You are on page 1of 53

“Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli ”

oleh

Henri Chambert-Loir

Kutipan dari buku :


Henri Chambert-Loir, Iskandar Zulkarnain, Dewa Mendu,
Muhammad Bakir dan Kawan-Kawan: Lima Belas Karangan
Tentang Sastra Indonesia Lama. Jakarta: KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia), 2014.
Dalam buku tersebut terdapat satu bibliograi tunggal untuk
semua artikel sekaligus. Bibliograi tersebut dilampirkan pada
artikel ini.
SASTRA MELAYU ABAD KE-19
KELUARGA FADLI

Sastra Melayu abad ke-19 banyak menarik perhatian belakangan ini. Para
pakar sastra tradisional telah menggali, menerbitkan dan menelaah berbagai
catatan perjalanan dan teks-teks lain yang memberikan kesaksian tentang
keingintahuan kritis dan minat terhadap realisme yang menandai suatu
sikap “modern” baru. Kedua teks oleh Ahmad Rijaluddin (Skinner 1982)
dan Mohamed Salleh Perang (1980) khususnya menarik. Skinner (1978)
telah mencurahkan perhatian lebih mendalam pada dampak pertemuan
dengan mentalitas Eropa atas sastra Melayu.
Sedang pakar “sastra klasik” sibuk menyoroti berbagai perubahan
budaya yang terjadi sepanjang abad ke-19, waktu itu pula para pakar
“sastra modern” mempertanyakan paham modernitas dan mendorong
mundur tapal-batas ihwal modern. Upaya Pramoedya Ananta Toer pada
1960-an dan lagi selang dua dasawarsa kemudian (1982) cukup terkenal,
juga artikel rintisan oleh Watson (1971), serta yang lebih mutakhir, sebuah
panduan bibliograis mahatebal karya Salmon (1981), yang tak pelak lagi
mengubah pandangan setiap pengamat tentang kesusastraan Indonesia
modern.
Dengan adanya aneka kajian ini, bukan saja batas-batas dan perio-
disasi sastra “tradisional” dan sastra “modern” harus direvisi, tetapi paham
modernitas juga harus dipertanyakan, dan peran berbagai komunitas etnis
harus dinilai kembali. Selain itu, sastra sebagai kegiatan budaya di dalam
suatu konteks sosial makin banyak mendapat perhatian, yang bertujuan
memahami transformasi mendalam yang dialami sastra Melayu sepanjang
abad ke-19.

Artikel ini pertama kali terbit dengan judul “Malay literature in the 19th
century: the Fadli connection”, dalam J.J. Ras & S.O. Robson (eds.), Variation,
Transformation and Meaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour of
A. Teeuw, Leiden: KITLV Press, 1991, hlm. 87-114.
314 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Artikel ini mengangkat suatu kasus istimewa pada fase transisi


sastra Melayu, dalam konteks sebuah kampung di Batavia pada ujung abad
ke-19, dan menyangkut sastra tulis populer bercorak hiburan. Kajian ini
didorong oleh penemuan adanya hubungan erat antara 26 naskah Melayu
(32 jilid) yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
di Jakarta (didapatkan oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen pada 1889 dan 1899), 10 naskah yang tersimpan di
Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet seksi Leningrad (diperoleh pada
1912 dari Dr. W. Frank1), dan 7 naskah di perpustakaan Universitas Leiden
(sebagian besar berasal dari peninggalan H.N. van der Tuuk).
Ke-26 naskah yang tersimpan di Jakarta ditandatangani dengan
beragam cara yang kadang misterius. Tanda tangan yang paling sering
muncul terbaca sebagai Muhammad Bakir, sedangkan yang paling lengkap
adalah Muhammad Bakir bin Syaian bin Usman al­Fadli atau bin Fadli.
Koleksi Leningrad terdiri dari sepuluh naskah, dua di antaranya
bertandatangan Ahmad Beramka (B 2508 dan B 2506), dan satu lagi
ditandatangani dengan cara yang lebih lengkap oleh Ahmad Beramka bin
Guru Cit Sairin bin Usman bin Fadli (D 449). Berdasarkan perbandingan
tulisan tangannya, pada hemat saya, sekurang-kurangnya dua naskah
lagi (C 1966 dan D 450) adalah karya penyalin ini juga. Satu naskah
lainnya bertandatangan Sairin bin Usman (D 466). Terakhir, satu naskah
bertandatangan Ahmed Mujarrab bin Guru Cit bin Usman bin Fadli (B
2507).2

1 Sedikit sekali diketahui tentang Dr. Frank: ia memegang jabatan resmi (diplomat
atau konsul) di Timur Tengah pada tahun-tahun awal abad 20. Akademi Ilmu
Pengetahuan Imperial Rusia membeli 18 naskah darinya pada 1904 (kini 11
naskah Arab dan Persia dalam koleksi Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet
Cabang Leningrad berasal dari kelompok tersebut). Boleh diduga bahwa di
kemudian hari ia bermukim di Batavia, dan memperoleh naskah-naskah
Melayu yang kini tersimpan di perpustakaan yang sama di Leningrad.
2 Saya juga berkesan, berdasarkan tulisan tangannya, bahwa sisipan 80
halaman dalam naskah D 446 mungkin ditulis oleh Muhammad Bakir. Ini
bahkan semakin masuk akal kalau diperhatikan bahwa sisipan tersebut berisi
sebagian dari Hikayat Sultan Taburat, yaitu salah satu karya Muhammad Bakir
yang paling tebal di Jakarta. Nama-nama yang disebutkan dalam sisipan ini
sebenarnya sama dengan yang terdapat di akhir naskah ML 183D di Jakarta.
Tanggal-tanggalnya juga cocok, karena ML 183D ditulis pada bulan Mei 1887,
sedangkan sisipan tersebut ditulis pada bulan Januari 1888.
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 315

Adapun naskah-naskah Leiden, tiga naskah bertahun 1858 dan 1878


ditandatangani oleh Sairin atau Sairin bin Usman, satu naskah bertahun
1888-89 ditandatangani oleh Guru Cit (menurut Van Ronkel 1921: 126-
8; tetapi, menilik tahunnya, kemungkinan ditulis oleh Muhammad Bakir),
satu naskah lagi bertahun 1870 konon milik Ahmad Insab bin Sairin
bin Usman bin Fadli, dan dua naskah terakhir bertahun 1886 dan 1888
ditandatangani oleh Muhammad Bakir.3
Sebuah kajian tentang naskah-naskah Jakarta, beberapa tahun silam,
menggiring saya kepada asumsi bahwa ayah Muhammad Bakir, Syaian
bin Usman al-Fadli, juga memiliki nama panggilan atau nama pena Cit
(Chambert-Loir 1984: 51). Hipotesis ini perlu diralat. Keluarga Fadli aktif
dalam penulisan dan penyalinan naskah Melayu di kawasan Pecenongan,
Batavia, sejak 1858 sampai 1909. Tiga orang menjadi aktor utama dalam
usaha keluarga ini, yaitu Sairin, Muhammad Bakir dan Ahmad Beramka,
namun tiga nama lain juga disebut, yaitu Syaian, Ahmad Insab dan Ahmed
Mujarrab. Sairin inilah yang juga bernama Guru Cit, dan namanya tidak
boleh dikelirukan dengan Syaian (Syai’an). Di akhir sebuah naskah (ML
183E: 277), dalam kolofon berbentuk segitiga, tertulis tanggal penyalinan
(15 Januari 1886) dan nama penyalinnya (Muhammad Bakir bin Syai’an bin
Usman bin Fadli), dan di ujung segitiga itu, ditambahkan nama Cit Sairin
Usman. Bahwa Muhammad Bakir menuliskan dua nama ini, Syai’an dan
Sairin, yang ejaannya sangat berbeda, secara bersamaan di halaman yang
sama, jelas mengisyaratkan bahwa yang dimaksud memang dua orang
yang berbeda. Karena Syaian maupun Sairin adalah anak Usman bin
Fadli, mereka tentu bersaudara. Nama Syaian kadang ditulis dengan huruf
Latin dalam bentuk singkatan SPN (ML 183E: 236). Demikian pula, nama
Sairin ditulis Sapiereen dan Sapieren (Or. 3221: 21v, 100r). Karena itu,
selanjutnya saya akan mengeja nama mereka sebagai Sapian dan Sapirin.
Muhammad Bakir dua kali merujuk (dalam ML 183B dan ML 256)
pada karya-karya ayahnya, jadi Sapian pastilah menulis naskah juga.
Sayang, naskah-naskahnya sudah tidak ada lagi. Menurut pernyataan
Muhammad Bakir dalam salah satu jilid Hikayat Sultan Taburat (ML
183D), Sapian meninggal pada 1885.

3 Naskah Or. 3245 (Hikayat Cekel Waneng Pati) bukan “disalin oleh Dr. v.d.
Tuuk dari sebuah naskah karya Mohammad Baqir” (Juynboll 1899: 76-7):
naskah ini ditandatangani, dan sebenarnya ditulis, oleh Muhammad Bakir
sendiri pada 1888.
316 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Sedangkan perihal naskah-naskah Sapirin, hanya lima yang


terlestarikan. Tahun penulisannya berkisar dari 1858 sampai 1885. Pada
saat menyelesaikan karyanya, Hikayat Anak Pengajian (Leningrad D 446),
pada Februari 1871, ia menulis: “Yang mengarang ini hikayat Sapirin bin
Usman Betawi Kampung Pecenongan. Pada masa mengarang hikayat
ini pada tatkala baru bangun daripada penyakit yang amat payah, maka
penyakit itu pertama sakit hampir maut, kedua sakit sebab ditinggal mati
oleh anak laki-laki umur 8 bulan, ketiga sebab ditinggal mati oleh ibunya
anak itu, ketiga [sic] sebab ditinggal oleh seorang saudara laki-laki pada
tahun itu juga.” Selanjutnya ia menambah dalam catatan akhir berbentuk
syair: “Hamba mengarang ini buat penglipur hati, hamba dapat sakit payah
sebab ditinggal mati, anakku seorang harap jadi pengganti, dapat cuma
satu lagi anak laki-laki” (D 446: 260-261). Setahun sebelumnya, pada Mei
1870, seorang penulis, yang saya asumsikan adalah Sapirin, menyelesaikan
naskah lain (Hikayat Maharaja Ganda Parwa Kesuma, Or. 3241), yang ia
nyatakan sebagai “milik Ahmad Insab bin Sapirin bin Usman bin Fadli”.
Boleh kita duga bahwa Sapirin mempersembahkan naskah ini kepada
putranya yang masih bayi, Ahmad Insab, dan bahwa anak inilah yang
kematiannya membuat Sapirin berduka pada Februari 1871.
Sapirin agaknya mempunyai dua anak lagi: pertama, Ahmed
Mujarrab bin Guru Cit, penyalin Hikayat Suwiting Batara Guru (bertahun
1898), yang pada 1870 mungkin menjadi satu-satunya anak Sapirin yang
masih hidup; dan kedua, Ahmad Beramka, yang menulis pada sekitar
tahun 1906-1909. Kemiripan nama Ahmad Insab, Ahmed Mujarrab dan
Ahmad Beramka kiranya mendukung hipotesis bahwa mereka betul-betul
bersaudara.
Sedangkan mengenai putra Sapian, Muhammad Bakir, kita memiliki
karya-karyanya dalam jumlah relatif banyak: 31 jilid tersimpan di Jakarta,
dua naskah di Leiden, dan satu naskah lagi di Leningrad, seluruhnya
hampir 7.000 halaman. Muhammad Bakir aktif menulis pada tahun 1884-
1898. Kita mempunyai lebih dari seratus contoh tanda tangannya, yang
berkembang seiring perjalanan waktu. Tanda tangan ini berupa sejumlah
huruf dari namanya beserta titik-titik huruf dari nama Cit (lihat reproduksi
dalam Chambert-Loir 1984: 65-6). Ada kemungkinan ia menggabungkan
nama Cit dengan tanda tangannya sendiri sebagai cara menghormati
pamannya, yang kiranya pernah menjadi gurunya dalam seni penyalinan.
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 317

Sketsa biograis di atas diringkas dalam diagram berikut:

Di penghujung sejumlah naskah, Sapirin dan Muhammad Bakir menambah-


kan catatan akhir berbentuk syair,4 di mana mereka menyarikan moral
cerita dan kadang mengumumkan jilid berikutnya, meminta agar pembaca
merawat naskah dengan baik, atau memberikan informasi tentang diri
mereka. Dengan adanya syair-syair ini, jelaslah bahwa naskah-naskah
tersebut tidak ditulis untuk koleksi pribadi, tidak pula dimaksudkan untuk
dijual: naskah-naskah itu disalin untuk disewakan (dengan ongkos sewa
sepuluh sen per 24 jam). Keluarga Fadli mengelola sebuah taman bacaan.5
Dalam tujuh naskah yang ditulis antara tahun 1887 dan 1896,
Muhammad Bakir mencantumkan daftar teks miliknya yang disewakan.
Jika ketujuh daftar ini kita bandingkan satu sama lain serta dengan judul-
judul naskah yang tersimpan di Perpusnas, kita dapat mendaftar sekurang-
kurangnya 60 judul naskah yang disewakan oleh Muhammad Bakir.
Dan kalau kita tambahkan naskah-naskah yang tersimpan di Leiden dan
Leningrad, kita mencapai sekitar 76 judul (lihat Lampiran).
Kita tahu bahwa naskah disewakan di banyak kawasan di Batavia
(Iskandar 1981 menyebut 11 kampung di belahan utara kota), dan kita tahu
bahwa naskah dapat berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain.
Kegiatan ini juga ada di kota-kota lain: untuk menyebut dua contoh saja,
beberapa naskah yang kini tersimpan di Jakarta berasal dari taman bacaan
di Palembang pada akhir abad ke-19 (Kratz 1977), dan pada 1938 pun W.

4 Ini tidak luar biasa: bandingkan Kratz (1977) dan Iskandar (1981).
5 Bahwa satu naskah karya Sapirin (Hikayat Anak Pengajian, disalin tahun
1871), yang diiklankan oleh Muhammad Bakir sekitar tahun 1890, bisa
diperoleh oleh Dr. Frank di Batavia sekitar tahun 1910 bersama naskah-naskah
Ahmad Beramka, membuktikan bahwa Ahmad Beramka mewarisi naskah
ayahnya dan saudara sepupunya.
318 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Kern masih dapat membeli sejumlah naskah di Banjarmasin dari seorang


Tionghoa tua, “Babah Badak”, yang menyalin sendiri naskah-naskah
tersebut, tetapi kegiatannya “tidak lagi menguntungkan, karena rendahnya
minat khalayak pembaca kepada dongeng-dongeng kuno” (Kern 1948:
544).
Namun demikian, perihal keluarga Fadli luar biasa, ditilik dari
jumlah judul yang masih bisa kita rekam dan jumlah naskah yang masih
tersimpan sampai kini. Dalam surveinya tentang koleksi naskah Melayu
yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Iskandar (1981) telah
menghimpun informasi tentang para pemilik satu dua naskah, yang mereka
pinjamkan dengan imbalan sejumlah uang. Satu dua naskah tidak dapat
disebut “perpustakaan”. Iskandar hanya menyebut dua contoh koleksi
yang lebih besar: pertama, koleksi seseorang yang mewariskan 14 naskah
kepada putranya; kedua, catatan Snouck Hurgronje “yang menjelaskan
bahwa kebanyakan naskah di kampung itu [Pluit] dulunya milik mantan
wijkmeester [kepala] kampung itu” (Iskandar 1981: 146-7). Karena itu,
keluarga Fadli dengan 77 naskahnya betul-betul unik.
Dalam hal ini, Pecenongan jelas wilayah yang sangat aktif, karena
bukan saja Sapirin, Muhammad Bakir dan Ahmad Beramka membuka
taman bacaan di sana, tetapi sekurang-kurangnya tiga orang lain yang
memiliki dan menyewakan naskah juga tinggal di kawasan ini, yaitu Utung
bin Akir (Or. 3308 Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Raja Handak, dan
Or. 3319 Hikayat Marakarma), Kiman (Or. 3195a Hikayat Pandawa
Lima), dan Ence Musa (Or. 3243 Hikayat Dewa Asmara Jaya). Bahkan
satu penulis lagi mungkin anggota keluarga Fadli, karena ia bermukim di
jalan yang sama dengan Muhammad Bakir, dan tanda tangannya (yang
nyaris tak terbaca) kelihatan mengandung nama Cit (Perpusnas, C.S. 137
Hikayat Dewa Mendu).
Koleksi Fadli menyajikan sejumlah besar karya yang diketahui
tahun dan tempat penulisannya, serta contoh sastra yang diproduksi dan
dikonsumsi antara tahun 1858 dan 1909. Sastra ini adalah sastra populer,
yakni sastra hiburan yang ditulis untuk dinikmati oleh rakyat, tidak
termasuk satu pun karya terpelajar atau ilmiah. Tambahan lagi, dalam hal
taman bacaan yang dikelola secara turun-temurun oleh dua generasi ini,
terjalin kontak langsung antara pengarang dan pembaca, dan kita boleh
menduga bahwa terjadi semacam interaksi antara mereka.
Kita mengetahui serpihan biograi Muhammad Bakir dari catatan
akhir yang biasa ditambahkannya pada karya-karyanya. Naskah karyanya
yang pertama kita miliki, ialah Hikayat Muhammadan al-Saman, bertahun
1884. Naskah ini ditulis dengan sangat hati-hati, barangkali karena
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 319

menghormati topiknya, mungkin juga karena Muhammad Bakir, yang


masih belia, masih belajar keterampilan menyalin di bawah bimbingan
ayah atau pamannya. Ketika menyalin teks religius yang lain, Hikayat
Syekh Abdulkadir Jailani, delapan tahun kemudian, ia menyatakan bahwa
ia menyalin naskah hasil tulisan ayahnya.
Muhammad Bakir menikah sekitar tahun 1890. Pada 1893, ia
menyatakan punya seorang istri dan dua anak. Selama tahun-tahun itu, ia
tidak memiliki mata pencarian lain di luar taman bacaannya, yang berarti,
kalau kita mempercayai pernyataannya, ia mendapatkan nafkah yang
cukup untuk menghidupi empat orang dengan hanya menyewakan naskah-
naskahnya. Tapi hidupnya susah. Pada 1894, ia menjelaskan kesulitan-
kesulitannya:
Saya punya salam takzim pada yang menyewa hikayat ini, dikasih tahu wang
sewanya sehari semalam sepuluh sen, lebih-lebih maklum sebab saya sangat
berusahakan menulis dan bergadang minyak lampu dan kertas buat anak dan
istri saya, boleh dibilang yang saya tiada bekerja dari kecil, menumpang makan
dan pakai dari saya punya mama’, maka itu saya minta kasihannya yang sewa
ini buat sehari semalam sepuluh sen adanya. (ML 259: 193)

