You are on page 1of 12

Available at http://jurnal.stie-aas.ac.id/index.

php/jap
Jurnal Akuntansi dan Pajak, 21 (2), 2021, 231-242

Analisis Perlakuan Branch Profit Tax atas Bentuk Usaha Tetap Perusahaan
Pelayaran Luar Negeri
Andy Famela Silalahi1), Yohanes2)
1,2
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
*Email korespondensi: andy.famela@gmail.com

Abstract
This study aims to analyze the interpretation of Branch Profit Tax (BPT) according to Directorate General of
Taxes (DJP) and permanent establishment (PE) of shipping company, as well as to provide input to settle this
differences in interpretation by making confirmation letter or changing the regulation. The PE studied is the
Singapore PE because there were differences in interpretation of the Minister of Finance Decree (KMK)
number 417/KMK.04/1996 regarding BPT between the PE and DJP. This study uses The Theory of Legal
Interpretation and the concept of legal interpretation. The research approach used is qualitative with case
study. Data collection techniques used are interviews and documentation. The analysis technique uses
descriptive, content, and thematic analysis techniques. The results show that BUT X used a systematic or logical
interpretation and interpreted the income tax rate of 2.64% in KMK number 417/KMK.04/1996 includes BPT,
while DGP used grammatical interpretation and interpreted the income tax rate of 2.64% in the KMK does not
include BPT. The input given is to change the KMK number 417/KMK.04/1996 so that there are no differences
in interpretation in the future and the KMK can be used for the PE of shipping companies from all partner
countries.

Keywords: Branch Profit Tax, Permanent Establishment of Shipping Company, Tax Interpretation

Saran sitasi: Silalahi, A. F., & Yohanes. (2021). Analisis Perlakuan Branch Profit Tax atas Bentuk Usaha Tetap
Perusahaan Pelayaran Luar Negeri. Jurnal Akuntansi dan Pajak, 21 (2), 231-242.
doi:http://dx.doi.org/10.29040/jap.v21i2.1525

DOI: http://dx.doi.org/10.29040/jap.v21i2.1525

1. PENDAHULUAN perpajakan, BUT diperlakukan sama dengan subjek


Perusahaan multi nasional banyak melakukan pajak badan, sehingga harus membuat pembukuan
transaksi lintas negara (cross border transaction) agar Pajak Penghasilan (PPh) BUT dapat dihitung
sebagai akibat dari meningkatnya kerjasama ekonomi (RI, 1983). Dalam melakukan transaksi di Indonesia,
antar negara(Arnold, 2016). Indonesia juga menjalin BUT harus memperhatikan aturan-aturan yang
kerja sama dengan negara lain. Pada tahun 2019 berlaku di Indonesia termasuk aturan perpajakan. Hal
Indonesia menjalinkerjasama bilateral dengan 162 ini menjadi penting karena kepatuhan terhadap aturan
negara (Kemenlu, 2019). Dalam melakukan transaksi salah satunya tergantung pemahaman terhadap aturan
di Indonesia, perusahaan multi nasional dapat tersebut (Putra, et al, 2019; Yulianti, et al,
memilih untuk mendirikan anak usaha atau membuka 2020).Aturan perpajakan Indonesia yang mengatur
cabang. Jika memilih membuka cabang, maka BUT perusahaan pelayaran adalah Undang-Undang
berdasarkan aturan perpajakan terbentuk Bentuk Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Keputusan Menteri
Usaha Tetap (BUT). Salah satu BUT di Indonesia Keuangan (KMK) nomor 417/KMK.04/1996.
adalah kegiatan usaha pelayaran yang memberikan Penghasilanneto BUT perusahaan pelayaran sesuai
jasa pengangkutan laut dari pelabuhan di Indonesia KMK tersebut ditetapkan sebesar 6 persen,
kepelabuhan di luar negeri dan sebaliknya. sedangkan PPh ditetapkan sebesar 2,64 persen
Pada dasarnya BUT tidak harus membuat (Kemenkeu, 1996). Kemudian berdasarkan pasal 26
pencatatan akuntansi karena tidak ada entitas yang UU PPh, BUT dikenakan Branch Profit Tax (BPT)
terbentuk di Indonesia. Namun untuk keperluan sebesar 20 persen (RI, 1983).

Jurnal Akuntansi dan Pajak, ISSN 1412-629X l E-ISSN 2579-3055


Jurnal Akuntansi dan Pajak, 21 (02), 2021, 232
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, mempengaruhi perkembangan hokum pajak di
menarik untuk dilakukan penelitian mengenai BUT Australia. Otoritas pajak harus memperhatikan
karena interpretasi BPT antara BUT dan DJP bisa perkembangan interpretasi hukum pajak dalam
jadi berbeda. Penelitian ini dilakukan pada BUT mengembangkan hukum pajak untuk meminimalkan
perusahaan pelayaran asal Singapura karena pada perbedaan interpretasi. Perbedaan dengan penelitian
praktiknya terjadi perbedaan interpretasi mengenai initerletak pada negara tempat penelitian dan objek
BPT antara BUT perusahaan pelayaran asal negara pajak.
tersebut dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Penelitian ini dilakukan untuk menutup research
Salah satu perbedaan interpretasi dapat dilihat dalam gap karena penelitian mengenai BPT BUT
Putusan Pengadilan Pajak nomor Put- perusahaan pelayaran belum pernah dilakukan di
86004/PP/M.XIIIB/13/2017. Dalam sengketa pajak Indonesia.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
tersebut, BUT perusahaan pelayaran berpendapat interpretasi BPT yang dilakukan DJP dan
bahwa BPT sudah termasuk dalam tarif PPh sebesar BUT(evaluation) serta memberikan masukan untuk
2,64 persen, sedangkan DJP menyatakan sebaliknya menyelesaikan perbedaan interpretasi BPT atas BUT
(Pengadilan Pajak, 2017). perusahaan pelayaran yang berasal dari Singapura
Perbedaan interpretasi tersebut terjadi karena dalam bentuk surat penegasan atau mengubah KMK
dalam KMK nomor417/KMK.04/1996 tidak terdapat (rule determinations). Penelitian ini diharapkan dapat
pasal yang mengatur BPT. Hal ini membuat BUT memberikan manfaat: (1) memberikan pertimbangan
membuat interpretasi dengan menggunakan bagi Pegawai DJP dan BUT sebagai pembaca aturan
perhitungan PPh dalam aturan yang mengatur BPT dalam melakukan interpretasi BPT atas BUT
Kantor Perwakilan Dagang Asing (KPDA). perusahaan pelayaran asal Singapura, dan (2)
Sementara itu DJP mengacu pada Peraturan Menteri memberikan pertimbangan bagi DJP sebagai
Keuangan (PMK) nomor 257/PMK.03/2008. pembuat aturan untuk mengubah aturan agar tidak
Penelitian mengenai BPT pernah dilakukan terjadi lagi perbedaan interpretasi pada masa depan.
beberapa kali, diantaranya atas perusahaan konstruksi Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah
(Maharisa, 2013) dan oil and gas contractor diuraikan, pokok permasalahan yang diteliti adalah:
(Hartono, 2018). Maharisa (2013) menyatakan bahwa (1) Bagaimana DJP dan BUT menginterpretasikan
BPT atas BUT perusahaan konstruksi dihitung BPT atas BUT perusahaan pelayaran asal Singapura
dengan mengalikan tariff PPh Pasal 26 dengan dan (2) Bagaimana cara menyelesaikan perbedaan
Penghasilan KenaPajak (PKP) dikurangi PPh final interpretasi agar tidak terjadi kembali dikemudian
jasa konstruksi. Hartono (2018) menyatakan bahwa hari, apakah membuat perubahan atas aturan yang
perselisihan mengenai BPT disebabkan oleh sudah ada atau membuat surat penegasan atas
pemisahan penghitungan pajak dari proporsi bagi interpretasi aturan yang sudah ada.
hasil. Perselisihan ini disarankan diselesaikan dengan The Theory of Legal Interpretation
arbitrase. Perbedaan dengan penelitian ini terletak Penelitian ini menggunakanThe Theory of Legal
pada jenis kegiatan usaha yang dilakukan penelitian. Interpretation. Teori ini menyatakan bahwa sebuah
Penelitian mengenai BPT perusahaan pelayaran di aturan harus dinyatakan dengan jelas dalam kalimat
Indonesia belum pernah dilakukan. (Holmes, 1899). Sebuah kata dapat memilik ibanyak
Penelitian mengenai aspek perpajakan arti, oleh karena itu pembaca aturan harus melihat
perusahaan pelayaran pernah dilakukan oleh keseluruhan kalimat agar memahami makna aturan
(Admiral, 2016). Admiral (2016) menyatakan bahwa tersebut.Pembuat aturan memiliki maksud tertentu
aturan PPh perusahaan pelayaran termasuk KMK yang dinyatakandalam kata-kata dan kalimat. Agar
nomor 417/KMK.04/1996 tidak memenuhi asas-asas pembaca memahami maksud dari pembuat aturan,
The Four Maxims. Perbedaan dengan penelitian ini aturan harus dinyatakan dalam bahasa yang jelas dan
adalah penelitian tersebut tidak membahas lebih rinci dapat dimengerti sehingga aturan tersebut dipatuhi
tentang interpretasi BPT perusahaan pelayaran. oleh pembaca.
Sedangkan penelitian mengenai perbedaan Konsep Penafsiran Hukum
interpretasi pernah dilakukan oleh (Krever & Mellor, Dibutuhkan penafsiran hukum yang tepat untuk
2014). Krever & Mellor (2014) menyatakan bahwa memperoleh interpretasi yang tepat atas suatu aturan.
interpretas iyudisia lterhadap hukum pajak sangat Penelitian ini menggunakan dua jenis penafsiran

