You are on page 1of 79

NASKAH AKADEMIK PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

KERJA SAMA ANTARA

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya akhirnya
penyusunan “Naskah Akademik Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di Maluku Utara”,
dapat diselesaikan.

Naskah Akademik ini memuat dasar-dasar pertimbangan dalam Penyelenggaraan


Kesejahteraan Sosial di Provinsi Maluku Utara, dari dimensi teoretik maupun normatif
dengan mempertimbangkan kondisi empirik dan kebutuhan Provinsi Maluku Utara saat ini
dan di masa mendatang. Selain itu, dalam naskah ini juga dimuat desain pengaturan dan
pelayanan teknis lainnya sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan
pengaturan dan pelayanan dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di Maluku
Utara.

Kami menyadari bahwa Naskah Akademik ini masih mengandung banyak


kekurangan/kelemahan. Oleh karena itu, saran atau masukan yang konstruktif sangat
diharapkan akan diterima dengan senang hati sebagai penyempurnaan Naskah Akademik
ini.

Harapan kami, mudah-mudahan kajian ini dapat menjadi bahan pertimbangan


yang obyektif, ilmiah, dan rasional dalam menetapkan kebijakan Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial di daerah ini.

2
Ternate, …….. Juni 2017

TIM PENELITI UMMU

KETUA,

Dr. Saiful Deni, M.Si,

3
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................ i

DAFTAR ISI .................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………… 1

1.1. Latar Belakang ......................................................... 1

1.2. Identifikasi Masalah .................................................. 3


1.3. Tujuan dan Kegunaan ……………………………………………………. 4
1.4. Metode Pendekatan…………………………………………………………. 6

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIS EMPIRIS……………….. 9

2.1. Kajian Teoritis …………………………………………. ..................... 9


2.2. Kajian Praktis Empiris…………………………………………………….. 17

BAB III. EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


TERKAIT………………………………. .................................... 22

3.1. Beberapa Peraturan Perundang –Undangan Terkait……. 25

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS... 41

4.1. Landasan Fiolosofis…….............................................. 41


4.2. Landasan Sosiologis.. ………………………………………………….... 46
4.3. Landasan Yuridis …………………………………………………… ........ 49

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI


MUATAN PERATURAN DAERAH…………………………. 52

4
BAB VI PENUTUP…………………………………………………………….... 63

6.1. Kesimpulan……………………………………………………………………. . 63
6.2. Saran………………………………………………………………………………… 64

DAFTAR PUSTAKA. ........................................................................ 65

LAMPIRAN – LAMPIRAN

a. Data Rekapitulasi Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Per


Provinsi Tahun 2012 Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial,
Kementerian Sosial Republik Indonesia
b. Draft Rancangan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial

5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Pembangunan yang sementara berlangsung, sekurang-kurangnya


telah memberikan berbagai implikasi penting bagi kelangsungan hidup
masyarakat Maluku Utara. Pembangunan di maksud tidak hanya
mencakup persoalan fisik semata, namun juga pembangunan non-fisik.
Keduanya saling berkelindan dan saling memengaruhi. Pada aspek
pembangunan fisik, telah terjadi perubahan pada kondisi geografis, di
mana telah tersedianya infrastruktur serta sarana pendukung yang
memudahkan masyarakat untuk dapat mengakses kebutuhan sosial
ekonominya. Namun, pembangunan fisik tersebut, tidak serta merta
mendorong peningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat Maluku Utara.
Hal ini amat terkait dengan pembangunan non-fisik, yakni pembangunan
yang lebih bertumpu pada dimensi : rasa aman, rasa nyaman, rasa
keadilan, dan rasa saling menghargai yang belum sepenuhnya tercipta di
tengah masyarakat, yang secara keseluruhan hal itu membutuhkan
kepastian jaminan atas masa depan masyarakat.

Tentunya, negara, dalam hal ini pemerintah wajib memberikan rasa


aman dan rasa nyaman, serta rasa keadilan bagi seluruh masyarakat
tanpa diskriminatif, di tengah gencarnya pembangunan fisik. Tingginya
angka kemiskinan; ketelantaran; kecacatan; keterpencilan; ketunaan
sosial dan penyimpangan perilaku; korban bencana; dan/atau korban
tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, masih ditemukan di
tengah masyarakat yang jauh dari

6
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial merupakan upaya yang
terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna
memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan
perlindungan sosial. Kesejahteraan sosial adalah suatu kondisi
terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar
dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya dengan lebih baik.

Karena itu, penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang meliputi :


rehabilitasi sosial; jaminan sosial; pemberdayaan sosial; dan
perlindungan sosial, harus menjadi mata rantai bagi upaya pemerintah
daerah untuk meningkatkan tingkat kehidupan masyarakat di Maluku
Utara, tanpa harus mengabaikan faktor yang lain.

Pembangunan sosial budaya merupakan substansi dari seluruh


pembangunan yang harus diperjuangkan, karena itu, pembangunan
apapun tidak pernah boleh bebas nilai, jadi tidak boleh bersifat
relativistik. Intinya, karena kehidupan sosial artinya kehidupan bersama,
maka kata kunci “kehidupan bersama yang baik” adalah: kesetaraan,
keadilan, kerjasama, kerukunan, kepedulian, tidak memisah-misahkan
(inklusif). Kualitas pembangunan lebih ditentukan dari kehidupan sosial
yang inklusif (setara dan seimbang).

Inti Pembangunan Sosial Budaya adalah “inklusi sosial” yaitu:


jaminan kesempatan bagi semua warga masyarakat untuk memperoleh
kebutuhan yang paling dasar seperti kebutuhan fisik, status sosial,
kekuasaan serta hak-hak dasar sebagai manusia untuk dapat
berpartisipasi dalam kehidupan sebagai warga masyarakat

7
1.2. Identifikasi Masalah

Pemerintah melalui UU No. 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan


sosial menegaskan bahwa negara bertanggungjawab atas
penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang ditujukan kepada
perseorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat, di mana
penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi rehabilitasi sosial, jaminan
sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.

Negara juga bertanggungjawab untuk memulihkan dan


mengembangkan kemampuan warganya yang mengalami disfungsi sosial
agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara berkesinambungan dan
wajar. Tidak hanya itu, negara juga bertanggung jawab untuk
memberikan jaminan bagi warga masyarakat yang menyandang masalah
ketidak-mampuan sosial-ekonomi sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya.

Demikian halnya dengan memberdayakan kehidupan masyarakat


yang mengalami persoalan ketidak mampuan sosialnya sehingga dapat
memenuhi kebutuhan dasariahnya secara mandiri, menjadi tanggung
jawab negara dalam hal ini pemerintah.

Pada sisi yang lain, negara juga berhak untuk mencegah dan
menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang,
keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya
dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.

Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah masih tingginya tingkat


kemiskinan di tengah masyarakat. Pemerintah harus dapat
menanggulangi persoalan kemiskinan yang ada melalui kebijakan,
program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga,
kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai

8
sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang
layak bagi kemanusiaan.

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dapat dirumuskan 3 (tiga)


pokok masalah, sebagai berikut :

1. Permasalahan hukum apakah yang dihadapi sebagai alasan


pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Maluku Utara
tentang Kesejahteraan Sosial ?
2. Apakah yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi Maluku Utara tentang Kesejahteraan Sosial ?
3. Apakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi Maluku Utara tentang Pelayanan Publik ?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik

Maksud dari penyusunan naskah akademik ini adalah memberikan


landasan pemikiran obyektif dan komperhensif tentang kesejahteraan
sosial masyarakat Provinsi Maluku Utara, memberikan arah yang jelas
bagi kelangsungan hidup masyarakat yang memiliki ketidakmampuan
sosial-ekonomi, serta sebagai landasan adanya kepastian, jaminan,
pemberdayaan, dan perlindungan sosial bagi kehidupan masyarakat
yang taraf hidupnya meningkat berdasarkan konteks sosialnya.
Adapun tujuan dan kegunaan dari penyusunan Naskah
Akademik ini adalah sebagai berikut :

9
1.3.1. Tujuan

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang


dikemukakan di atas, maka tujuan penyusunan Naskah Akademik
dirumuskan sebagai berikut:

1. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan


pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Maluku Utara
tentang Kesejahteraan Sosial.

2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,


yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
Maluku Utara tentang Kesejahteraan Sosial.

3. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup


pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi Maluku Utara tentang Kesejahteraan
Sosial.

1.2.2. Kegunaan

Kegunaan dari Penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai


berikut :

a. Sebagai dasar konseptual dalam penyusunan pasal pasal dan


penjelasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Kesejahteraan
Sosial Provinsi Maluku Utara
b. Sebagai landasan pemikiran bagi anggota DPRD dan
Pemerintah Daerah dalam pembahasan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Kesejahteraan Sosial di Provinsi Maluku Utara

10
c. Sebagai rujukan bagi semua pihak, DPRD, serta Pemerintah
Daerah dalam hal ikhwal Kesejahteraan Sosial Provinsi Maluku
Utara

1.4. Metode Pendekatan

Penyusunan Naskah Akademik ini pada dasarnya merupakan


suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah Akademik - digunakan
metode yang berbasiskan metode penelitian hukum. (Irianto dan
Sidharta, 2009:177-178)

1.4.1. Jenis Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat dua model jenis penelitian


(Soemitro, 1985 : 9), yaitu :

a. Metode penelitian hukum normative atau penelitian doctrinal,


mempergunakan data sekunder berupa ; peraturan perundang-
undangan, keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana
hukum terkemuka, Analisis data sekunder dilakukan secara
normative kualitatif yaitu yuridis kualitataif.

b. Metode penelitian hukum sosiologis/empiris, mempergunakan


semua metode dan tehnik-tehnik yang lasim dipergunakan di
dalam metode-metode penelitian ilmu-ilmu sosial/empiris.

