You are on page 1of 17

ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan – ISSN: xxxx-xxxx (p), xxxx-xxxx (e)

Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

PERBEDAAN PEMBERIAN NAFKAH IDDAH DAN


MUT’AH CERAI TALAK DALAM PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA DI WILAYAH PENGADILAN
TINGGI AGAMA BANDUNG
Dadan Hidayat
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia
* Correspondence: hidayatdadan263@gmail.com

Received: date; Accepted: date; Published: date

Abstract
The provisions of article 149 of the Compilation of Islamic Law, which states the article is: The
ex-husband is obliged to provide proper mut'ah to his ex-wife except qobla dukhul, providing
maintenance, food and kiswah during the iddah period. In the jurisdiction of the Bandung High
Religious Court, there are decisions of the Divorce and Divorce Court in which some include the
provision of iddah and mut'ah support, while others do not. This research aims to find out 1).
Basic considerations for granting iddah and mut'ah divorce divorce in the Bandung High
Religious Court Area, 2). The legal basis for the differences in providing iddah maintenance
and mut'ah divorce divorce in the decision of the Religious Court in the Bandung Religious High
Court area, 3). Method of finding legal differences in providing iddah and mut'ah support in
the Bandung High Religious Court Area. This research is based on the principles of decisions
based on article 178 HIR/189 RGB and article 50 Law no. 48 of 2009 concerning Judicial
Power, namely: 1). Contain clear and detailed reasons, 2). Must try all parts of the lawsuit,
3). May not grant more than demands, 4). Spoken in public.

Keywords : Living Iddah; Mut’ah; Divorce

Abstrak
Ketentuan pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, yang bunyi dari pasal tersebut
adalah. Bekas suami wajib untuk memberikan mut’ah yang layak kepada bekas
istrinya kecuali qobla dukhul, memberi nafkah, maskan, dan kiswah selama masa
iddah. Di Wilayah Yuridiksi Pengadilan Tinggi Agama Bandung, terdapat putusan
Pengadilan Cerai Talak yang di dalamnya ada yang mencantumkan pemberian
nafkah iddah dan mut’ah, ada juga yang tidak mencantumkannya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui 1). Dasar pertimbangan pemberian nafkah iddah
dan mut’ah cerai talak di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung, 2).
Landasan hukum perbedaan pemberian nafkah iddah dan mut’ah cerai talak
dalam putusan Pengadilan Agama di wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung,
Dadan Hidayat
Perbedaan Pemberian Nafkah Iddah Dan Mut’ah Cerai Talak Dalam Putusan Pengadilan
Agama Di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung

3). Metode penemuan hukum perbedaan pemberian nafkah iddah dan mut’ah di
Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung. Penelitian ini didasari asas putusan
berdasarkan pasal 178 HIR/189 RGB dan pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan kehakiman, yaiut: 1). Memuat dasar alasan yang jelas dan
rinci, 2). Wajib mengadili seluruh bagian gugatan, 3). Tidak boleh mengabulkan
melebihi tuntutan, 4). Diucapkan dimuka umum.

Kata Kunci : Nafkah Iddah; Mut’ah; Cerai Talak

Pendahuluan
Putusya perkawinan yang disebabkan oleh percerain, sesuai dengan pasal
149 KHI, bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya
kecali qobla dukhul, memberi nafkah maskan dan kiswah selama masa iddah,
melunasi mahar yang belum dibayar, serta memberi biaya hadhonah untuk anak-
anaknya yang belum berumur 21 tahun. 1 Istri yang terbukti tidak melakukan
nusyuz juga wajib diberikan mut’ah dan nafkah iddah sebagaimana tertuang
dalam SEMA No 3 tahun 2018 Rumusan Hukum Kamar Agama. Bahkan, jauh
sebelum peraturan perundang-undangan itu muncul, Al- Qur’an telah terlebih
dahulu mengatur kewajiban kepada suami yang mencerai istrinyauntuk
memberikan nafkah iddah, baik yang ditalak raj’i ataupun talak ba’in.2
Keadilan menjadi pondasi utama dalam tujuan hukum. Oleh karena itu
menegakan keadilan harus dijalankan oleh seorang hakim dalam menjalankan
tugasnya di pengadilan. Keadilan dapat terealisasi dengan adanya jabatan hakim
sebagai jabatan fungsional, kerana hakim memiliki hak khusus dalam
menyelesaikan perkara cerai talak di Pengadilan Agama yaitu hak ex officio. Dengan
adanya hak tersebut, selama ada aturan yang masuk akal dan seusai dengan aturan
perundang-undangan hakim dapat keluar dari aturan baku.
Hak exofficio dalam praktiknya masih jarang digunakan oleh sebagian
hakim Pengadilan Agama dalam menetapkan hak-hak istri khususnya iddah dan
mut’ah sebagai akibat putusnya perkawinan akibat cerai talak. Akibat hak ex officio
yang tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan tidak dipertimbangkan
dengan cermat, kepentingan para pihak tidak terakomodir dengan baik,
khususnya pihak istri.

