You are on page 1of 21

Nilai:

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TANAMAN


“KEMASAMAN”

Disusun oleh:
Nama : Catur Luhur Atmaja
NIM : 225040201111104
Kelas :R
Asisten : Ikhwan Adhirakha Mullatif

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2023
BAB I. METODE

1.1 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang diperlukan dalam praktikum kemasaman


beserta fungsinya dijabarkan dalam tabel berikut.

Tabel 1. Alat dan Fungsi


Alat Fungsi
Gelas ukur Wadah cairan
Sedotan Alat bantu tiup cairan
Label Penanda perlakuan cairan
pH meter Pengukur pH cairan
Thermometer Pengukur suhu cairan

Tabel 2. Bahan dan Fungsi


Bahan Fungsi
Air mineral Pelarut serta cairan yang diukur
keasamannya
Air soda (coca cola) Cairan yang diukur keasamannya
Air soda (sprite) Cairan yang diukur keasamannya
Jeruk lemon Cairan yang diukur keasamannya

1.2 Cara Kerja

Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam praktikum


kemasaman antara lain sebagai berikut.

Tempatkan satu gelas air mineral kedalam ruangan pendingin satu


hari sebelum praktikum.

Siapkan 4 gelas piala yang berisikan label (A,B,C, dan D) dan isilah
masing-masing dengan gelas A dan B disi air mineral tanpa
pendingin serta C dan D di isi air mineral dingin secukupnya (+ - 20
ml) kemudian ukurlah suhu air mineral tersebut
Tiuplah larutan B dan D dengan bantuan sedotan air mineral selama
1 menit

Siapkan 4 gelas piala lain, masing-masing diberi label (E,F,G, dan


H) lalu isi masing-masong gelas dengan cairan jeruk lemon (E),
Coca Cola (F), Sprite (G) , dan air soda (H) secukupnya (- + 20 ml)

Ukurlah pH dari larutan dalam gelas piala A,B,C, dan D dengan pH


meter dan catat hasil pengukuran

1.3 Analisa Perlakuan


Pertama, tempatkan satu gelas air mineral ke dalam lemari
pendingin selama 24 jam untuk mendapatkan sampel air dengan suhu
yang lebih dingin. Selanjutnya, siapkan empat gelas piala yang diberikan
label A dan B untuk air suhu normal, C dan D untuk air dingin. Masing-
masing gelas piala diisi air dengan volume ± 20 ml. Berikutnya, yaitu
meniup air pada sampel B dan D mengunakan sedotan selama 1 menit
dengan tujuan menciptakan asam karbonat dalam larutan pada perlakuan
suhu air yang berbeda. Selama proses peniupan, siapkan 4 gelas piala
yang lain dan beri label E untuk cairan jeruk lemon, F untuk coca cola,
dan G untuk sprite. Masing-masing gelas diberikan larutan sesuai label
yang ditentukan dengan volume ± 20 ml. Berikutnya, yaitu mengukur pH
pada gelas piala A, B, C, dan D untuk mengetahui pH atau keasaman
larutan pada perbedaan suhu dan keberadaan asam karbonat dalam air.
Setelah melakukan pengukuran perlu dilakukan pencucian pH meter
dengan air mengalir. Selanjutnya, dilakukan pengukuran pH dalam gelas
piala yang berlabel E, F, dan G untuk mengetahui perbedaan keasaman
pada tiap jenis larutan dan jenis soda yang digunakan. Terakhir, yaitu
mencatat dan mendokumentasikan hasil serta proses kegiatan praktikum.
BAB II. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Hasil

Melalui praktikum didapatkan data hasil berupa suhu dan nilai pH


pada tiap jenis cairan antara lain sebagai berikut.
Tabel 3. Data Hasil Pengamatan
Gelas pH Suhu
A (air mineral + tanpa peniupan) 8,6 24°C
B (air mineral + peniupan) 7,4 24°C
C (air mineral + tanpa peniupan) 8,08 20°C
D (air mineral + peniupan) 7,58 20°C
E (jeruk lemon) 2,04 24°C
F (coca cola) 2,42 24°C
G (sprite) 3,9 24°C

