti yang dinyatakan dalam Pasal 55 UU perbankan syariah.25
Sebelum adanya Undang-Undang No. 3 tahun 2006 penyelesaian
sengketa ekonomi syariah secara litigasi merupakan kewenangan dari
lingkungan peradilan umum. Berdasarkan bahasan di atas terlihat adanya
pengalihan kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara
yuridis formal ke Pengadilan Agama.
Dengan perluasan kompetensi tersebut, Pengadilan Agama tidak
hanya menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, dan shadaqah, tetapi juga berwenang menangani
permohonan pengangkatan anak, sengketa zakat, infaq, serta sengketa
hak milik dan keperdataan lainnya antara sesama muslim, serta ekonomi
syariah. Ketentuan pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1) UU No. 3 tahun 2006
tersebut mengandung tiga makna sekaligus.
(1) Pertama Peradilan Agama tidak lagi semata-mata hanya
mengadili perkara-perkara perdata saja, tetapi memungkinkan
untuk memeriksa perkara pidana sejauh diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
(2) Kedua, kompetensi sebagaimana disebut dalam Pasal 49 ayat
(1) lebih luas dengan dimasukkan ekonomi syariah sebagai
salah satu kompetensinya.
(3) Ketiga; Pasal 49 ayat (1) ini juga sekaligus menghapus hak
opsi (pilihan hukum) dalam sengketa waris. Artinya, sengketa
waris yang terjadi di antara orang-orang yang beragama Islam
harus diselesaikan di Pengadilan Agama.
Kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama menyatakan, “bahwa para pihak sebelum
berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang
dipergunakan dalam pembagian warisan” dinyatakan dihapus.

25
Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; “Penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip
syariah”.
238 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014

Pasal 50 Undang-Undang Peradilan Agama juga memberikan


kewenangan pada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan
sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa
yang berhubungan dengan ketentuan Pasal 49, bilamana subjek sengketa
antara orang-orang yang beragama Islam. Sebaliknya apabila subjek yang
mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan
yang menjadi subjek yang bersengketa di Pengadilan Agama, sengketa di
Pengadilan Agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang
diajukan ke pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.
Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang
berkeberatan telah mengajukan bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah
didaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri terhadap objek sengketa yang
sama dengan sengketa di Pengadilan Agama. Dalam hal objek sengketa
lebih dari satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang
diajukan keberatannya, Pengadilan Agama tidak perlu menangguhkan
putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak terkait dimaksud.
Kewenangan Pengadilan Agama sudah mengalami perluasan, semula
hanya sekedar sengketa dalam lapangan hukum keluarga, sekarang telah
meluas kepada ekonomi syariah termasuk memutus sengketa milik
sepanjang sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang
selama ini bukan sebagai kewenangan dari Pengadilan Agama, namun
menjadi kewenangan dari Pengadilan Negeri.
Pasal 49 UUPA, menegaskan secara eksplisit bahwa sengketa
ekonomi syariah telah menjadi kompetensi absolut peradilan agama,
sehingga peradilan lain di luar peradilan agama tidak lagi mempunyai
kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa ekonomi syariah.

3. Upaya Mahkamah Agung dalam Membina Peradilan Agama


sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah

Mahkamah Agung dalam merealisasikan perluasan kewenangan


peradilan agama tersebut telah menetapkan beberapa kebijakan antara
lain:
a. Memperbaiki sarana dan prasarana lembaga peradilan agama baik
hal-hal yang menyangkut fisik gedung maupun hal-hal yang
menyangkut peralatan.
b. Meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia (SDM)
peradilan agama dengan mengadakan kerjasama dengan beberapa
perguruan tinggi untuk mendidik para aparat peradilan agama,
terutama para hakim dalam bidang ekonomi syariah.
c. Membentuk hukum formil dan materil agar menjadi pedoman bagi
aparat peradilan agama dalam memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara ekonomi syariah.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina 239

d. Memenuhi sistem dan prosedur agar perkara yang menyangkut


ekonomi syariah dapat dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya
ringan.26
Dalam rangka peningkatan kinerja peradilan agama, Riawan Amin
mengemukakan Mahkamah Agung telah banyak menginvestasikan
pengembangan sumber daya dengan mengadakan pelatihan serta
mengirimkan sejumlah hakim agama ke luar negeri guna mempelajari
berbagai kasus yang menyangkut ekonomi syariah.27
Hal lainnya yang telah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung sebagai
pembina lingkungan peradilan agama adalah pembentukan hukum
materil Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang diberlakukan
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2008
yang dijadikan pedoman bagi hakim pengadilan agama dalam
memeriksa, mengadili, memutuskan serta menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah.
Dengan berlandaskan pada bahasan di atas mestinya Pengadilan
Agama telah pula semakin kuat, kokoh dan mumpuni dalam kemampuan
secara teknis yudisial bagi penyelesaian sengketa ekonomi syariah.

4. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama

Artikel ini hanya konsisten pada penyelesaian sengketa ekonomi


syariah di Pengadilan Agama. Sengketa adalah timbulnya perbedaan
kepentingan di antara para pihak berupa perbedaan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban perdata, yang diatur dalam hukum perdata
materil,28 baik berupa wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum.
Menurut Soerjono Soekanto; “Sengketa ialah ketidakserasian antara
pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan
karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar”.29 Berarti
sengketa merupakan perbedaan kepentingan para pihak mengenai hak-
hak dan kewajiban yang belum dapat diselesaikan.
Secara umum, penegakan hukum atas sengketa perdata dapat
diselesaikan secara damai di luar pengadilan (nonlitigasi) dengan cara
negosiasi, mediasi dan arbitrase, atau melalui pengadilan (litigasi)

26
Indonesia, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, dalam Sejarah Singkat Penyusunan
KHES”, (tanpa kota dan penerbit), hal x.
27
Riawan Amin, Seminar Nasional Penyelesaian Hukum Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia, diselenggarakan HISSI bertempat di Universitas Islam Jakarta, 18 Juni 2010.
28
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, “Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek”, (Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 2002), hal. 1.
29
Soerjono Soekanto, “Mengenal Antropologi Hukum”, (Bandung: Penerbit Alumni
1979), hal.26.
240 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014

dengan cara mengajukan gugatan.30 Menurut Darwan Prints, gugatan


adalah suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa
pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna
memulihkan kerugian yang diderita oleh penggugat melalui putusan
pengadilan.31 Prof. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa
gugatan itu adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan
memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting).32 Dengan
demikian gugatan merupakan suatu permohonan yang disampaikan
kepada pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap
pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan
tersebut. Dalam hal gugatan kepada pengadilan selalu ada pihak
penggugat atau para penggugat, tergugat atau para tergugat dan turut
tergugat atau para turut tergugat. Cara penyelesaian sengketa lewat
pengadilan tersebut diatur dalam hukum acara perdata.
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat
cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara
bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.33
Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa objek daripada ilmu
hukum acara perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan
melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata
materil dengan perantaraan kekuasaan negara yang terjadi di
pengadilan.34 Abdul Manan menyatakan bahwa hukum acara perdata
merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan
kepada pengadilan, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari
gugatan penggugat, bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan
sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus
perkara yang diajukan oleh penggugat tersebut serta cara bagaimana
melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan
peraturan yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban yang telah diatur
dalam hukum perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya. 35 Melalui

30
Efa Laela Fakhriah, “Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata”, Edisi
Pertama Cetakan ke ,1 (Bandung: Alumni, 2009), hal. 87.
31
Darwan Prinst, “Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata”, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 1.
32
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 29.
33
Wirjono Prodjodikoro, “Hukum Acara Perdata di Indonesia”, (Bandung: Penerbit
Sumur Bandung, 1970), hal. 12.
34
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 4.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina 241

hukum acara perdata ini diharapkan para pihak yang bersengketa dapat
memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan oleh pihak lain melalui
pengadilan.
Mekanisme penyelesaian sengketa ditempuh melalui cara-cara
formal maupun informal. Proses penyelesaian sengketa secara formal
berkembang menjadi proses adjudikasi (adjudicative processes) yang
terdiri dari proses penyelesaian melalui litigasi/pengadilan dan
arbitrase.36 Proses penyelesaian konflik secara informal disebut proses
konsensual (consensual processes) yang berbasis pada kesepakatan
pihak-pihak yang bersengketa di luar pengadilan (out of court).37
Pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman adalah
hakim. Hakim yang bertugas di Pengadilan Agama disyaratkan antara
lain beragama Islam, sarjana syariah dan/atau menguasai hukum Islam.38
Dengan persyaratan tersebut maka hakim di lingkungan pengadilan
agama adalah yang menguasai hukum Islam. Undang-Undang Peradilan
Agama menyatakan bahwa tidak saja bagi hakim yang memenuhi
persyaratan beragama Islam, melainkan juga, hakim ad hoc, panitera,
juru sita, sekretaris pengadilan agama antara lain keharusan beragama
Islam.39 Persyaratan kewajiban beragama Islam tidak ditemukan pada
undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan lainnya.
Berkaitan dengan hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam Undang-Undang Peradilan Agama.
Saat ini hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam undang-undang peradilan agama. Undang-
Undang Peradilan Agama berdasarkan Pasal 57 (1) menyatakan;
“Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, (2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat
Bismillahirrahmanirrahim diikuti dengan kalimat Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Dengan demikian kekhususan
yang dimaksud adalah setiap keputusan atau penetapan di Pengadilan
Agama selalu dimulai dengan menyebut nama Allah dengan kalimat
Bismillahirrahmanirrahim, sebagai bentuk penerapan amar ma‟ruf nahi
munkar. Amar ma‟ruf berupa perbuatan atau aktifitas untuk melakukan