Bertitik tolak dari pemasalahan yang diangkat dalam kajian ini,


maka jenis penelitian dalam kajian ini mempergunakan penelitian hukum
normative. Dalam beberapa kajian jenis penelitian seperti ini juga disebut
dengan penelitian dogmatik. (Gijsels dan Hocke, 2005:109-110). Dalam
penelitian hukum normatif, untuk mengkaji persoalan hukumnya

11
dipergunakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum
primer (primary sources or authorities) bahanbahan hukum sekunder
(secondary sources or authorities) dan bahan hukum tersier (tertier sources
or authorities). Bahan-bahan hukum primer dapat berupa peraturan
perundang-undangan, bahan-bahan hukum sekunder dapat berupa
makalah, buku-buku yang ditulis oleh para ahli dan bahan hukum tersier
berupa kamus bahasa hukum dan kamus bahasa Indonesia.

1.4.2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian hukum normative ada beberapa metode


pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical
approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan
historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach),
dan pendekatan kasus (case approach) (Marzuki, 2005 : 93-137)

Dalam penelitian ini digunakan beberapa cara pendekatan untuk


menganalisa permasalahan. Dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus
(case approach) dan pendekatan konsep hukum (conceptual approach).

Pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan


dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut
dengan kesejahteraan sosial. Pendekatan konsep hukum (conceptual
approach) dilakukan dengan menelaah pandangan-pandangan mengenai
kesejahteraan sosial sesuai dengan penelitian ini. Di samping itu
digunakan pendekatan kontekstual terkait dengan penerapan hukum
dalam suatu waktu yang tertentu.

12
Karena itu, Naskah Akademik ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut : (1) Yuridis Normatif, yaitu melalui studi pustaka yang
menelaah tentang peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
dan lainnya. Dilengkapi dengan diskusi. (2). Yuridis Empiris,
merupakan metode dengan mengumpulkan sumber data primer yang
dilanjutkan dengan observasi untuk mendapatkan fakta non Hukum yang
terkait dan berpengaruh terhadap Kesejahteraan Sosial di Provinsi
Maluku Utara.

13
BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

2.1. Kajian Teoritis

Kajian ini akan menjelaskan tentang pokok-pokok pikiran


yang terkait dengan kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial dapat
dilihat dalam tiga sudut pandang, yakni :

2.1.1 Kesejahteraan Sosial sebagai suatu Kondisi

Sebagai suatu kondisi atau keadaan, kesejahteraan sosial dapat


dicermati dari rumusan UU No. 11 tahun 2009 Pasal 1 Ayat 2 :

"Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya


kebutuhan hidup yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu
mengembangkan diri dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya
yang dapat dilakukan pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial yang meliputi
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan
perlindungan sosial".

Sebelumnya, dalam rumusan UU No. 6 tahun 1974, tentang


Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Pasal 2 ayat 1
dijelaskan :

14
"Kesejahteraan sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan
sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa
keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin, yang
memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniahm dan
sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat
dengan menunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia
sesuai dengan Pancasila."

Dari rumusan di atas, penggambaran kesejahteraan sosial sebagai


suatu keadaan yang ideal, merupakan suatu tatanan (tata kehidupan)
yang meliputi kehidupan material maupun spiritual, dengan tidak
menempatkan satu aspek lebih penting dari aspek lainnya, namun
mencoba melihat pada upaya mendapatkan suatu keseimbangan.

Keseimbangan di maksudkan merupakan keseimbangan antara


aspek jasmani dan rohani, maupun keseimbangan antara aspek material
dan spiritual.

2.1.2 Kesejahteraan Sosial sebagai Suatu Kegiatan


Sebagai suatu kegiatan, pengertian kesejahteraan sosial dapat
terlihat dari definisi yang antara lain dikemukakan oleh Friedlander
(1980) yang dikutip Adi (2003:45), dengan menyatakan :

"Kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir atas


pelbagai institusi dan usaha-usaha kesejahteraan sosial yang
dirancang untuk membantu individu atau pun kelompok agar dapat
mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan"

15
Sekalipun tidak secara eksplisit dinyatakan kesejahteraan sosial
sebagai suatu kegiatan, namun pengertian yang dikemukakan di atas
setidaknya menggambarkan kesejahteraan sosial sebagai suatu
pelayanan (kegiatan) yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Sekalipun juga dinyatakan bahwa target dari kegiatan
tersebut adalah individu dan kelompok, namun dalam pengertian yang
lebih luas, pengertian di atas juga melihat masyarakat sebagai suatu
totalitas.

2.1.3. Kesejahteraan Sosial sebagai Suatu Gerakan

Sebagai suatu gerakan, isu kesejahteraan sosial sudah tersebar


luas, dan menjadi suatu gerakan tersendiri ke seluruh dunia yang
bertujuan memberitahukan kepada masyarakat dunia bahwa masalah
kesejahteraan sosial merupakan hal yang perlu diperhatikan secara
saksama oleh masyarakat dunia, baik secara global maupun mondial.
Karena itu, muncullah berbagai macam gerakan dalam wujud organisasi
lokal, regional, maupun internasional yang berusaha menangani
persoalan-persoalan kesejahteraan sosial.

Salah satu pengertian yang dikemukakan oleh Pre-Conference


Working Committee for the 15th International Conference of Social Welfare,
mungkin dapat digunakan sebagai landasan untuk memandang
kesejahteraan sosial sebagai suatu gerakan yang global. Berikut
pengertian tersebut :

"Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang


terorganisir dan memiliki tujuan utama untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya
tercakup pula unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang

16
terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat, seperti
pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan,
rekreasi, tradisi budaya, dan lain sebagainya."

Kaitan dengan rumusan di atas, dapat dikatakan, bahwa gerakan-


gerakan yang membahas isu-isu kesejahteraan sosial di tingkat dunia,
pada sisi yang lebih jauh dapat memberikan pengaruh pada gerakan
organisasi-organisasi Pemerintah dan Non-Pemerintah pada tingkat
regional, nasional, maupun lokal.

Kesejahteraan sosial sangat terkait dengan pembangunan sosial-


budaya. Dalam kaitan itu, kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi,
merupakan sasaran jangka panjang dari upaya pembangunan sosial
budaya. Sedangkan kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan,
kesejahteraan sosial mewujudkan diri dalam berbagai usaha
kesejahteraan sosial yang dikembangkan untuk membantu,
mengembangkan, dan mendukung terciptanya taraf hidup individu,
keluarga, atau pun masyarakat.

Adapun kesejahteraan sosial sebagai suatu gerakan dikaitkan


dengan pembangunan sosial adalah suatu gerakan yang mewujudkan diri
dalam bentuk organisasi pelayanan masyarakat (human service
organization) yang mengembangkan berbagai bentuk pelayanan sosial dan
usaha kesejahteraan sosial, baik pada tingkat lokal, regional, nasional,
maupun internasional.

Konsep Pembangunan Sosial-Budaya memiliki cakupan yang jauh


lebih luas dan sekaligus lebih substansial dan mendasar ketimbang
pembangunan yang hanya bersifat sektor. Pembangunan sosial tidak bisa
direduksi sebagai sektor, karena semua bidang kehidupan manusia
(mulai bidang ekonomi, politik, perdagangan, hukum, industri, dan

17
sebagainya) berlandaskan pada kehidupan sosial-budaya. Pembangunan
sosial-budaya merupakan pembangunan elemen societal yang paling
mendasar. Sementara itu, pembangunan sektoral tanpa pembangunan
societal tidak akan menjamin sustainability (kelangsungan). Seringkali
pembangunan sektor yang “lemah” (misalnya sektor pendidikan)
dijadikan lips service agar mayoritas rakyat merasa senang, sementara
kondisi societal (struktur, kultur, proses) yang tidak adil, tetap
dipertahankan demi kepentingan kekuasaan atau proyek.

Terkait dengan istilah Pembangunan Sosial, Midgley (1995:25)


mendefinisikan pembangunan sosial sebagai : "a process a planned social
change designed to promote the well-being of the population as a whole in
conjunction with a dynamic process of economic development" (terjemahan
bebasnya : suatu proses dari perubahan sosial yang terencana yang
dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu
keutuhan, di mana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi
dengan dinamika proses pembangunan ekonomi).

2.1.4. Kebijakan Kesejahteraan Sosial

Apa itu kebijakan kesejahteraan sosial? Mendefinisikan Kebijakan


kesejahteraan sebagai prinsip, rencana, atau tindakan yang memandu
dan Mengatur pilihan dan aktivitas berbagai lembaga social. Ini termasuk
prinsip, pedoman, dan prosedur yang mengatur Lembaga social yang
mempekerjakan pekerja sosial, tapi juga universitas, serikat pekerja,
Organisasi keagamaan, Lembaga Pemerintahan, dan asosiasi profesional.
Sebenarnya Semua lembaga dan organisasi masyarakat mengembangkan
kebijakan untuk memfasilitasi Pengambilan keputusan yang konsisten di
depan publik tentang kebijakan pemerintah khususnya, kebijakan
kesejahteraan sosial (Joel Blau and Mimi Abramovitzi, 2003: 25)

18
Kebijakan kesejahteraan sebagai pemenuhan kebutuhan dasar
manusia menyiratkan bahwa penyediaan kesejahteraan sosial
Dipandu oleh satu tujuan dan bahwa kebijakan kesejahteraan sosial
selalu meningkatkan kesejahteraan. Pandangan lebih dekat
mengungkapkan kenyataan yang lebih kompleks bahwa banyak
kebijakan kesejahteraan sosial tidak menyentuh kebutuhan kelompok
masyarakat yang membutuhkannya (Ibid, Hal. 28-29)

Fungsi sosial dari kebijakan kesejahteraan sosial berusaha


meningkatkan fungsi dan kesejahteraan individu dan keluarga baik dari
dari struktur tradisional ini ke institusi pemerintah seperti sekolah,
layanan kesehatan, lembaga pemasyarakatan dan kesejahteraan
negara. Artinya Pemerintah harus berperan dalam menciptakan kondisi
yang dipromosikan Pengembangan individu dan mencegah masalah sosial
setidaknya untuk tiga alasan. Pertama, selama bertahun-tahun, karena
mobilitas geografis, lebih sedikit orang yang tinggal di dekatnya
Keluarga mereka atau mempertahankan ikatan kuat dengan institusi
keagamaan. Kedua, proses industrialisasi, urbanisasi, dan imigrasi
tercipta baru dan Berbagai jenis kebutuhan yang mendesak dalam
keharmonisan kapasitas Keluarga perseorangan, komunitas, dan lembaga
keagamaan. Ketiga, Masalah sosial yang dihasilkan harus ditangani
sejauh berupa gangguan fungsi individu yang membahayakan kelancaran
di masayarakt luas.