Berdasarkan data hasil pengukuran pH pada tiap gelas, diperoleh pH


yang rendah yaitu pada gelas E, F, G dengan nilai pH 2,04, 2,42, dan 3,9
yang semuanya termasuk kategori asam. Sedangkan kategori basa yaitu
pada gelas A dan C dengan nilai pH 8,6 dan 8,08. Gelas B dan D tergolong
basa namun mendekati pH netral dengan nilai 7,4 dan 7,58. Selaras
dengan pendapat Wibowo dan Ali (2019), larutan asam memiliki pH
kurang dari 7, larutan basa memiliki pH lebih dari 7, dan larutan netral
memiliki pH sama dengan 7. Air yang digunakan bukanlah air hasil
destilasi namun merupakan air mineral sehingga pH yang dimiliki
tidaklah netral (pH=7) namun agak basa. Menurut Sintiya et al. (2021),
mineral yang terlarut dalam air mineral dapat mengabsorbsi kation seperti
H+ sehingga menaikkan pH air. Adapun air mineral pada gelas A (24°C)
memiliki pH yang lebih tinggi dibandingkan gelas C (20°C) dikarenakan
suhunya yang lebih tinggi. Menurut Sriwahyuni dan Afdal (2021), ketika
suhu permuakan air naik kelarutan karbon dioksida akan menurun yang
berpengaruh terdahap nilai pH yang naik sehingga larutan bersifat basa.
a. Diagram H2CO3

Berikut adalah grafik perhitungan H2CO3 pada masing


masing larutan yang diamati.

1,2

0,8

0,6

0,4

0,2

0
A B C D E F G

Berdasarkan grafik konsentrasi H2CO3 diatas, dapat diketahui


bahwa terdapat perbedaan antara gelas A dan C dimana gelas A
memiliki konsentrasi yang lebih tinggi. Hal ini
menginmplikasikan bahwa suhu berpengaruh terhadap kelarutan
CO2 yang kemudian membentuk H2CO3. Gas CO2 akan mudah
larut dalam suhu yang lebih rendah (Simanjuntak et al., 2016).
Pada grafik B dan D juga terdapat perbedaan dimana gelas B
memiliki konsentrasi H2CO3 lebih tinggi. Namun apabila suhu
memainkan peran dalam kelarutan CO2 dalam air, seharusnya
gelas D memiliki konsentrasi H2CO3 lebih tinggi. Hal ini
kemungkinan disebabkan kesalahan saat eksperimen dimana
debit gas CO2 yang ditiupkan antara kedua gelas berbeda, serta
pengukuran pH yang tidak bersamaan antara kedua gelas
tersebut. Gelas F dan G memiliki perbedaan yang signifikan
dibandingkan air mineral dikarenakan proses produksi minuman
berkarbonasi dilakukan secara khusus. Pengaruh tekanan dan
wadah tertutup pada produksi minuman berkarbonasi
berimplikasi terhadap kelarutan CO2 itu sendiri (Simanjuntak et
al., 2016). Gelas E berisi cairan jeruk sebenarnya tidak
mengandung asam karbonat melainkan asam organik berupa
asam sitrat (Saragih et al., 2019). Hal ini mengindikasikan bahwa
selain asam karbonat, asam organik juga berpengaruh terhadap
penurunan pH yang signifikan.

b. Diagram HCO3

Berikut adalah grafik perhitungan HCO3 pada masing masing


larutan yang diamati.

1,2

0,8

0,6

0,4

0,2

0
A B C D E F G

Berdasarkan grafik konsentrasi bikarbonat (HCO3-), dapat


diketahui bahwa konsentrasi HCO3- pada gelas A lebih tinggi
dibandingkan gelas C. Hal ini mengimplikasikan perbedaan suhu
larutan terhadap konsentrasi bikarbonat. Secara umum air yang
memiliki suhu dingin memiliki konsentrasi bikarbonat yang
lebih rendah. Ketidaksesuaian data B dengan D dikarenakan
ketidaktepatan eksperimen dimana terdapat perbedaan debit
udara CO2 yang ditiupkan antara kedua gelas. Hubungan antara
pH dengan konsentrasi HCO3- adalah polynomial, dimana air
yang memiliki pH basa akan memiliki konsentrasi HCO3- lebih
tinggi dibandingkan air dengan pH asam (Indrawati et al., 2018).
Hal ini kemunkinan besar mendasari rendahnya konsentrasi ion
bikarbonat dalam minuman karbonasi pada gelas F dan G,
dimana reaksi disosiatif asam karbonat menjadi karbonat lebih
sedikit atau karena terjadi reaksi balik membentuk asam
karbonat. Selain itu minuman karbonasi juga memiliki asam
tambahan seperti asam fosfat dan asam sitrat (Astuti et al., 2018).

