You are on page 1of 16

Sangkan Paraning Dumadi

Cakra Cakra

Cakra Manggilingan
Manggilingan Manggilingan
Siklus Kehidupan
dalam Pandangan Manusia Jawa
Siapa sangka dari khasanah seni-budaya berupa Tembang Macapat karya para
pujangga leluhur Jawa yaitu dari Mijil, Sinom, Asmarandana, Kinanthi,
Dhandhanggula, Maskumambang, Durma, Pangkur, Gambuh, Megatruh, Pucung
ternyata mengandung makna kehidupan yang adiluhung. Bukan hanya mengenai

SC
2/
fase-fase kehidupan penting yang dilalui manusia, tetapi juga mengisyaratkan

-0
G
makna dari kelahiran hingga kematian (sangkan paraning dumadi).

/K
ng
hi
lis
Itulah ‘Cakramanggilingan’, siklus kehidupan manusia sebagaimana terurai dalam

ub
lP
Tembang Macapat sejak dilahirkan sampai meninggal dunia. Para pujangga

ita
ig
leluhur orang Jawa memang sangat mengutamakan dan begitu peduli mengenai

D
kebaikan dan kemuliaan dalam menjalankan apa yang disebut dengan memayu
hayuning bawana (melestarikan dan memakmurkan bumi seisinya) yang identik

Wawan S u se tya
dengan Rahmatan lil ‘alamien (rahmat bagi semesta alam).

Semoga anak-anak bangsa dapat falsafah ‘memayu hayuning bawana’


tersebut serta memelihara keseimbangan alam semesta.

SOCIAL SCIENCES 15+

PT ELEX MEDIA KOMPUTINDO


Kompas Gramedia Building 719081304
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. (021) 53650110-53650111, Ext 3201, 3202 Harga P. Jawa Rp105.000,- W a w a n S us e tya
Webpage: www.elexmedia.id

Cakramanggilingan.indd 1 09/10/2019 14:38:43


D
ig
ita
lP
ub
lis
hi
ng
/K
G
-0
2/
SC
Buku Dua

Sangkan Paraning Dumadi

Cakramanggilingan
Siklus Kehidupan dalam Pandangan Manusia Jawa
SC
2/
-0
G
/K
ng
hi
lis
ub
lP
ita
ig
D

719081304_Haldep_Cakramanggilingan.indd 1 9/26/2019 10:22:15 AM


Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran


hak ­eko­nomi­sebagai­mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf i ­untuk ­Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana ­penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling ­ba­nyak Rp100.000.000 ­(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pen-
cipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak
SC

ekonomi Pencipta ­sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat


2/
-0

(1) huruf c, ­huruf d, ­huruf f, dan/atau huruf h untuk Peng-


G
/K

gunaan Secara Komer­sial dipidana dengan pidana penjara pa­


ng

ling lama 3 (tiga) t­ ahun dan/atau pidana denda paling banyak


hi
lis

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta ­rupiah).


ub
lP

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pen-
ita

cipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak


ig
D

ekonomi Pencipta ­sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat


(1) huruf a, ­huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Peng­
gunaan Secara Komer­ sial di­
pidana ­
dengan ­pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda p ­ a­ling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, di­
pidana ­de­ngan ­pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) ­tahun
dan/atau ­pidana ­denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar ­rupiah).

719081304_Haldep_Cakramanggilingan.indd 2 9/26/2019 10:22:15 AM


Buku Dua

Sangkan Paraning Dumadi

Cakramanggilingan
Siklus Kehidupan dalam Pandangan Manusia Jawa

SC
2/
-0
G
/K

Wawan Susetya
ng
hi
lis
ub
lP
ita
ig
D

Penerbit PT Elex Media Komputindo

719081304_Haldep_Cakramanggilingan.indd 3 9/26/2019 10:22:15 AM


BUKU DUA:
Sangkan Paraning Dumadi
Cakramanggilingan
Siklus Kehidupan dalam Pandangan Manusia Jawa

Penulis: Wawan Susetya

Copyright © Wawan Susetya


Hak Cipta Indonesia dilindungi Undang-Undang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia - Jakarta
Anggota IKAPI, Jakarta 2019
SC
2/
-0
G
/K
ng
hi
lis
ub
lP
ita

