Professional Documents
Culture Documents
Malay Literature in The 19th Century TH
Malay Literature in The 19th Century TH
oleh
Henri Chambert-Loir
Sastra Melayu abad ke-19 banyak menarik perhatian belakangan ini. Para
pakar sastra tradisional telah menggali, menerbitkan dan menelaah berbagai
catatan perjalanan dan teks-teks lain yang memberikan kesaksian tentang
keingintahuan kritis dan minat terhadap realisme yang menandai suatu
sikap “modern” baru. Kedua teks oleh Ahmad Rijaluddin (Skinner 1982)
dan Mohamed Salleh Perang (1980) khususnya menarik. Skinner (1978)
telah mencurahkan perhatian lebih mendalam pada dampak pertemuan
dengan mentalitas Eropa atas sastra Melayu.
Sedang pakar “sastra klasik” sibuk menyoroti berbagai perubahan
budaya yang terjadi sepanjang abad ke-19, waktu itu pula para pakar
“sastra modern” mempertanyakan paham modernitas dan mendorong
mundur tapal-batas ihwal modern. Upaya Pramoedya Ananta Toer pada
1960-an dan lagi selang dua dasawarsa kemudian (1982) cukup terkenal,
juga artikel rintisan oleh Watson (1971), serta yang lebih mutakhir, sebuah
panduan bibliograis mahatebal karya Salmon (1981), yang tak pelak lagi
mengubah pandangan setiap pengamat tentang kesusastraan Indonesia
modern.
Dengan adanya aneka kajian ini, bukan saja batas-batas dan perio-
disasi sastra “tradisional” dan sastra “modern” harus direvisi, tetapi paham
modernitas juga harus dipertanyakan, dan peran berbagai komunitas etnis
harus dinilai kembali. Selain itu, sastra sebagai kegiatan budaya di dalam
suatu konteks sosial makin banyak mendapat perhatian, yang bertujuan
memahami transformasi mendalam yang dialami sastra Melayu sepanjang
abad ke-19.
Artikel ini pertama kali terbit dengan judul “Malay literature in the 19th
century: the Fadli connection”, dalam J.J. Ras & S.O. Robson (eds.), Variation,
Transformation and Meaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour of
A. Teeuw, Leiden: KITLV Press, 1991, hlm. 87-114.
314 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
1 Sedikit sekali diketahui tentang Dr. Frank: ia memegang jabatan resmi (diplomat
atau konsul) di Timur Tengah pada tahun-tahun awal abad 20. Akademi Ilmu
Pengetahuan Imperial Rusia membeli 18 naskah darinya pada 1904 (kini 11
naskah Arab dan Persia dalam koleksi Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet
Cabang Leningrad berasal dari kelompok tersebut). Boleh diduga bahwa di
kemudian hari ia bermukim di Batavia, dan memperoleh naskah-naskah
Melayu yang kini tersimpan di perpustakaan yang sama di Leningrad.
2 Saya juga berkesan, berdasarkan tulisan tangannya, bahwa sisipan 80
halaman dalam naskah D 446 mungkin ditulis oleh Muhammad Bakir. Ini
bahkan semakin masuk akal kalau diperhatikan bahwa sisipan tersebut berisi
sebagian dari Hikayat Sultan Taburat, yaitu salah satu karya Muhammad Bakir
yang paling tebal di Jakarta. Nama-nama yang disebutkan dalam sisipan ini
sebenarnya sama dengan yang terdapat di akhir naskah ML 183D di Jakarta.
Tanggal-tanggalnya juga cocok, karena ML 183D ditulis pada bulan Mei 1887,
sedangkan sisipan tersebut ditulis pada bulan Januari 1888.
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 315
3 Naskah Or. 3245 (Hikayat Cekel Waneng Pati) bukan “disalin oleh Dr. v.d.
Tuuk dari sebuah naskah karya Mohammad Baqir” (Juynboll 1899: 76-7):
naskah ini ditandatangani, dan sebenarnya ditulis, oleh Muhammad Bakir
sendiri pada 1888.
316 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
4 Ini tidak luar biasa: bandingkan Kratz (1977) dan Iskandar (1981).
5 Bahwa satu naskah karya Sapirin (Hikayat Anak Pengajian, disalin tahun
1871), yang diiklankan oleh Muhammad Bakir sekitar tahun 1890, bisa
diperoleh oleh Dr. Frank di Batavia sekitar tahun 1910 bersama naskah-naskah
Ahmad Beramka, membuktikan bahwa Ahmad Beramka mewarisi naskah
ayahnya dan saudara sepupunya.
318 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
aspek tersebut, karena watak dan seleranya sebagai penulis, tapi mungkin
juga dengan maksud memikat lingkaran pembacanya. Para langganannya
mengetahui bahwa ketika menyewa cerita karya Muhammad Bakir,
mereka akan mendapatkan produk jenis tertentu, sebagaimana halnya para
pembaca karya novelis populer mana pun dewasa ini.
Salah satu ciri khas cerita-cerita Muhammad Bakir adalah humor:
lelucon sederhana dan kadang-kadang kasar yang bertumpu pada aneka
jurus. Efek kocak bisa muncul dari kontras. Ini terjadi pada anakronisme:
Lakon Jaka Sukara, contohnya, menyinggung letusan Gunung Krakatau,
pengemis Betawi, Lapangan Gambir, Kampung Cibubur, dan Dursasana
yang mengharumkan tubuhnya dengan minyak Cologne. Dalam cerita
wayang yang lain (Hikayat Maharaja Garbak Jagat), seorang panglima
perang menyerukan kepada para prajuritnya: “Siapa undur potong gaji
dan dapat lepas, siapa yang berani mati dapat bintang” (ML 251: 92).
Dalam cerita yang sama, seseorang mengancam akan mengkhitan Durna.
Ketika menelaah Sair Buah-Buahan, Koster (1986) telah menunjukkan
bagaimana pengarang dengan piawai merongrong berbagai genre dan pola
sastra tradisional melalui parodi dan ironi.
