You are on page 1of 15

ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH: MENGUNGKAP ANEKA

PENDAPAT DAN SIKAP ULAMA


Makalah

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Study Al-Qur’an

Oleh:
Mirzatul Qhadri
221003001

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


AR-RANIRY BANDA ACEH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2022-2023M
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab. Karena itu, untuk memahami
hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an diperlukan pemahaman dalam
kebahasaan. Para ulama’ yang ahli dalam bidang ushul fiqh, telah mengadakan
penelitian secara sesama terhadap nash-nash al-Qur’an, lalu hasil penelitian itu
diterapkan dalam kaidah-kaidah yang menjadi pegangan umat Islam guna
memahami kandungan al-Qur’an dengan benar.
Adapun ilmu yang mempelajari tentang muhkam dan mutasyabih adalah
Ilmu muhkam wal Mutasyabih. Ilmu ini dilatar belakangi oleh adanya perbedaan
pendapat ulama tentang adanya hubungan ayat atau surat yang lain. Sementara
yang lain mengatakan bahwa didalam Al-Qur’an ada ayat atau surat yang tidak
berhubungan. Oleh karenanya, suatu ilmu yang mempelajari ayat atau surat Al-
Qur’an menjadi cukup penting kedududkannya untuk di pelajari. Sementara
itu muhkam dan mutasyabih adalah Sebuah kajian yang sering menimbulkan
kontroversial dalam sejarah penafsiran Al-Qur’an, karena perbedaan ’interpretasi’
antara ulama mengenai hakikat muhkam dan mutasyabih.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian muhkam Mutasyabih?
2. Apa saja Contoh ayat-ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat?
3. Apa saja Sebab-sebab terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an?
4. Bagaimana Pandangan dan sikap ulama tentang ayat-ayat
Mutasyabihat?
5. Apa Hikmah dibalik ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat?
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui pengertian muhkam Mutasyabihat
2. Mengetahui Contoh ayat-ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat
3. Mengetahui Sebab-sebab terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an
4. Mengetahui Pandangan dan sikap ulama tentang ayat-ayat
Mutasyabihat
5. Mengetahui Hikmah dibalik ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih


Kata “muhkam” dan “mutasyabih” adalah bentuk mudzakar, digunakan
untuk mensifati kata-kata yang mudzakkar, seperti ungkapan al-qur`an yang
muhkam atau yang mutasyabih. Sedangkan kata “muhkamat” atau
“mutasyabihat” adalah bentuk muannats untuk mensifati kata yang juga
muannats, seperti surah dan ayat muhkamat atau mutasyabihat. Al-qur`an
menampilkan kata “muhkam” yang terkait dengannya sebanyak tiga kali dalam
bentuknya yang berbeda-beda, yaitu “muhkamat (QS. Ali-`imran ayat 7),
uhkimat (QS. Hud ayat 1), dan muhakkamah (QS. Muhammad ayat 20).
Sementara kata “mutasyabih” dalam berbagai ragam dan bentuknya
dikemukakan sebanyak dua belas kali yang terpencar dalam beberapa surah dan
ayat di dalam Al-Qur`an. Kedua kata tersebut memiliki beragam arti baik
menurut etimologi maupun terminologi.1
Muhkam secara etimologis adalah sesuatu yang tidak ada perselisihan
dan kekacauan di dalamnya, dan ada yang mengatakan bahwa Muhkam ialah
sesuatu yang belum menjadi mutasyabih karena keterangannya sudah tegas dan
tidak membutuhkan kepada yang lain. Muhkam merupakan derivasi dari kata
ahkama yaitu atqana. Ahkama al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan
memisahkan berita yang benar dari yang salah. 2 Dengan demikian Muhkam
dapat berarti sesuatu yang dikukuhkan, jelas, fasih, dan bermaksud membedakan
antara informasi yang hak dan yang bathil, serta memisahkan urusan yang lurus
dari yang sesat. Al-qur`an seluruhnya muhkamah, jika yang dimaksud dengan
kemuhkamahannya ialah susunan lafadz al-qur`an dan keindahan nazhamnya,
sungguh sangat sempurna, tidak ada sedikitpun.
Ayat muhkam dalam surah hud ayat 1:
1.
Usman, ULUMUL QUR`AN, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 219-220.

