You are on page 1of 11

NILAI NILAI DALAM TRADISI PERESEAN

(STUDI ETNOGRAFI MASYRAKAT SUKU SASAK LOMBOK)

Abstract:
The peresean tradition is a tradition of the Sasak people of Lombok, where daring to fight with strong
muscles and energy is a symbol of virility, courage and toughness of a man. In the life of the Sasak people
in Lombok, they still adhere to a patriarchal culture, in which the position or position of men is more
dominant than women. A very fierce battle between professional pepadu, using rattan weapons that can
injure the fighter's body to the point of bleeding. The method used is a qualitative research method with
an ethnographic approach. Data was collected through in-depth interviews and community observation to
gather information about the tradition of the Sasak people of Lombok and the shift in the meaning of
masculinity for the community. The analysis process was carried out in several stages which included data
collection, data reduction, data presentation and conclusion/verification of data in the form of a research
report. The values contained in the peresean tradition are regarding values about life such as
brotherhood, friendship, economic, social, kinship, beliefs, culture and artistic or traditional values. Even
though there are elements of violence in this peresean tradition, peresean has a peaceful message.

Keywords: Peresean Tradition Values, Sasak Tribe Society

PENDAHULUAN
Pulau Lombok merupakan pulau yang terkenal dengan daerah wisata dan
budayanya, Banyak wisatawan tertarik dengan atraksi lokal yang berada di pulau
Lombok seperti presean, Kesenian dari Pulau Lombok yang satu ini merupakan media
untuk para lelaki dalam menguji keberanian dan ketangguhan mereka.

Peresean adalah salah satu kesenian lokal masyarakat Suku Sasak lombok yang
mempertarungkan kedua lelaki (pepadu) yang bersenjatakan tongkat terbuat dari rotan
dan perisai yang terbuat dari papan kayu dilapisi dengan kulit sapi yang sudah di
siapkan panitia Kesenian ini merupakan tradisi yang sudah lama yang berasal dari Suku
Sasak di Pulau Lombok provinsi NTB, yang keberadaanya masih ada hingga saat ini.
Dalam tradisi presean ini para lelaki atau pepadu berkumpul untuk menguji keberanian
serta ketangkasan mereka dalam bertarung. Walaupun terdapat unsur kekerasan,akan
tetapi kesenian ini memiliki pesan damai didalamnya.

Dikutip dari berbagai sumber sejarah yang ada, peresean ini dulunya merupakan
luapan emosional para raja dan para prajurit setelah memenangkan pertempuran di
medan perang. Selain itu juga peresean ini merupakan perangkat untuk para petarung
dalam menguji ketangguhan dan ketangkasan mereka dalam bertanding. Kesenian
tradisi presean ini terus berlanjut sampai sekarang di kalangan masyarakat Suku sasak
Lombok hingga menjadi suatu kebudayaan. Dalam perkembangannya, kesenian ini tida
hanya diadakan untuk masyarakat lokal saja, naun juga digelar untuk menyambut para
tamu besar atau wisatawan yang berkunjung ke sana.

Seperti yang disebutkan di atas, kesenian ini merupakan media bagi para petarung
atau para lelaki dalam menguji keberanian, ketangguhan, dan ketangkasan mereka.
Adapun terdapat unsur kekerasan didalamnya, peresean terdapat memiliki pesan
damai. Sebelum pertandingan dimulai petarung/ pepadu di berikan instruksi oleh wasit
dan sebelum mulai terlebih dahulu membaca doa supaya pertandingan berjalan dengan
lancar. Setelah itu wasit memukul ende dengan rotan/ penyalin sebagai tanda
pertandingan di mulai.

Dalam pertarungan peresean ini ada beberapa peraturan, diantaranya pepadu tidak
boleh memukul badan bagian bawah seperti paha , tetapi pepadu diperbolehkan
memukul bagian atas seperti kepala, punggung. Setiap pukulan tersebut memiliki nilai
masing-masing, dan pemenang dalam Peresean ini biasanya ditentukan dari nilai yang
diperoleh setiap rondenya. Selain itu Pepadu tersebut dinyatakan kalah apabila sudah
berdarah di bagian kepala.

