Professional Documents
Culture Documents
1 (2018)
Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Self Efficacy Pada Remaja
Awal
Abstract
2455
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.7 No.1 (2018)
Pendahuluan
Masa remaja merupakan masa yang tidak dapat dilupakan sepanjang fase
perkembangan setiap individu. Remaja merupakan masa dimana mereka menitik
beratkan prestasi belajar mereka serta remaja memiliki tujuan untuk
mempersiapkan diri dan beralih ke masa dewasa (Santrock, 2007).
Pertumbuhan remaja yang dari anak menuju dewasa membuat lingkungan
atau masyarakat mulai mengharapkan agar remaja bersikap sebagai orang yang
dewasa, antara lain seperti meningkatkan ketekunan, kemandirian, serta tanggung
jawab dalam kehidupannya khususnya dalam hal belajar. Perolehan prestasi
belajar yang rendah tidak akan terjadi apabila siswa terlepas dari hambatan dan
ganguan yang berasal dari dalam diri (internal) ataupun dari luar siswa (eksternal).
Masa remaja bersekolah adalah masa-masa dimana remaja malas untuk
melakukan kegiatan belajar di sekolah. Ada beberapa faktor yang membuat anak
menjadi malas untuk bersekolah seperti : beban yang diberikan oleh sekolah
terlalu banyak dan berat membuat remaja merasa tidak yakin akan kemampuan
yang dipunyainya, sistem belajar yang ada di sekolah tidak menarik, remaja tidak
menyukai pelajaran yang diberikan, orang tua tidak memberikan panutan dan
tidak memberikan nasehat yang tepat pada anak. Hal-hal tersebut dapat membuat
remaja tidak yakin tentang kemampuan dirinya dalam menyelesaikan tugas-tugas
disekolah atau tidak memaksimalkan peran mereka dalam bersekolah.
Pada remaja awal terlalu sering menetapkan standar yang terlalu tinggi,
yang dianggap sempurna, sehingga bila tidak dapat dicapai maka akan sangat
mempengaruhi self efficacy yang dimiliki oleh remaja tersebut. Malender (2002)
menyatakan bahwa self efficacy adalah sebuah keyakinan akan kemampuan diri
sendiri mengorganisasi sumber-sumber yang dimiliki untuk menghadapi situasi
dalam hidup.
Keyakinan akan kemampuan diri sendiri untuk memproduksi perilaku
yang dibutuhkan untuk menghadapi masa sulit itu disebut self efficacy.
Salah satu yang mempengaruhi keyakinan remaja adalah orang tua.
Seberapa yakin orang tua terhadap anak membuat anak memiliki self efficacy
yang berbeda-beda. Pada remaja self efficacy sudah muncul pada usia 11 tahun
2456
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.7 No.1 (2018)
(Santrock, 2003). Kepercayaan akan kemampuan diri sendiri (yang biasa disebut
self efficacy) dipengaruhi oleh banyak hal antara lain yaitu adanya pengaruh
kepercayaan dari orang tua, status sosial ekonomi, pengaruh teman dan prestasi
yang diperoleh. Orang tua yang mempercayai kemampuan yang dipunyai oleh
anak, akan mempengaruhi kesuksesan anak.
Bell & Kozlowiski (2002) menyatakan pada penelitiannya tujuan orientasi
seseorang sangat dipengaruhi oleh self efficacynya. Self efficacy juga
mempengaruhi ketekunan remaja dalam menyelesaikan masalahnya. Masalah-
masalah yang terjadi dikalangan remaja ketika berada di sekolah berorientasi pada
prestasi yang ingin dicapai oleh remaja, seperti menginginkan nilai yang terbaik
dibandingkan dengan teman-temannya, remaja mengharapkan untuk dapat
menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru, dan
masih banyak lagi. Self efficacy telah ditemukan untuk dihubungkan dengan
prestasi akademik dan kinerja (Salami & Ogundokun, 2009). Menurut Papalia
(2009) menyatakan, siswa yang memliki self efficacy yang tinggi adalah siswa
yang percaya bahwa dia dapat menguasai tugas-tugas dan meregulasikan cara
belajarnya sendiri. Hal tersebut dikarenakan siswa tersebut akan selalu merasa
mampu dalam menyelesaikan tugas akademiknya.