Cerita-cerita tersebut ditulis untuk dibacakan keras-keras, dan
humornya kadang-kadang bersifat lisan. Ini terjadi pada kasus onomatope
(tiruan bunyi),6 juga ketika narator menirukan cara berbicara cadel (pelo)
anak kecil atau aksen orang Tionghoa.7 Humor jenis lain, yang lebih
relevan dengan konteks pembicaraan kita, adalah cara Muhammad Bakir
menciptakan hubungan antara pangarang, narator, khalayak pembaca/
pendengar dan tokoh cerita. Pertama, pengarang, yakni individu yang
menandatangani naskah dengan namanya dan dikenal oleh tetangga-
tetangganya. Dalam sejumlah naskah, Muhammad Bakir mengguratkan
namanya di halaman depan teks, mengiklankan hikayat dan syair yang
ia miliki untuk disewakan, membubuhkan tanda tangan lagi di kolofon,
dan berbicara mewakili dirinya sendiri dalam catatan akhir berbentuk
syair. Ia juga menyisipkan tanda tangan dalam teks itu sendiri, dan betapa
pun samarnya paraf tersebut, itulah tanda kehadiran sang penulis atau
setidaknya tanda kepemilikan yang tidak bisa diabaikan pembaca.
6 Dalam salah satu jilid Hikayat Sultan Taburat, sebuah adegan perang menjadi
kesempatan bagi hadirnya onomatope yang ditulis dengan huruf tebal: senjata
berbunyi “cak cuk cuk”, tulang patah berbunyi “kelatak kelatik kelatuk”, bunyi
anak panah “serawat seriwit”, bunyi adu senjata “gememprang gememprung”,
dan pukulan yang mendarat di perut raja “kedabak kedabuk” (ML 183D: 219).
7 Di jilid lain dalam cerita yang sama, sesosok hantu Tionghoa mengeluh kepada
temannya bahwa calon pengantin perempuannya digaet oleh “tukang kebiri
ayam” yang menyuap ibu gadis tersebut, dan tambahnya, “Peluntungan tiada
bel-laku, bial-lah aku kawin sama olang lain saja” (ML 183C: 119).
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 321
11 Dokter ambil bagian dalam adegan lain: seorang prajurit digotong dari medan
laga, disangka mati. “Maka sigeralah datang tabib dukun memeriksa badan
dan luka, lalu diperiksa dipegang tangannya, akan nadinya masih ada dan
badannya masih hangat. Maka kata tabib, ‘Janganlah ditanamkan orang ini,
masih boleh hidup’.” (ML 249: 235).
12 Lihat juga ungkapan “bingungnya seperti Cina kebakaran jenggot” (ML 251:
97).
13 Lihat Overbeck (1934: 139).
14 “Demikian kata pengarang durjana, ramai di luar anak muda yang bijaksana,
akan memalu pukul rebana, mengadu dikir lagu Cina” (ML 254: 51).
326 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
tanpa urutan yang jelas. Panjang syair-syair ini amat beragam, dari 37
sampai 2.440 bait. Sebagian besar menuturkan berbagai peristiwa yang
kurang-lebih terjadi pada masa itu, atau setidaknya ditampilkan sebagai
demikian (“yang betul sudah kejadian”). Lima syair tidak menuturkan
peristiwa nyata, yaitu Sair Abu Nawas (masih diberi subjudul “yang betul
sudah kejadian di negeri Bagdad”), Sair Baba Bujang dan Nona Bujang,
Sair Anak Kwalon Atawa Ibu Tiri, Sair Kartu, dan Sair Capjiki.
Sepuluh syair lainnya merujuk, atau berpura-pura merujuk,
kepada peristiwa-peristiwa nyata yang kebanyakan terjadi pada tahun-
tahun awal abad ke-20: cerita perampokan Java Bank tahun 1902 (Tuan
Gentis di Betawi), perkawinan R.M. Tirta Adhi Surya tahun 1906 (Sultan
Muhammad Sidik Syah), tapi juga cerita Nyai Dasima tahun 1813 yang
barubaru ini dinyatakan sebagai iksi belaka (Hellwig 1986:51 dan catatan
8). Sair Nona Lao Fatnio mengisahkan hubungan asmara yang dinyatakan
terjadi di Bandung tahun 1909, namun lokasinya diisyaratkan dengan
cara yang agak tersamar: bait kedua berbunyi, “Ini sair yang kebetulan,
sudah kejadian di ini bulan, lima belas Nopember 1909, di mana tempat
di pinggir jalan” (hlm. 751). Penekanan atas sifat aktualitas ini adalah ciri
pertama yang menonjol pada syair-syair tersebut.
Peristiwa-peristiwa yang dikisahkan cukup sensasional: misalnya
kasus perampokan (Tuan Gentis di Betawi), pembunuhan (Lo Fenkui,
Muhammad Saleh, Nyai Dasima), perkawinan putri Sultan (Sultan
Muhammad Sidik Syah), atau petualangan seorang nyai (Nona Lao
Fatnio, Nyai Ima). Keragaman tokoh-tokohnya sungguh luar-biasa:
mereka orang Indonesia, Tionghoa, Eropa dan Arab. Latar geograisnya
pun amat beragam: aksi berlangsung di Batavia (empat syair), Jawa Barat
(tiga), Jawa Timur (satu) dan Maluku (dua). Hanya kelima syair yang
tidak berhubungan dengan peristiwa nyata, tidak mempunyai latar tempat
tertentu (kecuali Abu Nawas).
Kita tahu bahwa naskah kumpulan syair ini, seperti juga naskah-
naskah lain dalam koleksi Dr. Frank di Leningrad, dibeli di Batavia
sebelum tahun 1912. Karena naskah kumpulan syair agaknya ditulis tanpa
jeda, dan karena salah satu syair di dalamya kemungkinan besar digubah
pada November 1909, dapat kita simpulkan bahwa naskah ini disalin antara
tahun 1909 dan 1912. Yang lebih sulit ditentukan ialah apakah naskah ini
dikarang pada masa itu, atau sekadar disalin dari satu atau sejumlah naskah
lain, dan juga apakah Ahmad Beramka adalah pengarangnya atau sekadar
penyalin.