Namun tiga tahun kemudian, pada 1897, ia menyatakan bahwa ia menjadi


“tukang ajar anak mengaji”. Ia beralamat di Pecenongan Langgar Tinggi,
dan rupanya ia tinggal di sebuah langgar, tempat ia mengajar anak-anak
sekeliling membaca al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam.
Ia telah menjual sebagian perpustakaannya kepada Bataviaasch
Genootschap tahun 1889. Kelompok naskah keduanya dijual tahun 1899.
Kita tidak memiliki informasi lagi tentang dia setelah tahun itu.
Unsur-unsur riwayat hidup di atas amat sedikit, namun isi
karya-karya Muhammad Bakir menyajikan sekadar gambaran tentang
pendidikannya. Jumlah besar kutipan Arab dalam beberapa teks Islami
menimbulkan dugaan bahwa ia cukup menguasai bahasa Arab, sesuatu
yang cocok dengan pekerjaannya sebagai guru mengaji. Di sisi lain, genre
sastra yang rupanya paling diakrabinya adalah cerita wayang.
Dalam naskah-naskah yang disalinnya, dan khususnya dalam
naskah-naskah karangannya sendiri, Muhammad Bakir menyelipkan
banyak rincian di dalam narasi, yang menjadi cap kepribadiannya:
angka tahun (yakni tahun penyalinan), catatan margin, acuan pada aneka
peristiwa semasa, sketsa berbagai benda atau tokoh, sapaan kepada
khalayak pembaca, penjelasan tentang kata arkais dan lain sebagainya.
Semua rincian tersebut, semua kekhasan itu, memberikan suatu gaya,
suatu kepribadian pada karya-karyanya. Ia jelas sengaja mengutamakan
320 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

aspek tersebut, karena watak dan seleranya sebagai penulis, tapi mungkin
juga dengan maksud memikat lingkaran pembacanya. Para langganannya
mengetahui bahwa ketika menyewa cerita karya Muhammad Bakir,
mereka akan mendapatkan produk jenis tertentu, sebagaimana halnya para
pembaca karya novelis populer mana pun dewasa ini.
Salah satu ciri khas cerita-cerita Muhammad Bakir adalah humor:
lelucon sederhana dan kadang-kadang kasar yang bertumpu pada aneka
jurus. Efek kocak bisa muncul dari kontras. Ini terjadi pada anakronisme:
Lakon Jaka Sukara, contohnya, menyinggung letusan Gunung Krakatau,
pengemis Betawi, Lapangan Gambir, Kampung Cibubur, dan Dursasana
yang mengharumkan tubuhnya dengan minyak Cologne. Dalam cerita
wayang yang lain (Hikayat Maharaja Garbak Jagat), seorang panglima
perang menyerukan kepada para prajuritnya: “Siapa undur potong gaji
dan dapat lepas, siapa yang berani mati dapat bintang” (ML 251: 92).
Dalam cerita yang sama, seseorang mengancam akan mengkhitan Durna.
Ketika menelaah Sair Buah-Buahan, Koster (1986) telah menunjukkan
bagaimana pengarang dengan piawai merongrong berbagai genre dan pola
sastra tradisional melalui parodi dan ironi.
Cerita-cerita tersebut ditulis untuk dibacakan keras-keras, dan
humornya kadang-kadang bersifat lisan. Ini terjadi pada kasus onomatope
(tiruan bunyi),6 juga ketika narator menirukan cara berbicara cadel (pelo)
anak kecil atau aksen orang Tionghoa.7 Humor jenis lain, yang lebih
relevan dengan konteks pembicaraan kita, adalah cara Muhammad Bakir
menciptakan hubungan antara pangarang, narator, khalayak pembaca/
pendengar dan tokoh cerita. Pertama, pengarang, yakni individu yang
menandatangani naskah dengan namanya dan dikenal oleh tetangga-
tetangganya. Dalam sejumlah naskah, Muhammad Bakir mengguratkan
namanya di halaman depan teks, mengiklankan hikayat dan syair yang
ia miliki untuk disewakan, membubuhkan tanda tangan lagi di kolofon,
dan berbicara mewakili dirinya sendiri dalam catatan akhir berbentuk
syair. Ia juga menyisipkan tanda tangan dalam teks itu sendiri, dan betapa
pun samarnya paraf tersebut, itulah tanda kehadiran sang penulis atau
setidaknya tanda kepemilikan yang tidak bisa diabaikan pembaca.
6 Dalam salah satu jilid Hikayat Sultan Taburat, sebuah adegan perang menjadi
kesempatan bagi hadirnya onomatope yang ditulis dengan huruf tebal: senjata
berbunyi “cak cuk cuk”, tulang patah berbunyi “kelatak kelatik kelatuk”, bunyi
anak panah “serawat seriwit”, bunyi adu senjata “gememprang gememprung”,
dan pukulan yang mendarat di perut raja “kedabak kedabuk” (ML 183D: 219).
7 Di jilid lain dalam cerita yang sama, sesosok hantu Tionghoa mengeluh kepada
temannya bahwa calon pengantin perempuannya digaet oleh “tukang kebiri
ayam” yang menyuap ibu gadis tersebut, dan tambahnya, “Peluntungan tiada
bel-laku, bial-lah aku kawin sama olang lain saja” (ML 183C: 119).
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 321

Kedua, narator: kadang-kadang Muhammad Bakir secara pribadi


menyela narasi. Ketika misalnya seorang putri menceritakan ia anak yatim,
orang-orang yang mendengarnya menangis terisak-isak, dan cerita pun
dilanjutkan: “Maka jadi bertangis-tangisan, hingga pengarangnya jua turut
menangis sebab dari kecil ditinggal bapak, seboleh-bolehnya dilipurkan
hati ibunya jangan sampai kerusakan hatinya” (ML 249: 154). Muhammad
Bakir kadang memberikan saran kepada pembaca atau mengomentari
suatu adegan.
Ketiga, khalayak pembaca dan pendengar: narator bisa menyapa
mereka secara langsung, seperti misalnya ketika selesai menukil ayat
al-Qur’an, ia menambahkan, “Hai sekalian saudaraku yang ada duduk,
tolonglah berkata amin.” (ML 261: 89). Ada kalanya khalayak pembaca dan
pendengar seolah ambil bagian dalam cerita. Contohnya, sebuah peristiwa
luar biasa dikisahkan terjadi “daripada sebab keterima permintaan dewa
dan batara dan keterima permintaan orang ramai-ramai dan keterima
permintaan yang membaca atau yang mendengar akan kabarnya Maharaja
Garbak Jagat itu” (ML 251: 199). Pada permulaan cerita yang sama, Batara
Narada mengutus Grubuk ke bumi dan titip salam untuk Pandawa dan
khalayak pembaca dan pendengar: “Dan salam takzimku pada bapakmu
si Lurah Semar dan salam takzimku pada yang membaca dan mendengar”
(ML 251: 30).
Dan keempat, tokoh cerita: dalam beberapa cerita, tokoh-tokohnya
sekonyong-konyong menyapa narator secara langsung, seolah mereka
makhluk nyata yang hidup pada saat itu, bergantung pada kehendak
narator, sekaligus bebas memprotes penciptaannya. Suatu kali misalnya,
tatkala seorang putri harus berpisah dengan kedua orang tuanya, seorang
dayang berseru, “Aduh Tuan, sampai hatinya orang yang mengarang ini
akan membuat cerita yang selaku ini […]. Hai pengarang yang bebal, tiada
mengetahui sakit hati orang dibuatnya cerita tuan patik dipisahkan dengan
ibu bapaknya” (ML 259: 94). Dalam kisah lain (kali ini karya Sapirin), Sang
Rajuna (Arjuna) putus asa dan meratap pilu, “demikian bunyi ratapnya,
wah pengarang, sampai hatinya akan mengarang hal penyakitku ini, dan
siapakah mengarangnya itu sampai hatinya mengarangkan aku dipisahkan
dengan kekasihku? Hai pengarang, mengapakah lancapmu tanganmu
akan menulis ceritera yang demikian sampai hatinya memberi pilu dalam
hatiku. Ya pengarang, sudahlah jangan sampai hatimu mengarang seperti
ini, tiada kutanggung menahankan penyakit ini, marilah tukarkan kisah
yang lain, janganlah dibuat yang demikian, mudah-mudahan sembuhlah
penyakitku. Hai pengarang, siapakah engkau dan di manakah tempatmu
sampai hatimu berbuat ceritera yang demikian alangkah sakitnya, daripada
322 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

engkau tiada merasakan jadi mengarang barang sekehendakmu” (Or.


3241: 116). Terakhir, beberapa kali terjadi bahwa tokoh-tokoh cerita terasa
begitu ganjil dan tidak sesuai dengan latar belakang cerita, sehingga ada
kemungkinan Muhammad Bakir tengah menggambarkan potret kocak dari
tetangganya.
Semua ciri tersebut mengungkapkan kehadiran seorang pengarang
yang sangat sadar diri. Sapirin, dan Muhammad Bakir penerusnya, biasa
merombak rumus “atas kehendak Tuhan” menjadi “maka dengan takdir
Allah melakukan atas yang mengarang” (dalam Hikayat Angkawijaya
karya Sapirin, Or. 3221: 6r). Narator menempati posisi istimewa antara
Sang Khalik dan makhluk-Nya. Dalam Sair Buah-Buahan, Muhammad
Bakir menjelaskan kematian sejumlah tokoh sebagai kehendak Tuhan
(“iradat/kodrat Tuhan”), dan sekaligus menegaskan kekuasaan narator atas
jalannya cerita (“dengan takdir orang yang mengarang”, ML 254:88, bait
3).
Dalam karya Sapirin dan Muhammad Bakir, ketaksaan situasi penulis
tak henti-hentinya dimainkan. Ketika menuturkan kembali cerita klasik,
ataupun menciptakan cerita baru dengan pola yang tak kurang klasiknya,
mereka berpura-pura menghormati aturan main, mematuhi genealogi
dan skema yang lazim, menggubah episode dan dialog yang sudah bisa
ditebak, lalu sekonyong-konyong membuat kejutan dengan menyatakan
kemahakuasaan dan kebebasan mereka selaku penulis.8 Sementara itu,
kita dapat menangkap adanya semacam keakraban antara pengarang dan
khalayak pembaca/pendengar. Muhammad Bakir mengelola taman bacaan
di rumahnya sendiri,9 dan boleh kita menduga bahwa langganannya juga
tinggal di Pecenongan, dan bahwa ia mengenal mereka semua.
Sastra macam apa yang disewa para pelanggan ini? Dapat disebut
sastra populer hiburan yang sangat beraneka-ragam. Untuk memberi
gambaran tentang keragaman ini, kita dapat menyusun ke-27 karya
Muhammad Bakir dalam beberapa kategori: pertama, lima cerita terkenal
yang dapat dipandang menunjukkan pengaruh India atau Indo-Jawa:
Hikayat Seri Rama, Hikayat Panji Semirang, Hikayat Cekel Waneng Pati,
Syair Ken Tambuhan dan Hikayat Indera Bangsawan. Kelompok kedua
terdiri dari tujuh cerita pewayangan yang barangkali merupakan karangan
Muhammad Bakir sendiri. Kelompok ketiga meliputi sembilan hikayat
dan satu syair, yang sebagian besar tidak dikenal di tempat lain dan boleh
8 Untuk pembahasan masalah kepengarangan dan otoritas dalam satu karya
Muhammad Bakir, lihat Koster (1986: 88-93).
9 Dalam sebuah naskah, ia mempersilakan para pembaca agar datang ke
rumahnya untuk menyewa hikayat dan syair (ML 255: 162).
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 323

jadi gubahan Muhammad Bakir sendiri, yaitu epik-epik penuh petualangan


ajaib yang meminjam unsur-unsur dari epik India maupun Islam. Kelompok
keempat terdisi atas tiga teks khas Islam (Hikayat Syekh Muhammadan al-
Saman, Hikayat Syekh Abdulkadir Jailani dan Hikayat Bulan Berbelah).
Dan terakhir, dua “syair simbolis” (Sair Sang Kupu-Kupu dan Sair Buah-
Buahan) membentuk kelompok tersendiri. Menurut maklumat dalam Sair
Buah-Buahan, Muhammad Bakir masih memiliki dua belas syair serupa
untuk disewakan.
Ke-27 karya tersebut, 22 hikayat dan 5 syair, adalah khas sastra
tradisional sejauh menyangkut judul dan genrenya. Di akhir abad ke-19,
agak mengejutkan juga bahwa sastra tradisional ternyata masih hidup
subur di kawasan populer Batavia. Namun sejumlah unsur modern muncul
dari tumpukan materi tradisional ini.
Berbagai anakronisme dan acuan pada peristiwa kontemporer
yang diselipkan Muhammad Bakir ke dalam narasinya cenderung mele-
takkan cerita-cerita kuno dalam suatu latar modern, atau setidaknya
mempertanyakan latar waktunya. Ketika misalnya surat seorang raja ditulis
tgl. 1 Mei 1897 (ML 244:39), atau ketika seorang putri dinikahkan pada
9 September 1887 (ML 249:264), penonjolan aspek kontemporer yang
mengada-ada ini terasa seolah-olah mengaktualkan tokoh-tokoh cerita dan
sekaligus sengaja mempertanyakan iksionalitas mereka.
Ada kecenderungan modern yang lebih penting dalam psikologi
para tokoh dan realisme sejumlah adegan. Contohnya terdapat dalam
sebuah cerita yang jelas merupakan karya orisinal dan terdiri atas dua jilid:
Hikayat Nakhoda Asyik Cinta Berlekat (ML 261) dan Hikayat Merpati
Mas dan Merpati Perak (ML 249).
Dalam jilid pertama, sang tokoh berkelana dari satu negeri ke
negeri lain sebagai pedagang. Meski seorang anak raja, ia tidak bergaul
dengan sesama anak raja, melainkan dengan kalangan saudagar. Ia
menyelamatkan seorang putri beserta kedua orang tuanya dari serangan
pelamar-pelamarnya. (Dalam sebuah episode, Raja, Permaisuri dan putri
itu menyamar agar lolos dari musuh: mereka menenteng botol kosong dan
berpura-pura menjadi pelaut mabuk…) Sang tokoh, tentu saja, akhirnya
mengawini sang putri, tapi tak lama kemudian meninggalkan istrinya
untuk berkelana lagi, dan ternyata membeli seorang gadis desa untuk
dijadikan istri kedua. Harta kekayaannya dikuras demi gadis ini, sampai
ia jatuh miskin. Tatkala beberapa lama kemudian mencari sang tokoh,
istri muda ini bermalam di sebuah desa yang dihuni oleh santri-santri dan,
karena tidak percaya kepada santri yang memberinya tempat menginap,
santri itu dibuatnya mabuk dan dipermainkan. Kita langsung dapat melihat
324 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

bagaimana adegan-adegan sungguhan dari kehidupan nyata mendapat


tempat dalam bangunan sebuah narasi tradisional.
Kedua tokoh utama dalam jilid kedua, Merpati Mas dan Merpati
Perak, adalah cucu tokoh sebelumnya. Banyak di antara petualangan
mereka mengingatkan berbagai episode yang dikenal dari hikayat lain,
dan mereka sendiri adalah tokoh-tokoh yang sepenuhnya konvensional.
Namun dengan latar belakang yang tidak asing ini, muncul beberapa
adegan modern yang mengejutkan.
Kerajaan telah musnah tersapu gelombang pasang. Maka, bersama
orang tua mereka, kedua tokoh kita sepakat membangun kota baru.
“Mencipta negeri kesaktian” adalah jurus favorit sekian banyak tokoh
hikayat. Berbekal senjata sakti, raja-raja digdaya bisa dengan seketika
memunculkan begitu saja istana benteng lengkap dengan tanggul dan parit
pertahanan di sekelilingnya. Namun demikian, kedua tokoh kita tidak
mengandalkan kesaktian, dan tidak pula membangun kota yang stereotip.
Mula-mula mereka menggali tanah, mencari sisa-sisa istana lama, dan
berhasil mengeluarkan piring emas dan perak, intan permata, uang, berlian
dan lain-lain, yang mereka jual kepada para petani sekitar, kepada seorang
saudagar kaya (Hamdani), bahkan kepada seorang raja. Dengan cara itu
mereka mengumpulkan harta melimpah. Kemudian mereka membeli dari
Hamdani sebuah kapal uap yang mereka muati dengan bahan bangunan, lalu
mereka membangunkan kota baru sesuai dengan suatu rancangan: sebuah
istana, sebuah gerbang besar menghadap laut, beberapa kampung, sebuah
pasar, jalan-jalan berpagar pepohonan, kali-kali dengan jembatan, beberapa
masjid dan sekolah. Pertanian dibina (padi, sayuran, buah-buahan), modal
diberikan kepada para tukang kayu agar mereka dapat membuka usaha,
sejumlah pria sepuh diangkat menjadi penghulu kampung, dan pegawai
negeri dipilih dari kalangan warga asing yang paling terpelajar. Prosedur
hukum ditata, angkatan bersenjata dibangun, dan empat pria paling berani,
paling bijak dan paling jujur dijadikan menteri. Di sini kita dapati sesuatu
yang asing dalam sastra tradisional, yakni garis-besar sebuah utopia.10
Hikayat ini, seperti banyak hikayat lain, memuat banyak adegan
pertempuran. Ini tidak terlalu orisinal. Yang sepenuhnya baru adalah
penggambaran adegan istirahat sehabis pertempuran: tatkala malam telah
datang, dalam suasana gencatan senjata, setiap orang menyibukkan diri
sesukanya. Sejumlah lelaki merawat kuda mereka, lainnya bernyanyi atau
merokok, sebagian lagi membahas taktik bertempur esok hari, ada pula yang
menceritakan aksi gagah-berani mereka hari itu. Korban luka mengerang