Jurnal Akuntansi dan Pajak, ISSN 1412-629X l E-ISSN 2579-3055


Jurnal Akuntansi dan Pajak, 21 (02), 2021, 233
hukum yaitu: (1) Interpretasi gramatikal, yaitu KerangkaPenelitian
menafsirkan makna suatu aturan dengan Suatu aturan pajak dikatakan efektif tergantung
menguraikan aturan tersebut menggunakan bahas kemampuan otoritas menundukkan Wajib Pajak
aumum sehari-hari (Mertokusumo, 2007), dan (2) dengan konsep yang murn i(Pasternak & Christope,
Interpretasi sistematis ataulogis yaitu menafsirkan 2008). Oleh karena itu DJP harus membuat suatu
aturan dengan menghubungkan aturan tersebut aturan pajak tentang BPT atas BUT yang dapat
dengan aturan lain atau dengan keseluruhan sistem dimengerti agar BUT melakukan kewajiban
aturan(Mertokusumo, 2007). perpajakannya sesuai dengan maksud DJP.
Pengertian BPT BUT DJP
BPT merupakan pajak atas penarikan dana (Pembaca Aturan) (Pembuat Aturan)

perusahaan asing dari cabang di negara domisili


cabang yang perlakuannyasamasepertidividen. KMK nomor KMK nomor
Beberapa negara seperti Kanada dan Amerika Serikat 417/KMK.04/1996 417/KMK.04/1996
membuat pajak cabang yang khusus untuk
menyeimbangkan perlakuan perpajakan ana kusaha Interpretasi BUT Tujuan DJP atas
dan cabang (Arnold, 2016). Indonesia juga atas aturan aturan
menerapkan perlakuan pajak tersebut. Menurut UU
PPh, BPT adalahpajakatas PKP setelah dikurangi Berbeda?
PPh (RI, 1983). Tidak Ya

Peraturan-peraturan
Perubahan
Aturan tentang PPh BUT di Indonesia Aturan/Surat
Perubahan Aturan
adalahsebagaiberikut: Penegasan kepada
1. UU PPh yang menyebutkan bahwa untuk Pegawai DJP

menghitung penghasilan neto, perusahaan Gambar 1


pelayaran menggunakan Norma Penghasilan Framework penyelesaianperbedaaninterpretasi
Khusus(RI, 1983). BPT
2. KMK nomor 417/KMK.04/1996 yang Sumber: Diolah Peneliti (2020)
menyebutkan penghasilan neto perusahaan
pelayaran adalah 6 persen dan tariff PPhadalah Dalam Gambar 1 dapat dilihat bahwa DJP dan
2,64 persen (Kemenkeu, 1996). BUT menggunakan aturan yang sama yaitu KMK
3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE) nomor nomor 417/KMK.04/1996 dalam menerapkan BPT
SE-32/PJ.4/1996 yangmenyebutkan perusahaan pelayaran luar negeri. Namun terdapat
BUTtercakupdalam KMK nomor perbedaan interpretasi antara DJP dan BUT sehingga
417/KMK.04/1996(DJP, 1996). perlu dilakukan analisis apakah interpretasi yang
4. Pasal 26 UU PPh menyebutkan tarif BPT adalah dilakukan oleh DJP dan BUT tersebut sudah sesuai
sebesar 20 persen (RI, 1983). dengan tujuan dari aturan tersebut. Jika interpretasi
5. PMK nomor 257/PMK.03/2008 yang BUT sudah sesuai dengan tujuan aturan maka perlu
menyatakan jika penghasilan BUT dikenakan diterbitkan surat penegasan kepada Pegawai DJP.
PPh final, makaBPT dihitung menggunakan Sebaliknya jika interpretasi BUT tidak sesuai dengan
pembukuan (Kemenkeu, 2011). PMK ini telah tujuan aturan, maka perlu dilakukan perubahan atas
dicabut dengan PMK nomor 14/PMK.03/2011. aturan tersebut agar dikemudian hari tidak terjadi
6. SE nomor SE-2/PJ.03/2008 yang terdapat perbedaan interpretasi.
breakdown tarif PPh KPDA (DJP, 2008).
7. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) 2. METODE PENELITIAN
Indonesia dan Singapura yang mengatur tarif Strategi Penelitian
BPT sebesar 15 persen (Indonesia & Singapore, Penelitian ini akan menggunakan strategi
1990). penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan studi
yang mendalam (in-depth study) atas sebuah kasus
yang spesifik dengan cara mengumpulkan,
mengorganisasikan, dan menganalisis data (Patton,