Ahmad Beramka menandatangani delapan dari lima belas syair: lima
syair pertama dan tiga syair terakhir. Ia menandatangani secara singkat
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 329
dan jelas, tanpa sapaan apa pun kepada pembaca, juga tanpa catatan akhir
seperti biasa dilakukan ayahnya dan saudara sepupunya. Tapi tidak alasan
a priori untuk menyangkal bahwa dia mengarang ke-8 syair tersebut. Tidak
pula berarti ia bukan pengarang syair-syair yang tidak ditandatanganinya.
Mungkin telaah tentang gaya penulisannya dapat menerangi masalah ini.
Jika kita memeriksa syair-syair yang ditandatangani Ahmad Beram-
ka, dua kecenderungan menjadi jelas: pertama, kecenderungan untuk
menjejalkan dan memanjangkan larik-larik hingga 19 suku kata; kedua,
kecenderungan untuk terus-menerus mengunakan rima yang sama.
Kecenderungan ini tentu saja bukan monopoli Ahmad Beramka, tapi
terdapat pada semua penyair yang tidak berbakat dan menulis dengan
terburu-buru. Namun demikian, sejumlah pengulangan dari satu syair ke
syair lain menggiring pada asumsi bahwa hal ini mungkin merupakan ciri
khas gaya Ahmad Beramka.
Pada Sair Nona Lao Fatnio misalnya, sebuah syair sangat pendek
(40 bait) yang ditandatangani Ahmad Beramka, lebih dari separuh baitnya
(24 dari 40 bait) disusun dengan tiga akhiran (-nya, -an, -lah) dan satu rima
yang diulang delapan kali (itu, tentu, waktu, situ).
Syair pendek lainnya, yang tidak ditandatangani, Sair Baba Lo
Fenkui, menampilkan ciri yang sama: lebih dari separuh baitnya (28 dari
53 bait) disusun dengan empat rima, yang juga berupa tiga akhiran (-nya,
-an, -kan), dan perulangan (itu, tentu, waktu, situ). Dua puluh bait lainnya
disusun dengan lima rima lain dengan sedikit variasi, yang berarti bahwa
kebanyakan syair ini (48 dari 53 bait) disusun dengan sembilan rima
saja serta pengulangan yang luar-biasa banyak dari kata-kata yang sama
di akhir larik. Dalam permainan atas “variasi dalam kesamaan”16, tidak
terdapat banyak variasi di sini!
Sekarang jika kita tinjau sebuah syair yang lebih panjang (492 bait)
dan tidak ditandatangani (tapi bagian akhirnya tidak lengkap), yakni Sair
Sultan Muhammad Sidik Syah, penelaahan 200 bait pertama menunjukkan
bahwa 192 dari 200 baitnya disusun dengan empat belas rima saja, bahkan
66% bait disusun dengan lima rima saja, yang lagi-lagi berupa akhiran
(-an, -kan, -nya, -lah) dan kuartet di atas (itu, tentu, waktu, situ).
Dalam syair ini pula kita temukan larik-larik yang panjangnya tidak
wajar, contohnya:
Karena menyambut tuanku putri empunya warta
Penganten mengadap di kamar penerimaan ibu suri
Kira-kira setengah jam penganten duduk depan ibunya
16 Lihat “Variation within identity in the Syair Ken Tembuhan” (Koster & Maier
1982).
330 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
kedua versi ini. Syair Y.L.M. mungkin saduran dari cerita prosa yang
diterbitkan pada tahun yang sama oleh Gouw Peng Liang, yang mengambil
bahan ceritanya dari surat kabar Bintang Betawi. Buku terakhir ini berjudul
Tjerita jang betoel soeda kedjadian di poelo Djawa dari halnja satoe toean
tana dan pachter opium di Res. Benawan, bernama Lo Fen Koei (terpetik
dari soerat kabar Bintang Betawi).
Ceritanya tentang seorang lelaki Tionghoa kaya raya dan mata
keranjang yang tidak segansegan memitnah dan membuat lelaki
lain dipenjara jika ia menghasratkan istri lelaki itu. Ia bahkan tega
memerintahkan pembunuhan istri seorang lelaki yang menghalanginya.
Ketika kejahatan ini terbongkar, ia bunuh diri.
Tidak dapat diketahui apakah Ahmad Beramka menulis syairnya
berdasarkan pengetahuan pribadinya tentang berbagai peristiwa, atau
berdasarkan berita yang dimuat dalam Bintang Betawi atau koran lainnya,
atau berdasarkan cerita prosa Gouw Peng Liang, ataupun berdasarkan syair
Y.L.M. Di sini, lagi-lagi kita memiliki syair yang diilhami perkara kriminal
pada tahun-tahun awal abad ke-20, tapi kali ini karya Ahmad Beramka
tampak orisinal. Pada masa itu, tidak jarang topik yang sama digarap oleh
beberapa pengarang berturut-turut.
Bahasa Ahmad Beramka juga serupa dengan bahasa para penulis
lain pada masa itu. Ia menggunakan ragam bahasa Melayu yang dituturkan
di kota-kota besar dan yang menjadi bahasa sastra populer sebelum adanya
standarisasi yang dipelopori oleh Balai Poestaka17. Ahmad Beramka tidak
banyak menggunakan bahasa Betawi dibanding sejumlah penulis lain.
Menariklah misalnya, bahwa ketika menyadur bait-bait Sair Java Bank
di rampok karya Y.L.M., ia secara sistematis mengganti tra18 dengan tidak
atau tiada, dan mengganti akhiran -in dengan -kan.
Novel-novel Balai Poestaka bukan saja mengedepankan perhatian
terdadap bahasa yang baik, tetapi juga memelopori analisis psikologis.
Syair Ahmad Beramka termasuk sebuah genre sastra yang, barangkali
karena isinya ditimba dari peristiwa-peristiwa sezaman, lebih menaruh
perhatian kepada realisme fakta ketimbang realisme tokoh. Entah itu
kejahatan Lo Fenkui atau hubungan asmara Nona Lao Fatnio, hampir tidak
ada penggambaran tentang tokoh cerita.
Contoh terbaik tentang ciri ini adalah Sair Sultan Muhammad Sidik
Syah, yang menuturkan dengan terperinci perkawinan Raden Mas Tirta
Adhi Surya dengan putri Sultan Bacan. Berhubung kita sekarang memiliki
17 Lihat Salmon (1981: 115-22).
18 Kata ini tidak tercantum dalam kamus-kamus, yang hanya mencatat kata
terada. Kata tra juga muncul misalnya dalam kedua Sair Njaie Dasima yang
terbit pada 1879 (Hellwig 1986: 53).
