You are on page 1of 54

Referat NeuroVaskular

Basic knowledge of stroke : Discussion on classification,


Anatomy and Management

Penyaji : dr. Omy Kogoya

Pembimbing : Prof. Dr. dr. Salim Harris, Sp.S(K), FICA

DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA AGUSTUS 2023
1
2
EFERAT
Nama: dr Omy Kogoya
NIM: 2006625573

Basic knowledge of stroke : Discussion on classification, Anatomy and


Management

Pendahuluan
Stroke adalah sindrom klinis akut, defisit neurologis fokal yang dikaitkan dengan cedera
pembuluh darah (infark atau hemoragik) dari sistem nervus pusat. Stroke merupakan penyebab
mortalitas dan disabilitas nomor dua di dunia. Stroke bukanlah penyakit tunggal tetapi dapat
disebabkan oleh berbagai faktor risiko, proses dan mekanisme penyakit. Hipertensi adalah faktor
risiko stroke terpenting yang dapat dimodifikasi, meskipun kontribusinya berbeda untuk subtipe
stroke yang berbeda. Sebagian besar (85%) stroke merupakan stroke iskemik, terutama disebabkan
oleh small vessel arteriolosclerosis, kardioemboli, dan large artery atherothromboembolism. 1
Stroke iskemik pada pasien yang lebih muda dapat terjadi akibat spektrum penyebab yang
berbeda seperti diseksi ekstrakranial. Sekitar 15% dari stroke di seluruh dunia adalah akibat dari
perdarahan intraserebral, yang bisa dalam (ganglia basal, batang otak), serebelar atau lobar.
Perdarahan yang dalam biasanya disebabkan oleh arteriopati perforator (hipertensi) yang dalam
(arteriolosklerosis), sedangkan perdarahan lobus terutama disebabkan oleh angiopati amiloid serebral
atau arteriolosklerosis. Sebagian kecil (sekitar 20%) perdarahan intraserebral disebabkan oleh lesi
makrovaskular (malformasi vaskular, aneurisma, kavernoma), trombosis sinus vena atau penyebab
yang lebih jarang; ini sangat penting pada pasien muda (<50 tahun). Pengetahuan tentang anatomi
1
vaskular dan serebral penting dalam melokalisir stroke dan memahami mekanismenya.
Tujuan dari penulisan refarat ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai dasar-dasar
stroke, terutama dalam anatomi, klasifikasi, dan manajemen.

3
Anatomi Otak
Otak dibagi menjadi empat bagian utama: (1) batang otak, yang terdiri dari medula, pons,
dan midbrain; (2) Serebellum; (3) diencephalon, dengan talamus dan hipotalamus; dan (4)
hemisfera serebral, terdiri dari korteks serebral, ganglia basalis, white matter, hippocampus, dan
amigdala. 2
Nervus kranial III—XII berasal dari batang otak, dan memberikan inervasi sensorik ke
kepala dan leher, dengan beberapa perluasan fungsi ke wilayah otot trapezius melalui spinal
accessory nerve. Medula adalah rostral continuation dari spinal cord dan mengandung autonomic
centers yang mengontrol fungsi-fungsi vital dan sistem-sistem yang terlibat dalam pernapasan dan
pemeliharaan tekanan darah yang sesuai. Center ini juga meregulasi refleks diafragma dan faring.
Pons terletak antara medula dan midbrain dan berkontribusi pada pemeliharaan postur tubuh dan
keseimbangan, serta pernapasan. Pons membawa informasi dari serebrum ke serebelum melalui
traktus kortikopontoserebelum. Midbrain adalah bagian paling rostral dari batang otak dan terlibat
dalam gerakan okular serta jalur pengantaran visual dan auditori melalui lateral geniculate nuclei
dan medial geniculate nuclei. 2
Serebelum terletak di fossa posterior dan mengkoordinasikan gerakan kepala dan mata,
perencanaan dan pelaksanaan gerakan, serta pemeliharaan postur. Selain perananya dalam fungsi
motorik, telah terbukti bahwa serebelum merupakan komponen penting dari banyak proses kognitif
dan sensori-motorik, termasuk jalur auditori yang terlibat dalam fungsi-fungsi seperti rekognisi
ucapan. 2
Thalamus dan hipotalamus terletak antara hemisfera serebral dan batang otak. Thalamus
adalah wilayah pemrosesan utama untuk informasi sensorik yang menuju korteks serebral dan
informasi motorik yang bergerak ke arah berlawanan menuju batang otak dan sumsum tulang
belakang. 2
Empat arteri utama memasok darah ke otak, yaitu satu arteri karotis interna (AKI) dan satu
arteri vertebralis di setiap sisi. Secara klasik, arteri karotis interna di kedua sisi disebut sebagai
sirkulasi anterior, sementara sistem arteri vertebral-basilar membentuk sirkulasi posterior. Pada
central cranial base, sirkulasi anterior dan posterior saling terhubung membentuk cincin anastomotik
yang disebut "circle/polygon of Willis". Sisi-sisi poligon Willis terbentuk dari anterior cerebral
arteries (ACA), posterior cerebral arteries (PCA), anterior communicant branch (Acom A) yang

4
menghubungkan kedua ACA, dan posterior communicant arteries (Pcom A) yang menghubungkan
AKI dan PCA pada setiap hemifer otak.3
Setiap AKI terbagi menjadi 3 cabang terminal: ACA, middle cerebral artery (MCA), dan
anterior choroidal (arteri ACh A). PCA merupakan cabang terminal dari arteri vertebrobasilar. Ahli
anatomi menggambarkan segmen yang berbeda dari ACA, MCA, dan PCA berdasarkan pola
bifurkasi. 3

Gambar 1. Sistem vaskular serebral. 3


ACA dibagi menjadi: 3

 A1 : Horizontal atau pre-communicating yang dimulai dari bifukarsio karotid sampai


tingkat Acom A
 A2 : Vertikal atau segmen post-communicating atau pre-callosal yang dimulai dari Acom A
dan berakhir pada junction rostrum-genu dari korpus kallosum
 A3 : Pre-callosal
 A4 : Supra-callosal
 A5 : Postero-callosal