719081304
ig
D

ISBN: 978-623-00-0666-1

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh


isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab percetakan

719081304_Haldep_Cakramanggilingan.indd 4 9/26/2019 10:22:16 AM


Daftar Isi

A. Pengantar Penulis:
Penuh Muatan Simbolis; ‘Perjalanan Manusia’ vii
SC
2/

B. Pendahuluan: Tugas Khalifah (Manungsa Sejati):


-0
G
/K

‘Memayu Hayuning Bawana’! xv


ng
hi

C. Catatan Emha Ainun Nadjib


lis
ub
lP

Manajemen Cinta dan Kebenaran xxxv


ita
ig
D

I. Mijil (Masa Kelahiran Jabang Bayi)


Mendudukkan Posisi Anak Secara Proporsional 1

II. Sinom (Masa Remaja)


Pentingnya Akhlak dan Transformasi
Ilmu Pengetahuan 35

III. Asmarandana (Masa Asmara)


Filosofi dan Teologi Cinta 69

IV. Kinanthi (Masa Perkawinan)


Bobot-Bibit-Bebet; Prasyarat dalam Perkawinan Jawa 97

719081304_Haldep_Cakramanggilingan.indd 5 9/26/2019 10:22:16 AM


Cakramanggilingan

V. Dhandhanggula (Masa Pahit-Manis Kehidupan)


Manungsa Utama; Menjaga Keselarasan Lahir-Batin 151

VI. Maskumambang (Masa Gambaran Kepalsuan)


Mewaspadai Kepalsuan di Sekitar Kita! 183

VII. Durma (Masa Maju-Mundur)


Antisipasi Keraguan dengan Mengendalikan Nafsu 219

VIII. Pangkur (Masa Meninggalkan Keduniawiaan)


Menatap ‘Masa Depan’ yang Lebih Cerah 241
SC
2/

IX. Gambuh (Masa Pengenalan Kepada Allah)


-0
G
/K

Menapaki Perjalanan Ke Puncak Spiritual 271


ng
hi
lis
ub

X. Megatruh (Masa Datangnya Kematian)


lP
ita

Bercita-Cita Menggapai Husnul Khatimah 313


ig
D

XI. Pucung (Masa Menjadi Pocongan;


Memasuki Alam Kubur)
Tiga Perkara Penting; Ilmu, Amal Jariyah,
dan Anak Sholeh 345

Daftar Pustaka 369


Tentang Penulis 377

vi

719081304_Haldep_Cakramanggilingan.indd 6 9/26/2019 10:22:17 AM


Pengantar Penulis
Penuh Muatan Simbolis:
‘Perjalanan Manusia’ -0
2/
SC
G
/K
ng

BAGI orang Jawa, tentu, tidak asing lagi dengan sebutan Tembang
hi
lis
ub

(Lagu Jawa). Namun demikian, bagaimana pembagian klasifikasi


lP
ita

mengenai Tembang Jawa, tentu, masih banyak yang belum menge-


ig
D

tahui secara detail! Maklum, semakin berkembangnya zaman—ter-


lebih pada era globlalisasi dewasa ini—tampaknya nilai-nilai seni-
budaya makin kurang diminati, sehingga menjadikannya semakin
surut. Derasnya arus budaya Barat yang masuk ke Indonesia—
khususnya Jawa—sedikit banyak menyebabkan lunturnya nilai-nilai
Ketimuran, termasuk di dalamnya nilai-nilai seni budaya Jawa.
Menurut G. Setyo Nugraha dan M. Abi Tofani dalam Buku Pin-
tar Basa Jawa bahwa Tembang Jawa dapat diklasifikasi atau dibagi
menjadi tiga macam, yakni:
I. Tembang Macapat (Cilik; Kecil)
II. Tembang Tengahan (Sedang)
III. Tembang Gedhe (Besar)

719081304_Haldep_Cakramanggilingan.indd 7 9/26/2019 10:22:18 AM


Cakramanggilingan

I. Tembang Macapat
Dalam khasanah seni-budaya Jawa, Tembang Macapat ini men-
cakup 11 (sebelas) pupuh (tembang) yakni: 1) Mijil, 2) Sinom,
3) Asmarandana, 4) Kinanthi, 5) Dhandhanggula, 6) Masku-
mambang, 7) Durma, 8) Pangkur, 9) Gambuh, 10) Megatruh,
dan 11) Pucung.

II. Tembang Tengahan


Tembang Tengahan mencakup: 1) Balabak, 2) Girisa, 3) Juru-
demung, 4) Wirangrong.

III. Tembang Gedhe


SC

Tembang Gedhe terdiri dari: 1) Citramengeng, 2) Kusumastuti,


2/
-0

3) Mintajaya, dan 4) Pamularsih.