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 333
biograi yang bagus dan terperinci Tirta Adhi Surya (Sang Pemula, karya
Pramoedya Ananta Toer, 1985), kita membaca syair ini dengan harapan
akan menemukan potret dan apresiasi sezaman tentang tokoh termasyhur
ini. Tetapi tidak ada: kita mengetahui segala sesuatu tentang pakaian dan
jadwal Tirta, tetapi potretnya terbatas pada klise “di Tanah Jawa tiada
keduanya ia”. Dalam arti ini, dan meskipun menggunakan latar dan bahasa
modern, syair ini sepenuhnya tradisional.
Syair ini, telah kita lihat, tidak ditandatangani. Syair ini agaknya
tidak terdapat di mana pun selain dalam kumpulan syair Ahmad Beramka,
dan karena itu Ahmad Beramka mungkin adalah pengarangnya. Ketika
Ahmad Beramka mulai menulis naskah kumpulan syair setebal 771
halaman, di antara tahun 1909 dan 1912, ia mungkin menyalin syair-syair
yang sebelumnya telah ditulisnya; mungkin juga ia mengarang ke-15 syair
naskah tersebut satu per satu. Apa pun yang terjadi, agaknya tidak mustahil
ia adalah pengarang ke-15 syair tersebut – pengarang dalam paham
masa itu, yaitu bahwa ia menuturkan ulang, dalam bentuk syair, berita-
berita yang sudah diketahui khalayak pada masa itu, dengan memungut
bahan dari surat-kabar atau dari karya penulis lain sezaman, dan kadang
meminjam sebagian dari karya mereka.
Dalam hal ini, ciri yang paling menonjol adalah identitas para penulis
lain sezaman tersebut. Dari sepuluh judul syair Ahmad Beramka yang juga
ditemukan dalam buku-buku yang diterbitkan oleh penulis lain,19 semua
penulis yang bersangkutan adalah orang Peranakan Tionghoa, kecuali
Wiggers, salah satu dari kedua pengarang Sair Java Bank di rampok.20
Sastra cetak pada masa itu, yang menjadi sumber inspirasi bagi
Ahmad Beramka, sebagian sangat besar ditulis dan diterbitkan oleh orang
Tionghoa. Di sini kita memiliki contoh yang bagus tentang interaksi
(atau haruskah kita katakan keidentikan?) dari apa yang disebut sastra
Melayu-Tionghoa dan sastra Melayu. Sastra yang dihasilkan oleh orang
Tionghoa tidak terkucil, sekalipun mempunyai kekhasan sendiri. Sastra ini
merupakan salah satu agen paling aktif dalam modernisasi sastra Melayu.
Dalam hal Ahmad Beramka, sejumlah karya “Melayu-Tionghoa” disadur
dan digabungkan ke dalam sebuah kumpulan karangan yang diperuntukkan
bagi khalayak campuran di Batavia.
19 Contoh paling terkenal adalah Tjerita Njai Dasima oleh G. Francis, yang terbit
pertama kali pada 1896: setelah itu terbit dua syair, yaitu karya Tjiang O.S.
dan karya Lie Kim Hok, kedua-duanya tahun 1897 (Salmon 1981: 26, 127;
Hellwig 1986).
20 Perkecualian kedua mungkin M. bin Moehamad Sentol, yang pada 1930-an
menerbitkan buku kecil (Roepa-roepa Sair rame) yang isinya mencakup syair
berjudul Orang maen kartoe. Pengarang ini terdaftar dalam bibliograi Salmon
(1981: 252).
334 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
LAMPIRAN
33. Hikayat Seratus Satu Cerita (barangkali sama dengan no. 24)
34. Hikayat Siti Hasana
35. Hikayat Sungging Sukar Sumpira
36. Hikayat Tamim ad-Dari
37. Hikayat Taskhir Tukang Emas
38. Sair Abdul Muluk
39. Sair Ibadat
40. Sair Palembang
41. Sair Perang Pandawa (barangkali sama dengan no. 20)
42. Sair Zainal Khair Tanda Islam
62. Hikayat Angkawijaya, Or. 3221 dan 3244 (oleh Sapirin, 1858)
63. Hikayat Cekel Waneng Pati, Or. 3245 (oleh Muhammad Bakir)
Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 339
64. Hikayat Maharaja Ganda Parwa Kesuma, Or. 3241 (milik Ahmad
Insab, 1870)
65. Hikayat Sempurna Jaya, Or. 3247 (oleh Cit Sapirin bin Usman,
1878)
66. Hikayat Sempurna Jaya, Or. 3246 (oleh Muhammad Bakir, 1886 ;
diedit dalam Jamilah 1981)
67. Kitab Nukil dan risalah tentang tauhid, Sn. H. 75 (oleh Guru Cit,
1888-89)
Singkatan
Archives
1974 Archives des manuscrits cham-Khao-luc nguyen cao Cham.
Phanrang.
Arrien
1984 Histoire d’Alexandre, diterjemahkan dari bahasa Yunani oleh P.
Savinel. Paris: Minuit.
al-Attas, Syed Muhammad Naguib
1966 Rânîrî and the Wujûdiyyah in 17th Century Acheh. Kuala Lumpur:
MBRAS.
1988 The Oldest Known Malay Manuscript: A Sixteenth Century Malay
Translation of the ‘Aqâ’id of al-Nasai. Kuala Lumpur: University
of Malaya Press.
Azra, Azyumardi
1997 “A Hadrami religious scholar in Indonesia: Sayid Uthman”,
dalam Urika Freitag & William G. Clarence-Smith (eds.),
Hadrami Traders, Scholars and Statesmen in the Indian Ocean,
1750s-1960s, Leiden: Brill.
Battistini, Olivier & Pascal Charvet (eds.)
2004 Alexandre le Grand: Histoire et Dictionnaire. Paris: Laffont (coll.
Bouquins).
Bausani, A.
