You are on page 1of 8

PELANGGARAN PERJANJIAN FRANCHISE

(Studi Kasus Putusan Nomor 239 PK/PDT/2014)

Daffa Januar Muttaqien dan Kartika Andiani Haryanto


Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Widyatama, Bandung

BAB I
PENDAHULUAN
Industri franchise telah tumbuh pesat dalam beberapa dekade terakhir. Banyak bisnis
telah mengadopsi model ini sebagai cara untuk mengembangkan merek dagang mereka
secara lebih cepat daripada dengan membuka cabang-cabang sendiri. Pertumbuhan ini telah
menciptakan peluang bisnis yang signifikan.
Franchise merupakan sebuah model bisnis yang memungkinkan individu atau
perusahaan untuk menjalankan bisnis yang telah mapan dengan menggunakan mereka
dagang, sistem operasional, dan dukungan dari pemilik merek dagang atau franchisor.
Perjanjian franchise adalah kontrak hukum yang mengatur hubungan antara franchisor dan
franchisee. Dalam perjanjian ini, franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk
menggunakan merek dagang, sistem, dan dukungan yang dimilikinya dalam pertukaran atas
biaya awal, royalti, dan kepatuhan terhadap standar yang telah ditentukan.
Namun, seperti halnya dalam kontrak bisnis, pelanggaran perjanjian franchise dapat
saja terjadi. Pelanggaran ini dapat berdampak negatif pada kedua pihak, baik franchisor
maupun franchisee, serta dapat merusak reputasi merek dagang yang diwariskan.
Memahami pentingnya perjanjian franchise sangat penting sebagai landasan dari hubungan
antara franchisor dan franchisee untuk meminimalkan risiko pelanggaran.
Dalam paper ini, penulis tertarik dengan putusan Nomor 239 PK/PDT/2014 yang
mencerminkan kasus pelanggaran perjanjian franchise yang memiliki kerugian materiil dan
inmateriil dan merusak reputasi pihak terkait. Kasus ini memunculkan pertanyaan tentang
pemenuhan kontrak dan kewajiban dalam perjanjian franchise, serta perlindungan hukum
yang harus diberikan kepada para pihak yang merasa dirugikan akibat pelanggaran semacam
ini.
Berdasarkan deskripsi di atas, maka penulis mengkaji tentang pelanggaran hukum
perjanjian franchise pada putusan Nomor 239 PK/PDT/2014 dengan judul
“PELANGGARAN PERJANJIAN FRANCHISE (Studi Kasus Putusan Nomor 239
PK/PDT/2014)”.

1
Maka perumusan masalah dalam penulisan ini sebagai berikut:
a. Bagaimana pelaksanaan perjanjian franchise pada putusan Nomor 239 PK/PDT/2014?
b. Bagaimana hukum yang berlaku pada perjanjian franchise pada putusan Nomor 239
PK/PDT/2014?

BAB II
TINJAUAN LITERATUR
2.1 Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata bahwa: “Suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang
lain atau lebih.”. Subekti mengatakan, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang
berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal. Suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang meliputi:
a. Kesepakatan Mereka yang Mengikat Diri
Para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal
pokok atau materi yang diperjanjikan. Kesepakatan itu harus dicapai dengan tanpa
ada paksaan, penipuan, atau kekhilafan.
b. Kecakapan Mereka yang Membuat Kontrak
Pasal 1330 KUHPerdata telah mengatur pihak-pihak mana saja yang boleh atau
dianggap cakap untuk membuat perjanjian. Di samping itu, ada orang yang dianggap
tidak cakap untuk membuat perjanjian, antara lain: 1) Orang yang belum dewasa;
dan 2) Orang yang ditempatkan di bawah kondisi khusus (seperti cacat, gila,
dinyatakan pailit oleh pengadilan, dan sebagainya).
c. Suatu Hal Tertentu
Apa yang diperjanjikan (objek perikatannya) harus jelas. Dengan kata lain, jenis
barang atau jasa itu harus ada dan nyata.
d. Suatu Sebab yang Halal
Tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang undang-undang atau yang
bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan, ataupun ketertiban umum.