Jurnal Akuntansi dan Pajak, ISSN 1412-629X l E-ISSN 2579-3055


Jurnal Akuntansi dan Pajak, 21 (02), 2021, 234
2012). Studi kasus digunakan karena penelitian ini terlibat dalam diskusi dengan menggunakan kata-kata
bertujuan untuk menggali satu fenomena (single sendiri, tanpa menggunakan terminology peneliti.
case) atas perbedaan interpretasi atas penerapan Pemilihan responden yang diwawancara
aturan pajak mengenai BPT antara pegawai DJP menggunakan metode purposive sampling. Menurut
dengan BUT perusahaan pelayaran asal Singapura. Yin (2016), purposive sampling adalah pengambilan
Studi kasus dalam penelitian ini dilakukan sampel dengan cara memilih sampel yang spesifik
dengan melakukan pendekatan k ebeberapa pihak agar menghasilkan data yang cukup dan relevan yang
(multiple unit analysis). Pendekatan dilakukan ke menjawab tujuan penelitian. Responden yang dipilih
DJP untuk menggali informasi mengenai maksud adalah:
dari aturan BPT, BUT untuk menggali informasi 1. Direktorat Perpajakan Internasional DJP karena
mengenai pendapat BUT atas BPT, dan ahli Direktorat tersebut mengetahui tujuan dari aturan
perpajakan untuk menggali informasi mengenai KMK nomor 417/KMK.04/1996 dan memahami
pendapat ahl itentang aturan BPT. penerapan KMK tersebut.
Pendekatan Penelitian 2. BUT X dengan alasan:
Penelitian ini menggunakan pendekatan a. BUT X melaksanakan kewajiban perpajakan
kualitatif. Pendekatan kualitatif memfasilitasi studi dengan menggunakan KMK nomor
dari suatu isu secara mendalam dan rinci, dan 417/KMK.04/1996,
memungkinkan penelitian lapangan tanpa diharuskan b. BUT X sudah terdaftar sebagai BUT di
mengikuti kategori analisis yang telah ditentukan Indonesia,
sebelumnya (Patton, 2012). Alasan penggunaan c. BUT X memberikan jasa pelayaran dari
kualitatif agar fenomena yang sedang diteliti dalam Indonesia keluar negeri dan sebaliknya, dan
pertanyaan penelitian ini dapat dijawab secara d. BUT X sudah memberikan jasa pelayaran
mendalam dan rinci. selama lebih 20 tahun.
Pengumpulan Data Hal-hal tersebut mengindikasikan bahwa BUT X
Jenis data yang akan dikumpulkan adalah data memiliki pengetahuan tentang BPT yang diteliti
primer dan sekunder. Data primer adalah data yang dalam penelitian ini.
langsung diperoleh langsung oleh peneliti tanpa 3. Ahli perpajakan karena akademisi merupakan
diproses oleh pihak lain(Yin, 2016). Apa yang dilihat pihak yang independen yang dapat memberikan
oleh matapeneliti dan apa yang didengar oleh telinga pemahaman tentang interpretasi BPT dalam
peneliti adalah contoh data primer. Sedangkan data KMK nomor 417/KMK.04/1996.
sekunder menurut Yin (2016)adalah data yang Daftar nama responden terdapat dalam Tabel 1
diperoleh setelah diproses oleh pihak lain. Data yang berikut:
disampaikan melalui pihak ketiga, meskipun Tabel 1
informasi tersebut disampaikan secara verbal kepada Daftar Nama Responden (Nama Samaran)
peneliti oleh pihak ketiga tersebut, adalah data Nama Perwakilan
sekunder. Responden 1 BUT X
Data primer dalam penelitian akan dikumpulkan Responden 2 DJP
dengan metode wawancara dan mengumpulkan Responden 3 Akademisi
dokumen dari BUT X. Menurut Patton(2012),
wawancara adalah teknik pengumpulan data yang Data sekunder akan dikumpulkan dengan
bertujuan untuk mengetahui perspektif orang lain metode dokumentasi. Menurut Patton(2012),
mengenai suatu hal dan dimulai dengan suatu asumsi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan
bahwa perspektif orang tersebut berarti, dapat mengumpulkan dokumen yang berhubungan dengan
diketahui, dan jelas. Wawancara dilakukan untuk tujuan penelitian. Dokumen yang dikumpulkan
menggali informasi yang digunakan untuk menjawab adalah aturan perpajakan yang diperoleh dari website
pertanyaan penelitian. DJP dan putusan pengadilan yang diperoleh dari
Wawancara dalam penelitian ini bersifat semi- website Pengadilan Pajak.
structured interview dan dilakukandenganopen-ended Analisis Data
questions. Menurut Yin(2016), open-ended question Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan
memberikan kesempatan kepada partisipan untuk menggunakan descriptive analysis, content analysis,
Jurnal Akuntansi dan Pajak, ISSN 1412-629X l E-ISSN 2579-3055
Jurnal Akuntansi dan Pajak, 21 (02), 2021, 235
dan thematic analysis. Descriptive analysis adalah kepada BUT X. PT X memperoleh penghasilan dari
analisis data dengan menceritakan dan menjelaskan fee yang diberikan BUT X dan mark-up atas tarif
kembali suatu data yang telah dikumpulkan(Yin, BUT X.
2016). Sedangkan content analysis adalah analisis
data dengan mencari kata yang berulang dalam suatu 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
text (Patton, 2012). Text dapat berupa berita, hasil 3.1. Hasil penelitian
wawancara, atau dokumen. Tujuan content analysis BUT X menggunakan KMK nomor
adalah untuk menemukan pattern dari data kualitatif 417/KMK.04/1996 dan SE nomor SE-32/PJ.4/1996
yang dikumpulkan. Melaluicontent analysis, dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
penelitian diharapkan menemukan topik-topik Berdasarkan aturan tersebut, BUT X membayar PPh
penting mengenai interpretasi BPT dari masing- sebesar 2,64 persen. BUT X tidak membayar BPT di
masing responden.Thematic analysis adalah suatu luar tarif tersebut karena menganggap tarif tersebut
metode untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan sudah termasuk BPT. Berikut pernyataan Responden
melaporkan tema dari suatu data (Braun & Clarke, 1 (Personal interview, 2020):
2006). Tahapan analisis data dengan menggunakan “BUT badan hanya itu aja Pak, nihil kan. Dia
metode thematic analysis menurut Braun & Clarke hanya laporkan ocean freightnya sekian ratus
(2006) adalahsebagaiberikut: (1) membiasakan diri milyar. Kena 2,64 kali 50% jadi 1,32%. Uda, itu
dengan data yang dikumpulkan dengan membaca final dilaporkan di Badora. Terus sama
berulang-ulang dan menyeluruh, mencari arti, dan pendapatannya itu aja Pak. Itu berdasarkan
mencari tema dari transkrip wawancara dengan KMK 417 SE 32 dan P3B Indonesia dan
responden dan dokumen yang dikumpulkan, (2) Singapura.”
meneliti dan memilah tema yang telah diperoleh BUT X setuju dengan pendapat yang
apakah sesuai dengan pertanyaan penelitian dengan menyatakan bahwa untuk mengetahui tarif sebesar
membuat mapping dari tema tersebut. Hasil mapping 2,64 persen sudah termasuk BPT atau tidak, dapat
kemudian dibaca kembali dan memastikan seluruh mengacu pada SE-2/PJ.03/2008 yang mengatur BUT
tema telah berhubungan satu sama lain dan KPDA. Berikut pernyataan Responden 1 (Personal
memastikan apakah ada tema yang hilang dari proses interview, 2020):
sebelumnya, dan (3) menjawab pertanyaan penelitian “itu sudah otomatis Pak, itu terakhir disebutkan
dengan menggunakan hasil mapping data dengan bahwa 2,64 itu adalah final, bersifat final. Itu
menuliskan analisis atas cerita lengkap dengan data sudah termasuk. Lain halnya bila mereka
yang valid dan menyakinkan. Analisis dari cerita mendapatkan income diluar itu, maka dihitung
lengkap harus disajikan secara ringkas, logis, tidak sesuai dengan tarif pasal 17 karena dia BUT
berulang, dan berisi data-data dari keseluruhan tema. diperlakukan adalah sebagai resident di sini.
Gambaran Umum Perusahaan Didalam UU PPh pasal berapa itu ada
BUT yang diteliti adalah BUT X yang disebutin.”
merupakan cabang dari X Pte Ltd yang didirikan dan Berikut breakdown perhitungan dalam SE
berkedudukan di Singapura. BUT X melakukan tersebut:
kegiatan pengangkutan barang yang dimuat dalam Peredaran Bruto : 100%
container dengan menggunakan kapal dari satu Penghasilan Netto : 1%
pelabuhan di Indonesia kepelabuhan lain di luar Tarif WP Badan : 30%
Indonesia dan sebaliknya.Perusahaan pelayaran X Tarif efektifPPh Final :
menunjuk agen di Indonesia untuk memasarkan jasa Pasal 15 0,3% (30%x1%)
angkutan laut. Salah satu agen yang ditunjuk adalah Perhitungan BPT
PT X. X Pte Ltd dan PT X tidak memiliki hubungan PenghasilanNetto : 1%
istimewa. BUT X menetapkan tariff jasa angkutan, Tarif PPhPasal 15 : 0,3%
kemudian PT X memasarkan jasa angkutan tersebut DPP BPT : 0,7% (1%-0,3%)
kepada konsumen. Seluruh biaya yang timbul untuk Tarif BPT : 20%
menaikkan container kekapal di Indonesia dibaya BesarnyaBPT : 0,14% (0,7%x20%)
rterlebih dahulu oleh PT X sebaga iagen, namun Tarif PPh Final KMK- :
biaya tersebut akan ditagih kembali oleh PT X 634 0,44% (0,13%+0,14%)