1962 “Note sulla struttura della ‘Hikayat’ classica malese”, Annali
dell’Instituo Universitario Orientale de Napoli, n.s. XII: 153-192.
(Terjemahan Inggris oleh L. Brakel, “Notes on the structure of the
classical Malay hikayat”, Clayton: Monash University, 1979).
Behrend, T. E. & Titik Pujiastuti
1997 Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia – EFEO, 2 jil. (Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara, jilid 3-A & 3-B).
Berg, C.C.
1961 “Javanese historiography: a synopsis of its evolution”, dalam Hall
(ed.) 1961, hlm. 13-23.
1965 “The Javanese picture of the past”, dalam Soedjatmoko dkk. (eds.)
1965, hlm. 87-118.
Berg, L.C.W. van den
1886 Le Hadramout et les colonies arabes de l’Archipel Indien, Batavia:
Imprimerie du Gouvernement. (Terjemahan Indonesia: Hadramaut
dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta: INIS, 1989).
Boisselier
1963 La Statuaire du Campa: Recherche sur les cultes et l’iconographie.
Paris: EFEO.
Bouman, M.A.
1925 “Toeharlanti: De Bimaneesche sultans verhefing”, Koloniaal
Tijdschrift, XIV (6): 710-717.
376 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Chambert-Loir, Henri
1977a “Notes sur une épopée malaise: le Hikayat Dewa Mandu”, BEFEO
LXIV: 293-302.
1977b “A propos du Mahabharata malais”, BEFEO LXIV: 265-291.
1980a Hikayat Dewa Mandu. Epopée malaise. I. Texte et Présentation.
Paris: EFEO.
1980b “Les sources malaises de l’histoire de Bima”, Archipel 20: 269-
280.
1982 Syair Kerajaan Bima. Jakarta: EFEO.
1983 “Sumber Melayu tentang sejarah Bima”, dalam Citra Masyarakat
Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan.
1984 “Muhammad Bakir: A Batavian scribe and author in the nineteenth
century”, RIMA 19: 44-72.
1985a Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa. Bandung:
Angkasa – EFEO.
1985b “Dato’ ri Bandang. Légendes de l’islamisation de la région de
Célèbes Sud”, Archipel 29: 137-163. (Terjemahan Indonesia:
“Dato’ ri Bandang. Legenda pengislaman daerah Sulawesi
Selatan”, dalam D. Perret dkk. (eds.), Hubungan Budaya dalam
Sejarah Dunia Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka – EFEO, 1998, hlm. 23-61.)
1987 “Sebuah hikayat Melayu dipentaskan”, dalam 10 Tahun Kerjasama
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan École
française d‘Extrême-Orient (EFEO), Jakarta: Puslit Arkenas, hlm.
73-85.
1988 “Notes sur les relations historiques et littéraires entre Campa et
Monde Malais”, dalam Actes du Séminaire sur le Campa organisé
à l’Université de Copenhague le 23 mai 1987, Paris: Centre
d’Histoire de Civilisations de la Péninsule Indochinoise, hlm. 95-
106.
1989a “Etat, cité, commerce: le cas de Bima”, Archipel 37: 83-105.
1989b “Naskah-naskah Melayu dari Pulau Sumbawa”, dalam Ismail
Hussein dkk. (eds.), Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, jil. II, hlm. 606-629.
1991 “Malay literature in the 19th century: the Fadli connection”,
dalam J.J. Ras & S.O. Robson (eds.), Variation, Transformation
and Meaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour of A.
Teeuw, Leiden: KITLV Press, hlm. 87-114.
1992 “Sair Java-Bank di rampok: littérature malaise ou sino-malaise?”,
dalam Claudine Salmon (ed.), Le moment “sino-malais” de la
littérature indonésienne, Paris: Association Archipel, hlm. 43-70.
1994 “Some aspects of Islamic justice in the Sultanate of Pontianak c.
1880”, Indonesia Circle 63: 129-143.
1995 “Catatan hubungan sejarah dan sastera antara Campa dengan
378 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Effendy, Tenas
1989 “Sedikit catatan tentang ‘Syair Perang Siak’”, dalam D.J. Goudie,
Syair Perang Siak, Kuala Lumpur: MBRAS, hlm. 257-268.
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie
1917-1939. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. ‘s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 8 jilid.
Endicott, K.M.
1970 An Analysis of Malay Magic. Singapore: OUP.
Eringa, F.S.
1984 Soendaas-Nederlands woordenboek. Dordrecht: Foris.
Eymeret, J.
1972 “Java sous Daendels, 1808-1811”, Archipel 4: 151-168.
Favre, Abbé P.
1875 Dictionnaire malais-français. Wina: Imprimerie Impériale.
Firdousi, Abou’lkasim
1877 Le Livre des Rois, Shah-Nameh, diterjemahkan oleh Jules Mohl.
Paris, jil. V.
Fox, J.J.
1971 “A Rotinese dynastic genealogy: structure and event”, dalam T.O.
Beidelman (ed.), The Translation of Culture: Essays to E.E. Evans-
Pritchard, London: Tavistock Publications, hlm. 37-77.
Francis, E.
1856 Herinneringen uit den levensloop van een Indisch ambtenaar van
1815 tot 1851. Batavia: Van Dorp.
Gaillard, Marina
2005 Alexandre le Grand en Iran: Le Dârân Nameh d’Abu Tâher
Tarsusi. Paris: De Boccard.
Gallop, Annabel Teh
1994 The Legacy of the Malay Letter. Warisan Warkah Melayu. London:
British Library.
2002 Malay Seal Inscriptions: a study in Islamic epigraphy from
Southeast Asia. PhD thesis, School of Oriental and African
Studies, University of London.
2003 “Malay documents in the Melaka Records”, Paper presented at the
3rd International Convention of Asia Scholars, Singapore, 19-22
August 2003.
Gallop, Annabel Teh & Bernard Arps
1991 Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia; Surat Emas:
Budaya Tulis di Indonesia. Jakarta: Yayasan Lontar.
Gonda, J.
1952 Sanskrit in Indonesia. Nagpur: International Academy of Indian
Culture.
Graaf, H.J. de
1949 Geschiedenis van Indonesië. ’s-Gravenhage – Bandung: Van
Hoeve.
