You are on page 1of 22

ANALISIS KASUS SENGKETA PERPAJAKAN DI INDONESIA: SUATU INVESTIGASI EMPIRIS

MUHAMMAD SYAM KUSUFI Fakultas Ekonomi Prodi Akuntansi Universitas Trunojoyo Madura INAYATI NURAINI DWIPUTRI Alumni Program MSi dan Doktor FEB UGM kusufi_unijoyo@yahoo.com inayati_nadp@yahoo.com ABSTRACT The study was aimed to examine taxation cases in Indonesia and to identify the behavioral of its Supreme Courts verdict. We used The Supreme Courts verdict upon taxation dispute cases from 2004 to 2010. The first analysis was descriptive statistics and the second analysis was logistic regression. The results showed that The Supreme Courts verdict had different treatment to the 2 of 6 variables used in this study (Judicial review and tax period). Moreover, the data analysis also revealed that the Directorate General of Taxation (DGT) is almost likely to be succeeded the cases in the Supreme Courts level if the Judicial Review was applied by the taxpayer. Thus, unlike in the Tax Court level which the tax payers are likely win the case, while before the Supreme Court the tax payers will not always win their cases, especially when the Judicial Review was applied by the tax payer. Accordingly, based on the result of this study and some previous study, We advised the government of Indonesia to do some actions, which are: 1) Improving the human resources quality of the DGT including its intellectual and manners. 2) Increasing the tax payers compliance by enhancing the tax benefit for the tax payers, 3) Developing the level of the compliance to the Indonesian Tax Law of its taxpayers and tax officers, 4) Having a commitment to construct the DGT to become an institution with good governance in order to accomplish heir task as the only taxation agency in Indonesia, 5) Designing a better Tax Court which is able to maximize their responsibility in Indonesia. Key words: the Supreme Courts verdict, Tax Court, Taxpayers, Judicial Review. ABSTRAKSI Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi atas kasus perpajakan di Indonesia dan mengidentifikasi perilaku putusan Mahkamah Agung (MA). Data yang digunakan merupakan data putusan MA tahun 2004-2010 atas kasus sengketa pajak. Analisis yang digunakan merupakan analisis deskriptif dan analisis regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan MA memiliki perlakuan berbeda atas pemohon Peninjauan Kembali (PK) dan tahun pajak. Analisis menunjukkan bahwa probabilitas Dirjen Pajak memenangkan kasus sengketa pajak di tingkatan MA lebih tinggi apabila pemohon PK adalah wajib pajak dibandingkan Dirjen Pajak. Hal ini mengindikasikan bahwa putusan MA tidak selalu memenangkan atau meguntungkan wajib pajak. Hal ini justru berbeda dengan putusan Pengadilan Pajak yang lebih banyak menguntungkan wajib pajak dalam putusannya. Dari identifikasi hasil penelitian dan mengacu pada penelitan sebelumnya, maka hal yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia antara lain adalah: 1) meningkatkan kualitas aparat pajak baik sisi intelektual maupun moralitas

perilakunya; 2) meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan meningkatkan manfaat pembayaran pajak terutama bagi wajib pajak; 3) meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan petugas pajak terhadap undang-undang perpajakan; 4) berkomitmen untuk membangun tata kelola lembaga perpajakan yang lebih baik; 5) mendesain lembaga pengadilan pajak yang lebih baik. Kata kunci: putusan MA, wajib pajak, peninjauan kembali, Pengadilan Pajak. LATAR BELAKANG Pajak telah menjadi penerimaan negara terbesar, menggantikan penerimaan dari sektor minyak bumi dan gas (migas). Penerimaan dari sektor migas tidak bisa lagi diandalkan, karena penerimaan dari sumber daya alam, khususnya migas, memiliki usia ekonomis yang relatif terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Selain itu juga, Pudyatmoko (2009) mengungkapkan bahwa intensifikasi pajak agar menjadi penerimaan negara yang utama, mulai ditingkatkan sejak tahun 1980-an karena adanya gejala kemerosotan harga migas di pasaran dunia dan kondisi yang semakin tidak menentu. Oleh karena itu, sejak tahun 2000 pemerintah RI berupaya lebih menjadikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) lebih sehat dan mandiri dengan target defisit anggaran lebih kurang 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) (Komalasari dan Nashih 2005). Penerimaan dari sektor pajak mengalami kenaikan dari tahun ke tahun (lihat penelitian Widayati dan Nurlis 2010; dan Dwiputri 2011). Kurang lebih 2/3 penerimaan negara saat ini berasal dari pos pajak (Widayati dan Nurlis 2010). Meskipun demikian, masih terdapat permasalahan dalam perpajakan Indonesia yang perlu dielaborasi. Salah satu masalah perpajakan di Indonesia adalah kasus sengketa pajak. Sengketa pajak muncul disebabkan antara lain karena adanya ketidakpatuhan pajak oleh wajib pajak (WP) (Graetz et al. 1986) sehingga terjadi perbedaan perhitungan antara WP dengan pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP atau fiskus) atas jumlah yang harus dibayar oleh WP (Dwiputri 2011). Perbedaan perhitungan pajak antara WP dan fiskus diduga disebabkan adanya fleksibilitas sistem akuntansi, yang oleh Omer dan Yetman (2007) dikategorikan sebagai faktor penyebab tindakan penghindaran pajak (tax avoidance). Faktor penyebab ketidakpatuhan pajak oleh wajib pajak adalah faktor moral dan norma sosial yang berlaku di masyarakat (Bobek et al. 2007). Misalnya, penelitian Bergman (2003) mengungkapkan bahwa Chili memiliki tingkat kepatuhan pajak yang lebih baik daripada Argentina karena kebijakan pajak di Chili telah terimplementasi secara permanen, stabil, dan rasional sehingga menciptakan administrasi pajak yang efektif. Ketidakpatuhan pajak dapat memicu adanya hidden action oleh wajib pajak dalam upaya untuk tidak membayar atau mengurangi utang pajaknya. Hidden action muncul ketika suatu pihak tidak dapat mengamati tindakan work-averse dari pihak lain (Arrow 1985; Baiman 1982). Hidden action merupakan suatu bentuk sikap dalam hubungan yang tersembunyi (Mukoyama dan Sahin 2005). Masalah ketidakpatuhan pajak dan hidden action juga terdapat dalam perpajakan Indonesia. Salah seorang makelar kasus perpajakan1 mengungkap bahwa modus penyimpangan pajak di antaranya adalah negosiasi antara aparat pajak dan wajib pajak di tingkat komisaris pajak dan di tingkat penyidikan pajak2. Negosiasi antara aparat pajak dan wajib pajak merupakan indikasi hidden action dalam perpajakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Darrough dan
1 2

Gayus Tambunan http://www.detiknews.com/read/2011/07/20/142958/1685244/10/ini-dia-6-moduspenyimpangan-pajak-versi-gayus