Jika terlalu banyak orang menjadi buta huruf, tidak sehat,


kriminal, pengangguran, Tunawisma, dan yatim piatu, mereka tidak
dapat melakukan sosialisasi Pekerjaan/pemeliharan dan tanggung jawab
keluarga/pengurus. Masyarakat umum, Pada gilirannya, menderita
kerugian kontribusi produktif dan kehidupan sosial yang terkait dengan
kebutuhan yang tidak terpenuhi. Oleh karena itu pemerintah daerah

19
secara bertahap menciptakan program baru yang akan mendukung
keluarga, membantu individu menjalankan peran mereka dengan cara
yang memuaskan sesuai dengan harapan masyarakat, dan melindungi
masyarakat dari kenyamanan. Para analis liberal menjelaskan
Fungsi sosial dari kebijakan kesejahteraan sosial dan mencerminkan apa
yang paling banyak ditemukan Sejarah kesejahteraan sosial. Sebaliknya,
kaum konservatif memikirkan kebijakan sosial sosial berfungsi sebagai
isu kontrol sosial, percaya bahwa hukuman bekerja lebih baik
daripada rehabilitasi sosial. Kebijakan kesejahteraan sosial harus diatur
karena menyangkut dengan perilaku "menyimpang" yang disebabkan
oleh gagal melaksanakan pekerjaan yang didefinisikan secara sosial
maupun peran keluarga yang mencerminkan tanggung jawab pribadi.

Intervensi pemerintah dalam ekonomi mendukung kebijakan


publik yang mengubah atau mengendalikan perilaku nakal, penjahat, dan
narkoba Pecandu serta ibu tunggal, pengangguran orang dewasa, orang
sakit mental, homoseksual, kritik sosial, dan orang miskin. Minimal
manfaat kesejahteraan sosial, menurut konservatif, pemerintah akan
memperbaiki masalah-masalah social (Ibid, Hal. 33-34).

Pengaruh kesejahteraan sosialk terhadap ekonomi dapat dijelaskan


bahwa kebijakn ini dapat mengatur hubungan individu terhadap
ekonomi. Fungsi kebijakan kesejahteraan sosial secara ekonomi
dapat memberikan tingkat keamanan ekonomi minimum, membantu
menstabilkan ekonomi selama kemerosotan ekonomi, mensubsidi biaya
untuk bisnis, mempertahankan tenaga kerja, dan menanggung
pemeliharaan keluarga (reproduksi sosial). Selain itu fungsi ekonomi dari
kebijakan kesejahteraan sosial adalah untuk memastikan tingkat
minimum jaminan stabitiltas dan keamanan ekonomi. Hal tersebut dapat
dijelaskan ketika proses ekonomi bermasalah, bisnis dan industri belum

20
dapat menyediakan lapangan kerja bagi semua orang yang mau dan
mampu bekerja, maupun yang tidak mampu bekerja karena usia,
kecacatan, penyakit, atau hambatan pekerjaan lainnya. Dengan
demikian, Pemerintah dalam menjalankan fungsi dan kebijakan
kesejahteraan Sosial harus memastikan standar hidup minimum maupun
bantuan uang pemerintah, program bagi individu dan keluarga akses ke
tingkat subsisten Pendapatan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan,
dan pekerjaan. Kebijakan kesejahteraan sosial juga melindungi orang dari
ketidaksetaraan yang dibangun ke dalam ekonomi pasar dengan
menempatkannya Sebuah lantai di bawah upah, mengurangi hambatan
diskriminatif yang menghalangi orang Dari pekerjaan, mengatur
kesehatan dan keselamatan tempat kerja, dan melindungi
Konsumen terhadap makanan tidak murni, obat terlarang, dan jalan raya
yang tidak aman (ibid, hal.35).

Kesejahteraan sosial menurut Friedlander dalam Suud (2006:8)


Kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisasi dari
pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga sosial, yang dimaksudkan
untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok agar
mencapai tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan, dan hubungan-
hubungan personal dan sosial yang memberi kesempatan kepada mereka
untuk memperkembangkan seluruh kemampuannya dan untuk
meningkatkan kesejahteraannya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
keluarga dan masyarakatnya.
Menurut Wickeden dalam Suud (2006:8) mengemukakan bahwa
Kesejahteraan sosial adalah suatu sistem peraturan, program-program,
kebaikan-kebaikan, pelayanan-pelayanan yang memperkuat atau
menjamin penyediaan pertolongan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sosial yang diakui sebagai dasar bagi penduduk dan
keteraturan sosial.

21
2.2. Kajian Praktis Empiris
2.2.1.Kajian Terhadap Asas Atau Prinsip Yang Terkait Dengan
Penyusunan Norma

Asas dan tujuan di dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang


Kesejahteraan Sosial Provinsi Maluku Utara tertuang sebagaimana pasal
2 dan pasal 3 Undang Undang No 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial yaitu :

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial dilakukan berdasarkan asas :


kesetiakawanan; keadilan; kemanfaatan; keterpaduan; kemitraan;
keterbukaan; akuntabilitas; partisipasi; profesionalitas; dan
keberlanjutan. Adapun tujuan dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial
adalah : a. meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan
kelangsungan hidup; b. memulihkan fungsi sosial dalam rangka
mencapai kemandirian; c. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat
dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial; d.
meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial dunia
usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga
dan berkelanjutan; e. meningkatkan kemampuan dan kepedulian
masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara
melembaga dan berkelanjutan; dan f. meningkatkan kualitas manajemen
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Pembangunan kesejahteraan sosial diselenggarakan dengan


berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan,
penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan
nondiskriminatif dan norma-norma agama

Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui instansi teknis terkait


merupakan unsur pelaksana Otonomi Daerah Bidang Kesejaheraan Sosial
yang mempunyai tugas sebagai berikut :

22
a. Melaksanakan urusan pemerintahan daerah bidang
kesejahteraan sosial berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan yang diberikan.
b. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan gubernur sesuai
dengan bidang tugasnya.
Sedangkan untuk menyelenggarakan tugas tersebut, dinas terkait
dalam lingkup Sekretariat Daerah Provinsi Maluku Utara mempunyai
fungsi :

a) Perencanaan strategis pada instansi terkait.


b) Perumusan kebijakan teknis bidang kesejahteraan sosial.
c) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum
bidang kesejahteraan sosial.
d) Pembinaan dan pelaksanaan tugas bidang kesejahteraan sosial.
e) Pelaksanaan, pengawasan, pengendalian serta evaluasi dan
pelaporan penyelenggaraan bidang kesejahteraan sosial.
f) Pelaksanaan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan
bidang kesejahteraan sosial.
g) Penyelenggaraan kesekretariatan pada dinas terkait.
h) Pelaksanaan kebijakan Daerah dan kebijakan teknis bidang
pelayanan dan peningkatan peran serta masyarakat,
kesejahteraan sosial.
i) Pemberian perijinan dan pelaksanaan pelayanan bidang
kesejahteraan sosial.
j) Pengkoordinasian, integrasi dan sinkronisasi kegiatan di
lingkungan dinas terkait.
k) Pembinaan kepada masyarakat tentang kesejahteraan sosial.
l) Pelaksanaan kerjasama dengan lembaga pemerintah dan lembaga
lainnya

23
2.2.2. Kajian Tentang Kondisi Yang Ada Dan
Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat

Kesejahteraan sosial yang selama ini menjadi persoalan utama yang


dihadapi masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan
pembangunan sudah harus didasarkan pada standar dan atau
persyaratan kesejahteraan yang diamanahkan UU. Undang-Undang
Kesejahteraan Sosial dengan tegas menentukan bahwa penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial sebagaimana di maksud pada ayat (1) UU No. 11
tahun 2009 diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang
tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial :
a. Kemiskinan;
b. Ketelantaran;
c. Kecacatan;
d. Keterpencilan;
e. Ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku;
f. Korban bencana; dan/atau
g. Korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Bahwa mendorong kesejahteraan sosial merupakan bagian paling


subtansial dari pembangunan sosial budaya. Selama ini, pembangunan
selalu bertumpu pada pendekatan pertumbuhan ekonomi semata, karena
itu maka “Pembangunan” belum berhasil membangun manusia secara
hakiki (harkat, martabat manusia) dan membangun kualitas masyarakat
manusia (kedamaian, kesejahteraan, demokrasi, dan sebagainya) dalam
arti yang sesungguhnya.”

Peran yang sering dilakukan para ahli dalam pembangunan sejauh


ini adalah “mengevaluasi proyek” pembangunan (social impact
assessment). Peran ini tidak memadai, karena apapun hasil analisanya

24
tidak akan banyak memengaruhi arah hakiki pembangunan itu sendiri.
Banyak ahli mendesak agar peran yang ada tidak hanya bersifat
analytical-evaluative, tetapi harus lebih prescriptive (bersifat
menentukan). Bahkan mengubah pendekatannya dari sekadar “model
pencerahan” (enlightening model) menjadi “model rekayasa” (engineering
model). Artinya harus lebih berani mengajukan variable-variable lain yang
lebih bersifat sosial budaya (kerukunan, keadilan, inklusi, kemandiran,
bahkan kebahagiaan) di dalam target-target pembangunan disertai alat
pengukur pencapaiannya.