A3 bersama dengan A4 dan A5 disebut sebagai peri callosal artery. 3

MCA dibagi menjadi: 3

 M1 : Sphenoidal
 M2 : Insular
 M3 : Opercular
 M4 : Kortikal
5
PCA dibagi menjadi: 3

 P1 : Pre-communicating
 P2 : Post-communicating
 P3 : Quadrigeminal
 P4 : Kalkarina

ACA, MCA, dan PCA mempunyai perforating branches yang penting dalam menyuplai
struktur vital seperti kelenjar pituitari, infundibular stalks, kiasma optikum, hipotalamus dan
thalamus, midbrain, dan ganglia basalis. 3

Gambar 2. Gyrus pre-sentralis.4

6
Gambar 3. Homunkulus sensorik dan motorik.4
Arteri Serebral Anterior, AChaA, dan percabangannya
 Recurrent artery (dari Heubner) adalah arteri terbesar yang berasal dari proksimal A1 atau
A2. Ia melewati di atas dan lateral ke arah kiasma optik dan menembus anterior perforated
substance. Arteri rekuren mensuplai head of the caudate nucleus, sepertiga putamen anterior,
bagian anterior globus pallidus eksternus, bagian anteroinferior dari anterior limb of the
internal capsule, dan uncinate fasciculus, serta, jarang sekali, hipotalamus anterior. 3
 Basal perforating arteries yang berasal dari ACA dan Acom A mensuplai anterior perforated
substance, permukaan dorsal nervus optik dan kiasma optikus, traktus optikus, bagian
suprakiasmatik hipotalamus, rostrum korpus kallosum, permukaan bawah lobus frontalis, dan
bagian medial fisura Sylvian. 3

Arteri Koroid Anterior


Arteri koroid anterior (AChA) adalah pembuluh yang kecil tetapi relatif konsisten yang
berasal dari aspek posteromedial dari ICA supra-klinoid. Wilayah AChA bervariasi dan bisa
mencakup traktus optikus, posterior limb of the internal capsule, cerbral peduncle, pleksus koroid,
dan lobus temporal medial. 3

7
Middle cerebral artery
Segmen proksimal (M1) berjlan lateral ke kiasma optikus dan mencapai medial entrance of
the Sylvian fissure. Selama perjalanannya, ia menggambarkan dua bagian: sebelum dan sesudah
bifurkasio. M1 memiliki perforating branches, yang disebut lateral lenticulo-striate arteries, yang
menyuplai sebagian besar caudate nucleus, kapsul internal, dan ganglia basal. Cabang-cabang
kortikalnya menyuplai anterior pole of the temporal lobe. Segmen insular (M2) terdiri dari 6 hingga
8 arteri utama yang terletak di atas insula dan berakhir di atas sulcus sirkular. Segmen distal M3 dan
M4 terletak dari lateral cerebral fissure hingga sebagian besar permukaan lateral otak. Cabang-
cabang kortikalnya adalah arteri orbitofrontal, prefrontal, sulkus pre dan postsentral, parietal, angular,
temporal, dan temporal-oksipital. Wilayah M3 dan M4 mencakup hampir seluruh permukaan lateral
otak. 3

Posterior cerebral artery


Dari bifukarsio basilar ke junction dengan Pcom A, segmen proksimal (P1) dari PCA
memberikan banyak perforating branches yang penting yang menyuplai batang otak, thalamus,
nukleus oculomotor dan trochlear. P2 berjalan di antara junction dan aspek posterior midbrain di
mana ia memberikan arteri thalamoperforating, thalamogenikulat, peduncular perforating, posterior
choroidal, dan posterior temporal. Bagian distal PCA (P3 dan P4) membentang dari quadrigeminal
plate ke fisura kalkarina di mana mereka memasok lobus oksipital, sebagian lobus parietal dan
3
temporal, serta sepertiga posterior hemisfer otak medial.

Sistem Vertebrobasilar
Bagian intradural vetebral artery (VA) berjalan anteromedial melalui foramen magnum,
berjalan superomedial menuju midline di mana dua VA bersatu membentuk basilar artery (BA).
Selama perjalanannya menuju BA, VA memberikan posteroinferior cerebellar Artery (PICA),
anterior spinal artery yang menyuplai upper spinal cord, medula lateral, tonsil, vermis, dan hemisfer
serebellum inferior. 3
Dari pertemuan VA, Arteri Basilar berjalan ke arah superior di depan medulla, pons, dan
bercabang/bifurkasio di junction pons/mesensefalon di mana ia memberikan posterior cerebral

8
arteries. Sepanjang jalurnya, BA memberikan anterior inferior cerebellar arteries (AICA), pontine
perforating branches, dan superior cerebellar arteries (SCA). BA menyuplai batang otak, midbrain,
sebagian thalamus, posterior internal capsule, dan serebellum bagian tengah dan atas serta vermis. 3
Cerebral small vessel disease (CSVD) adalah istilah umum yang mengacu pada penyakit
vaskular intrakranial berdasarkan berbagai proses patologis dan neurologis, serta sindrom yang
mengacu pada berbagai manifestasi klinis dan neuroimaging yang disebabkan oleh perubahan
struktural parenkim vaskular dan otak.5