Stoughton (1986) yang menyatakan bahwa hidden action muncul ketika tindakan agent tidak dapat diamati oleh principal. Dalam pemungutan pajak, agent adalah wajib pajak dan principal adalah aparat pajak. Fakta lain diungkap Parwito (2005) bahwa lebih dari 75% putusan banding dalam Pengadilan Pajak menguntungkan wajib pajak atau membuat jumlah pajak yang dibayar menjadi lebih kecil. Mengacu pada pernyataan Parwito (2005) maka penelitian ini ingin mengetahui apakah putusan dalam Mahkamah Agung juga cenderung menguntungkan wajib pajak. Penelitian dilakukan terhadap kasus sengketa pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai karena kedua jenis pajak tersebut memberikan proporsi terbesar bagi penerimaan pajak dalam negeri3. Penelitian menggunakan data putusan MA tahun 2004 sampai dengan tahun 2010. Data penelitian diambil mulai dari putusan MA tahun 2004 karena undang-undang terbaru tentang pengadilan pajak yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 telah diimplementasikan. Putusan MA mulai tahun 2004 telah mengacu kepada undang-undang tersebut. Putusan MA tahun 2004 sampai dengan tahun 2010 terdiri atas putusan pada sengketa tahun pajak 1997 sampai dengan tahun pajak 2005. Penelitian ini terbatas hanya terhadap wajib pajak yang mengajukan sengketa sampai pada tingkatan MA. Sebagaimana penelitian Dwimulyani (2010) yang menduga bahwa konservatisma dalam akuntansi dengan pengakuan asimetriknya tersebut dapat menimbulkan konflik antara perusahaan dengan fiskus yang diakibatkan bahwa fiskus menganggap penetapan besar pajak penghasilan menurut perusahaan terlalu rendah disebabkan konservatisma dalam akuntansi dapat menghasilkan angka-angka laba dan aset cenderung lebih rendah serta angkaangka biaya dan utang cenderung lebih tinggi. Namun, setelah fiskus melakukan pemeriksaan, hal ini dapat menimbulkan perusahaan menjadi kurang bayar dan selanjutnya dapat menjadi awal dari timbulnya sengketa pajak. Hasil penelitian Dwimulyani membuktikan bahwa konservatisma akuntansi dapat mendorong terjadinya sengketa pajak penghasilan pada 507 perusahaan pemanufakturan yang terdaftar di BEI dari tahun 2004 sampai tahun 2008. Namun, penelitian Dwimulyani (2010) menggunakan rasio-rasio keuangan yang diduga dapat memicu (atau proksi) sengketa pajak, bukan data riil sengketa pajak yang ada di KPP, Pengadilan Pajak, ataupun Mahkamah Agung. Penelitian ini diharapkan akan memberikan perspektif yang berbeda dengan menganalisis secara langsung data kasus sengketa perpajakan yang benar-benar terjadi dan terdokumentasi dalam Putusan Mahkamah Agung. Analisis kasus sengketa pajak dalam penelitian ini menggunakan perspektif ekonomi kriminalitas dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu cost benefit analysis (Becker 1968) dan game theory analysis (Tsebelis 1989, 1990, 1993) yang telah disempurnakan oleh Pradiptyo (2007). Beberapa penelitian sebelumnya juga telah menggunakan metode tersebut untuk menganalisis berbagai kasus kriminalitas ekonomi di Indonesia antara lain adalah kasus korupsi (Pradiptyo 2009a, 2009b) dan penebangan hutan secara ilegal (Permana 2010). Dari sudut pandang beberapa literatur akuntansi forensik, analisis kasus sengketa perpajakan melalui data putusan Mahkamah Agung termasuk dalam pembuktian kasus melalui bukti dokumenter. Silverstone dan Sheetz (2007) menyatakan bahwa pembuktian kasus hukum melalui penarikan kesimpulan (inference). Artinya, bukti-bukti yang ada harus melalui sebuah proses penarikan kesimpulan (inferensial) sehingga menghasilkan kesimpulan (proof
3

Lihat Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2010

atau conclusion). Penelitian ini diharapkan dapat menjadi penelitian awal dalam bidang akuntansi forensik dalam kasus sengketa perpajakan di Indonesia yang menggunakan statistik inferensial untuk memperoleh pembuktian, sebagaimana yang diungkapkan oleh Silverstone dan Sheetz (2007). Dalam kasus sengketa pajak pada tingkatan MA, pihak yang bersengketa tidak hanya wajib pajak yang merasa tidak puas dengan perhitungan pajak yang harus dibayarkan. Beberapa kasus, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak juga mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) karena merasa tidak puas dengan putusan pengadilan pajak dalam menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui probabilitas pihak yang bersengketa dalam upaya memenangkan kasus sengketa pajak. Dengan menganalisis probabilitas pihak yang bersengketa dalam memenangkan kasus sengketa pajak diharapkan dapat mengidentifikasi apakah putusan MA memiliki kecenderungan untuk memenangkan atau menguntungkan wajib pajak seperti yang terjadi pada putusan Pengadilan Pajak (Parwito 2005). TINJAUAN PUSTAKA Ketidakpatuhan Pajak (Tax Non-Compliance) Kiryanto (1999: 7) mendefinisikan kepatuhan WP sebagai tingkah laku WP yang memasukkan dan melaporkan pada waktunya informasi yang diperlukan, mengisi secara benar jumlah pajak yang tertuang, dan membayar pajak pada waktunya, tanpa ada tindakan pemaksaan. Artinya, semakin patuh WP berarti WP tersebut telah sadar pajak, yaitu memahami akan hak dan kewajiban perpajakannya serta melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan benar (Abimanyu 2004). Salah satu dari definisi tersebut tidak dilakukan oleh WP maka WP dianggap tidak patuh. Komalasari dan Nashih (2005) mengelompokkan kepatuhan (compliance) dalam 2 hal, yaitu: 1. Kepatuhan administratif (administrative compliance), yaitu bentuk kepatuhan terhadap aturan-aturan administratif seperti pengajuan pembayaran yang tepat waktu. 2. Kepatuhan teknikal (technical compliance), yaitu kepatuhan WP terhadap teknis pembayaran pajak, misalnya pajak dihitung sesuai dengan ketentuan teknis dari UU perpajakan. Bobek et al. (2007) mengungkapkan bahwa faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak adalah: 1) faktor moral, termasuk moral masyarakat sekitar; 2) pandangan sosial atas perilaku yang benar. Pernyataan Bobek et al. (2007) tersebut selaras dengan hasil kajian literatur Komalasari dan Nashih (2005) yang menemukan bahwa tingkat kepatuhan WP dipengaruhi oleh tax morale. Hal ini menjelaskan bahwa fenomena ekonomi seharusnya tidak hanya dianalisis dari sudut pandang tradisional saja melainkan juga harus melibatkan studi tentang tax morale sebagai suatu sikap dalam merespon ke(tidak)patuhan WP. Ketidakpatuhan pajak dapat menciptakan hidden action oleh wajib pajak dalam upaya untuk tidak membayar atau mengurangi utang pajak. Hidden action merupakan suatu bentuk sikap dalam hubungan yang tersembunyi (Mukoyama dan Sahin 2005). Menurut Darrough dan Stoughton (1986), hidden action muncul ketika tindakan agent tidak dapat diamati oleh principal. Hidden action muncul ketika suatu pihak tidak dapat mengamati tindakan work-averse dari pihak lain (Arrow 1985; Baiman 1982). Dalam penelitian akuntansi perpajakan, perilaku hidden action dapat dilakukan dengan menerapkan konservatisma akuntansi yang tinggi. Sebagaimana hasil penelitian Dwimulyani (2010) bahwa konservatisma akuntansi dapat mendorong munculnya sengketa