2.2.3.Kajian Terhadap Implikasi Terhadap Aspek Kehidupan


Masyarakat Dan Dampaknya Terhadap Beban Keuangan Negara

Pembangunan sosial yang merupakan bagian dari upaya


kesejahteraan sosial bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuan hidup sejahtera bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesejahteraan masyarakat yang setinggi-tingginya, baik material maupun
spiritual sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis.
Kesejahteraan sosial adalah salah satu unsur utama dalam setiap
kehidupan seseorang karena sangat menunjang dalam aktivitas setiap
manusia. Pembangunan sosial dalam kehidupan sangat besar nilai
investasinya terutama terhadap sumber daya manusia. Aspek Pelayanan
publik bidang kesejahteraan sosial sekarang ini masih mengalami
berbagai masalah terutama dalam akses masyarakat terhadap pelayanan
kesejahteraan sosial yang dibutuhkan. Rendahnya kualitas pelayanan
publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintah menjadi salah satu
penyebab masih banyaknya kendala dalam penerapan layanan untuk

25
menjamin kesejahteraan masyarakat dan perlindungan sosial untuk
perkembangan kehidupan yang lebih baik.
Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Maluku Utara tentang
Kesejahteraan Sosial tentu berimplikasi pada aspek keuangan daerah,
sehingga sangat diperlukan adanya pengaturan sebagai dasar
penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial oleh Pemerintah Provinsi Maluku
Utara.

26
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Pasca reformasi terjadi pergeseran dari rechstaat menjadi political


state (PS). Padahal tujuan negara hukum (goal of state) adalah supremasi
hukum. Political state ibarat bis malam, tidak berdiri diatas rel hukum
yang berlaku. Baik buruknya negara, bersih atau kotornya pemerintah
daerah sangat tergantung pada kualitas peraturan hukumnya. Analog
dengan hal itu, diperlukan eksekutif, legislatif dan produk hukumnya
yang berkualitas secara hukum. Produk hukum tersebut mempengaruhi
kualitas negara hukum (Muchsan, dalam Tjandra dan Darsono, 2009:
85).
Selanjutnya menurut Muchsan, produk hukum yang dihasilkan
oleh pemerintah daerah meliputi peraturan daerah, peraturan kepala
daerah/ keputusan kepala daerah (Regeling dan Beschikking). Perlu
diperhatikan kesesuaian antara materi muatan dan kelembagaan
pembentuknya agar tidak menimbulkan kekacauan yuridis. Instrumen
yang bisa dipergunakan untuk membatalkan peraturan daerah yang
bermasalah dipergunakan mekanisme hak uji materiil (judicial review).
Mekanisme review terhadap peraturan dan daerah dan regulasi bisa
melalui hak uji materiil tersebut, sedangkan untuk produk beschikking
bisa menggunakan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Perlu
diperhatikan kesesuaian karakter dan materi produk hukum terkait
dengan kualitas dari produk hukum tersebut. Kriteria produk hukum
terdiri dari:
1. Subyek hukum yang diatur
2. Locus/Wilayah hukum berlakunya produk hukum tersebut
3. Waktu (Tempus) berlakunya produk hukum yang bersangkutan.

27
Produk hukum yang tidak terikat dengan ketiga kriteria diatas, bentuk
hukumnya harus regeling/peraturan. Peraturan daerah termasuk
kedalam 3 kriteria diatas sebagai suatu regeling.
Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa tujuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, antara lain, adalah memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdkan kehidupan bangsa. Karenanya, klausul yang
menyatakan bahwa bumi dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3
cukup relevan menjadi acuan). Negara juga bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas umum yang layak yang harus diatur dengan undang-
undang sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 34 ayat (3) dan ayat (4).
Negara yang dalam penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan
oleh pemerintah baik di pusat maupun di daerah adalah representasi dari
negara itu sendiri. Pada pasal 18 UUD 1945 ayat 2 disebutkan,
Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Ayat 5 pasal 18 selanjutnya menyebutkan, pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintahan Pusat. Secara tegas, pada ayat 6 pasal yang sama
dijelaskan bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan.
Dalam konteks otonomi daerah, dimana pemerintah daerah
memiliki kewenangan untuk mengatur dan melaksanakan rumah
tangganya sendiri, maka pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap
masyarakatnya. Pasal 28 huruf A menyebutkan bahwa hak setiap orang
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

28
Karenanya, dalam memenuhi hajat hidupnya, masyarakat berhak
melakukan berbagai aktivitas yang di dalamnya termasuk penyandang
permasalahan kesejahteraan sosial, seperti Gelandangan dan
Gelandangan Psikotik, Anak Jalanan, Wanita Tuna Susila dan Tuna
Susila, serta Pengemis.
Pemerintah Daerah Provinsi juga harus menjamin kelanjutan dari
peradaban dan sistem kekeluargaan yang ada di Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pasal 28 B ayat 1 menyebutkan, setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah. Selanjutnya pada ayat 2 disebutkan, setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Terkait dengan
kesejahteraan hidup dari warga negara, pasal 28 H ayat 1 menyebutkan,
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Adapun pada ayat 2 disebutkan,
setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan. Dan pada ayat 3 disebutkan juga bahwa setiap
orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan secara serius oleh Pemerintah
baik pusat maupun di daerah adalah kehidupan fakir miskin dan anak-
anak-terlantar serta jaminan sosial yang mestinya mereka peroleh.
Terkait fakir miskin, pasal 34 ayat 1 menyebutkan, fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Pada ayat 2 terkait
jaminan sosial disebutkan bahwa negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

29
Sebagai upaya untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat
maka pemerintah daerah dapat menyusun Peraturan Daerah di Provinsi
Maluku Utara tentang Kesejahteraan Sosial dengan pendekatan Teori
Filsafati dari Jeremy Bentham yang terdiri dari 3 sifat yakni filosofis,
sosiologis dan yuridis (Muchsan, dalam Tjandra dan Darsono, 2009: 88).
Berdasarkan pasal 1 angka 2, disebutkan bahwa Peraturan
Perundangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 2 UU No 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan LN RI
Tahun 2004 Nomor 53). Peraturan perundangan yang berisi peraturan
tertulis juga mengacu pada ketentuan normatif dalam UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dan aturan teknisnya, yaitu Permendagri No 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

3.1. Beberapa Peraturan Perundang-undangan Terkait


Secara substantif, materi peraturan perundang-undangan
sebagaimana tersebut dalam kajian yuridis diatas yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 18

Pasal 18:
(2) Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah
dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan.

30
Pasal 28 A
Hak setiap orang untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya.
Dalam memenuhi dan mempertahankan hidupnya, masyarakat
berhak melakukan berbagai aktivitas, dimana beberapa kegiatan
masyarakat tersebut dapat dikelompokkan sebagai subyek
penyandang permasalahan kesejahteraan sosial, seperti Anak
Jalanan, Wanita Tuna Susila, Tuna Susila, Gelandangan dan
Gelandangan Psikotik; dan Pengemis.

Pasal 28 B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.
Sesuai hak yang tercantum dalam Pasal 28 B, maka
pemerintah dan pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk
memberikan perlindungan dan penangganan terhadap anak
yang menyandang permasalahan kesejahteraan sosial,
khususnya kekerasan terhadap anak.

Pasal 28 H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

31
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat. Pasal 28 H ayat (3).

Pasal 34 :

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh


negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Berdasarkan amanah yang termuat dalam konstitusi UUD 1945,


Pemerintah Provinsi memiliki kewajiban dan kewenangannya untuk
melaksanakan kesejahteraan sosial yang diwujudkan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan di daerah. Berdasarkan ketentuan
dimaksud, Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan untuk melakukan
pengaturan dalam rangka menangani berbagai masalah-masalah sosial
yang terjadi di Provinsi Maluku Utara.

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan


Lanjut Usia

Pasal 7 :
Pemerintah bertugas mengarahkan, membimbing, dan menciptakan
suasana yang menunjang bagi terlaksananya upaya peningkatan
kesejahteraan sosial lanjut usia.

Pasal 9 :

32
Pemberdayaan lanjut usia dimaksudkan agar lanjut usia tetap
dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan berperan aktif secara
wajar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pasal 21 ayat (2) :


Pemerintah melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan upaya
peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia.
Saat ini penyandang masalah sosial di Provinsi Maluku Utara
adalah usia lanjut usia. Untuk mengatasi permasalahan ini,
Peemrintah Provinsi wajib melakukan pembinaan sosial bagi
masyarakat lanjut usia sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi


Manusia

Pasal 8 :
Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asas
manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Pasal 9 :
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup
dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.

Pasal 64 :
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan

33
eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan
dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik,
moral, kehidupan sosial, dan mental spritualnya.

Pasal 65 :
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan
eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak,
serta dari segala bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya.
Dalam prinsip negara demokrasi, pemerintah secara langsung wajib
bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak asasi manusia
termasuk hak-hak social warga Negara. Berdasarkan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentag
Hak Asasi Manusia, Pemerintah Provinsi berkewajiban menjamin
hak-hak masyarakat di wilayahnya untuk terhindar dan terlibat
dalam permasalahan kesejahteraan sosial.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan


Anak

Pasal 3 :
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-
hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia, dan sejahtera.

Pasal 8 :
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan

34
sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 12:
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh
rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial.

Pasal 21 :
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab
menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,
budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak,
dan kondisi fisik dan/atau mental.

Pasal 23 ayat (1) :


Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, dan kesejahteraan
anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali,
atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap
anak.
Masalah eksploitasi anak-anak seringkali terorganisir sehingga
membutuhkan uluran tangan Pemerintah Provinsi karena secara
normatif hal ini merupakan sesuai dengan amanah dari Undang-
Undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pemerintah
Provinsi memiliki tanggung jawab untuk melindungi anak dari
korban kriminalitas dan juga eksploitasi demi tujuan ekonomi
terentu yang sangat membahayakan jaminan diri, keamanan, dan
masa depan anak-anak yang bersangkutan. Pemerintah Provinsi
wajib mencegah terjadinya masalah-masalah tersebut di atas

35
dengan cara melakukan pengawasan dsan perlindungan terhadap
hak-hak anak.

