You are on page 1of 8

103

Indonesian State Law Review, Vol. 2 No. 1, Oktober 2019

Positivisme Dan Implikasinya Terhadap Ilmu Dan


Penegakan Hukum

Pratama Herry Herlambang


Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Korepondensi: Pratamaheryherlambang@mail.unnes.ac.id

ABSTRACT RIWAYAT ARTIKEL


Article History
The purpose of this article is to examine the history and influence of Diterima 12 September 2019
Dipublikasi 30 Oktober 2019
positivism on jurisprudence. The method used is the library study.
The birth of positivism is the first step of modernization because of KATA KUNCI
the decline of the influence of religion and the king as God's Keywords
representative. The Renaissance era made humans not only believe Positivism, Jurisprudence,
in God's Law alone. That is what underlies the birth of understanding Legal studies
positivism. Positivism only bases on reality and only uses methods
scientifically. Positivism thinking patterns that rely on philosophical
empiricism began to be brought into the realm of law in the 19th
century, where positivism emphasized the existence of legal
certainty by taking formal legal sources in the form of laws and
regulations. Not always legal positivism simply ignores morale, it is
still open for improvement to become better but still requires
applicable procedures. But what is considered good by legal
positivism is the ugliness of this legal positivism. Positivism has
ontological aspects in positivism which is considered a positive norm
in a country's legal system so that it is free from moral problems. On
the other hand, the implication of positivism for law and its
enforcement is the use of law as a tool to maintain government
power to continue to make that position lasting and lasting.

Pendahuluan
Lahirnya positivisme merupakan langkah awal dari modernisasi
karena mundurnya pengaruh agama dan raja sebagai wakil Tuhan. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan tumbangnya Raja Louis XVI yang sangat
dikenal sebagai penguasa yang absolut sehingga rakyat yang direpresentasikan
melalui kaum burg menjadi tidak nyaman terhadap perilaku yang dilakukan
sang raja. Pasca revolusi Prancis, lalu kemudian munculah tuntutan
masyarakat dan warga negara begitu besar kepada negara baik di bidang
sosial hingga ekonomi dan pada akhirnya membuat munculnya konsep
104
Positivisme dan Implikasinya Terhadap Ilmu dan Penegakan Hukum, Pratama Herry Herlambang

negara hukum (rechstaat) yang membuat aparat pemerintahan melakukan


tindakan harus berdasarkan hukum bukan hanya kekuasaan semata.
Perkembangan teknologi dan keilmuan yang begitu pesat pada era
reinassance membuat manusia bukan hanya percaya pada hukum tuhan
semata, dan penggunaan akal rasio yang sangat dipergunakan pada saat itu,
bukan hanya pasrah terhadap fenomena yang ada tanpa memperhatikan
gejala yang terjadi. Hal tersebut yang melandasi lahirnya paham positivisme.
Filsafat positivisme berbasis pada sesuatu yang real, nyata, konkret dan kasat
mata, bukan mendasarkan pada sistem metafisik. Filsafat positivisme tidak
hendak menjelaskan esensi (Samekto,2012). Segala sesuatu yang bersifat
abstrak bukan merupakan sifat dari positivisme karena hanya yang bersifat
kasat mata dan dapat menggunakan metode secara ilmiah.
Lahirnya paham positivisme, bukan hanya masuk ke dalam ranah
ilmu eksakta namun juga masuk ke dalam ranah ilmu sosial hingga masuk ke
dalam ranah hukum. Bahkan beberapa begawan hukum secara terang-
terangan mengatakan sebagai penganut paham positivisme sehingga menjadi
suatu pertanyaan mendasar terkait kontribusi positivisme terhadap ilmu
hukum pada umumnya dan penegakan hukum pada khususnya.