10 Bdk. Lombard-Salmon (1972).


Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 325

kesakitan, didampingi teman atau sendirian. Para dokter merawat korban


luka dan cacat,11 dan raja menaikkan pangkat mereka yang berprestasi
dalam pertempuran (ML 249: 222-224). Pendeknya, adegan dilukiskan
dengan realisme yang kental dan dari sudut pandang para prajurit, sesuatu
yang pasti tidak lumrah dalam sastra tradisional.
Beberapa contoh tersebut menandai kecenderungan modern dalam
karya-karya Muhammad Bakir. Tetapi perlu diingat bahwa kecenderungan
ini begitu mencolok karena bertentangan dengan sifat umum tradisional
karya-karya itu.
Ciri lain yang melibatkan kontras adalah kehadiran beberapa
unsur Tionghoa. Saya sudah menyebut kutipan di mana aksen Tionghoa
dijadikan bahan olok-olok. Dalam dua cerita lain (keduanya kebetulan
cerita wayang), orang Tionghoa totok juga ditertawakan. Dalam kisah Jaka
Sukara, misalnya, ketika para panakawan sedang beradu mulut, “sekalian
penonton pun jadi datanglah melihat keempat bersaudara itu berbicara
karena sekalian anaknya Lurah Semar itu berbicara seperti Cina singkek
dengan sambil berburu-buru maka jadi ramai orang tertawa padanya itu
demikianlah adanya” (ML 246: 8).12
Sebuah teks yang unsur-unsur Tionghoanya melampaui lelucon nakal
jenis ini adalah Sair Buah-Buahan, sebuah teks gabungan yang terdiri dari
tiga bagian. Bagian pertama sesuai dengan judul syair ini dan merupakan
satu-satunya teks Muhammad Bakir yang menggunakan kata-kata khas
Tionghoa13. Syair ini adalah sebuah “syair simbolis” yang menuturkan
kisah cinta tokoh-tokoh yang menyandang nama buah-buahan. Ketika
berlangsung pernikahan tokoh utama, para tamu anak muda menyanyikan
lagu Tionghoa dengan irama Islami.14 Bagian kedua hanya dikait-kaitkan
dengan bagian pertama. Bagian ini mengisahkan seorang warga Tionghoa,
Baba Setiawana, yang tidak kuat menanggung duka atas kematian istrinya,
dan akhirnya mati merana.

11 Dokter ambil bagian dalam adegan lain: seorang prajurit digotong dari medan
laga, disangka mati. “Maka sigeralah datang tabib dukun memeriksa badan
dan luka, lalu diperiksa dipegang tangannya, akan nadinya masih ada dan
badannya masih hangat. Maka kata tabib, ‘Janganlah ditanamkan orang ini,
masih boleh hidup’.” (ML 249: 235).
12 Lihat juga ungkapan “bingungnya seperti Cina kebakaran jenggot” (ML 251:
97).
13 Lihat Overbeck (1934: 139).
14 “Demikian kata pengarang durjana, ramai di luar anak muda yang bijaksana,
akan memalu pukul rebana, mengadu dikir lagu Cina” (ML 254: 51).
326 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Mengenai kategorisasi bagian kedua ini, Overbeck berkomentar,


“Syair kedua mungkin berasal dari legenda Tionghoa setempat, bahkan,
dinilai dari gayanya, mungkin sudah ada dalam bentuk syair Tionghoa
setempat” (1934: 143). Walaupun Sair Buah-Buahan secara keseluruhan
memiliki “koherensi yang mencolok” (Koster 1986: 85-6), pandangan
Overbeck terasa didukung oleh cara naskah ini sendiri ditulis: baris terakhir
dari bagian pertama (ML 254:75) ditulis di tengah-tengah halaman dan
diikuti oleh tanda tangan Muhammad Bakir, yang dengan jelas menandakan
terputusnya penulisan. Namun alih-alih “legenda Tionghoa setempat”,
bagian kedua itu mungkin pernah ditulis oleh seorang peranakan Tionghoa,
lalu disalin oleh Muhammad Bakir di tengah syairnya, sebagaimana
dilakukan Ahmad Beramka beberapa tahun kemudian. Di samping itu,
kita juga harus mempertimbangkan fakta bahwa Muhammad Bakir terang-
terangan menampilkan diri sebagai pengarang Sair Buah-Buahan secara
keseluruhan. Bagaimanapun juga, memang luar-biasa bahwa di antara
27 teks tradisional, terdapat satu syair dengan tokoh utama seorang baba
Tionghoa.
Lelucon yang terarah pada aksen orang Tionghoa ketika berbicara
dalam bahasa Melayu adalah jenis humor yang dikenal semua bangsa, dan
merupakan sarana bagi sebuah komunitas untuk menegaskan identitasnya
dengan mengejek pihak luar. Namun demikian, episode Tionghoa Sair
Buah-Buahan mungkin menandakan daya-serap sastra Melayu, dalam fase
peralihan ini, terhadap sastra peranakan.
Muhammad Bakir menyalin naskah untuk pembaca dan pendengar
yang dikenalnya secara pribadi. Ia menyapa mereka secara langsung
dalam catatan akhir yang ditambahkan pada beberapa karya. Sapaan
yang digunakannya meyajikan informasi tentang identitas pelanggannya:
ia memanggil mereka baba dan nona (peranakan Tionghoa laki-laki
dan perempuan), tuan dan nyonya (kemungkinan Indo-Eropa), sahabat,
kawan, atau pembaca. Di penghujung Hikayat Seri Rama (Or. 252: 402)
misalnya, kita dapati bait berikut: “Pada pembaca juga siapa-siapa, Baba
nyonya dan kawan-kawan, Apalagi pula pada tuan-tuan, Apa pula orang
kaya hartawan”. Jadi jelaslah bahwa, sebagaimana dinyatakan Iskandar
(1981:149-50) tentang naskah-naskah lain yang disalin di Batavia pada
periode yang sama, teks-teks tersebut ditulis untuk kalangan orang pribumi
serta juga peranakan Tionghoa dan kaum Indo.
Mempertimbangkan sapaan-sapaan tersebut dalam hubungannya
dengan genre masing-masing karya, kita bisa berharap menggolongkan
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 327

cerita-cerita Muhammad Bakir menurut publiknya. Tapi ini terbukti keliru:


orang Tionghoa disebut dalam karya yang keindia-indiaan, cerita wayang,
epik pseudo-Persia, dan syair simbolis. Artinya, hanya satu kategori yang
tidak menyebut mereka, yaitu karya-karya khas Islam seperti Hikayat
Muhammadan al-Saman. Namun sesungguhnya tidak ada seorang pun
yang disebut dalam teks-teks Islami itu, karena Muhammad Bakir tidak
menambahkan catatan akhir apa pun kepadanya. Karena itu, yang harus
digarisbawahi adalah bahwa orang Tionghoa tidak dipisahkan dari
kelompok-kelompok lain: tidak ada kategori sastra yang dikhususkan bagi
mereka, dan tidak ada pula kategori yang mengesampingkan mereka.15
Mari kita beralih kepada Ahmad Beramka. Di antara naskah-naskah
Leningrad, ada lima karya yang kira-kiranya dapat dipastikan sebagai
buah penanya. Selain tulisan tangannya bersamaan, naskah-naskah ini
menunjukkan sejumlah kemiripan formal dalam hal kertas, penjilidan dan
tampilan. Selain kumpulan syair yang akan dibahas di bawah (B 2508),
empat karya selebihnya adalah yang berikut. Pertama, sebuah bunga-
rampai bersisi tidak kurang dari 153 dongeng, ringkasan kisah dan syair
pendek (C 1966). Sebagaimana kumpulan syair, judul aneka teks ini
dihiasi dengan gambar kecil. Karya kedua, bertahun 1909, berisi bagian
pertama Hikayat Marakarma (B 2506). Karya ketiga berisi bagian kedua
dari hikayat tersebut beserta sebuah versi Syair Ken Tambuhan (D 450).
Terakhir, karya keempat, yang ditulis antara September 1905 dan Januari
1906, berisi syair orisinal yang mungkin dikarang oleh Ahmad Beramka
sendiri, berjudul Sair Perang Ruslan dan Jepang (D 449).
Judul-judul tersebut sudah cukup menunjukkan percampuran genre.
Hikayat Marakarma dan Syair Ken Tambuhan adalah contoh bagus sastra
tradisional. Yang tidak lazim adalah bunga rampai ringkasan kisah dan
dongeng: sumber utamanya adalah Seribu Satu Malam, tetapi juga memuat
ringkasan beberapa hikayat Melayu serta syair orisinal bercorak didaktis.
Syair mengenai perang Rusia-Jepang tercakup dalam kategori puisi perang
yang sangat luas, dengan perbedaan penting bahwa syair ini berkenaan
dengan perang yang terjadi jauh dari dunia Melayu, dan sekaligus
merupakan bagian dari ragam sastra baru yang diilhami berita sehari-hari.
Kumpulan syair Ahmad Beramka setebal tak kurang dari 771
halaman. Kumpulan ini merangkum 15 syair yang disalin satu per satu

15 Referensi tentang kebiasaan kaum peranakan membaca legenda Islam dapat


ditemukan dalam sebuah naskah Hikayat Raja Handak yang disalin di
Semarang pada 1797, lihat Kratz (1989).
328 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

tanpa urutan yang jelas. Panjang syair-syair ini amat beragam, dari 37
sampai 2.440 bait. Sebagian besar menuturkan berbagai peristiwa yang
kurang-lebih terjadi pada masa itu, atau setidaknya ditampilkan sebagai
demikian (“yang betul sudah kejadian”). Lima syair tidak menuturkan
peristiwa nyata, yaitu Sair Abu Nawas (masih diberi subjudul “yang betul
sudah kejadian di negeri Bagdad”), Sair Baba Bujang dan Nona Bujang,
Sair Anak Kwalon Atawa Ibu Tiri, Sair Kartu, dan Sair Capjiki.
Sepuluh syair lainnya merujuk, atau berpura-pura merujuk,
kepada peristiwa-peristiwa nyata yang kebanyakan terjadi pada tahun-
tahun awal abad ke-20: cerita perampokan Java Bank tahun 1902 (Tuan
Gentis di Betawi), perkawinan R.M. Tirta Adhi Surya tahun 1906 (Sultan
Muhammad Sidik Syah), tapi juga cerita Nyai Dasima tahun 1813 yang
baru­baru ini dinyatakan sebagai iksi belaka (Hellwig 1986:51 dan catatan
8). Sair Nona Lao Fatnio mengisahkan hubungan asmara yang dinyatakan
terjadi di Bandung tahun 1909, namun lokasinya diisyaratkan dengan
cara yang agak tersamar: bait kedua berbunyi, “Ini sair yang kebetulan,
sudah kejadian di ini bulan, lima belas Nopember 1909, di mana tempat
di pinggir jalan” (hlm. 751). Penekanan atas sifat aktualitas ini adalah ciri
pertama yang menonjol pada syair-syair tersebut.
Peristiwa-peristiwa yang dikisahkan cukup sensasional: misalnya
kasus perampokan (Tuan Gentis di Betawi), pembunuhan (Lo Fenkui,
Muhammad Saleh, Nyai Dasima), perkawinan putri Sultan (Sultan
Muhammad Sidik Syah), atau petualangan seorang nyai (Nona Lao
Fatnio, Nyai Ima). Keragaman tokoh-tokohnya sungguh luar-biasa:
mereka orang Indonesia, Tionghoa, Eropa dan Arab. Latar geograisnya
pun amat beragam: aksi berlangsung di Batavia (empat syair), Jawa Barat
(tiga), Jawa Timur (satu) dan Maluku (dua). Hanya kelima syair yang
tidak berhubungan dengan peristiwa nyata, tidak mempunyai latar tempat
tertentu (kecuali Abu Nawas).
Kita tahu bahwa naskah kumpulan syair ini, seperti juga naskah-
naskah lain dalam koleksi Dr. Frank di Leningrad, dibeli di Batavia
sebelum tahun 1912. Karena naskah kumpulan syair agaknya ditulis tanpa
jeda, dan karena salah satu syair di dalamya kemungkinan besar digubah
pada November 1909, dapat kita simpulkan bahwa naskah ini disalin antara
tahun 1909 dan 1912. Yang lebih sulit ditentukan ialah apakah naskah ini
dikarang pada masa itu, atau sekadar disalin dari satu atau sejumlah naskah
lain, dan juga apakah Ahmad Beramka adalah pengarangnya atau sekadar
penyalin.
Ahmad Beramka menandatangani delapan dari lima belas syair: lima
syair pertama dan tiga syair terakhir. Ia menandatangani secara singkat
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 329

dan jelas, tanpa sapaan apa pun kepada pembaca, juga tanpa catatan akhir
seperti biasa dilakukan ayahnya dan saudara sepupunya. Tapi tidak alasan
a priori untuk menyangkal bahwa dia mengarang ke-8 syair tersebut. Tidak
pula berarti ia bukan pengarang syair-syair yang tidak ditandatanganinya.
Mungkin telaah tentang gaya penulisannya dapat menerangi masalah ini.
Jika kita memeriksa syair-syair yang ditandatangani Ahmad Beram-
ka, dua kecenderungan menjadi jelas: pertama, kecenderungan untuk
menjejalkan dan memanjangkan larik-larik hingga 19 suku kata; kedua,
kecenderungan untuk terus-menerus mengunakan rima yang sama.
Kecenderungan ini tentu saja bukan monopoli Ahmad Beramka, tapi
terdapat pada semua penyair yang tidak berbakat dan menulis dengan
terburu-buru. Namun demikian, sejumlah pengulangan dari satu syair ke
syair lain menggiring pada asumsi bahwa hal ini mungkin merupakan ciri
khas gaya Ahmad Beramka.
Pada Sair Nona Lao Fatnio misalnya, sebuah syair sangat pendek
(40 bait) yang ditandatangani Ahmad Beramka, lebih dari separuh baitnya
(24 dari 40 bait) disusun dengan tiga akhiran (-nya, -an, -lah) dan satu rima
yang diulang delapan kali (itu, tentu, waktu, situ).
Syair pendek lainnya, yang tidak ditandatangani, Sair Baba Lo
Fenkui, menampilkan ciri yang sama: lebih dari separuh baitnya (28 dari
53 bait) disusun dengan empat rima, yang juga berupa tiga akhiran (-nya,
-an, -kan), dan perulangan (itu, tentu, waktu, situ). Dua puluh bait lainnya
disusun dengan lima rima lain dengan sedikit variasi, yang berarti bahwa
kebanyakan syair ini (48 dari 53 bait) disusun dengan sembilan rima
saja serta pengulangan yang luar-biasa banyak dari kata-kata yang sama
di akhir larik. Dalam permainan atas “variasi dalam kesamaan”16, tidak
terdapat banyak variasi di sini!
Sekarang jika kita tinjau sebuah syair yang lebih panjang (492 bait)
dan tidak ditandatangani (tapi bagian akhirnya tidak lengkap), yakni Sair
Sultan Muhammad Sidik Syah, penelaahan 200 bait pertama menunjukkan
bahwa 192 dari 200 baitnya disusun dengan empat belas rima saja, bahkan
66% bait disusun dengan lima rima saja, yang lagi-lagi berupa akhiran
(-an, -kan, -nya, -lah) dan kuartet di atas (itu, tentu, waktu, situ).
Dalam syair ini pula kita temukan larik-larik yang panjangnya tidak
wajar, contohnya:
Karena menyambut tuanku putri empunya warta
Penganten mengadap di kamar penerimaan ibu suri
Kira-kira setengah jam penganten duduk depan ibunya