5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan


International Covenant On Economic, Sosial, And Cultural
Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi,
Sosial, Dan Budaya)

Pasal 6 – 15:
Negara harus menjamin hak asasi setiap orang di bidang ekonomi
sosial, dan budaya, yakni hak atas pekerjaan (Pasal 6), hak untuk
menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan (Pasal 7), hak
untuk membentuk dan ikut serikat buruh (Pasal 8), hak atas
jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), hak atas
perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu,
anak, dan orang muda (Pasal 10), hak atas standar kehidupan yang
memadai (Pasal 11), hak untuk menikmati standar kesehatan fisik
dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai (Pasal 12), hak atas
pendidikan (Pasal 13 dan 14), dan hak untuk ikut serta dalam
kehidupan budaya (Pasa11).
Dengan diratifikasinya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya, pemerintah wajib menjamin
perlindungan serta pemenuhan hak-hak asasi masyarakat yang
meliputi hak ekonomi, sosial, dan budaya.

6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan


Sosial Pasal 24 ayat (1) :
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab :
e. Pemerintah; dan

36
f. Pemerintah daerah.

Pasal 29 :
Tanggungjawab pemerintah kabupaten/ kota dalam
menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi :
a. mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan kesejahteraan
sosial dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di
wilayahnya/bersifat lokal, termasuk tugas pembantuan;
c. memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada masyarakat
yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;
d. memelihara taman makam pahlawan; dan
e. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.

Pasal 30 :
Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial meliputi:
a. penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang
bersifat lokal selaras dengan kebijakan pembangunan nasional
dan provinsi di bidang kesejahteraan sosial;
b. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan kesejahteraan
sosial di wilayahnya;
c. pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan dan
penyaluran bantuan sosial sesuai dengan kewenangannya;
d. pemeliharaan taman makam pahlawan; dan
e. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.

37
Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial disebutkan bahwa urusan kesejahteraan
social merupakan tanggung jawab dari pemerintah dan pemerintah
daerah.
Dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan sosial, pemerintah
daerah diberi kewenangan untuk menetapkan kebijakan dan
mengalokasikan anggaran kesejahteraan sosial di APBD. Ruang
lingkup penyelanggaraan kesejahteraan sosial yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah tidak terbatas pada penanganan
pada penyandang masalah sosial saja, tetapi juga pada pemberian
izin bagi peminta sumbangan dan bantuan sosial.

7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan


Fakir Miskin
Pasal 5 :
Penanganan fakir miskin dilaksanakan secara terarah, terpadu, dan
berkelanjutan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat.

Pasal 12 :
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab
mengembangkan potensi diri bagi perseorangan, keluarga,
kelompok, dan/atau masyarakat.
(2) Pengembangan potensi diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui bimbingan mental spiritual, dan
ketrampilan.

Pasal 31 ayat (1):

38
Dalam menyelenggarakan penangangan fakir miskin, pemerintah
daerah kabupaten/kota bertugas :
a. Memfasilitasi, mengordinasikan, dan menyosialisasikan
pelaksanaan kebijakan, strategi dan program penyelenggaraan
penanganan kemiskinan, dengan memperhatikan kebijakan
provinsi dan kebijakan nasional;
b. Melaksanakan pemberdayaan pemangku kepentingan dalam
penanganan fakir miskin pada tingkat kabupaten/kota;
c. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap
kebijakan, strategi, serta program dalam penanganan fakir
miskin pada tingkat kabupaten/kota;
d. Mengevaluasi kebijakan, strategi, serta program pada tingkat
kabupaten/kota;
e. Menyediakan sarana dan prasarana bagi penangangan fakir
miskin; dan
f. Mengalokasikan dana yang cukup dan memadai dalam anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk menyelenggarakan
penanganan fakir miskin.
Upaya penegakkan hukum dalam menyelenggarakan
kesejahteraan sosial tidak hanya terbatas pada penegakkan
represif, tetapi juga pada upaya preventif. Berdasarkan ketentuan
diatas, pemerintah daerah memiliki kewenangan dan
tanggungjawab untuk menyelenggarakan penanganan fakir miskin.
Penyelenggaraan penanganan fakir miskin yang dilakukan oleh
pemerintah dengan baik merupakan salah satu upaya preventif
untuk mencegah terjadinya permasalahan sosial. Karena salah satu
faktor penyebab permasalahan kesejahteraan sosial adalah faktor
ekonomi.

39
8. Undang-UndangNomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah
Pasal 11 ayat (1) :
Urusan pemerintah konkuren yang menjadi kewenangan daerah
terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan
Pilihan.

Pasal 12 ayat (1) :


Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar meliputi :
a. Pendidikan;
b. Kesehatan;
c. Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang;
d. Perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. Ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat;
dan
f. Sosial.

Pasal 236 ayat (1) :


Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan,
Daerah membentuk Perda. Berdasarkan ketentuan diatas, masalah
sosial merupakan salah satu masalah yang menjadi urusan wajib
yang harus diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Dalam
melaksanakan urusan pemerintahan, pemerintah daerah harus
menuangkannya dalam sebuah produk hukum berupa peraturan
daerah. Dalam hal ini, pemerintah daerah Kabupaten Jombang
memiliki legitimasi untuk membuat peraturan daerah tentang
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

40
9. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas

Pasal 27 ayat (1) :


Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan perencanaan,
penyelenggaraan,dan evaluasi tentang pelaksanaan Penghormatan,
Perlindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.

Pasal 39 :
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan sosialisasi
perlindungan hukum kepada masyarakat dan aparatur Negara
tentang Perlindungan Penyandang Disabilitas.
(2) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
g. Pencegahan;
h. Pengenalan tindak pidana; dan
i. Laporan dan pengaduan kasus eksploitasi, kekerasan, dan
pelecehan.
Penyandang disabilitas adalah pihak yang rentan mendapatkan
diskriminasi dan juga menjadi korban kriminalitas. Berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, pemerintah
daerah memiliki kewajiban untuk melakukan perlindungan
terhadap penyandang disabilitas dari oknum-oknum yang
memanfaatkan kekurangan penyandang disabilitas untuk mencari
keuntungan dengan cara mengemis.

10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun


2013 Tentang Pelaksanaan Upaya Penanganan Fakir Miskin
Melalui Pendekatan Wilayah

Pasal 5

41
Penanganan Fakir Miskin melalui pendekatan wilayah
diselenggarakan dengan memperhatikan kearifan lokal, yang
meliputi wilayah:
a. perdesaan;

b. perkotaan;
c. pesisir dan pulau-pulau kecil;
d. tertinggal/terpencil; dan/atau
e. perbatasan antarnegara.

Namun kenyataannya, jumlah masyarakat yang tergolong Fakir


Miskin sangat banyak dan tersebar di wilayah perdesaan,
perkotaan, pesisir dan pulau-pulau kecil, tertinggal/terpencil, atau
perbatasan antarnegara sesuai dengan kondisi demografis dan
kondisi geografis wilayah Indonesia. Kondisi tersebut merupakan
salah satu yang menyebabkan Fakir Miskin mengalami hambatan
dan kesulitan dalam mengakses fasilitas bagi pemenuhan
kebutuhan dasarnya. Selain itu, kondisi pertumbuhan
perekonomian Indonesia belum mencapai pada taraf yang
memungkinkan bagi Fakir Miskin untuk mempunyai kesempatan
dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya secara mandiri.
Untuk itu diperlukan adanya pengaturan yang memberikan
tanggung jawab pada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat dalam upaya Penanganan Fakir Miskin melalui
pendekatan wilayah. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan
sebagai pedoman dalam Penanganan Fakir Miskin sehingga
diharapkan Penanganan Fakir Miskin dapat dilaksanakan secara
komprehensif dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan guna mewujudkan kesejahteraan Fakir Miskin.
Peraturan Pemerintah ini juga untuk memenuhi amanat Pasal 26

42
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Penanganan Fakir
Miskin.

11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun


2015 Tentang Tata Cara Pengumpulan Dan Penggunaan
Sumbangan Masyarakat Bagi Penanganan Fakir Miskin

Pasal 10
(1) Gubernur berwenang mengumpulkan sumbangan masyarakat
dari masyarakat dalam negeri yang lingkup wilayah
pengumpulannya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam
satu provinsi.

(2) Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat


mendelegasikan kewenangannya kepada kepala satuan kerja
perangkat daerah yang menangani urusan sosial di provinsi.

Pasal 20
(2) Gubernur menetapkan kebijakan penggunaan hasil
pengumpulan sumbangan masyarakat untuk wilayah provinsi
dengan berpedoman pada kebijakan nasional.

Pasal 21
(1) Penggunaan hasil pengumpulan sumbangan masyarakat
berupa barang, uang dan/atau surat berharga diperuntukkan
bagi penanganan fakir miskin.

(2) Hasil pengumpulan sumbangan masyarakat sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) yang berupa:

43
a. barang hanya diperuntukkan bagi Lembaga Kesejahteraan
Sosial untuk disalurkan kepada Fakir Miskin;

b. uang dan/atau surat berharga diperuntukkan bagi


perseorangan, keluarga, kelompok, masyarakat, dan/atau
Lembaga Kesejahteraan Sosial untuk disalurkan kepada
Fakir Miskin.

(3) Penggunaan sumbangan masyarakat hanya diperuntukkan


bagi penanganan fakir miskin yang tidak mendapatkan alokasi
anggaran dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 23
Kebijakan penggunaan hasil pengumpulan sumbangan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sebagai dasar
pelaksanaan penanganan fakir miskin oleh Kepala satuan kerja di
lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial, kepala satuan kerja perangkat
daerah yang menangani urusan sosial di provinsi, atau kepala
satuan kerja perangkat daerah yang menangani urusan sosial di
kabupaten/kota.

1. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir


Miskin (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5235).
2. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik

44
Indonesia Tahun 2011 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5294);

3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007


tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan
Peraturan Perundang-undangan; dan
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah

Norma-norma yang tertulis dalam berbagai peraturan perundang-


undangan merupakan rujukan setiap pemerintah daerah dalam
menyusun peraturan daerah terutama tentang Kesejahteraan Sosial.
Karenanya, berbagai norma yang tertuang dalam peraturan perundang-
undangan tersebut akan menjadi acuan dalam penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Maluku Utara tentang Kesejahteraan
Sosial.

45
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Dalam lampiran 1 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011


ditegaskan tentang urgensi pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk di
dalamnya peraturan daerah. Pertimbangan yang sama-pun telah
disampaikan oleh Bentham. Dalam pendekatan Teori Filsafati dari
Jeremy Bentham, pembentukan peraturan perundang-undangan perlu
mempertimbangkan tiga sifat yakni filosofis, sosiologis dan yuridis
(Muchsan, dalam Tjandra dan Darsono, 2009: 88). Hal serupa dijelaskan
juga oleh Bagir Manan (2001:35) yang mengemukakan ada tiga dasar
atau landasan dalam pembentukan suatu Peraturan Perundang-
Undangan (PERDA), yaitu : Landasan Filosofis, Yuridis dan Sosiologis.
Karenanya, ketiga landasan tersebut juga akan digunakan sebagai dasar
dalam mengajukan rancangan Peraturan Daerah Tentang Kesejahteraan
Sosial.

4.1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang


menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (Lampiran I.4.A UU 12 2011).
Provinsi Maluku Utara sebagai provinsi kepulauan terdiri dari 784
pulau besar dan kecil dengan aneka ragam bahasa dan budayanya.
Wilayah ini dikenal pula sebagai provinsi multi etnis, sedikitnya terdapat

46
30 etnis dengan bahasanya masing-masing sebagai rekaman budaya
kelompok etnis tersebut. Kepulauan rempah-rempah ini pernah dijuluki
sebagai negeri Moloku Kie Raha (MKR), kawasan empat kesultanan yaitu
kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan, yang dalam sejarah
nusantara pernah berjaya dan mengundang penjajahan bangsa-bangsa
eropa (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris) secara bergiliran oleh
keharuman fuli pala dan bunga cengkihnya (Sambutan Gubernur Malut
dalam buku Kapita Selekta, Sejarah, Bahasa dan Budaya Moloku Kie
Raha, 2013:9).
Dengan etnis yang cukup beragam ini, tentunya berimplikasi pada
cara pandang tentang hidup yang dijalani. Secara langsung keragaman
bahasa ini diikuti pula oleh keragaman budaya setempat (budaya lokal),
budaya etnis tertentu). Namun, secara umum Daratan yang terdiri dari
353 pulau (catatan sementara) di Provinsi ini memiliki sejumlah etnis/
suku bangsa. Tercatat dalam buku Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia
yang disusun oleh Zulyani Hidayah (LP3ES, Jakarta 1997) sejumlah 21
suku bangsa/ etnis di Maluku Utara. Jumlah ini masih kurang karena
masih terdapat suku bangsa/ etnis yang ada, dan tidak terdapat dalam
ensiklopedi tersebut (Abdulrahman, 2013:164-1655).
Abdulrahman juga mendeskripsikan dalam budaya moloku kie
raha, terdapat suatu tradisi yang hampir merata di kawasan ini, yaitu
pada upacara-upacara khusus (baca doa dina, cukur rambut,
perkawinan, awal tanam, awal melaut, upacara di keraton, joko kaha,
makan saro dan seterusnya selalu ditandai dengan satu baki bunga
rampai. Bunga rampai ini terdiri dari bermacam bunga yang sudah
ditentukan (minimal 5 jenis). Baik bunga rampai budaya moloku kie raha
dengan beragam folklore maupun bunga rampai budaya masa kini
dengan tiga kelompok kajian memiliki sejumlah tantangan terhadap
politik perbedaan budaya, yang memusatkan sebagian perhatiannya

47
terhadap seruan kajian budaya untuk terlibat secara lebih produktif lagi
dalam pembentukan dan implementasi kebijakan budaya. Argumen ini
didasarkan pada interpretasi konsep tentang governmentalitas dimana
kebudayaan adalah perpanjangan atangan pemerintah dan ilmu
reformasi, Pada saat yang sama kita akan mencatat satu logika dimana
seruan kebijakan budaya tampak menyepelekan pertanyaan tentang nilai
dan kebutuhan akan penelitian intelektual secara kritis. Akhirnya secara
singkat kita mengeksplorasi pragmatism sebagai suatu filsafat yang
mungkin menawarkan jslsn untuk menyatukan politik perbedaan dan
representasi dengan kebijakan budaya (C. Barker dalam Abdulrahman,
2013:79).
Secara filosofis di dalam pembukaan UUD 1945, mengandung pula
cita-cita luhur yang harus menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi
Undang-Undang Dasar. Dimana menegaskan keyakinan bangsa Indonesia
bahwa kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena itu
segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alenia kedua
menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan
penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa
Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan
pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha
Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk
memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat
Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Terakhir alenia keempat
menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan
yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan
keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan

48
makmur dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat inilah
disebutkan tujuan negara dan dasar negara.
Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang
kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam
bentuk pokok-pokok pikiran sebagaimana telah diuraikan tersebut-lah
yang dalam bahasa Soekarno disebut sebagai Philosofische grondslag atau
dasar negara secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai
ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu politik,
Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut sebagai ideologi bangsa
Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan
pemerintahan Negara dan pembangunan nasional untuk mencapai
masyarakat adil, makmur, dan merata berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri
atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut
mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar hubungan keuangan,
pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.
Penerapan desentralisasi yang telah melahirkan daerah otonom
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membentuk
peraturan daerah dalam rangka mengatur rumah tangganya sendiri.
Peraturan daerah sebagai suatu kebijakan publik dapat diterima oleh

49
masyarakat secara luas apabila memenuhi unsur filosofis, sosiolofis dan
yuridis yang baik. Landasan filosofis pembentukan peraturan perundang-
undangan dan atau Peraturan daerah di Indonesia saat ini merujuk pada
ide hukum yang tercantum dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945.
Inti landasan filosofis adalah jika landasan peraturan yang
digunakan memiliki nilai bijaksana yakni memiliki nilai benar (logis), baik
dan adil. Menemukan filosofis berarti melakukan pengkajian secara
mendalam untuk mencari dan menemukan hakekat sesuatu yang sesuai
dan menggunakan dengan nalar, yakni nalar sehat. Menurut sistem
demokrasi modern, kebijakan bukanlah berupa cetusan pikiran atau
pendapat dari pejabat negara atau pemerintahan yang mewakili rakyat
akan tetapi juga opini publik (suara rakyat) yang memiliki porsi sama
besarnya untuk mencerminkan (terwujud) dalam kebijakan-kebijakan
publik.
Dasar filosifis dari Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Maluku
Utara Tentang Kesejahteraan Sosial adalah pada pandangan hidup
Bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam butir-butir Pancasila
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945. Nilai-nilai Pancasila ini dijabarkan dalam hukum yang dapat
menunjukan nila-nilai keadilan, ketertiban dan kesejahteraan. Rumusan
dalam Pancasila ini yang merupakan dasar hidup Negara Indonesia
dituangkan dalam pembukaan UUD Republik Indonesia . Ditekankan
dalam dasar Negara Indonesia, bahwa Indonesia adalah Negara hukum
bukan berdasarkan kekuasaan. Dengan demikian, secara filosofis hukum
atau aturan perundang-undangan yang dibuat haruslah mencerminkan
pandangan hidup yang ada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terkait dengan landasan filosofis yang mengacu pada Pancasila
sebagaimana terurai di atas, pembentukan peraturan perundang-

50
undangan dalam hal ini peraturan daerah tentang Kesejahteraan Sosial
haruslah mengintegrasikan dan mengakomodasi setiap kepentingan
masyarakat dan cita-cita negara demi terwujudnya kehidupan berbangsa
dan bernegara, dalam memajukan kesejahteraan umum agar tercipta
jaminan sosial bagi warga negara. Materi muatan Peraturan daerah
Tentang Kesejahteraan Sosial merujuk pada asas pengayoman,
kemanusiaan, kebangsaan, kebhinekatunggalikaan, kekeluargaan, dan
kenusantaraan.

4.2. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang


menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara (Lampiran I.4.B. UU 12
2011.