Pembahasan
A. Sejarah Positivisme
Filsafat Positivisme bersandar kepada suatu hal yang bersifat real,
nyata dan kasat mata serta tidak mengacu dari hal yang bersifat metafisik. Di
dalam filsafat positivism, tidak menuju kepada penjelasan mengenai esensi
dikarenakan esensi merupakan masuk ke dalam tataran ranah yang bersifat
abstrak. Hal yang bersifat abstrak seperti esensi dan nilai yang tidak kasat
mata maka tidak dapat dijelaskan oleh positivisme. Jadi positivisme hanya
mendasarkan pada kenyataan dan hanya menggunakan metode secara ilmiah.
Awal mula kelahiran dari positivisme adalah sejak pemikiran dari Auguste
Comte (1794-1859). Menurut ajaran Aguste Comte yang tertuang dalam buku
Cours de Philosphie Positive, filsafat positivisme bertolak dari pandangan
bahwa terdapat hukum perkembangan yang menguasai manusia dan itu
bersifat tetap. Hukum perkembangan itu meliputi tiga tahap :
1. Tahap teologis: dalam tahap ini manusia percaya pada kekuatan
illahi di belakang gejala alam;
2. Tahap metafisik: dalam tahap ini ide-ide teologis digantikan dengan
ideide abstrak dan metafisik;
3. Tahap positif: dalam tahap ini gejala alam tidak lagi diterangkan
dengan ide abstrak. Gejala alam diterangkan melalui gejala lain
dengan mendapatkan hukum-hukum yang ada di antara gejala-
105
Indonesian State Law Review, Vol. 2 No. 1, Oktober 2019

gejala yang bersangkutan. Melalui metode ilmiahnya., positivisme


menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat
dikontrol, digeneralisasi sebagai gejala ke depan yang dapat
diprediksikan kepastiannya ( Ibid., 2012).
Berdasarkan pemikiran awal tersebut, maka kemudian berkembang
pemahaman bahwa hukum akan menjadi hukum apabila sudah bersifat
positif dari negara. Maka ketika hukum sudah menjadi positif maka akan
bebas nilai serta moral yang ada di dalam hukum tersebut. Hal tersebut dapat
dimaknai sebagai pembicaraan mengenai moral, nilai dan keadilan sudah
terlepas dari hukum positif tersebut. Hukum yang diakui adalah hukum
negara, selain itu bukan merupakan hukum.

B. Ciri Positivisme Dalam Ilmu Hukum


Di dalam tulisan Hart yang dikutip oleh Teguh Prasetyo dan Abdul
Halim Barkatullah memaparkan, terdapat lima ciri tentang positivisme yang
terdapat pada ilmu hukum dewasa ini (contemporary jurisprudence):
1. Hukum adalah satu perintah yang datangnya dari manusia.
2. Tidak ada hubungan yang mutlak antara hukum dan kesusilaan,
antara hukum yang berlaku (law as it is) dan hukum yang dicita-
citakan (law as it ought to be).
3. Analisa mengenai pengertian hukum (legal concept) adalah penting
dan harus dibedakan dari:
 Penyelidikan secara sejarah tentang sebab musabab hukum
atau tentang sumber hukum;
 Penyelidikan secara sosiologis mengenai hubungan hukum
dengan gejala-gejala kemasyarakatan lainnya penyelidikan
hukum yang didasarkan pada kesusilaan tujuan-tujuan sosial
fungsi hukum dan sebagainya.
4. Sistem hukum adalah satu sistem logika yang tertutup (closed
logical sistem); pada sistem tersebut ketentuan-ketentuan hukum
yang benar bisa diperoleh dengan alat-alat logika (logical means) dari
peraturan-peraturan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya, pada
memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik, ukuran-ukuran moral
dan sebagainya.
5. Pertimbangan-pertimbangan mengenai kesusilaan tidak dapat dibuat
atau dibuktikan dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi
dan buktibukti berdasarkan logika, sebagai misalnya dalam hal
keterangan-keterangan tentang fakta-fakta (Prasetyo, dkk., 2012)
106
Positivisme dan Implikasinya Terhadap Ilmu dan Penegakan Hukum, Pratama Herry Herlambang

Sedangkan menurut John Austin:


1. Hukum adalah perintah yang berdaulat.
2. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan
ketentuanketentuan lain yang secara tegas dapat disebutkan
demikian, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan
atau keburukannya.
3. Konsep tentang kedaulatan negara:
 Kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk
pada suatu atribut negara yang bersifat internal maupun
eksternal.
 Sifat eksternal dari kedaulatan negara tercermin pada hukum
internasional, sedangkan sifat internal kedaulatan negara
tercermin pada hukum positif.
 Pelaksanaan kedaulatan membutuhkan ketaatan. Ketaatan
terhadap kedaulatan negara itu berbeda-beda sesuai
kebutuhan subyeknya.
 Ada perbedaan antara ketaatan terhadap kedaulatan negara
dengan ketaatan terhadap ancaman penodong misalnya. Hal
tersebut membedakan di antara keduanya adalah legitimasi
(didasarkan pada undang-undang) yang berlaku dan diakui
secara sah. Pada ketaatan terhadap kedaulatan negara,
subjeknya merasakan a moral duty to obey (ada kewajiban
moral untuk mentaatinya) (Berthens, dkk.2018)

C. Implikasi Positivisme Terhadap Ilmu dan Penegakan Hukum


Pemikiran positivisme dipengaruhi oleh pemikiran yang dilakukan
oleh Comte yang menolak ajaran bersifat abstrak dan bersifat metafisik.
Menurut Comte, segala sesuatu harus dapat dilihat atau konkret serta dapat
diukur dalam bentuk metode ilmiah sehingga dapat dihitung sebagai ilmu
pengetahuan. Jika tidak termasuk dalam hal tersebut maka dapat dipastikan
bukan ilmu pengetahuan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Pemikiran tersebut merupakan bantahan mengenai hukum alam dan
nilai keagamaan yang begitu kental pada saat itu, ditambah dengan
munculnya raja yang bersifat absolut sehingga dapat pertentangan dari
masyarakat. Dalam abad ke-19 cara berfikir positivisme yang mengandalkan
empirisme filosofis itu kemudian dibawa masuk ke wilayah hukum. Disana
hukum dijadikan sebagai produk ilmiah menurut takaran positivisme.
Penekanan diberikan kepada fakta empiris sebagai satu-satunya bentuk
107
Indonesian State Law Review, Vol. 2 No. 1, Oktober 2019

pembenaran atau pertanggungjawaban secara ilmiah. Gerakan ilmiah di


bidang hukum inilah yang melahirkan positivisme hukum (legal positivism)
mula-mula di Inggris dan kemudian juga di Jerman. Hukum berarti hukum
positif. Dengan demikian teori hukum kodrat ditolak karena kedudukan
hukum dihubungkan dengan eksistensi dan peranan dari otoritas yang
melampaui manusia (Ibid, 2018).
Ketegasan positivisme hukum untuk menghilangkan persyaratan
koneksitas antara hukum dan moral membuat ranah aksiologis aliran ini
hanya terbatas pada pencapaian kepastian hukum. Inti dari kepastian hukum
adalah prediktabilitas, yakni kemampuan mempersepsikan “an individual
ought to behave in a certain way” Aspek aksiologis yang diperjuangkan
positivisme hukum adalah kepastian hukum. Dengan mengambil sumber
hukum formal hukum berupa peraturan perundang-undangan, diyakini
bahwa hal ini dapat diwujudkan. Asas legalitas merupakan roh dari upaya
pengejaran kepastian hukum tersebut. Asas ini oleh Von Feuerbac
dirumuskan dalam adagium “No punishment without law, no punishment
without crime, no crime without punishment” (nulla poena sine lege, nulla
poena sine crimine, nullum crimen sine poena) Asas ini begitu mendominasi,
khususnya dalam arena hukum pidana, sehingga dalam banyak kodifikasi
dimuat dalam pasal pertama. Itulah sebabnya, larangan retroaktif dan
penetapan analogi sangat ditekankan dalam konsep berfikir tradisional
positivisme hukum (Shidarta, 2013)
Berdasarkan aliran ini, selama peraturan perundangan masih sah
dianggap sebagai peraturan maka hal tersebut dianggap paling benar, hal itu
tidak melihat lagi substansi dari hukum tersebut baik ataukah tidak baik.
Namun yang ditekankan dalam hal ini adalah proses secara prosedural dari
peraturan perundangan yang sah pemberlakuannya maka akan selalu menjadi
hukum.
Maka jelas tidak mengakui hukum alam yang terjadi di muka bumi,
hal tersebut membuktikan bahwa hukum yang diakui adalah hukum negara,
hukum yang ada selain hukum negara dianggap tidak berlaku karena dalam
aliran ini mengisyaratkan adanya prosedur formal dalam memberlakukan
undang-undang ataupun hukum. Maka jelas bahwa terjadinya pemisahan
tajam dan nyata antara hukum dan moral. Moral sudah dianggap tuntas jika
sudah berubah menjadi peraturan perundangan. Dalam aliran positivisme
hukum ini bukan menganggap bahwa hukum yang sudah diundangkan akan
selamanya baik, dan mengabaikan moral begitu saja. Sesungguhnya bagi
aliran ini tetap terbuka untuk perbaikan atau dengan kata lain bahwa selalu
siap jika ada perubahan agar hukum menjadi lebih baik lagi ke depannya
namun tetap diperlukan prosedur yang berlaku. Namun apabila belum ada
108
Positivisme dan Implikasinya Terhadap Ilmu dan Penegakan Hukum, Pratama Herry Herlambang