Lingkungan yang paling berpengaruh dalam kehidupan anak adalah orang
tua (Trittin & Lawrence, 2014). Kondisi dimana sekarang banyak orang tua
disibukkan dengan pekerjaan diluar rumah menyebabkan interaksi antara orang
tua dengan anak berkurang atau terbatas, sedangkan pola asuh orang tua yang baik
di identifikasikan dengan adanya perhatian dan kehangatan dengan cara orang tua
mengasuh dan menjalin hubungan interpersonal dengan anak yang didasari
dengan perhatian, penghargaan dan kasih sayang. Baumrind (dalam Santrock,
2006) menyatakan bahwa lingkungan yang sangat berperan dalam kehidupan
remaja adalah keluarga.
Ada 2 dimensi yang mendasari perilaku orang tua dalam mengasuh anak
menurut Maccoby & Martin (1983, dalam Steinberg, 2002), yaitu responsiveness
dan demandingness. Parental responsiveness menunjukkan tingkat orang tua
dalam menanggapi kebutuhan anak seperti menerima anak apa adanya dan
2457
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.7 No.1 (2018)
2458
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.7 No.1 (2018)
orang tua yang sangat demanding tetapi tidak responsive. Orang tua yang tidak
responsive dan tidak demanding adalah orang tua dengan tipe neglectful
(Santrock, 2003).
Hipotesis
Adanya hubungan antara self efficacy dengan pola asuh orang tua pada
remaja awal.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan populasi siswa SMP yang berada pada tahap
remaja awal. Siswa SMP yang dilibatkan dalam penelitian ini berjenis kelamin
laki-laki maupun perempuan yang berusia 12 tahun sampai 15 tahun.
Skala self efficacy ini digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari alat
ukur yang dibuat oleh Vereswati (2007). Self efficacy dinyatakan dalam skor yang
diperoleh dari skala yang diisi oleh subjek dengan menggunakan demensi tingkat
(level/ magnitude), keadaan umum (generality), dan kekuatan (strength). Angket
self efficacy menggunakan empat skala Likert, dikarenakan pengukuran self
efficacy merupakan pengukuran terhadap performansi tipikal (typical
performance).
Skala pola asuh ini digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari alat ukur yang
dibuat oleh Gafoor dan Kurukkan (2014). Angket ini menggunakan skala Likert
yang memiliki lima kategori jawaban, akan tetapi peneliti menghilangkan jawaban
ragu-ragu karena hal tersebut akan membuat subjek cenderung memilih jawaban
tersebut dan membuat hasilnya kurang dapat menggambarkan kondisi yang
sebenarnya. Angket ini diujikan pada 832 siswa SMA di kota Kerala, India dan
memiliki realibilitas 0,81-0,9 dan validitas 0,76-0,8.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil uji korelasi non parametrik Spearman antara pola asuh
dengan self efficacy pada masa remaja awal, diperoleh hasil bahwa pola asuh
memiliki hubungan yang signifikan positif dengan self efficacy yang memiliki
nilai koefisien korelasi r = 0,363 dan signifikansi 0,000 (p<0.05). Berdasarkan
hasil uji korelasi, menunjukkan adanya hubungan yang signifikan positif antara
aspek pola asuh responsiveness dengan self efficacy (r = 0,273; sig= 0,004 <
2459
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.7 No.1 (2018)
0.05). Pada hasil uji aspek demandingness dengan self efficacy terdapat hubungan
yang signifikan (r = 0,368 dan sig = 0,000 < 0.05). Hal tersebut menunjukan
hubungan yang positif, semakin tinggi responsiveness dan demandingness yang
dipunyai oleh orang tua semakin tinggi juga self efficacy yang dipunyai oleh
remaja. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan
oleh Tam, Chong, Kadirvelu dan Khoo (2012), yang mengatakan bahwa ada
hubungan signifikan antara pola asuh dan self efficacy pada kalangan remaja.
