You are on page 1of 11

E f e k t i v i t a s C en d aw an Ve r t i c i l l i um l e c a ni i ( Zi m m .

) Isolat Palolo Terhadap


Mortalitas Kutu Daun ( Aphis glycines M.) (Hemiptera: Aphididae)
Pada Tanaman Cabai (Capsicum frustescens L.)

F uel Ef f ect i veness Vert i cil l i um l ecani i ( Zi m m .) Isol at e P al ol o to


Mortality of Aphids ( Aphis Glycines M.) (Hemiptera: Aphididae) On
Chili Plants ( Capsicum frustescens L.)

Flora Pasaru1), Abd. Wahid1)dan Fifin Indriani2)


1)
Dosen ProgramStudiAgroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu
2)
Mahasiswa Program StudiAgroteknologi Fakultas PertanianUniversitasTadulako, Palu
E-mail: florapasaruhpt@gmail.com
E-mail: pkmk_untad@yahoo.co.id
E-mail: fifinindriani134@gmail.com

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the effectiveness of entomopathogenic


fungiV. lecaniiwith different concentrations of conidia density on the mortality rate of
aphids (Aphis glycines) and the symptoms of infection caused by the fungus.The method
used was a completely randomized design (CRD), with five treatments and three
replications. The treatments were control or aquadest (P0), 10-3 (P1), 10-5 (P2), 10-7 (P3)
and treatments 10-9 (P4). Then, continued with data analysis using Analysis of Variance
(ANOVA) with 5% BNJ test. The results of the mortality test showed that all levels of
conidia density of the fungus V. lecanii with different dilution levels tested were able to
kill Aphis glycines, with different mortality rates. From the results of the research that has
been carried out, it was found that the concentration of conidia had a very significant
effect in killing Aphis glycines at 2 to 6 days after application.The highest mortality rate
was found in treatment P1 (10-3) with conidia dilution density3.09 x109 /ml .after the
application of the fungus, the surface of the insect's body will be covered by hyphal
threads and then the insect will harden. This means thatthe higher the density of conidia
used, the more conidia attached to the host insect, so that it will cause higher mortality in
these insects.

Keywords: Chili, dilution, Verticillium lecanii and Aphis glycines

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk menguji efektivitas cendawan entomopatogen V.


lecanii dengan konsentrasi kerapatan konidia yang berbeda terhadap tingkat mortalitas
hama kutu daun (Aphis glycines) serta gejala infeksi yang disebabkan oleh cendawan
tersebut. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan lima
perlakuan dan tiga ulangan. Adapaun perlakuannya yaitu perlakuan 10-3 (P1), perlakuan
10-5 (P2), perlakuan 10-7 (P3), perlakuan 10-9 (P4), dan kontrol atau menggunakan
aquades (P0). Kemudian, dilanjutkan dengan analisis data menggunakan Analisis Varian
(ANOVA) dengan uji BNJ α 5%. Hasil uji mortalitas menunjukan bahwa semua tingkat
kerapatan konidia cendawan V. lecanii dengan tingkat pengenceran yang berbeda mampu
membunuh Aphis glycines, dengan tingkat mortalitas yang berbeda. Dari hasil penelitian
yang telah dilakukan diperoleh bahwa konsentrasi konidia berpengaruh sangat nyata
dalam membunuh Aphis glycines pada 2 sampai 6 hari setelah aplikasi. Tingkat mortalitas
tertinggi terdapat pada perlakuan P1 (10-3) dengan kerapatan pengenceran konidia 3,09 x
109 /ml, setelah pengaplikasian cendawan tersebut, permukaan tubuh serangga akan
diselimuti oleh benang-benang hifa dan kemudian serangga akan mengeras. Ini berarti
bahwa semakin tinggi kerapatan konidia yang digunakan, maka semakin banyak konidia
yang menempel pada serangga inang, sehingga akan menyebabkan kematian lebih tinggi
pada serangga tersebut.