2.
Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2014),
hlm. 93.
ٍ ‫ت ِمنْ َلدُنْ َحك‬
ٍ ‫ِيم َخ ِب‬
‫ير‬ ْ ‫ص َل‬ ْ ‫الر ۚ ِك َتابٌ ُأحْ ِك َم‬
ِّ ُ‫ت آ َيا ُت ُه ُث َّم ف‬
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan
rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Dzat yang
Maha Bijaksana lagi Maha tahu.”
Adapun mutasyabih secara etimologis berarti tasyabuh, yakni apabila
salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syuhbah ialah keadaan dimana
salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena kemiripan
di antara keduanya. Mutasyabih secara bahasa berarti sesuatu yang menyerupai
dari segala segi antara satu dengan yang lain. Mutasyabih juga terkadang
dipadankan dengan mutamatsil dalam perkataan dan keindahan. Dengan
ungkapan tasyabuh al-kalam dapat diartikan “kesamaan dan kesesuaian dalam
perkataan, karena sebagiannya membenarkan sebagian yang lain dalam
kesempurnaannya dan sesuai pula dengan makna yang dimaksudkannya. Dapat
dikatakan bahwa seluruh Al-Qur`an adalah mutasyabihah, bahwa masing-masing
kemutamatsilan (keserupaan atau sebanding) ayat-ayatnya, baik dalam bidang
balaghah maupun dalam bidang i`jaz dan kesulitan kita memperlihatkan
kelebihan sebagian sukunya atau yang lain.3 Dengan pengertian inilah yang dapat
kita ambil berdasarkan firman Allah surah az-zumar ayat 23:

ِ ْ‫اَل ٰلّهُ َن َّز َل اَ ْحسن الْح ِدي‬


‫ث كِتٰبًا ُّمتَ َشابِ ًها َّمثَانِ ۙ َي َت ْق َش ِع ُّر ِم ْنهُ ُجلُ ْو ُد الَّ ِذيْ َن يَ ْخ َش ْو َن َر َّب ُه ْم ۚ ثُ َّم تَلِ ْي ُن‬ َ ََ

‫ضلِ ِل ال ٰلّهُ فَ َما لَهٗ ِم ْن َه ٍاد‬


ْ ُّ‫ك ُه َدى ال ٰلّ ِه َي ْه ِد ْي بِهٖ َم ْن يَّ َشاۤءُ ۗ َو َم ْن ي‬ ٰ ِ
َ ِ‫ُجلُ ْو ُد ُه ْم َو ُقلُ ْو ُب ُه ْم ا ٰلى ِذ ْك ِر اللّ ِه ۗ ٰذل‬
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur'an yang
serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang
yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka
ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia memberi
petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa dibiarkan sesat
oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memberi petunjuk”.

3.
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU AL-QUR`AN (Ulum al-Qur`an) hal.
158.
perbedaan Ulama dalam Kategori Muhkam dan Mutasyabih Para Ulama
banyak berbeda pendapat tentang pengertian muhkam dan mutasyabih. Terdapat
dua puluh pendapat mengenai kedua hal ini. AS-Suyuthi telah mengemukakan
delapan belas definisi atau makna muhkam mutasyabih yang diberikan para
ulama.
1. Al-Zarqani mengemukakan definisi muhkam adalah ayat yang jelas
artinya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh.
Mutasyabih adalah ayat yang tersembunyi maknanya, tidak diketahui
maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan ayat-ayat ini hanya Allah
yang mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat dan hurufhuruf
yang terputus diawal surat. Pendapat ini dinisbatkan kepada pemimpin-
pemimpin mazhab Hanafi.
2. As-Suyuthi dalam bukunya al-Itqan menyebutkan bahwa muhkam
adalah ayat yang jelas dengan sendirinya. Sedangkan Mutasyabih
adalah ayat yang penjelasannya membutuhkan ayat lain.
3. Muhkam adalah ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan
makna takwil. Mutasyabih adalah ayat yang mengandung banyak
kemungkinan makna takwil. Ini merupakan pendapat Ibn Abbas dan
kebanyakan ahli ushul Fiqh.4
4. Imam Ahmad r.a. berpendapat bahwa muhkam ialah ayat yeng berdiri
sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih adalah ayat yang
tidak berdiri sendiri dan memerlukan keterangan. Kadang-kadang
diterangkan dengan ayat atau keterangan tertentu dan kali yang lain
diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena
terjadinya perbedaan dalam mentakwilkannya.5
B. Contoh Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
1. Ayat Muhkam