pajak penghasilan. Penerapan konservatisma akuntansi oleh WP akan menghasilkan perhitungan pajak berbeda jauh dengan hasil pemeriksaan fiskus yang memicu adanya konflik, dan bahkan sengketa pajak. Perilaku hidden action tidak hanya dilakukan pada saat penyajian laporan keuangan fiskal oleh WP, melainkan dapat juga terjadi pada saat konflik atau sengketa pajak antara WP dengan fiskus itu terjadi. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang makelar kasus perpajakan4 yang mengungkapkan bahwa hidden action yang terjadi di Indonesia akibat ketidakpatuhan pajak berupa enam modus penyimpangan pajak yaitu5: 1) negosiasi di tingkat komisaris pajak yaitu antara aparat pajak dan wajib pajak; 2) negosiasi di tingkat penyidikan pajak (aparat pajak biasanya menakut-nakuti pengguna faktur pajak fiktif); 3) penyelewengan pajak fiskal di bandara, terkait penerbangan ke luar negeri; 4) penghilangan berkas-berkas keberatan wajib pajak; 5) penggunaan perusahaan di luar negeri biasanya Belanda karena adanya celah hukum; 6) penggelapan pajak dari investasi saham yang dibukukan dalam SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan). Fakta lain diungkap oleh Parwito (2005) bahwa lebih dari 75% putusan banding dalam Pengadilan Pajak menguntungkan wajib pajak atau membuat jumlah pajak yang dibayar menjadi lebih kecil. Jadi, perilaku hidden action dapat terjadi selama sengketa pajak tersebut berlangsung. Dalam ekonomika kriminalitas, ketidakpatuhan pajak, sehingga menimbulkan perilaku hidden action dalam perpajakan, merupakan suatu bentuk kejahatan. Webley (2004) menyatakan bahwa para ilmuwan sosial menggunakan istilah ketidakpatuhan pajak (tax non-compliance) dengan penggelapan pajak (tax evasion) saling menggantikan (interchangeably), atau memiliki makna yang sama. Sementara itu, Manning (2005) memasukkan tax evasion sebagai salah satu bentuk kejahatan dalam keuangan (financial crime). Becker (1968) berpendapat bahwa pelaku kejahatan akan mendapatkan efek jera apabila tingkat deteksi tinggi namun sanksi relatif rendah. Penelitian Casey dan Scholz (1991) mengungkap bahwa apabila probabilitas deteksi dan tingkat hukuman tinggi maka kepatuhan wajib pajak atas hukum perpajakan akan meningkat. Berbeda dengan penelitian Alm et al. (1990) yang mengungkapkan bahwa insentif materi akan meningkatkan kepatuhan pajak. Individu menanggapi insentif materi dalam memilih apakah membayar, melakukan penghindaran pajak, atau penggelapan pajak (Alm et al. 1990). Alur Penyelesaian Kasus Sengketa Pajak Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 serta terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, diatur bahwa apabila wajib pajak kurang puas terhadap Surat Ketetapan Pajak (SKP) atas jumlah pajak yang harus dibayar maka dapat mengajukan sengketa. Yang dimaksud sengketa pajak menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan surat paksa. Dalam penelitian ini sengketa pajak yang diteliti adalah terbatas pada kasus sengketa dalam hal banding dan gugatan yang diajukan terhadap besarnya jumlah pajak terutang.

4 5

Gayus Tambunan http://www.detiknews.com/read/2011/07/20/142958/1685244/10/ini-dia-6-moduspenyimpangan-pajak-versi-gayus

Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan. Meskipun demikian penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan Pajak. Permohonan penundaan dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika pelaksanaan penagihan pajak yang digugat dilaksanakan. Dalam hal banding, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah pajak terutang dibayar sebesar 50%. Adapun alur sengketa pajak dapat dilihat pada Gambar 1 (terlampir). Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, permohonan PK hanya dapat diajukan satu kali kepada MA melalui Pengadilan Pajak. Permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. Alasan permohonan PK dapat diajukan ke MA adalah sebagai berikut: 1) apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; 2) apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda; 3) apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus mengabulkan sebagian atau seluruhnya dan menambah pajak yang harus dibayar; 4) apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; 5) apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gambar 1. Bagan Alur Penyelesaian Sengketa Pajak (terlampir) Pengembangan Hipotesis Penelitian ini ingin meneliti apakah variabel pemohon, jenis pajak, tahun pajak, kepemilikan kontrak karya oleh wajib pajak, perbedaan perhitungan jumlah pajak, waktu pemrosesan permohonan PK, mempengaruhi putusan MA. Diasumsikan bahwa putusan MA dipengaruhi oleh faktor criminogenic statis6 dan faktor criminogenic dinamis7. Variabel pemohon PK, jenis pajak, tahun pajak, kepemilikan kontrak karya merupakan faktor criminogenic statis, sedangkan variabel perbedaan perhitungan jumlah pajak, waktu pemrosesan permohonan PK merupakan faktor criminogenic dinamis (Dwiputri 2011; Permana 2010). Apabila variabel pemohon berpengaruh signifikan terhadap putusan MA maka putusan MA memiliki kecenderungan atas variabel pemohon. Apabila pengaruh tersebut bersifat positif, maka hal ini mengindikasikan bahwa probabilitas putusan MA memenangkan Dirjen Pajak justru lebih tinggi apabila pemohon PK adalah wajib pajak dibandingkan apabila pemohon PK adalah Dirjen Pajak. Dengan demikian putusan MA tidak justru selalu memenangkan atau menguntungkan wajib pajak seperti yang terjadi pada putusan Pengadilan Pajak (Parwito 2005). Dari perspektif cost benefit analysis pemohon PK mengajukan permohonan PK kepada MA dengan harapan benefit yang diterima lebih tinggi daripada cost yang dikeluarkan. Perhitungan benefit secara moneter dalam kasus sengketa
6