Kata Kunci : Cabai, pengenceran, Verticillium lecanii dan Aphis glycines

PENDAHULUAN ini memakan segala jenis tanaman


(polifag) termaksut cabai. Aphis
Secara umum tanaman cabai dewasa dapat mempunyai keturunan
rawit (capsicum frustescens L.) sampai lebih 50 ekor (Pracaya,
merupakan tanaman yang banyak di 2003).
budidayakan hampir di seluruh Siklus hidup dari kutudaun
wilayah Indonesia. Halini karena yaitu secara parthenogenesis (tanpa
permintaan yang tinggi dan merata kawin dulu) di mulai dari telur,
dari masyarakat setiap tahun yang nimfa dan imago. Telur menetas
sering digunakan sebagai pelengkap pada umur 3 sampai 4 hari setelah
bumbu masakan. Berdasarkan data diletakan di daun, kemudian telur
Dinas Tanaman Pangan Propinsi menjadi nimfa dimana stadia nimfa
Sulawesi Tengah rata-rata produksi berumur 14 sampai 18 hari kemudian
cabai rawit mencapai 22.199 ton. berubah menjadi imago. Siklus hidup
Produksi cabai nasional yang dari nimfa sampai imago 5- hari,
mencapai 37.471 ton/ha tergolong imago kutu daun biasa dapat bertelur
tinggi dibandingkan dengan produksi sampi 75 butir telur selama
tanaman cabai Kabupaten sigi. hidupnya, imago kutu dau dapat
Rendahnya produksi cabai dapat di hidup hingga 28 hari
sebabkan oleh berbagai faktor yaitu (Aggraini, dkk, 2018).
serangan hama penyakit dan Aphis biasa menyerang
penanganan pascapanen yang dapat tanaman pada musim kemarau, yaitu
menyebabkan kehilangan hasil panen pada suhu tinggi dan udara kering.
yang tinggi (BPS, 2021). Pada saat musim hujan kutu daun
Permasalahan dalam cukup sulit untuk di temukan terlebih
penanaman cabai bukan hanya pada lagi apabila intensitas hujan tinggi
proses pembudidayaannya saja, maka kemungkinan kutu daun dapat
terdapat juga permasalahan yang tersapu oleh air hujan. Bagian
lainnnya yaitu bagaimana mengatasi tanaman yang biasanya diserang
hama dan penyakit yang menyerang yaitu bagian daun muda dan pucuk
tanaman cabai dengan benar tanaman. Serangga inii biasa dapt
(Setiadi, 2004). menutupi tanaman karena serangga
Salah satu hama yang banyak ini biasa hidup bergerombol
menyerang tanaman cabai yaitu kutu (Sinaga, 2014)
daun atau sering disebit aphis. Hama
Pada serangan berat, selain noda-noda hitam sebagai titik infeksi
daun keriting, daun-daun menjadi pertama pada bagian abdomen yang
berwarna hitam karena tertutup menyebabkan serangga menjadi
lapisan cendawan jelaga, selanjutnya lemah, dan lama kelamaan
tanaman akan tumbuh kerdir walangsangit akan mati serta seluruh
dan perlahan-lahan mati permukaan tubuhnya akan diselimuti
(Dafrinal. dkk, 2012). oleh benag-benag hifa dan kemudian
Beberapa upaya telah serangga akan mengeras (Ardi, dkk,
dilakukan petani untuk 2017).
mengendalikan organisme Cendawan entomopatogen L,
pengganggu tanaman (OPT) namun lecanii dapat menjadi agensi hayati
hasilnya kurang optimal halini terjadi pada hama dan penyakit tanamaan.
karena pengendalian yang dilakukan Konidia L. lecanii dapat menginfesi
tidak terintegrasi (prsial). inang dengan cara berkecambah,
Pengendalian menggunakan bahan penetrasi melalui kutikula, produksi
kimia yang dilakukan petani sudah blastospora, dalam haemocoel,
