You are on page 1of 13

MAKALAH

HUTANG PIHUTANG, GADAI, DAN HIWALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah materi pembelajaran fikih SMP/MTS.
Dosen Pengampu : Zahra Rahmatika, M.Pd

Disusun oleh kelompok 12 :

1. Titi Anggraini (2111010437)


2. Sultan Ahmad Naufal (2111010447)

KELAS L
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN RADEN INTAN LAMPUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur tidak lupa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
berkat anugerah dari-Nya kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul
Hutang Piutang, Gadai dan Hiwalah. Shalawat serta salam kita haturkan kepada
junjungan agung nabi besar muhammad saw, yang telah memberikan pedoman
kepada kita jalan yang sebenar-benarnya jalan berupa ajaran agama islam yang
begitu sempurna dan menjadi rahmat bagi alam semesta.

Penyusun sangat bersyukur karena mampu menyelesaikan makalah ini


tepat waktu sebagai memenuhi tugas mata kuliah Materi pembeljaran Fikih
SMP/MTS. Selain itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai
pihak yang membantu kami untuk merampungkan makalah ini sampai selesai.

Penulis menyadari akan kemampuan yang sangat terbatas sehingga dalam


penulisan makalah ini banyak kekurangannya. Namun makalah yang disajikan
sedikit banyak bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca umumnya.
Penulis juga menyadari penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, maka
dengan hati terbuka penulis menerima segala kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 07 November 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................4

A. Latar Belakang.......................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................................4
C. Tujuan....................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5

A. Hutang Piutang (al-Qardh).....................................................................................5


1. Pengertian Hutang Piutang dan Landasan Hukum.................................................5
2. Rukun dan Syarat al-Qardh...................................................................................5
3. Hukum Hutang Piutang..........................................................................................6
4. Larangan Meraih Keuntungan (Manfa’at) Melalui Qardh......................................6
B. Gadai (al-Rahn)......................................................................................................6
1. Pengertian dan Dasar Hukum..................................................................................6
2. Rukun Gadai..........................................................................................................7
3. Pengambilan Manfaat Barang Gadai......................................................................7
C. Hiwalah..................................................................................................................8
1. Pengertian Hiwalah................................................................................................8
2. Macam-macam Hiwalah........................................................................................8
3. Rukun dan Syarat Hiwalah.....................................................................................8
BAB III PENUTUP...............................................................................................11

A. Kesimpulan..........................................................................................................11
B. Saran....................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12

iii
BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam mengatur hubungan yang kuat antara akhlak, akidah, ibadah, dan
muamalah. Aspek muamalah merupakan aturan main bagi manusia dalam
menjalankan kehidupan sosial, sekaligus merupakan dasar untuk membangun sistem
perekonomian yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ajaran muamalah akan menahan
manusia dari menghalalkan segala cara untuk mencari rezeki. Muamalah mengajarkan
manusia memperoleh rezeki dengan cara yang halal dan baik.
Pada kali ini pemakalah akan membahas terkait fikih muamalah mengenai
hutang piutang, gadai dan hiwalah,apakah kalian tahu bahwa hutang itu bisa memutus
hubungan silaturahim bahkan persengketaan diantara manusia, Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam membaca doa: "(Artinya = Ya Allah aku berlindung
kepada-Mu dari bahaya hutang bahaya musuh dan kemenangan para musuh)" begitu
kawatirnya Rasulullah tentang hutang dari pada musuh dan kemenangan para musuh.
Makalah ini akan membahas tentang hutang, yang bersumber dari hadits-hadits nabi
Muhammad SAW. Dalam makalah ini kita akan mendapat jawaban dari pertanyaan
itu semua, semoga makalah ini sesuai dengan yang kita harapkan dan menambah
pahala bagi penulis dan juga para membaca untuk mengamalkannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hutang pihutang,gadai dan hiwalah ?
2. Bagaimanakah hukum hutang pihutang?
3. Apa saja rukun dan syarat hutang pihutang,gadai dan hiwalah?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian hutang pihutang, gadai dan hiwalah.
2. Mengetahui hukum hutang pihutang.
3. Mengetahui apa sja rukun dan syarat hutang pihutang, gadai dan hilawah.