Apabila ada Pepadu mengalami luka atau berdarah, tim medis akan mengobatinya
dengan obat sejenis minyak khusus agar tidak menimbulkan rasa perih. Setelah
bertarung para pepadu kemudian bersalaman dan berpelukan, sebagai tanda damai dan
tidak ada dendam diantara mereka, hal inilah yang mendasari peneliti untuk
mengetahui nilainilai sportifitas yang terkandung di dalam pertunjukan peresean yang
ada di masyarakat sasak Lombok.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah library research atau penelitian
pustaka/literatur. Penelitian berbasis literatur merupakan kegiatan penelitian dengan cara
menghimpun informasi yang dinilai relevan atau memiliki kesesuaian dengan topik atau
masalah yang menjadi objek penelitian. Sumber data dalam penelitian ini adalah referensi
yang relevan baik berupa buku atau artikel yang mengkaji pendekatan antropologi dalam
kajian antara hukum adat dan tradisi sosial.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. PENGERTIAN TRADISI PERESEAN
Tradisi Peresean adalah kesenian tradisional masyarakat Suku Sasak Lombok yang
mempertarungkan dua lelaki( pepadu) dengan menggunakan tongkat rotan dan perisai (ende).
Dulunya Tradisi Peresean merupakan luapan emosional para Raja dan para prajurit setelah
memenangkan pertempuran di medan perang atau tanding melawan musuh. Peresean juga
digunakan sebagai media bagi pepadu dalam menguji keberanian, ketangguhan dan
ketangkasan dalam bertarung di dalam arena. Selain itu, ada beberapa sebagian masyrakat
yang mengatakan bahwa sejarah tradisi peresean mulanya merupakan saling “gebuk” yang
berarti saling pukul dengan menggunakan pedang yang panjangnya 1 meter. Begebuk ini
bertujuan untuk memilih prajurit sekaligus juga pemimpin yang tangguh dan kuat. Akan
tetapi kebiasaan ini dianggap berbayahaya dan memakan banyak korban. Sehingga tradisi
begelepukan ini menggunakn rotan atau penjalin dan perisai (ende) yang terbuat dari kulit
sapi yang berbentuk persegi dan diapit bambu. Tradisi begebukan pada masa sekarang ini
disebut dengan peresean dilakukan oleh para pemuda atau pepadu dari masyarakat setempat. 1

Dahulu Peresean digelar untuk melatih ketangkasan suku Sasak dalam mengusir para
penjajah. Latar belakang Peresean adalah pelampiasan emosional para raja pada masa lampau
ketika menang dalam perang tanding melawan musuh-musuhnya. Selain itu, dahulu Peresean
1
Solikatun Solikatun and Drajat Tri Kartono, “Tradisi Maskulinitas Suku Sasak (Studi Tentang Seni Pertunjukan
Peresean),” Jurnal Analisa Sosiologi 9, no. 1 (n.d.).
juga termasuk media yang digunakan oleh para pepadu untuk melatih ketangkasan,
ketangguhan, dan keberanian dalam bertanding. Konon, Peresean juga sebagai upacara
memohon hujan bagi suku Sasak di musim kemarau. Kini, Peresean digelar untuk menyambut
tamu atau wisatawan yang berkunjung ke Lombok.2

Murdiyah, seorang peneliti sejarah dan budaya Sasak, menyatakan bahwa tradisi
peresean diduga berasal dari latihan perang yang dilakukan oleh prajurit pada masa
kerajaan. Tujuannya adalah untuk memilih calon prajurit yang tangguh dan dapat
diandalkan dalam sistem pertahanan kerajaan. Sebelum diterima sebagai prajurit
kerajaan, para pria harus menunjukkan keterampilan dan kehebatannya dalam
pertarungan peresean. Dalam konteks modern, seni peresean ini menjadi salah satu
tahap evaluasi dalam proses perekrutan prajurit.3

Berikut adalah pernyataan Nyoman Sayang (Informan, 16 November 2010) yang


berkaitan dengan Tarung Presean:

Seperti yang diketahui banyak orang, Tarung Presean merupakan hiburan lokal
yang merupakan warisan dari nenek moyang kita, tepatnya bangsa Indonesia. Namun,
perlu diketahui bahwa Tarung Presean juga merupakan ajang untuk mempererat
hubungan antara pemuda Sasak, baik dari etnis Bali maupun etnis Sasak. Dalam rangka
menjaga budaya yang sebenarnya dan memperkuat silaturahmi antar sesama makhluk
ciptaan Tuhan, Budaya Tarung Presean ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh agar
tidak menimbulkan perpecahan dalam masyarakat akibat adanya kecurangan. Oleh
karena itu, dalam budaya Tarung Presean sangat dijunjung tinggi nilai kejujuran dan
keadilan. Kita semua bersaudara, baik semeton Bali maupun semeton Sasak.