1 Salah bin Abdullah bin Humaid, Rumah Tangga Bahagia dan Problematikanya,
(Islamhouse, 2019), h. 15.
2 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakat 2, (Bandung: Pustaka Setia, cet ke-5 2016), h 23.

2
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Pada umumnya hakim memberikan putusan sesuai dengan petitum yang


diajukan, namun demikian dalam putusan Pengadilan Agama Bogor Nomor
0697/Pdt.G/2015/PA.Bgr yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara
cerai talak hakim memberikan putusan secara ex officio mengabulkan
permohonan cerai pemohon, membebankan kepada pemohon untuk
memberikan mut’ah dan nafkah terhadap termohon, meskipun dalam petitum
tidak dicantumkan untuk memberikan mut’ah dan nafkah, begitupun dalam
konvensi dan rekonvensi yang tidak menuntut mut’ah dan nafkah iddah. Berbeda
dengan Putusan Nomor 9819/Pdt.G.2018/PA.Cmi, Putusan Nomor
1640/Pdt.G/2020/PA.Nph, dan Putusan Nomor 0427/Pdt.G/2020/PA/Bks.
Yang dalam putusannya hakim tidak menggunakan hak ex officio untuk
memberikan nafkah iddah dan mut’ah.
Duduk perkara dari putusan-putusan Pengadilan Agama di wilayah
Pengadilan Tinggi Agama Bandung tersebut, menjadi dasar pertimbangan majelis
hakim dalam mengeluarkan putusan. Terdapat perbedaan antara putusan-putusan
tersebut yang menarik untuk melakukan kajian lebiah dalam, sehingga penulis
mengangkat perbedaan putusan-putusan tersebut untuk melakukan pembahasan.
Penelitian ini diharapkan, akan menjadi bahan pengetahuan untuk menegetahui
perbedaan pemberian nafkah iddah dan mut’ah istri di wilayah Pengadilan Tinggi
Agama Bandung.

Metodologi
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian analisis isi (content analysis), yaitu dengan menganalisis isi putusan. 3
Metode penelitian ini mengunakan pendekatan penelitian yuridis normatif,4 yaitu
penafsiran yang difokuskan pada pandangan hakim mengenai penetapan
Pengadilan Agama dan peraturan Perundang-undangan. Penelitian ini
menganalisis putusan pemberian nafkah iddah dan mut’ah cerai talak dalam
putusan Pengadilan Agama di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung.
Content Analysis digunakan berdasakan karakteristik yang disesuaikan dengan
masalah, tujuan dan kerangka berfikir penelitian ini yang terfokus pada isi putusan
dikaitkan dengan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar
pada putusan percerian.

3 Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Isalam, (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 287.


4 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 105.

3
Dadan Hidayat
Perbedaan Pemberian Nafkah Iddah Dan Mut’ah Cerai Talak Dalam Putusan Pengadilan
Agama Di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung

Teknik pengumpulan yang digunakan adalah pertama, teknik wawancara,


merupakan teknik pengumpulan data dengan cara bertanya langsung kepada
seorang ahli atau informan yang ahli dalam suatu masalah, dalam penelitian ini
dilakukan wawancara dengan Drs. Muhadir, S.H., M.H. yang menjabat sebagai
hakim Pengadilan Agama Bandung. Kedua, penelitian ini menggunakan teknik
studi dokumen dengan menelaah salinan putusan, berita acara persidangan, dan
berkas-berkas perkara yang berkaitan dengan penelitian ini. Ketiga, studi
kepustakaan, yaitu sebuah penelitian yang memfokuskan penggunaan data dan
informasi dengan keragaman kepustakaan. Penelitian ini dilakukan dengan
membaca, menelaah, dan menganalisis setiap literatur yang berkaitan dengan
penelitian.
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian kualitatif menggunakan
metode berpikir yang bersifat induktif dan tidak membutuhkan populasi atau
sampel. Pendekatan yuridis normatif yang bersifat kualitatif, merupakan
pendekatan yang mengacu kepada norma-norma yang terdapat dalam praturan
perundang-undangan atau putusan pengadilan, dan kepada norma yang tumbuh
berkembang dalam lingkungan masyarakat dengan melihat kesinambungan
putusan yang satu dengan putusan yang lainnya secara hierarki.