Hubungan tersebut dikatakan signifikan dikarenakan kualitas hubungan antara
orang tua dengan remaja mempunyai kualitas yang baik.
Pola asuh dengan self efficacy pada masa remaja awal, diperoleh hasil
bahwa pola asuh memiliki hubungan yang signifikan positif dengan self efficacy.
Hal tersebut menunjukan hubungan yang positif, semakin tinggi responsiveness
dan demandingness yang dipunyai oleh orang tua semakin tinggi juga self efficacy
yang dipunyai oleh remaja. Hubungan tersebut dikatakan signifikan dikarenakan
kualitas hubungan antara orang tua dengan remaja mempunyai kualitas yang baik.
Sebagian besar subjek penelitian memiliki orang tua yang mayoritasnya
menerapkan responsiveness dan demandingness seimbang. Ketika orang tua
memiliki responsiveness dan demandingness seimbang akan membentuk pola
asuh authoritative (tabel 4.26, halaman 43). Pola asuh authoritative membuat
remaja belajar untuk bertindak dengan keyakinan diri yang tinggi terhadap
konsekuensi yang akan dialami, dan mereka dapat berinteraksi sosial dengan baik.
Dari data yang ada, sebagian besar subjek menginginkan nilai yang cukup tinggi
yaitu 90-100 (sebanyak 79,4%). %). Hal ini sejalan dengan penelitian Baumrind
(dalam Chandler, Heffer & Turner, 2009) yang menyatakan bahwa remaja dengan
pola asuh authoritative adalah remaja yang paling memiliki self efficacy yang
tinggi, kompeten, dan berorientasi pada prestasi. Berdasarkan wawancara pada 4
orang anak, mereka merasa sangat senang jika mendapat nilai 100 dan membuat
remaja semakin terdorong untuk terus belajar.
Orang tua yang responsiveness adalah orang tua yang terlibat langsung
dalam kehidupan anak, terjadi diskusi terbuka serta ada give and take secara
verbal (Berk, 2003). Dari hasil uji korelasi aspek responsiveness mempunyai
2460
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.7 No.1 (2018)
hubungan yang signifikan dengan self efficacy, dan hal tersebut menjelaskan
bahwa orang tua selalu mendukung anak. Responsiveness yang diberikan orang
tua juga menghasilkan ikatan yang kuat dengan anak (Hong & Park, 2012). Eshel,
Daelmans, De Mello, & Martines (2006) juga mengatakan bahwa responsiveness
yang diberikan orang tua kepada anak menghasilkan kehangatan dan hubungan
yang saling percaya satu sama lain, yang mengarah pada rasa ingin tahu yang
tinggi dan gigih.
Pada aspek demandingness dengan self efficacy memiliki hubungan yang
sejalan, yaitu semakin tinggi demandingness semakin tinggi self efficacy yang
dipunyai oleh remaja. Hal tersebut dapat dilihat bahwa orang tua masih
menunjukkan harapan dan tuntutan yang tinggi terhadap anak untuk mendapatkan
prestasi yang baik. Sebanyak 72,9% dimana orang tua subjek akan marah ketika
subjek mendapatkan nilai yang jelek atau mendapatkan prestasi yang rendah, hal
tersebut menunjukkan bahwa orang tua subjek memberikan tuntutan untuk
mendapatkan nilai yang baik dan dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek
memiliki target yang cukup tinggi dalam prestasinya di sekolah.