382 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Guillot, Claude
2004 “La Perse et le Monde malais. Echanges commerciaux et
intellectuels”, Archipel 68: 159-192.
Guillot, Claude & Ludvik Kalus
2000 “La stèle funéraire de Hamzah Fansuri”, Archipel 60: 3-24.
(Terjemahan Indonesia, “Batu nisan Hamzah Fansuri”, dalam C.
Guillot & L. Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta:
KPG, 2008, hlm. 71-93.
Hadi, Amirul
2004 Islam and State in Sumatra: A study of seventeenth-century Aceh.
Leiden: Brill.
Hall, D.G.E. (ed.)
1961 Historians of South East Asia. London: School of Oriental and
African Studies, University of London.
Hamer, C. den
1890 “De sair Madi Kentjana”, TBG 33: 531-563.
Hanitsch, R.
1903 “On a collection of coins from Malacca”, JMBRAS 39: 183-202, 2
hlm. gambar.
1905 “On a second collection of coins from Malacca”, JMBRAS 44:
213-16, 1 hlm. gambar.
Hashim Musa
2003 Epigrai Melayu: Sejarah Sistem Tulisan dalam Bahasa Melayu.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (ed. pertama, 1997).
Hellwig, Tineke
1986 “Njai Dasima, een vrouw uit de literatuur”, dalam C.M.S. Hellwig
& S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian Letters; Essays in
Honour of Professor A. Teeuw, Dordrecht: Foris, hlm. 48-66.
Hikayat Hang Tuah
1978 [Transkripsi sebuah naskah milik Perpustakaan Nasional di
Jakarta, tertanda “oleh: Bot Genoot Schap”]. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan
Sastra Indonesia dan Daerah, 2 jilid.
Hikayat Inderaputera
1968 Hikayat Inderaputera (ed. Enche’ Ali bin Ahmad). Kuala Lumpur:
Dewa Bahasa dan Pustaka.
Hitchcock, Michael
1984 “Is this evidence for the lost kingdoms of Tambora?”, Indonesia
Circle 33: 30-35.
Ho, Engseng
2002 “Before parochialization: Diasporic Arabs cast in creole waters”,
dalam H. de Jonge & N. Kaptein (eds.), Transcending Borders:
Arabs, politics, trade and Islam in Southeast Asia, Leiden: KITLV,
hlm. 11-35.
Daftar Pustaka 383
Lafont, P.-B.
1977 Catalogue des manuscrits cam des bibliothèques françaises. Paris:
EFEO.
Lapian, A.B.
1987 “Bencana alam dan penulisan sejarah (Krakatau 1883 dan Cilegon
1888)”, dalam Alian dkk. (eds.) 1987, hlm. 211231.
Leeuwen, Pieter Johannes van
1937 De Maleische Alexanderroman. Meppel: Ten Brink.
Lemaire, Jacques
1989 Introduction à la codicologie. Louvain-la-Neuve: Université
Catholique.
Leyden, John.
1821 Malay Annals: Translated from the Malay language by the late Dr
John Leyden with an introduction by Sir Thomas Stamford Rafles.
London: Longman. (Cetak ulang, Kuala Lumpur: MBRAS, 2001).
Liaw Yock Fang
1975 Sejarah Kesusasteraan Melayu Klassik. Singapura: Pustaka
Nasional. (Cetakan ke-3, 1982).
1976 Undang-Undang Melaka: The laws of Melaka. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Ligtvoet, A.
1880 “Transcriptie van het dagboek der vorsten van Gowa en Tello met
vertaling en aanteekeningen”, BKI 28: 1-259.
Linden, A. van der
1937 De Europeaan in de Maleische Literatuur. Meppel.
Lombard, Denys
1967 Le Sultanat d’Atjeh au temps d’Iskandar Muda (1607-1636). Paris:
EFEO.
1979 “Regard nouveau sur les ‘pirates malais’ (première moitié du
XIXème siècle”, Archipel 18: 231-250.
1990 Le carrefour javanais. Essai d’histoire globale. Paris: EHESS.
Lombard-Salmon, Claudine
1972 “Société peranakan et utopie: deux romans sino-malais (1934-
1939)”, Archipel 3: 169-195.
Manguin, Pierre-Yves
1979 “L’Introduction de l’Islam au Campa”, BEFEO 61: 255-287.
Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia
1987 Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia: Satu
Katalog Ringkas. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Marihandono, Djoko
2005 Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan: Herman Willem Daendels
di Jawa, 1808-1811: Penerapan Instruksi Napoléon Bonaparte.
Depok: Program Pascasarjana, FIPB, Universitas Indonesia.
Daftar Pustaka 387
Marrison, G.E.
1955 “Persian inluences in Malay life”, JMBRAS 28 (1): 52-69.
1985 “The Chams and their literature”, JMBRAS 58 (2): 45-70.
Marsden, William
1811 History of Sumatra. London: Cox and Baylis (3rd revised edition).
(Edisi pertama, 1783. Cetakan ulang, OUP, 1966, 1975.)
Matheson Hooker, Virginia (ed.)
1991 Tuhfat al-Nais: Sejarah Melayu-Islam. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Matheson, Virginia & Barbara Watson Andaya
1982 The Precious Gift (Tuhfat al-Nais). Kuala Lumpur: OUP.
Matthes, B.F.
1856 “Verslag van een verblijf in de binnenlanden van celebes, van
24 April tot 24 October 1856”, dalam H. van den Brink, Dr.
Benjamin Frederick Matthes: zijn leven en arbeid in dienst van
het Nederlandsch Bijbelgenootschap, Amsterdam: Nederlandsch
Bijbelgenootschap, hlm. 178-188.
1875 Korte verslag aangaande alle mij in Eropa bekende
Makassaarsche en Boegineesche handschrijften. Amsterdam:
Nederlandsche Bijbelgenootschap.
McRoberts, R. W.
1984 “An Examination of the Fall of Malacca in 1511”, JMBRAS 57 (1):
26-39.
Mohamed Salleh Perang
1980 Reputations Live On: an early Malay autobiography (A. Sweeney
ed.). Berkeley, Cal.: University of California Press.
Mohd. Ghazali bin Haji Abbas & Che Selamah bt Che Musthafa
Newbold, T. J.