4
BAB II PEMBAHASAN

A. Hutang Piutang (al-Qardh)


1. Pengertian Hutang Piutang dan Landasan Hukum
Secara etimologi, qardh berarti al-qath’I yaitu memotong. Di dalam kamus
Al-Munawwir al-qardh berarti al-sulfah yaitu pinjaman.
Pengertian qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan oleh ulama
Malikiyah adalah “sesuatu penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai
imbalan atau tambahan dalam pengembaliannya.”1
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, qardh mempunyai pengertian yakni
akad pemilikan sesuatu untuk dikembalikan dengan yang sejenis atau yang
sepadan.2
Dari definisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya qardh merupakan salah
satu jenis pendekatan untuk bertakarrub kepada Allah dan merupakan jenis
mu’amalah yang bercorak pertolongan kepada pihak lain untuk memenuhi
kebutuhannya.
Adapun yang menjadi landasan hukum diperbolehkannya qardh yaitu :

ٰ ‫َم ْن َذا الَّ ِذيْ يُ ْق ِرضُ هّٰللا َ قَرْ ضًا َح َسنًا فَي‬
‫ُض ِعفَهٗ لَهٗ َولَ ٗ ٓه اَجْ ٌر َك ِر ْي ٌم‬
Artinya :
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka
Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan
memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid : 11)

2. Rukun dan Syarat al-Qardh


Adapun yang menjadi rukun qardh adalah:
a. Muqridh (yang memberikan pinjaman).
b. Muqtaridh (peminjam).
c. Qardh (barang yang dipinjamkan)
d. Ijab qabul
1
AH. Azharudin Lathif. Fiqh Muamalat. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005). Hal. 150
2
Ibid
5
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh adalah:
a. Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.
b. Qardh harus berupa harta yang menurut syara’ boleh digunakan/dikonsumsi.
c. Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas.

3. Hukum Hutang Piutang


Asal hukum hutang-piutang adalah mubah, tetapi bisa berubah tergantung
kondisi yang melatarbelakanginya. Silahkan Anda pelajari dengan baik.
a. Mubah (boleh) bagi berhutang, maksudnya boleh berhutang atau tidak
berhutang.
b. Sunnah bagi orang yang menghutagi, karena ada unsur tolong-menolong.
c. Wajib jika terdesak ( baik bagi yang berhutang atau yang menghutangi).
Misal: berhutang bahan makanan sebab jika tidak berhutang dia akan
kelaparan.
d. Haram, jika melanggar aturan syariat. misal, berhutang untuk bermain judi

4. Larangan Meraih Keuntungan (Manfa’at) Melalui Qardh


Aqad qardh dimaksudkan untuk menolong sesama muslim, bukan bertujuan
untuk memperoleh keuntungan. Para Fuqaha sepakat bahwa jika pinjaman
dipersyaratkan agar memberikan keuntungan apapun bentuknya atau tambahan
kepada pihak muqaridh, maka yang demikian itu haram hukumnya.

Jika keuntungan tersebut tidak disyaratkan dalam akad atau jika hal tersebut
telah menjadi kebiasaan di masyarakat menurut mazhab Hanafiyah adalah boleh.3

Fuqaha Malikiyah membedakan utang piutang yang bersumber dari jual beli
dan utang piutang saja. Dalam hal utang piutang yang bersumber dari jual beli,
penambahan pembayaran yang tidak disyaratkan adalah boleh. Sedangkan dalam
hal utang piutang penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak
dijanjikan karena telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat hukumnya haram.
Penambahan yang tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi kebiasaan masyarakat,
baru boleh diterima.4

3
AH. Azharudin Lathif. Fiqh Muamalat. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005). Hal. 153
4
Ibid
6
B. Gadai (al-Rahn)
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Secara etimologi, gadai (al-rahn) yaitu pemenjaraan. Ada pula yang menjelaskan
bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat.5 Sedangkan menurut istilah ada
beberapa definisi al-rahn yang dikemukakan para ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan: Harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan : Menjadikan sesuatu sebagai
jaminan terhadap hak yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak itu, baik
seluruhnya maupun sebagian.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan : Menjadikan
materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang
apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.6
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan
adalah firman Allah SWT berikut:

‫ض ُكم بَ ْعضًا فَ ْليَُؤ ِّد‬ ُ ‫ضةٌ ۖ فَِإ ْن َأ ِمنَ بَ ْع‬ َ ‫وا َكاتِبًا فَ ِر ٰهَ ٌن َّم ْقبُو‬ ۟ ‫َو ن ُكنتُ ْم َعلَ ٰى َسفَر َولَ ْم تَ ِج ُد‬
ٍ ‫ِإ‬
۟ ‫ٱلَّ ِذى ٱْؤ تُ ِمنَ َأ ٰمنَتَهۥُ َو ْليَتَّق ٱهَّلل َ َربَّهۥُ ۗ َواَل تَ ْكتُ ُم‬
ۗ ُ‫وا ٱل َّش ٰهَ َدةَ ۚ َو َمن يَ ْكتُ ْمهَا فَِإنَّ ٓۥهُ َءاثِ ٌم قَ ْلبُ ۥه‬ ِ َ
‫َوٱهَّلل ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َعلِي ٌم‬
Artinya :
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang” (QS. Al-Baqarah: 283)

2. Rukun Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa
rukun, antara lain:
a. Lafadz ( ijab dan qabul )
b. Aqid, yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai
(murtahin).