Faktor criminogenic statis merupakan informasi yang tidak berubah atas individu dari waktu ke waktu. 7 Faktor criminogenic dinamis merupakan informasi yang dapat berubah atas individu dari waktu ke waktu

pajak berhubungan dengan perhitungan jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak. Maka, ingin diketahui apakah variabel perbedaan perhitungan antara wajib pajak dan pemungut pajak atas jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak dapat mempengaruhi putusan MA. Penelitian ini juga ingin mengetahui adanya pengaruh variabel waktu pemrosesan permohonan PK terhadap putusan MA. Apabila waktu pemrosesan permohonan PK berpengaruh signifikan terhadap putusan MA, maka putusan MA memiliki kecenderungan atas variabel lama. Dengan asumsi bahwa putusan MA tidak memihak dan tidak memiliki kecenderungan, maka putusan MA seharusnya tidak dipengaruhi oleh variabel pemohon, jenis pajak, tahun pajak, kepemilikan kontrak karya oleh wajib pajak, perbedaan perhitungan jumlah pajak dan waktu pemrosesan permohonan PK. Maka diajukan hipotesis penelitian yaitu diduga tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel pemohon, jenis pajak, tahun pajak, kepemilikan kontrak karya oleh wajib pajak, perbedaan perhitungan jumlah pajak dan waktu pemrosesan permohonan PK terhadap probabilitas putusan MA memenangkan pihak Dirjen Pajak. METODE PENELITIAN Sumber Data Data penelitian adalah berkas putusan MA tahun 2004-2010 terhadap permohonan PK atas putusan Pengadilan Pajak dalam kasus sengketa pajak. Data diperoleh dari website MA yaitu http://putusan.mahkamahagung.go.id. yang diakses pada tanggal 17 Januari 2011. Spesifikasi Ekonometrika Model fungsi probabilitas logistik kumulatif adalah sebagai berikut: Pi = F(Zi) = 0 + iXi = Pi= 1-Pi= 1 =( (4) Ln ( )= Zi = 0 + iXi (5) Persamaan (5) kemudian disebut persamaan regresi logistik. Penelitian ini menggunakan analisis regresi logistik seperti pada persamaan (5). Dalam model penelitian diasumsikan bahwa putusan MA dapat diestimasi. Adapun model penelitian adalah sebagai berikut: Yi = Li = Ln ( dimana: Pi 1-Pi 0 1, 2, 3, 4, D_Pmh D_JP ) = Zi = 0 + 1D_Pmhi + 2D_JPi + 3TPi + 4 D_KKi + 5Ln_Bdi + 6 Ln_Lmi + ei ..(6) : probabilitas putusan MA memenangkan Dirjen Pajak : probabilitas putusan MA tidak memenangkan Dirjen Pajak : konstanta 5, 6: koefisien regresi : pemohon PK (variabel dummy; 1 untuk wajib pajak dan 0 untuk pihak Dirjen Pajak) : jenis pajak (variabel dummy; 0 untuk pajak penghasilan dan 1 untuk pajak pertambahan nilai) )( = )= = (1) (2) (3)

TP

: tahun pajak (0 untuk tahun pajak 1997, 1 untuk tahun pajak 1998, 2 untuk tahun pajak 1999, 3 untuk tahun pajak 2000, 4 untuk tahun pajak 2001, 5 untuk tahun pajak 2002, 6 untuk tahun pajak 2003, 7 untuk tahun pajak 2004, 8 untuk tahun pajak 2005) KK : kontrak karya, merupakan variabel yang menyatakan kepemilikan kontrak karya oleh wajib pajak (variabel dummy; 0 untuk wajib pajak yang tidak memiliki kontrak karya dan 1 untuk wajib pajak yang memiliki kontrak karya) Ln_Bd : beda (rupiah) dalam bentuk Ln Ln_Lm : lama (hari) dalam bentuk Ln ei : error term Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah putusan MA cenderung memenangkan atau menguntungkan wajib pajak seperti halnya putusan Pengadilan Pajak. Maka, dari model diharapkan variabel pemohon berpengaruh positif signifikan terhadap putusan MA.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN Analisis Deskriptif Putusan MA tahun 2004 sampai dengan tahun 2010 atas permohonan PK putusan Pengadilan Pajak pada kasus sengketa pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan terdiri atas 192 putusan. Dari 192 putusan tersebut terdapat 19 permohonan PK yang dikabulkan yaitu sebesar 9,90% dan permohonan PK yang ditolak sebanyak 173 kasus atau sebesar 90,10%. Permohonan PK oleh wajib pajak sebanyak 133 kasus atau sebesar 69,27% dan permohonan PK oleh Dirjen Pajak sebanyak 59 kasus atau sebesar 30,73%. Dari 192 putusan MA terdapat 111 permohonan PK atas sengketa pajak pertambahan nilai atau sebesar 57,81% dan 80 permohonan PK atas sengketa pajak penghasilan atau 41,67%, sedangkan 1 permohonan PK tidak dapat diidentifikasi jenis pajak yang diajukan sengketa. Dengan demikian pada tingkatan MA, jumlah sengketa pajak pertambahan nilai lebih tinggi daripada sengketa pajak penghasilan. Dalam sengketa pajak, waktu pemrosesan permohonan PK merupakan hal penting yang menjadi pertimbangan bagi wajib pajak dalam mengajukan sengketa. Dari data diketahui bahwa waktu pemrosesan permohonan PK atas putusan Pengadilan Pajak membutuhkan waktu minimal 96 hari atau kurang lebih 3 bulan dan waktu maksimal yaitu 2.211 hari atau kurang lebih 74 bulan atau kurang lebih 6 tahun. Secara rata-rata waktu pemrosesan permohonan PK putusan Pengadilan Pajak adalah kurang lebih 601 hari atau kurang lebih 20 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa waktu pemrosesan permohonan PK putusan Pengadilan Pajak membutuhkan waktu yang cukup lama. Frekuensi variabel beda dan variabel lama ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Frekuensi Variabel Lama dan Beda Minimum Maksimum Rata-rata 2211 hari 601 hari Lama 96 hari Beda Rp. 1.136.305 Rp. 208.954.204.785 Rp. 4.067.400.000 Sumber: data putusan MA, diolah Salah satu faktor penyebab terjadinya sengketa pajak adalah perbedaan perhitungan antara wajib pajak dan petugas pemungut pajak atas jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Adanya perbedaan perhitungan pajak mengindikasikan bahwa terdapat hidden information oleh salah satu pihak antara wajib pajak dan aparat pajak. Hidden information telah menyebabkan adanya perbedaan perhitungan jumlah pajak antara keduanya.