Hasil dan Pembahasan


A. Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam Memutuskan Perkara
Pemberian Nafkah Iddah dan Mut’ah Cerai Talak di Wilayah
Pengadilan Tinggi Agama Bandung
Setiap putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim selalu mencantumkan
enam bagian yang saling mengikat, yaitu; Kepala Putusan, Identitas para pihak,
duduk perkara atau tentang kejadiannya, pertimbangan hukum, amar putusan,
dan penutup. 5 Dalam pertimbangan hukum ini, Majelis Hakim akan
mempertimbangkan dalil gugatan, bantahan, atau eksepsi dari gugatan, serta
dihubungkan dari alat-alat bukti yang ada. Hasil dari wawancara dengan hakim
Pengadilan Agama Bandung Drs. Muhadir, S.H., M.H. menyebutkan bahwa,
Majelis hakim juga mempertimbangkan petitum pemohon, karena hakim dalam
memberikan putusan harus sesuai dengan tuntutan pemohon.

5 Aah Tsamrotul Fuadah, Hukum Acara Peradilan Agama Plus Prinsip Hukum Acara
Islam Dalam Risalah Qadha Umar Bin Khattab, (Depok: Rajawali Pers, 2019), Cet ke-2, h, 161.

4
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Dalam permohonan yang diajukan pemohon jika dalam positanya


mengatakan hanya ada anak, kawin, cerai, atau perselisihan, dan dalam
petitumnya hanya ada tuntutan untuk meberikan izin talak satu raj’i kepada
pemohon, dan jika ada jawaban dari termohon atau istri yang disebut dengan
rekonvensi (tuntutan balik) yang mencantumkan untuk pemberian nafkah iddah
dan mut’ah, majelis hakim harus memberikan putusan berdasarkan tuntutan.
Begitupun, jika istri menerima hanya ada perceraian dalam tuntutan tersebut atau
pemohon mencantumkan untuk memberikan nafkah iddah dan mut’ah kepada
bekas istrinya.
Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam pemberian nafkah iddah dan
mut’ah cerai talak di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung, sebagai berikut:
1. Dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan nomor
0427/Pdt.G/PA.Bks
Dalam memutus perkara, Majellis Hakim dalam hal ini memiliki
beberapa pertimbangan hukum. Bahwa mempedomani pasal 73 ayat 1
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang sudah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, jo pasal 132 ayat 1 KHI,
Pengadilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara a quo.
a) Menimbang, bahwa Pemohon yang merupakan seorang Pegawai
Negeri Sipil telah menadapatkan surat persetujuan cerai dengan
Nomor : 873.4/207/BKPPD.PKA, sehingga ketetntuan yang
terdapat dalam pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 telah terpenuhi. Setelah Termohon dipanggil dengan patut
sebagaimana ketentuan pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 jo pasal 138 KHI dan tidak pernah hadir, dengan keadaan
tersebut Majelis hakim berpendapat bahwa Termohon dinilai tidak
akan mengajukan hak bantahan dan telah mengakui dalil-dalil
Pemohon, bahwa sesuai dengan pasal 126 HIR perkara ini disebut
dengan Verstek.

5
Dadan Hidayat
Perbedaan Pemberian Nafkah Iddah Dan Mut’ah Cerai Talak Dalam Putusan Pengadilan
Agama Di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung

b) Majelis Hakim mempertimbangkan alasan Pemohon dalam


mengajukan perceraian, yang dimana dalam rumah tangga Pemohon
sering terjadi pertengkaran yang disebabkan termohon sebagai istri
kurang menghormati dan menghargai Pemohon, dan Termohon juga
tida menyukai anak-anak bawaan Pemohon.
c) Bukti-bukti surat dan alat saksi yang diajukan Pemohon, menguatkan
dalildalil Pemohonan, dalil-dalil ini memberikan pertimbangan
hukum kepada Majelis Hakim dalam memberikan putusan.
d) Majelis Hakim menimbang, bahwa mempedomani Yurisprudensi
Mahkamah Agung nomor 237K/AG/1998 tanggal 17 Maret 1999,
abstraksi hukumnya menyebutkan bahwa sepasang suami istri yang
sudah tidak bersama lagi, berpisah tempat tinggal dan salah satunya
tidak ada keinginan untuk melanjutkan hubungan suami istri. Maka
keadaan tersebut sudah cukup sebagai fakta hukum sebagai alasan
pereraian.
e) Menimbang, bahwa setelah diadakan persidangan Majelis hakim
menemukan fakta hukum, bahwa rumah tangga antara Pemohon dan
Termohon sudah benar-benar pecah (broken marriage). Sikap kedua
pihak yang tidak berkeinginan lagi untuk melanjutkan hubungan
suami istri, jika tetap dipertahankan akan menimbulkan kemadaratan.
Hal tersebut bertentangan dengan tujuan perkawinan sebagaimana
yang dikehendaki dalam Al-Qur’an dalam surat Ar-Rum ayat 21 dan
pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Majelis Hakim dengan memperhatikan pertimbangan-
pertimbangan di atas. Maka unsur-unsur perceraian sebagaimana yang
tertera dalam pasal 19 huruf (b) dan (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 jo pasal 116 huruf (b) dan (f) KHI telah terpenuhi.
2. Dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan nomor
1640/Pdt.G/PA.Nph

6
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Menimbang, bahwa Termohon yang tidak menghadiri


persidangan setelah dipanggil secara resmi dan patut, sehingga upaya
mediasi sebagaimana ketentuan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor
1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan, tidak dapat
dilaksanakan. Dan pemerksaan perkara ini dilanjutkan tanpa hadirnya
Termohon. Maka berdasarkan ketentuan pasal 125 HIR, permohonan
Pemohon dapat diperiksa dan diputus secara verstek.
Alat bukti berupa surat-surat dan saksi-saksi yang telah di periksa
oleh Majelis Hakim dalam pesidangan memiliki kekuatan bukti yang
dapat diterima. Dikarenakan Pemohon merupakan Pegawai Negeri Sipil
(PNS), Majelis Hakim berpendapat bahwa Pemohon telah memenuhi
kewajiban selaku PNS dengan surat izin perceraian dari Kepala Badan
Kepegawaian Daerah Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Hal ini
sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 3 ayat (1) Peraturan
Pemerintah RI Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
a) Menimbang, setelah pemeriksaan alat bukti dan saksi, Majelis Hakim
menemukan fakta hukum yang disimpulkan sebagai berikut:
a. Bahwa Pemohon dan Termohon adalah Suami Istri;
b. Bahwa rumah tangga antara Pemohon dan Termohom mulai
goyah dan sering terjadi perselisihan terus menerus;
c. Bahwa telah terjadi pertengakran terus-menerus antara Pemohon
dan Termohon disebabkan karena Termohon memiliki banyak
hutang kepada beberapa orang dan bank tanpa seizin Pemohon;
d. Bahwa antara Pemohon dan Termohon sehak oktober 2018 telah
pisah tempat tinggal dan sejak saat itu sudak tidak ada hubungan
layaknya suami istri;

7
Dadan Hidayat
Perbedaan Pemberian Nafkah Iddah Dan Mut’ah Cerai Talak Dalam Putusan Pengadilan
Agama Di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung

Berdasarkan fakta-fakta hukum di atas, Majelis Hakim berpendapat


bahwa, rumah tangga antara Pemohon dan Termohon sudah
mengalami keretakan dan tidak dapat berjalan sesuai tujuan dari
pernikahan sebagaimana maksud dari pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
b) Menimbang, berdasarkan pertimbangan di atas, alasan dari
permohonan Pemohon untuk bercerai telah memenuhi maksdu
ketentuan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan jo pasal 19 huruf (b) dan (f) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 huruf (b) dan (f) KHI.
3. Dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan nomor
0697/Pdt.G/PA.Bgr
Dalam Konvensi
Menimbang, bahwa sesuai dengan PERMA Nomor 01 Tahun
2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Majelis Hakim telah
mengeluarkan perintah kepada Pemohon yang didampingi kuasa
hukumnya dan Termohon yang datang sendiri untuk melakukan mediasi.
Hasil dari mediasi antara Pemohon dan Termohon dinyatakan gagal,
karena Pemohon tetap bersikeras ingin tetap bercerai dengan Termohon.
Permohonan Pemohon dalam posita nomor 4 yang mengajukan
agar diberi izin untuk mengucapkan ikrar talak terhadap Termohon,
disebabkan karena sering terjadi konflik batin, Pemohon beralasan bahwa
Termohon kurang mendukung Pemohon sebagai dokter spesialis mata
yang mempunyai jadwal padat. Termohon yang terlalu banyak tuntutan,
tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana layaknya seorang istri
terhadap suami, tidak dapat mendidik anak, dan selalu adanya perbedaan
prinsip dalam mengatur urusan rumah tangga.
Menimbang, bahwa setelah Termohon memberikan jawaban
tertulis yang pokoknya bahwa, dalil angka 4 halaman 2 dan 3 dari