tidak efektiv karaena dapat percabangan hifa dan invasi jaringan,
menyebabkan dampak negativ bagi yang akhirnya menyebabkan
lingkungan. Sejumlah mikroba yang kematiaan inang. Selain itu L lecanii
telah dilaporkan dalam berbagi dapat menjadi agensi hayaati
penelitian dapat digunakan sebagai terhadap penyakit tanaman seperti
agensi pengendalian secara hayati karatdaun kopi. Cendawan
mengendalikan hama dan penyakit hyperparasit ini dapat mengurangi
tubuhan salah satunya yaitu kemampuan hidup ureodospora, dan
verticillium lecanii (Soenartiningsih, mengurangi karat daun kopi
dalam Ardi, dkk, 2017). (khaerati dkk 2015)
Pengendalian Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) METODE PENELITIAN
hortikultura sangat dianjurkan untuk
memperhatikan aspek teknis, Penelitian ini dilaksanakan
ekologis, sosial dan ekonomi agar didua tempat yaitu di Rumah Kasa
produk hasil pertanian yang Jurusa Hama dan Penyakit Tanaman
diinginkan terbebas dari residu dan Laboratorium Hama dan
pestisida kimia. Salah satu alternatif Penyakit Tuanaman Fakultas
pengendalian yang bersifat ramah Pertanian Universitas Tadulako,
lingkungan yaitu dengan Palu. Penelitian ini berlangsung dari
memanfaatkan agensi hayati bulan april sampai Juli 2020.
menggunakan mikroorganisme Alat yang digunakan adalah
sebagai bioinsektisida untuk polybag dengan lebar 40/20 cm
pengendalian hama dan penyakit panjang 40cm, kain kasa, stoples
(Prayogo, 2004). plastik, cutter, timbangan, gelas ukur,
Aplikasi V. lecanii pada plastik, autoclave, cawan petri,
serangga imago walang sangit dapat ayakan, pipet tetes, panci, kompor,
menyebabkan bentuk tubuh hot plate, batang pengaduk, korek
mengeras, menciut dan terdapat api, bunsen, jarum inokulum,
haemositometer, tabung reaksi, rak
tabung, microwave, laminar, 2. Gejala Infeksi Cendawan V.
inkubator, mikropipet, vortex, lecanii
mikroskop dan alat tulis menulis. Mengamati gejala infeksi
Sedangkan bahan yang yang ditimbulkan oleh Cendawan V.
digunakan yaitu isolat murni lecanii. Sesudah aplikasi dengan
V.lecanii (ZIMM) ISOLAT munculnya hifa pada permukaan tubuh
PALOLO, Aphis glycines, kentang, Aphis sp. Diamati dibawah mikroskop
gula, agar-agar, akuades, tisu, cahaya dengan perbesaran 40x.
wraping, aluminium foil, alkohol
70% dan kapas. Analisis Data. Data hasil
pengamatan di analisis dengan
Penelitian ini dilakukan
menggunakan analisis varian
dengan mengunakan metode
(ANOVA) sesuai desain yang
rancangan acak lengkap (RAL)
digunakan yaitu Rancangan Acak
dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan
Lengkap (RAL). Apabila hasil
perlakuan terdiri dari:
analisis menunjukkan pengaruhmaka
P0 = Kontrol (tanpa perlakuan)
di lanjutkan dengan uji BNJ (Beda
P1 = Kerapatan Konidia pada
-3 Nyata Jujur ) taraf 0,05%.
pengenceran V. lecanii10
P2 = Kerapatan Konidia pada
-5 HASIL DAN PEMBAHASAN
pengenceran V. lecanii 10
P3 = Kerapatan Konidia pada Gejala infeksi konidia V. lecanii
-7
pengenceran V. lecanii 10 terhadap kutu daun.
P4 = Kerapatan Konidia pada
pengenceran V. lecanii 10-9 Gejala infeksi yang disebabkan
oleh cendawan V. lecanii terhadap
Variabel Pengamatan. Variabel Aphis glycines tampak perbedaan
yang diamati pada penelitian ini selama waktu pengamatan terlihat