Jurnal Akuntansi dan Pajak, ISSN 1412-629X l E-ISSN 2579-3055


Jurnal Akuntansi dan Pajak, 21 (02), 2021, 236
Dengan mengikuti breakdown perhitungan persen, tarif PPh tersebut sudah termasuk BPT. Hal
tersebut maka dapat diketahui bahwa tarif PPh Final ini sama dengan tarif PPh KPDA dalam SE nomor
Pasal 15 BUT perusahaan pelayaran sebesar 2,64% SE-2/PJ.03/2008 yang sudah memperhitungkan BPT.
sudah termasuk BPT. Berikut rincian perhitungan Sehingga salah satu maksud DJP dalam tarif 2,64
tersebut: persen dalam KMK nomor 417/KMK.04/1996 adalah
PeredaranBruto : 100% untuk menetapkan BPT termasuk dalam tarif
PenghasilanNetto : 6% tersebut. Berikut ini pernyataan dari Responden 2
Tarif WP Badan : 30% (Personal interview, 2020):
Tarif efektifPPh Final : (6%x30%) “intinya memang seharusnya sih penafsiran
Pasal 15 1,8% KMK 417 itu harus menggunakan penafsiran
PerhitunganBPT yang sama dengan KMK soal KPDA...itu sudah
PenghasilanNetto : 6% memperhitungkan branch profit tax.”
Tarif PPhPasal 15 : 1,8% Terkait dengan PMK nomor 14/PMK.03/2011
DPP BPT : 4,2% (6%-1,8%) yang mencabut PMK nomor 257/PMK.03/2008,
Tarif BPT : 20% PMK tersebut tidak berlaku untuk BUT perusahaan
BesarnyaBPT : 0,84% (4,2%x20%) pelayaran. berikut pernyataan Responden 2 (Personal
Tarif PPh Final KMK- : interview, 2020):
417 2,64% (1,8%+0,84%) “harus dipahami bahwa maksud dari PMK 14
2011 itu bukan untuk BUT keseluruhan, tetapi
Demikian halnya dalam Putusan Pengadilan hanya untuk BUT yang menanamkan kembali
Pajak nomor Put-86004/PP/M.IIIB/13/2017, BUT modalnya, sehingga dapat fasilitas. Kalau untuk
menggunakan breakdown perhitungan dalam SE- BUT yang tidak menanamkan kembali modalnya
2/PJ.03/2008 dan berpendapat tarif sebesar 2,64 di Indonesia, PMK 14 2011 itu tidak
persen sudah termasuk BPT. Terkait aturan BPT berlaku...Kitamengasumsikan BUT yang akan
dalam PMK nomor 257/PMK.03/2008, BUT menanamkan kembali modal labanya di
berpendapat bahwa aturan tersebut merupakan aturan Indonesia itu sudah pasti akan
umum, sedangkan KMK nomor 417/KMK.04/1996 menyelenggarakan pembukuan.”
merupakan aturan khusus. KMK nomor Namun menurut Responden 2 (Personal
417/KMK.04/1996 mengesampingkan PMK nomor interview, 2020), terdapat kelemahan dalam KMK
257/PMK.03/2008 (lex specialis derogate legi nomor 417/KMK.04/1996 karena belum
generalis). memperhatikan aturan dalam P3B terkait BPT. Pada
Responden 2 (Personal interview, 2020) dasarnya aturan tersebut dibuat untuk BUT
menyatakan bahwa perusahaan pelayaran yang perusahaan pelayaran asal negara yang tidak
berasal dari luar negeri menggunakan Norma memiliki P3B dengan Indonesia. P3B merupakan
Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan aturan khusus yang mengesampingkan KMK nomor
neto sesuai dengan Pasal 15 UU PPh. Tujuan dari 417/KMK.04/1996 yang merupakan aturan umum.
pengenaan PPh Pasal 15 ini adalah untuk KMK tersebut masih menggunakan tarif BPT UU
menghindari kesukaran atau menyederhanakan PPh sebesar 20 persen dalam menentukan tarif PPh
penghitungan PKP bagi kegiatan usaha tertentu sebesar 2,64 persen, sedangkan setiap P3B memiliki
termasuk kegiatan perusahaan pelayaran. Contoh tarif BPT yang berbeda-beda. Dalam konteks P3B
kesukaran tersebut adalah mengalokasikan biaya Indonesia dan Singapura, tarif BPT adalah sebesar 15
penyusutan kapal untuk memperoleh penghasilan di persen. Berikut pernyataan dari Responden 2
Indonesia. (Personal Interview, 2020) tersebut:
Lebih lanjut Responden 2 (Personal interview, “seharusnya penerapan KMK 417 itu tetap
2020) menyatakan bahwa KMK nomor memperhatikan apa yang ada di P3B termasuk
417/KMK.04/1996 mengatur besarnya penghasilan branch profit tax-nya. Memang benar ketika
neto dan tarif PPh BUT perusahaan pelayaran luar dihitung penghasilan netonya 6 persen maka
negeri. Berdasarkan KMK tersebut tarif PPh BUT dibawah-bawahnya itukan masih
perusahaan pelayaran adalah sebesar 2,64 persen. memperhatikan tarif domestik termasuk juga
Meskipun tidak ada breakdown atas tarif sebesar 2,64 BPT-nya yang tadi kita sebutkan 20