Dari data diketahui bahwa perbedaan perhitungan jumlah pajak, minimum adalah sebesar Rp.1.136.305,00 dan perbedaan perhitungan maksimum adalah sebesar Rp.208.954.204.785,00. Secara rata-rata perbedaan perhitungan adalah sebesar Rp. 4.067.400.000,00. Hal ini menunjukkan bahwa secara ratarata perbedaan perhitungan antara wajib pajak dan petugas pemungut pajak atas jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah cukup besar. Analisis lebih lanjut dilakukan dengan membandingkan rata-rata perbedaan perhitungan jumlah pajak antara pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Diketahui dari hasil analisis bahwa perbedaan perhitungan jumlah pajak secara rata-rata lebih tinggi pada kasus pajak pertambahan nilai dibandingkan pajak pertambahan nilai seperti ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 2. Perbedaan Perhitungan Pajak Berdasarkan Jenis Pajak Perbedaan Perhitungan Perbedaan Perhitungan Pajak Penghasilan Pajak Pertambahan Nilai Minimum 10.460 1.275.000 Maksimum 36.435.000.000 37.922.000.000 Rata-rata 2.244.484.357 3.277.808.023 Dari tabel tersebut diketahui bahwa secara rata-rata perbedaan perhitungan jumlah pajak pertambahan nilai lebih tinggi daripada pajak penghasilan. Selisih rata-rata perbedaan perhitungan antara pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai adalah kurang lebih sebesar 1 milyar rupiah. Apabila dilihat dari sudut pandang akuntansi, temuan ini mengindikasikan adanya penerapan konservatisma akuntansi yang lebih tinggi untuk perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebagaimana diungkapkan oleh Dwimulyani (2010) bahwa konservatisma akuntansi dengan pengakuan asimetriknya akan mendorong manajer (atau dalam hal ini WP) untuk menunda pengakuan penghasilan atau penjualannya (atau dalam istilah perhitungan dalam PPN adalah peredaran usaha). Penundaan pengakuan atas penjualan akan menghasilkan dasar pengenaan pajak (DPP) lebih rendah, dibandingkan dengan hasil perhitungan fiskus atau aparat pajak. Begitu juga dengan kasus pajak penghasilan, juga memiliki perbedaan perhitungan antara WP dengan fiskus yang relatif besar. Oleh karena itu, hasil temuan ini juga mengindikasikan bahwa konservatisma akuntansi, yang mendorong terjadinya sengketa pajak, tidak hanya terjadi pada pajak penghasilan saja (Dwimulyani, 2010), melainkan juga pada pajak pertambahan nilai (PPN). Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan terkait dengan hasil temuan tersebut. Apabila dilakukan perbandingan perbedaan perhitungan pajak antara wajib pajak yang memiliki kontrak karya dengan wajib pajak yang tidak memiliki kontrak karya, didapatkan hasil sebagai berikut. Tabel 3. Perbedaan Perhitungan Pajak Berdasarkan Kepemilikan Kontrak Karya Perbedaan Perhitungan Perbedaan Perhitungan Wajib Pajak Yang Memiliki Wajib Pajak Yang Tidak Kontrak Karya Memiliki Kontrak Karya Minimum 10.460 22.441.168 Maksimum 37.922.000.000 35.052.000.000 Rata-rata 3.116.278.357 2.782.905.067 Dari tabel tersebut diketahui bahwa secara rata-rata perbedaan perhitungan jumlah pajak bagi wajib pajak yang memiliki kontrak karya lebih tinggi daripada wajib pajak yang tidak memiliki kontrak karya. Selisih rata-rata perbedaan perhitungan antara wajib pajak yang tidak memiliki kontrak karya dan wajib pajak yang memiliki kontrak karya adalah kurang lebih sebesar 650 juta rupiah. Hasil temuan ini menguatkan pernyataan Menteri Keuangan Agus Martowardojo bahwa terdapat 14 perusahaan minyak dan gas (migas) asing

yang menunggak pajak sehingga perlu mengkaji ulang kontrak karya keempat belas perusahaan tersebut (www.hukumonline.com). Selain itu juga, hasil ini mengindikasikan bahwa WP yang memiliki kontrak karya (perjanjian dengan Pemerintah RI) cenderung untuk melakukan konservatisma akuntansi, yaitu menunda pengakuan penghasilan dan mempercepat pengakuan biaya sehingga dapat menurunkan besar laba kena pajak (atau dasar pengenaan pajaknya/DPP) dan akhirnya dapat menunda pembayaran pajak (Dwimulyani 2010). Temuan ini mengindikasikan bahwa konservatisma akuntansi yang lebih tinggi juga terjadi pada perusahaan yang memiliki kontrak karya yang menyebabkan adanya sengketa pajak dibanding perusahaan yang tidak memiliki kontrak karya. Sama halnya dengan temuan sebelumnya, bahwa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan hasil temuan ini. Analisis Regresi Logistik Dari 192 putusan terdapat 183 putusan yang memuat informasi tentang pemohon, jenis pajak, kontrak karya, tahun pajak, perbedaan perhitungan jumlah pajak, waktu pemrosesan permohonan PK. Maka, analisis untuk menguji hipotesis penelitian dilakukan terhadap 183 putusan MA tersebut. Adapun hasil analisis ditampilkan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 diketahui bahwa uji hosmer and lemeshow memiliki nilai signifikansi sebesar 0,776. Nilai signifikansi dari uji hosmer and lemeshow lebih dari nilai alpha= 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa model penelitian fit dengan data. Tabel 4. Hasil Analisis Regresi Logistik Variabel Tidak Bebas: variabel dummy dengan nilai 1 jika putusan MA memenangkan Dirjen Pajak dan 0 jika tidak memenangkan Dirjen Pajak Variabel Bebas Koefisien Nilai-P 6,221 0,145 Konstanta D_Pemohon 5,361*** 0,000 D_Jenis Pajak 0,342 0,523 -0,454 0,009 Tahun Pajak D_Kontrak Karya 1,035 0,269 0,182 Ln_Beda -0,191 Ln_Lama -0,655** 0,050 N 183 Cox & Snell R2 Nagelkerke R2 Uji Hosmer and Lemeshow Sig= 0,776 Ket: *** : signifikan pada = 0,01 ** : signifikan pada = 0,05 * : signifikan pada = 0,1 Sumber: data putusan MA, diolah Dari Tabel 4 diketahui bahwa variabel kontrak karya tidak memiliki pengaruh signifikan atas putusan MA. Putusan MA tidak memiliki kecenderungan atas wajib pajak yang memiliki kontrak karya maupun wajib pajak yang tidak memiliki kontrak karya dengan pemerintah. Variabel jenis pajak tidak memiliki pengaruh signifikan atas putusan MA. Hal ini menunjukkan bahwa kasus pajak penghasilan maupun pajak pertambahan nilai tidak memiliki perlakuan yang berbeda dalam putusan MA. Variabel tahun pajak berpengaruh negatif signifikan terhadap putusan MA pada derajat alpha= 1%. Maka, setiap peningkatan tahun pajak, terjadi penurunan probabilitas untuk memenangkan Dirjen Pajak. Apabila diidentifikasi frekuensi permohonan PK berdasarkan tahun pajak ditampilkan dalam Tabel 5 sebagai berikut.