Serebellum
Serebellum, bagian terbesar dari hindbrain, terletak di fossa kranial posterior, di belakang
ventrikel keempat, pons, dan medulla oblongata. Tentorium cerebelli, perpanjangan dari dura mater,
memisahkan Serebellum dari serebrum. Serebellum terdiri dari dua hemisfer yang dihubungkan oleh
vermis dan terbagi menjadi tiga lobus – anterior, posterior, dan flokulonodular, yang dipisahkan oleh
dua fisura transversa. V-shaped primary fissure memisahkan lobus anterior dan posterior, sementara
fisura posterolateral memisahkan lobus posterior dan flokulonodular. Deep horizontal fissure yang
ditemukan pada lobus posterior memisahkan permukaan superior dan inferior serebellum.
Serebellum kaya akan neuron, mengandung 80% dari neuron otak yang diatur dalam lapisan selular
padat.6
Korteks serebellar adalah sheet-like structure, terdiri dari satu lembaran dengan ketebalan
kurang dari 1mm, dan accordion-like folds yang menyatu pada midline. Setiap fold terdiri dari inner
white matter core yang ditutupi oleh gray matter. Gray matter korteks terbagi menjadi tiga lapisan:
lapisan molekuler eksternal; lapisan sel Purkinje tengah; dan lapisan granular internal. 6
Fungsi: Korteks vermis mengkoordinasikan gerakan trunkus, termasuk leher, bahu, dada,
perut, dan pinggul. Kontrol otot ekstremitas distal dilakukan oleh intermediate zone hemisfer
serebellar, yang terletak berdekatan dengan vermis. Area lateral yang tersisa dari setiap hemisfer
serebellar memberikan perencanaan gerakan berurutan seluruh tubuh bersamaan dengan keterlibatan
dalam penilaian sadar terhadap kesalahan gerakan. 6

9
Gambar 4. Anatomi Serebellum. 6
Serebellum menerima suplai darah dari tiga arteri utama yang berasal dari sistem anterior
vertebrobasilar: superior cerebellar artery (SCA), anterior inferior cerebellar artery (AICA), dan
posterior inferior cerebellar artery (PICA). 6
SCA bercabang bervariasi berdasarkan embriologi. SCA dapat bercabang dari titik pertemuan
arteri basilar dan arteri serebri posterior serta melewati di bawah nervus okulomotor, atau langsung
dari arteri serebri posterior dan melewati di atas nervus oculomotor. Pada sebagian besar subjek, SCA
melingkari batang otak di bawah nervus okulomotor dan di atas nervus trigeminal. SCA terbagi
menjadi dua cabang: medial dan lateral. Cabang medial SCA lebih lanjut terbagi menjadi dua cabang;
salah satunya menyuplai darah pada mesensefalon dan kolikulus inferior dan superior, sementara
yang kedua menyuplai darah pada bagian superior vermis dan korteks serebellar superomedial.
Cabang lateral SCA menyuplai darah pada korteks serebellar superolateral. 6

Gambar 5. Vaskularisasi pada serebellum. 7


AICA bercabang dari trunkus basilar pada hampir semua subjek. Ia melewati nervus abdusen
dan bertemu dengan nervus fasial dan vestibulokoklear pada cerebellopontine angle. Kemudian

10
bercabang menjadi dua cabang: salah satunya menyuplai darah pada serebellum inferior anterior
sementara yang lain pada flokulus, pleksus koroid, dan middle cerebellar peduncle. 6
PICA adalah cabang arteri vertebral terbesar. Ia melewati antara serebellum dan medula serta
menyuplai darah pada cerebellar nuclei, inferior surface of the vermis, dan area permukaan bawah
hemisfer serebellar. Medula oblongata dan pleksus koroid ventrikel keempat disuplai oleh PICA.
Serebellum didrainase oleh vena-vena yang mengalir ke great cerebral vein atau adjacent venous
sinuses. 6
Oklusi PICA menyebabkan sindrom Wallenberg, yang meliputi tanda dan gejala berikut:
disfagia dan disartria akibat paralisis otot palatal dan laring ipsilateral, analgesia sisi ipsilateral wajah,
vertigo, mual, muntah, dan nistagmus, sindrom Horner ipsilateral, ataksia ekstremitas ipsilateral dan
hilangnya sensasi nyeri dan suhu kontralateral. 6
Gejala utama dari stroke serebellar pada orang dewasa adalah vertigo akut dan
ketidakstabilan. Karena tidak memiliki gejala yang mengancam seperti nyeri berat atau hemiparesis,
pasien seringkali berkonsultasi dengan dokter umum terlebih dahulu. Pusing adalah gejala yang
sangat umum dan dapat memiliki penyebab yang berbeda. Tidak mengenali stroke serebellar sebagai
penyebab vertigo dapat memiliki konsekuensi serius bagi pasien terkait dengan pengabaian
pemeriksaan diagnostik stroke dan pengobatan untuk pencegahan sekunder. Hal ini akan
berhubungan dengan peningkatan risiko rekurensi stroke. Risiko infark batang otak berikutnya
setelah stroke serebellar telah diperkirakan pada tingkat 13% per tahun menurut studi sebelumnya.
Selain itu, stroke serebellar besar juga dapat muncul dengan vertigo murni dan berkembang menjadi
kondisi yang mengancam jiwa dalam beberapa hari berikutnya akibat efek space occupying, dengan
kompresi pada batang otak atau ventrikel keempat, hidrosefalus, dan risiko herniasi (transtentorial
atau transforaminal).7
Sirkulasi posterior terdampak pada sekitar 30–40% dari seluruh kasus stroke serebellar pada
anak-anak, yang jauh lebih sering terjadi daripada pada orang dewasa. Gejala awal pada stroke
sirkulasi posterior pada anak-anak lebih tidak spesifik dibandingkan pada orang dewasa: 40%
mengalami kelemahan anggota tubuh, dan 30% memiliki gangguan gait akibat ataksia dan/atau
masalah bicara. Keluhan tambahan seperti vertigo, mual, dan sakit kepala lebih lanjut menghambat
diagnosis yang cepat, karena anak-anak seringkali sulit diperiksa dalam situasi-situasi ini. Sekitar
20% memiliki gejala tidak spesifik, seperti vertigo, pusing, mual, atau sakit kepala saja. 7