Pernyataan yang serupa juga disampaikan oleh Amaq Kar (Informan, 16 November
2010) sebagai berikut:
Tidak ada peserta yang ikut Tarung Presean yang tidak melakukannya dengan
sungguh-sungguh karena takut menghadapi bahaya. Jika tidak hati-hati, mereka bisa
mengalami luka di kepala. Namun, mereka tetap senang ikut serta dalam Tarung
Presean ini karena dapat berkumpul bersama. Saudara-saudara dari Lombok Timur,
Tanjung (Kabupaten Lombok Utara), dan Praya (Lombok Tengah) juga datang untuk
menguji keahlian (ilmu beladiri/kanuragan)4

Budaya peresean telah memiliki sejarah yang panjang dan masih terus bertahan hingga
saat ini. Namun, peran dan fungsi budaya ini dalam masyarakat telah mengalami perubahan
seiring berjalannya waktu. Awalnya, budaya peresean digunakan sebagai sarana untuk
menentukan siapa yang terkuat, seperti yang dijelaskan dalam sejarahnya bahwa peresean
muncul sebagai hasil dari perselisihan antara kerajaan yang kemudian mengirim utusan untuk
menguji ketangkasan dan kekuatan mereka. Pada awalnya, peresean juga diadakan dalam

2
Akhmad Asyari, “Nilai-Nilai Sosial Di Balik ‘Konflik Dan Kekerasan’: Kearifan Suku Sasak Dalam Tradisi Mbait
Dan Peresean,” JURNAL PENELITIAN KEISLAMAN 18, no. 2 (2022): 101–14.
3
IAI Hamzanwadi Pancor, “Tipe Kepribadian Sang Petarung Peresean Diantara Muslim Sasak: Analisis Psiko-
Sosio-Antropologis,” 2017.
4
I. Made Ardika Yasa, “Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Budaya Tarung Presean Di Lombok Barat (Perspektif Agama
Hindu),” Jurnal Penelitian Agama Hindu 4, no. 1 (2020): 34–51.
upacara pernikahan dan acara lainnya. Namun, seiring perkembangan zaman, peresean juga
dijadikan ajang perlombaan, di mana pemenangnya akan menerima imbalan berupa uang.. 5

Salah satu aspek budaya yang sangat populer di kalangan masyarakat Sasak adalah
Tradisi Peresean dan alat musik Gendang Belek. Dalam kedua tradisi ini terdapat konsep
matematika yang terlihat, seperti mengidentifikasi unsur-unsur, keliling, dan luas dari
lingkaran, menghitung volume benda yang berputar, menentukan luas permukaan
persegi, persegi panjang, garis, lingkaran, serta konsep tabung..6

Dalam tradisi peresean, setiap pemuda atau pepadu diharapkan memiliki tiga sifat
yang penting, yaitu wirase, wirame, dan wirage. Wirase merujuk pada kemampuan
pepadu untuk mengontrol emosi dan perasaannya saat berpartisipasi dalam peresean.
Wirame mencakup gerakan-gerakan seperti tarian yang dilakukan oleh pepadu untuk
menghilangkan rasa tegang dan kaku, serta sebagai cara untuk mempengaruhi lawan.
Sementara itu, wirage menggambarkan kondisi fisik yang kuat agar pepadu dapat
menghadapi lawan dengan baik. Menurut Lalu Bayu Windya, Ketua Majelis Adat Sasak,
ketiga unsur ini memiliki peran yang berbeda dalam permainan peresean. Wirame
berkaitan dengan unsur seni dalam peresean, wirase berhubungan dengan sportivitas,
dan wiraga menekankan aspek olahraga dan kesehatan fisik dalam peresean. Lalu Bayu
Windya menekankan bahwa semua tiga unsur ini harus dipadukan oleh siapa pun yang
bermain peresean, dan tidak boleh mengabaikan satu atau dua unsur, apalagi semuanya.
Jika ketiga unsur ini dapat disertakan dalam setiap permainan atau pertandingan
tradisional ini, maka harmoni sosial akan selalu terjaga di dalamnya.

Sebelum permainan dimulai, gamelan peresean dipukul sebagai tanda untuk


mengundang penonton. Kemudian, kedua pekembar mulai melakukan ngumbang atau
tantangan. Ngumbang dilakukan dengan mengangkat ende untuk melindungi kepala dan
menggerakkan penjalin sambil menari, yang disebut ngecak. Kedua pekembar yang
melakukan ngumbang menunjukkan aksi peresean dengan memukul ende. Tujuan dari
ngumbang adalah untuk membangkitkan semangat para calon pemain. Jika ada banyak
desa yang ikut serta, maka jumlah mata angin tidak hanya empat, tetapi bisa mencapai
delapan. Setiap suku desa memiliki satu mata angin. Pemilihan lawan, yang disebut
nanding, dilakukan berdasarkan usia, ukuran, ketenaran, dan faktor lainnya. Jika
seorang pemain membalikkan ende, hal itu dapat menunjukkan ketidakberanian atau
mungkin juga meminta lawan lain..7