16 Lihat “Variation within identity in the Syair Ken Tembuhan” (Koster & Maier
1982).
330 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Selain kumpulan syair ini, Ahmad Beramka menandatangani sebuah


syair yang terdiri dari 2.747 bait, berjudul Sair Perang Ruslan dan
Jepang. Penelaahan dua bagiannya, masing-masing sebanyak 100 bait,
menunjukkan kecenderungan yang sama: 59% disusun dengan empat rima
(akhiran -an, -kan, -nya dan suku kata tu), dan 76% disusun dengan tujuh
rima saja.
Namun demikian, dua syair terakhir B 2508 (Sair Kartu dan Sair
Capjiki), yang ditandatangani oleh Ahmad Beramka, menunjukkan ciri
sebaliknya, yaitu irama, kelugasan dan keragaman. Kebanyakan lariknya
disusun dengan empat kata dasar dengan jeda yang jelas, dan rimanya
tidak diulang-ulang dengan kadar yang sama.
Saya cenderung berganggapan bahwa rima yang kurang bermutu
merupakan ciri khas karya-karya gubahan Ahmad Beramka sendiri, dengan
konsekuensi bahwa Sair Baba Lo Fenkui dan Sair Sultan Muhammad Sidik
Syah boleh dianggap sebagai ciptaannya, dan sebaliknya, Sair Kartu dan
Sair Capjiki bukanlah karangannya sendiri, meskipun ditandatanganinya.
Perbandingan dengan teks-teks lain, dalam hal ini teks cetak, dapat
juga menyoroti asal-usul syair Ahmad Beramk, sambil ikut menjelaskan
hakikat sastra tersebut.
Kebanyakan syair Ahmad Beramka diketahui melalui berbagai versi
lain dalam bentuk cetakan. Perkecualiannya adalah sebagai berikut: Sair
Hasan Mukmin di Tanah Jawa (kisah pemberontakan Kasan Mukmin
di Jawa Timur pada 1905; lihat Kartodirdjo 1978: 80-86), Sair Sultan
Muhammad Sidik Syah (tentang perkawinan Tirta Adhi Surya dengan putri
Sultan Bacan pada 1906), Sair Nyai Ima (yang juga berlatar Maluku), dan
terakhir Sair Abu Nawas (yang kita ketahui versi prosanya saja).
Sebelas judul syair lainnya terdapat juga dalam versi cetak.
Syair ketiga Ahmad Beramka misalnya, berjudul Sair dari Muhammad
Saleh yang betul sudah kejadian di Betawi Meester Cornelis dan yang
ditandatanganinya, sama topiknya dengan syair lain yang dicetak dengan
judul Sair Moehamad Saleh dan Moehamad Bentol (jang telah boenoe
sa-orang Arab di Meester Cornelis lantaran perkara oetang), tapi buku
ini sudah tidak ada lagi: syair ini hanya diketahui melalui sejumlah iklan
(Salmon 1981: 383).
Mari kita ambil contoh perbandingan dua syair Ahmad Beramka
dengan syair yang dicetak pada periode yang sama, untuk memperkirakan
kebebasan kreativitas masing-masing pengarangnya, dan agar mendapatkan
gambaran yang lebih jelas perihal ragam sastra yang digeluti saudara
sepupu Muhammad Bakir ini.
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 331

Pertama, Sair Tuan Gentis yang sudah kejadian 22 Nopember


tahun 1902. Syair panjang yang terdiri atas 236 bait dan ditandatangani
Ahmad Beramka ini mengisahkan usaha gagal untuk merampok Java
Bank di Batavia pada 22 Nopember 1902. Pelakunya adalah seorang lelaki
Belanda berusia 27 tahun bernama C.M. Gentis, yang telah tiba di Batavia
dua setengah tahun sebelumnya. Ia berhasil merampas tas berisi uang
110.000 gulden, tapi berkat keberanian para pegawai bank, ia terpaksa
meninggalkan uang itu dan melarikan diri. Akhirnya ia tertangkap dekat
Bogor, dan setahun kemudian dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Kita tidak tahu kapan Ahmad Beramka menulis syair ini, tapi tidak
mungkin sesudah 1912. Ternyata, sepuluh tahun kemudian, pada 1922, F.
Wiggers dan seorang pengarang Tionghoa berinisial Y.L.M. menerbitkan
syair dengan topik yang sama berjudul Sair Java Bank di rampok, yang
panjangnya dua kali lipat syair Ahmad Beramka dan jauh lebih terperinci.
Perbandingan kedua teks ini membuktikan bahwa, di luar soal tahunnya
masing-masing, Ahmad Beramka menyalin tiga perlima bait-bait syairnya
dari karya Wiggers dan Y.L.M. (atau barangkali dari teks yang dicontoh
oleh kedua pengarang ini). Pilihan, pengolahan dan penyusunan narasi jelas
membutuhkan kajian lebih rinci, namun sementara ini cukup dikatakan
bahwa, dalam hal Sair Tuan Gentis, Ahmad Beramka menggubah syair
dengan materi yang sebagian besar dicomot dari karya yang sudah ada,
sambil melakukan perombakan yang cermat dan personal.
Dalam hal ini akan sepenuhnya menyesatkan jika berbicara tentang
plagiarisme. Ketika menyalin sekitar 150 bait, nyaris kata demi kata, Ahmad
Beramka bertindak sebagai penyalin, seperti halnya ketika ia menyalin,
dan menandatangani, Hikayat Marakarma. Namun ketika menyusun ulang
bait-bait itu dan melengkapinya dengan 90 bait orisinal guna menciptakan
narasi baru, ia bertindak sebagai pengarang modern.
Ternyata, syair ke-12 dalam kumpulan Ahmad Beramka, Sair
Baba Lo Fenkui pachter aiun di Banjarnegara, yang panjangnya hanya
53 bait dan tidak ditandatangani, serupa dengan sebuah syair lain yang
ditulis oleh pengarang Tionghoa misterius di atas, Y.L.M. Syair ini ternyata
mengangkat topik yang sama dengan syair yang dibukukan pada 1903 oleh
Y.L.M., yaitu Boekoe sairan dari tjerita jang betoel soeda kedjadian di
Poelo Djawa dari halnja satoe toean tana dan pachter opium di Residentie
Benawan bernama Lo Fen Koei (Batavia, 1903, 88 halaman).
Ceritanya sama, tetapi dalam kasus ini, kedua syair tersebut tidak
memiliki hubungan formal: versi buku cetakan sepuluh kali lebih panjang
daripada versi naskah, dan tidak ada satu bait pun yang sama di antara
332 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

kedua versi ini. Syair Y.L.M. mungkin saduran dari cerita prosa yang
diterbitkan pada tahun yang sama oleh Gouw Peng Liang, yang mengambil
bahan ceritanya dari surat kabar Bintang Betawi. Buku terakhir ini berjudul
Tjerita jang betoel soeda kedjadian di poelo Djawa dari halnja satoe toean
tana dan pachter opium di Res. Benawan, bernama Lo Fen Koei (terpetik
dari soerat kabar Bintang Betawi).
Ceritanya tentang seorang lelaki Tionghoa kaya raya dan mata
keranjang yang tidak segan­segan memitnah dan membuat lelaki
lain dipenjara jika ia menghasratkan istri lelaki itu. Ia bahkan tega
memerintahkan pembunuhan istri seorang lelaki yang menghalanginya.
Ketika kejahatan ini terbongkar, ia bunuh diri.
Tidak dapat diketahui apakah Ahmad Beramka menulis syairnya
berdasarkan pengetahuan pribadinya tentang berbagai peristiwa, atau
berdasarkan berita yang dimuat dalam Bintang Betawi atau koran lainnya,
atau berdasarkan cerita prosa Gouw Peng Liang, ataupun berdasarkan syair
Y.L.M. Di sini, lagi-lagi kita memiliki syair yang diilhami perkara kriminal
pada tahun-tahun awal abad ke-20, tapi kali ini karya Ahmad Beramka
tampak orisinal. Pada masa itu, tidak jarang topik yang sama digarap oleh
beberapa pengarang berturut-turut.
Bahasa Ahmad Beramka juga serupa dengan bahasa para penulis
lain pada masa itu. Ia menggunakan ragam bahasa Melayu yang dituturkan
di kota-kota besar dan yang menjadi bahasa sastra populer sebelum adanya
standarisasi yang dipelopori oleh Balai Poestaka17. Ahmad Beramka tidak
banyak menggunakan bahasa Betawi dibanding sejumlah penulis lain.
Menariklah misalnya, bahwa ketika menyadur bait-bait Sair Java Bank
di rampok karya Y.L.M., ia secara sistematis mengganti tra18 dengan tidak
atau tiada, dan mengganti akhiran -in dengan -kan.
Novel-novel Balai Poestaka bukan saja mengedepankan perhatian
terdadap bahasa yang baik, tetapi juga memelopori analisis psikologis.
Syair Ahmad Beramka termasuk sebuah genre sastra yang, barangkali
karena isinya ditimba dari peristiwa-peristiwa sezaman, lebih menaruh
perhatian kepada realisme fakta ketimbang realisme tokoh. Entah itu
kejahatan Lo Fenkui atau hubungan asmara Nona Lao Fatnio, hampir tidak
ada penggambaran tentang tokoh cerita.
Contoh terbaik tentang ciri ini adalah Sair Sultan Muhammad Sidik
Syah, yang menuturkan dengan terperinci perkawinan Raden Mas Tirta
Adhi Surya dengan putri Sultan Bacan. Berhubung kita sekarang memiliki
17 Lihat Salmon (1981: 115-22).
18 Kata ini tidak tercantum dalam kamus-kamus, yang hanya mencatat kata
terada. Kata tra juga muncul misalnya dalam kedua Sair Njaie Dasima yang
terbit pada 1879 (Hellwig 1986: 53).
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 333

biograi yang bagus dan terperinci Tirta Adhi Surya (Sang Pemula, karya
Pramoedya Ananta Toer, 1985), kita membaca syair ini dengan harapan
akan menemukan potret dan apresiasi sezaman tentang tokoh termasyhur
ini. Tetapi tidak ada: kita mengetahui segala sesuatu tentang pakaian dan
jadwal Tirta, tetapi potretnya terbatas pada klise “di Tanah Jawa tiada
keduanya ia”. Dalam arti ini, dan meskipun menggunakan latar dan bahasa
modern, syair ini sepenuhnya tradisional.
Syair ini, telah kita lihat, tidak ditandatangani. Syair ini agaknya
tidak terdapat di mana pun selain dalam kumpulan syair Ahmad Beramka,
dan karena itu Ahmad Beramka mungkin adalah pengarangnya. Ketika
Ahmad Beramka mulai menulis naskah kumpulan syair setebal 771
halaman, di antara tahun 1909 dan 1912, ia mungkin menyalin syair-syair
yang sebelumnya telah ditulisnya; mungkin juga ia mengarang ke-15 syair
naskah tersebut satu per satu. Apa pun yang terjadi, agaknya tidak mustahil
ia adalah pengarang ke-15 syair tersebut – pengarang dalam paham
masa itu, yaitu bahwa ia menuturkan ulang, dalam bentuk syair, berita-
berita yang sudah diketahui khalayak pada masa itu, dengan memungut
bahan dari surat-kabar atau dari karya penulis lain sezaman, dan kadang
meminjam sebagian dari karya mereka.
Dalam hal ini, ciri yang paling menonjol adalah identitas para penulis
lain sezaman tersebut. Dari sepuluh judul syair Ahmad Beramka yang juga
ditemukan dalam buku-buku yang diterbitkan oleh penulis lain,19 semua
penulis yang bersangkutan adalah orang Peranakan Tionghoa, kecuali
Wiggers, salah satu dari kedua pengarang Sair Java Bank di rampok.20
Sastra cetak pada masa itu, yang menjadi sumber inspirasi bagi
Ahmad Beramka, sebagian sangat besar ditulis dan diterbitkan oleh orang
Tionghoa. Di sini kita memiliki contoh yang bagus tentang interaksi
(atau haruskah kita katakan keidentikan?) dari apa yang disebut sastra
Melayu-Tionghoa dan sastra Melayu. Sastra yang dihasilkan oleh orang
Tionghoa tidak terkucil, sekalipun mempunyai kekhasan sendiri. Sastra ini
merupakan salah satu agen paling aktif dalam modernisasi sastra Melayu.
Dalam hal Ahmad Beramka, sejumlah karya “Melayu-Tionghoa” disadur
dan digabungkan ke dalam sebuah kumpulan karangan yang diperuntukkan
bagi khalayak campuran di Batavia.
19 Contoh paling terkenal adalah Tjerita Njai Dasima oleh G. Francis, yang terbit
pertama kali pada 1896: setelah itu terbit dua syair, yaitu karya Tjiang O.S.
dan karya Lie Kim Hok, kedua-duanya tahun 1897 (Salmon 1981: 26, 127;
Hellwig 1986).
20 Perkecualian kedua mungkin M. bin Moehamad Sentol, yang pada 1930-an
menerbitkan buku kecil (Roepa-roepa Sair rame) yang isinya mencakup syair
berjudul Orang maen kartoe. Pengarang ini terdaftar dalam bibliograi Salmon
(1981: 252).
334 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Realisme memiliki tradisi yang mengakar kuat dalam sastra


Melayu, khususnya dalam bentuk syair. Sejumlah syair yang menceritakan
peperangan semasa dengan sangat terperinci dan akurat telah diedit; salah
satu yang paling awal adalah Syair Perang Mengkasar yang terkenal
(Skinner 1963). Dan kita tahu bahwa gubahan-gubahan bersajak yang
mengangkat berita semasa ditembangkan di istana Aceh dan Patani pada
awal abad ke-17,21 untuk menyebut dua contoh saja.
Yang baru dalam karya Ahmad Beramka dan para penulis lain yang
sezaman dengannya adalah jangkauan sosial dan geograis topik­topiknya:
tokoh utama dalam cerita mereka kebanyakan orang biasa dari berbagai
kelompok etnis. Kehidupan sehari-hari tampil ke depan. Pembunuhan,
urusan penyelewengan, perampokan, kerusuhan, menjadi bahan penulisan
karya sastra. Nasib seorang nyai Sunda di Maluku, kemalangan seorang
perampok Belanda di Batavia, atau kebobrokan seorang pedagang Tionghoa
di Jawa, dianggap patut disyairkan. Para penulis menaruh perhatian pada
apa yang terjadi di mana pun di wilayah Hindia. Sastra menjadi sastra berita.
Fenomena ini sebagian didorong oleh kemunculan media massa cetak,
yang membukakan mata publik terhadap berbagai kejadian sensasional
yang sebelumnya berada di luar cakrawala pengetahuan mereka. Khalayak
ramai menjadi ingin tahu mengenai apa yang terjadi beratus-ratus mil
jauhnya dari tempat tinggal mereka, menjadi sadar bahwa mereka adalah
bagian dari komunitas tertentu yang lebih besar daripada keluarga, distrik
atau kota mereka.
Cerita-cerita khayal Muhammad Bakir, dengan para pahlawannya
yang dianugerahi kemampuan adikodrati, beralih ke cerita-berita dan
tokoh-tokoh keseharian dalam karya Ahmad Beramka. “Sastra berita” ini
tidak memusatkan perhatian pada tokoh, melainkan pada fakta. Meskipun
judul-judulnya umumnya menampilkan nama orang, sastra ini melukiskan
tindakan, bukan aktor. Sastra baru ini harus informatif dan juga menghibur,
dan tujuan tertingginya adalah moral: cerita-cerita tersebut menyediakan
contoh, biasanya contoh buruk, untuk publik. Sementara sastra tradisional
menyodorkan model-model ideal untuk teladan perilaku dan nilai sosial,
ragam bacaan baru ini menampilkan model-model untuk tidak diteladani.
Berbagai perubahan mentalitas yang radikal ini dialami bersama
21 Saudagar Perancis, Augustin de Beaulieu, menghadiri acara hiburan di
istana Sultan Iskandar Muda pada 1621, di mana 15 atau 20 perempuan
menembangkan berbagai penaklukan Sultan (Lombard 1967: 142). Hikayat
Patani mencatat nama beberapa gubahan kelompok opera Patani pada sekitar
tahun 1640, termasuk gubahan yang mengisahkan peperangan Malaka
melawan Portugis, dan Johor melawan Jambi (Teeuw & Wyatt 1970: 115-6).
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 335