c. Diagram CO3

Berikut adalah grafik perhitungan CO3 pada masing-


masing larutan yang diamati.

0,02
0,018
0,016
0,014
0,012
0,01
0,008
0,006
0,004
0,002
0
A B C D E F G

Berdasarkan grafik hasil perhitungan karbonat (CO3-), dapat


diketahui perbedaan signifikan antara gelas A dengan gelas
C. Hal ini mengimplikasikan pengaruh perbedaan suhu
terhadap konsentrasi CO3-. Apabila suhu berpengaruh
terhadap pembentukan asam karbonat maka seharusnya gelas
B memiliki konsentrasi CO3- lebih tinggi daripada gelas D
(Simanjuntak et al., 2016). Hal ini berkaitan dengan reaksi
balik, dimana jika semakin masam sehingga semakin banyak
ion H+, maka karbonat akan kembali menjadi bikarbonat.
Pada pH basa pembentukan CO3- terbentuk lebih cepat
(Rezagama et al., 2017). Minuman berkarbonasi memiliki
konsentrasi CO3- sangat rendah dibandingkan air mineral
(gelas A, B, C, D). Melalui bukti tersebut menjadi indikasi
bahwa CO3- berkontribusi terhadap pH larutan yang
cenderung basa.
2.2 Pembahasan

Pengukuran pH pada gelas A dan B memiliki nilai yang berbeda


yakni nilai pH gelas A adalah 8,6 dan B adalah 7,4. Kedua gelas diatas
diberikan perlakuan suhu yang sama dan untuk gelas B dilakukan
peniupan menggunakan sedotan. Peniupan air pada gelas B bertujuan
untuk menginjeksikan karbon dioksida dari hasil respirasi ke dalam air
sehingga dapat terlarut dan menghasilkan asam karbonat (H2CO3). Hal
inilah yang mendasari tingkat pH larutan yang lebih masam pada gelas B
dibandingkan gelas A. Menurut Prasetyawan et al. (2017),
karbondioksida bebas yang dilepaskan dalam air akan bereaksi
membentuk asam karbonat kemudian direduksi menjadi asam bikarbonat
dan karbonat sehingga pH menjadi rendah. Hal ini juga dapat dilihat pada
data hasil perhitungan konsentrasi H2CO3, bahwa gelas B memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi dengan nilai 0,0820273013707315
sedangakn gelas A memiliki nilai 0,00551069111391758. Konsentrasi
ion bikarbonat (HCO3-) kedua larutan diatas berbeda dengan air pada
gelas A yang lebih tinggi. Anion bikarbonat merepresentasikan
alkalinitas dalam air karena kemampuannya dalam menetralkan ion
hidrogen (Perdana dan Susanti, 2017). Namun untuk konsentrasi ion
karbonat (CO3-) pada gelas A memiliki nilai yang lebih tinggi signifikan
dibandingkan gelas B. Hal ini menunjukkan bahwa disosiasi bikarbonat
gelas A terjadi lebih cepat daripada gelas B. Oleh karena itu larutan pada
gelas A memiliki pH yang lebih basa daripada gelas B ditandai dengan
konsentrasi karbonat yang lebih tinggi dan konsentrasi asam karbonat
yang lebih rendah. Pada pH basa pembentukan CO3- terbentuk lebih
cepat (Rezagama et al., 2017).