Dalam tradisi peresean, pakaian yang digunakan meliputi kain penutup celana dan
dodot yang diikat di pinggang, serta kain yang diikat di kepala sebagai sapuq. Para
pepadu tidak mengenakan baju pada bagian tubuh. Selain itu, mereka dilengkapi dengan
senjata seperti perisai (ende) dan tongkat rotan untuk bertarung. Tradisi peresean
dilakukan dalam lima ronde dengan durasi lima menit setiap rondenya. Dalam
pelaksanaan tradisi peresean, terdapat aturan-aturan (awiq-awiq) yang dijunjung tinggi
untuk menjaga sportivitas. Salah satu aturan tersebut adalah bahwa pepadu tidak boleh
memukul bagian bawah seperti paha, namun mereka diperbolehkan memukul bagian
5
Hilmi Zaini, “PERANCANGAN BUKU ETNOFOTOGRAFI BUDAYA PERESEAN LOMBOK,” Cilpa: Jurnal Ilmiah
Pendidikan Seni Rupa 6, no. 2 (2021): 50–57.
6
Asri Fauzi et al., “Etnomatematika: Eksplorasi Budaya Sasak Sebagai Sumber Belajar Matematika Sekolah
Dasar,” JRPM (Jurnal Review Pembelajaran Matematika) 5, no. 1 (2020): 1–13.
7
Ashar Pajarungi Anar et al., “Deskripsi Varian Permainan Tradisional Daerah Nusa Tenggara Barat,” Progres
Pendidikan 1, no. 3 (2020): 273–81.
atas seperti kepala, pundak, atau punggung. Selain itu, seorang pepadu dianggap kalah
jika ia menyerah atau mengalami luka pada bagian kepala. Aturan lainnya adalah jika
rotan yang dipegang oleh pepadu jatuh sampai tiga kali, maka pepadu dianggap gugur
atau kalah. Setelah pertandingan selesai, para pepadu saling bersalaman, berpelukan,
dan tersenyum sebagai tanda kedamaian dan tidak ada dendam di antara mereka yang
bertarung..8
Dalam peresean pertandingan akan diberhentikan jika salah satu ada yang bocor
akibat pukulan musuh, pepadu yang kalah atau menang akan diberikan hadiah yang
disebut PERIS. Peresean biasanya diiringi dengan musik yang disebut dengan gending.
Jenis gendeng peresean ada tiga; (1) Gending Ngadokan, dimainkan pada saat
pengembar dan pengadok mencari pepadu dan lawan tandingnya; (2) gending mayuang,
gending ini dimainkan pada saat ada para pepadu yang suda siap untuk bertanding; (3)
gending beradu, dimainkan untuk membangkitkan semangat para penonton dan pepadu
yang sedang bertanding.9

Tradisi peresean merupakan bagian dari budaya masyarakat Sasak Lombok, di


mana keberanian dan kekuatan fisik menjadi simbol dari kejantanan, keberanian, dan
ketangguhan seorang pria. Dalam kehidupan masyarakat Sasak Lombok, masih terdapat
pengaruh budaya patriarki di mana posisi atau kedudukan pria lebih dominan
dibandingkan perempuan.Pertarungan yang sangat sengit para pepadu yang
profesional, dengan menggunakan senjata rotan yang bisa melukai tubuh petarung
hingga mengeluarkan darah. Namun, pertarungan dalam tradisi peresean Lombok ini
bukan sembarang pertarungan. Terdapat nilai sportifitas dan sekaligus nilai patriotisme
yang begitu mendalam yang berkaitan dengan sejarah Suku Sasak Lombok. 10

Pada perkembangan selanjutnya, para sejarawan dan budayawan Sasak sepakat bahwa
dalam periode berikutnya, permainan peresean diadakan untuk meminta hujan. Setiap akhir
musim kemarau, permainan peresean diadakan sebagai tanda kepercayaan masyarakat suku
Sasak bahwa melalui peresean, mereka dapat mengundang datangnya hujan. Peresean dalam
periode ini menjadi tradisi yang terjalin dalam sistem budaya Sasak dan berpengaruh pada
perilaku masyarakatnya. Salim mengungkapkan bahwa tradisi merupakan elemen sosial
budaya yang telah terakar kuat dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah.11

Dalam lintasan sejarahnya, kesenian ini mulai muncul sejak tahun 50-an dan telah
mengalami perkembangan dari generasi ke generasi. Presean dalam kehidupan
masyarakat Lombok umumnya dan Lombok Utara khususnya tumbuh dan berkembang
pesat era tahun 80-an. Namun ia pernah mengalami kevakuman selama beberapa tahun
karena faktor fluktuasi kesenian dan faktor rendahnya tingkat pemahaman manusia
dalam memaknai seni dalam hidup. Tarung Presean bagi masyarakat desa Darek
merupakan warisan tradisi budaya nenek moyang, sekaligus khasanah kekayaan
tradisional masyarakat setempat sehingga perlu dilestarikan supaya tidak tenggelam
oleh perkembangan zaman beserta varian-variannya, dengan demikian perlu diketahui
asal-usul budaya Tarung Presean tersebut.