1. Mengacu pada Rekapitulasi Data Penyandang Masalah


Kesejahteraan Sosial (PMKS) Per Provinsi Tahun 2012 yang dirilis
oleh Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial, Kementerian
Sosial Republik Indonesia, tercatat bahwa data Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar (AT) di Indonesia
sebanyak 1.677.780.000 dan Provinsi Maluku Utara sebanyak
10.503.000
2. Selain anak terlantar, Provinsi Maluku Utara juga mencatat data
penyandang masalah kesejahteraan social anak balita terlantar
sebanyak 268 jiwa atau 0.078 persen dari jumlah nasional
sebanyak 341.458.000 jiwa

51
3. Penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya di Provinsi
Maluku utara dapat dilihat pada data mengenai wanita rawan
social ekonomi sebanyak 13.695. jiwa dari total nasional sebanyak
1.135.528 jiwa.
4. Data penyandang masalah kesejahteraan social lainnya yang perlu
mendapat perhatian adalah data Lanjut Usia Terlantar di Provinsi
Maluku Utara sebanyak 10.737 jiwa dari total nasional 2.296.425
jiwa.
5. Penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam hal ini
penyandang cacat di Provinsi Maluku Utara tercatat sebanyak
6.872 jiwa dari total nasional 1.250.780 jiwa atau 0.54 persen.
6. Selain itu, penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya
adalah Tuna Susila. Di Provinsi Maluku Utara, penyandang
masalah kesejahteraan sosial Tuna Susila tercatat sebanyak 1.034
jiwa dari total nasional sebanyak 50.276 jiwa. Atau 2.05 persen.
7. Di Provinsi Maluku Utara, data penyandang masalah
kesejahteraan sosial yaitu pengemis tercatat sebanyak 469 jiwa
dari total nasional sebanyak 178.262 jiwa.
8. Sedangkan penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya
seperti gelandangan di Provinsi Maluku Utara tercatat sebanyak
94 jiwa dari total nasional sebanyak 18.599 jiwa.
9. Penyandang masalah kesejahteraan sosial Bekas Warga Binaan
Lembaga Kemasyarakatan di Provinsi Maluku Utara tercatat
sebanyak 1.177 jiwa dari total nasional 108.189 jiwa atau 1.08
persen
10. Provinsi Maluku Utara juga mencatat data penyandang masalah
kesejahteraan sosial penduduk miskin sebanyak 97.310 jiwa dari
total nasional sebanyak 30.018.980 jiwa. Data selengkapnya dapat
dilihat pada tabel dibawah ini;

52
11. Provinsi Maluku Utara juga mencatat data penyandang masalah
kesejahteraan sosial korban NAPZA sebanyak 1.007 jiwa dari total
nasional sebanyak 418.048 jiwa.
12. Penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya seperti Keluarga
Fakir Miskin di Provinsi Maluku Utara tercatat sebanyak 24.327
jiwa dari total nasional 7.504.736 jiwa.
13. Selain itu, penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya
adalah Korban Bencana Alam yang tercatat sebanyak 2.454 jiwa
dari total nasional sebanyak 1.153.720 jiwa.
14. Provinsi Maluku Utara juga mencatat data penyandang masalah
kesejahteraan sosial Pekerja Migran Terlantar sebanyak 417 jiwa
dari total nasional sebanyak 40.883 jiwa.
15. Penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya seperti Keluarga
Rentan di Provinsi Maluku Utara tercatat sebanyak 959 jiwa dari
total nasional 1.218.724 jiwa.
16. Terakhir, Provinsi Maluku Utara juga mencatat data penyandang
masalah kesejahteraan sosial Rumah Tidak Layak Huni sebanyak
16.273 KK dari total nasional sebanyak 4.451.807 KK.

Dengan beragam data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial


(PMKS) yang telah dideskripsikan dan tersebar di wilayah Provinsi
Maluku Utara pada tahun 2012, maka urgensi Pembentukan Peraturan
Daerah Kesejahteraan Sosial pada saat ini, sebagai jaminan secara
hukum bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di
Provinsi.
Maluku Utara agar mendapatkan pelayanan sosial dan
pengembangan kesejahteraan sosial yang tepat dan layak perlu segera
diwujudkan.

53
4.3. Landasan Yuridis

Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang


menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan
hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan
yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih
rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah,
peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya
memang sama sekali belum ada (Lampiran I.4.C. UU 12 2011.
Selama ini, Pemerintah Provinsi Maluku Utara belum memiliki
peraturan daerah yang mengatur tentang kesejahteraan sosial. Padahal,
pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2009 secara tegas menjelaskan tentang
tanggung jawab pemerintah provinsi dalam menyelenggarakan
kesejahteraan sosial yang meliputi;
a. Mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan kesejahteraan
sosial dalam angaran pendapatan dan belanja daerah;
b. Melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial lintas
kabupaten/ kota, termasuk dekonsentrasi dan tugas pembantuan;
c. Memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada masyarakat
yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;
d. Memelihara taman makam pahlawan; dan
e. Melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.

54
Sedangkan wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial meliputi;
a. Penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang
bersifat lintas kabupaten/ kota selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional di bidang kesejahteraan sosial
b. Penetapan kebijakan kerjasama dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dengan lembaga kesejahteraan sosial nasional;
c. Pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan dan
penyaluran bantuan sosial sesuai dengan kewenangannya;
d. Koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan kesejahteraan
sosial;
e. Pemeliharaan taman makam pahlawan; dan pelestarian nilai
kepahlawanan, keperintisan,dan kesetiakawanan sosial.

Dengan memahami tanggung jawab dan wewenang pemerintah


provinsi dalam pelaksanaan penyelenggaraan kesejahteraan sosial,
rancangan peraturan daerah tentang kesejahteraan sosial yang disusun
ini diharapkan tidak bertentangan atau melanggar aturan yang lebih
tinggi. Selain Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2009, penyusunan
peraturan daerah tentang kesejahteraan sosial di landaskan pada;
1. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244).
2. Undang Undang Nomor 46 Tahun 1999 Tentang Pembentukan
Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku
Tenggara Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 174).
3. Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016

55
Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5871).
4. Undang Undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3796).
5. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235).
6. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir
Miskin (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5235).
7. Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5294);
9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007
tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan
Peraturan Perundang-undangan; dan
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah

56
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH

5.1. Sasaran yang Akan Diwujudkan


Sasaran yang akan diwujudkan dari Peraturan Daerah
Penyelengaraan Kesejahteraan Sosial adalah memberikan informasi
tentang : a) ciri sebuah negara hukum yang demokrasi yang merupakan
prasyarat terpenting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; b)
untuk mendorong partisipasi publik dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan daerah, dan c) mewujudkan ketertiban dan kepastian
hukum dalam penyelenggaraan “Peraturan Daerah Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial di Provinsi Maluku Utara.

5.2. Arah dan Jangkauan Pengaturan


Arah dan jangkauan pengaturan yang terkait dengan adalah
pengaturan tentang, Asas dan Tujuan, Penyelengggaraan Kesejahteraan
Sosial, Tanggungjawab dan Wewenang Pemerintah Daerah,
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, Penanganan Fakir Miskin,
Partisipasi Masyarakat, Penghargaan, Pendaftaran dan Perizinan Lembaga
Kesejahteraan Sosial, Sumber Daya, Usaha Pengumpulan dan
Penggunaan Sumber Pendanaan yang Berasal dari Masyarakat,
Pengurusan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil bagi
PMKS, Pembinaan dan Pengawasan, Pemantauan, Evaluasi dan
Pelaporan, Sanksi Administrasi, Peralihan, Ketentuan Penutup.
Kesemua materi pengaturan tersebut diharapkan akan dapat
memberikan kepastian hukum yang terkait dengan Peraturan Daerah
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di Provinsi Maluku Utara.

57
5.3. Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah

(1) Ruang lingkup pengaturan Penyelenggaraan Kesejahteraan


Sosial di Provinsi Maluku Utara.
(2) Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial dilaksanakan dengan
dukungan:
a. Ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Pakta integritas yang berisi komitmen Penyelenggara
Pemerintahan Daerah dengan pihak-pihak terkait dalam
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di Provinsi Maluku
Utara;
c. Aparatur dan pihak penyelenggara Kesejahteraan Sosial
yang memiliki kapabilitas dan kompetensi dalam
pelaksanaan tugas dan kewajibannya;
d. Sarana dan prasarana yang memadai;
e. Budaya birokrasi yang melayani, komunikatif,
transformatif dan bertanggungjawab;
f. Budaya politik DPRD yang koordinatif, aspiratif dan
responsif; dan
g. Sosialisasi kepada masyarakat sebagai pengguna jasa
dalam pelaksanaan sasaran penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dilaksanakan secara sistematik,
menyeluruh, merata dan berkesinambungan, meliputi
materi yang menunjang terwujudnya kesejahteraan sosial
secara transparan dan akuntabel.
(3) Ketentuan mengenai pakta integritas diatur dengan Peraturan
Gubernur.

58
Sasaran pengaturan yang menjadi kisi-kisi materi muatan yang
dikemukakan dalam naskah akademik tentang Raperda yang mengatur
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial ini mencakup :
a. Judul Raperda.
Judul Raperda adalah "Peraturan Daerah Provinsi Maluku
Utara. No ......, Tahun 2017 Tentang ” Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial”
b. Konsideran.

Dalam konsideran pada bagian menimbang disebutkan bahwa


Maksud ” bahwa kesejahteraan sosial merupakan suatu kondisi
terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial Warga Negara
dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya; bahwa untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial di Daerah, perlu dilakukan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial secara terencana, terarah dan berkelanjutan melalui
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan
perlindungan sosial; bahwa dengan telah diundangkannya Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,
Pemerintah Daerah berwenang untuk menetapkan kebijakan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional di bidang kesejahteraan sosial dalam bentuk
Peraturan Daerah Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di Provinis
Maluku Utara tersebut dengan tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah
ini adalah :

a. meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan


hidup;
b. memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian;

59
c. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam
mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial;
d. meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab
sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial
secara melembaga dan berkelanjutan;
e. meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga
dan berkelanjutan; dan
f. meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan
sosial.

Raperda “Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial” ini, berlaku di


Provinsi Maluku Utara. Sedangkan Kewenangan Pemerintah Daerah
harus mempunyai peraturan daerah yang terkait dengan
“Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial”, serta Mekanisme dan
implementasi sebaiknya ditetapkan dengan Keputusan Gubernur

a. Ketentuan Umum
Pada bagian ini dikemukan beberapa terminologi berikut
pengertiannya, antara lain :
1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Daerah adalah Provinsi Maluku Utara.
3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin

60
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
4. Gubernur adalah Gubernur Maluku Utara.
5. Dinas Sosial adalah perangkat daerah yang membantu
Gubernur dalam menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan bidang sosial.
6. Perangkat Daerah lainnya adalah pembantu Gubernur
dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang
terkait dengan bidang sosial.
7. Pemerintah daerah kabupaten/kota adalah Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota di Daerah.
8. Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya
yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang
dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna
memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang
meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
9. Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara
agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan
diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
10. Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan
pengembangan untuk memungkinkan seseorang
mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
dalam kehidupan masyarakat.
11. Perlindungan Sosial adalah semua upaya yang
diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari
guncangan dan kerentanan sosial.