5
Hendi Suhendi. Fiqh Muamalht. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008). Hal. 105
6
AH. Azharudin Lathif. Fiqh Muamalat. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005). Hal. 154
7
c. Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan
jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus
dibayar.
d. Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
3. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Jumhur ulama fiqh, selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa
pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu,
karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Apabila orang yang berutang
tidak mampu melunasinya utangnya, ia boleh menjual atau menghargai barang
itu untuk melunasi piutangnya.
Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang
jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama
Hanafiyah membolehkannya, karena dengan adanya izin, tidak ada halangan
bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang jaminan itu. Akan
tetapi, sebagian ulama Hanafiyah lainnya, Malikiyah dan ulama Syafi’iyah
berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang
jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Karena, apabila barang
jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang
dilarang syara’, sekalipun diizinkan pemilik barang.7
Orang yang memegang barang gadaian boleh mengambil manfaat
barang yang digadaikan hanya sekedar mengganti kerugiannya untuk menjaga
barang itu.
Sabda Rasulullah Saw :

َ ‫ب ال ُمرْ تَ ِه ُن ِم ْن لَبَنِهَا بِقَ ْد ِر ع َْلفِهَا فَاِنِا ْستَ ْف‬


‫ض َل ِمنَ اللَبَ ِن بَ ْع َد‬ َ ‫اِ َذاارْ تُ ِهنَ َشاةٌ َش ِر‬
ِ ‫ثَ َم ِن ال َع ْل‬
‫ف فَهُ َو ِربَا‬
“Apabila seekor kambing digadaikan, maka yang memegang gadaian itu
boleh meminum susunya sekedar sebanyak makanan yang diberikannya pada
kambing itu. Maka jika dilebihkannya dar sebanyak itu, lebihnya itu menjadi
riba.” (Riwayat Hammad bin Salmah)8

C. Hiwalah
7
AH. Azharudin Lathif. Fiqh Muamalat. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005). Hal. 156-157
8
Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003). Hal. 311
8
1. Pengertian Hiwalah
Hiwalah Al-hawalat atau Al-hiwalat,secara bahasa berasal dari kata
Hawwala yang berarti ghayyara (mengubah) dan naqala (memindahkan).9
Sedangkan secara istilah Al-hawalah adalah pengalihan hutang dari
orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam
istilah para ulama hal ini, merupakan pemindahan beban utang
dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal’alaih (orang yang
berkewajiban membayar hutang)10
Menurut ibn ‘Abd al-barr al-Namiri A-hawalat ialah pemindahan
tanggung jawab.Menurut ulama hanafiah definisi Al-hawalah di kategorikan
dalam dua versi:
a. Pemindahan hak menuntut utang dari pihak yang berutang kepada pihak
lain dimana pihak lain secara kebetulan memiliki utang kepada yang
berutang.
b. Pemindahan penagihan dan pemindahan utang sekaligus.
c. Berdasarkan pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa Al-hawalat adalah
penjualan utang dengan utang artinya pemindahan utang dari pihak kesatu
kepada pihak yang lainnya karena pihak lain memiliki utang kepada yang
berutang dengan nilai yang sama.
d. Hiwalah timbul sebagai akibat dari peristiwa hukum utang piutang bersegi
tiga yaitu terjadi minimal tiga pihak yang melibatkan diri dalam peristiwa
itu secara berkaitan. Misalnya: A (muhal), memberi pinjaman kepada B
(muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang kepada C (muhal alaih).
Begitu B tidak mampu membayar utangnya pada A, ia alu mengalihkan
beban utang tersebut pada C. dengan demikian, C yang harus membayar
utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap
selesai.