‫َومَلْ يَ ُك ْن لَّهٗ ُك ُف ًوا اَ َح ٌد‬


4
. Nurdin, ULUMUL QUR’AN (Banda Aceh:2019), hal. 31

5.
Muhammad Abd. Al-Azim al-Zarqani, Manakil al-irfan fi Ulum al-Quran, Jilid II, hal.
272-274.
"Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”(Al-Ikhlas : 4)

‫ت ِم ْن لَ ُد ْن َح ِكي ٍم َخبِ ٍري‬


ْ َ‫صل‬
ِّ ُ‫ت آيَاتُهُ مُثَّ ف‬ ِ ‫الر ۚ كِتَاب‬
ْ ‫ُأحك َم‬
ْ ٌ
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana
lagi Maha tahu.” (Hud :1)
2. Ayat Mutasyabih
Termasuk ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat tentang sifat. Ibnu
Libban menyusun sebuah kitab tersendiri tentang hal ini. Seperti firman Allah:

ْ ‫اَلرَّمْح ٰ ُن َعلَى الْ َع ْر ِش‬


‫اسَت ٰوى‬

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.”


(QS.Thaha: 5)

‫ْم َواِل َْي ِه ُت ْر َجعُ ْو َن‬ ِ ٌ ِ‫واَل تَ ْدع مع ال ٰلّ ِه اِ ٰلها ٰاخ ۘ َر ٓاَل اِ ٰله اِاَّل ه ۗ َو ُك ُّل َشي ٍء هال‬
ُ ‫ك ااَّل َو ْج َههٗ ۗ لَهُ ال‬
ُ ‫ْحك‬ َ ْ ُ َ َ ً ََ ُ َ

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (QS. al-Qashash: 88)

‫ْج ٰل ِل َوااْلِ ْك َرا ۚ ِم‬ َ ِّ‫َّو َي ْب ٰقى َو ْجهُ َرب‬


َ ‫ك ذُو ال‬

“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
(QS. ar-Rahman: 27)

ُ ‫ْأخ ْذهُ َع ُد ٌّو لِّ ْي َو َع ُد ٌّو لَّهٗ َۗواَلْ َق ْي‬


‫ت‬ ِ ‫الس‬
ُ َ‫اح ِل ي‬ َّ ِ‫ت فَاق ِْذفِ ْي ِه فِى الْيَ ِّم َفل ُْيل ِْق ِه الْيَ ُّم ب‬
ِ ‫اَ ِن اق ِْذفِ ْي ِه فِى التَّابو‬
ُْ

‫صنَ َع َع ٰلى َع ْينِ ْي‬ ِ


ْ ُ‫ِّي ەۚ َولت‬
ْ ‫ك َم َحبَّةً ِّمن‬
َ ‫َعلَْي‬

“Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS. Thaha: 39)

َ ‫ك اِنَّ َما ُيبَايِعُ ْو َن ال ٰلّهَ ۗيَ ُد ال ٰلّ ِه َف ْو َق اَيْ ِديْ ِه ْم ۚ فَ َم ْن نَّ َك‬
ُ ‫ث فَِانَّ َما َي ْن ُك‬
‫ث َع ٰلى َن ْف ِسهٖۚ َو َم ْن اَ ْو ٰفى‬ ِ
َ َ‫ا َّن الَّ ِذيْ َن ُيبَايِعُ ْون‬

‫بِ َما ع َٰه َد َعلَْيهُ ال ٰلّهَ فَ َس ُيْؤ تِْي ِه اَ ْج ًرا َع ِظ ْي ًما‬

“Tangan Allah di atas tangan mereka.” (QS. al-Fath: 10)


‫ت َمطْ ِويّٰ ۢتٌ بِيَ ِم ْينِهٖ ُۗس ْب ٰحنَهٗ َوَت ٰع ٰلى َع َّما‬ َّ ‫ضتُهٗ َي ْو َم ال ِْق ٰي َم ِة َو‬
ُ ‫الس ٰم ٰو‬ َ ‫ض َج ِم ْي ًعا َق ْب‬
ٰ
ُ ‫َو َما قَ َد ُروا اللّهَ َح َّق قَ ْد ِر ٖۖه َوااْل َ ْر‬

‫يُ ْش ِر ُك ْو َن‬

“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.” (QS. az-Zumar: 67)