Aspek tingkatan memiliki korelasi dengan dengan responsiveness (sig:
0,010) dan demandingness (sig: 0,001). Hal tersebut dapat dikatakan berhubungan
karena orang tua memberikan dukungan, memberikan standar yang tepat kepada
remaja dan memberikan peraturan kepada anak dari semua hal tersebut membuat
remaja dapat mengatasi setiap taraf kesulitan tugas yang ada disekolah. Aspek
generalitas tidak berkorelasi dengan responsiveness dan demandingness
dikarenakan konsep self efficacy seseorang tidak terbatas pada situasi spesik,
sedangkan pada penelitian ini mengukur tentang self efficacy pada akademik.
Pada aspek self efficacy aspek generalitas berada pada kategori yang tinggi
sebanyak 60 orang (56,1 %), hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
subjek dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki oleh individu pada
bidang yang lain, bukan hanya dalam satu bidang saja akan tetapi diberbagai
bidang dengan cara memberikan dorongan dan keyakinan kepada subjek.
Self efficacy yang dimiliki oleh sebagian besar subjek dalam penelitian ini
tergolong sedang dan tinggi. Bandura & Chervone (dalam Chemers, 2002)
2461
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.7 No.1 (2018)
mengatakan individu yang mempunyai self efficacy yang tinggi akan mendorong
individu melakukan usaha yang besar dalam menyelesaikan tugas.
Zimmerman (dalam Bandura, 1997) berpendapat bahwa perbedaan pada
kemampuan dan kompetensi laki-laki dan perempuan. Menurut Bandura (1997)
perbedaan jenis kelamin berpengaruh terhadap self efficacy, pada jenis kelamin
perempuan memiliki self effiacacy yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Penelitian ini tidak sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Bandura,
dimana laki-laki memiliki self efficacy yang lebih tinggi daripada perempuan.
Pada penelitian ini, remaja laki-laki memiliki kategori yang tinggi pada self
efficacy, sedangkan pada remaja perempuan pada kategori yang sedang (tabel
4.27, halaman 43). Pada penelitian ini, remaja awal laki-laki memiliki self efficacy
yang lebih tinggi daripada perempuan.
Pada prestasi belajar yang dipunyai oleh sebagian subjek penelitian berada
pada kategori baik dan cukup yang masing-masing sebanyak 53 orang (49,5 %),
dan jika prestasi belajar subjek dibandingkan dengan saudara kandung subjek
sebagian besar berada pada kategori yang sama sebanyak 59 orang (55,1 %).
Kesimpulan
Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang
signifikan positif antara pola asuh dengan self efficacy pada remaja awal.
Semakin responsiveness dan demandingness tinggi pada pola asuh yang dipunyai
oleh orang tua maka semakin tinggi self efficacy yang dipunyai oleh remaja.
Sebagian besar subjek penelitian ini mempunyai orang tua yang menggunakan
jenis pola asuh authoritative, dimana pola asuh ini mempunyai responsiveness
dan demandingness yang sama-sama tinggi authoritative membuat remaja belajar
untuk bertindak dengan keyakinan diri yang tinggi terhadap konsekuensi yang
akan dialami, dan mereka dapat berinteraksi sosial dengan baik. Pada penelitian
ini self efficacy sebagian besar subjek tergolong sedang hingga tinggi.
2462
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.7 No.1 (2018)
Saran
Dari hasil penelitian ini, ada beberapa saran yang dapat diberikan yaitu
Saran untuk orang tua yaitu orang tua diharapkan untuk mempertahankan pola
asuh yaitu responsiveness dan demandingnessnya yang seimbang terhadap anak
untuk mengembangkan keyakinan (self efficacy) akan kemampuannya pada
remaja. Saran bagi penelitian selanjutnya yaitu membuat kuesioner pola asuh
yang diisi oleh kedua orang tua untuk mengetahui pola asuh apa yang diterapkan
oleh kedua orang tua. Selain itu bisa dilakukan penelitian kepada anak-anak dan
remaja akhir. Penelitian selanjutnya juga dapat meneliti tentang perbedaan urutan
kelahiran yang mempengaruhi self efficacy pada remaja.