8
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

permohonan Pemohon tidak menyatakan dengan jelas sejak kapan terjadi


konflik antara Pemohon dan Termohon. Termohon juga menyangkal
terhadap pernyataan Pemohon tentang penyebab seringnya berselisih
sebagaimana yang tertera dalam posita nomor 4 huruf a sampai huruf f.
Dengan adanya bantahan dari termohon, sesua dengan pasal 163 HIR
dan pasal 1865 KHUPerdata, Pemohon harus membuktikan dalil
permohonannya.
Majelis Hakim mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon
sebagaimana di atas, dengan bukti P.1, P.2, P.3 dan P.4. serta dua orang
saksi, kedua saksi tersebut mengetahui bahwa Pemohon dan Termohon
sudah tidak lagi hidup rukun dan tidak tinggal bersama kurang lebih tiga
(3) bulan. Kesesuaian keterangan dua orang saksi sudah memenuhi pasal
171 dan 172 HIR, harus memili kekuatan pembuktian dan dapat diterima
sebagai alat bukti, bahwa Pemohon dan Termohon sudah tidak tinggal
satu rumah lagi.
Pertimbangan Majelis Hakim dari kedua saksi tersebut
berdasarkan keterangan, bahwa saksi pertama mengaku semenjak
Pemohon dan Termohon tidak rukun lagi, sering mendapat curhatan dari
Pemohon atas ketidak rukunan keluarganya sejak enam (6) bulan yang
lalu. Sedangkan, saksi kedua melihat sendiri ketidak rukunan Pemohon
dan Termohon sejak satu tahun yang lalu. Karena, saksi pertama dan saksi
kedua berbeda keterangan, yang dimana saksi pertama merupakan saksi
de auditu karena mendapat pengetahuan dari hasil curhatan Pemohon,
sehingg tidak bernilai pembuktian. Sedangkan, saksi kedua yang melihat
langsung ketidak rukunan antara Pemohon dan Termohon.
Keterangannya memiliki nilai baru sebagai petunjuk.
Majelis hakim juga memiliki pertimbangan atas dalil bantahan
Termohon di persidangan yang diajukan beruka bukti-bukti T.1, T.2, T.3,
T.4, T.5, T.6, T.7, T.8, T.9, T.10, T.11, T.12, dan kedua saksi.

9
Dadan Hidayat
Perbedaan Pemberian Nafkah Iddah Dan Mut’ah Cerai Talak Dalam Putusan Pengadilan
Agama Di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung

Dalam Rekonvensi
Majelis Hakim menimbang, bahwa berdasarkan dalil Penggugat
Rekonvensi/Termohon Konvensi dan jawaban Tergugat
Rekonvensi/Remohon Konvensi, maka tuntutan penggugat
Rekonvensi/Termohon Konvensi yaitu menuntut ganti rugi, karena yang
dituntut ganti rugi sesuai dengan ketantuan kewenangan Pengadilan
Agama yang tercantum dalam pasal 49 penjelasan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009, Tentang Perubahan kedua Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989, maka tuntutan Penggugat Rekonvensi/Termohon
Konvensi bukan kewenangan Pengadilan Agama.
4. Dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan nomor
9819/Pdt.G/2018/PA.Cmi
Pemohon yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, Majelis Hakim mempertimbangkan
surat Izin cerai dari badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan
Daerah Kabupaten Bandung Nomor 800/kepeg.23/BKPPD/2019
tanggal 11 juli 2017.
Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 82 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989, Majelis Hakim telah berusaha untuk
mendamaikan agar dapat rukun kembali dan Termohon yang tidak
pernah hadir dalam persidangan, sehingga mediasai tidak dapat
dilaksanakan sebagaimana ketentuan pasal 4 ayat 2 huruf b PERMA
Nomor 1 Tahun 2016.
Majelis Hakim mengambil pertimbangan dari bukti-bukti yang
diajukan berupa alat bukti surat dan saki-saki. Selain itu, Majelis Hakim

10
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

dalam persidangan menemukan fakta hukum sebagai pertimbangan.


