Professional Documents
Culture Documents
36187-Article Text-87324-4-10-20200616
36187-Article Text-87324-4-10-20200616
Pendahuluan
Lahirnya positivisme merupakan langkah awal dari modernisasi
karena mundurnya pengaruh agama dan raja sebagai wakil Tuhan. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan tumbangnya Raja Louis XVI yang sangat
dikenal sebagai penguasa yang absolut sehingga rakyat yang direpresentasikan
melalui kaum burg menjadi tidak nyaman terhadap perilaku yang dilakukan
sang raja. Pasca revolusi Prancis, lalu kemudian munculah tuntutan
masyarakat dan warga negara begitu besar kepada negara baik di bidang
sosial hingga ekonomi dan pada akhirnya membuat munculnya konsep
104
Positivisme dan Implikasinya Terhadap Ilmu dan Penegakan Hukum, Pratama Herry Herlambang
Pembahasan
A. Sejarah Positivisme
Filsafat Positivisme bersandar kepada suatu hal yang bersifat real,
nyata dan kasat mata serta tidak mengacu dari hal yang bersifat metafisik. Di
dalam filsafat positivism, tidak menuju kepada penjelasan mengenai esensi
dikarenakan esensi merupakan masuk ke dalam tataran ranah yang bersifat
abstrak. Hal yang bersifat abstrak seperti esensi dan nilai yang tidak kasat
mata maka tidak dapat dijelaskan oleh positivisme. Jadi positivisme hanya
mendasarkan pada kenyataan dan hanya menggunakan metode secara ilmiah.
Awal mula kelahiran dari positivisme adalah sejak pemikiran dari Auguste
Comte (1794-1859). Menurut ajaran Aguste Comte yang tertuang dalam buku
Cours de Philosphie Positive, filsafat positivisme bertolak dari pandangan
bahwa terdapat hukum perkembangan yang menguasai manusia dan itu
bersifat tetap. Hukum perkembangan itu meliputi tiga tahap :
1. Tahap teologis: dalam tahap ini manusia percaya pada kekuatan
illahi di belakang gejala alam;
2. Tahap metafisik: dalam tahap ini ide-ide teologis digantikan dengan
ideide abstrak dan metafisik;
3. Tahap positif: dalam tahap ini gejala alam tidak lagi diterangkan
dengan ide abstrak. Gejala alam diterangkan melalui gejala lain
dengan mendapatkan hukum-hukum yang ada di antara gejala-
105
Indonesian State Law Review, Vol. 2 No. 1, Oktober 2019
prosedur yang legal maka hukum yang terdahulu dianggap masih berlaku
meskipun sudah tidak sesuai dengan keadaan di jaman itu. Untuk
membenarkan diri, positivisme hukum dapat menunjuk pada kepastian
hukum (rechtssicherheit) yang memang dijamin. Identifikasi hukum dengan
undang-undang menjamin bahwa orang tahu dengan pasti apa yang boleh
dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Dia juga tahu apa yang negara akan
lakukan kalau ia tidak menjalankan apa yang telah ditetapkan di dalam
undang-undang itu. Dengan itu, beban hakim menjadi ringan, karena ia tak
perlu mempertimbangkan keadilan dan kewajaran hukum itu sendiri. Ia
membatasi diri hanya pada penerapan hukum atas kasus yang ada (Jegalus,
2011). Dari yang dianggap kebaikan oleh positivisme hukum tentang
kepastian hukum itulah keburukan dari aliran ini menjadi terkuak. Aliran
yang mengambil jarak antara moral dan hukum ini secara tidak langsung
akan mematikan moral sehingga tujuan mengenai keadilan menjadi buyar
dan semakin jauh dari rel yang diinginkan dari terciptanya hukum tersebut.
Apalagi jika pemerintah yang berkuasa saat itu adalah pemerintah yang tirani
sehingga hukum positif atau hukum yang berlaku saat itu hanya dijadikan alat
untuk melanggengkan kekuasaan atau bahkan dimaksudkan untuk
menghantam rakyat kecil yang sudah seharusnya dibela dan dilindungi. Hal
tersebut terjadi di beberapa negara yang melegalkan segala tindakannya
mengatasnamakan hukum tersebut. Hal itu jelas bukan tujuan dari aliran
positivisme hukum tersebut, kepastian yang dicari dalam aliran ini adalah
kepastian yang sama di mata hukum. Positivisme yang mempunyai aspek
ontologis dalam positivisme yang dianggap sebagai norma positif dalam
sistem perundang-undangan suatu negara sehingga terlepas dari masalah
moral. Kemudian aspek epistemologinya dari positivisme adalah doktrinal
deduktif, serta aspek aksiologis yang dicari dari epistemologi yakni kepastian
hukum. Maka jika berkaca dari pendapat Gustav Radbruch maka positivisme
menganggap kepastian hukum adalah hal yang paling utama, sedangkan
kemanfaatan dan keadilan sudah dianggap selesai dan dapat diakomodir
melalui kepastian hukum dalam bentuk peraturan perundangan. Positivisme
yang menganggap hukum adalah peraturan perundangan semata (lege)
membuat hakim tidak dapat menggali lebih jauh tentang hukum sehingga
hakim dianggap la bouche de la loi (hakim sebagai corong undang-undang).
Di dalam positivisme yang menganggap hukum adalah peraturan
perundangan dari negara berimplikasi terhadap pengejaran atas kepastian
hukum semata tanpa melihat dan mempertimbangkan keadilan dan
kemanfaatan dari hukum tersebut. Hakim jadi tidak dapat memiliki ruang
gerak untuk mencari keadilan namun hanya menerapkan undang-undang
yang sudah ada. Di sisi lain kepastian hukum yang diinginkan dari
109
Indonesian State Law Review, Vol. 2 No. 1, Oktober 2019
Referensi