1839 Political and Statistical Account of the British Settlements in the
Straits of Malacca. London: J. Murray. (Cetak ulang, OUP, 1971).
Noorduyn, J.
1955 Een achttiende-eeuwse kroniek van Wadjo: Buginese
historiograie. Den Haag: H.L. Smits.
1956 “De islamisering van Makassar”, BKI 112 (3): 247-266.
1961 “Some aspects of Macasar-Buginese historiography”, dalam Hall
1961, hlm. 29-36.
1965 “Origins of South Celebes historical writing”, dalam Soedjatmoko
dkk. 1965, hlm. 137-155.
1987a Bima en Sumbawa: Bijdragen tot de geschiedenis van de
sultanaten Bima en Sumbawa door A. Ligvoet en G.P. Rouffaer.
Dordrecht: Foris.
1987b “Makassar and the islamization of Bima”, BKI 143 (2-3): 312-342.
1991 “The manuscripts of the Makasarese chronicles of Goa and Talloq:
An evaluation”, BKI 147 (4): 454-484.
Nooteboom, C.
1950 “Enkele feiten uit de geschiedenis van Manggarai (West Flores)”,
dalam Bingkisan Budi: Een bundel opstellen aan Dr Philippus
Samuel van Ronkel... op zijn tachtigste verjaardag, Leyde:
Sijthoff, hlm. 207-214.
Oetomo, Dede
1987 “Serat Ang Dok: a Confucian treatise in Javanese”, Archipel 34:
181-197.
Ophuijsen, C.A. van
1901 Kitab Logat Melajoe. Woordenlijst voor de spelling der Maleische
taal. Batavia.
Overbeck, Hans
1934 “Malay animal and lower shaers”, JMBRAS 12 (2): 108-148.
Pelras, Christian
1975a “Guide Archipel II: la Province de Célèbes-Sud”, Archipel 10: 11-
50.
1975b “Introduction à la littérature bugis”, Archipel 10: 239-267.
1985 “Religion, tradition and the dynamics of Islamization in South
Sulawesi”, Archipel 29: 107-135.
Pigeaud, Th.
1927 “Alexander, Sakender en Senapati”, Djawa 7: 321-361.
1967 Literature of Java. Catalogue raisonné of Javanese manuscripts in
The Netherlands, vol. I. Synopsis of Javanese Literature, 900-1900
A.D. Den Haag: Martinus Nijhoff.
Pires, Tomé
1944 The Suma Oriental [1515], ed. Armando Cortesaõ. London:
Hakluyt Society, 2 jilid.
390 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Plutarque
1993 La vie d’Alexandre, diterjemahkan dari bahasa Yunani oleh Robert
Flacelière & Émile Chambry. Paris: Autrement. (Edisi pertama,
Paris: Les Belles Lettres, 1975).
Po Dharma
1981 Complément au catalogue des manuscrits cam des bibliothèques
françaises. Paris: EFEO.
1982 “Note sur la littérature cam”, Shiroku 15: 43-67.
Po Dharma, G. Moussay & Abdul Karim
1997 Akayet Inra Patra. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia
– EFEO.
1998 Akayet Dowa Mano. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara
Malaysia – EFEO.
Proudfoot, Ian
1984 “Variation in a Malay Folk-Tale Tradition”, RIMA 18: 87-102.
1993 Early Malay Printed Books. A Provisional Account of Materials
Published in the Singapore-Malaysian Area up to 1920, Noting
Holdings in Major Public Collections. Kuala Lumpur: Academy of
Malay Studies and the Library University of Malaya.
2002 “From recital to sight-reading: the silencing of texts in Malaysia”,
Indonesia and the Malay World, vol. 30, no. 87: 117-144.
2003 “An expedition into the politics of Malay philology”, JMBRAS 76
(1): 1-53.
2006 Old Muslim calendars of Southeast Asia. Leiden – Boston: Brill
(Handbook of Oriental Studies / Handbuch der Orientalistik).
Pseudo-Callistènes
2004 Le Roman d’Alexandre: La vie et les hauts faits d’Alexandre de
Macédoine, diterjemahkan dan dikomentari oleh Gilles Bonnouré
dan Blandine Serret. Paris: Les Belles Lettres. (edisi pertama,
1992).
Radicchi, Anna
2009 “Tradisi tata bahasa Sanskerta di Jawa dan Bali”, dalam H.
Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 343-357.
Rahmah Bujang
1975 Sejarah Perkembangan Drama Bangsawan di Tanah Melayu dan
Singapura. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. (Tesis
MA, Universiti Malaya, 1972).
Ras, J. J.
1968 Hikayat Bandjar: A study in Malay historiography. The Hague:
Martinus Nijhoff.
1973 “The Panji Romance and W.H. Rassers’ analysis of its theme”, BKI
129 (4): 412-457.
1991 “In memoriam Professor C.C. Berg, 10-2-1900 tot 25-6-1990”,
BKI 147 (1): 1-16.
Daftar Pustaka 391
Rassers, W.H.
1921 De Pandji-Roman. Antwerpen.
Reid, Anthony
1988-1993 Southeast Asia in the Age of Commerce, New Haven: Yale
University Press, 2 jil.
1999 Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia. Chiang Mai:
Silkworm Books.
Reid, Anthony & David Marr (eds.)
1979 Perceptions of the Past in Southeast Asia. Singapore: Heinemann
Educational Books.
Renou, Louis & Jean Filliozat
1947 L’Inde classique. Paris: Payot, 2 jilid.
Rentse, Anker
1933 “Notes on Malay beliefs”, JMBRAS 11 (2): 245-251.
Ricklefs, M.C.
1976 “Javanese sources in the writing of modern Javanese history”,
dalam Cowan & Wolters (eds.) 1976, p. 332-344.
1981/2008. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Inggris: Palgrave
Macmillan. (Edisi ke-3, 2001; edisi ke-4, 2008).
1987 “Indonesian history and literature”, dalam Alian dkk. (eds.) 1987,
hlm. 199-210.
1998 The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726-1749: History,
Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II. Honolulu:
Asian Studies Association of Australia in association with Allen &
Unwin and University of Hawaii Press.