10

Tabel 5. Frekuensi Permohonan PK Berdasarkan Tahun Pajak Tahun Pajak Banyak Permohonan PK Persentase (%) 1997 3 1,56 1998 4 2,08 1999 14 7,29 2000 27 14,06 2001 43 22,40 2002 42 21,88 2003 28 14,58 2004 23 11,98 2005 7 3,65 Tidak Teridentifikasi 1 0,52 Total 192 100 Sumber: data putusan MA, diolah Berdasarkan tahun pajak, diketahui bahwa jumlah permohonan PK terbanyak adalah pada tahun pajak 2001. Pada tahun pajak 2001 terdapat 43 permohonan PK atau sebesar 22,40%. Jumlah permohonan PK terendah adalah pada tahun pajak 1997 yaitu sebanyak 3 permohonan PK atau sebesar 1,56%. Variabel beda tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil putusan MA pada derajat alpha= 5%. Jadi, putusan MA tidak memiliki kecenderungan terhadap variabel beda. Tinggi atau rendah perbedaan perhitungna antara wajib pajak dan pihak Dirjen Pajak tidak mempengaruhi hasil putusan MA. Variabel lama berpengaruh negatif signifikan terhadap hasil putusan MA pada derajat alpha= 5%. Jadi, setiap 1% kenaikan lama proses sengketa pajak di tingkatan MA maka terjadi penurunan probabilitas untuk memenangkan Dirjen Pajak dalam kasus sengketa pajak. Hal ini menunjukkan bahwa probabilitas wajib pajak memenangkan sengketa pajak akan semakin meningkat apabila lama proses sengketa semakin lama. Hal ini dapat mengindikasikan adanya hidden action. Namun, indikasi ini masih memerlukan penelitian dan analisis yang lebih mendalam karena variabel lama juga nyaris tidak signifikan. Variabel pemohon PK berpengaruh positif signifikan terhadap hasil putusan MA. Jadi, apabila yang mengajukan permohonan PK adalah wajib pajak, maka probabilitas Dirjen Pajak memenangkan sengketa lebih tinggi sebesar 180 kali (anti ln 5,195) daripada apabila pemohon PK adalah Dirjen Pajak. Hal ini tercermin dalam tabel frekuensi data sebagai berikut: Tabel 6. Frekuensi Putusan MA Berdasarkan Pemohon PK Pemohon PK Dirjen Pajak Wajib Pajak Total Putusan MA Dirjen Pajak Menang 2 107 109 Dirjen Pajak Kalah 57 17 74 Total 59 124 183 Sig= 0,000 Pearson Chi-Square Sumber: data putusan MA, diolah Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa nilai signifikansi Chi-Square adalah sebesar 0,000. Nilai signifikansi ini lebih kecil dari nilai alpha=0,01. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan pada derajat alpha=0,01 antara pemohon PK dengan putusan MA. Dari Tabel 6 diketahui bahwa apabila wajib pajak mengajukan permohonan PK, putusan MA memiliki kecenderungan untuk memenangkan Dirjen Pajak. Proporsi Dirjen Pajak memenangkan sengketa pajak apabila wajib pajak mengajukan permohonan PK adalah sebesar 80,90%. Dengan demikian, putusan MA memiliki kecenderungan memenangkan Dirjen Pajak dalam hal wajib pajak sebagai pemohon PK.

11

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam putusan MA tidak cenderung untuk memenangkan atau menguntungkan wajib pajak. Hal ini berbeda dengan kasus yang diungkap Parwito (2005) bahwa lebih dari 75% putusan banding dalam Pengadilan Pajak menguntungkan wajib pajak atau membuat jumlah pajak yang dibayar menjadi lebih kecil. Oleh karena itu disimpulkan bahwa diduga perilaku hidden action dalam perpajakan Indonesia lebih banyak terjadi dalam Pengadilan Pajak dibandingkan dengan Mahkamah Agung. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan MA tidak memiliki kecenderungan untuk menguntungkan wajib pajak. Hal ini berbeda dengan putusan Pengadilan Pajak yang justru lebih banyak menguntungkan wajib pajak (Parwito 2005). Hal ini juga mengindikasikan bahwa diduga perilaku hidden action oleh wajib pajak dalam upaya memenangkan sengketa pajak lebih banyak terjadi dalam Pengadilan Pajak dibandingkan dalam Mahkamah Agung. Namun demikian, adanya indikasi praktek konservatisma akuntansi yang lebih tinggi yang mendorong terjadinya sengketa pajak pada kasus pajak pertambahan nilai (PPN) dan WP yang memiliki kontrak karya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam terkait hubungan keduanya, yaitu konservatisma akuntansi dan sengketa pajak pada PPN dan perusahaan berkontrak karya. Dari identifikasi hasil penelitian dan mengacu pada penelitan sebelumnya, maka hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia antara lain adalah: 1) meningkatkan kualitas aparat pajak baik sisi intelektual maupun moralitas perilakunya; 2) meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan meningkatkan manfaat pembayaran pajak terutama bagi wajib pajak; 3) meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan petugas pajak terhadap undang-undang perpajakan; 4) berkomitmen untuk membangun tata kelola lembaga perpajakan yang lebih baik; 5) mendesain lembaga pengadilan pajak yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Abimanyu, Anggito. 2004. Wajib Pajak http:/fiscal.depkeu.go.id/pernik.html, September 2006.

Belum Patuh. Diperoleh dari diakses pada tanggal 21

Aidt, Toke S., 2003. Review: Economic Analysis of Corruption: A Survey. The Economic Journal, 113 (491), F632-F652. Alm, James, Bahl, Roy and Murray, Matthew N., 1990. Tax Structure and Tax Compliance. The Review of Economics and Statistics, 72 (4), 603-613. Arrow, K. J., 1985. The Economics of Agency, in J. W. Pratt and R. J. Zeckhauser (eds.), Principal and Agents: The Structure of Business. Harvard Business School Press, Boston. Baiman, S., 1982. Agency Research In Managerial Accounting: a survey. Journal of Accounting Literature, 1, 154213. Becker, G.S., 1968. Crime and Punishment: an Economic Approach. Journal of Political Economy, 70, 1-13. Bergman, Marcelo S., 2003, Tax Reforms and Tax Compliance: The Divergent Paths of Chile and Argentina. Journal of Latin American Studies, 35 (3), 593-624.

