You are on page 1of 6

ABSTRACT

Sharia economic dispute is a conflict between one party or more actors of economic activity,
where the economic activity is based on the principles of sharia and the teachings of sharia
economic law and the teachings of sharia economic law caused by a difference of opinion about
a matter that resulted in the existence of legal sanctions against one of the parties concerned.
When there is a dispute of sharia economy and cannot be resolved by means of peace, it must be
resolved in the judiciary as a case that occurred in the Purbalingga Religious Court.

The author formulates some of the problems discussed in this paper which include how the
criteria for default on multi-service Ijarah payment, a description of the decision of the sharia
economic dispute and juridical analysis of the judge's decision on default on multi-service ijarah
payment agreement in decision number 1721/Pdt.G/2013 / Pa.Pbg. In this paper, the author
conducts literature research, while the primary data sources use the decision of the Purbalingga
religious court, and secondary data sources use books related to this research study. The author
also uses analytical descriptive method by using the theory of default as well as legal sources of
formal and material religious courts. 

From this paper it can be concluded that the analysis of the judge's decision on default in the
Purbalingga religious court based on the decision of the panel of judges is in accordance with the
theory of default. In this case, the defendant still has good faith to pay off his obligations but
circumstances force the defendant to arrears on these obligations. Legislation is the legal basis
for the judge in deciding this case with the compilation of Sharia Economic Law, the Qur'an and
Hadith as references, so that the judge's decision is in accordance with the formal and material
legal basis.

Keywords: Juridical, Default, Source of Religious Court Law

ABSTRAK

Sengeketa ekonomi syariah merupakan suatu pertentangan antara satu pihak atau lebih pelaku
kegiatan ekonomi, di mana kegiatan ekonomi tersebut berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah
dan ajaran hukum ekonomi syariah dan ajaran hukum ekonomi syariah yang ditimbulkan oleh
adanya perbedaan pendapat tentang suatu hal yang mengakibatkan adanya sanksi hukum
terhadap salah satu pihak yang bersangkutan. Ketika terjadi sengekta ekonomi syariah dan tidak
dapat diselesaikan dengan cara perdamaian maka harus diselesaikan di lembaga peradilan
sebagaiman kasus yang terjadi di di Pengadilan Agama Purbalingga.

Penulis merumuskan beberapa masalah yang dibahas dalam tulisan ini yang meliputi bagaimana
kriteria wanprestasi pada pembayaran ijarah multi jasa, deskripsi putusan sengketa ekonomi
syariah serta analisis yuridis terhadap putusan hakim tentang wanprestasi pada akad pembayaran
ijarah multijasa dalam Putusan Nomor 1721/Pdt.G/2013/Pa.Pbg. Dalam tulisan ini penulis
melakukan penelitian kepustakaan, sedangkan sumber data primer menggunakan Putusan
Pengadilan Agama Purbalingga, dan sumber data sekunder menggunakan buku-buku yang
berhubungan dengan kajian penelitian ini. Penulis juga menggunkan metode deskriptif analitis
dengan menggunakan teori tentang wanprestasi serta sumber hukum formil dan materiil
Peradilan Agama.

Dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa analisis mengenai putusan hakim tentang wanprestasi
di Pengadilan Agama Purbalingga berdasarkan putusan majelis hakim sudah sesuai dengan teori
wanprestasi. Dalam kasus ini sebenarnya tergugat masih memiliki itikad baik untuk melunasi
kewajibannya namun keadaan memaksa tergugat menunggak kewajiban tersebut. Perundang-
undangan merupakan dasar hukum bagi hakim dalam memutuskan perkara ini dengan kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, Al-Qur’an dan Hadis sebagai rujukannya, sehingga putusan hakim
telah sesuai dengan dasar hukum formil dan materiil.

Kata Kunci: Yuridis, Wanprestasi, Sumber Hukum Peradilan Agama


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan sistem ekonomi syariah di Indonesia semakin pesat seiring berjalannya waktu.
Lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara keuangan yang didirikan dengan
wewenang untuk menerima dan menghimpun dana dari masyarakat, saat ini telah banyak
melakukan kegiatannya sesuai dengan perspektif hukum Islam. Ekonomi syariah sendiri menurut
Dr. Mardani adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh per orang atau kelompok atau
badan usaha yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi
kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah.1 Lembaga
keungan tersebut, misalnya perbankan, tidak luput dari sengketa ekonomi syariah di dalamnya.
Sengketa yang terjadi dalam Lembaga Keuangan Syariah termsuk dalam ranah perdata di mana
kewenangan penyelesaiannya dilakukan oleh Pengadilan Agama yang merupakan badan
Peradilan Agama tingkat pertama yang mana merupakan lembaga tempat mengadili atau
menyelesaikan sengketa hukum dalam rangka kekuasaan kehakiman, yang mempunyai
kewenangan absolute dan relative sesuai dengan peraturan perundang-undangan.2

Menurut Amran Suadi, terdapat beberapa penyebab terjadinya sengketa ekonomi syariah, antara
lain: 1. Dalam proses pembuatan akad terdapat ketidaksepahaman para pihak dalam proses
bisnis, karena terjebak pada orientasi keuntungan, karakter coba-coba, atau karena
ketidakmampuan mengenali mitra bisnisnya dan mungkin tidak legal cover; 2. Akad atau
kontrak sulit untuk dilaksanakan karena: a. para pihak kurang cermat atau kurang hati-hati ketika
melakukan perundingan pendahuluan; b. tidak mempunyai keahlian untuk mengkonstruksikan
norma-norma akad yang pasti, adil, dan efisien; c. kurang mampu mencermati risiko yang
potensial akan terjadi atau secara sadar membiarkan potensi itu akan terjadi; dan d. tidak jujur
atau amanah.3
1
Aan Anshori, "Digitalisasi Ekonomi Syariah: Teori dan Praktik” (Depok: Kencana, 2017), hlm. 57.