oleh pengarang maupun khalayak pembaca. Dalam hal taman bacaan


Fadli, publiknya mungkin mempunyai pengaruh tertentu atas pengarang.
Situasinya bukan lagi pembacaan (tradisional) di muka umum oleh seorang
tukang hikayat profesional, tetapi belum juga berkembang menjadi
pembacaan individual (modern). Naskah-naskah Fadli disewa oleh
individu-individu yang membacakannya keras-keras di hadapan khalayak.
Namun pengarang masih menjalin kontak langsung dengan publiknya.
Pembaca mendatangi rumah pengarang, dan boleh kita duga bahwa mereka
bertanya kepada pengarang tentang isi cerita, dan mereka membuka-buka
dan melihat-lihat berbagai kitab di rak sebelum menjatuhkan pilihan
pada sebuah judul. Mungkin juga pemilik taman bacaan tidak akan
mempercayakan naskahnya kepada orang yang tak dikenal. Dengan
kata lain, terjadi suatu pertukaran. Pengarang menerima komentar dan
kritik; ia harus menjawab pertanyaan; ia segera tahu apa yang disukai
dan apa yang tidak, genre mana yang lebih laku; ia tahu apakah lelucon-
leluconnya menggelitik tawa,22 apakah petualangan-petualangan kreasinya
mengasyikkan, apakah ia mampu memikat publiknya, atau apakah ia harus
mengubah cerita dan gayanya; ia bisa melihat apa yang paling diminati:
hikayat atau syair, teks panjang atau pendek, cerita wayang atau epik.
Hidupnya sesungguhnya bergantung pada tanggapan yang terbukti mampu
ia berikan pada permintaan pelanggan. Pendeknya, publik berada pada
posisi mempengaruhi produksi karya.
Evolusi selera dan nilai sastra yang dapat kita amati dalam khazanah
naskah yang dihasilkan keluarga Fadli mencerminkan transformasi budaya.
Dengan karya Sapirin bin Usman, Muhammad Bakir dan Ahmad Beramka,
kita memiliki contoh tentang transisi antara tradisi dan modernitas di
lingkungan yang terbatas pada ruang dan waktu tertentu. Sejumlah sangat
kecil karya Sapirin yang masih ada menunjukkan kehadiran seorang
pengarang yang amat sadar-diri, yang menulis berbagai dongeng tuntunan
akhlak dan cerita wayang untuk khalayak Islam. Muhammad Bakir
terbukti sebagai penulis yang sangat produktif dan memiliki imajinasi
tinggi. Semua karyanya (hampir 30 buah) bergenre tradisional, namun
berbagai sisipan yang melenceng dari kerangka tradisional ini memberikan
kesaksian tentang kepedulian terhadap rasionalisme, perhatian kepada
realisme, dan kesadaran akan nilai-nilai yang saling bertentangan. Ahmad
Beramka kurang berbakat dibanding saudara sepupunya ini. Karya-

22 Beberapa coretan di pinggir sejumlah naskah mencerminkan reaksi spontan


pembaca: lebih dari sekali merupakan protes dari pembaca yang terpukul oleh
adegan atau kata erotis.
336 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

karyanya termasuk sastra tradisional sekaligus ragam bacaan baru yang


sedang tumbuh pada ujung abad ke-19 di bawah kepemimpinan pengarang-
pengarang Tionghoa.
Dua ragam sastra hidup berdampingan di taman bacaan keluarga
Fadli, dihasilkan oleh penulis yang sama dan dibaca/didengarkan oleh
publik yang sama pula. Syair Ken Tambuhan dan syair-syair mengenai
nyai dan pembunuhan dinikmati oleh khalayak yang sama pada masa yang
sama. Unsur-unsur modernitas muncul dengan berbagai cara dalam karya-
karya ketiga pengarang ini. Berbagai genre tradisional masih lestari, tapi
dalam kurun lima puluh tahun, kita dapat menyaksikan berlangsungnya
proses transformasi yang kelak bermuara pada sastra modern.

LAMPIRAN

TAMAN BACAAN FADLI

Dalam koleksi naskah-naskah Melayu di Perpustakaan Nasional Jakarta


terdapat (sedikitnya) 25 naskah yang berasal dari perpustakaan Muhammad
Bakir (termasuk satu yang tidak disalin oleh Muhammad Bakir sendiri).
Tujuh kali antara tahun 1887 dan 1892, Muhammad Bakir mengiklankan
daftar naskah-naskahnya yang boleh disewa. Lima belas naskah dalam
daftar-daftar tersebut tidak terdapat dalam koleksi Jakarta, tetapi dua
di antaranya berada di Leningrad. Sebuah daftar lain sebanyak 14 syair
dilampirkan dalam bentuk puisi pada Sair Buah-Buahan. Dalam syair itu
pula, beberapa tokoh wanita membacakan delapan teks lama, yang kiranya
juga termasuk perpustakaan Muhammad Bakir, karena tiga di antaranya
benar-benar terdapat dalam koleksi Jakarta atau Leningrad.
Bila menyatukan beberapa sumber informasi ini, kita mendapat
daftar 61 judul yang hampir pasti pernah termasuk perpustakaan
Muhammad Bakir sekitar tahun 1890. Ketujuh naskah yang tersimpan di
perpustakaan universitas Leiden serta kesepuluh naskah yang tersimpan di
Akademi Soviet Ilmu-ilmu Cabang Leningrad pernah juga menjadi bagian
dari taman bacaan keluarga Fadli di Pecenongan pada waktu yang kurang
lebih sama.
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 337

Naskah yang tersimpan di Jakarta


1. Hikayat Agung Sakti, ML 260 (juga dalam daftar)
2. Hikayat Asal Mulanya Wayang, ML 241 (juga dalam daftar)
3. Hikayat Begerma Cendera, ML 239 (juga dalam daftar; satu-
satunya naskah yang tidak disalin oleh Muhammad Bakir sendiri)
4. Hikayat Gelaran Pandu Turunan Pandawa, ML 253 (juga dalam
daftar)
5. Hikayat Indera Bangsawan, ML 245
6. Hikayat Maharaja Garbak Jagat, ML 251 (juga dalam daftar)
7. Hikayat Merpati Mas, ML 249
8. Hikayat Nabi Bercukur, ML 256-2
9. Hikayat Nakhoda Asyik, ML 261 (dalam daftar disebut Hikayat
Isma Tuturan Nakhoda Sunkar bi’l-Malih)
10. Hikayat Panji Semirang, ML 177
11. Hikayat Purasara, ML 178
12. Hikayat Seri Rama, ML 252 (juga dalam daftar)
13. Hikayat Sultan Taburat, ML 183 dan ML 257-259 (juga dalam
daftar)
14. Hikayat Syah Mandewa, ML 243 (lih. No. 28)
15. Hikayat Syahrul Indera, ML 242
16. Hikayat Syekh Abdulkadir Jaelani, ML 256-1 (juga dalam daftar)
17. Hikayat Syekh Muhammadan al-Samman, ML 250 (juga dalam
daftar)
18. Lakon Jaka Sukara, ML 246
19. Sair Buah-buahan, ML 254
20. Sair Cerita Wayang, ML 248
21. Sair Kentambuhan, ML 247
22. Sair Sang Kupu-Kupu, ML 255-2
23. Sair Siti Zawiyah, ML 255-1
24. Seribu Dongeng, ML 240
25. Wayang Arjuna, ML 244

Judul lain yang diiklankan dalam daftar-daftar Muhammad Bakir

26. Arjuna Mangunjaya (barangkali sama dengan no. 25)


27. Dongeng yang Bagus (barangkali sama dengan no. 24)
28. Hikayat Damarjati Anak Syah Mandewa (lihat no. 14)
29. Hikayat Jaya Lengkara
30. Hikayat Masyudulhak
31. Hikayat Nur Hadan
32. Hikayat Pandawa Sakit
338 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

33. Hikayat Seratus Satu Cerita (barangkali sama dengan no. 24)
34. Hikayat Siti Hasana
35. Hikayat Sungging Sukar Sumpira
36. Hikayat Tamim ad-Dari
37. Hikayat Taskhir Tukang Emas
38. Sair Abdul Muluk
39. Sair Ibadat
40. Sair Palembang
41. Sair Perang Pandawa (barangkali sama dengan no. 20)
42. Sair Zainal Khair Tanda Islam

Judul yang diiklankan di akhir Sair Buah-buahan (no. 19)

43. Sair Anggur dan Delima


44. Burung Bayan dan Nuri
45. Jeruk Jepun dan Manis
46. Laler dan Nyawan
47. Nyamuk dan Agas
48. Sair Binatang Hutan
49. Sair Bunga-Bungaan
50. Sair Jangkrik dan Gangsir
51. Sair Kakap dan Tambera
52. Sair Kembang Ros
53. Sair Kuyan-Kuyan
54. Sair Rinum Sari
55. Sair Sang Capung (barangkali sama dengan no. 22)
56. Tawon dan Kumbang

Judul lain yang dikutip dalam Sair Buah-Buahan (no. 19)

Hikayat Merpati Mas (no. 7)


Hikayat Raden Cekel (no. 62)
Hikayat Sultan Taburat (no. 13)
57. Hikayat Bidasari
58. Hikayat Raja Bermadewa
59. Hikayat Raja Pandawa (barangkali sama dengan no. 4)
60. Sair Kembang Merambat (barangkali sama sebagian no. 19)
61. Sair Nasehat

Naskah yang tersimpan di Leiden

62. Hikayat Angkawijaya, Or. 3221 dan 3244 (oleh Sapirin, 1858)
63. Hikayat Cekel Waneng Pati, Or. 3245 (oleh Muhammad Bakir)
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 339

64. Hikayat Maharaja Ganda Parwa Kesuma, Or. 3241 (milik Ahmad
Insab, 1870)
65. Hikayat Sempurna Jaya, Or. 3247 (oleh Cit Sapirin bin Usman,
1878)
66. Hikayat Sempurna Jaya, Or. 3246 (oleh Muhammad Bakir, 1886 ;
diedit dalam Jamilah 1981)
67. Kitab Nukil dan risalah tentang tauhid, Sn. H. 75 (oleh Guru Cit,
1888-89)

Naskah yang tersimpan di Leningrad


Koleksi Dr. Frank
Hikayat Sultan Taburat (sisipan 80 hlm. Dalam D 446; bagian dari no.
13)
68. Kumpulan 15 syair, B 2508 (oleh Ahmad Beramka)
69. Kumpulan 153 kisah pendek, C 1966 (tulisan Ahmad Beramka)
70. Hikayat Anak Pengajian, D 446 (oleh apirin bin Usman)
71. Hikayat Marakarma I dan II, B 2506 dan D 450 (oleh Ahmad
Beramka)
72. Hikayat Marakarma, C 1967
73. Hikayat Miraj Nabi Muhammad, B 2510
74. Hikayat Raja Budak, D 668
75. Hikayat Sanghyang Batara Guru Dianiaya oleh Semar, B 2507
(oleh Ahmed Mujarrab)
76. Sair Ken Tambuhan, D 450 (tulisan Ahmad Beramka)
77. Sair Perang Ruslan san Jepang, D 449 (oleh Ahmad Beramka)

Daftar Isi Kumpulan Syair oleh Ahmad Beramka (no. 68)


a. Ini Sair Tamba Sia yang sudah kejadian di Betawi pada tahun
1851-1856, hlm. 1
b. Ini Sair Tuan Gentis di Betawi yang sudah kejadian di Betawi 22
Nopember tahun 1902, hlm. 273
c. Ini Sair dari Muhammad Saleh yang betul sudah kejadian di
Betawi Meester Cornelis, hlm. 299
d. Ini Sair Nyai Dasima yang telah sudah kejadian di Betawi pada
tahun 1813
e. Ini Sairnya Hasan Mukmin di Tanah Jawa yang betul sudah
kejadian perang sabil di Gedangan pada 19 Juni 1905, hlm. 417
f. Sair Sultan Muhammad Sidik Syah di Bacan yang tatkala
mengawinkan anaknya Pitri Fatimah pada bangsawan Jawa Raden
Mas Tirta Adi Surya yang betul sudah kejadian pada 8 Februari
1906, hlm. 426
g. Inilah Sair Nyai Ima yang betul sudah kejadian di Tanah Maluku
itu, hlm. 481
h. Ini Sairnya Abu Nawas yang betul sudah kejadian di negeri
Bagdad, hlm. 501
i. Ini Sair Baba Bujang Nona Bujang, hlm. 653
j. Sair Nona Kimgiok Nio isrinya Letnan Cina The Kinggi gila
komidi bangsawan namanya Sitingshan adanya
k. Ini Sair Anak Kwalon atawa lbu Tiri, hlm. 731
l. Sair Baba Lo Fenkui pachter aiun di Banjar Negara, hlm. 744
m. Sair Nona Lao Fatnio di Bogor yang betul sudah kejadian di Bogor
15 Nopember 1909, hlm. 751
n. Sair Kartu, hlm. 756
o. Sairnya Capjiki, hlm. 760
DAFTAR PUSTAKA

Singkatan

BEFEO Bulletin de l’École française d’Extrême-Orient


BKI Bijdragen van het Koninklijk Instituut
EFEO École française d’Extrême-Orient
ENI Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië
JMBRAS Journal of the Malayan/Malaysian Branch of the Royal
Asiatic Society
JSBRAS Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society
KITLV Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
KPG KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
MBRAS Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society
OUP Oxford University Press
RIMA RIMA (Review of Indonesian and Malayan Affairs)
TBG Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap

Abdul Rahman Haji Ismail


1998 (Penyuntingan teks Sulalat al-Salatin), dalam Cheah Boon
Kheng (ed.) Sejarah Melayu: The Malay Annals. Kuala Lumpur:
MBRAS.
Abdullah, Massir Q.
1982 Bo: Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah Bima. Mataram:
Proyek Pengembangan Permuseuman Nusa Tenggara Barat,
stensilan.
Abdullah bin Abdulkadir
1841 (ed.) Sejarah Melayu. Singapore: Thomas MacMicking.
1884 Sadjarah Malajoe of de Maleische Kronieken naar de uitgave van
Abdoellah bin Abdel-kader Moensji, H.C. Klinkert ed. Leiden:
Brill.
1953 Hikayat Abdullah, R.A. Datoek Besar & R. Roolvink eds. Jakarta:
Djambatan.
374 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

2005 “Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan”, dalam A. Sweeney (ed.),


Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, jilid 1, Jakarta:
KPG – EFEO.
Abidin, Andi Zainal
1971 “Notes on the lontara’ as historical sources”, Indonesia 12: 159-
172.
Ahmat b. Adam
1995 The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian
Consciousness (1855–1913). Ithaca: SEAP, Cornell University.
Alam, M.T.S. Lembang
1917-1920 Berbagai-bagai kepertjajan orang Meajoe ja’ni kepertjajaan
kepada orang haloes (hantoe, setan, jin dan lain-lain
sebangsanya). Batavia, 2 jil.
Alexandre de Paris
1994 Le Roman d’Alexandre, terjemahan L. Harf-Lancner. Paris (coll.
Livre de Poche).
Alian, T. Ibrahim dkk. (eds.)
1987 Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis: Kumpulan
Karangan Dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ali bin Ahmad
1979 Hikayat Inderaputera diusahakan oleh Enchè Ali bin Ahmad.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (cet. ke-8).
Alves, Jorge M. dos Santos
1991 Três Sultanatos Malaios do Estreito de Malaca nos séculos
XV e XVI (Samudera-Pasai, Aceh e Malaca/Johor). Estudo
Comparativo de História Social e Política , Disertasi, tidak terbit,
Lisboa.
2001 “Naniyar Kuniyappan: Un Tamoul, syahbandar de Samudera-Pasai
au début du XVIe siècle”, Archipel 62: 127-142.
Amin, Ahmad
1971 Sedjarah Bima: Sedjarah Pemerintahan dan Serba-serbi
Kebudayaan Bima. Bima, stensilan.
Andaya, Leonard Y.
1981 The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi
(Celebes) in the Seventeenth Century. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Anderson, Benedict R.O’G.
2009 “Bahasa tanpa nama”, dalam H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009,
hlm. 379-393.
Anderson, John
1826 Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Edinburgh –
London. (Reprint Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1971.)
Daftar Pustaka 375