adalah gejala infeksi Cendawan pada tabel 1.
Verticillium lecanii dan mortalitas Pada perlakuan V. lecanii
Aphis glycines kemudian dihitung sudah menunjukkan gejala pada
dengan menggunakan rumus Sinaga pengamatan 2 HSA khususnya pada
(2009) sebagai berikut : perlakuan 10-3. Gejala yang
ditimbulkan yaitu ditandai dengan
1. Mortalitas kutu daun warna tubuh menjadi kepucatan.
Tubuh dari imago kutu daun mulai
Perhitungan persentase mengeras dan berwarna kuning
mortalitas menggunakan rumus dari kehitaman setelah di tumbuhi oleh
(Fagoone dan Lauge, 1981 dalam miselium cendawan V.lecanii
Sinaga, 2009) sebagai berikut : berwarna putih.
𝒂
Berdasarkan hasil pengamatan
M = 𝒃 𝒙 𝟏𝟎𝟎% morfologi tentang gelajah infeksi
Keterangan : cendawan V.lecanii terhadap
M = Presentasi mortalitas hama serangga Aphis glycines telah
a = Jumlah hama yang mati menunjukkan gejalah yang signifikan
b = Jumlah hama yang diamati sesudah pengaplikasian pada 2 HSA.
Morfolgi larva V.lecanii pengamatan pada hari ketiga benag
sebelum pengaplikasian memiliki hifa mulai muncul walupun hanya
warna hijau kekuningan dan terdapat sedikit berwarn putih. Mula-mula
bulu-bulu halus pada tubuh larva muncul benang-benang yang
(Gambar 1a). Sedangkan pada membentuk miselium berwarna putih
pengamatan gejalah larva yang yang tumbuh dibagian ruas-ruas
terinfeksi cendawan entomopatogen tungkai dan antena. Hal ini sesuai
V. lecanii yang ditimbulkan yaitu menurut (Hasan et.al, 2013).
matinya serangga yang ditandai
dengan perubahan warna dari hijau Umumnya cendawan
kekuningan menjadi warna entomopatogen L. lecanii
kecoklatan, tubuh serangga tersebut menginfeksi inang dengan konidia
menjadi mengeras dan kaku, serta membentuk tabung kecambah untuk
terdapatnya hifa berwarna putih menembus kutikula, atau
seperti benang-benang halus yang berkecambah di atas permukaan
keluar dari tubuh A. glycines tersebut kutikula. Tabung kecambah yang
yang lama kelamaan akan terbentuk akan berkembang
membentuk miselium, seperti yang membentuk apresorium yang
disajikan pada (Gambar 1 b dan c). berfungsi untuk menempelkan organ
infektif pada permukaan inang.
Ketika konidia kontak dengan Tabung kecambah yang terbentuk
kulit serangga, maka konidia tersebut dengan cepat dan memiliki ukuran
berkecambah dan tumbuh secara yang besar diduga akan semakin
langsung melalui kutikula sampai besar pula peluang inang dapat
bagian dalam dari tubuh inangnya, dipenetrasi oleh cendawan karena
selanjutnya berkembang biak permukaan inang lebih cepat
diseluruh tubuh serangga, dihidrolisis oleh enzim yang
memproduksi toksin dan mengambil dihasilkan oleh cendawan (Prayoga,
nutrisi pada serangga yang akan 2009).
kemudian mematikan serangga
(Maharani, dkk., 2016). Kemampuan cendawan
entomopatogen dalam memproduksi
Serangga uji yang sudah konidia mempunyai arti sangat
terinfeksi V. lecanii di hari kedua penting karena konidia merupakan
pada baagian abdomen terdapat propagul infektif bagi cendawan
noda-noda berwarna hitam, setelah tersebut yang berperan utama sebagai
alat untuk pemencaran dan proses
infeksi (Lerche dkk, 2008).
Tabel 1. Gejala infeksi V. lecanii pada Aphis glycines setelah di beri perlakuan.