Jumhur ahlusunah, di antaranya adalah para ulama salaf dan para ahli
hadits berpendapat untuk memercayai dan menyerahkan makna yang
dikehendakinya kepada Allah Ta’ala dan tidak menafsirkannya, disertai dengan
menyucikan Allah dari hakikatnya.6
C. Sebab-sebab terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabih tidak dapat
diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri. Mereka menyatakan agar
orang-orang tidak mencari-cari takwilnya dan menyerahkan persoalan itu kepada
Allah Swt. Sedangkan orang yang mendalam ilmunya mereka berkata “Kami
mengimaninya, semua datang dari Tuhan kami”.
Sebagian yang lain ada yang beranggapan, bahwa orang-orang yang
mendalam ilmunya dapat mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat. Mereka
mengatakan: pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat itu
dilimpahkan juga kepada orang-orang atau para ulama yang mendalam ilmunya.
Sebab firman Allah yang diturunkan bagi mereka itu adalah pujian, kalau mereka
tidak mengetahui maknanya, berarti mereka tidak berbeda dengan orang awam
yang juga sama tidak faham betul dengan maknanya.

Dalam kaitannya dengan pandangan-pandangan yang telah diketahui dan


dikemukankan oleh para ulama diatas dapat dikatakan, bahwa diantara sebab
sebab terjadinya tasyabuh dalam al qur’an menurut hasil pengamatan dan
penelitian para ulama yaitu disebabkan oleh kebersembunyian maksud Allah dari
kalam-Nya itu. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa ketersembunyian itu dapat
saja kembai kepada kesamaran lafal, kesamaran makna, dan kesamaran pada
lafal dan makna sekaligus. Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini dapat dipelajari

6.
Imam Assuyuthi, ULUMUL QUR’AN II (Al-itqan fi ulumil qur’an) hal. 99
sebagai berikut:
1. Kesamaran pada lafal ayat
Adanya sebagian ayat ayat mutasyabihat didalam al qur’an disebabkan
oleh kesamaran pada lafal mufrod maupun murakab (yang tersusun
dalam kalimat). Yang dimaksud dengan kesamaran pada lafal mufrad
adalah adnya lafal tunggal yang maknanya tidak jelas, baik disebabkan
karena gharib (asing) atau musytarak ( bermakna ganda).
2. Kesamaran pada makna ayat
Kesamaran atau ketersembunyian yang terjadi pada makna ayat,
umumnya adalah berupa ayat ayat mutasyabihat yang berhubungan
dengan sifat-sifat Allah.

3. Kesamaran pada lafal dan makna ayat sekaligus


Kesulitan memahami ayat-ayat mutasyabihat karena kesamaran atua
ketersembunyian maksud, dan juga dapat terjadi lafal dan makna
secara sekaligus, namun meski demikian kesulitan tersebut akan dapat
teratasi apabila seseorang memiliki ‘’sarana’’ yang memadai untuk
menyingkap maknanya yang tersirat dibali lafal dan maknanya yang
tersurat itu, sebagai contoh dapat dijumpai dalam firman Allah yaitu al
qur’an surat Al-Baqarah : ayat 189:
‫ت ِم ْن‬
َ ‫س الْبِ ُّر بِاَ ْن تَْأتُوا ال ُْب ُي ْو‬
َ ‫ْح ِّج ۗ َول َْي‬ ِ ‫ت لِلن‬
َ ‫َّاس َوال‬ ُ ‫ك َع ِن ااْل َ ِهلَّ ِة ۗ قُ ْل ِه َي َم َواقِ ْي‬
َ َ‫يَسـَٔلُ ْون‬

‫ت ِم ْن اَْب َوابِ َها ۖ َو َّات ُقوا ال ٰلّهَ ل ََعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُح ْو َن‬


َ ‫ظُ ُه ْو ِر َها َو ٰل ِك َّن الْبِ َّر َم ِن َّات ٰق ۚى َوْأتُوا ال ُْب ُي ْو‬
Dalam hubungannya kesamaran pada ayat-ayat tersebut, terdapat lima
aspek yang terkait dengan hal itu, yaitu:
a. Aspek kuantitas, baik yang berkaitan dengan masalah masalah
yang umum maupun yang khusus.
b. Aspek cara (Al Kaifiyah) yang termasuk dalam kategori ini
adalah mengenai cara melaksanakan kewajiban yang
diperintahkan oleh agama atau kelaksanakan kesunahan.
c. Aspek waktu, dalam hal ini kesamaran atau ketersembunyian
terletak pada keumuman dari petunjuk yang dibawakan oleh
ayat al Qur’an itu sendiri.
d. Aspek tempat hal ini terkait erat dengan ketersembunyian atau
kesamaran lafal dan makna yang terdapat pada ayat-ayat
mutasyabihat.
D. Pandangan dan pendapat ulama tentang ayat-ayat Mutasyabihat
Banyak terjadi pro dan kontra diantara para ulama’ mengenai ayat-ayat
mutasyabihat yang berasal dari cara memahami firman Allah SWT:
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-qur`an) kepada kamu. Di antara (isi) nya
ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-qur`an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyabihaat. Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta`wilnya, padahal
tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata : “kami beriman kepada ayat- ayat yang mutasyabihaat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”Dan tidak mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 7).