Archives
1974 Archives des manuscrits cham-Khao-luc nguyen cao Cham.
Phanrang.
Arrien
1984 Histoire d’Alexandre, diterjemahkan dari bahasa Yunani oleh P.
Savinel. Paris: Minuit.
al-Attas, Syed Muhammad Naguib
1966 Rânîrî and the Wujûdiyyah in 17th Century Acheh. Kuala Lumpur:
MBRAS.
1988 The Oldest Known Malay Manuscript: A Sixteenth Century Malay
Translation of the ‘Aqâ’id of al-Nasai. Kuala Lumpur: University
of Malaya Press.
Azra, Azyumardi
1997 “A Hadrami religious scholar in Indonesia: Sayid Uthman”,
dalam Urika Freitag & William G. Clarence-Smith (eds.),
Hadrami Traders, Scholars and Statesmen in the Indian Ocean,
1750s-1960s, Leiden: Brill.
Battistini, Olivier & Pascal Charvet (eds.)
2004 Alexandre le Grand: Histoire et Dictionnaire. Paris: Laffont (coll.
Bouquins).
Bausani, A.
1962 “Note sulla struttura della ‘Hikayat’ classica malese”, Annali
dell’Instituo Universitario Orientale de Napoli, n.s. XII: 153-192.
(Terjemahan Inggris oleh L. Brakel, “Notes on the structure of the
classical Malay hikayat”, Clayton: Monash University, 1979).
Behrend, T. E. & Titik Pujiastuti
1997 Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia – EFEO, 2 jil. (Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara, jilid 3-A & 3-B).
Berg, C.C.
1961 “Javanese historiography: a synopsis of its evolution”, dalam Hall
(ed.) 1961, hlm. 13-23.
1965 “The Javanese picture of the past”, dalam Soedjatmoko dkk. (eds.)
1965, hlm. 87-118.
Berg, L.C.W. van den
1886 Le Hadramout et les colonies arabes de l’Archipel Indien, Batavia:
Imprimerie du Gouvernement. (Terjemahan Indonesia: Hadramaut
dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta: INIS, 1989).
Boisselier
1963 La Statuaire du Campa: Recherche sur les cultes et l’iconographie.
Paris: EFEO.
Bouman, M.A.
1925 “Toeharlanti: De Bimaneesche sultans verhefing”, Koloniaal
Tijdschrift, XIV (6): 710-717.
376 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Braam Morris, D.F. van


1891 “Nota van toelichting behoorende bij het contract gesloten met het
landschap Bima op den 20sten Oct. 1886”, TBG 34: 176-233.
Braginsky, V. I.
2004 The Heritage of Traditional Malay Literature: A historical survey
of genres, writings and literary views. Leiden: KITLV.
Akan terbit Dalam artikel “Sulalat al-Salatin sebagai Mitos Politik”,
merujuk pada Braginsky 2004.
Braginsky, V.I. & M.A. Boldyreva
1977 “Opisaniye malaysky rukopisey v sobranii leningradskogo
otdeleniya Instituta vostokovedeniya an SSSR”, dalam B.
Parnickel (ed.), Malaisko-indoneziiskie issledovaniya: Sbornik
statei pamyati akademika A.A. Gubera, Moskwa:Nauka, hlm. 131-
167. (Terjemahan Prancis, “Les manuscrits malais de Leningrad”,
Archipel 40, 1990: 153-178.)
Brakel, L.F.
1975 The Hikayat Muhammad Hanaiyyah: A medieval Muslim-Malay
romance. The Hague: Martinus Nijhoff.
1979 “On the origins of the Malay hikayat”, RIMA 13 (2): 2-21.
1980 “Dichtung und Wahrheit: Some notes on the development of the
study of Indonesian historiography”, Archipel 20: 35-44.
Broeze, F.J.A.
1979 “The merchant leet of Java (1820­1850)”, Archipel 18: 251-269.
Brown, C. C.
1952 “Sejarah Melayu or Malay Annals. A translation of Rafles M.
18 (in the Library of R.A.S. London)”, JMBRAS 25 (2-3): 1-276.
(Edisi baru, Sejarah Melayu or Malay Annals: An Annotated
Translation, Kuala Lumpur: OUP, 1970; cetak ulang, 1976).
Bukhari al-Jauhari
1999 Taju’ssalatin, Mahkota Raja-Raja (ed. Asdi S. Dipodjojo &
Endang Daruni Asdi). Yogyakarta: Lukman Offset.
Casparis, J.G. de
1975 Indonesian Palaeography, a History of Writing in Indonesia from
the Beginnings to c. A.D. 1500. Leiden – Köln: Brill (Handbuch
der Orientalistik, jil. 3.4.1).
1980 “Amat Majnun tombstone at Pengkalan Kempas”, JMBRAS, 53
(1): 1-22.
1998 “Some notes on ancient Bima”, Archipel 56 (L’horizon
nousantarien: mélanges en hommage à Denys Lombard), hlm.
465-468.
Cense, A.A.
1951 “Enige aantekeningen over Makassaars-Boeginese
geschiedschrijving”, BKI 107 (1): 42-60.
Daftar Pustaka 377

Chambert-Loir, Henri
1977a “Notes sur une épopée malaise: le Hikayat Dewa Mandu”, BEFEO
LXIV: 293-302.
1977b “A propos du Mahabharata malais”, BEFEO LXIV: 265-291.
1980a Hikayat Dewa Mandu. Epopée malaise. I. Texte et Présentation.
Paris: EFEO.
1980b “Les sources malaises de l’histoire de Bima”, Archipel 20: 269-
280.
1982 Syair Kerajaan Bima. Jakarta: EFEO.
1983 “Sumber Melayu tentang sejarah Bima”, dalam Citra Masyarakat
Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan.
1984 “Muhammad Bakir: A Batavian scribe and author in the nineteenth
century”, RIMA 19: 44-72.
1985a Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa. Bandung:
Angkasa – EFEO.
1985b “Dato’ ri Bandang. Légendes de l’islamisation de la région de
Célèbes Sud”, Archipel 29: 137-163. (Terjemahan Indonesia:
“Dato’ ri Bandang. Legenda pengislaman daerah Sulawesi
Selatan”, dalam D. Perret dkk. (eds.), Hubungan Budaya dalam
Sejarah Dunia Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka – EFEO, 1998, hlm. 23-61.)
1987 “Sebuah hikayat Melayu dipentaskan”, dalam 10 Tahun Kerjasama
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan École
française d‘Extrême-Orient (EFEO), Jakarta: Puslit Arkenas, hlm.
73-85.
1988 “Notes sur les relations historiques et littéraires entre Campa et
Monde Malais”, dalam Actes du Séminaire sur le Campa organisé
à l’Université de Copenhague le 23 mai 1987, Paris: Centre
d’Histoire de Civilisations de la Péninsule Indochinoise, hlm. 95-
106.
1989a “Etat, cité, commerce: le cas de Bima”, Archipel 37: 83-105.
1989b “Naskah-naskah Melayu dari Pulau Sumbawa”, dalam Ismail
Hussein dkk. (eds.), Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, jil. II, hlm. 606-629.
1991 “Malay literature in the 19th century: the Fadli connection”,
dalam J.J. Ras & S.O. Robson (eds.), Variation, Transformation
and Meaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour of A.
Teeuw, Leiden: KITLV Press, hlm. 87-114.
1992 “Sair Java-Bank di rampok: littérature malaise ou sino-malaise?”,
dalam Claudine Salmon (ed.), Le moment “sino-malais” de la
littérature indonésienne, Paris: Association Archipel, hlm. 43-70.
1994 “Some aspects of Islamic justice in the Sultanate of Pontianak c.
1880”, Indonesia Circle 63: 129-143.
1995 “Catatan hubungan sejarah dan sastera antara Campa dengan
378 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Dunia Melayu”, dalam Ismail Hussein, P.B. Lafont & Po Dharma


(eds.), Dunia Melayu dan Dunia Indocina, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, hlm. 217-234.
1999 “Sair Java-Bank di rampok: Sastra Melayu atau Melayu-
Tionghoa?”, dalam H. Chambert-Loir & Hasan Muarif Ambary
(eds.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys
Lombard, Jakarta: EFEO – Puslit Arkenas – Yayasan Obor
Indonesia, hlm. 335-364. (Edisi ke-2, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2011.)
2000 “Mythes et archives: l’historiographie indonésienne vue de Bima”,
BEFEO 87 (1): 215-245.
2004 Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah. Jakarta: KPG – EFEO.
2005 “The Sulalat al-Salatin as a political myth”, Indonesia 79: 131-
160.
2006a “Alexandre le Grand en Insulinde”, dalam H. Chambert-Loir
& Bruno Dagens (eds.), Anamorphoses: Hommage à Jacques
Dumarçay, Paris: Les Indes Savantes, hlm. 369-393.
2006b “Malay colophons”, Indonesia and the Malay World, vol. 34, No.
100, hlm. 363-381.
2007 “Hikayat Iskandar Zulkarnain di Dunia Melayu”, dalam Ahmad
Kamal Abdullah dkk. (eds.), Prosiding Seminar Kesusasteraan
Bandingan Antarabangsa, 7-9 Jun 2007, Kuala Lumpur, hlm. 94-
108.
2009a Sapirin bin Usman, Hikayat Nakhoda Asik; Muhammad Bakir,
Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak. Jakarta: Masup Jakarta –
EFEO.
2009b Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta:
KPG – EFEO.
2009c “Aksara, huruf, lambang: Jenis-jenis tulisan dalam sejarah”, dalam
H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 309-338.
2009d “Transkripsi sebagai terjemahan”, dalam H. Chambert-Loir (ed.),
Sadur, 2009, hlm. 791-807.
2010 “Kolofon Melayu”, dalam Oman Fathurahman (ed.), Filologi
dan Islam Indonesia, Jakarta: Kementerian Agama RI, Puslitbang
Lektur Keagamaan, hlm. 151-180.
2011a “Kolofon Melayu”, Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu,
3, 1, hlm. 99-119.
2011b “Sebuah sumber Prancis tentang masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda: Cerita perjalanan Augustin de Beaulieu”, dalam
Aprinus Salam dkk. (eds.), Jejak Sastra & Budaya: Prosiding
Seminar Internasional Persembahan untuk 70 Tahun Prof. Dr. Siti
Chamamah Soeratno, Yogyakarta: Elmatera, hlm. 175-208.
2011c “Kisah petualangan sebuah huruf Arab di Indonesia”, dalam
Titik Pudjiastuti & Tommy Christomy (eds.), Teks, Naskah, dan
Daftar Pustaka 379

Kelisanan Nusantara: Festschrift untuk Prof. Achadiati Ikram,


Depok: Yayasan Pernaskahan Nusantara, hlm. 1-16.
2011d “Syair Sultan Fansuri”, dalam H. Chambert-Loir, Sultan,
Pahlawan dan Hakim: Lima Teks Indonesia Lama, Jakarta: KPG.
2011e “Tempayan Kalimantan menurut sebuah teks Melayu tahun 1839”,
dalam H. Chambert-Loir, Sultan, Pahlawan dan Hakim: Lima Teks
Indonesia Lama, Jakarta: KPG.
2013 “Daendels dan al-Ghazali: wawasan politik Abdullah al-Misri”,
dalam Jelani Harun & Ben Murtagh (eds.), Penghargaan kepada
Professor Emeritus V.I. Braginsky: Mengharungi Laut Sastera
Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 50-87.
Chambert-Loir, Henri & Siti Maryam Salahuddin
1999 Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima. Jakarta: EFEO –
Yayasan Obor Indonesia. (Cetakan kedua, 2012).
Chambert-Loir, Henri, Suryadi, Oman Fatrurahman & H. Siti Maryam R.
Salahuddin
2009 Iman dan Diplomasi: Sultan Bima Abdul Hamid Muhammad Syah,
Jakarta: KPG – EFEO.
Cheah Boon Kheng
1998 “The rise and fall of the great Melakan empire: Moral judgement
in Tun Bambang’s Sejarah Melayu”, JMBRAS 71 (2): 104-121.
1998a (ed.) Sejarah Melayu: The Malay Annals. Kuala Lumpur: MBRAS
(Reprint No 17).
Cohen, Marcel
1958 La grande invention de l’écriture et son évolution. Paris:
Klincksieck. Dicetak ulang dalam Marcel Cohen & Jérôme
Peignot (eds.), Histoire et art de l’écriture, Paris: Laffont, 2005
(coll. Bouquins).
Cohen, Marcel dkk. (eds.)
1963 Ecriture et psychologie des peuples. Paris: Armand Colin. Dicetak
ulang dalam Marcel Cohen et Jérôme Peignot (eds.), Histoire et art
de l’écriture, Paris: Laffont, 2005 (coll. Bouquins).
Cohen, Matthew Isaac
2004 “Traditional and Popular Painting in Modern Java”, Archipel 69:
5-38.
Collet, Octave
1910 L’île de Java sous la domination française. Bruxelles: Falk Fils.
Collins, James T.
1998 Malay, World Language: A Short History (edisi kedua). Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. (Terjemahan Indonesia,
Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: KITLV-
Jakarta – Yayasan Obor Indonesia, 2005).
2008 Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: KPG – EFEO.
380 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Cowan, C.D. & O.W. Wolters (eds.)


1976 Southeast Asian History and Historiography: Essays Presented to
D.G.E. Hall. Ithaca: Cornell University Press.
Crawfurd, John
1820 History of the Indian Archipelago: Containing an Account of the
Manners, Arts, Languages, Religions, Institutions, and Commerce
of its Inhabitants. Edinburgh: Constable, 3 jilid.
Dain, Alphonse
1964 Les Manuscrits. Paris: Les Belles Lettres.
Dakers, C. H.
1939 “The Malay coins of Malacca”, JMBRAS 17 (1): 1-12, 2 hlm.
gambar.
Damais, L.-C.
1962-1963 “Bibliographie indonésienne. Compte rendu de Bahasa dan
Budaja”, BEFEO L (2), 1962, hlm. 417-518, jil. LI, no. 2, 1963,
hlm. 583-594, BEFEO LII (1), 1964, hlm. 204-240.
Déroche, François dkk.
2000 Manuel de codicologie des manuscrits en caractères arabes. Paris:
Bibliothèque Nationale de France.
2005 Islamic Codicology: An introduction to the study of manuscripts in
Arabic script. London: Al-Furqân Islamic Heritage Foundation.
Dipodjojo, Asdi
1981 Taju’ssalatin, Fasal 10-12. Yogyakarta: Lukman.
Douikar­Aerts, Faustina
2003 Alexander Magnus Arabicus: Zeven eeuwen Arabische
Alexandertraditie, van Pseudo-Callisthenes tot Sûrï. Disertasi,
Universitas Leiden, 2003.
Drewes, G.W.J.
1954 Een Javaanse Primbon uit de zestiende eeuw. Brill: Leiden.
1969 The Admonitions of Seh Bari. The Hague: Martinus Nijhoff.
1977 Directions for Travellers on the Mystic Path: Zakariyya al-Ansari’s
Kitab Fath al-Rahman and its Indonesian adaptations; with an
appendix on Palembang manuscripts and authors. The Hague:
Martinus Nijhoff.
1978 An Early Javanese Code of Muslim Ethics. The Hague: Martinus
Nijhoff.
1995 “Short notice on the story of Haji Mangsur of Banten”, Archipel
50: 119-122.
Drewes, G.W.J. & L.F. Brakel
1986 The Poems of Hamzah Fansuri. Dordrecht: Foris.
Eco, Umberto
2001 Experiences in Translation. Toronto: Univ. of Toronto Press.
Daftar Pustaka 381

Effendy, Tenas
1989 “Sedikit catatan tentang ‘Syair Perang Siak’”, dalam D.J. Goudie,
Syair Perang Siak, Kuala Lumpur: MBRAS, hlm. 257-268.
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie
1917-1939. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. ‘s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 8 jilid.
Endicott, K.M.
1970 An Analysis of Malay Magic. Singapore: OUP.
Eringa, F.S.
1984 Soendaas-Nederlands woordenboek. Dordrecht: Foris.
Eymeret, J.
1972 “Java sous Daendels, 1808-1811”, Archipel 4: 151-168.
Favre, Abbé P.
1875 Dictionnaire malais-français. Wina: Imprimerie Impériale.
Firdousi, Abou’lkasim
1877 Le Livre des Rois, Shah-Nameh, diterjemahkan oleh Jules Mohl.
Paris, jil. V.
Fox, J.J.
1971 “A Rotinese dynastic genealogy: structure and event”, dalam T.O.
Beidelman (ed.), The Translation of Culture: Essays to E.E. Evans-
Pritchard, London: Tavistock Publications, hlm. 37-77.
Francis, E.
1856 Herinneringen uit den levensloop van een Indisch ambtenaar van
1815 tot 1851. Batavia: Van Dorp.
Gaillard, Marina
2005 Alexandre le Grand en Iran: Le Dârân Nameh d’Abu Tâher
Tarsusi. Paris: De Boccard.
Gallop, Annabel Teh
1994 The Legacy of the Malay Letter. Warisan Warkah Melayu. London:
British Library.
2002 Malay Seal Inscriptions: a study in Islamic epigraphy from
Southeast Asia. PhD thesis, School of Oriental and African
Studies, University of London.
2003 “Malay documents in the Melaka Records”, Paper presented at the
3rd International Convention of Asia Scholars, Singapore, 19-22
August 2003.
Gallop, Annabel Teh & Bernard Arps
1991 Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia; Surat Emas:
Budaya Tulis di Indonesia. Jakarta: Yayasan Lontar.
Gonda, J.
1952 Sanskrit in Indonesia. Nagpur: International Academy of Indian
Culture.
Graaf, H.J. de
1949 Geschiedenis van Indonesië. ’s-Gravenhage – Bandung: Van
Hoeve.
382 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Guillot, Claude
2004 “La Perse et le Monde malais. Echanges commerciaux et
intellectuels”, Archipel 68: 159-192.
Guillot, Claude & Ludvik Kalus
2000 “La stèle funéraire de Hamzah Fansuri”, Archipel 60: 3-24.
(Terjemahan Indonesia, “Batu nisan Hamzah Fansuri”, dalam C.
Guillot & L. Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta:
KPG, 2008, hlm. 71-93.
Hadi, Amirul
2004 Islam and State in Sumatra: A study of seventeenth-century Aceh.
Leiden: Brill.
Hall, D.G.E. (ed.)
1961 Historians of South East Asia. London: School of Oriental and
African Studies, University of London.
Hamer, C. den
1890 “De sair Madi Kentjana”, TBG 33: 531-563.
Hanitsch, R.
1903 “On a collection of coins from Malacca”, JMBRAS 39: 183-202, 2
hlm. gambar.
1905 “On a second collection of coins from Malacca”, JMBRAS 44:
213-16, 1 hlm. gambar.
Hashim Musa
2003 Epigrai Melayu: Sejarah Sistem Tulisan dalam Bahasa Melayu.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (ed. pertama, 1997).
Hellwig, Tineke
1986 “Njai Dasima, een vrouw uit de literatuur”, dalam C.M.S. Hellwig
& S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian Letters; Essays in
Honour of Professor A. Teeuw, Dordrecht: Foris, hlm. 48-66.
Hikayat Hang Tuah
1978 [Transkripsi sebuah naskah milik Perpustakaan Nasional di
Jakarta, tertanda “oleh: Bot Genoot Schap”]. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan
Sastra Indonesia dan Daerah, 2 jilid.
Hikayat Inderaputera
1968 Hikayat Inderaputera (ed. Enche’ Ali bin Ahmad). Kuala Lumpur:
Dewa Bahasa dan Pustaka.
Hitchcock, Michael
1984 “Is this evidence for the lost kingdoms of Tambora?”, Indonesia
Circle 33: 30-35.
Ho, Engseng
2002 “Before parochialization: Diasporic Arabs cast in creole waters”,
dalam H. de Jonge & N. Kaptein (eds.), Transcending Borders:
Arabs, politics, trade and Islam in Southeast Asia, Leiden: KITLV,
hlm. 11-35.
Daftar Pustaka 383