Jurnal Akuntansi dan Pajak, ISSN 1412-629X l E-ISSN 2579-3055


Jurnal Akuntansi dan Pajak, 21 (02), 2021, 237
persen...padahal kalau memperhatikan “pertama KMK 417 itu tidak mem-breakdown.
hubungan antara hukum domestik sama P3B Dia cuma menyebut bahwa perkiraan
seharusnya dalam melaksanakan ketentuan penghasilan netonya adalah 6%, kemudian
KMK 417 itu juga harus memperhatikan akhirnya tarifnya 2,64 kan gitu ya, bilangnya
ketentuan P3B-nya termasuk tarif branch profit seperti itu ya. Nah, dari situ, kalau saya, kalau
tax.” bicara tentang ketentuan ya berarti 2,64 ini ya
Meskipun demikian, maksud DJP dalam KMK tarifnya...Jadi kalau bicara tentang tarif, kita
nomor 417/KMK.04/1996 berbeda dengan gak usah bicara tentang branch proft tax disitu
interpretasi DJP dalam Putusan Pengadilan Pajak karena bunyi aturan disitu gak menyebut-nyebut
nomor Put-86004/PP/M.IIIB/13/2017. DJP dalam soal branch profit tax.”
putusan tersebut menyatakan bahwa tidak ada Terkait dengan interpretasi dengan
ketentuan dalam KMK nomor 417/KMK.04/1996 menghubungkan dengan SE nomor SE-2/PJ.03/2008,
yang menyatakan bahwa BUT perusahaan pelayaran Responden 3 (Personal interview, 2020) menyatakan
tidak akan dikenakan BPT. Kemudian tidak ada bisa saja breakdown tersebut merupakan maksud dari
breakdown perhitungan juga dalam KMK tersebut. DJP sebagai pembuat aturan. Namun seharusnya
Berdasarkan PMK nomor 257/PMK.03/2008, BPT maksud tersebut diperjelas dalam KMK, bukan
atas BUT dihitung dengan mengurangkan PKP dalam SE. Berikut pernyataan Responden 3 (Personal
berdasarkan pembukuan yang telah dikoreksi fiskal Interview, 2020):
dengan PPh final. Berdasarkan hal tersebut, DJP “...walaupun mungkin, kalau kita bicara tentang
dalam Putusan Pengadilan Pajak tersebut menyatakan penafsiran secara sosiologis gitu ya, kalau
bahwa tarif 2,64 persen tidak termasuk BPT. ditanyakan bagaimana para pembuat aturan ini
Responden 3 (Personal interview, 2020) menyusun, ya termasuk diotak-atik dengan
menyatakan bahwa Pasal 15 UU PPh digunakan angka tadi, ya ketemu juga 2,64 itu. Tapikan
untuk mengatur pemajakan atas transaksi yang bunyi aturan seperti itu gitu ya, kalau kita pakai
memiliki karakter yang unik yang membuatt ransaksi praduga pregmato ya apa yang tercantum di
tersebut sulit untuk dikenakan pajak dengan aturan”
mekanisme normal (hard to tax the taxpayer). Menurut Responden 3 (Personal Interview,
Pengenaan pajak dengan mekanisme normal atas 2020) adanya SE nomor SE-2/PJ.03/2008 justru
transaksi tersebut akan menimbulkan ketidakadilan, membuat KMK menjadi tidak jelas seperti dalam
compliance cost yang tinggi, dan ketidakpastian pernyataan berikut ini:
dalam penerapannya. “...dikaitkan dengan harmonisasi antar
Aturan pelaksanaan dari Pasal 15 UU PPh untuk peraturan perundang-undangan gitu ya, ah
kegiatan usaha pelayaran adalah KMK nomor ternyata ada isu soal masalah branch profit tax
417/KMK.04/1996. Menurut Responden 3 (Personal tadi. Karena DJP kemudian ada SE 2 tahun
interview, 2020), dalam menginterpretasikan KMK 2008 ini yang kemudian memberikan penafsiran
tersebut harus memperhatikan bunyi perundang- sehingga menjadi kabur, apa namanya, antara
undangan. Berikut pendapat Responden 3 (Personal KMK dengan SE ini.”
interview, 2020): Lebih lanjut Responen 3 (Personal interview,
“jadi kalau kita melihat kondisinya, kalau saya 2020) menyatakan bahwa PMK nomor
berpendapat bahwa pertama tarif yang 14/PMK.03/2011, yang menyatakan bahwa dasar
digunakan adalah sesuai dengan tarif pengenaan BPT untuk BUT yang dikenakanPPh final
yang...jadi kita pakai praduga pregmato gitu ya. adalah PKP yang dihitung berdasarkan pembukuan
Jadi kalau kita bicara peraturan perundang- yang sudah dilakukan koreksi fiscal dikurangi
perundangan ya kita tafsirkan apa yang ada dengan PPh final, juga harus diperjelas lagi. Padahal
bunyi dari perturan perundang-undangan itu.” BUT yang dikenakanPPh final tidak mempunyai
Lebih lanjut menurut Responden 3 (Personal PKP. Kemudian kalau diharuskan untuk menghitung
Interview, 2020), tarif sebesar 2,64 persen tidak dasar pengenaan BPT berdasarkan pembukuan akan
termasuk BPT. Berikut pernyataan Responden 3 membuat perhitungannya menjadi tidak sederhana.
(Personal interview, 2020)” Oleh karena itu Responden 3 (Personal interview,
2020) menyarankan pembuat aturan untuk