11
Fisiologi
Ada empat pembuluh utama yang menyuplai darah ke otak, yaitu arteri karotis interna yang
berasal dari common carotid arteries, dan arteri vertebralis. Mereka membentuk Circle of Willis di
dasar otak, dari mana arteri serebral utama bergerak maju dan bercabang di permukaan otak. Di sini,
mereka membentuk pial arteries, yang mengirim penetrating arterioles ke dalam parenkim otak
dengan percabangan lebih lanjut di arteriola prekapiler dan capillary bed. Penetrating arterioles
bertanggung jawab atas sekitar 40% dari total cerebral vascular resistance. Darah vena dikumpulkan
dalam venula post-kapiler kecil yang diikuti oleh venula yang lebih besar yang mencapai permukaan
otak. Sistem drainase utama adalah vena serebral dalam dan superfisial yang bergabung dalam sinus
vena dura dan kemudian membentuk vena jugularis, dan akhirnya mengalirkan darah ke vena cava
superior.8

Fungsional Korteks Serebral


Sulkus sentralis memisahkan area motorik dan sensorik dalarn korteks. Precentral gyrus yang
terletak di bagian frontal membentuk garis depan dari sulkus sentralis. Permukaan dari gyrus ini
merupakan area korteks motorik primer. Neuron dari korteks motorik primer mengatur secara
langsung pergerakan voluntar dengan pengontrolan neuron motorik somatik di batang otak dan
medula spinalis. Neuron dari korteks motorik primer disebut sel piramidal, dan jalur yang mengatur
kendali gerakan volunter dikenal sebagai traktus piramidalis.9
Postcentral gyrus yang terletak di lobus parietal membentuk garis di belakang dari sulkus
sentralis, dan permukaannya merupakan area korteks sensorik primer. Neuron di area ini menerima
informasi sensorik somatik rangsangan sentuhan, tekanan, sakit. rasa dan suhu dari thalamus. 9
Lobus Oksipital menerima informasi visual. Korteks auditori menerima informasi tentang
pendengaran dan penciuman yang terletak pada lobus temporalis dan korteks gustatori berada di
bagian depan insula dan berdekatan dengan lobus frontalis, bagian ini menerima informasi dari
reseptor rasa dari lidah dan tekak. Area fungsional korteks cerebral tidak selalu sama/ sesuai dengan
lobus anatomi otak. Untuk satu hal, spesialisasi fungsional tidaklah simetris lintas korteks serebrum:
setiap lobus mempunyai fungsi khusus yang tidak dimiliki oleh lobus yang sesuai pada sisi/hemisfer
yang berlawanan. Fungsi lateralisasi serebrum ini disebut juga dominasi serebrum, dan lebih populer

12
lagi disebut dengan dominansi otak kiri otak kanan. Bahasa dan kemampuan verbal cenderung
terkonsentrasi pada otak kiri, kemampuan spasial terkonsentrasi pada otak kanan. Otak kiri
merupakan hemisfer dominan pada orang dominan tangan kanan dan otak kanan merupakan hemisfer
dominan bagi banyak orang kidal. Walaupun generalisasi ini sangat mungkin berubah, hubungan
pernervusan di serebrum, seperti hubungan pernervusan di bagian lain sistem nervus, menunjukkan
adanya plastisitas.9

Definisi
Penting untuk mengenali bahwa stroke dan transient ischaemic attack (TIA) adalah sindrom
klinis dan bahwa cedera vaskular otak yang mendasarinya dapat memiliki banyak mekanisme yang
berbeda. Oleh karena itu, 'stroke' dan 'TIA' bukanlah diagnosis tunggal atau lengkap, tetapi
merupakan titik awal untuk penyelidikan dan pengobatan yang rasional.
TIA secara tradisional didefinisikan sebagai episode singkat disfungsi nervus fokal yang tidak
terkait dengan infark serebral permanen, dan berlangsung kurang dari 24 jam. Stroke didefinisikan
sebagai defisit nervus fokal yang terjadi secara tiba-tiba, dengan gejala yang berlangsung lebih dari
24 jam (atau mengakibatkan kematian sebelum 24 jam). Definisi ini tidak lagi membantu dalam
praktik klinis karena beberapa alasan berikut: pengobatan stroke memerlukan waktu yang sensitif
dan perlu dimulai secepat mungkin setelah diagnosis, batas waktu 24 jam bersifat arbitrary; dan 30–
50% pasien dengan TIA yang didefinisikan secara klinis memiliki bukti iskemia atau infark otak pada
diffusion-weighted magnetic resonance imaging (MRI). Serangan atipikal, biasanya rekuren, seperti
parestesia dan mati rasa yang menyebar secara stereotip yang memengaruhi lengan dan wajah, terkait
dengan perdarahan subarachnoid pada konveksitas, dan oleh karena itu memerlukan pencitraan otak,
idealnya dengan MRI. Dengan semakin mudahnya akses ke MRI, kemungkinan definisi TIA dan
1
stroke berdasarkan pencitraan akan lebih diutamakan di masa depan.
Tabel 1. Definisi Stroke menurut AHA.10

13
World Health Organization mendefinisikan stroke sebagai 'tanda-tanda klinis yang
berkembang pesat dari gangguan fungsi serebral fokal (atau global), yang berlangsung lebih dari 24
jam atau menyebabkan kematian, tanpa penyebab yang jelas selain yang berasal dari pembuluh
darah'.11
Pedoman nasional pelayanan nasional (PNPK) mendefinisikan stroke sebagai manifestasi
klinis akut akibat disfungsi neurologis pada otak, medulla spinalis, dan retina baik sebagian atau
menyeluruh yang menetap selama ≥24 jam atau menimbulkan kematian akibat gangguan pembuluh
darah. Sementra itu, transient ischemic attack (TIA) didefinisikan sebagai disfungsi neurologis
14
sementara akibat iskemia fokal termasuk iskemi retina dan medulla spinalis, tanpa bukti adanya
infark.12