8
(Analisa Sosiologi et al., 2020)
9
Usman Munir, “KONSEP KEBIJAKAN PARIWISATA BERBASIS KERAKYATAN & IMPLIKASI TERHADAP
KESEJAHTERAAN (Studi Pariwisata Di Pulau Lombok),” Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum 13, no. 2 (2022):
305–17.
10
(Mandala et al., n.d.)
11
Pancor, “Tipe Kepribadian Sang Petarung Peresean Diantara Muslim Sasak.”
B. NILAI NILAI DALAM TRADISI PERESEAN

Tradisi peresean merupakan sebuah ritual budaya yang dipraktikkan oleh


masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok. Ritual ini bertujuan untuk memperlihatkan
kemahiran dan ketangkasan seorang laki-laki yang disebut pepadu. Nilai-nilai yang
terkandung dalam tradisi peresean meliputi aspek-aspek kehidupan seperti nilai-nilai
sosial, sportivitas, pendidikan, budaya, dan seni/tradisi. Walaupun terdapat unsur
kekerasan dalam tradisi peresean, pesan yang ingin disampaikan adalah perdamaian.
Setiap pepadu yang ikut dalam pertandingan ini diharapkan memiliki sifat pemberani,
rendah hati, dan tidak memendam dendam terhadap lawannya. Selain nilai-nilai
tersebut, tradisi peresean juga memiliki makna yang berbeda bagi masyarakat yang
melakukannya. Makna dari tradisi peresean mencakup menunjukkan keberanian,
ketangkasan, dan kegagahan seorang laki-laki, sebagai latihan untuk kekuatan mental
dan fisik, seni bela diri, semangat olahraga, penghargaan terhadap diri sendiri, menjalin
hubungan sosial, dan persahabatan.12

Menurut UU Hamidy (2014:57), nilai tradisi melibatkan perilaku dan tindakan manusia
yang secara berkesinambungan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini
seringkali mendorong orang untuk bertindak, karena terdapat mitos yang melekat dalam
tradisi tersebut. Tradisi ini tercermin dalam berbagai upacara budaya yang menjadi bagian
hidup masyarakat..13

Mencermati budaya Tarung Presean merupakan suatu fenomena unik dan menarik
serta jarang terjadi, di mana kedua orang peserta petarung Presean, usai bertarung
dengan memperoleh hasil tubuh yang terluka, lebam mereka tetap saling berpelukan.
Melalui hal itu tentunya, dapat di lihat nilai apa saja yang dapat dijadikan pengalaman
belajar untuk pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari dari pelaksanaan
budaya Tarung Presean tersebut, sebab pembelajaran maupun pendidikan tidak hanya
diperoleh dibangku sekolah yang sifatnya formal.

12
Solikatun Solikatun, Lalu Wirasapta Karyadi, and Ika Wijayanti, “Eksistensi Seni Pertunjukan Peresean Pada
Masyarakat Sasak Lombok,” SANGKéP: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan 2, no. 1 (2019): 1–12.
13
Anita rosiana, NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DI DALAM TRADISI RITUAL PENGOBATAN BEDIKEI SUKU
SAKAI DESA MUARA BASUNG KECAMATAN PINGGIR KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU , 2020 hal 15
Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat telah mengalami perubahan,
begitupun dengan tradisi-tradisi yang ada di masyarakat termasuk pemaknaan dalam
tradisi peresean. Tradisi peresean zaman dulu dengan zaman sekarang banyak
mengalami perubahan. Selain itu tradisi peresean ini dilakukan untuk menunjukkan
ketangkasan seorang laki-laki sasak Lombok.

Meskipun permainan tradisional peresean telah mengalami perubahan dalam


zaman yang terus berkembang, tujuan dari permainan ini telah berubah. Saat ini,
permainan tradisional peresean tidak lagi dimainkan untuk mencari petarung yang
memiliki kekuatan magis, melainkan untuk memperkuat hubungan silaturahmi antara
para pepadu. Sebagai gantinya, permainan tradisional peresean kini dimainkan sebagai
hobi atau kesenangan, dan telah menjadi sebuah olahraga, permainan, bahkan atraksi
wisata yang dapat memberikan penghasilan atau mencari mata pencaharian.
Perkembangan zaman dan perubahan dalam masyarakat telah mempengaruhi
modifikasi dalam permainan tradisional peresean. Kebutuhan ekonomi masyarakat
meningkat, peluang kerja semakin banyak, dan semakin sulit bagi mereka untuk
menemukan pekerjaan. Oleh karena itu, olahraga permainan tradisional peresean dapat
menjadi cara untuk mencari penghidupan sebagai seorang pepadu.