prosedur yang legal maka hukum yang terdahulu dianggap masih berlaku
meskipun sudah tidak sesuai dengan keadaan di jaman itu. Untuk
membenarkan diri, positivisme hukum dapat menunjuk pada kepastian
hukum (rechtssicherheit) yang memang dijamin. Identifikasi hukum dengan
undang-undang menjamin bahwa orang tahu dengan pasti apa yang boleh
dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Dia juga tahu apa yang negara akan
lakukan kalau ia tidak menjalankan apa yang telah ditetapkan di dalam
undang-undang itu. Dengan itu, beban hakim menjadi ringan, karena ia tak
perlu mempertimbangkan keadilan dan kewajaran hukum itu sendiri. Ia
membatasi diri hanya pada penerapan hukum atas kasus yang ada (Jegalus,
2011). Dari yang dianggap kebaikan oleh positivisme hukum tentang
kepastian hukum itulah keburukan dari aliran ini menjadi terkuak. Aliran
yang mengambil jarak antara moral dan hukum ini secara tidak langsung
akan mematikan moral sehingga tujuan mengenai keadilan menjadi buyar
dan semakin jauh dari rel yang diinginkan dari terciptanya hukum tersebut.
Apalagi jika pemerintah yang berkuasa saat itu adalah pemerintah yang tirani
sehingga hukum positif atau hukum yang berlaku saat itu hanya dijadikan alat
untuk melanggengkan kekuasaan atau bahkan dimaksudkan untuk
menghantam rakyat kecil yang sudah seharusnya dibela dan dilindungi. Hal
tersebut terjadi di beberapa negara yang melegalkan segala tindakannya
mengatasnamakan hukum tersebut. Hal itu jelas bukan tujuan dari aliran
positivisme hukum tersebut, kepastian yang dicari dalam aliran ini adalah
kepastian yang sama di mata hukum. Positivisme yang mempunyai aspek
ontologis dalam positivisme yang dianggap sebagai norma positif dalam
sistem perundang-undangan suatu negara sehingga terlepas dari masalah
moral. Kemudian aspek epistemologinya dari positivisme adalah doktrinal
deduktif, serta aspek aksiologis yang dicari dari epistemologi yakni kepastian
hukum. Maka jika berkaca dari pendapat Gustav Radbruch maka positivisme
menganggap kepastian hukum adalah hal yang paling utama, sedangkan
kemanfaatan dan keadilan sudah dianggap selesai dan dapat diakomodir
melalui kepastian hukum dalam bentuk peraturan perundangan. Positivisme
yang menganggap hukum adalah peraturan perundangan semata (lege)
membuat hakim tidak dapat menggali lebih jauh tentang hukum sehingga
hakim dianggap la bouche de la loi (hakim sebagai corong undang-undang).
Di dalam positivisme yang menganggap hukum adalah peraturan
perundangan dari negara berimplikasi terhadap pengejaran atas kepastian
hukum semata tanpa melihat dan mempertimbangkan keadilan dan
kemanfaatan dari hukum tersebut. Hakim jadi tidak dapat memiliki ruang
gerak untuk mencari keadilan namun hanya menerapkan undang-undang
yang sudah ada. Di sisi lain kepastian hukum yang diinginkan dari
109
Indonesian State Law Review, Vol. 2 No. 1, Oktober 2019