Epidemiologi
Terdapat 16,9 juta insiden stroke di seluruh dunia, dua kali lebih banyak stroke survivors, dan
5,9 juta kematian akibat stroke. Secara keseluruhan stroke menempati urutan ketiga di antara
penyebab kematian dan disability-adjusted life years, tetapi menempati urutan pertama di kawasan
Asia yang memiliki populasi tertinggi di dunia. Di negara berpenghasilan rendah dan menengah,
stroke terjadi ±8 tahun lebih awal dalam hidup dibandingkan di daerah berpenghasilan tinggi. Stroke
seharusnya tidak lagi dianggap sebagai penyakit usia tua, dimana sekitar dua pertiga dari semua
kejadian stroke terlihat pada orang <75 tahun. 13
Prevalensi stroke sekitar 0,0017% pada daerah pedesaan Indonesia dan 0,022% pada daerah
perkotaan Indonesia. Pada penelitian Riskedas (Riset Kesehatan dasar), prevalensi secara
keseluruhan stroke di Indonesia adalah 10,9/1.000.000, dengan angka yang berbeda-beda di berbagai
provinsi, dimana terendah di Papua (4,9/100.000.000) dan tertinggi di Kalimantan Barat
(14,7/1.000.000).14

Faktor Resiko
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (juga disebut risk markers) untuk stroke meliputi
usia, jenis kelamin, ras-etnis, dan genetika. Secara umum, stroke adalah penyakit akibat penuaan.
Insiden stroke meningkat seiring bertambahnya usia, dengan insiden dua kali lipat untuk setiap
dekade setelah usia 55 tahun. Usia rata-rata insiden stroke iskemik pada tahun 2005 adalah 69,2
tahun. Bukti terbaru menunjukkan, bahwa kejadian dan prevalensi stroke iskemik telah meningkat
pada kelompok usia 20 sampai 54 tahun, dari 12,9% pada tahun 1993/1994 menjadi 18,6% pada
tahun 2005.15
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah hal yang paling penting, karena strategi
intervensi yang ditujukan untuk mengurangi faktor ini selanjutnya dapat mengurangi risiko stroke.
Identifikasi dini dan modifikasi faktor risiko sangat penting. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
dapat dibagi lagi menjadi kondisi medis dan faktor resiko perilaku. Peran banyak faktor risiko

15
tradisional dalam menyebabkan stroke, seperti hipertensi, diabetes melitus, hiperlipidemia, dan
merokok sudah diketahui dengan baik.15
Tabel 2. Faktor resiko stroke menurut Boehme et al., 2017. 15

Stroke dengan keterlibatan fungsi visus


Dalam studi Wijesundera et al., didapatkan bahwa stroke secara signifikan menginduksi
penurunan penglihatan pada 2/3 pasien yang dirawat inap, sekitar 48 jam setelah stroke, dan sering
tidak berhbungan dengan letak lesi yang terkonfirmasi. 16
Gangguan okular dan visual pada pasien stroke meliputi gaze palsies dan other eye movement
disorders, ptosis, anisokoria, penurunan akuitas visual, dan visual field defects (VFD). Secara klinis,
banyak pasien stroke yang mengalami penurunan akuitas visual pada fase awal pasca stroke karena
berkurangnya sensitivitas kontras dan stereopsis, eye movement disorders, gaze palsy atau gangguan
persepsi. 17
Sekitar 20-60% pasien stroke diperkirakan mengalami VFD permanen atau transient, dengan
mayoritas hemi- atau quadrantanopia, tetapi frekuensi defek transient sulit untuk dipastikan. Di

16
antaranya, sekitar 70% akan mempertahankan penglihatan sentral (macular sparring). Stroke-related
disabilities menghalangi banyak pasien untuk melakukan pengujian automated perimetric visual
field, yang memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang lebih tinggi. Pemulihan VFD parsial atau total
dapat terjadi dan telah dilaporkan pada hingga 50% pasien stroke. Dalam kebanyakan kasus,
perbaikan spontan tampaknya terjadi dalam 6 bulan pertama pasca stroke. Baru-baru ini, 32 pasien
dengan infark oksipital (87,5% dengan hemianopia homonim dan 12,5% dengan kuadrantanopia
homonim) diperiksa secara prospektif dengan automated perimetry. Peningkatan keseluruhan dalam
derajat visual didapatkan, terutama untuk kuadran bawah dan perifer, dalam 6 bulan pertama setelah
stroke akut. Sebagian besar pasien, yang mengalami VFD substansial setelah stroke, akan mengalami
gangguan pada derajat tertentu. Namun, mirip dengan VFD lainnya, sebagian besar pasien stroke
sebenarnya tidak menyadari defisit mereka. Ini memiliki implikasi negatif untuk tugas-tugas seperti
mengemudi, dan dapat menyebabkan peningkatan risiko kecelakaan.17

Stroke dengan keterlibatan fungsi pendengaran


Suplai darah utama dari central auditory nervous system disediakan oleh AICA(anterior
inferior cerebellar artery), PICA (posterior inferior cerebellar artery), superior cerebellar, basilar
dan middle cerebral artery. Suplai darah ke cochlear nucleus disediakan oleh AICA dan PICA.
Cabang-cabang arteri basilar dan kadang-kadang AICA mensuplai superior olivary complex dan
lemniskus lateral, sementara arteri serebellar superior mensuplai darah ke inferior colliculus dan
arteri basilar mensuplai medial geniculate body. Primary dan association auditory cortex dan
sekitarnya disuplai oleh middle cerebral artery.18