Acuan Pustaka
Bandura, A. (1997). Self Efficacy: The Exercise of Control. United States :
Freeman and company
Bell, S. & Kozlowski, S. (2002). Goal Orientation and Ability : Interactive Effects
on Self Efficacy, Performance and Knowledge. Journal of Applied
Psychology , 87, 497-516.
Berk, L. E. (2003). Child Development 6th ed. Boston: Allyn and Bacon.
Chemers, M. M., Hu, L., & Garcia, B. F. (2001). Academic self-efficacy and first-
year college student performance and adjustment. Journal of Educational
Psychology, 93(1), 55-64.
Eshel, N., Daelmans, B., De Mello,M. C., & Martines J. (2006). Responsive
Parenting : Interventions and Outcomes. Bull World Health Organization , 84
(12), 991-998.
Gafoor, A. & Kurukkan, A. (2014). Construction and Validation of Scale of
Parenting Style. Behavioral and Social Sciences , 2 (4), 315-323.
Hong, Y. R. & Park, J. S. (2012). Impact of Attachment, Temprament and
Parenting on Human Development. Korean Journal of Pediatrics, 55 (12),
449-454.
Malender, K. (2002) Addressing self-efficacy in the outline enviroment. Diambil
25 November 2016, dari www.wholelifeed.com/selfefficacy.html
Papalia, D,E,. Old, S.W,. Feldman, R.D. (2009). Human Development
Perkembangan Manusia. Edisi 10 Buku 2. Jakarta. Salemba Humanika.
2463
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.7 No.1 (2018)
Salami, S.O., & Ogundokun, M.O. (2009). Emotional intelligence and self-
efficacy as predictors of academic performance. Perspectives in Education,
25 (3), 175-185.
Santrock, J.W. (2003). Adolescence : Perkembangan Remaja (Benedictine
Widyasinta, Pengalih bahasa). Jakarta : Erlangga.
Santrock, J.W. (2007). Child Development. 11th edition. New York : McGraw-
Hill Companies, Inc.
Steinberg, L. (2002). Adolescence. New York: McGraw-Hill.
Trittin, D., & Lawrence, A. (2014). Parents, Are You Ready to Launch?. Jakarta:
Kesaint Blanc.
Vereswati, H. (2007). Perbedaan Self Efficacy Remaja Ditinjau Dari Urutan
Kelahiran. Skripsi, tidak diterbitkan, Fakultas Psikologi Universitas
Surabaya, Surabaya.
Referensi
Al-Mighwar. (2006). Psikologi Remaja : Petunjuk bagi Guru dan Orangtua.
Bandung : Pustaka Setia.
Ali, M. & Asrori. (2011). Psikologi Remaja – Perkembangan Peserta Didik. Edisi
7. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Andayani. B., & Koentjoro. (2004). Psikologi Keluarga, peran ayah menuju
coparenting. Sidoarjo: Citra Media.
Azwar, S. (2003). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action. Englewood Cliffs,
NJ: Prentice Hall.
Bandura, A., & Jourden, F. J. (1991). Self – Regulatory mechanisms govering the
impact of social comparision on complex decision making. Journal of
Personality and Social Psychiligy, 60, 941-951
Baron, Robert A. & Donn Byrne (2000). Social Psychology (9th edition). USA:
Allyn & Bacon.
Chandler, M., Heffer, R. W., & Turner, E. A. (2009). The Influence of Parenting
Style, Achievement Motivation, and Self-efficacy on Academic Performance
in College Students. Journal of College Student Development, 50 (3), 337-
339.
Dacey (2001). Child Development 5th ed. Massachusetts : Allyn & Bacon
Dariyo. A. (2007). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Refika Aditama
2464
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.7 No.1 (2018)
2465
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.7 No.1 (2018)
2466