Persyaratan “Kesepakatan Mereka yang Mengikat Diri” dan “Kecakapan Mereka


yang Membuat Kontrak” berkenan dengan subjek perjanjian atau syarat subjektif.
Sedangkan, persyaratan “Suatu Hal Tertentu” dan “Suatu Sebab yang Halal” berkenan
dengan objek perjanjian atau syarat objektif. Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak

2
terpenuhi maka Perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian yang sejak semula
sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Apabila syarat
subjektif tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang
perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang
bersangkutan masih terus berlaku.
Dalam hukum perjanjian terdapat lima asas pokok, kelima asas tersebut diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain:
a. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of contract)
Asas ini memiliki pengertian bahwa setiap orang dapat secara bebas membuat atau
terikat dalam suatu perjanjian dan bebas menyepakati apa saja sepanjang itu tidak
bertentangan dengan hukum, kesusilaan dan kepentingan umum.
b. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Makna dari asas ini adalah bahwa para pihak yang membuat perjanjian terikat untuk
melaksanakan isi perjanjian tersebut sebagaimana keterikatannya untuk
melaksanakan perintah undang-undang. Dengan kata lain perjanjian tersebut adalah
hukum yang memaksa bagi para pihak.
c. Asas Konsensualisme atau Kesepakatan
Makna dari asas ini adalah bahwa tercapainya kata sepakat dari para pihak, maka
pada prinsipnya perjanjian tersebut telah sah, mengikat dan sudah memiliki kekuatan
hukum, meskipun perjanjian itu tidak dibuat dalma bentuk tertulis. Dengan kata lain
perjanjian itu sudah memiliki konsekuensi yuridis, yakni terbitnya hak dan
kewajiban para pihak.
d. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas ini dapat ditelusuri pada pasal 1315 KUH Perdata, bahwa “Pada umumnya tak
seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu
janji daripada untuk dirinya sendiri” dan pasal 1340 menegaskan “perjanjian hanya
berlaku antara pihak yang membuatnya.”
e. Asas Itikad Baik (GoedeTrouw)
Makna asas ini adalah para pihak harus jujur dan saling percaya serta tidak ada niat
untuk menipu pihak lainnya sehubungan perjanjian yang mereka sepakati. Asas
iktikad disebutkan pada pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, bahwa “perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.”
2.2 Perjanjian Franchise

3
Francising adalah suatu hubungan berdasarkan kontrak antara franchisor dan
franchisee. Franchisor berkewajiban untuk menyediakan perhatian terus-menerus pada
bisnis dari franshisee melalui penyediaan pengetahuan dan pelatihan. Franchisee beroperasi
dengan menggunakan nama dagang, format, atau prosedur yang dipunyai serta dikendalikan
oleh franchisor. Franchisee melakukan investasi dalam bisnis yang dimilikinya.
Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007, perjanjian
waralaba (franchise) setidaknya memuat:
a. Nama dan alamat pihak
b. Jenis Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
c. Kegiatan usaha
d. Hak dan Kewajiban pemberi waralaba maupun penerima waralaba
e. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan
pemberi waralaba kepada penerima waralaba
f. Wilayah usaha
g. Jangka waktu perjanjian
h. Tata cara pembayaran imbalan
i. Kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris
j. Penyelesaian sengketa
k. Tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian
l. Jaminan dari pihak pemberi waralaba untuk tetap menjalankan kewajiban-
kewajibannya kepada penerima waralaba sesuai dengan isi perjanjian hingga jangka
waktu perjanjian berakhir
2.2.1 Perlindungan Hukum Franchise
Di Indonesia pada saat ini belum terdapat perundang-undangan yang secara khusus
mengatur tentang kontrak bisnis franchise ini. Sehingga praktek yang dilakukan selama ini
masih didasarkan pada kontrak tertulis dalam bentuk kontrak kerja sama. Hal ini dilakukan
oleh franchisor dan franchisee berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak (freedom of
contract) seperti yang tertuang dalam pasal 1338 KUHPerdata. Karena kontrak franchise
hanya didasarkan pada kontrak kerja sama, maka kedua belah pihak harus benar-benar teliti
dan hati-hati terhadap hal-hal yang telah disepakati. Serta mengingat persyaratan-
persyaratan pasal 1320 KUHPerdata. Hukum kontrak di Indonesia menganut suatu “sistem
terbuka” (open system) yang berarti, bahwa setiap orang adalah bebas untuk membuat
segala macam kontrak.

4
Dalam pasal 1338 KUHPerdata, tercantum ketentuan “Semua kontrak yang dibuat
secara sah menurut hukum, akan mengikat secara hukum mereka yang membuatnya
sendiri.”. Suatu perjanjian hanya ada, jika mempunyai 4 (empat) syarat sebagai berikut:
a. harus adanya persetujuan dari kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian: (ada
meeting of minds dan tidak ada paksaan);
b. mereka harus mampu menurut hukum untuk mengadakan perjanjian (cukup umur,
tidak ditempatkan di bawah perwalian/curatele);
c. perjanjian menganai suatu pokok hal tertentu;
d. yang diperjanjian adalah sesuai yang tidak bertentangan dengan hukum dan juga
tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan moral.