Dimana Pemohon danTermohon sering bertengkar yang disebabkan
karena masalah tempat tinggal dan Termohon yang sering pergi tanpa izin
dari Pemohon. Oleh sebab itu, sesuai dengan pasal 19 huruf f Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum
Islam, perceraian dapat dilakukan apabila antara suami dan istri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
untuk dapat rukun kembali.
Sebagaimana menurut Mahkamah Agung yang tertuang dalam
putusan No. 38/K/AG/1990 tangal 5 oktober 1990, yang diambil alih
menjadi pendapat Majelis Hakim, yang diamana apabila terjadi
perselisihan maka semata-mata diajukan kepada perkawinan itu sendiri
tanpa mempersoalkan siapa yangj salah. Sehingga apabila hubungan
perkawinan itu telah pecah berarti hati kedua pihak telah pecah pula.
Melihat kondisi perselisihan rumah tangga Pemohon dan termohon yang
sudah sedemikian rupa. Jelas tidak mungkin dapat terwujud kehidupan
rumah tangga yang bahagia sebagaimana tujuan perkawinan yang terdapat
dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 3 KHI.
Dasar pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam menentukan
nafkah iddah dan mut’ah di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung
didasarkan pada Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Yurisprudensi
dan Hukum Islam berupa Al-Qur’an, hadis Nabi dan Qoul para ulama.
Majelis Hakim juga melihat keadaan nusyuz atau tidak nya istri kepada
suami dalam mempertimbangkan pemberian nafkah iddah dan mut’ah.

B. Landasan Hukum Perbedaan Pemberian Nafkah Iddah dan Mut’ah


Cerai Talak di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung.
Dalam putusan Pengadilan Agama Bogor Nomor 0697/Pdt.G/2018/PA.Bgr
yang telah berkekuatan hukum tetap dan memiliki landasan hukum yaitu pasal 41

11
Dadan Hidayat
Perbedaan Pemberian Nafkah Iddah Dan Mut’ah Cerai Talak Dalam Putusan Pengadilan
Agama Di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung

huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Pengadilan dapat


mewajibkan bagi bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”.pasal ini telah dapat disimpulkan
bahwa jika terjadi perceraian, seorang suami memiliki beberapa kewajiban yang
harus dipenuhi kepada mantan istri yang telah diceraikan atau yang telah
menceraikan. Diantara beberapa kewajiban yang ada salah satunya adalah
memberikan biaya penghidupan baik berupa mut’ah ataupun nafkah iddah.
Tujuan dari adanya ketentuan ini adalah agar bekas istri yang telah diceraikan oleh
suami tidak terlantar sehingga tetap mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Berdasarkan pasal tersebut Majelis Hakim diberikan kewenangan secara ex
officio untuk mewajibkan Pemohon memberikan mut’ah terhadap Termohon
dengan tetap mempertimbangkan kemampuan Pemohon.
Pasal 149 huruf b Kompilasi Hukum Islam mengatur apabila perkawinan
putus karena talak, maka berkas suami memiliki kewajiban :
a) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang
atau denda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul;
b) Memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama dalam
iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.
c) melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila
qobla al dukhul;
d) memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.
Termohon terbukti tidak melakukan nusyuz, maka Pemohon berkewajiban
untuk memberikan nafkah, maskan, dan kiswah selama masa iddah dengan tetap
memperhatikan penghasilan Pemohon sekarang sebagai dokter specialis di Klinik
Ainun Habibi dan RS. Tanjung Priok dan juga dengan tetap mempertimbangkan
layak dan memenuhi rasa keadilan bagi Termohon dan memenuhi kebutuhan
hidup minimun berdasarkan kepatutan dan keadilan bagi Termohon sesuai
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 608/AG/2005 tanggal 23 Maret 2005
apabila kewajiban Pemohon dalam masa iddah sebesar Rp. 15.000.000,- (lima
belas juta rupiah).
Landasan hukum pemberian nafkah iddah dan mut’ah juga dapat disandarkan
kepada Suran Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 03 Tahun 2018 poin 2