Perubahan yang terjadi dalam tradisi peresean dipengaruhi oleh perkembangan


zaman dan pertumbuhan masyarakat. Hal ini menyebabkan kebutuhan ekonomi
menjadi semakin meningkat sementara lapangan pekerjaan semakin susah dan
masyarakat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Kondisi tersebut yang menjadikan
tradisi peresean ini menjadi salah satu jalan untuk mencari nafkah dengan menjadi
seorang pepadu.

Pertandingan peresean ini secara kasat mata terlhat bernuansa kekerasan


sehingga setiap orang susah diyakinkan bila permainan tersebut memiliki korelasi
dengan harmoni social dan nilai-nilai social baik lainnya. Namun bila dijelaskan secara
detail terkait dengan aturan dan beberapa etika dalam permainan tersebut maka akan
ditemukan korelasinya dengan nilai-nilai social tersebut. Pada bagian ini dijelaskan
secara integrative antara cara, ketentuan dan prosedur permainan peresean dengan
makna dan nilai social yang terkandung di dalamnya sehingga terlihat dengan jelas nilai-
nilai positif dari permainan peresean yang di identikan dengan konflik dan kekerasan
tersebut.
Meskipun sebagian besar permainan Peresean saat ini dimainkan untuk
bersenang-senang, namun jarang berubah menjadi kompetisi melalui penilaian tertentu.
Jika penilaian dilakukan, pemenang akan ditentukan antara lain dari berapa banyak
pukulan yang diterima lawan, seperti pukulan di kepala. Penanganan juara juga dengan
mengasumsikan pengaman atau rotan berjatuhan dari gagang pepadu berkali-kali, atau
dilihat dari adanya darah pada kumpulan salah satu pepadu. Sebuah tim khusus
biasanya memberikan obat minyak kepada Pepadu yang mengalami pendarahan. Kedua
pepadu itu berpelukan dan berjabat tangan usai pertarungan, menandakan bahwa
mereka tidak ada niat buruk satu sama lain.

Para pemuda suku Sasak memperoleh kekuatan dari permainan peresean,


khususnya dalam hal harga diri dan keterampilan bela diri untuk mengatasi rintangan
sosial. Peresean eksekusi yang dimaknai oleh masyarakat Sasak adalah sebagai media
yang dapat memberikan sifat mempersiapkan dan mendorong keinginan atau berani
atau membentengi keberanian, dan di dalamnya ada karakter pencipta, berhati besar
dan tajam dalam membuat hak, atau dalam kata-kata sebagai tempat xuntuk
menyiapkan mental dan kemahiran seorang pendekar. Sekalipun seseorang pandai
bermain, mereka masih dapat menemukan minat praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui bahasa Peresean, misalnya, generasi muda diajarkan bagaimana melindungi diri,
keluarga, masyarakat, dan kekayaannya dari para pencuri. Selain itu, sepanjang adanya
pengenalan permainan peresean sekitar itu masih banyak penipu atau penjarah
sehingga usia yang lebih muda harus berani menghadapi musuhnya.

a. Nilai Sosial

Nilai-nilai sosial tradisi peresean yang baik memerlukan sosialisasi yang luas
kepada masyarakat Sasak, khususnya para pemuda, atau pepadu, dan penggemarnya.
Agar pemuda Sasak tidak hanya mengapresiasi kesenian, olah raga dan hiburan tradisi
ini, perlu juga menyebarkan nilai-nilai sosial tersebut. Temuan penelitian Hilmi
menunjukkan bahwa makna permainan tradisional peresean telah berubah. Mereka
mengklaim bahwa kurangnya internalisasi dan sosialisasi makna pertunjukan Persia
bagi masyarakat dan generasi penerus menjadi penyebab pergeseran makna
pertunjukan Persia. Berkembangnya struktur pemaknaan baru di benak mereka yang
memaknai peresean sebagai sekedar hiburan menunjukkan pergeseran pemaknaan
tersebut. Menurut Hilmi dkk, upaya masyarakat melestarikan tradisi suku Sasak seperti
peresean tidak berjalan seiring dengan makna yang mereka lindungi. Alhasil, wajar jika
masyarakat umum dan anak-anak mereka mengetahui pertunjukan peresean yang
diadakan untuk memperingati hari besar nasional penting seperti kemerdekaan
Indonesia.14

b. Nilai Sportifitas

Nilai sportifitas dari Tarung Preseanini dapat terlihat dari aturan yang disepakati dan
harus ditaati oleh para petarung yaitu; seorang petarung tidaklah dibenarkan untuk
memukul lawan pada arah bagian bawah perut, point tertinggi diperoleh apabila
Pepaduberhasil memukul kepala lawannya hingga terluka mengeluarkan darah, Jika hal
tersebut terjadi pada salah satu petarung, berarti petarung tersebut dianggap K.O. dan
pertandingan tidak boleh di lanjutkan lagi jika salah satu Pepadu (petarung) mengeluarkan