G
/K
ng
hi
lis

Meski filosofi yang terkandung dalam Tembang Tengahan dan


ub
lP

Tembang Gedhe sangat mendalam, namun dalam kesempatan ini,


ita
ig

penulis hanya menjelaskan secara tuntas Tembang Macapat (Tem-


D

bang Cilik; Kecil); yakni Mijil, Sinom, Asmarandana, Kinanthi,


Dhandhanggula, Maskumambang, Durma, Pangkur, Gambuh, Mega-
truh, dan Pucung.
Tembang Macapat—dari Mijil sampai Pucung di atas—ternyata
merupakan potret ‘siklus kehidupan’ manusia atau gambaran ‘per-
jalanan hidup manusia’ sejak lahir (mijil) sampai mati atau menjadi
pocongan (pucung). Menurut Drs. Adhi Soetardjo ML, MM (1999:
Ramalan Joyoboyo tentang Citra Pemimpin Bangsa) itulah ajaran ke­
selamatan ‘Kejawen’ yang tertanam di hati sanubari melalui tembang.
Alunan tembang tersebut didendangkan setiap kesempatan dalam
senandung nyanyian-nyanyian (kekidungan lan ura-ura), diresapi
dalam rasa dan diingat dalam akal budi sampai turun-temurun. Ira-
ma Tembang Macapat menggambarkan siklus kehidupan manusia

viii

719081304_Haldep_Cakramanggilingan.indd 8 9/26/2019 10:22:18 AM


Catatan Emha
Pengantar
AinunPenulis
Nadjib

dalam ‘alam purwa, madya, wasana’ (dunia awal, kini, dan akhir);
yakni semenjak ada (lahir), kemudian hidup di dunia sampai me­
ninggal dunia (mati).
Dan, itulah refleksi dari ‘siklus kehidupan’ atau ‘perjalanan ma-
nusia’ yang direkam dalam Tembang Macapat oleh para Pujangga
Jawa; ibaratnya seperti ‘cakramanggilingan’ (roda berputar dalam
kehidupan manusia).
Para pujangga/leluhur Jawa yang concern terhadap ‘siklus ke-
hidupan’ manusia, barangkali karena diilhami dengan wacana ‘Ulul
Azmi—sebagaimana disebutkan dalam Alquran (Surah Al-Ahzab:
7): “Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi
dan engkau sendiri (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa
SC

putra Maryam”—yang juga menggambarkan ‘perjalanan manusia’


2/
-0

dari masa kecil atau anak (Nabi Nuh a.s) sampai fase penyempur-
G
/K
ng

nanya (Muhammad saw).


hi
lis

Selain itu, diutusnya para Rasul-Rasul Allah di muka bumi—


ub
lP

yakni dari Nabi Adam a.s hingga Nabi Muhammad saw—pun juga
ita
ig

mencerminkan utuhnya gambaran perjalanan kepribadian manusia


D

sesuai dengan perkembangan zaman dan waktu. Artinya, Nabi Mu-


hammad—sebagai Nabi terakhir—seolah ‘menampung’ dari spesi-
alisasi perwatakan para Rasul/Nabi sebelumnya. Selain merupakan
sebagai gambaran ‘perjalanan manusia’, para Rasul dari Adam sam-
pai Muhammad juga mengisyaratkan ‘siklus perjalanan’ manusia.
Konsep tentang gambaran ‘perjalanan hidup’ manusia sejak di-
lahirkan sampai meninggal dunia, bagi leluhur atau pujangga Jawa
memang sangat diutamakan. Wajarlah kiranya jika dalam banyak
hal, ‘perjalanan hidup’ manusia tadi selalu dipotret atau dilukiskan
ke dalam khasanah filosofi seni-budayanya.
Dalam buku ini ini, penulis sengaja menampilkan filosofi reli-
gius-spiritual dan simbolisasi Macapat; yakni dari Tembang Mijil
sampai Tembang Pucung. Tentu, penulis menyajikannya dengan

ix

719081304_Haldep_Cakramanggilingan.indd 9 9/26/2019 10:22:19 AM


Cakramanggilingan

wacana dan pandangan Kejawen (pandangan orang Jawa). Sebab,


Macapat memang merupakan karya besar dari pujangga atau leluhur
Jawa yang adiluhung dan sarat akan makna religius-spiritual; yakni
semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Selain dalam Macapat, tampaknya para pujangga Jawa juga
mengilustrasikan ‘siklus kehidupan’ atau ‘perjalanan hidup’ manu-
sia ke dalam khasanah seni-budaya lainnya:

1. Gendhing Talu (Patalon)


Yakni memotret perjalanan hidup manusia sejak kecil sampai
masa tuanya; yang dimasukkan ke dalam 7 (tujuh) gendhing;
dari Cucur Bawuk, Pare Anom, Ladrang Srikaton, Ketawang
SC