17
Gambar 6. Representasi protokol pemeriksaan auditori post-stroke. 18
Studi pendengaran pada populasi stroke menunjukkan bahwa gangguan pendengaran sangat
umum terjadi, dan dapat memprediksi outcome jangka panjang pasien. Sudden hearing lost setelah
stroke lebih jarang terjadi dibandingkan gangguan neurologis lainnya. Sebuah studi prospektif besar
dari 685 kasus berturut-turut dengan stroke iskemik vertebrobasilar mengalami sudden hearing loss
pada 42 kasus dan melaporkan prevalensi keseluruhan sudden hearing loss sebesar 6%. Sudden
hearing loss didefinisikan sebagai penurunan ambang pendengaran sebesar 30 dB dalam setidaknya
tiga frekuensi yang tercatat selama 72 jam. Stroke AICA lebih cenderung menyebabkan gangguan
pendengaran daripada stroke PICA. Dalam subtipe teritori infark yang berbeda, sudden hearing loss
terjadi pada 87,5% kasus dengan infark AICA terisolasi, hanya 3,4% kasus dengan infark PICA
terisolasi, dan pada 0,63% kasus dengan infark batang otak terisolasi. 18

Stroke yang berhubungan dengan penyakit infeksi

18
Stroke iskemik memicu respons peradangan yang kompleks di otak yang berkontribusi pada
cedera otak sekunder dan perluasan infark. Sejalan dengan peradangan otak, stroke iskemik juga
menyebabkan imunosupresi pasca-stroke. Leukopenia yang diinduksi stroke kemudian membuat
pasien rentan terhadap infeksi oportunistik yang berpotensi menyebabkan pneumonia atau infeksi
saluran kemih dan memperburuk outcome stroke. Terdapat bukti bahwa hypothalamic–
pituitaryadrenal axis memainkan peran penting dalam etiologi imunosupresi pasca-stroke, dimana
singalling glukokortikoid yang berkepanjangan menyebabkan perubahan dalam respons imun.
Meskipun mikroba oportunistik di rumah sakit sebelumnya dianggap sebagai sumber infeksi,
penelitian terbaru melaporkan bahwa flora usus juga dapat menjadi penyebab infeksi pasca-stroke
sebagai konsekuensi dari integritas barier usus yang terganggu setelah stroke. Sementara obat
antimikroba mungkin terlihat sebagai bentuk pengobatan yang rasional untuk infeksi bakteri pada
pasien stroke, peningkatan bakteri yang resisten terhadap obat dan kemungkinan efek pada gangguan
flora usus yang bermanfaat merupakan tantangan utama dengan obat-obatan ini. Mengingat peran
utama mikrobiota usus dalam mengatur respons imun, melindungi dan mengembalikan bakteri usus
pasca-stroke dapat memberikan manfaat yang signifikan dalam konteks infeksi pasca-stroke.19

Gambar 7. Mekanisme infeksi pada stroke.19

Stroke yang berhubungan dengan penyakit autoimun


Beberapa kasus stroke iskemik yang terjadi pada pasien dengan penyakit autoimun telah
dilaporkan. Pasien dengan penyakit autoimun seperti rheumatoid arthritis dan systemic lupus
erytemathosus (SLE) menunjukkan peningkatan resiko stroke dibandingkan populasi umum.20
Penyakit autoimun merupakan etiologi penting untuk stroke, terutama untuk pasien wanita
muda. Dalam penelitian Sun et al., lima pasien bahkan mengalami stroke sebagai manifestasi
pertama. Jenis penyakit autoimun dalam penelitian Sun et al. meliputi SLE, MCTD (mixed connective
19
tissue disease), vaskulitis sistem saraf pusat, dan Takayasu arteritis. Selain itu, infark serebral terjadi
pada pasien dengan penyakit autoimun lainnya, seperti sindrom Churg-Strauss dan artritis
reumatoid.20
Mekanisme stroke dalam penelitian Sun et al. termasuk hiperkoagulabilitas, emboli jantung
dan vaskulitis. Tingkat D-dimer, yang merupakan ukuran laboratorium langsung dari activated
coagulation, telah digunakan dalam banyak penelitian sebelumnya sebagai ukuran
hiperkoagulabilitas. D-dimer adalah produk smallest fibrinolysis-specific degradation yang
ditemukan di sirkulasi. D-dimer sangat sensitif terhadap trombus intravaskular dan dapat meningkat
secara nyata pada koagulasi intravaskular diseminata. Mekanisme stroke ditemukan berkaitan dengan
hiperkoagulabilitas dengan peningkatan kadar D-dimer. Studi terbaru mengungkapkan bahwa
inflamasi dapat mengubah keseimbangan hemostatik ke arah trombogenik. Sistem imun dan sistem
koagulasi saling terkait, dengan banyak komponen molekuler yang penting untuk kedua sistem
tersebut. Sindrom antifosfolipid merupakan penyebab penting hiperkoagulabilitas. Pada penelitian
Sun et al. , ditemukan bahwa pada pasien dengan sindrom antifosfolipid menunjukkan lesi infark
20
kecil dan sedang yang tersebar luas dan melibatkan banyak wilayah arteri.
Stroke yang berhubungan dengan genetika
Faktor genetik juga dikenal sebagai faktor risiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi dengan
riwayat orang tua dan riwayat keluarga meningkatkan risiko stroke. Seperti halnya faktor risiko
stroke lainnya, risiko genetik stroke bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin. dan ras.21
Sejumlah besar kelainan monogenik langka dapat menyebabkan stroke. Beberapa di
antaranya menyebabkan stroke sebagai bagian dari gangguan sistemik, sedangkan yang lain hanya
menyebabkan manifestasi klinis dalam sistem saraf pusat. Meskipun jarang, diagnosis mereka
penting bagi individu dan mereka mungkin memiliki implikasi pengobatan yang penting. 22
Bukti heritabilitas pada stroke iskemik melampaui gangguan monogenik langka. Data dari
twin studies menunjukkan bahwa stroke lebih sering terjadi pada kembar monozigotik dibandingkan
dengan kembar dizigotik, meskipun jumlah individu yang terkena dampak dalam studi ini kecil.
Lebih banyak data tersedia dari studi riwayat keluarga yang secara konsisten menemukan bahwa
riwayat stroke keluarga lebih sering terjadi pada individu dengan stroke iskemik dibandingkan
dengan kontrol. Hubungan ini lebih kuat untuk individu yang lebih muda, dan bagi mereka dengan
subtipe large-artery disease dan small-vessel disease dari stroke. 22