positivisme sangat tertinggal jauh dari keadaan di masyarakat. Hal tersebut


terjadi karena banyak fenomena sosial yang terkadang mempunyai cara
terbaru dalam melakukan sesuatu yang melanggar hukum namun belum
diatur dalam peraturan perundangan. Perilaku masyarakat yang melanggar
hukum sangat dipengaruhi beberapa faktor yang salah satunya adalah peran
teknologi yang sangat pesat kemajuannya sehingga sangat memungkinkan
masyarakat melakukan tindakan yang melawan norma di masyarakat tapi
belum diatur dalam peraturan perundangan. Contohnya adalah asas legalitas
yang intinya dapat memberikan sanksi apabila sudah ada peraturan
perundangan yang berlaku membutuhkan dasar hukum untuk memberikan
sanksi. Hal itu tampak jelas implikasi dari positivisme hukum dalam
penegakkan hukum. Maka sangat jelas bahwa akan sangat sulit mengejar
perkembangan masyarakat. Positivisme hukum menuntut adanya hukum
tertulis terlebih dahulu atas perbuatan masyarakat yang tidak sesuai norma di
masyarakat apabila untuk pemberian sanksi membuat akan adanya
kekosongan hukum yang terjadi apabila terjadi tindakan yang tidak sesuai
dengan norma namun hukum negara belum mengaturnya. Hal itu sangat
dimaklumi terjadi karena yang dikejar hanya kepastian semata dan
menyingkirkan keadilan dan kemanfaatan. Sehingga hal itu membuat hukum
terasa sangat lamban dalam melakukan pergerakan untuk mengejar
kehidupan masyarakat yang jelas membutuhkan kepastian tersebut secara
cepat. Di sisi lain, implikasi dari positivisme terhadap hukum dan
penegakkannya adalah dipakainya hukum sebagai alat untuk
mempertahankan kekuasaan pemerintah untuk terus membuat kedudukan itu
menjadi langgeng dan abadi. Hukum negara yang dianggap hukum satu-
satunya oleh positivisme hukum jelas akan membuat hukum negara sebagai
instrumen untuk menggebuk lawan politik dan memperpanjang umur
kekuasaan. Hal itu seolah terasa sebagai menjatuhkan lawan secara legal dan
dilindungi oleh hukum, dikarenakan tanpa melihat manfaat dan keadilan
yang ingin dicapai dengan penerapan hukum tersebut dan cukup melihat
aspek nyata dari peraturan perundangan. Serta yang terakhir, implikasi yang
diberikan positivisme hukum terhadap ilmu dan penegakan hukum adalah
tidak dapat bekerja secara optimal para penegak hukum seperti jaksa, polisi,
pengacara dan hakim untuk menemukan hukum. Para praktisi dituntut untuk
melaksanakan peraturan perundangan tanpa perlu menggali nilai-nilai yang
ingin dicapai dalam peraturan perundangan yang dibuat tersebut. Hanya
melakukan implementasi tanpa berhak melakukan terobosan hukum yang
mungkin di era jaman sekarang ini perlu dilakukan untuk menemukan hukum
yang layak mencapai keadilan, kemanfaatan dan kepastian bagi semua pihak.
110
Positivisme dan Implikasinya Terhadap Ilmu dan Penegakan Hukum, Pratama Herry Herlambang

Referensi

Berthens, K., Ohoitimur, J., & Dua, M. (2018). Pengantar Filsafat.


Yogyakarta: Kanisius.
Jegalus, N. (2011). Hukum Kata Kerja Diskursus Filsafat Tentang Hukum
Progresif. Jakarta: Obor.
Prasetyo, T., & Barkatullah, A. H. (2011). Ilmu Hukum & Filsafat Hukum
Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Prasetyo, T., & Barkatullah, A. H. (2012). Filsafat, Teori & Ilmu Hukum
Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan
Bermartabat. Jakarta: Raja Grafindo.
Samekto, A. (2015). Pergeseran Pemikiran Hukum Dari Era Yunani Menuju
Postmodernisme. Jakarta: Konstitusi Press.
Sidharta. (2013). Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Yogyakarta:
Genta Publishing.

You might also like