12

Bobek, Donna D., Roberts, Robin W., and Sweeney, John T., 2007, The Social Norms of Tax Compliance: Evidence from Australia. Journal of Business Ethics, 74 (1), 49-64. Casey, Jeff T. and Scholz, John T., 1991. Beyond Deterrence: Behavioral Decision Theory and Tax Compliance. Law and Society Review, 25 (4), 821-844. Darrough, Masako, N. and Stoughton, Neal, M., 1986. Moral Hazard and Adverse Selection: The Question of Financial Structure. The Journal of Finance, 41 (2), 501-513. Dwimulyani, Susi, 2010. Konservatisma Akuntansi dan Sengketa Pajak Penghasilan: Suatu Investigasi Empiris. Paper dipresentasikan di Simposium Nasional Akuntansi XIII, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Dwiputri, Inayati N., 2011. Studi Putusan Mahkamah Agung Tahun 2004-2010 Atas Kasus Sengketa Pajak di Indonesia. Tidak dipublikasikan, Tesis S2, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ghozali, Imam, 2006. Analisis Multivariate Lanjutan Dengan Program SPSS, Edisi 1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Graetz, Michael J., Reinganum, Jennifer F., and WildeSource, Louis L., 1986. The Tax Compliance Game: Toward an Interactive Theory of Law Enforcement. Journal of Law, Economics, & Organization, 2 (1), 1-32. Gujarati, Damodar N. and Porter, Dawn C., 2009. Basic Econometrics, Fifth Edition, Mc Graw Hill, Singapore. Jogiyanto, 2007. Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan PengalamanPengalaman. Edisi Pertama, Cetakan Kedua, BPFE, Yogyakarta. Komalasari, P. T., dan Nashih, Moh., 2005. Degree of Tax Payer Compliance and Tax Tariff the Testing on the Impact of Income Types. Paper dipresentasikan di Simposium Nasional Akuntansi VIII, Universitas Sebelas Maret, Solo. Kiryanto. 1999. Pengaruh Penerapan Struktur Pengendalian Intern Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan dalam Memenuhi Kewajiban Pajak Penghasilannya. Paper dipresentasikan di Simposium Nasional Akuntansi II IAI-KAPd, Universitas Brawijaya, Malang. Manning, George A. 2005. Financial Investigation and Forensic Accounting. 2nd Edition. Taylor & Francis Group, Boca Raton. Mukoyama, Toshihiko and Sahin, Aysegul, 2005. Repeated Moral Hazard with Persistence. Economic Theory, 25 (4), 831-854. Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2010

13

Parwito, 2005. Mengapa Lebih Banyak WP Menang di Pengadilan Pajak? Bisnis Indonesia dalam www.pajak2000.com. Diakses 17 Januari 2011. Peraturan Menteri Keuangan No. 194/PMK.03/2007 Nomor 194/PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan. Permana, Yudistira Hendra, 2010. Application of Rule of Law by Jurisdiction System on Illegal Logging Case in Indonesia 2002-2008. Journal of Indonesian Economy and Business, 25 (3), 261-277. Pradiptyo, Rimawan, 2007. Does Punishment Matter? A Refinement of PublicPolice Game, Centre for Criminal Justice Economics and Psychology, University of York, York YO10 5DD, UK. Pradiptyo, Rimawan, 2009a. Korupsi di Indonesia: Perspektif Ilmu Ekonomi, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, hal 151-200, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Pradiptyo, Rimawan, 2009b. A Certain Uncertainty; An Assessment of Court Decisions for Tackling Corruptions in Indonesia 2001-2008, Department of Economics, Faculty of Economics and Business Universitas Gadjah Mada, Indonesia, http://ssrn.com/abstract=1480930. Pudyatmoko, Y. Sri, 2009. Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Edisi Revisi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Server, O.B., 1996. Corruption: A Major Problem for Urban Management: some evidence from Indonesia. Habitat International, 20 (1), 23-41. Sharma, Subash, 1996. Applied Multivariate Techniques, John Wiley and Sons, Canada. Silverstone, Howard, and Sheetz, Michael., 2007. Forensic Accounting and Fraud Investigation for Non-Experts. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey. Siringo-ringo, Lamgiat, 2010. Inilah Titik Rawan Makelar Kasus di Ditjen Pajak, http://www.kompas.com, Diakses 19 September 2011. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ/2003 Tentang Tata Cara Penanganan Peninjauan Kembali Atas Putusan Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung. Treisman, Daniel, 2000. The Causes of Corruption: a cross-national study. Journal of Public Economics, 76, 399-457. Tsebelis, G., 1989. The Abuse of Probability in Political Analysis: The Robinson Crusoe Fallacy, The American Political Science Review 83: 77-91. Tsebelis, G., 1990. Penalty Has No Impact on Crime? A Game Theoretical Analysis, Rationality and Society 2:225-286.

14

Tsebelis, G., 1993. Penalty and Crime: Further Theoretical Consideration and Empirical Evidence, Journal of Theoretical Politics 5:349-374. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undangundang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Webley, Paul. 2004. Tax Compliance by Businesses. Edited by Hans Sjgren and Gran Skogh in New Perspectives on Economic Crime: New Horizons in Law and Economics. Edward Elgar Publishing Limited, UK. Widarjono, Agus, 2009. Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya, Edisi Ketiga, Ekonosia, Yogyakarta. Widayati dan Nurlis, 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemauan untuk Membayar Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Pekerjaan Bebas (Studi Kasus pada KPP Pratama Gambir Tiga). Paper dipresentasikan di Simposium Nasional Akuntansi XIII, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Wijayanto, 2009. Memahami Korupsi, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, hal 3-58, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

15

16

Dirjen Pajak / Pejabat Berwenang

1
Putusan SKPKB, SKBKPT, SKPN, SKPLB, dsb Keberatan Pelaksanaan Putusan 2 2 4 4

6 6

3 3

P 7 7 Acara Biasa U Banding T Pengadilan Wajib Pajak / Mahkamah Peninjauan 5 5 Penyelesaian Pajak Penanggung Pajak KembaliPajak Agung RI Gambar 1. Bagan Alur Sengketa U Gugatan Sumber: Pudyatmoko (2009: 48) S Acara Cepat Keterangan: A 4 1. Penyampaian SKPKB, SKPKBT, SKPLB, dsb. Dari pejabat yang berwenang kepada wajib pajak 4 N 2. Keberatan dari wajib pajak (3 bulan)/sesuai ketentuan 6 6 3. Putusan atas keberatan (12 bulan)/sesuai ketentuan

Bila memenuhi syarat

1 10 8 8
Pemeriksaan bds UU 14/1985 jo. UU 5/2004

P U T U S A N

Pelaksanaan Putusan

4. Pengajuan banding (3 bulan). 4a. gugatan (14 hari) 9 9 5. Pemeriksaan dengan acara biasa (12 bulan: banding acara biasa, 6 bulan: gugatan acara biasa, atau 3 bulan untuk hal khusus) atau acara cepat (30 hari) 6. Penyampaian putusan Pengadilan Pajak ke wajib pajak (30 hari) 7. Permohonan peninjauan kembali (3 bulan) 8. Pemeriksaan permohonan PK (6 bulan terhadap putusan acara biasa, 1 bulan terhadap putusan acara cepat) 9. Penyampaian putusan PK ke wajib pajak/penanggung pajak 10. dan 6.a. pelaksanaan putusan (30 hari)