Hari Setelah Aplikasi ( HSA ) Gejala Pada Serangga Uji Setelah Aplikasi
Verticillium lecanii

1 Sebagian besar belum menunjukkan gejala


pada imago kutu daun
2-3 Gerakan lamban, nafsu makan menurun
tubuh serangga mulai ditumbuhi miselium
berwarna putih
Tubuh imago mengeras dan di tumbuhi
4-7 miselium berwarna putih.

perbandingan Mortalitas A. glycines


(a) (b) (c) pada 1 HSA- 5 HSA selalu
) meningkat dan mulai menurun pada
6-7 HSA.
Dari hasil analisis ragam
diperoleh bahwa perlakuan kontrol
(P0) tidak berbedanyata berbeda
dengan P1 sampai P4
berpengaruhnyata terhadap
mortalitas dari serangga, yang
membedakan hanya tingkat
Gambar 1. (a) A. glycines yang mortalitas dari setiap perlakuan yang
belum terinfeksi cendawan V.lecanii berbeda di mana tingkan mortalitas
(b) A. glycines yang terinfeksi tertinggi terdapat pada perlakuan 10-3
cendawan V. lecanii Pada hari ke-2 – (P1). Perbandingan Mortalitas A.
hari ke-3 Setelah aplikasi dan (c) glycines pada 1 HSA- 5 HSA selalu
A.glycines yang terinfeksi cendawan meningkat dan mulai menurun pada
V.lecanii Pada 4-7 HSA. 6-7 HSA. Dapat dihat bahwa Pada 1
hari sampai 7 hari setelah aplikasi
Mortalitas Kutu Daun (Aphis perbandingan perlakuan kontrol (P0)
glycines).Dari hasil analisis ragam dengan perlakuan 10-7 (P3) dan
diperoleh bahwa perlakuan kontrol perlakuan 10-9 (P4) tidak
(P0) tidak berbedanyata berbeda berbedanyata, begitu pula bila
dengan P1 sampai P4 berpengaruh perlakua 10-5 (P2) dibandingkan
nyata terhadap mortalitas dari dengan perlakuan 10-7 (P3) dan
serangga, yang membedakan hanya perlakuan 10-9 (P4) maka perlakuan
tingkat mortalitas dari setiap tidak berbedanyata. Berbeda dengan
perlakuan yang berbeda di mana perlakuan 10-3 (P1) apabila di
tingkan mortalitas tertinggi terdapat bandingakan dengan perlakuan yang
pada perlakuan 10-3 (P1)
lainnya maka akan didapatkan hasil dimana presentase mortalitas
yang berbedanyat hal ini terjadi dari tertinggi terdapat pada perlakuan P1
1-7 hari setelah aplikasi. (pengenceran 10-3) yaitu mencapi
98,33%. Hal ini didukung oleh
Berdasarkan hasil analisis pernyataan (Maharani dkk, 2016) V.
ragam menunjukkan bahwa lecanii telah mampu mematikan 50%
pengenceran 10-3 (P1) menyebabkan H. antoni dan meurut (Pasaru, 2014)
mortalitas Aphis glycines cenderung Berdasarkan hasil uji patogenisitas
lebih tinggi dibandingkan dengan cendawan V. lecanii di Laboratorium
pengenceran lainnya yang terjadi pada imago walangsangit dapat
pada pengamatan 1 hari sampai 7 menyebabkan mortalitas yang cukup
hari setelah aplikasi dan tingkat besar dengan presentase mortalitas
mortalitas tertinggi terjadi pada 4 lebihdari 50% .
hari setelah aplikasi. Perbedaan
tingkat mortalitas pada setiap Pada umumnya, cendawan
perlakuan dapat disebabkan karena patogen V.lecanii memasuki tubuh
jumlah kerapatan Konidia yang di serangga inang melalui membran
aplikasikan berbeda (Lampiran 9), intersegmental, menyebar ke seluruh
jumlah A. glycines yang diamati lapisan dinding tubuh dengan
sudah berkurang, virulensi patogen bantuan enzim proteinase, lipase, dan
dan sifat ketahanan inang serta kitinase Pada umumnya, semua
kondisi lingkungan. Sedangkan pada jaringan dalam tubuh serangga dan
perlakuan tanpa aplikasi (kontrol/P0) cairan tubuh habis digunakan oleh
tidak menunjukkan adanya mortalitas jamur, sehingga serangga mati
dari serangga uji hal ini dterjadi dengan tubuh yang mengeras seperti
karena kerapatan konidia pada P0 mumi (Hasan dkk., 2013).
(kontrol) rendah.
Berdasarkan hasil analisis
ragam rata-rata mortalitas kumulatif
serangga A.glycines pada setiap
perlakuan berbedanyata dan mampu
mematikan serangga A.glycines
Tabel. Tabel 2. Rata-rata Mortalitas Aphis glycines (%) Setelah di Transformasi
Data pada 1-7 Hari Pengamatan setelah Aplikasi V. lecanii

Keterangan: HSA (hari setelah aplikasi); Rata-rata angka yang diikuti oleh huruh yang sama tidak
berbeda nyata pada Uji BNJ 5%; huruf a,b dan c merupak notasi untuk
membandingkan tingkat efektivitas dari setiap perlakuan.

Tabel 3. Rata-rata Mortalitas kumulatif Aphis glycines (%) Setelah di Transformasi


Data pada 1-7 Hari Pengamatan setelah Aplikasi V. lecanii

Perlakuan Rata-rata

P0 0(0,71) a
P1 98,33(9,94)e
P2 76,67(8,78)d
P3 45,83(6,79)c
P4 30(5,52)b
BNJ 5% 0,895
Keterangan: HSA (hari setelah aplikasi); Rata-rata angka yang diikuti oleh huruh yang sama tidak
berbeda nyata pada Uji BNJ 5%; huruf a,b dan c merupak notasi untuk membandingkan
tingkat efektivitas dari setiap perlakuan.