Pengkuran pH larutan pada gelas A dan C memiliki perbedaan,


dimana gelas C memiliki pH yang lebih masam dengan nilai 8,08
dibandingkan gelas A dengan nilai 8,6. Kedua larutan pada gelas tersebut
tidak dilakukan peniupan namun memiliki perbedaan suhu yaitu pada
gelas C yang lebih dingin. Suhu larutan gelas C inilah yang
menjadikannya lebih masam dibandingkan gelas A karena pengaruhnya
terhadap kelarutan gas CO2. Selaras dengan pendapat Simanjuntak et al.
(2016), bahwa tingkat kelarutan CO2 dalam air akan bertambah seiring
dengan menurunnya suhu air. Pada tahap selanjutnya gas CO2 akan
berekasi dengan air membentuk asam karbonat lalu terdisosiasi menjadi
bikarbonat dan ion hidrogen sehingga menjadikannya lebih masam
(Prasetyawan et al., 2017). Berdasarkan perhitungan bikarbonat kedua
larutan relatif sama namun dengan jumlah yang sedikit lebih tinggi pada
gelas A. Anion bikarbonat merepresentasikan alkalinitas dalam air
karena kemampuannya dalam menetralkan ion hidrogen (Perdana dan
Susanti, 2017). Konsentrasi ion karbonat (CO3-) pada gelas A memiliki
nilai yang lebih tinggi signifikan dibandingkan gelas C. Hal ini
menunjukkan bahwa disosiasi bikarbonat gelas A terjadi lebih cepat
daripada gelas C. Oleh karena itu larutan pada gelas A memiliki pH yang
lebih basa daripada gelas C ditandai dengan konsentrasi karbonat yang
lebih tinggi dan konsentrasi asam karbonat yang lebih rendah. Pada pH
basa pembentukan CO3- terbentuk lebih cepat (Rezagama et al., 2017).

Selanjutnya yaitu perbedaan hasil pengukuran pH pada larutan gelas


B dan D. Perbedaan pH tidak terlalu signifikan yaitu larutan pada gelas
B sebesar 7,4 sedangkan larutan pada gelas D sebesar 7,58. Pembentukan
H2CO3 adalah reaksi eksotermik sehingga apabila suhu air dingin akan
mempercepat reasinya dengan pergeseran kesetimbangan. Selain itu
kelarutan CO2 akan meningkat seiring penurunan suhu air (Simanjuntak
et al., 2016). Pada tahap selanjutnya akan terbentuk asam karbonat
sehingga pH air menjadi masam. Namun terdapat ketidaksesuaian data
dengan teori antara larutan pada gelas B dengan D. Pengaruh suhu yang
rendah dan peniupan akan mempercepat pembentukan asam karbonat
sehingga pH pada larutan gelas D yang seharusnya lebih rendah
(Prasetyawan et al., 2017). Hal ini disebabkan oleh perbedaan debit gas
CO2 yang diinjeksikan pada kedua larutan karena ditiup oleh praktikan
yang berbeda. Beradasarkan pengamatan saat eksperimen kemungkinan
gelas D ditiup dengan debit yang rendah. Debit tersebut berpengaruh
terhadap banyaknya CO2 yang terlarut sehingga berdampak pada
penurunan pH larutan (Sa’adah dan Widyaningsih, 2018). Selain itu
seelah dilakukan peniupan, pengukuran pH kedua gelas tidak dilakukan
pada waktu yang bersamaan. Gelas B diukur terlebih dahulu kemudian
gelas D. Hal ini memungkinkan adanya penguraian asam karbonat
selama proses pengukuran sehingga pH air pada gelas D mengalami
kenaikan. Asam karbonat terurai secara reversibel dalam larutan air
menjadi CO2 dan H2O dengan konstanta laju orde pertama yang sesuai
dengan masa pakai sekitar 60 ms pada suhu kamar (Pines et al., 2016).

Pengukuran pH yang dilakukan pada gelas E menunjukkan nilai


paling rendah yaitu 2,04. Keasaman cairan jeruk lemon sebenarnya
bukan karena asam karbonat melainkan karena senyawa asam organik.
Asam organik tersebut adalah asam sitrat yang terkandung paling banyak
dalam air perasan jeruk lemon. Asam sitrat membuat derajat keasaman
(pH) air perasan jeruk lemon menjadi asam (Saragih et al., 2019).