17

18

Lampiran 2. Hasil Analisis 31/10/2011 21:53:50

Descriptive Statistics: beda by jp Variable jp N Mean Median TrMean StDev beda 0 77 2244484357 553518715 1231087287 5568478199 1 106 3277808023 1076327204 2061034570 6714261120 Variable jp SE Mean Minimum Maximum Q1 Q3 beda 0 634586986 10460 3,6435E+10 65232710 1812122436 1 652146690 1275000 3,7922E+10 450573474 2787537001 Descriptive Statistics: beda by kk Variable kk N Mean Median TrMean StDev beda 0 150 2782905067 703712437 1580532353 6329667808 1 33 3116278357 1717215179 2001185756 6034065794 Variable kk SE Mean Minimum Maximum Q1 Q3 beda 0 516815212 10460 3,7922E+10 165647618 2232240854 1 1050396029 22441168 3,5052E+10 846257307 2996693778 Logistic Regression Case Processing Summary Unweighted Casesa N Percent Selected Cases Included in 183 100.0 Analysis Missing Cases 0 .0 Total 183 100.0 Unselected Cases 0 .0 Total 183 100.0 a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Dependent Variable Encoding Internal Original Value Value Tidak Memenangkan 0 Dirjen Pajak Memenangkan Dirjen 1 Pajak Block 0: Beginning Block Classification Tablea,b Predicted D_put Tidak Memenangka Memenangka n Dirjen n Dirjen Pajak Pajak 0 0 74 109

Observed Step 0 D_put Tidak Memenangkan Dirjen Pajak Memenangkan Dirjen Pajak Overall Percentage a. Constant is included in the model.

Percentage Correct .0 100.0 59.6

19

Classification Tablea,b Predicted D_put Tidak Memenangka Memenangka n Dirjen n Dirjen Pajak Pajak 0 0 74 109

Observed Step 0 D_put Tidak Memenangkan Dirjen Pajak Memenangkan Dirjen Pajak Overall Percentage b. The cut value is ,500

Percentage Correct .0 100.0 59.6

Step 0 Constant

Variables in the Equation B S.E. Wald df .387 .151 6.611

Sig. .010

Exp(B) 1.473

Variables not in the Equation Score df Step 0 Variables D_Pmh 114.072 jns_pjk .425 thn_pjk 1.815 D_KK 2.051 ln_beda 7.487 ln_lama 28.748 Overall Statistics 118.663 Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square df Sig. Step 1 Step 142.671 6 .000 Block 142.671 6 .000 Model 142.671 6 .000 Model Summary -2 Log Cox & Snell R Nagelkerke R Step likelihood Square Square 1 104.285a .541 .731 a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001. Hosmer and Lemeshow Test Chi-square df Sig. 4.823 8 .776

1 1 1 1 1 1 6

Sig. .000 .514 .178 .152 .006 .000 .000

Step 1

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test D_put = Tidak D_put = Memenangkan Memenangkan Dirjen Pajak Dirjen Pajak

Total

20

Step 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Observed 18 17 17 8 7 4 1 1 1 0

Expected 17.820 17.599 17.177 8.791 4.522 3.099 2.185 1.392 .879 .535

Observed 0 1 1 10 11 14 17 17 17 21

Expected .180 .401 .823 9.209 13.478 14.901 15.815 16.608 17.121 20.465

18 18 18 18 18 18 18 18 18 21

Classification Tablea Predicted D_put Tidak Memenangka Memenangka n Dirjen n Dirjen Pajak Pajak 57 2 17 107

Observed Step 1 D_put Tidak Memenangkan Dirjen Pajak Memenangkan Dirjen Pajak Overall Percentage a. The cut value is ,500

Percentage Correct 77.0 98.2 89.6

Variables in the Equation B S.E. Wald df a Step 1 D_Pmh 5.361 .896 35.779 jns_pjk .342 .536 .409 thn_pjk -.454 .173 6.919 D_KK 1.035 .937 1.222 ln_beda -.191 .143 1.785 ln_lama -.655 .334 3.836 Constant 6.221 4.268 2.124 a. Variable(s) entered on step 1: D_Pmh, jns_pjk, thn_pjk, ln_lama.

Sig. Exp(B) 1 .000 212.943 1 .523 1.408 1 .009 .635 1 .269 2.816 1 .182 .826 1 .050 .519 1 .145 503.040 D_KK, ln_beda,

21

CURRICULUM VITAE PENULIS : Muhammad Syam Kusufi, SE. I. NAMA TTL : Jombang, 9 Juni 1983 Alamat : Perumahan Ngori Indah Blok D-9 Wedomartani, Ngemplak, Sleman, DIY HP : 0818377640 Email : kusufi_unijoyo@yahoo.com Riwayat Pendidikan: a. S1 Akuntansi FE Universitas Brawijaya, Malang (2001-2005) b. S2 Akuntansi dengan konsentrasi Akuntansi Manajemen, Program MSi dan Doktor FEB UGM (2010-sekarang) Riwayat Pekerjaan: a. Dosen Jurusan Akuntansi FE Universitas Trunojoyo, Bangkalan (2006-sekarang) b. Wakil Direktur PPAKP FE Universitas Trunojoyo, Bangkalan (2006-sekarang) c. Auditor Yunior di KAP Made Sudharma, Thomas, dan Dewi, Malang (2006) d. Staf redaksi penerbitan jurnal ilmiah Pusat Dokumentasi dan Publikasi Ilmiah Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang (2004-2006) Publikasi: a. Buku Akuntansi Manajemen edisi kedua bersama dengan Prof. DR. Abdul Halim, MBA., Ak. dan Bambang Supomo, SE., M.Si., Ak. penerbit BPFE-UGM, DIY (2011) b. Buku Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah edisi keempat bersama dengan Prof. DR. Abdul Halim, MBA., Ak. Penerbit Salemba Empat Jakarta (proses cetak dan terbit 2012) c. Buku Akuntansi Sektor Publik: Dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan, Dari Pemerintah Hingga Tempat Ibadah bersama dengan Prof. DR. Abdul Halim, MBA., Ak. Penerbit Salemba Empat Jakarta (proses cetak dan terbit 2012) II. NAMA : Inayati Nuraini Dwiputri, SSi., MSc. TTL : Sumenep, 4 Januari 1983 Alamat : Perumahan Ngori Indah Blok D-9 Wedomartani, Ngemplak, Sleman, DIY HP : 081703572277 Email : inayati_nadp@yahoo.com Riwayat Pendidikan: c. S1 Statistika F-MIPA Universitas Brawijaya, Malang (2001-2005) d. S2 Ilmu Ekonomi dengan konsentrasi Ekonomi Kriminalitas, Program MSi dan Doktor FEB UGM (2010-2011)

22

You might also like