Hoed, Benny Hoedoro


2006 Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hoëvell, W.R. van
1845 “Eenige mededeelingen omtrent het eiland Bali van Abdullah bin
Mohamad el-Mazrie”, Tijdschrift voor Neêrlandsch-Indië, VII-2:
139-201.
Hollander, J.J. de
1873 “Berichten van eenen Malaier over Siam en de Siameezen”, BKI
20: 229-230.
Hooykaas, C.
1937 Over Maleise literatuur. Leiden: Brill. (Edisi kedua, 1947)
1951 Perintis Sastra. Groningen – Jakarta: J.B. Wolters.
Ikram, Achadiati dkk.
2001 Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta:
Masyarakat Pernaskahan Nusantara – Yayasan Obor Indonesia.
Iskandar, Teuku
1981 “Some manuscripts formerly belonging to Jakarta lending
libraries”, dalam N. Phillips & K. Anwar (eds.), Papers on
Indonesian Languages and Literatures, London: Indonesian
Etymological Project – Paris: Association Archipel, hlm. 145-152.
1995 Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Brunei: Universiti
Brunei Darussalam.
1999 Catalogue of Malay, Minangkabau and South Sumatran
Manuscripts in the Netherlands. Leiden: Documentatiebureau
Islam-Christendom, 2 jil.
Jamilah Haji Ahmad (ed.)
1981 Hikayat Sempurna Jaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Jedamski, Doris
2009 “Terjemahan sastra dari bahasa-bahasa Eropa ke dalam bahasa
Melayu sampai tahun 1942”, dalam H. Chambert-Loir (ed.),
Sadur, 2009, hlm. 171-203.
Jelani Harun
2003 Pemikiran Adab Ketatanegaraan Kesultanan Melayu. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
2004 “Bustan al-Salatin, ‘The Garden of Kings’: A universal history
and adab work from seventeenth-century Aceh”, Indonesia and the
Malay World, vol. 32, No. 92: 21-52.
Jones, Russell
1975 “The date of School of Oriental and African Studies naskah dari
Sjair Perang Mengkasar”, Bulletin of the School of Oriental and
African Studies 38 (2): 418-420.
1979 “Ten Conversion Myths from Indonesia”, dalam N. Levtzion (ed.),
Conversion to Islam, London.
384 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

1985 Hikayat Sultan Ibrahim ibn Adham. An edition of an anonymous


Malay text with translation and notes. Berkeley: University of
California.
1987 Hikayat Raja Pasai. Petaling Jaya: Fajar Bakti.
2007 Loan-Words in Indonesian and Malay. Leiden: KITLV.
Jong Boers, Bernice de
1995 “Mount Tambora in 1815: A volcanic eruption in Indonesia and its
aftermath”, Indonesia 60: 36-60.
Jordaan, R. E. & P. E. de Josselin de Jong,
1985 “Sickness as metaphor in Indonesian political myths”, BKI 141 (2):
253-274.
Josselin de Jong, J.P.B. de
1935 De Maleische Archipel als ethnologisch studieveld. Leiden: J.
Ginsberg.
1977 “The Malay Archipelago as a ield of ethnological study”, dalam
P.E. de Josselin de Jong (ed.), Structural Anthropology in the
Netherlands, The Hague: Martinus Nijhoff, hlm. 166-182.
Josselin de Jong, P. E de
1961. “Who’s Who in the Malay Annals”, JMBRAS, 34 (2): 1-89.
1964 “The Character of the Malay Annals”, dalam Malayan and
Indonesian Studies, J. Bastin & R. Roolvink (eds.), Oxford: The
Clarendon Press, hlm. 235-241.
1985 “Le roi en son royaume: mythes politiques de l’Indonésie
occidentale”, ASEMI XVI (1-4): 195-210.
1986 “Textual anthropology and history: The sick king”, dalam C.D.
Grijns & S.O. Robson (eds.), Cultural Contact and Textual
Interpretation, Dordrecht: Foris.
Junus, Umar
1984 Sejarah Melayu: Menemukan Diri Kembali. Petaling Jaya: Fajar
Bakti.
Jusuf, Jumsari (ed.)
1978 Antologi Syair Simbolik dalam Sastra Indonesia Lama. Jakarta:
Departement Pendidikan dan Kebudayaan.
Juynboll, H.H.
1899 Catalogus van de Maleische en Sundaneesche handschriften der
Leidsche Universiteits-bibliotheek. Leiden: Brill.
Kartodirdjo, Sartono
1973 Protest Movements in Rural Java. Singapore: OUP.
Kassim Ahmad (ed.)
1964 Hikayat Hang Tuah [transkripsi sebuah naskah milik Dewan
Bahasa dan Pustaka]. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
(Edisi ketiga, 1971).
2004 Hikayat Abdullah. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan.
Daftar Pustaka 385

Katalog Manuskrip Melayu di Jerman Barat


1992 Katalog Manuskrip Melayu di Jerman Barat, oleh Asma Ahmat.
Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Katalog Manuskrip Melayu di Perancis
1991 Katalog Manuskrip Melayu di Perancis, oleh Siti Mariani Omar.
Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Kathirithamby-Wells, J. & Muhammad Yusoff Hashim
1985 The Syair Mukomuko: some historical aspects of a nineteenth
century Sumatran chronicle. Kuala Lumpur: MBRAS.
Kern, H.
1948 “Uit de verslagen van Dr W. Kern, taalambtenaar op Borneo,
1938-1941”, TBG 82 (3-4): 538-47.
Kern, R.A.
1947 “Proeve van Boegineesche geschiedschrijving”, BKI 104: 1-31.
Khalid Hussain
1967 Hikayat Iskandar Zulkarnain. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Koster, G. L.
1986 “The soothing works of the seducer and their dubious fruits:
interpreting the Syair Buah-Buahan”, dalam C.M.S. Hellwig
& S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian Letters; Essays in
Honour of Professor A. Teeuw, Dordrecht: Foris, hlm. 73-99.
1997 Roaming through Seductive Gardens: Readings in Malay
narrative. Leiden: KITLV.
Koster, G.L. & H.M.J. Maier
1982 “Variation within identity in the Syair Ken Tembuhan”, Indonesia
Circle 29: 3-17.
1986 “The Kerajaan at war: on the genre heroic-historical syair”, dalam
Tauik Abdullah (ed.), Papers of the Fourth Indonesian-Dutch
History Conference, Yogyakarta 24-29 July 1983. Part Two:
Literature and History. Yogyakarta, Gadjah Mada, hlm. 29-72.
Kratz, Ulrich
1977 “Running a library in Palembang in 1886 A.D.”, Indonesia Circle
14: 3-12.
1980 “A brief description of the ‘Malay’ manuscripts of the ‘Overbeck
Collection’ at the Museum Pusat, Jakarta”, JMBRAS 53 (1): 90-
106.
1989 “Hikayat Raja Pasai: A second manuscript”, JMBRAS 62 (1): 1-10.
2002 “Jawi spelling and orthography: A brief review”, Indonesia and the
Malay World, vol. 30, no. 86: 21-26.
Kratz, E.U. & Adrietty Amir
2002 Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Lacarrière, Jacques
2002 La Légende d’Alexandre. Paris: Gallimard (coll. Folio).
386 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Lafont, P.-B.
1977 Catalogue des manuscrits cam des bibliothèques françaises. Paris:
EFEO.
Lapian, A.B.
1987 “Bencana alam dan penulisan sejarah (Krakatau 1883 dan Cilegon
1888)”, dalam Alian dkk. (eds.) 1987, hlm. 211­231.
Leeuwen, Pieter Johannes van
1937 De Maleische Alexanderroman. Meppel: Ten Brink.
Lemaire, Jacques
1989 Introduction à la codicologie. Louvain-la-Neuve: Université
Catholique.
Leyden, John.
1821 Malay Annals: Translated from the Malay language by the late Dr
John Leyden with an introduction by Sir Thomas Stamford Rafles.
London: Longman. (Cetak ulang, Kuala Lumpur: MBRAS, 2001).
Liaw Yock Fang
1975 Sejarah Kesusasteraan Melayu Klassik. Singapura: Pustaka
Nasional. (Cetakan ke-3, 1982).
1976 Undang-Undang Melaka: The laws of Melaka. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Ligtvoet, A.
1880 “Transcriptie van het dagboek der vorsten van Gowa en Tello met
vertaling en aanteekeningen”, BKI 28: 1-259.
Linden, A. van der
1937 De Europeaan in de Maleische Literatuur. Meppel.
Lombard, Denys
1967 Le Sultanat d’Atjeh au temps d’Iskandar Muda (1607-1636). Paris:
EFEO.
1979 “Regard nouveau sur les ‘pirates malais’ (première moitié du
XIXème siècle”, Archipel 18: 231-250.
1990 Le carrefour javanais. Essai d’histoire globale. Paris: EHESS.
Lombard-Salmon, Claudine
1972 “Société peranakan et utopie: deux romans sino-malais (1934-
1939)”, Archipel 3: 169-195.
Manguin, Pierre-Yves
1979 “L’Introduction de l’Islam au Campa”, BEFEO 61: 255-287.
Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia
1987 Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia: Satu
Katalog Ringkas. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Marihandono, Djoko
2005 Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan: Herman Willem Daendels
di Jawa, 1808-1811: Penerapan Instruksi Napoléon Bonaparte.
Depok: Program Pascasarjana, FIPB, Universitas Indonesia.
Daftar Pustaka 387

Marrison, G.E.
1955 “Persian inluences in Malay life”, JMBRAS 28 (1): 52-69.
1985 “The Chams and their literature”, JMBRAS 58 (2): 45-70.
Marsden, William
1811 History of Sumatra. London: Cox and Baylis (3rd revised edition).
(Edisi pertama, 1783. Cetakan ulang, OUP, 1966, 1975.)
Matheson Hooker, Virginia (ed.)
1991 Tuhfat al-Nais: Sejarah Melayu-Islam. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Matheson, Virginia & Barbara Watson Andaya
1982 The Precious Gift (Tuhfat al-Nais). Kuala Lumpur: OUP.
Matthes, B.F.
1856 “Verslag van een verblijf in de binnenlanden van celebes, van
24 April tot 24 October 1856”, dalam H. van den Brink, Dr.
Benjamin Frederick Matthes: zijn leven en arbeid in dienst van
het Nederlandsch Bijbelgenootschap, Amsterdam: Nederlandsch
Bijbelgenootschap, hlm. 178-188.
1875 Korte verslag aangaande alle mij in Eropa bekende
Makassaarsche en Boegineesche handschrijften. Amsterdam:
Nederlandsche Bijbelgenootschap.
McRoberts, R. W.
1984 “An Examination of the Fall of Malacca in 1511”, JMBRAS 57 (1):
26-39.
Mohamed Salleh Perang
1980 Reputations Live On: an early Malay autobiography (A. Sweeney
ed.). Berkeley, Cal.: University of California Press.
Mohd. Ghazali bin Haji Abbas & Che Selamah bt Che Musthafa

1988 Katalog Induk Koleksi Sastra Tionghoa Peranakan. Bangi:


Universiti Kebangsaan Malaysia (mimeogr.).
Molen, W. van der
2007 “The Syair of Minye Tujuh”, BKI 163 (2-3): 356-375. (Terjemahan
Indonesia: “Syair Minye Tujuh”, dalam Claude Guillot & Ludvik
Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta: KPG – EFEO,
hlm. 37-63.)
Moussay, G.
1975 Akayet Deva Mano, traduit du Cam et annoté. Paris, EHESS,
disertasi, tidak terbit, 411 hlm. ketikan.
1976 “Pram Dit Pram Lak (La geste de Rama chez les Cam)”, dalam
Actes du XXIXe Congrès International des Orientalistes, Asie
du Sud-Est Continentale, Paris: Asiathèque, jil. II, hlm. 131-135.
(Terjemahan Indonesia, “Pram Dit Pram Lak: Cerita Rama dalam
Sastra Cam”, dalam Kerajaan Campa, Jakarta: Balai Pustaka,
1981, hlm. 187-195.
1995 “Akayet Inra Patra: Versi Campa daripada hikayat Melayu
388 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Indraputra”, dalam Ismail Hussein, P.B. Lafont & Po Dharma


(eds.), Dunia Melayu dan Dunia Indocina, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, hlm. 244-259.
Moy, Timothy J.
1975 “The ‘Sejarah Melayu’ tradition of power and political structure:
An assessment of relevant sections of the ‘Tuhfat al­Nais’”,
JMBRAS 48 (2).
Muhammad Haji Salleh
1997 Sulalat al-Salatin, ya’ni Perteturun Segala Raja-Raja Karangan
Tun Seri Lanang. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan – Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Muhammad Yusoff Hashim
1980 Syair Sultan Maulana: suatu penelitian kritis tentang hasil
pensejarahan Melayu tradisional. Kuala Lumpur: Universiti
Malaya.
1990 Kesultanan Melayu Melaka: Kajian beberapa aspek tentang
Melaka pada abad ke-15 dan abad ke-16 dalam sejarah Malaysia.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mu’jizah
2008 Surat Melayu Beriluminasi Raja Nusantara dan Pemerintah
Hindia Belanda Abad ke-18 – 19. Jakarta: KPG – EFEO – KITLV
– Pusat Bahasa.
Mulyadi, Sri Wulan Rudjiati
1980 “Rona keislaman dalam Hikayat Indraputra”, Archipel 20: 133-
142.
1983 Hikayat Indraputra: A Malay romance. Dordrecht: Foris.
1994 Kodikologi Melayu di Indonesia. Depok: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Mulyadi, Sri Wulan Rudjiati & H. Siti Maryam Salahuddin
1990-1992 Katalogus Naskah Melayu Bima. Bima: Yayasan Museum
Kebudayaan Samparaja, 2 jilid.
Mus, Paul
1928 “Études Indiennes et Indochinoises. I. L’inscription à Valmiki de
Prakaçadharma (Tra-Kiêu)”, BEFEO XXVIII: 147-152.
Mutiara, Putri Minerva
1993 Sejarah Melayu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Proyek
Pembinaan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Nara Vija
1976 Akayet Inra Patra. Paris, disertasi, tidak terbit.
Netscher, E.
1850 “Verzameling van overleveringen van het rijk van Minangkabau
uit oorspronkelijk Maleisch vertaald”, Indisch Archief, 2de jrg,
deel III: 33-68.
Daftar Pustaka 389