Pengukuran pH yang terakhir yaitu pada larutan gelas F dan G yang


berisi coca cola dan sprite. Terdapat perbedaan pH antara keduanya
bahwa coca cola memiliki pH yang lebih rendah dibandingkan sprite,
yaitu 2,42 dan 3,9. Selain itu larutan pada gelas F dan G memiliki
perbedaan tingkat pH yang signifikan lebih tinggi dibandingkan larutan
pada gelas A, B, C, dan D. Begitupula degan konsentrasi asam karbonat
antara minuman berkarbonasi dengan air mineral pada berbegai
perlakuan. pH yang lebih masam pada minman berkarbonasi dikarenakan
proses injeksi CO2 dilakukan pada ruangan tertutup dan bertekanan
sehingga memaksa CO2 untuk larut dalam cairan (Simanjuntak et al.,
2016). Sedangkan pada perbedaan pH diantara kedua jenis minuman
berkarbonasi ini adalah karena komposisi tambahan di dalamnya. Reddy
et al. (2016) menyatakan, bahwa beberapa minuman berkarbonasi
termasuk coca cola memiliki pH yang paling masam (pH <2,4) karena
penambahan asam sitrat, asam fosfat, dan asam malat disamping asam
karbonat. Sedangkan sprite hanya menggunakan asam sitrat (Reddy et
al., 2016; Astuti et al., 2018). Selain itu jika diamati berdasarkan grafik
asam karbonat pada gelas F dan G memiliki nilai yang sangat tinggi yaitu
0,999882966771297 dan 0,996477688571092. Adapun nilai karbonat
sangat rendah yaitu sebesar 1,44371684523605×10-12 dan
1,31220120688563×10-09 . Selaras dengan pendapat Rezagama et al.
(2017), bahwa disosiasi bikarbonat menjadi karbonat terjadi sangat
lambat pada pH yang masam.
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Keasaman larutan dapat diukur dengan perhitungan pH suatu


larutan. Air yang memiliki suhu dingin memiliki pH yang lebih rendah
akibat kelarutan CO2 yang rendah sehingga berdampak pada proses
pembentukan H2CO3 dan proses disosiatif selanjutnya. Pengukuran pada
air dengan suhu normal gelas A dengan suhu air dingin pada gelas C
secara berurutan sebesar 8,6 dan 8,08. Pengaruh peniupan juga
berpengaruh karena penambahan CO2 yang terlarut dan pembentukan
H2CO3. Hal ini dapat dilihat pada pengukuran air tanpa peniupan pada
gelas A dan air dengan peniupan pada gelas B yaitu secara berurutan
sebesar 8,6 dan 7,4. Sedangkan perngaruh peniupan dan perbedaan suhu
pada gelas B dan D menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan konsep
umum karena kemungkinan adanya kesalahan percobaan. Keasaman
terendah dicapai pada gelas E yaitu cairan jeruk lemon yaitu mencapai
2,04 karena adanya asam organik berupa asam sitrat. Adapun nilai pH
yang diikuti nilai konsentrasi asam karbonat lebih tinggi signifikan pada
minuman berkarbonasi pada gelas F dan G dibandingkan air mineral. Hal
ini dikarenakan proses injeksi CO2 yang dilakukan pada ruang tertutup
dan penambahan beberapa asam organik. Terdapat 3 asam organik yang
ditambahkandalam produksi coca cola dan 1 asam organik yang
ditambahkan dalam sprite. Hal ini yang mendasari perbedaan pH diantara
kedua minuman berkarbonasi tersebut yaitu secara berurutan sebesar
2,42 dan 3,9.