Menurut Khaerati dkk (2015), Tingginya mortalitas


yang menyatakan bahwa semakin disebabkan karena daya infeksi
tinggi kerapatan konidia yang cendawan V. lecanii yang terjadi
digunakan, maka semakin banyak pada permukaan kulit tubuh terjadi
konidia yang menempel pada melalui segmen atau bagian-bagian
serangga inang, sehingga akan yang lebih lunak diantara ruas-ruas
menyebabkan kematian lebih tinggi tubuh serangga. Hal ini
pada serangga tersebut. mengindikasikan adanya senyawa
toksin dalam setiap konsentrasi diaplikasikan, cendawan
cendawan yang jumlahnya semakin entomopatogen memerlukan
meningkat mengikuti kenaikan kelembapan yang tinggi untuk
lamanya inkubasi cendawan tersebut tumbuh dan berkembang.
(Ardi,dkk,.2017). Kelembapan udara yang tinggi
diperlukan selama proses
Adanya mortalitas serangga pembentukan tabung kecambah
yang terinfeksi cendawan V. lecanii (germ tube), sebelumterjadi penetrasi
diakibatkan oleh terjadinya ke integumen serangga waktu
pertumbuhan dan perkembangan aplikasi perlu diperhatikan karena
cendawan pathogen di dalam tubuh cendawan entomopatogen sangat
serangga baik melalui kontak rentan terhadap sinar matahari
langsung maupun dari makanan khususnya sinar ultra violet
(Hasan dkk., 2013). (Suharsono dan Prayogo, 2005).
Tingginya kerapatan spora Keefektifan jamur dalam
yang diaplikasikan menjadi peluang mempatogen seekor serangga untuk
bagi konidia untuk menempel, mengendalikan hama sasaran
berkecambah, melakukan penetrasi sangat tergantung pada kerapatan
dan semakin banyak hifa yang masuk konidia yang diaplikasikan dan
kedalam tubuh serangga, sehingga viabilitas cendawan tersebut. juga
semakin banyak pula blastospora berpendapat bahwa keberhasilan
yang terbentuk didalam tubuh jamur entomopatogen sebagai
serangga. Blastospora akan pengendali hama dipengaruhi oleh
menyebar secara cepat keseluruh faktor lingkungan (suhu,
jaringan sehingga dapat kelembaban), jumlah spora, viabilitas
mempercepat proses kerusakan spora (daya kecambah) dan virulensi
jaringan dan memperbanyak titik yang memiliki infektifitas yang
kerusakan jaringan serangga yang rendah atau sebaliknya (Prayogo,
dapat mengakibatkan serangga mati. 2012).
Selanjutnya sejumlah blastospora
bersama-sama membentuk hifa
sekunder lebih banyak (Sudiono dkk, KESIMPULAN DAN SARAN
2009).
Apabila kondisi lingkungan Kesimpulan
diluar tubuh serangga mendukung Serangga uji yang sudah terinfeksi
maka V. lecanii tumbuh keluar Verticillium lecanii pada bagian
melalui celah, membran antar abdomen terdapat noda-noda
segmen, saluran pencernaan dan lain- berwarna hitam, benang hifa muncul
lain (Prayogo, dkk, 2005). berwarna putih yang mulanya
tumbuh dibagian ruas-ruas tungkai
Penggunaan cendawan
dan antena. Kemudian menyebar
entomopatogen dalam pengendalian
keseluruh tubuh dan menyebabkan
hama tanaman terbilang efektif.
serangga mengeras serta warna
Keefektifan cendawan
serangga berubah menjadi coklat
entomopatogen dipengaruhi oleh
kehitaman.
waktu aplikasi. Setelah
Perlakuan P1 (10-3) dengan (Monoshillus sexmaculata)
jumlah konidia 3,09 x 109 dan P2 Pada Tanaman Cabe
(10-5) dengan jumlah konidia 2,38 x (Capsicum anum) Di
109 cendawan Verticillium lecanii Kecamatan Kotoparik
pada kondisi rumah kasa merupakan Gadang Diateh Kabupaten
pengenceran yang lebih baik dalam Solok Selatan Stkip Pgri