2. Macam-macam Hawalah
1) Mazhab Hanafi membagi hawalah menjadi beberapa bagian:

9
Dr.H. Atang Abd Hakim.MA, Fiqh Perbankan Syariah (Bandung: PT Refika Aditya, 2011) hlm. 282
10
M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah (Jakarta: Sema insani, 2001) hlm. 126
9
a. Hawalah al Haq: yakni hawalah yang bentuk pengalihannya adalah hak
menuntut utang.
b. Hawalah Ad-dain: yaitu hawalah yang bentuk pengalihannya berupa
pengalihan hak menuntut utang dan pengalihan utang.
2) Secara umum hawalah di bedakan menjadi dua:
a. Al Hawalah al Muqayyadah: (Pemindahan bersyarat ) yaitu
pemindahan utang kepada yang lain disertai dengan syarat atau sifat
tertentu.
b. Al Hawalah al Muthlaqah: (Pemindahan mutlak) yaitu pemindahan
utang kepada yang lain tanpa disertai syarat atau sifat apapun.

3. Rukun dan Syarat Hiwalah


Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu yaitu ijab dan kabul
yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah.
Syarat-syarat hiwalah menurut Hanafiyah ialah:
a. Orang yang memindahkan utang (muhil), adalah orang yang berakal, maka
batal hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.
b. Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn), adalah orang yang berakal,
maka batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
c. Orang yang di hiwalahkan (muhal alaih) juga harus orang berakal dan
disyaratkan juga ia meridhainya.
d. Adanya utang muhil kepada muhal alaih.
Menurut Syafi’iyah, rukun hiwalah itu ada empat, sebagai berikut :
a. Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan
utang.
b. Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai
utang kepada muhil.
c. Muhal ‘alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.
d. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil.

10
e. Shigat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya: “aku
hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul dari
muhtal dengan kata-katanya : “aku terima hiwalah engkau.”.11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Qardh (hutang piutang) pada intinya adalah perbuatan atau aktifitas yang
mempunyai tujuan untuk membantu orang lain yang sedang membutuhkan
pertolongan berupa materi, seperti uang.Sedangkan Rahn (gadai) tidak jauh
berbeda dengan qardh, hanya dalam rahn ketika seseorang membutuhkan bantuan
materi, seperti uang. Orang yang meminjam tadi memberikan barang berharga
miliknya kepada orang yang meminjami uang tadi sebagai jaminan. Sedangkan
hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain
yang wajib menanggungnya

B. Saran

Demikianlah yang dapat kami sampaikan, semoga pembahasan dalam


makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan pembaca. Apabila dalam
11
Asy-Syekh Muhammad bin Qosim Al-ghazy, Fathul Qorib Terjemah (Surabaya: Al-hidayah, 1991)hlm.376-
378
11
makalah ini terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun dalam
pemaparannya, kami selaku pembuat makalah mohon maaf. Tidak lupa kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghazaly dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta : Prenada Media

Abu Hasan, Wismanto. 2019. Fiqih Muamalah. Pekanbaru : Cahaya firdaus


Publishing and Printing

Ghazaly, H. A. R. (2016). Fiqh muamalat. Prenada Media.

Harun, M. H. (2007). Fiqh muamalah. Muhammadiyah University Press.

Hidayati, T., & Hidayatullah, M. S. (2022). Konstruksi Utang-Piutang (Qardh) Dan


Penggunaannya Pada Bank Syariah Di Indonesia (Pendekatan Tafsir Ayat
Ahkam). Al-Mizan, 18(1), 55-76.

Lathif, AH. Azharuddin. 2005. Fiqh Muamalat. Jakarta : UIN Jakarta Press.

Muslich, H. A. W. (2022). Fiqh muamalat. Amzah.

Rasjid, Sulaiman. 1992. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sanawiah, S. A., & Ariyadi, S. H. I. Fiqih Muamalah; Menggagas Pemahaman Fiqih


Kontemporer. Penerbit K-Media.

Suhendi, Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo,Persada.

Syarqawie, Fithriana. 2014. Fikih Muamalah. Bnajarmasin : IAIN Antasari Press

T. Ibrahim dan H.Darsono, (2009) Penerapan Fikih untuk kelas IX Madrasah


Tsanawiyah, Solo; PT. Tiga Serangkai.

Tulusiawati, C., & Zulfah, M. A. (2021). Fiqih. Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat Universitas KH. A. Wahab Hasbullah.

Witro, D. (2021). Qaidah Furu’fi Al-Hiwalah: Sebuah Tinjauan Umum Qaidah


Furu’fi Al-Hiwalah: An Overview. Qawãnïn Journal of Economic Syaria Law, 5(1),
1-12.

Zaenal Muttaqin dan Amir Abyan,(2008) Fikih kelas IX Madrasah Tsanawiyah.


Semarang: PT. Karya Putra Toha.

You might also like