Jurnal Akuntansi dan Pajak, ISSN 1412-629X l E-ISSN 2579-3055


Jurnal Akuntansi dan Pajak, 21 (02), 2021, 238
melakukan evaluasi aturan-aturan tersebut agar Berdasarkan PutusanPengadilanPajaknomor
menjadi sederhana dan mudah dipahami. Berikut Put-86004/PP/M.IIIB/13/2017, DJP melakukan
pernyataan Responden 3 (Personal Interview, 2020): interpretasiatas KMK nomor 417/KMK.04/1996
“...aturan-aturan itu harus diperjelas saya kira. menggunakan interpretasi gramatikal. Interpretasi
Kemudian juga perlu dikaji juga, kan namanya gramatikal merupakan interpretasi dari segi bahasa
peraturan perundang-undangan kan harus tertulis yang dituangkan dalam kalimat pada suatu
dievaluasi ketika itu kemudian menimbulkan peraturan perundang-undangan (Mertokusumo,
banyak sengketa gitu ya, ya faktanya kan ini 2007). DJP melakukan interpretasi mengenai BPT
timbul banyak sengketa, ada baiknya dengan melakukan analisis terhadap kalimat-kalimat
pemerintah mengevaluasi termasuk KMK-nya. yang tertulis dalam KMK nomor 417/KMK.04/1996
KMK-nya sudah terlalu lama ini, termasuk dan PMK nomor 257/PMK.03/2008. Berdasarkan
harmonisasi antar peraturan perundang- interpretasi tersebut, DJP berpendapat tarif sebesar
undangan.” 2,64 persen tidak termasuk BPT. Analisis atas
interpretasi DJP dalam putusan tersebut dijelaskan
3.2. Pembahasan dalam Tabel 2 berikut:
Analisis Interpetasi DJP dan BUT Perusahaan
Pelayaran asal Singapura mengenai BPT
Tabel2
Analisis Interpretasi DJP dalam Putusan Pengadilan Pajak nomor Put-86004/PP/M.IIIB/13/2017
No Pendapat DJP Analisis
1 Tidak ada ketentuan dalam KMK nomor 417/KMK.04/1996 Dalam KMK tersebut tidak
yang menyatakan bahwa BUT perusahaan pelayaran tidak ditemukan kata-kata atau kalimat
dikenakan BPT. yang menyatakan BUT perusahaan
pelayaran tidak dikenakan BPT.
2 Dalam KMK nomor 417/KMK.04/1996 tidak ada breakdown Dalam KMK tersebut tidak
atas tarif 2,64% seperti yang disampaikan oleh Pemohon ditemukan kata-kata atau kalimat
Banding. Dalam aturan tersebut tidak disebutkan bahwa BPT yang menyatakan tariff sebesar
termasuk dalam tarif 2,64%. Hanya dijelaskan bahwa untuk 2,64% sudah termasuk BPT.
pelayaran luar negeri dikenakan tarif Pajak Penghasilan final Kemudian tidak ditemukan juga
sebesar 2,64%. breakdown tariff sebesar 2,64%.
3 Pasal 5 PMK nomor 257/PMK.03/2008 disebutkan“dalam hal Oleh karena DJP
penghasilan dari usaha yang diterima atavu diperoleh Wajib menginterpretasikan bahwa KMK
Pajak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar nomor 417/KMK.04/1996 tidak
pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 mengatur tentang BPT, maka DJP
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah menggunakan aturan yang mengatur
beberapa kali diubah terakhir denganUndang-UndangNomor tentang BPT, yaitu PMK nomor
36 Tahun 2008 adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung 257/PMK.03/2008. Dalam PMK
berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiscal dikurangi tersebut memang terdapat kalimat
dengan PajakPenghasilan yang bersifat final” (Kemenkeu, yang disebutkan DJP.
2008). Dengan demikian PPh Pasal 15 atas laba perusahaan
dihitung berdasarkan KMK nomor 417/KMK.04/1996, dan atas
penghasilan laba BUT yang dikirimkan ke holding dipotong
PPhPasal 26 ayat (4).

4 Tarif PajakPenghasilan pasal 15 sebesar 2,64% dipotong tax Oleh karena DJP berpendapat bahwa
treaty, sehingga tariff efektifnya adalah 1,32% tariff sebesar 2,64% tidak termasuk
BPT, maka menurut DJP, BUT
mendapat penurunan tariff sebesar
50% berdasarkan P3B Indonesia dan
Singapura, sehingga diperoleh tariff
sebesar 1,32% (50% x 2,64%).
Sumber: Pengadilan Pajak (2017), telah diolah kembali

Jurnal Akuntansi dan Pajak, ISSN 1412-629X l E-ISSN 2579-3055


Jurnal Akuntansi dan Pajak, 21 (02), 2021, 239
Sedangkan BUT dalam putusan pengadilan KMK nomor 417/KMK.04/1996 dengan
pajak tersebut melakukan interpretasi atas KMK menghubungkan dengan SE nomor SE-2/PJ.03/2008
nomor 417/KMK.04/1996 menggunakan interpretasi yang merupakan aturan KPDA. Berdasarkan
sistematis atau logis. Interpretasi tersebut dilakukan interpretasi tersebut, BUT berpendapat bahwa tarif
dengan menghubungkan suatu aturan dengan aturan sebesar 2,64 persen sudah termasuk BPT. Analisis
lain atau dengan keseluruhan sistem aturan atas interpretasi BUT dalam putusan tersebut
(Mertokusumo, 2007). BUT melakukan interpretasi dijelaskan dalam Tabel 3 berikut:
Tabel 3
Analisis Interpretasi BUT dalam Putusan Pengadilan Pajak nomor Put-86004/PP/M.IIIB/13/2017
No Pendapat BUT Analisis
1 BUT menyatakan “terdapat rincian atas Rincian perhitungan tariff sebesar 2,64% yang
besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak dilakukan BUT dilakukan dengan menghubungkan
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan dengan SE-2/PJ.03/2008. SE tersebut memberikan
luar negeri sebesar 2,64% sebagaimana diatur rincian perhitungan (breakdown) atas tariff PPh final
dalam KMK nomor 417/KMK.04/1996 dari KPDA. Dalam rincian perhitungan tersebut, tariff PPh
peredaran bruto. Dalam perhitungan tersebut, final KPDA sudah termasuk BPT. Dengan
tariff sebesar 2,64% sudahtermasuk BPT” menggunakan rincian perhitungan tersebut, BUT
(Pengadilan Pajak, 2017). melakukan breakdown atas tariff sebesar 2,64%, dan
disimpulkan tariff sebesar 2,64% tersebut sudah
termasuk BPT.
2 PMK nomor 257/PMK.03/2008 merupakan BUT melakukan interpretasi dengan menghubungkan
aturan yang mengatur secaraumum, sedangkan KMK nomor 417/KMK.04/1996 dan PMK nomor
KMK nomor 417/KMK.04/1996 merupakan 257/PMK.03/2008 dengan sistem hukum. Menurut
aturan khusus yang mengatur BUT jasa BUT, KMK nomor 417/KMK.04/1996 bersifat khusus
pelayaran dan penerbangan luar negeri yang karena merupakan amanat Pasal 15 UU PPh sehingga
sampai saat ini belum dihapus. Usaha BUT PMK nomor 257/PMK.03/2008 tidak berlakubagi
adalah jasa pelayaran, sehingga menggunakan BUT Perusahaan Pelayaran.
KMK nomor 417/KMK.04/1996 dan bukan
PMK nomor 257/PMK.03/2008 (lex specialis
derogate legigeneralis)
Sumber: Pengadilan Pajak (2017), telah diolah kembali

Hal ini sama dengan pendapat BUT X yang konteks penelitian ini adalah DJP, sedangkan
menyatakan bahwa tarif sebesar 2,64 persen dalam pembaca adalah BUT dan pegawai DJP. Responden
KMK nomor 417/KMK.04/1996 sudah termasuk 2 (Personal Interview, 2020) yang mewakili DJP
BPT. BUT X juga menggunakan interpretasi sebagai pembuat aturan menyatakan bahwa pada
interpretasi sistematis atau logis dengan dasarnyatarifsebesar 2,64 persen pada KMK nomor
menghubungkan KMK tersebut dengan SE nomor 417/KMK.04/1996 sudah termasuk BPT. Dasar DJP
SE-2/PJ.03/2008 yang merupakan aturan KPDA. menyatakan hal demikian adalah dengan
Masukan Penyelesaian Perbedaan Interpretasi menggunakan breakdown penghitungan dalam SE
Berdasarkan teori, pembuat aturan harus nomor SE-2/PJ.03/2008. Maksud DJP sebagai
membuat aturan dalam kata-kata dan kalimat yang pembuat aturan dibandingkan dengan interpretasi
jelas dan dapat dipahami agar aturan tersebut BUT dan Pegawai DJP dapat dilihat dalam Tabel4
dipatuhi oleh pembaca. Pembuat aturan dalam sebagaiberikut:
Tabel 4
Perbandingan Maksud DJP dengan Interpretasi Pegawai DJP dan BUT tentang BPT
No Maksud DJP InterpretasiPegawai DJP Interpretasi BUT
1 Tarif sebesar 2,64% sudah termasuk Tarif sebesar 2,64% tidak termasuk Tarif sebesar 2,64%
BPT. BPT. sudah termasuk BPT.