12
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Hasil Pleno Kamar Agama yang berisi; Nafkah madhiyah, iddah, mut’ah dan
nafkah anak menyempurnakan rumusan Kamar Agama dalam SEMA Nomor 07
Tahun 2012 angka 16 sehingga berbunyi “Hakim dalam menetapkan nafkah
madhiyah, nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah anak, harus mempertimbangkan rasa
keadilan dan keputusan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan
fakta kebutuhan dasar hidup isteri dan/atau anak”.
Putusan Nomor 9819/Pdt.G/2018/PA.Cmi, Putusan Nomor
1640/Pdt.G/2020/PA.Nph, dan Putusan Nomor 0427/Pdt.G/2022/PA.Bks,
dalam ketiga putusan tersebut majelis hakim tidak menggunakan hak ex officio
untuk menetapkan pemberian nafkah iddah dan mut’ah. Majelih Hakim
memberikan putusan sesuai dengan petitum yang diajukan dari Pemohon.
berlandaskan kepada aturan dimana dalam memberikan putusan, hakim tidak
boleh menambah dan/atau mengurangi sebagaimana dalam petitum kecuali ada
peraturan yang menjadi dasar pertimbangan, selaras dengan Pasal 178 ayat 3
HIR/ Pasal 189 ayat 3 Rgb yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut.

C. Metode Penemuan Hukum Hakim Perbedaan Pemberian Nafkah


Iddah dan Mut’ah Cerai Talak dalam Putusan Pengadilan Agama di
Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung
Penemuan hukum diartikan sebagai pembentukan hukum oleh hakim atau
petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap
peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Hakim melakukan penemuan hukum
dilatar belakangi Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Pasal 10 ayat 1
bahwasannya hakim tidak boleh menangguhkan atau menolak suatu perkara
dengan asalan karena hukumannya tidak lengkap atau tidak jelas.
Dalam melakukan penemuan hukum, terdapat dua metode yang dapat
dilakukan, yaitu6:
a. Interpretasi atau penafsiran
Metode ini merupakan metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan secara gamblang mengenai teks undang-undang agar rung

6 Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum (Suatu Pengantar). (Yogyakarta: Liberty,


1998), h.162

13
Dadan Hidayat
Perbedaan Pemberian Nafkah Iddah Dan Mut’ah Cerai Talak Dalam Putusan Pengadilan
Agama Di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung

lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubunga dengan peristiwa tertentu.


Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna
undang-undang. Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal
peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat dilakukan dengan
beberapa metode, yaitu secara; gramatikal, histris, sistematis, teologis,
perbandingan hukum, futuristis, dan konstruksi hukum. Konstruksi
hukum dapat digunakan hakim sebagai metode penemuan hukum apabila
dalam mengadilai perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara
khusus mengenai peristiwa yang terjadi. Konstruksi hukum ini dapat
dilakukan dengan menggunakan logika berpikir secara.
a) Argumen per analogi atau sering disebut analogi. Peristiwa yang
berbeda namun serupa, sejenis atau mirip yang diatur dalam
undangundang diperlakukan sama.
b) Penyempitan hukum. Peraturan yang sifatnya umum diteraokan
terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan
penjelasan atau kontruksi dengan memberi ciri-ciri.
c) Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu
penafsiran atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada
perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapai dan
peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
Putusan hakim Pengadilan Agama Bogor Nomor
0697/Pdt.G/2015/PA.Bgr, apabila dikaitkan dengan teori penemuan hukum
(rechtvinding), merupakan sebuah teori yang memiliki dua arti. Pertama, dengan
demikian dalam kasusu ini praturan telah ada, dan tugas hakim hanya menerapkan
atau mengkongkritkan. Kedua, pembentukan hukum, dalam kasus ini peraturan
belum tersedia dan tugas hakim mencari atau menggali atau membentuk dengan
berbagai cara. Putusan yang telah dilakukan hakim Pengadilan Agama Bogor
sesuai dengan teori penemuan hukum, dalam arti bahwa hakim telah menerapkan

14
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

aturan pada suatu peristiwa. Selain itu, putusan hakim Pengadilan Agama Bogor
juga seusai dengan metode interpretasi dalam teori penemuan hukum. Metode
interpretasi merupakan metode yang digunakan ketika hukum masih ada, hanya
saja kurang jelas untuk diterapkan pada kasus konkrit. Karena itu, dalam kasus ini
hakim masih berpegang pada teks peraturan perundang-undangan. Majelis
Hakim melakukan terobosan hukum dengan metode penemuan hukum
(rechtsvinding) dengan berpedoman pada Pasal 41 Huruf c Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam
dalam memberikan putusan berkaitan dengan istri yang terbukti tidak melakukan
nusyuz dan Pemohon (Suami) sebagai dokter yang dinyatakan mampu, dan sesuai
bukti T.5 Termohon telah mengikuti permintaan Pemohon untuk berhenti
bekerja. sehingga Majelis Hakim secara ex officio mewajibkan kepada Pemohon
dianggap layak dan patut untuk memberikan mut’ah kepada Termohon.
Dalam Putusan Nomor 9819/Pdt.G/2018/PA.Cmi, Putusan Nomor
1640/Pdt.G/2020/PA.Nph, dan Putusan Nomor 0427/Pdt.G/2022/PA.Bks.
hakim memutus perkara cerai talak sesuai dengan petitum yang diajukan oleh
pemohon. sesuai dengan ketentuan Pasal 178 ayat 3 HIR/ Pasal 189 ayat 3 RGB
bahwa hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut.