20
Gambar 8. Penyebab monogenik stroke. 22

Stroke yang berhubungan cerebral small vessel disease (csvd)


Cerebral small vessel disease (SVD) menunjukkan serangkaian proses patologis, yang
memengaruhi arteri kecil, arteriol, kapiler, dan vena kecil otak. SVD dikaitkan dengan infark
subkortikal kecil, lakuna, white matter hyperintensities, enlarged perivascular spaces, microbleeds ,
dan atrofi kortikal, yang menyebabkan satu dari lima stroke di seluruh dunia.23
Mengingat efek merugikan dari dehidrasi dan saturasi yang buruk pada oksigenasi jaringan,
rehidrasi pra-rumah sakit dan upaya untuk mencapai saturasi darah penuh yang baik diperlukan pada
pasien dengan disfungsi kapiler. Sementara terapi rekanalisasi jelas membatasi ukuran infark jika
terjadi oklusi pembuluh darah besar yang menyebabkan hipoksia jaringan, dimana penting untuk
diingat bahwa cara memulihkan pola aliran kapiler juga harus dieksplorasi. Karena faktor risiko SVD
umumnya lazim pada populasi stroke terlepas dari mekanisme kejadian individu, intervensi ini dapat
bermanfaat secara umum. 23

Stroke yang berhubungan dengan penyakit metabolik


Metabolic syndrome (MetS) terdiri dari konstelasi faktor risiko vaskular dan kelainan
metabolik yang terdiri dari (1) obesitas sentral, (2) dislipidemia aterogenik, terutama ditandai dengan
peningkatan trigliserida dan penurunan high-density lipoproteins, (3) tekanan darah tinggi, dan (4)
hiperglikemia. Kelompok faktor yang sangat saling terkait ini tampaknya meningkatkan risiko
penyakit vaskular individu dengan mendorong perkembangan penyakit vaskular aterosklerotik dan
diabetes melitus tipe II.24
21
Kehadiran MetS telah dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke dalam literatur yang ada.
Dalam National Health and Nutrition Examination Survey di antara 10.357 subjek, prevalensi MetS
secara signifikan lebih tinggi pada orang dengan self-reported history of stroke (43,5%) dibandingkan
pada subjek tanpa riwayat penyakit vaskular (22,8%). MetS secara independen dikaitkan dengan
riwayat stroke pada semua kelompok etnis dan pada kedua jenis kelamin. Hubungan antara MetS dan
stroke telah dikonfirmasi pada populasi lain yang diintegrasikan oleh subyek lanjut usia, dan
frekuensi MetS telah dilaporkan secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan riwayat stroke
iskemik atherothrombotic atau nonembolik. Asosiasi ini mendukung penggunaan klinis dari MetS
dalam identifikasi subyek yang berada pada peningkatan risiko mengalami stroke. 24
Studi berbasis populasi dengan follow-up jangka panjang telah menunjukkan bahwa individu
sehat dengan MetS berada pada peningkatan risiko yang nyata untuk kejadian kardiovaskular utama,
termasuk stroke, dan mortalitas kardiovaskular. Adjusted risk ratios untuk insiden stroke iskemik
yang terkait dengan MetS di studi prospektif berkisar antara 2,1 dan 2,47, dan hazard ratio setinggi
5,15 telah dilaporkan. 24

Stroke yang berhubungan dengan kanker


Kanker adalah penyebab utama kematian di Amerika Serikat, dan penyebab kematian ketiga
di seluruh dunia. Stroke adalah penyebab kematian kelima di Amerika Serikat. Kanker dan stroke
dapat terjadi secara terpisah pada pasien, atau kanker dapat menyebabkan stroke melalui
hiperkoagulabilitas, endokarditis trombotik non-bakteri, kompresi tumor langsung pada pembuluh
darah, atau dari terapi kanker itu sendiri. Karena tingkat survival pasien kanker terus meningkat, akan
menjadi penting untuk mengidentifikasi penderita kanker yang berisiko tinggi terkena stroke. 25
Resiko stroke di antara pasien kanker sekitar dua kali lipat dari populasi umum dan meningkat
dengan waktu follow-up yang lebih lama. Resiko relatif stroke fatal, dibandingkan populasi umum,
paling tinggi pada mereka yang menderita kanker otak dan saluran pencernaan. Pluralitas stroke
terjadi pada pasien >40 tahun dengan kanker prostat, payudara, dan kolorektum. Pasien dari segala
usia yang didiagnosis dengan tumor otak dan limfoma berisiko terkena stroke sepanjang hidup. 25
Sebagian besar pasien kanker sekarang meninggal karena penyebab non-kanker. Stroke-
prevention strategies dapat ditujukan pada pasien yang dirawat karena tumor otak dan limfoma
(terutama anak-anak) dan pasien yang lebih tua (yaitu > 40 tahun) yang didiagnosis dengan kanker

22
prostat, payudara, dan kolorektum. Meskipun relatif lebih jarang, pasien dengan kanker saluran
pencernaan (terutama pankreas, hati, kerongkongan) memiliki risiko yang relatif tinggi untuk
meninggal karena stroke setiap saat setelah diagnosis. 25
Nguyen dan Deangelis menjelaskan bahwa kanker dapat menyebabkan stroke melalui
beberapa mekanisme. Pertama, kanker tertentu menyebabkan penyakit oklusi dari emboli, kompresi,
atau perluasan meningeal dari tumor. Penyebaran tumor ke ruang leptomeningeal dapat
menyebabkan kompromi vaskular. Pasien dengan leukemia dan peningkatan jumlah leukosit dapat
mengalami leukostasis intravaskular, yang menyebabkan hemorrhagic infarct. Metastasis tumor otak
juga dapat menyebabkan perdarahan, dan ini lebih sering terjadi pada kanker ginjal, tiroid, sel
germinal, melanoma, dan koriokarsinoma. Kedua, koagulopati, termasuk non-bacterial thrombotic
endocarditis (NBTE), dapat menyebabkan stroke. NBTE, atau endokarditis marantik, ditandai
dengan adanya agregat fibrin dan trombosit yang relatif aselular yang melekat pada normal heart
values. Ketiga, stroke dapat terjadi akibat terapi, seperti aterosklerosis akibat terapi radiasi, drug-
induced thrombocytopenia, dan hiperkoagulabilitas. 25