Newbold, T. J.
1839 Political and Statistical Account of the British Settlements in the
Straits of Malacca. London: J. Murray. (Cetak ulang, OUP, 1971).
Noorduyn, J.
1955 Een achttiende-eeuwse kroniek van Wadjo: Buginese
historiograie. Den Haag: H.L. Smits.
1956 “De islamisering van Makassar”, BKI 112 (3): 247-266.
1961 “Some aspects of Macasar-Buginese historiography”, dalam Hall
1961, hlm. 29-36.
1965 “Origins of South Celebes historical writing”, dalam Soedjatmoko
dkk. 1965, hlm. 137-155.
1987a Bima en Sumbawa: Bijdragen tot de geschiedenis van de
sultanaten Bima en Sumbawa door A. Ligvoet en G.P. Rouffaer.
Dordrecht: Foris.
1987b “Makassar and the islamization of Bima”, BKI 143 (2-3): 312-342.
1991 “The manuscripts of the Makasarese chronicles of Goa and Talloq:
An evaluation”, BKI 147 (4): 454-484.
Nooteboom, C.
1950 “Enkele feiten uit de geschiedenis van Manggarai (West Flores)”,
dalam Bingkisan Budi: Een bundel opstellen aan Dr Philippus
Samuel van Ronkel... op zijn tachtigste verjaardag, Leyde:
Sijthoff, hlm. 207-214.
Oetomo, Dede
1987 “Serat Ang Dok: a Confucian treatise in Javanese”, Archipel 34:
181-197.
Ophuijsen, C.A. van
1901 Kitab Logat Melajoe. Woordenlijst voor de spelling der Maleische
taal. Batavia.
Overbeck, Hans
1934 “Malay animal and lower shaers”, JMBRAS 12 (2): 108-148.
Pelras, Christian
1975a “Guide Archipel II: la Province de Célèbes-Sud”, Archipel 10: 11-
50.
1975b “Introduction à la littérature bugis”, Archipel 10: 239-267.
1985 “Religion, tradition and the dynamics of Islamization in South
Sulawesi”, Archipel 29: 107-135.
Pigeaud, Th.
1927 “Alexander, Sakender en Senapati”, Djawa 7: 321-361.
1967 Literature of Java. Catalogue raisonné of Javanese manuscripts in
The Netherlands, vol. I. Synopsis of Javanese Literature, 900-1900
A.D. Den Haag: Martinus Nijhoff.
Pires, Tomé
1944 The Suma Oriental [1515], ed. Armando Cortesaõ. London:
Hakluyt Society, 2 jilid.
390 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Plutarque
1993 La vie d’Alexandre, diterjemahkan dari bahasa Yunani oleh Robert
Flacelière & Émile Chambry. Paris: Autrement. (Edisi pertama,
Paris: Les Belles Lettres, 1975).
Po Dharma
1981 Complément au catalogue des manuscrits cam des bibliothèques
françaises. Paris: EFEO.
1982 “Note sur la littérature cam”, Shiroku 15: 43-67.
Po Dharma, G. Moussay & Abdul Karim
1997 Akayet Inra Patra. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia
– EFEO.
1998 Akayet Dowa Mano. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara
Malaysia – EFEO.
Proudfoot, Ian
1984 “Variation in a Malay Folk-Tale Tradition”, RIMA 18: 87-102.
1993 Early Malay Printed Books. A Provisional Account of Materials
Published in the Singapore-Malaysian Area up to 1920, Noting
Holdings in Major Public Collections. Kuala Lumpur: Academy of
Malay Studies and the Library University of Malaya.
2002 “From recital to sight-reading: the silencing of texts in Malaysia”,
Indonesia and the Malay World, vol. 30, no. 87: 117-144.
2003 “An expedition into the politics of Malay philology”, JMBRAS 76
(1): 1-53.
2006 Old Muslim calendars of Southeast Asia. Leiden – Boston: Brill
(Handbook of Oriental Studies / Handbuch der Orientalistik).
Pseudo-Callistènes
2004 Le Roman d’Alexandre: La vie et les hauts faits d’Alexandre de
Macédoine, diterjemahkan dan dikomentari oleh Gilles Bonnouré
dan Blandine Serret. Paris: Les Belles Lettres. (edisi pertama,
1992).
Radicchi, Anna
2009 “Tradisi tata bahasa Sanskerta di Jawa dan Bali”, dalam H.
Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 343-357.
Rahmah Bujang
1975 Sejarah Perkembangan Drama Bangsawan di Tanah Melayu dan
Singapura. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. (Tesis
MA, Universiti Malaya, 1972).
Ras, J. J.
1968 Hikayat Bandjar: A study in Malay historiography. The Hague:
Martinus Nijhoff.
1973 “The Panji Romance and W.H. Rassers’ analysis of its theme”, BKI
129 (4): 412-457.
1991 “In memoriam Professor C.C. Berg, 10-2-1900 tot 25-6-1990”,
BKI 147 (1): 1-16.
Daftar Pustaka 391

Rassers, W.H.
1921 De Pandji-Roman. Antwerpen.
Reid, Anthony
1988-1993 Southeast Asia in the Age of Commerce, New Haven: Yale
University Press, 2 jil.
1999 Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia. Chiang Mai:
Silkworm Books.
Reid, Anthony & David Marr (eds.)
1979 Perceptions of the Past in Southeast Asia. Singapore: Heinemann
Educational Books.
Renou, Louis & Jean Filliozat
1947 L’Inde classique. Paris: Payot, 2 jilid.
Rentse, Anker
1933 “Notes on Malay beliefs”, JMBRAS 11 (2): 245-251.
Ricklefs, M.C.
1976 “Javanese sources in the writing of modern Javanese history”,
dalam Cowan & Wolters (eds.) 1976, p. 332-344.
1981/2008. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Inggris: Palgrave
Macmillan. (Edisi ke-3, 2001; edisi ke-4, 2008).
1987 “Indonesian history and literature”, dalam Alian dkk. (eds.) 1987,
hlm. 199-210.
1998 The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726-1749: History,
Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II. Honolulu:
Asian Studies Association of Australia in association with Allen &
Unwin and University of Hawaii Press.
2006 Mystic Synthesis in Java. A History of Islamization from the
Fourteenth to Early Nineteenth Centuries. Norwalk (Conn.):
EastBridge.
Ricklefs, M.C. & P. Voorhoeve
1977 Indonesian Manuscripts in Great Britain. Oxford: OUP. (Edisi
baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia – EFEO, 2014.)
Robson, Stuart & Singgih Wibisono
2002 Javanese English Dictionary. Singapore: Periplus.
Rodinson, Maxime
2005 “Le monde arabe et l‘extension de l‘écriture arabe”, dalam Marcel
Cohen & Jérôme Peignot (eds.), Histoire et art de l’écriture, Paris:
Laffont, 2005 (coll. Bouquins), hlm. 713-724. (Edisi pertama
dalam Marcel Cohen dkk. (eds.), L’écriture et la psychologie des
peuples, Paris: Armand Colin, 1963.)
Ronkel, Ph. S. van
1908 “Catalogus der Maleische handschriften van het KITLV”, BKI 60:
181-248.
1909 Catalogus der Maleische handschriften in het Museum van het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia
– The Hague.
392 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

1918 “Daendels in de Maleische Literatuur”, Koloniaal Tijdschrift, VII:


858-875.
1921 Supplement-catalogus der Maleische en Minangkabausche
handschriften in de Leidsche Universiteits-Bibliotheek. Leiden:
Brill.
Roolvink, R.
1967 “The Variant Versions of the Malay Annals”, BKI 123 (3): 301-
324. (Dicetak ulang dalam Brown, Sejarah Melayu or Malay
Annals).
1998 “Sejarah Melayu: Masalah versi-versi yang lain”, dalam Cheah
Boon Kheng (ed.), Sejarah Melayu: The Malay Annals, Kuala
Lumpur: MBRAS, hlm. 21-35.
Rosenthal, Franz
1968 A History of Muslim Historiography. Leiden: Brill. (2nd revised
ed.; 1st ed. 1952.)
Rosidi, Ajip
2000 (ed.) Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya, Termasuk
Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.
2010 Bus, Bis, Bas. Jakarta: Pusataka Jaya.
Rubinstein, Raechelle
1996 “Colophons as a tool for mapping the literary history of Bali: Ida
Pedanda Made Sidemen – poet, author and scribe”, Archipel 52:
173-191.
Salmon, Claudine
1980 “La notion de “sino-malais” est-elle pertinente d’un point de vue
linguistique?”, Archipel 20: 177-186.
1981 Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional
Annotated Bibliography. Paris: Maison des Sciences de l’Homme.
1991 “The Han family of East Java. Entrepreneurship and politics (18th-
19th centuries)”, Archipel 41: 53-87.
Samad Ahmad, A.
1979 Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka. (Cetakan baru, 2000).
Samuel, Jérôme
2008 Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosakata dan Politik
Peristilahan. Jakarta: KPG.
Sastrahadiprawira, R. Memed
1978 Pangeran Kornel. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah.
Savarimuthu, Arockiamary A.P.
1992 Ayat Majmuk dalam Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Daftar Pustaka 393

Shellabear, W. G. (ed.)
1896 Sejarah Melayu. Singapore: Methodist Publishing House, edisi
Jawi.
1898 Sejarah Melayu. Singapore: Methodist Publishing House, edisi
Latin. (Cetak ulang 1909, 1924; edisi baru, Singapore: Malayan
Publishing House, 1961; cetak ulang, Singapore: OUP, 1967;
Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1975, 1977, 1979, 1982).
1901 “The evolution of Malay spelling”, JSBRAS 36: 75-135.
Siegel, James
1979 Shadow and Sound: The Historical thought of a Sumatran people.
Chicago – London: The University of Chicago Press.
Singh, Saran
1986 The Encyclopaedia of the Coins of Malaysia, Singapore and
Brunei 1400-1967. Kuala Lumpur: Malaysia Numismatic Society.
(Edisi kedua, 1996).
Situmorang, T. D. & A. Teeuw (eds.)
1952 Sedjarah Melayu Menurut Terbitan Abdullah (ibn Abdulkadir
Munsji). Jakarta: Djambatan.
Skeat, W.W.
1900 Malay Magic. London: Macmillan.
Skinner, C.
1963 Sja’ir Perang Mengkasar; The rhymed chronicle of the Macassar
War by Entji’ Amin. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
1978 “Transitional Malay literature: Part 1. Ahmad Rijaluddin and
Munshi Abdullah”, BKI 134 (4): 466-487.
1982 Ahmad Rijaluddin’s Hikayat Perintah Negeri Benggala. The
Hague: Martinus Nijhoff.
1985 The Battle for Junk Ceylon: the Syair Maulana; text, translation
and notes. Dordrecht: Foris.
Snouck Hurgronje, C.
1888 “Nog iets over de Salasila van Koetei”, BKI 37: 109-112.
Soedjatmoko dkk. (eds.)
1965 An Introduction to Indonesian Historiography. Ithaca: Cornell
University Press.
Soeratno, Siti Chamamah
1991 Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi. Jakarta: Balai
Pustaka.
1992 Hikayat Iskandar Zulkarnain: Sutingan Teks. Jakarta: Balai
Pustaka.
Southgate, Minoo S.
1977 “Portrait of Alexander in Persian Alexander romances of the
Islamic Era”, Journal of the American Oriental Society, 97 (3):
278-284.
394 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Stutterheim, W.F.
1956 “An ancient Javanese Bhima cultus”, dalam W.F. Stutterheim,
Studies in Indonesian Archaeology, The Hague: Martinus Nijhoff,
hlm. 105-143.
Sudewa Alex
1995 Dari Kartasura ke Surakarta. Jilid Pertama. Studi Kasus Serat
Iskandar. Yogyakarta: Lembaga Studi Asia.
Sweeney, Amin
1967 “The Connection between the Hikayat Raja2 Pasai and the Sejarah
Melayu”, JMBRAS 40 (2): 94-105.
1980 (ed.), Reputations Live On: an early Malay autobiography.
Berkeley, Cal.: University of California Press.
1992 “Malay Sui poetics and European norms”, Journal of the
American Oriental Society, vol. 112, no. 1, Jan.-March 1992: 88-
102.
Talib, Yusof A.
1974 “Les Hadramis et le monde malais”, Archipel 7: 41-68.
Teeuw, A.
1959 “The History of the Malay Language: A Preliminary Survey”, BKI
115 (2): 138-156.
1961 A Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia.
‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
1964 “Hikayat Raja-Raja Pasai and Sejarah Melayu”, dalam J. Bastin &
R. Roolvink (eds.), Malayan and Indonesian Studies, Oxford: The
Clarendon Press, hlm. 222-234.
1976 “Some remarks on the study of so-called historical texts in
Indonesian languages”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed.), Proiles
of Malay Culture: Historiography, Religion and Politics,
Yogyakarta: Depdikbud, hlm. 3-26.
1984 “Indonesia as a ‘Field of Literary Study’. A case study:
genealogical narrative texts as an Indonesian literary genre”, dalam
P.E. de Josselin de Jong (ed.), Unity in Diversity: Indonesia as a
Field of Anthropological Study, Dordrecht: Foris, hlm. 38-59.
Teeuw, A. & R. Dumas, Muhammad Haji Salleh, R. Tol, M.J. van Yperen
2004 A Merry Senhor in the Malay World: Four Texts of the Syair
Sinyor Kosta. Leiden: KITLV.
Teeuw, A. & D.K. Wyatt
1970 Hikayat Patani: The Story of Patani. The Hague: Martinus Nijhoff,
2 jil.
al­Tha’âlibȋ, Aboû Mansoûr ‘Abd. Al­Malik ibn Mohammad ibn Ismâ’îl
1900 Histoire des rois des Perses: Texte arabe publié et traduit par H.
Zotenberg. Paris: Imprimerie Nationale.
Thomaz, Luis Filipe F. R.
1986 “La prise de Malacca par les Portugais vue par les Malais, d’après
le manuscrit Rafles 32 de la Royal Asiatic Society”, dalam C.
Daftar Pustaka 395

D. Grijns & S. O. Robson (eds.), Cultural Contact and Textual


Interpretation, Dordrecht: Foris, hlm. 158-177.
Toda, Dami L.
1999 Manggarai Mencari Pencerahan Historiograi. Ende: Nusa Indah.
Toer, Pramoedya Ananta
1963 “Realisme-sosialis dalam Sastra Indonesia”, prasaran di FSUI,
Djakarta, (Jakarta, stensil, 1980).
1982 Tempo Doeloe. Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta: Hasta
Mitra.
1985 Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra.
Tol, Roger
1990 Een haan in oorlog: Toloqna Arung Labuaja, een twintigste-eeuws
Buginees heldendicht. Dordrecht: Foris.
1996 “A separate empire: writings of South Sulawesi”, dalam Ann
Kumar & John McGlynn (eds.), Illuminations: the writing
traditions of Indonesia, Jakarta: The Lontar Foundation – New
York: Weatherhill, 1996, hlm. 213-230.
2001 “Master scribes: Husin bin Ismail, Abdullah bin Abdulkadir
Munsyi, their handwriting and the Hikayat Abdullah”, Archipel 61:
115-138.
Vikør, Lars S.
1988 Perfecting Spelling. Spelling discussions and reforms in
Indonesia and Malaysia, 1900-1972. Dordrecht: Foris.
(Terjemahan Indonesia: Penyempurnaan Ejaan: Pembahasan
dan Pembaharuan Ejaan di Indonesia dan Malaysia, 1900-1972,
Jakarta: Intermasa, 1990.)
Vlekke, B.
1965 Nusantara: A History of Indonesia. The Hague: W. van Hoeve (cet.
ke-5).
Voorhoeve, P.
1964 “A Malay scriptorium”, dalam J. Bastin & R. Roolvink (eds.),
Malayan and Indonesian Studies. Essays presented to Sir Richard
Winstedt. Oxford: Clarendon Press, hlm. 256-66.
1973 “Les manuscrits malais de la Bibliothèque Nationale de Paris”,
Archipel 6: 42-80.
Wake, C. H.
1983 “Melaka in the ifteenth century: Malay historical traditions and
the politics of Islamization,” dalam Sandhu, Kernial Sing & Paul
Wheatley (eds.), Melaka: The transformation of a Malay capital c.
1400-1980, Kuala Lumpur: OUP.
Watson, C.W.
1971 “Some preliminary remarks on the antecedents of modern
Indonesian literature”, BKI 127 (4): 417-433.
Wieringa, E.P.
1998 Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library
of Leiden University and other Collections in the Netherlands, jil.
I. Leiden: Leiden University Library.
Wilkinson, R.J.
1906 The Peninsular Malays, vol. 1. Malay Beliefs. London: Luzac.
Winstedt, Richard O.
1920 “The date of the Hikayat Indraputra”, JSBRAS 82: 145-146.
1922a “Hikayat Indraputra”, JSBRAS 85: 46-53.
1922b “Hikayat Putra Jaya Pati”, JSBRAS 85: 54-57.
1925 Shaman, Saiva and Sui: A Study of the Evolution of Malay Magic,
London: Constable.
1938a “The date, authorship, contents and some new manuscripts of the
Malay romance of Alexander the Great”, JMBRAS 16 (2): 1-23.
1938b “The date, author and identity of the original draft of the Malay
Annals”, JMBRAS 16 (2): 30-34.
1938c “The Malay Annals or Sejarah Melayu. The Earliest Recension
from MS. 18 of the Rafles Collection”, JMBRAS 16 (3): 1-225.
1940 “Corrigenda”, JMBRAS 18 (2): 154-155.
1958 A History of Classical Malay Literature. OUP. (Edisi baru, 1969,
1989).
Wolters, O. W.
1970 The Fall of Sriwijaya in Malay History. Ithaca: Cornell University
Press.
Worsley, Peter J.
1972 Babad Buleleng: A Balinese dynastic genealogy. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Zaini-Lajoubert, Monique
1987 Abdullah bin Muhammad al-Misri. Bandung: Angkasa-EFEO.
2008 Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri. Jakarta:
Komunitas Bambu-EFEO.
Zollinger, H.
1850 Verslag van eene reis naar Bima en Soembawa en naar eenige
plaatsen op Celebes, Saleier en Floris gedurende de maanden Mei
tot December 1847. Batavia: Lange.

You might also like