Kesimpulan
Dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam memberikan putusan atas
pemberian nafkah iddah dan mut’ah di dasarkan pada Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam yang tercantum
dalam pasal 149, 151, dan pasal 152. SEMA Nomor 3 Tahun 2018. Bahwa
perceraian yang diakibatkan oleh talak bekas suami memiliki kewajiban untuk
memberikan mut’ah, nafkah, maskan dan kiswah. Dalam menetapkan nafkah
madhiyah, iddah, mut’ah, dan nafkah anak Majelis Hakim harus menggali fakta
ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar istri dan anak. Ketentuan tersebut
diperuntukan untuk istri yang terbukti tidak melakukan nusyuz. Majelis hakim
juga melihat petitum permohonan yang diajukan pemohon, jika dalam petitum

15
Dadan Hidayat
Perbedaan Pemberian Nafkah Iddah Dan Mut’ah Cerai Talak Dalam Putusan Pengadilan
Agama Di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung

tidak dicantumkan pemberian nafkah iddah dan mut’ah kepada mantan istrinya.
maka, dalam membuat putusan, hakim harus sesuai dengan permohonan
pemohon.
Landasan hukum dalam perbedaan pemberian nafkah iddah dan mut’ah
cerai talak dalam putusan Pengadilan Agama di wilayah Pengadilan Tinggi Agama
Bandung, putusaan yang tidak mencantumkan nafkah iddah dan mut’ah
berdasarkan pada Pasal 178 ayat 3 HIR/ Pasal 189 ayat 3 Rgb, dan putusan yang
mencantumkan nafkah iddah dan mut’ah didasarkan pada hak ex officio hakim
yang berpedoman pada Pasal 41 Huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan jo Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan
bilamana perkawinan putus karena talak maka bekas suami berhak untuk
memberika nafkah dan mut’ah yang layak kepada bekas istri, pengadilan juga
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri, walaupaun
penerapan hak ex officio hakim tersebut juga menyimpangi ketentuan pasal 178
ayat 3 HIR/Pasal 189 ayat 3 Rgb, namun demikian putusan tersebut tidak
melanggar asas ultra petitum.
Metode peneuan hukum yang digunakan adalah metode interpretasi atau
penafsiran dalam teori penemuan hukum (rechtvinding). Majelis Hakim melakukan
terobosan hukum dengan berpedoman pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam secara
hak ex offiscio menghukum Pemohon untuk memberikan nafkah iddah dan
mut’ah. sedangkan putusan yang tidak mencantumkan pemberian nafkah iddah
dan mut’ah kepada Termohon berpedoman pada Pasal 178 ayat 3 HIR/Pasal 189
ayat 3 Rgb.

Daftar Pustaka

Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2013


Bisri, Cik Hasan. Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004
Fuadah, Aah Tsamrotul. Hukum Acara Peradilan Agama Plus Prinsip Hukum
Acara Islam Dalam Risalah Qadha Umar Bin Khattab. Depok: Rajawali
Pers, 2019
Humaid, Salah bin Abdullah. Rumah Tangga Bahagia dan Problematikanya.
Islamhouse, 2019

16
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Mertokusumo, Sudikno. Mengenai Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta:


Liberty, 1998
Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 0427/Pdt.G/2022/PA.Bks
Putusan Pengadilan Agama Bogor Nomor 0697/Pdt.G/2015/PA.Bgr
Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor 9819/Pdt.G/2018/PA.Cmi
Putusan Pengadilan Agama Ngamprah Nomor 1640/Pdt.G/2020/PA.Nph
Saebani, Beni Ahmad. Fiqh Munakat 2. Bandung: Pustaka Setia, 2016

© 2020 by the authors. Submitted for possible open access publication under
the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY
SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).

17

You might also like