Madzhab Ulama’ Salaf mengatakan bahwa ayat mutasyabih itu tidak


dapat diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri, serta diwajibkan
atas setiap orang agar tidak mencari takwilnya dan menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT. orang-orang berpengetahuan mendalam pun tidak mampu
mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, namun cukup dengan
menyerahkan maknanya kepada Allah SWT. Dengan dasar ini, madzhab salaf
disebut juga Madzhab Mufawwidlah atau Tafwidl yang kebanyakan merupakan
golongan sahabat, tabiin, tabi al-tabiin serta generasi setelah mereka.7 Alasan
pendapat ini didasari oleh:
1. Riwayat al-Hakim dalam kitab al-mustadrak yang bersumber dari Ibnu
Abbas dan dinukil oleh Manna al-Qaththan dalam al-Mabahits nya,
bahwa Ibnu Abbas membaca ayat tersebut demikian:
7.
Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran, (Beirut: Dar al-ilmi li al-Milayin, 1972),
hlm. 284.
‫وﻣﺎ ﯾﻌﻠﻢ ﺗﺄوﯾﻠﮫ اﻻﷲ و"ﯾﻘﻮل" اﻟﺮاﺳﺨﻮن ﻓﻰ اﻟﻌﻠﻢ‬

2. Ayat tersebut mencela orang-orang yang “mengikuti” ayat-ayat


mutasyabihat dan menyatakan bahwa mereka cenderung sesat dan
mencari fitnah. Sebaliknya, dalam ayat yang sama justru memuji
orang- orang yang menyerahkan pengetahuan tersebut kepada Allah.
Menurut Ibnu al-Shalih, sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthy didalam
al-Itqan, para pendahulu, pemuka umat, imam ahli fiqih dan imam ahli
hadits juga menggunakan cara ini, dan tidak ada seorang pun dari
mereka yang mengelak dari kenyataan yang terdapat pada ayat
tersebut.
3. Riwayat Zubair Ibn Abi Abdir Rahman, mengenai maksud ayat:

“(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy”.


(QS. Thaha: 5)

Kemudian ia berkata:

‫اﻻﯾﻤﺎن ﻏﯿﺮ ﻣﺠﮭﻮل واﻟﻜﯿﻒ ﻏﯿﺮ ﻣﻌﻘﻮل وھﻮ ﻣﻦ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ وﻋﻠﻰ اﻟﺮﺳﻮل اﻟﺒﻼغ اﻟﺒﯿﻦ وﻋﻠﯿﻨﺎ‬

‫اﻟﺘﺼﺪق‬

“Mengimani hal itu tidak diragukan lagi, tetapi cara (bersemayam-


Nya) itu tidak dapat dinalar dan hal itu termasuk tugas risalah rasul,
dan kewajiban seorang rasul untuk menyampaikannya sedangkan kita
wajib mempercayainya”.

4. Pendapat Imam Malik mengenai makna istiwa’ yang terdapat pada


surah thaha: 5, ia menjawab:

‫ﻋﻨﻰ ﺳﻮءاﺧﺮﺟﻮه رﺟﻞ واظﻨﻚ ﺑﺪﻋﺔ ﻋﻨﮫ واﻟﺴﺆال ﻣﺠﮭﻮل واﻟﻜﯿﻒ ﻣﻌﻠﻮم‬
‫اﻻﺳﺘﻮاء‬

“Makna lafal istiwa’ dapat dimengerti, mengenai caranya tidak dapat


diketahui, mempertanyakan masalah itu adalah bid’ah (mengada-
ada), saya duga engkau ini bermaksud buruk. Singkirkanlah orang ini
dari majelisku”
Maksudnya, makna tersurat dari kata ‫ اﺳﺘﻮى‬dalam ayat tersebut jelas
diketahui oleh orang-orang pada umumnya. Namun, makna tersirat yang
sebenarnya tidaklah diketahui. Sebab pengertian yang dipahami orang- orang
pada umumnya merupakan tasybih secara penyerupaan dengan sesuatu secara
jasmaniah yang mustahil bagi Allah, dan mempertanyakan hal itu untuk
mengetahui maksud yang sebenarnya berdasarkan syariah adalah bid’ah.