Sukma Ilang, Ayak-Ayak Manyura, Slepegan (Srempek), dan


2/
-0

Sampak (Wawan Susetya, 2006: Dari Ilmu Hastha Brata sam-


G
/K
ng

pai Sastra Jendra Hayuningrat).


hi
lis

a. Cucur Bawuk
ub
lP

Cucur yaitu makanan atau kue khas desa, sedangkan


ita
ig

bawuk yaitu alat kelamin seorang perempuan yang masih


D

perawan); melukiskan masa ketika manusia berada dalam


taraf permulaan (masih benih atau belum dilahirkan),
masih suci, fitrah, murni.
b. Pare Anom
Pare yaitu nama tumbuhan tertentu yang bentuknya sep-
erti penis, anom artinya muda); makna gendhing ini meru-
pakan simbol laki-laki; melukiskan masa bayi.
c. Ladrang Srikaton
Srikaton berarti (Sri = asri = becik sawangane, ngresepake
pandulu atau pemandangan yang indah, sedangkan katon
= ketara atau kelihatan). Artinya, apabila nafsu asmara su-
dah merasuk kepada perempuan dan laki-laki, maka tak
ada yang tidak indah. Maka terjadilah hubungan badan =

719081304_Haldep_Cakramanggilingan.indd 10 9/26/2019 10:22:19 AM


Catatan Emha
Pengantar
AinunPenulis
Nadjib

lambang sari, sebagai sarana kodrati untuk mengembang-


kan keturunan.
d. Ketawang Sukma Ilang
Sukma Ilang artinya ketika proses lambangsari (berhubung­
an suami-istri) yang diikuti dengan perasaan berdebar-
debar seperti maju perang di medan laga, sehingga suk-
manya seolah-olah seperti melayang.
e. Ayak-ayak Manyura
Ayak-ayak berarti disaring atau difilter; sedangkan manyu-
ra yaitu dekat); melambangkan masa dewasa yang akan
mengalami penyaringan, terpilih atau terayak.
f. Slepegan (Srempeg) Manyura
SC

Srempeg artinya irama ditingkatkan menjadi kencang dan


2/
-0

cepat. Maknanya tiada cukup waktu lagi untuk mendekat­


G
/K
ng

kan diri kepada-Nya.


hi
lis

g. Sampak Manyura
ub
lP

Sampak ini sebenarnya lagunya sama dengan Srempegan,


ita
ig

tetapi iramanya lebih ditingkatkan lagi, sehingga lebih


D

kencang. Sampak juga berarti klimaks dari enam gendhing


sebelumnya. Ini sebenarnya melukiskan masa hidup yang
terakhir.

Damardjati Supadjar menjelaskan mengenai Gendhing Talu


(Patalon)—tujuh gendhing yang dipakai untuk mengawali sebuah
pagelaran wayang kulit—yang mengisyaratkan nuansa keheningan,
mempertemukan jarak kausalitas atau sebab akibat atau awal-akhir;
yakni memusat kehati-hatiannya. Setelah itu, muncullah suasana
eneng-ening, negasi total; yakni akan mencapai pencerahan. Keabadi­
an waktu tercapai bukan karena penjumlahan dan atau pengurang­
an, melainkan kebalikannya; yakni proses mulat sarira satunggal, sari
rasa tunggal.

xi

719081304_Haldep_Cakramanggilingan.indd 11 9/26/2019 10:22:19 AM


Cakramanggilingan

2. Pathet; yakni Pathet Nem, Sanga, dan Manyura


Dalam khasanah gendhing yang dipakai mengiringi pemen-
tasan wayang kulit semalam suntuk, dikenal dengan tiga
pathet; yakni Pathet Nem, Pathet Sanga dan Pathet Manyura
(Purwadi, 2002: Penghayatan Keagamaan Orang Jawa).
Pertama, Pathet Nem dipakai mengiringi wayang kulit
pada sore atau permulaan (jam 21.00-24.00). Pathet Nem ini
merupakan penggambaran suasana hati atau jiwa ketika masih
muda.
Kedua, Pathet Sanga biasanya dipakai pada tengah malam
ke atas atau pukul 24.00-03.00 dengan ditandai gunungan
yang berdiri tegak di tengah-tengah kelir seperti pada waktu
SC