35
Abdul Manan, “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama”,
Cetakan ke enam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012), hal. 2.
36
Suyud Margono, Op.Cit., hal. 179.
37
Ibid.
38
Lihat Pasal 13 UU No. 3 Tahun 2006.
39
Lihat Pasal 13, 13b, 27, 39, dan Pasal 46 Undang-Undang Peradilan Agama.
242 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014

yang baik dan nahi munkar berupa perbuatan negatif atau tidak berbuat
berupa menjauhkan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang Allah
swt. Bagi penyelesaian sengketa ekonomi syariah prinsip amar ma‟ruf
nahi munkar ini sudah dapat dipenuhi melalui penyelesaian secara litigasi
di Pengadilan Agama dan bukan pada lingkungan peradilan lainnya.

V. Kesimpulan

Salah satu fungsi Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa


ekonomi syariah adalah untuk memutus sengketa syariah, sesuai dengan
prinsip syariah. Kemampuan ini tidak diragukan dimiliki oleh hakim peradilan
agama. Urgensi atau keutamaan Pengadilan Agama dalam penyelesaian
sengketa ekonomi syariah adalah untuk memutus sengketa ekonomi syariah
agar sesuai pula dengan cara syariah. Keutamaan Pengadilan Agama dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syariah disebabkan antara lain:
1. Hukum materil yang digunakan pengadilan agama dalam penyelesaian
sengketa ekonomi syariah adalah Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES).
2. Hukum formil yang digunakan berdasarkan kepada hukum acara perdata
kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang Peradilan
Agama. Menurut Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama RI
saat ini MARI sedang mempersiapkan hukum acara ekonomi syariah
yang akan menjadi hukum formil di Pengadilan Agama nantinya.
3. Para hakim dan pejabat lainnya beragama Islam dan menguasai hukum
syariah
4. Mahkamah Agung telah banyak melakukan investasi dalam
memperkokoh kemampuan pengadilan agama dalam penyelesaian
sengketa ekonomi syariah.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina 243

Daftar Pustaka

Buku

Al-Qur‟an dan Sunnah.


Amin, Ma‟ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, 2011.
an Nabhani, Syekh Taqiyuddin. dalam kitab Asy Syakhsiyah al Islamiyah jilid
III.
Anshori, Abdul Ghofur. Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan
Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2008.
Antonio, Muhammad Syafi‟i. Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Cetakan
Keduabelas, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Bachro, Renny Supriyatni. Sistem Bagi Hasil dengan Mekanisme Pembagian
Untung dan Rugi, Bandung: Unpad Press, 2010.
Basir, Cik. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama
dan Mahkamah Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010.
Fakhriah, Efa Laela. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, Edisi
Pertama Cetakan ke 1, Bandung: Alumni, 2009.
Harahap, M. Yahya Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
--------------------, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Edisi
ke dua Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Indonesia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, dalam Sejarah Singkat
Penyusunan KHES.
Kamus Bahasa Indonesia, Diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Karim, Adiwarman. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Cetakan ke
empat, Jakarta: Rajagrafindo, 2004.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, Cetakan ke enam, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012.
Margono, Suyud. ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2007.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keenam,
Yogyakarta: Penerbit Liberty 2002.
244 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014

Naim, Mochtar. “Kompendium Himpunan Ayat-ayat Al-Qur‟an yang berkaitan


dengan Hukum”, Jakarta: Hasanah, 2001.
Prinst, Darwan. Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1992.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung: Penerbit
Sumur Bandung, 1970.
Soekanto, Soerjono. Mengenal Antropologi Hukum, Bandung: Penerbit
Alumni 1979.
Soemitro, Ronnyi Hanitijo. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1990.
Sutantio Retnowulan, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek, Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 2002.

Artikel, Makalah yang Diseminarkan

Amin, Riawan. dalam Seminar Nasional Penyelesaian Hukum Sengketa


Ekonomi Syariah di Indonesia, diselenggarakan HISSI bertempat di
Universitas Islam Jakarta, 18 Juni 2010.
Lubis, Suhrawadi K. diakses tanggal 4 Maret 2013.
Inilah.com. diakses tanggal 4 November 2012

Peraturan

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.


Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
PERMA No. 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

You might also like