Jurnal Akuntansi dan Pajak, ISSN 1412-629X l E-ISSN 2579-3055


Jurnal Akuntansi dan Pajak, 21 (02), 2021, 240
No Maksud DJP InterpretasiPegawai DJP Interpretasi BUT
2 Hal ini sama dengan breakdown Tidak ada breakdown perhitungan Hal ini didasarkan
penghitungan dalam SE nomor SE- tariff dalam KMK nomor pada breakdown
2/PJ.03/2008. 417/KMK.04/1996. Tidak ada surat penghitungan dalam
PMK nomor 257/PMK.03/2008 hanya penegasan yang menegaska ntarif SE nomor SE-
untuk BUT yang tidak menanamkan dalam KMK tersebut termasuk BPT. 2/PJ.03/2008.
kembali modalnya di Indonesia. BUT Kemudian terdapat PMK nomor
perusahaan pelayaran tidak 257/PMK.03/2008 yang menyatakan
menanamkan modalnya di Indonesia, BPT atas BUT dihitungan dengan
sehingga tidak mengikuti PMK menggunakan pembukuan.
tersebut.
Sumber: Responden 1 (2020); Responden 2 (2020); Pengadilan Pajak (2017), telah diolah kembali

Pegawai DJP sebagai pembaca aturan tidak merupakan aturan umum sesuai dengan asaslex
melakukan interpretasi KMK nomor specialis derogate legigeneralis. Setiap P3B
417/KMK.04/1996 sesuai dengan maksud DJP memiliki tarif BPT yang berbeda-beda.Perhitungan
sebagai pembuat aturan karena KMK tersebut tidak tarif sebesar 2,64 persen dalam KMK tersebut
dibuat dalam kalimat yang jelas. Kemudian menggunakan tarif BPT sebesar 20 persen sesuai
Responden 3 (Personal interview, 2020) menyatakan dengan Pasal 26 UU PPh, sedangkan tarif BPT
bahwa jika memang maksud DJP tariff sebesar 2,64 menurut P3B Indonesia dan Singapura adalah sebesar
persen sudah termasuk BPT, seharusnya hal tersebut 15 persen. Jika menerapkantarif BPT berdasarkan
dinyatakan dalam kalimat yang jelas pada KMK P3B Indonesia dan Singapura, maka tariff PPh BUT
tersebut. Jika tidak dinyatakan demikian, seharusnya perusahaan pelayaran Singapura bukan 2,64 persen,
tarif 2,64 persen tersebut tidak termasuk BPT. tetapi 2,43 persen dengan rincian sebagai berikut:
Terkait breakdown penghitungan dalam SE nomor Peredaran Bruto : 100%
SE-2/PJ.03/2008, menurut Responden 3 (Personal Penghasilan Netto : 6%
interview, 2020), seharusnya SE tersebut tidak Tarif WP Badan : 30%
mengatur norma karena SE bukan produk hukum. SE Tarif efektif PPh Final : (6%x30%)
tersebut justru membuat KMK menjadi kabur, karena Pasal 15 1,8%
tarif yang terdapat dalam SE tersebut dapat Perhitungan BPT
mengubah tariff dalam KMK. Penghasilan Netto : 6%
Terkait dengan PMK nomor 257/PMK.03/2008 Tarif PPh Pasal 15 : 1,8%
sebagaimana telah dicabut dengan PMK nomor DPP BPT : 4,2% (6%-1,8%)
14/PMK.03/2011, menurut Responden 2 (Personal Tarif BPT : 20%
interview, 2020) seharusnya sudah jelas bahwa BUT Besarnya BPT : 0,84% (4,2%x20%)
perusahaan pelayaran Singapura tidak mengikuti Tarif PPh Final KMK- :
PMK tersebut. Dalam PMK tersebut memang 417 2,64% (1,8%+0,84%)
terdapat kalimat “bahwa untuk lebih memberikan
kepastian hokum mengenai perlakuan perpajakan Tetapi perhitungan tersebut hanya berlaku bagi
atas penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak BUT perusahaan pelayaran asal Singapura. BUT
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu perusahaan pelayaran dari negara selain Singapura
Bentuk Usaha Tetap...” (Kemenkeu, 2008), sehingga harus memperhatikan ketentuan dalam P3B
interpretasi yang dilakukan pegawai DJP memang Indonesia dengan negara tersebut. Sebagai contoh,
kurang tepat. P3B Indonesia dan Korea Selatan mengatur tarif BPT
Tetapi menurut Responden 2 (Personal sebesar 10 persen (Indonesia & Korea, 1988). Oleh
interview, 2020) masih terdapat kelemahan jika tariff karena itu masukan perubahan atas KMK nomor
sebesar 2,64 persendalam KMK nomor 417/KMK.04/1996 terkait BPT harus memperhatian
417/KMK.04/1996 sudahtermasuk BPT karena KMK tarif yang diatur dalam P3B Indonesia dengan
tersebut tidak memperhatikan P3B. P3B merupakan seluruh negara mitra.
aturan khusus yang mengesampingkan KMK yang