mulai pagelaran. Pathet Sanga ini maksudnya; simbolisasi usia


2/
-0

pertengahan manusia.
G
/K

Ketiga, Pathet Manyura (berasal dari kata: burung merak,


ng
hi

berarti marek, parek, marak); artinya sudah dekat untuk meng-


lis
ub

hadap kepada Tuhannya atau dekat dengan kematiannya), bi-


lP
ita

asanya berlangsung dari pukul 03.00-05.00, ditandai dengan


ig
D

gunungan (kayon) yang condong ke kanan. Pathet Manyura


ini melambangkan usia manusia yang sudah senja atau tua,
sehingga ia harus mengadakan persiapan untuk marak (meng-
hadap) kepada Tuhannya atau penggambaran suasana hati se­
seorang yang sudah parek (dekat dengan Tuhannya).
Marbangun Hardjowirogo (1983: Manusia Jawa) me­
ngontekstualkan makna tiga pathet tersebut ke dalam ke-
hidupan, yakni masa ketenaran (keterkenalan, kepopuleran)
seseorang, sebagai berikut; 1) ketika dilahirkan; 2) ketika me-
nikah; 3) ketika matinya.

3. Kayon (Gunungan)
Yakni sebagai pusat pakeliran (pedhalangan); yakni meng-
gambarkan sebelum jagad ini diciptakan Tuhan, kemudian

xii

719081304_Haldep_Cakramanggilingan.indd 12 9/26/2019 10:22:19 AM


Catatan Emha
Pengantar
AinunPenulis
Nadjib

diciptakannya manusia dengan segala aktivitasnya, dan di-


akhiri dengan digulungnya jagad raya (kiamat). Semua proses
tersebut diilustrasikan dalam pakeliran melalui adegan kayon
(gunungan)—condong ke kiri pada Pathet Nem, tegak lurus
pada Pathet Sanga, dan condong ke kanan pada Pathet Manyu-
ra—hingga dikukut, digulung (dimasukkan) semua wayang ke
dalam kotak oleh Sang Dhalang.

4. Pagelaran atau Pementasan Pedhalangan


Yakni menggambarkan sejak usia anak-anak (remaja), dewasa
atau usia pertengahan, sampai usia lanjut (dalam arti menda-
lam spiritualitasnya).
SC

Pertama, pada fase usia muda, misalnya, adegan yang di-


2/
-0

tonjolkan, seperti paseban njaba, perang ampyak, dan perang


G
/K
ng

gagal; intinya menunjukkan usia anak-anak yang baru menge-


hi
lis

nal dunia luar, suka bermain-main, hingga akhirnya ia menda-


ub
lP

patkan kesulitan hidup, dan seterusnya.


ita
ig

Kedua, pada fase usia pertengahan (dewasa), yakni perang


D

kembang; artinya penggambaran seorang manusia yang telah


‘berani’ mengalahkan hawa nafsunya sendiri. Makanya, ade-
gan ini sarat dengan wejangan seorang begawan atau pandhita
kepada satriya yang sedang menjalankan darmaning satriya.
Ketiga, pada fase usia lanjut, penonjolan perangnya adalah
perang brubuh; yakni perang yang dimenangkan oleh satriya
yang telah mendapatkan kekuatan batin, terutama setelah di-
wejang oleh sang begawan (pandhita). Pada perang brubuh ini
ditandai dengan banyaknya jatuh korban dari pihak antagonis,
setelah itu diakhiri dengan tarian Bima. Dan, tancep kayon! Ini
maknanya adalah masa penghabisan usia manusia, kemudian
ia hijrah ke alam Kalanggengan.

xiii

719081304_Haldep_Cakramanggilingan.indd 13 9/26/2019 10:22:19 AM


Cakramanggilingan

Dengan membolak-balik buku sederhana ini, penulis berharap


semoga buku ini bisa menjadi ‘kaca benggala’ alias cermin dalam
menatap kehidupan yang lebih cerah. Semoga bermanfaat bagi
pembaca yang budiman.
Kritik dan saran yang konstruktif tetap penulis harapkan demi
perbaikan dan kemajuan penulisan buku ini di masa mendatang.
Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang membantu kelancaran penerbitan buku ini, khususnya Pener-
bit PT Elex Media Komputindo. Terima kasih pula kepada istri ter-
cinta Shofa dan buah hati penulis Si kembar Ayu Susetya dan Listya
Susetya.
Akhirnya, hanya kepada Allah saja-lah kita semua memohon per-
SC

lindungan dan keselamatan di dunia dan akhirat, Amin.


2/
-0
G
/K
ng
hi
lis

Tulungagung, 17 Juli 2018


ub
lP

Penulis,
ita
ig

Wawan Susetya
D

xiv

719081304_Haldep_Cakramanggilingan.indd 14 9/26/2019 10:22:20 AM

You might also like