3.2 Saran

Praktikan diharapkan mampu memahami materi praktikum baik


yang disampaikan pada saat praktikum maupun yang dituliskan dalam
laporan praktikum. Selain itu praktikan diharapkan dapat meminimalkan
adanya kesalahan eksperimen saat praktikum guna mendapatkan data
yang ideal. Pemahanahn materi yang baik dapat dicapai apabila praktikan
dapat menemukan korelasi antara materi. perkuliahan dengan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, N. P. W., Dewi, T. P., Kusuma Putra, C. G. A., & Mahasiswa Tingkat
Sarjana, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati,
Denpasar. (2018). Minuman Ringan Berkarbonasi Dapat
Meningkatkan Keasaman Rongga Mulut. Interdental Jurnal
Kedokteran Gigi (IJKG), 14(1), 9–12.
https://doi.org/10.46862/interdental.v14i1.366
Indrawati, A., Tanti, D. A., & Budiwati, T. (2018). Karakteristik Konsentrasi
Karbonat (HCO3-) dalam Air Hujan di Bandung. Buku Bunga Rampai
PSTA, 137–144.
Perdana, R. G., & Susanti, N. E. (2017). Variasi Temporal Kandungan HCO3-
Terlarut pada Mataair Sendang Biru dan Mataair Beji di Kecamatan
Sumbermanjing Wetan dan Kecamatan Gedangan. Jurnal Pendidikan
Geografi, 22(1), 16–21.
https://doi.org/10.17977/um017v22i12017p016
Pines, D., Ditkovich, J., Mukra, T., Miller, Y., Kiefer, P. M., Daschakraborty,
S., Hynes, J. T., & Pines, E. (2016). How Acidic Is Carbonic Acid? J.
Phys. Chem. B, 120(9), 2440–2451.
Prasetyawan, I. B., Maslukah, L., & Rifai, A. (2017). Pengukuran Sistem
Karbon Dioksida (CO2) Sebagai Data Dasar Penentuan Fluks Karbon
Di Perairan Jepara. Buletin Oseanografi Marina, 6(1), 9.
https://doi.org/10.14710/buloma.v6i1.15736
Reddy, A., Norris, D. F., Momeni, S. S., Waldo, B., & Ruby, J. D. (2016).
The pH of beverages available to the American consumer. Journal of
the American Dental Association, 147(4), 255–263.
Rezagama, A., Purwono, P., Hadiwidodo, M., Yustika, M., & Prabowo, Z. N.
(2017). Pengolahan Air Lindi TPA Jatibarang Menggunakan Fenton
(H2O2-Fe). Jurnal Presipitasi : Media Komunikasi dan
Pengembangan Teknik Lingkungan, 14(1), 30.
https://doi.org/10.14710/presipitasi.v14i1.30-36
Sa’adah, N., & Widyaningsih, S. (2018). Pengaruh Pemberian CO2 terhadap
pH Air pada Pertumbuhan Caulerpa racemosa var. Uvifera. Jurnal
Kelautan Tropis, 21(1), 17. https://doi.org/10.14710/jkt.v21i1.2460
Saragih, S. D., Hasanah, Y., & Bayu, E. S. (2016). Respons Pertumbuhandan
Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merril) terhadap Aplikasi Pupuk
Hayati dan Tepung Cangkang Telur. Jurnal Agroekoteknologi, 4(3),
2167–2172.
Simanjuntak, B., Adawiyah, D., & Purnomo, E. (2016). Stabilitas Gas
Karbondioksida pada Minuman Berkarbonasi Selama Penyimpanan.
Jurnal Mutu Pangan, 3(1), 45–49.
Sintiya, H., Prasetiyono, E., & Bidayani, E. (2021). Peningkatan pH air asam
dengan kompos daun ubi kasesa (Manihot sp.) untuk kegiatan
akuakultur. Bioma : Jurnal Ilmiah Biologi, 10(1), 113–128.
https://doi.org/10.26877/bioma.v10i1.6310
Sriwahyuni, D., & Afdal, A. (2021). Identifikasi pH, TDS, Konduktivitas
Listrik, Kandungan Timbal (Pb), Tembaga (Cu), dan Kadmium (Cd)
pada Bak Reservoir PDAM Kota Padang Panjang. Jurnal Fisika
Unand, 10(4), 504–510. https://doi.org/10.25077/jfu.10.4.504-
510.2021
Wibowo, R. S., & Ali, M. (2019). Alat Pengukur Warna dari Tabel Indikator
Universal pH yang Diperbesar Berbasis Mikrokontroler Arduino.
Jurnal Edukasi Elektro, 3(2), 99–109.
https://doi.org/10.21831/jee.v3i2.28545
LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Praktikum


Lampiran 2. Perhitungan Konsentrasi H2CO3, HCO3, CO3
Lampiran 3. Dokumentasi Literatur
.

You might also like