Dalam hal persyaratan pasal 1320 KUHPerdata ini dipenuhi maka seperti perintah
pasal 1338 KUPerdata, perjanjian yang dibuat itu berlaku sebagai undang-undang bagi para
pihak. Jadi, menurut Mulya Lubis, sebuah “franchise agreement” akan mengikat baik
franchisor dan franchisee, dan karenanya amat penting bagi para pihak mengatur isi
perjanjian secara rinci.

BAB III
TINJAUAN KASUS
Berdasarkan putusan Nomor 239 PK/PDT/2014, bahwa pada tahun 2012, Siti
Maisaroh direktur CV Trijaya Surya Gemilang bermaksud membuka Franchise The Lieza
dengan program perawatan The Lieza Skincare, Facial, Body Slimming & SPA Treatment
senilai Rp 350.000.000,00 untuk wilayah Muara Enim, Sumatera Selatan, dengan
mangejukan permohonan kepada PT Ilham Malindo pemilik Franchise The Lieza, formulir
permohonan sudah di terima/disetujui oleh pemilik. CV Trijaya Surya Gemilang dan PT
Ilham Malindo telah menyepakati perjanjian kerjasama untuk membuka usaha Franchise
The Lieza One Stop Treatment (Skincare, Facial, Body Slimming & Spa Treatment) dengan
berbagai syarat dan ketentuan yang sudah tercantum. Untuk memenuhi perjanjian tersebut
CV Trijaya Surya Gemilang mengirimkan dana sebesar Rp 350.000.000,00. Siti Maisaroh
menerima tawaran untuk menjadi head master franchise seluruh Wilayah Sumatera
(Sumsel, Babel, Sumbar, Sumut, Aceh), namun harus menambah dana lagi sebesar Rp
350.000.000,00 dimana dana tersebut akan dikompensasikan untuk produk jual dan produk
treatment sebesar Rp 150.000.000,00 dan management fee (rehab gedung) serta pembelian
master franchise sebesar Rp 200.000.000,000. Siti Maisaroh sudah mentransfer senilai total
Rp 331.680.000,00 sisanya Rp 18.320.000,00 akan dibayar setelah rehab gedung selesai.

5
Selain mengeluarkan dana tersebut, Siti Maisaroh pun diminta beberapa kali mengirimkan
dana untuk membeli berbagai produk dengan total akhir Rp 1.082.000.000,00. Namun, PT
Ilham Malindo hanya pernah mengirim sekali produknya senilai Rp 72.000.000,00 oleh
karena itu Siti Maisaroh dirugikan secara materiil sebesar Rp 1.010.000.000,00. Disamping
kerugian materiil, terdapat kerugian inmateriil karena hilangnya kepercayaan terhadap nama
baik di masyarakat Tanjung Enim khususnya dan Sumatera Selatan umumnya. Siti Maisaroh
meminta ganti rugi inmateriil sebesar Rp 2.500.000.000,00.
Namun Pemohon PK dahulu Penggugat tidak sependapat dengan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, Nomor 14/Pdt.G/2013/PN.JKT.PST tanggal 18 September 2013,
karena dalam perkara tersebut penerapan hukumnya tidak tepat dan tidak sejalan dengan
harapan Pemohon dahulu Penggugat, tidak sejalan dengan aturan hukum dan perundang-
undangan yang berlaku. Oleh karena itu, putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
tersebut tidak adil, maka pemohon meminta untuk diperiksa dan diteliti kembali oleh
Mahkamah Agung.

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Pihak pemohon keberatan keberatan atas pertimbangan hukum putusan Nomor
14/Pdt.G/2013/PN.JKT.PST tanggal 18 September 2013 tersebut pada paragraf 6 Bahwa
Paragraf ke (6) enam yang berbunyi: “menimbang bahwa gugatan Penggugat adanya
perbuatan melanggar hukum ditujukan kepada Tergugat I Baslian Krisma Yosa (Pemilik PT.
Ilham Malindo) Tergugat II yaitu Rachmawati Armalita dan Tergugat III yaitu Fera, tetapi
setelah majelis hakim cermati posita gugatan tersebut tidak secara jelas menguraikan
mengenai hubungan hukum apa dan perbuatan apa yang dilakukan para Tergugat terutama
Tergugat II dan Tergugat III, Penggugat hanya menguraikan hubungan hukum antara
Penggugat dengan Tergugat I yang dituangkan dalam perjanjian tertanggal 21 April 2012
mengenai usaha Franchise The Lieza One Stop Treatment (Skincare, Facial, Body Slimming
& Spa Treatment) sementara uraian tentang hubungan hukum antara Penggugat dengan
Tergugat II dan Tergugat III dan uraian perbuatan hukum apa yang dilakukan oleh mereka
(Tergugat II dan tergugat III) terkait dengan perjanjian yang dibuat oleh Tergugat I dengan
Penggugat, sementara dalam petitum minta supaya Tergugat dihukum untuk membayar
kerugian baik material maupun inmateriil tanpa menyatakan kesalahan apa yang telah
dilakukan oleh Tergugat dalam kaitannya dengan perjanjian di atas, oleh karena itu majelis
hakim berpendapat bahwa gugatan Penggugat tidak jelas atau obscuur libel, sehingga