Jurnal Akuntansi dan Pajak, ISSN 1412-629X l E-ISSN 2579-3055


Jurnal Akuntansi dan Pajak, 21 (02), 2021, 241
Berdasarkanhal-hal yang telahdiuraikan dan dikemudian hari, apakah membuat perubahan atas
berdasarkan teori, berikut masukan penyelesaian aturan yang sudah ada atau membuat surat penegasan
perbedaan interpretasi tersebut: atas interpretasi aturan yang sudah ada. Berdasarkan
1. Melakukan perubahan atas KMK nomor hasil penelitian, maka diambil kesimpulan sebagai
417/KMK.04/1996 sebagai berikut: berikut: (1) Pegawai DJP menggunakan interpretasi
a. Mengatur penghasilan netodalam Pasal 2 gramatikal dalam melakukan interpretasi KMK
ayat (1) tetap sebesar 6 persen,namun tariff nomor 417/KMK.04/1996 terkait BPT dan
PPh dalam Pasal 2 ayat (2) diubah dari 2,64 menyatakan bahwa tidak ada kata-kata atau kalimat
persen menjadi 1,8 persenkarena P3B dalam KMK tersebut yang menyatakan bahwa BPT
Indonesia dengansetiap negara sudah termasuk dalam tarif PPh sebesar 2,64 persen.
mitramemilikitarif BPT yang berbeda. Hal Kemudian tidak terdapat breakdown atas tarif PPh
ini tidak mengubah maksud DJP atas tarif dalam KMK tersebut sehingga pegawai DJP
PPh sebesar 2,64 persen termasuk BPT, menginterpretasikan tarif PPh tersebut tidak termasuk
karena jika dilakukan operasi penghitungan BPT. Sedangkan BUT menggunakan interpretasi
jumlah tarif tetap PPh 2,64 persen dengan sistematis atau logis dan menyatakan bahwa
perhitungan sebagai berikut: breakdown atas tarif sebesar 2,64 persen dapat
PeredaranBruto : 100% dihubungkan dengan SE nomor SE-2/PJ.03/2008
PenghasilanNetto : 6% yang merupakan aturan KPDA. Dengan
Tarif WP Badan : 30% mempergunakan perhitungan dalam breakdown
Tarif PPh Badan : 1,8% tersebut, BUT menginterpretasikan tarif PPh sebesar
PerhitunganBranch Profit 2,64 persen sudah termasuk BPT, dan (2) masukan
Tax penyelesaian perbedaan interpretasi adalah
PenghasilanNetto : 6% mengubah KMK nomor 417/KMK.04/1996 dengan
Tarif PPh Pasal 15 : 1,8% mengatur penghasilan neto sebesar 6 persen dan tarif
DPP Branch Profit Tax : 4,2% PPh sebesar 1,8 persen,serta membuat surat
Tarif PPh Pasal 26 ayat (4) : 20% penegasan atas PMK nomor 14/PMK.03/2011 yang
Besarnya Branch Profit : 0,84% menyatakan bahwa aturan tersebut untuk BUT yang
Tax menanamkan kembali modalnya di Indonesia
Tarif PPh Final KMK-417 : 2,64% Keterbatasan
b. Menambah pasal yang menyatakan bahwa Keterbatasan dari penelitian ini adalah tidak
pengenaan BPT mengikuti ketentuan P3B melakukan penelitian lebih lanjut atas mekanisme
Indonesia dengan negara asal BUT pemotongan dan penyetoran PPh BUT perusahaan
perusahaan pelayaran. pelayaran. Jika tarif diubah menjadi 1,8 persen dan
2. Terkait PMK nomor 257/PMK.03/2008 penerapan BPT mengikuti P3B Indonesia dengan
sebagaimana telah dicabut dengan PMK nomor negara mitra, apakah mekanisme pemotongan dan
14/PMK.03/2011, sebaiknya dibuat surat penyetoran PPh dalam SE nomor SE-32/PJ.4/1996
penegasan yang menyatakan bahwa PMK masih dapat diterapkan atau tidak. Diperlukan waktu
tersebut untuk mengatur perlakuan pajak atas untuk melakukan penelitian atas dampak perubahan
penanaman kembali modal BUT. tarif yang disarankan dalam penelitian. Kemudian
Tidakdiperlukan perubahan dalam PMK karena penelitian ini hanya fokus pada aspek perpajakan
maksud PMK tersebut sudah dinyatakan dalam BUT perusahaan pelayaran berupa BPT, masih
kalimat yang jelas. terdapat aspek perpajakan lain yang belum diteliti
dalam penelitian ini.
4. KESIMPULAN Saran Untuk Penelitian Selanjutnya
Kesimpulan Penelitian ini hanya memperhatikan aspek
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis perpajakan BPT. Masih terdapat aspek perpajakan
bagaimana DJP dan BUT menginterpretasikan BPT BUT perusahaan pelayaran seperti penurunan tarif
atas BUT perusahaan pelayaran asal Singapura,serta sebesar 50 persen berdasarkan P3B Indonesia dan
(2) memberikan masukan untuk menyelesaikan Singapura. Bahkan terdapat P3B Indonesia dengan
perbedaan interpretasi agar tidak terjadi kembali negara mitra yang tidak memberikan hak pemajakan

Jurnal Akuntansi dan Pajak, ISSN 1412-629X l E-ISSN 2579-3055


Jurnal Akuntansi dan Pajak, 21 (02), 2021, 242
kepada Indonesia. Penelitian selanjutnya disarankan Kemenkeu. Keputusan Menteri Keuangan Republik
untuk meneliti dampak dari hak pemajakan Indonesia Nomor 417/KMK.04/1996 Tentang
berdasarkan P3B terhadap KMK nomor Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto
417/KMK.04/1996. Jika penurunan tarif sebesar 50 Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran
persen berdasarkan P3B Indonesia dan Singapura Dan/Atau Penerbangan Luar Negeri. , (1996).
diterapkan, apakah penurunan tersebut berdasarkan Kemenkeu. Peraturan Menteri Keuangan Republik
tarif 2,64 persen yang menurut DJP telah termasuk Indonesia Nomor 257/PMK.03/2008 Tentang
BPT atau tidak. Jika berdasarkan tarif 2,64 persen, Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena
apakah sudah memenuhi asas lex specialis derogate Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu
legi generalis, karena tarif 2,64 persen dalam KMK Bentuk Usaha Tetap. , (2008).
tersebut menggunakan tarif UU PPh. Kemudian Kemenlu. (2019). Kemenlu. Retrieved March 6,
penurunan tarif membuat tarif BPT menjadi 10 2019, from
persen (50% x 20%), padahal penurunan tarif hanya https://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/Pages/ke
diberikan pada PPh badan, bukan terhadap BPT juga. rjasama-bilateral.aspx
Krever, R., & Mellor, P. (2014). Legal Interpretation
5. REFERENSI of Tax Law: Australia.
Admiral, A. T. (2016). Analisis Regulasi Pajak Maharisa, W. (2013). Analisis Perlakuan Pajak
Perusahaan Pelayaran Niaga di Indonesia Penghasilan terhadap Bentuk Usaha Tetap
ditinjau dari The Four Maxims Adam Smith. yang Menjalankan Usaha Jasa Konstruksi.
Universitas Indonesia. Universitas Indonesia.
Arnold, B. J. (2016). International Tax Primer. Mertokusumo, S. (2007). PENEMUAN HUKUM
Kluwer Law International. Sebuah Pengantar (Kedua). Yogyakarta:
Braun, V., & Clarke, V. (2006). Using thematic Liberty.
analysis in psychology. Qualitative research in Patton, M. Q. (2012). Qualitative research &
psychology. Qualitative Research in Evaluation Method (3rd ed.). Sage Publications,
Psychology. Inc.
Hartono, H. B. (2018). Dispute Resolution in the Pengadilan Pajak. (2017). Putusan Pengadilan Pajak
Case of Production Sharing Contract vs Tax Nomor Put-86004/PP/M.XIIIB/13/2017.
Treaty (Case Study of Government of Indonesia Retrieved from
vs Oil and Gas Contractors in Branch Profit Tax http://www.setpp.kemenkeu.go.id/risalah
Issue). International Conference on Energy and Putra, W. E., Kusuma, I. L., & Dewi, M. W. (2019).
Mining Law. Advances in Economics, Business Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
and Management Research. Kepatuhan Wajib Pajak(Studi Kasus pada
Holmes, O. W. (1899). The Theory of Legal Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan di
Interpreation. Harvard Law Review, 12, 417– Wilayah Kota Jambi). Jurnal Akuntansi Dan
420. Retrieved from Pajak, 20(1), 43–54.
https://www.jstor.org/stable/1321531 RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Indonesia, & Korea. AGREEMENT BETWEEN THE Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah
INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF Terakhir Dengan Undang-Undang Republik
THE REPUBLIC OF KOREA FOR THE Indonesia Nomor 36 Tahun 2008. , (1983).
AVOIDANCE OF DOUBLE TAXATION AND Yin, R. K. (2016). Qualitative Research from Start to
THE PREVENTION OF FISCAL EVASION Finish (Second). The Guilford Press.
WITH RESPECT TO TAXES ON INCOME. , Yulianti, Widowati, L. S., & Santoso, A. (2020).
(1988). Determinant Compliance with People’s Tax
Obligations. Jurnal Akuntansi Dan Pajak,
21(1), 121–129.

Jurnal Akuntansi dan Pajak, ISSN 1412-629X l E-ISSN 2579-3055

You might also like