2006 Mystic Synthesis in Java. A History of Islamization from the
Fourteenth to Early Nineteenth Centuries. Norwalk (Conn.):
EastBridge.
Ricklefs, M.C. & P. Voorhoeve
1977 Indonesian Manuscripts in Great Britain. Oxford: OUP. (Edisi
baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia – EFEO, 2014.)
Robson, Stuart & Singgih Wibisono
2002 Javanese English Dictionary. Singapore: Periplus.
Rodinson, Maxime
2005 “Le monde arabe et l‘extension de l‘écriture arabe”, dalam Marcel
Cohen & Jérôme Peignot (eds.), Histoire et art de l’écriture, Paris:
Laffont, 2005 (coll. Bouquins), hlm. 713-724. (Edisi pertama
dalam Marcel Cohen dkk. (eds.), L’écriture et la psychologie des
peuples, Paris: Armand Colin, 1963.)
Ronkel, Ph. S. van
1908 “Catalogus der Maleische handschriften van het KITLV”, BKI 60:
181-248.
1909 Catalogus der Maleische handschriften in het Museum van het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia
– The Hague.
392 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Shellabear, W. G. (ed.)
1896 Sejarah Melayu. Singapore: Methodist Publishing House, edisi
Jawi.
1898 Sejarah Melayu. Singapore: Methodist Publishing House, edisi
Latin. (Cetak ulang 1909, 1924; edisi baru, Singapore: Malayan
Publishing House, 1961; cetak ulang, Singapore: OUP, 1967;
Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1975, 1977, 1979, 1982).
1901 “The evolution of Malay spelling”, JSBRAS 36: 75-135.
Siegel, James
1979 Shadow and Sound: The Historical thought of a Sumatran people.
Chicago – London: The University of Chicago Press.
Singh, Saran
1986 The Encyclopaedia of the Coins of Malaysia, Singapore and
Brunei 1400-1967. Kuala Lumpur: Malaysia Numismatic Society.
(Edisi kedua, 1996).
Situmorang, T. D. & A. Teeuw (eds.)
1952 Sedjarah Melayu Menurut Terbitan Abdullah (ibn Abdulkadir
Munsji). Jakarta: Djambatan.
Skeat, W.W.
1900 Malay Magic. London: Macmillan.
Skinner, C.
1963 Sja’ir Perang Mengkasar; The rhymed chronicle of the Macassar
War by Entji’ Amin. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
1978 “Transitional Malay literature: Part 1. Ahmad Rijaluddin and
Munshi Abdullah”, BKI 134 (4): 466-487.
1982 Ahmad Rijaluddin’s Hikayat Perintah Negeri Benggala. The
Hague: Martinus Nijhoff.
1985 The Battle for Junk Ceylon: the Syair Maulana; text, translation
and notes. Dordrecht: Foris.
Snouck Hurgronje, C.
1888 “Nog iets over de Salasila van Koetei”, BKI 37: 109-112.
Soedjatmoko dkk. (eds.)
1965 An Introduction to Indonesian Historiography. Ithaca: Cornell
University Press.
Soeratno, Siti Chamamah
1991 Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi. Jakarta: Balai
Pustaka.
1992 Hikayat Iskandar Zulkarnain: Sutingan Teks. Jakarta: Balai
Pustaka.
Southgate, Minoo S.
1977 “Portrait of Alexander in Persian Alexander romances of the
Islamic Era”, Journal of the American Oriental Society, 97 (3):
278-284.
394 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Stutterheim, W.F.
1956 “An ancient Javanese Bhima cultus”, dalam W.F. Stutterheim,
Studies in Indonesian Archaeology, The Hague: Martinus Nijhoff,
hlm. 105-143.
Sudewa Alex
1995 Dari Kartasura ke Surakarta. Jilid Pertama. Studi Kasus Serat
Iskandar. Yogyakarta: Lembaga Studi Asia.
Sweeney, Amin
1967 “The Connection between the Hikayat Raja2 Pasai and the Sejarah
Melayu”, JMBRAS 40 (2): 94-105.
1980 (ed.), Reputations Live On: an early Malay autobiography.
Berkeley, Cal.: University of California Press.
1992 “Malay Sui poetics and European norms”, Journal of the
American Oriental Society, vol. 112, no. 1, Jan.-March 1992: 88-
102.
Talib, Yusof A.
1974 “Les Hadramis et le monde malais”, Archipel 7: 41-68.
Teeuw, A.
1959 “The History of the Malay Language: A Preliminary Survey”, BKI
115 (2): 138-156.
1961 A Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia.
‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
1964 “Hikayat Raja-Raja Pasai and Sejarah Melayu”, dalam J. Bastin &
R. Roolvink (eds.), Malayan and Indonesian Studies, Oxford: The
Clarendon Press, hlm. 222-234.
1976 “Some remarks on the study of so-called historical texts in
Indonesian languages”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed.), Proiles
of Malay Culture: Historiography, Religion and Politics,
Yogyakarta: Depdikbud, hlm. 3-26.
1984 “Indonesia as a ‘Field of Literary Study’. A case study:
genealogical narrative texts as an Indonesian literary genre”, dalam
P.E. de Josselin de Jong (ed.), Unity in Diversity: Indonesia as a
Field of Anthropological Study, Dordrecht: Foris, hlm. 38-59.
Teeuw, A. & R. Dumas, Muhammad Haji Salleh, R. Tol, M.J. van Yperen
2004 A Merry Senhor in the Malay World: Four Texts of the Syair
Sinyor Kosta. Leiden: KITLV.
Teeuw, A. & D.K. Wyatt
1970 Hikayat Patani: The Story of Patani. The Hague: Martinus Nijhoff,
2 jil.
alTha’âlibȋ, Aboû Mansoûr ‘Abd. AlMalik ibn Mohammad ibn Ismâ’îl
1900 Histoire des rois des Perses: Texte arabe publié et traduit par H.
Zotenberg. Paris: Imprimerie Nationale.
Thomaz, Luis Filipe F. R.
1986 “La prise de Malacca par les Portugais vue par les Malais, d’après
le manuscrit Rafles 32 de la Royal Asiatic Society”, dalam C.
Daftar Pustaka 395