14
Asyari, “Nilai-Nilai Sosial Di Balik ‘Konflik Dan Kekerasan.’”
darah, walaupun Pepadutersebut tidak mau menyerah.15

c. Nilai Pendidikan

Nilai Pendidikan dalam tradisi peresean adalah nilai yang membantu orang dapat lebih
baik, hidup bersama dengan orang lain dan dunianya (Learning to live together) untuk menuju
kesempurnaan. Nilai itu menyangkut berbagai bidang kehidupan seperti hubungan sesama
(orang lain, keluarga), diri sendiri (Learning to be), hidup bernegara, alam dunia, dan Tuhan.
Dalam penanaman moralitas tersebut unsur kognitif (pikiran, pengetahuan, kesadaran), dan
unsur efektif (perasaan) juga unsur psikomotor (perilaku).16

d. Nilai Hiburan

Nilai Hiburan merupakan segala hal yang dapat menjadi penghibur manusia yang paling
banyak dinikmati dalam setiap pelaksanaan tradisi persean.17

e. Nilai budaya

Menurut F.R. Siregar (2017), nilai budaya dapat dianggap sebagai upaya yang dilakukan
oleh pemimpin, masyarakat, atau lembaga pendidikan untuk mengembangkan nilai-nilai yang
ada di setiap individu dan masyarakat, dengan tujuan mencapai perubahan yang positif. Hal
ini memungkinkan kita untuk memahami kehidupan di dunia dengan adanya perubahan dalam
dua situasi dan kondisi yang dipelajari, yaitu sebelum dan setelah perubahan tersebut terjadi.
Dalam proses ini, terjadi perubahan yang signifikan. Selain itu, telah dilakukan upaya untuk
memberdayakan budaya lokal agar tetap lestari, sehingga dapat dinikmati oleh generasi
mendatang dan membentuk karakter yang kuat sesuai dengan ideologi Pancasila. Karakter
tersebut dapat diwujudkan melalui perubahan nilai-nilai yang terdapat dalam budaya yang
ada, dengan menjaga kesesuaian dengan ideologi Pancasila tanpa menyimpang.18

KESIMPULAN DAN SARAN

Tradisi Peresean adalah kesenian tradisional masyarakat Suku Sasak Lombok yang
mempertarungkan dua orang laki-laki (pepadu) dengan memakai senjata dari tongkat
rotan dan perisai. Dalam tradisi peresean mempunyai aturan atau awiq-awiq dan juga
sanksi dalam pelaksanaannya. Di masa lampau pertunjukan peresean dilakukan
khususnya ketika mau perang, karena peresean dilakukan untuk memilih para pepadu
yang kuat dan tangguh dalam medan pertempuran. Berbeda dengan sekarang ini,
pertunjukan peresean hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja, seperti, hari
ulang tahun desa ataupun kabupaten, acara perkawinan, pada musim paceklik, ulang
tahun kemerdekaan RI, ataupun dalam acara penyambutan tamu.

Tradisi peresean merupakan salah satu tradisi masyarakat Suku Sasak Lombok
yang dijadikan media untuk unjuk ketangguhan seorang laki-laki. Nilai-nilai yang
15
Yasa, “Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Budaya Tarung Presean Di Lombok Barat (Perspektif Agama Hindu).”
16
I. Wayan Sutama, “PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERMAINAN TRADISIONAL SASAK PERESEAN,”
Widyacarya: Jurnal Pendidikan, Agama Dan Budaya 5, no. 1 (2021): 79–88.
17
Edy Kurniawansyah and Igha Fattiyani Rodiatun, “Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Kegiatan Pekan Sabtu
Budaya di SMA Negeri 1 Keruak,” Jurnal Pengabdian Magister Pendidikan IPA 5, no. 2 (June 24, 2022): 290–94,
https://doi.org/10.29303/jpmpi.v5i2.1801.
18
Desy Ramadinah et al., “NILAI-NILAI BUDAYA DAN UPAYA PEMBINAAN AKTIVITAS KEAGAMAAN DI MTS N 1
BANTUL” 4 (2022).
terdapat dalam tradisi peresean adalah mengenai nilai-nilai tentang kehidupan seperti
nilai menghargai persaudaraan, persahabatan,

ekonomi, kekeluargaan, kepercayaan , budaya dan nilai seni. Sedangkan makna


dari tradisi peresean antara lain menunjukkan keberanian, ketangkasan dan kegagahan
seorang laki-laki, sebagai proses melatih ketangguhan, seni bela diri, semangat
sportivitas, penghargaan kepada diri, menjalin silaturrahmi, dan persahabatan.

Nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi peresean yaitu mengenai nilai-nilai tentang
kehidupan seperti nilai social, sportifitas, pendidikan, hiburan dan nilai budaya.

DAFTAR PUSTAKA
BIBLIOGRAPHY

BIBLIOGRAPHY
Ali Imran, W. H. (juni 2021). Nilai-Nilai Sportifitas Dalam Seni Pertunjukan Peresean
Masyarakat Sasak lombok, 1-4.

Lalu Hasan, A. (Mei 2020). MENGEKSPLORASI OLAHRAGA PERMAINAN TRADISIONAL


PERESEAN, 52-62.
Anar, Ashar Pajarungi, Nurul Kemala Dewi, Mohammad Archi Maulyda, and Nursaptini
Nursaptini. “Deskripsi Varian Permainan Tradisional Daerah Nusa Tenggara Barat.”
Progres Pendidikan 1, no. 3 (2020): 273–81.
Asyari, Akhmad. “Nilai-Nilai Sosial Di Balik ‘Konflik Dan Kekerasan’: Kearifan Suku Sasak Dalam
Tradisi Mbait Dan Peresean.” JURNAL PENELITIAN KEISLAMAN 18, no. 2 (2022): 101–14.
Anita rosiana, NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DI DALAM TRADISI RITUAL PENGOBATAN BEDIKEI
SUKU SAKAI DESA MUARA BASUNG KECAMATAN PINGGIR KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU , 2020
hal 15
Fauzi, Asri, Aisa Nikmah Rahmatih, Muhammad Sobri, Radiusman Radiusman, and Arif Widodo.
“Etnomatematika: Eksplorasi Budaya Sasak Sebagai Sumber Belajar Matematika Sekolah
Dasar.” JRPM (Jurnal Review Pembelajaran Matematika) 5, no. 1 (2020): 1–13.
Kurniawansyah, Edy, and Igha Fattiyani Rodiatun. “Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Kegiatan
Pekan Sabtu Budaya di SMA Negeri 1 Keruak.” Jurnal Pengabdian Magister Pendidikan
IPA 5, no. 2 (June 24, 2022): 290–94. https://doi.org/10.29303/jpmpi.v5i2.1801.
Munir, Usman. “KONSEP KEBIJAKAN PARIWISATA BERBASIS KERAKYATAN & IMPLIKASI
TERHADAP KESEJAHTERAAN (Studi Pariwisata Di Pulau Lombok).” Media Keadilan:
Jurnal Ilmu Hukum 13, no. 2 (2022): 305–17.
Pancor, IAI Hamzanwadi. “Tipe Kepribadian Sang Petarung Peresean Diantara Muslim Sasak:
Analisis Psiko-Sosio-Antropologis,” 2017.
Ramadinah, Desy, Farid Setiawan, Sintia Ramadanti, and Hassasah Sulistyowati. “NILAI-NILAI
BUDAYA DAN UPAYA PEMBINAAN AKTIVITAS KEAGAMAAN DI MTS N 1 BANTUL” 4
(2022).
Solikatun, Solikatun, and Drajat Tri Kartono. “Tradisi Maskulinitas Suku Sasak (Studi Tentang
Seni Pertunjukan Peresean).” Jurnal Analisa Sosiologi 9, no. 1 (n.d.).
Solikatun, Solikatun, Lalu Wirasapta Karyadi, and Ika Wijayanti. “Eksistensi Seni Pertunjukan
Peresean Pada Masyarakat Sasak Lombok.” SANGKéP: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan 2,
no. 1 (2019): 1–12.
Sutama, I. Wayan. “PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERMAINAN TRADISIONAL SASAK
PERESEAN.” Widyacarya: Jurnal Pendidikan, Agama Dan Budaya 5, no. 1 (2021): 79–88.
Yasa, I. Made Ardika. “Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Budaya Tarung Presean Di Lombok Barat
(Perspektif Agama Hindu).” Jurnal Penelitian Agama Hindu 4, no. 1 (2020): 34–51.
Zaini, Hilmi. “PERANCANGAN BUKU ETNOFOTOGRAFI BUDAYA PERESEAN LOMBOK.” Cilpa:
Jurnal Ilmiah Pendidikan Seni Rupa 6, no. 2 (2021): 50–57.

You might also like