5. Bersandar kepada hadits riwayat Ibnu Mardawaih:

“Dari Amr Ibnu Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulullah SAW. Ia
bersabda: Sesungguhnya al-Quran tidak diturunkan agar sebagiannya
mendustakan sebagian yang lain, apa saja yang kalian ketahui daripadanya maka
amalkanlah dan apa yang mutasyabih maka hendaklah kalian meyakininya.”
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat, para
ulama madzhab salaf bersikap hati-hati terhadap kesalahan yang mungkin terjadi.
Berbeda dengan ulama salaf, ulama khalaf berpendapat bahwa orang-
orang yang memiliki ilmu secara mendalam seperti ulama dapat mengartikan
ayat-ayat mutasyabihat. Mujahid dan sahabat-sahabatnya cenderung kepada
pendapat ini, termasuk al-Nawawi yang berpendapat bahwa “pendapat ini lebih
layak diterima, sebab tidak mungkin Allah akan mengkhitab hamba-Nya dengan
sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya”. Madzhab khalaf berpendapat,
bahwa hal yang seharusnya dilakukan dalam memahami ayat mutasyabihat yakni
dengan memalingkan lafal yang menyebabkan kebingungan bagi umat manusia,
sehingga tidak dibiarkan “terlantar” tidak bermakna. Selama ayat- ayat tersebut
memungkinkan untuk ditakwilkan dengan makna yang benar dan rasional, maka
bagi orang-orang berilmu mendalam tidak ada halangan untuk menakwilkan ayat
tersebut.
E. Hikmah dibalik ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat
1. Hikmah ayat-ayat muhkamat, yaitu :
a. Menjadikan kemudahan bagi manusia untuk mengetahui
arti dan maksudnya pada ayat-ayat muhkamat
b. Mendorong umat Islam untuk segera mengamalkan isi kandungan
al- Qur’an, karena lafadz ayat-ayat-Nya telah mudah diktahui dan
dipahami.
c. Menjadi rahmat bagi manusia khususnya orang yang lemah dalam
berbahasa arab.
2. Hikmah ayat-ayat mutasyabihat, yaitu:

a. Menunjukan kemukjizatan al-Qur’an dan ketinggian satra serta


balaghagnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa al-
Qur’an merupakan wahyu ilahi.
b. Ujian pada umat manusia, apakah dengan adanya ayat-ayat
mutasyabihat manusia masih tetap beriman atau tidak.
c. Menambah pahala bagi yang benar benar mengkajinya, sebab
semakin sulit pekerjaan, semakin pula besar pahalanya.
d. Memperlihatkan kelemahan akal manusia agar manusia tidak
sombong.
e. Mendorong umat Islam untuk giat belajar dan tekun, meneliti serta
bertindak menalar.8

8
.Amroeni Drajat, ULUMUL QUR’AN (Depok:2017), hal. 102-103
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Muhkam adalah sesuatu yang tidak ada perselisihan dan kekacauan di
dalamnya, dan ada yang mengatakan bahwa Muhkam ialah sesuatu yang belum
menjadi mutasyabih karena keterangannya sudah tegas dan tidak membutuhkan
kepada yang lain. Sedangkan mutasyabih ialah mengandung lebih dari dua
penafsiran dari ayat Al-qur’an.
Terdapat banyak hikmah saat mengetahui permasalahan muhkam dan
mutasyabih diantaranya sebagai ujian bagi kita apakah kita beriman kepada hal
yang ghaib, atau juga menjelaskan tentang hakikat lemah dan bodohnya kita
sebagai insan.
DAFTAR PUSTAKA

Usman, ULUMUL QUR`AN, (Yogyakarta: TERAS, 2009).

Abdullah Mawardi, ULUMUL QUR`AN, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2014).

Ash-shidiqie Hasbi Muhammad , ILMU-ILMU AL-QUR`AN (Ulum al-Qur`an).

Nurdin, ULUMUL QUR’AN (Banda Aceh:2019).

Abd. Al-Azim al-Zarqani Muhammad, Manakil al-irfan fi Ulum al-Quran, Jilid II.

Assuyuthi, ULUMUL QUR’AN II (Al-itqan fi ulumil qur’an).

Al-Shalih Shubhi, Mabahits fi Ulum al-Quran, (Beirut: Dar al-ilmi li al-Milayin, 1972).

Drajat Amroeni, ULUMUL QUR’AN (Depok:2017).

You might also like