6
gugatan tidak dapat memenuhi syarat formalitas, apalagi dikaitkan dengan ketentuan Pasal
1338 juga 1340 KUHPerdata yang isinya Pasal 1338 menyatakan: semua persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang–undang bagi mereka yang membuatnya
selanjutnya Pasal 1340 BW menyatakan : persetujuan– persetujuan hanya berlaku antara
pihak–pihak yang membuatnya, persetujuan–persetujuan itu tidak dapat membawa rugi
kepada pihak ketiga;”
Selain itu pemohon juga kurang setuju dengan paragraf 7 pada putusan sebelumnya
yang berbunyi “Menimbang bahwa, karena Tergugat II dan III tidak termasuk dalam
perjanjian yang dibuat antara Penggugat dan Tergugat I maka sebenarnya tidak jelas
hubungan hukum apa mereka dengan Penggugat”
Pihak pemohon menyatakan bahwa majelis hakim tidak membaca dengan cermat
mengenai perihal maupun isi dari gugatan seharusnya hakim mencari dan menggali
informasi. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 16 Juni 1971 Nomor
305 K/Sip/1971 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 31 Juli 2001 Nomor 284
K/Pdt/2000 menjelaskan siapa–siapa yang hendak digugat (dijadikan pihak Tergugat) oleh
pihak Penggugat adalah sepenuhnya hak Penggugat.
Ditinjau berdasarkan kelima asas pokok perjanjian, pihak Franchise The Lieza tidak
memenuhi Asas Itikad Baik (GoedeTrouw) dikarenakanya belum memenuhi kewajiban
yang telah tercantum pada persyaratan yang telah disepakati. CV Trijaya Surya Gemilang
telah memenuhi Asas Itikad Baik dengan memenuhi objek yang telah disepakati yaitu
membayar program perawatan The Lieza Skincare, Facial, Body Slimming & SPA
Treatment senilai Rp 350.000.000,00. Bahkan saat pihak Franchise The Lieza meminta
tambahan dana untuk tawaran sebagai head master franchise di seluruh Wilayah Sumatera
sebesar Rp 350.000.000,00, pihak CV Trijaya Surya Gemilang langsung mengirim dana
tersebut.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon
Peninjauan Kembali Siti Maisaroh tersebut. Karena alasan-alasan tersebut tidak dapat
dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori Peninjauan Kembali
tanggal 11 November 2013 dihubungkan dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
tanggal 18 September 2013 Nomor 14/Pdt.G/2013/PN.Jkt.PSt yang telah berkekuatan

7
hukum tetap dan diajukan peninjauan kembali, ternyata tidak terdapat kekeliruan dan
kekhilafan yang nyata dalam perkara a quo, dimana ternyata gugatan Penggugat kabur,
karena dalil pokok gugatan Penggugat adalah tentang wanprestasi dalam perjanjian antara
Penggugat dengan Tergugat I, sehingga Tergugat II dan III tidak terlibat dengan perjanjian
tersebut, oleh karena itu hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat lainnya menjadi
tidak jelas. Selain itu Mahkamah Agung juga menghukum pemohon peninjauan
kembali/penggugat untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali
ini sejumlah Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah).
5.2 Saran
Untuk menciptakan kerjasama yang baik yang paling penting adalah memiliki
hubungan yang baik Komunikasi terbuka dan hubungan yang baik antara franchisor dan
franchisee sangat penting. Dukung mereka dalam mengatasi tantangan dan berikan
bimbingan saat diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
Pinangkaan, N. (2011). Franchise. Jurnal Hukum Unsrat, 19(3), 82-90.
Rachmatullah, M. (2022). TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN
FRANCHISE ROTI KEPO DI SEMARANG (Studi Kasus Kepemilikan Roti Kepo
Semarang) (Doctoral dissertation, Universitas Islam Sultan Agung).
Ruauw, M. T. (2013). Perlindungan Hukum Terhadap Franchishor Dan Franchisee Dalam
Perjanjian Franchise. Jurnal Hukum Unsrat, 1(1), 111-119.

Website :
BIBLIOGRAPHY Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2014, Desember 19). Putusan
Mahkamah Agung 239 PK/PDT/2014. From Direktori Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia:
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/6e3adfd3cffddcce94fd4c7
ef69341bc.html

You might also like