mematikan A. glycines diibandikan Sumatra Barat.
pengenceran yang lainnya.
Hasan, S., Anis A, Abinav,P.,
Saran Nausheen K, Rishi K, Garima
G, 2013. Production of
Perlunya dilakukan penelitian extracellular enzymes in the
skala lapang cendawan Verticillium Entomopathogenic Fungus
lecanii untuk mengetahui efektifitas Verticillium lecanii.
dari cendawan V. lecanii tersebut Bioinformation. 9 (5): 238-
terhadap tingkat serangan hama 242.
Aphis glycines di lapangan
khususnya pada tanaman cabai. Khaerati dan.G., Indrianti 2015.
Lecanicillium lecanii
DAFTAR PUSTAKA (Ascomycota: Hypocreales)
sebagai agensi hayati
Anggraini, K., Yuliadhi, K.A, dan
pengendaliian hama dan
Widaningsih, D., 2018.
penyakit tanaman. SIRINON.
Pengaruh populasi Kutu Daun
3(2):93-102.
Pada Tanaman Cabai Besar
(Capsicum annum L.) Lerche S, Sermann H, Buttner C,
Terhadap Hasil Panen. E- 2008. Persistence of the
jurnal Agroekoteknologi Entomopathogenic Fungus
Topika. 7(1):113-121. Lecanicillium muscarium
ZARE & GAMS Under
Ardi.F.J., Pasaru, F., Dan B., nasir
Outdoor Conditions. Journal
2017. Pengaruh Cendawan
Lentzeallee: 55 – 57.
Verticillium lecani (ZIMM)
Isolat Palolo Terhadap Maharani .S.A., Rohman, F., dan
Mortalitas Walangsangit Rahayu, S.E., 2016. Uji
Leptocorosa acuta
Efektifitas Jamur
thunberg.(Hemiptera: Alydidae)
Pada Tanaman Padi (Oryza
EntomopatogenBeauveria
sativa L.) J.Agroland.24(1):73- Bassiana Balsamo Dan
80. Verticillium Lecanii
(Zimmerman) Viegas
BPS., 2021. Badan Pusat Statistik Terhadap Mortalitas
Profinsi Sulawesi Tengah, Helopeltis Antonii Signoret
Palu. Universitas Negeri Malang.
Dafrinal., R., Widiana. dan Lusi. A., Pasaru.F., Alam, A., Tutik, K.,
2012. Kepadatan Populasi Mahfudz dan sahabuddin.,
Kutu Daun (Myzus persicae) 2014. Prospective Of
Dan Predatornya Entomopatogenic Fungi
Associated With Helopeltis Prayogo, Y., 2012. Bio-Lec:
Spp.(Hemipter: Miridae) On Biopestisida untuk
CacaoPlanttation.int.f.curr.res Pengendalian Hama dan
.aca.rev. 2(11):227-234. Penyakit Utama Kedelai.
Disampaikan Pada Seminar
Pracaya. 2003., Hama Penyakit Internal Balitkabi, 7 Mei
Tanaman. Jakarta: Penebar 2012.
Swadaya 428 hal.
Satiadi,2004. Bertanam Cabai.
Prayogo Y, 2004. Pemanfaatan
Cendawan Entomopatogen Penebar Swadaya. Jakarta.
Metarhizium Anisopliae
Metsch. Sorokin Untuk Sinaga,J. C. H., 2014. Identifikasi
Mengendalikan Kutu Daun ( Hemiptera :
Aphididae ) Pada Tanaman
Prayogo Y dan Suharsono, 2005. Buah Di Bogor. Institud
Optimalisasi pengendalian Petanian Bogor: Bogor.
hama pengisap polong
kedelai Riptortus linearis Sudiono dan Purnomo. 2009.
dengan cendawan Hubungan Antara Populasi
entomopatogen Verticillium Kutu Kebul (Bemisia Tabaci
lecanii. Balai Penelitian Genn.) dan Penyakit Kuning
Tanaman Kacang-kacangan Pada Cabai di Lampung
dan Umbi-umbian. Malang. Barat. J.HPT Tropika. 9(2):
115-120.
Prayogo, Y. 2009. Kajian cendawan
entomopatogen Lecanicillium Suharsono dan Y. Prayogo. 2005.
lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare Pengaruh lama pemaparan
& Gams untuk menekan pada sinar matahari terhadap
perkembangan telur hama
viabilitas jamur
pengisap polong kedelai
Riptortus linearis (F.) entomopatogen
(Hemiptera: Alydidae) Verticilliumlecanii. Jurnal
[Disertasi]. IPB:Bogor. Habitat XVI(2): 122−131.

You might also like