61
12. Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang
diarahkan untuk menjadikan warga negara yang
mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.
13. Jaminan Sosial adalah skema yang melembaga untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
14. Badan Usaha adalah organisasi yang bergerak di bidang
usaha, industri atau produk barang atau jasa serta
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
serta/atau wirausahawan beserta jaringannya yang
peduli dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial sebagai wujud tanggung jawab
sosial.
15. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang
bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta
yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial,
dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh
melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman
praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-
tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.
16. Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang
dididik dan dilatih secara profesional untuk
melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan
masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik
di lembaga pemerintah maupun swasta yang ruang
lingkup kegiatannya di bidang Kesejahteraan Sosial.
17. Relawan Sosial adalah seseorang dan/atau kelompok
masyarakat, baik yang berlatar belakang pekerjaan

62
sosial maupun bukan berlatar belakang pekerjaan
sosial, tetapi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan
di bidang sosial bukan di instansi sosial pemerintah
atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan.
18. Penyuluh Sosial adalah jabatan yang mempunyai ruang
lingkup, tugas, tanggungjawab dan wewenang untuk
melaksanakan kegiatan penyuluhan bidang
pembangunan kesejahteraan sosial yang diduduki olek
Pegawai Negeri Sipil dengan hak dan kewajiban yang
diberikan secara penuh oleh pejabat yang berwenang.
19. Lembaga Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya
disingkat LKS adalah organisasi sosial atau
perkumpulan sosial yang melaksanakan
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang dibentuk
oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.
20. Lembaga Kesejahteraan Sosial Asing adalah organisasi
sosial atau perkumpulan sosial yang didirikan menurut
ketentuan hukum yang sah dari negara dimana
organisasi sosial atau perkumpulan sosial itu
didirikan, dan telah mendapatkan izin dari Pemerintah
Republik Indonesia untuk melaksanakan
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di Indonesia.
21. Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial yang
selanjutnya disingkat LKKS adalah lembaga atau
organisasi yang memberikan pelayanan, konseling,
konsultasi pemberian atau penyebarluasan informasi,
outreach (penjangkauan) dan pemberdayaan bagi
keluarga secara proposional termasuk merujuk sasaran

63
ke lembaga pelayanan lain yang dibutuhkan oleh
keluarga.
22. Standar Sarana dan Prasarana Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial adalah ukuran kelayakan yang
harus dipenuhi secara minimum baik mengenai
kelengkapan kelembagaan, proses, maupun hasil
pelayanan sebagai alat dan penunjang utama dalam
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
23. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang
selanjutnya disebut PMKS adalah perseorangan,
keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang karena
suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan, tidak dapat
melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat
terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani,
maupun sosial secara memadai dan wajar.
24. Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak
mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau
mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau
keluarganya.
25. Penanganan Fakir Miskin adalah upaya yang terarah,
terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Pemerintah daerah
kabupaten/kota, dan/atau masyarakat dalam bentuk
kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan,
pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi
kebutuhan dasar.
26. Partisipasi Masyarakat adalah peran serta warga

64
masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran,
dan kepentingannya dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
27. Masyarakat adalah perseorangan, kelompok, dan
organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.
28. Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial yang
selanjutnya disingkat PSKS adalah perseorangan,
keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang
dapat berperan serta untuk menjaga, menciptakan,
mendukung, dan memperkuat penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
29. Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disingkat UP
adalah Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Sosial.

d. Detail pengaturan
1. Tujuan
Untuk mengatur Penyelanggaraan Kesejahteraan Sosial
yang baik; Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini
adalah :
1. meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan
kelangsungan hidup;
2. memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai
kemandirian;
3. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam
mencegah dan menangani masalah kesejahteraan
sosial;
4. meningkatkan kemampuan, kepedulian dan
tanggungjawab sosial dunia usaha dalam

65
penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara
melembaga dan berkelanjutan;
5. meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara
melembaga dan berkelanjutan; dan
6. meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.

Adapun Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial


dimaksudkan adalah sebagai berikut:
a. Mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat,
serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar warga
negara demi tercapainya kesejahteraan social melalui
pelayanan Pemerintah dan masyarakat lainnya dalam
pengembangan kesejahteraan sosial secara terencana,
terarah, dan berkelanjutan.
b. Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial dikelola
berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
1. kesetiakawanan;
2. keadilan;
3. kemanfaatan;
4. keterpaduan;
5. kemitraan;
6. keterbukaan;
7. akuntabilitas;
8. partisipasi;
9. profesionalitas; dan
10. keberlanjutan.

66
c. Obyek Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah:
1. perseorangan;
2. keluarga;
3. kelompok; dan/atau
4. masyarakat.
d. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial diprioritaskan yang
memiliki kehidupan yang tidak layak secara
kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial:
a. kemiskinan;
b. ketelantaran;
c. disabilitas;
d. keterpencilan;
e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku;
f. korban bencana; dan/atau
g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

e. Subyek Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah


Pemerintah daaerah, BUMD, Pekerja Sosial Profesional,
Tenaga Kesejahteraan Sosial, Relawan Sosial, Penyuluh
Sosial, Lembaga Kesejahteraan Sosial, Lembaga
Kesejahteraan Sosial Asing, Lembaga Koordinasi
Kesejahteraan Sosial.

Paparan di atas merupakan gambaran selayang pandang dari


materi yang akan menjadi fokus pengaturan melalui Raperda yang akan
diajukan. Selengkapnya dapat dicermati lampiran dalam bentuk draft
yang berisi pasal-pasal sebagai konstruksi peraturan perundang-
undangan.

67
BAB VI
PENUTUP

Dalam Bab Penutup ini dikemukakan beberapa kesimpulan dan


saran-saran berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-
bab sebelumnya. Kesimpulan dan saran tersebut adalah sebagai berikut:

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan sebagaimana pada bab-bab sebelumnya
maka dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain :
1. Rancangan Peraturan Daerah tentang “Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial” yang akan dibentuk di Provinsi Maluku
Utara adalah inisiatif DPRD melalui naskah akademik yang
merupakan upaya untuk menciptakan kepastian hukum
terhadap Penyelenggaaran Kesejahteraan Sosial secara
terencana, terarah dan berkelanjutan melalui rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan
social di Provinsi Maluku Utara;
2. Rancangan Peraturan Daerah tentang “Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial” yang akan dibentuk di Provinsi Maluku
Utara ini merupakan wujud komitmen dan konsistensi DPRD
dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk
menindaklanjuti Program Legislasi Daerah.
3.
Rancangan Peraturan Daerah tentang “Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial” yang akan dibentuk di Provinsi Maluku
Utara ini secara fungsional sebagai instrumen yang dapat
mempercepat dan mengatasi masalah-masalah sosial seperti
kemiskinan; ketelantaran; disabilitas; keterpencilan;
ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; korban bencana;
dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan

68
diskriminasi.
4. Di dalam rancangan peraturan daerah yang akan dibentuk ini
masih terbuka ruang untuk memperkaya materi muatan yang
sifatnya lokal sekaligus merepresentasikan „peran serta‟
masyarakat secara aspiratif sebagai basis sosial tempat produk
hukum ini diterapkan.

6.2. Saran
Untuk mendukung realisasi rencana pembentukan peraturan
daerah tentang “Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial”, berikut ini
beberapa hal yang patut diagendakan antara lain :
1. Mengingat materi muatan dalam Raperda ini cenderung
bersifat teknis maka diharapkan penyusunan klausul yang
ada secara komunikatif dan detil dapat dipahami oleh para
pihak yang berkepentingan dengan implementasi Perda di
Provinsi Maluku Utara.
2. Agar proses pembentukan peraturan daerah ini lebih
mendapatkan justifikasi sosial sebagai bagian dari sukses
pembentukan yang mendukung pelaksanaan maka sosialisasi
intensif pasca pembentukan peraturan daerah tentang
“Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial” harus dilakukan
secara efektif.
3. Agar implementasi peraturan daerah ini kelak dapat
berlangsung efektif maka dalam tataran pelaksanaan harus di
dasarkan pada komitmen, kepercayaan, nilai demokrasi,
kejujuran serta rasa memiliki dari basis sosial masyarakat
sebagai wujud kebersamaan dalam kerangka visi Provinsi
Maluku Utara.

69
DAFTAR PUSTAKA

Bahan Bacaan

Adi, Isbandi Rukminto, 2003, Pemberdayaan, pengembangan Masyarakat,


dan Intervensi Komunitas, Pengantar Pada Pemikiran dan
Pendekatan Praktis, Edisi Revisi, LPFE-UI, Jakarta

Blau, Joel and Mimi Abramovitzi, 2003, The Dynamics of Social Welfare
Policy, Oxford University Press.

Gijsels, Jan dan Mark Van Hocke, 2005, Apakah Teori Hukum Itu ?,
Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan Bandung.

Irianto, Soelistyowati dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum


Konstelasi dan Refleksi,Yayasan Obor, Jakarta.

Hidayah, Zulyani, 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia ,LP3ES,


Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama


Offset.

Midgley, James, 1995, Social Development the Development Perspective in


Social Welfare, London : Sage Publications, Ltd

Soemitro, Rony Hanitijo, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia


Indonesia Jakarta.

Suud, Muhammad, 2006. Orientasi Kesejahteraan Sosial, Jakarta:


Prestasi Pustaka

70
Sumber lain.
Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial
Republik Indonesia, Tahun 2012. (Data Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) Per Provinsi Tahun 2012 ).
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang Undang Nomor 46 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Provinsi
Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara
Barat
Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas
Undang Undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut
Usia
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir
Miskin
Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan
Perundang-undangan; dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah

71
Lampiran : Data Rekapitulasi Data Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) Per Provinsi Tahun 2012 Pusat Data
dan Informasi Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial Republik
Indonesia

72
73
74
75
76
77
78
79

You might also like