2
Erfaniah Zuhria, “Pengadilan Agama Indonesia” (Malang: Setara Press, 2014), hlm.4

3
Amran Suadi, "Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah", (Jakarta: Prenadamedia, 2017), hlm 7-8.
Secara umum mekanisme penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat diselesaikan melalui
jalur litigasi (proses pengadilan) dan non-litigasi. Di Indonesia sendiri lembaga peradilan yang
berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah Pengadilan Agama. Pengadilan
Agama mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah sejak
diamandemennya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana
otoritas yudisial (kekuasaan kehakiman) bagi orang-orang yang beragama Islam dalam mencari
keadilan terkait kasus perdata tertentu yang merupakan tugas dan wewenang Pengadilan Agama
untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu di tingkat pertama di
antara orang-orang yang beragama Islam.4 Adapun yang dimaksud dengan perkara-perkara
tertentu ialah menurut Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama di bidang: a)
Perkawinan; b) Waris; c) Wasiat; d) Hibah; e) Wakaf; f) Zakat; g) Infaq; h) Shadaqah; dan i)
Ekonomi Syariah.5 Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi, pada umumnya para
pihak yang bersengketa lebih memilih penyelesaian sengketa dengan menggunakan ADR
(Alternatif Dispute Resolution) atau yang dikenal juga dengan istilah Penyelesaian Sengketa
Alternatif. Pada prinsipnya ADR merupakan suatu mekanisme penyelesaian sengketa secara
non-litigasi yang bertujuan untuk menciptakan efisiensi dan bertujuan jangka panjang dan saling
menguntungkan (win-win solution) bagi para pihak yang bersengketa. Maka dari itu, untuk
mengantisipasi terjadinya kompleksitas dalam sengketa ekonomi syariah, diperlukan lembaga
penyelesaian sengketa yang mempunyai kredibilitas di bidangnya, yakni dalam bidang ekonomi
syariah.

Kasus yang diputus oleh Pengadilan Agama Purbalingga dengan Nomor


1721/Pdt.G/2013/PA.Pbg. antara Direktur Utama BPR Syari’ah BM selaku penggugat dengan
tergugat 1 dan 2 dalam hal ini sepasang suami istri merupakan kasus wanprestasi dalam akad
pembayaran ijarah multijasa. Diketahui bahwa tergugat menunggak angsurannya ke BPR
tersebut karena mengalami kerugian dalam usaha percetakannya. Sebelum melayangkan somasi,
pihak penggugat telah memberi kesempatan kepada tergugat untuk memenuhi kewajibannya
4
Hasbi Hasan, "Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Ekonomi Syariah" (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), hlm.
137.

5
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama.
namun tidak direspin oleh pihak tergugat. Oleh karena penggugat merasa dirugikan maka
penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama Purbalingga.

Sehubungan dengan penjelasan tersebut, maka dengan ini penulis tergerak untuk mengadakan
penelitian mengenai kasus sengketa ekonomi syariah dengan judul: Analisis Yuridis Terhadap
Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Putusan Nomor: 1721/Pdt.G/2013/PA.Pbg. Di Pengadilan
Agama Purbalingga.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan masalah antara lain sebagai
berikut:

1.Apa saja kriteria wanprestasi pada pembayaran ijarah multijasa?

2.Bagaimana deskripsi putusan sengketa ekonomi syariah dalam perkara Nomor


1721/Pdt.G/2013/Pa.Pbg?

3.Bagaimana analisis yuridis terhadap putusan hakim tentang wanprestasi pada akibat
pembayaran ijarah multijasa dalam Putusan Nomor 1721/Pdt.G/2013/Pa.Pbg.?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat diperoleh tujuan dari penulisan ini sebagai
berikut:

1. Untuk menjelaskan macam-macam kriteria wanprestsi dalam pembayaran ijarah multijasa di


perbankan syariah

2. Untuk menjelaskan proses-proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah dalam perkara


Nomor 1721/Pdt.G/2013/Pa.Pbg

3. Menerangkan analisis yuridis terhadap putusan hakim tentang wanprestasi pada akibat
pembayaran ijarah multijasa dalam Putusan Nomor 1721/Pdt.G/2013/Pa.Pbg
D. Metode

Penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan
berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas
hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dalam penelitian ini. Selanjutnya
penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi permasalahan yang menjadi pokok bahasan,
kemudian dikaji berdasarkan bahan-bahan hukum. Bahan-bahan hukum yang dimaksud ialah
bahan hukum primer (bahan hukum utama yang meliputi peraturan perundang-undangan dan
segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum) dan bahan hukum sekunder (bahan
hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahanhukum primer, seperti buku dan hasil
penelitian hukum). Penelitian ini menggunakan tiga macam pendekatan, yakni pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Selain itu, terdapat dua teknik pengumpulan bahan dalam
penelitian ini, yaitu pengumpulan bahan dan metode pengolahan atau analisis bahan. Dalam hal
ini penulis menggunakan teknik pengumpulan bahan penelitian melalui studi pustaka (library
research) yang berupa kegiatan mengumpulkan, memeriksa dan pengambilan bahan berasal dari
literatur atau tulisan ilmiah serta menelusuri dokumen yang dapat memberikan informasi
berkaitan dengan obyek yang ingin diteliti.

You might also like