Stroke yang berhubungan trauma pada kepala


Trauma kranial pada anak kecil dapat menyebabkan infark iskemik. Insiden penyakit
serebrovaskular pada anak-anak di India adalah 13-33/100.000 per tahun. Trauma kepala pada anak-
anak sebagian besar menyebabkan stroke hemoragik dan stroke iskemik. Stroke hemoragik biasanya
umum terjadi pada anomali vaskular atau koagulasi sebelumnya. Stroke iskemik merupakan sekitar
50% kasus stroke masa kanak-kanak dan 80-85% kasus stroke pada dewasa. Trauma kepala
tampaknya bertindak sebagai pemicu stroke arterial dan dehidrasi untuk venous strokes. Terjadinya
lesi iskemik di basal ganglia jarang terjadi setelah trauma kepala ringan dengan kejadian kurang dari
2% dari semua stroke iskemik pada masa kanak-kanak. 26
Patogenesis stroke iskemik pasca trauma kepala ringan pada anak masih belum dapat
dijelaskan. Karakteristik anatomi otak yang tumbuh pada masa bayi, gerakan otak akibat trauma, dan
vasospasme atau peregangan dan shearing injury pembuluh darah dengan lesi intima dan trombosis,
semuanya dapat berperan dalam menyebabkan stroke. Penyebab lain yang mungkin: diseksi
traumatik pada common carotid, arteri karotis interna atau vessels of circle of Willis, predisposisi
kongenital untuk ruptur arteri servikal atau intrakranial, dan status protrombotik atau penyakit

23
jantung dapat menjadi penyebab yang mungkin untuk lesi iskemik serebral pada anak-anak. Jadi,
sebelum mengklasifikasikan infark serebral pada anak-anak sebagai idiopatik, semua kemungkinan
penyebab harus disingkirkan.27

Patofisiologi
Stroke didefinisikan sebagai lonjakan neurologis tiba-tiba yang disebabkan oleh perfusi yang
terganggu melalui pembuluh darah menuju otak. Penting untuk memahami anatomi neurovaskular
untuk mempelajari manifestasi klinis dari stroke. Aliran darah ke otak diatur oleh dua arteri karotis
interna di bagian anterior dan dua arteri vertebralis di bagian posterior (circle of Willis). Stroke
iskemik disebabkan oleh pasokan darah dan oksigen yang tidak memadai ke otak dan stroke
hemoragik disebabkan oleh perdarahan atau kebocoran pembuluh darah.28
Oklusi iskemik menyumbang sekitar 85% kematian pada pasien stroke, dengan sisanya
disebabkan oleh perdarahan intraserebral. Oklusi iskemik menghasilkan kondisi trombotik dan
embolik di otak. Pada trombosis, aliran darah terpengaruh oleh penyempitan pembuluh akibat
aterosklerosis. Penumpukan plak akhirnya akan mempersempit ruang pembuluh darah dan
membentuk bekuan darah, menyebabkan stroke trombotik. Pada stroke embolik, aliran darah yang
berkurang ke wilayah otak menyebabkan emboli, kemudian hal ini menyebabkan stres berat dan
akhirnya kematian sel (nekrosis). Nekrosis diikuti oleh gangguan membran plasma, pembengkakan
organel, dan kebocoran isi sel ke ruang ekstraseluler, serta kehilangan fungsi neuron. Peristiwa kunci
lain yang berkontribusi pada patologi stroke adalah peradangan, hilangnya homeostasis, asidosis,
peningkatan kadar kalsium intraseluler, excitotoxicity, free radical-mediated toxicity, sitotoksisitas
yang dimediasi sitokin, aktivasi komplement, gangguan dari blood–brain barrier, aktivasi sel glia,
stres oksidatif, dan infiltrasi leukosit. 28
Stroke hemoragik menyumbang sekitar 10–15% dari semua stroke dan memiliki tingkat
mortalitas yang tinggi. Dalam kondisi ini, stres pada jaringan otak dan cedera internal menyebabkan
pembuluh darah mengalami ruptur. Ini menghasilkan efek toksik dalam sistem vaskular, yang
mengakibatkan infark. Hal ini diklasifikasikan menjadi perdarahan intraserebral dan subarachnoid.
Pada ICH (intracranial hemorrhage), pembuluh darah ruptur dan menyebabkan penumpukan darah
yang tidak normal di dalam otak. Alasan utama ICH adalah hipertensi, gangguan vaskular,

24
penggunaan berlebihan antikoagulan dan agen trombolitik. Pada perdarahan subarachnoid, darah
menumpuk di ruang subarachnoid otak akibat cedera kepala atau aneurisma serebral. 28

Gambar 9. Mekanisme molekular stroke.28

Klasifikasi
Sistem klasifikasi Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment (TOAST) adalah sistem
subklasifikasi mekanistik yang paling banyak digunakan untuk pasien dengan iskemia serebral, yang
mendefinisikan lima subtipe: (1) large artery atherosclerosis, (2) kardioembolik, (3) small vessel
occlusion, (4) stroke of other determined aetiology, dan (5) stroke of undetermined aetiology. Dalam
sistem phenotype-based A-S-C-O, setiap pasien diklasifikasikan berdasarkan kontribusi relatif
aterosklerosis, small vessel disease, cardiac source, dan penyebab lainnya. Nilai dari kompleksitas
tambahan ini belum diterapkan dalam praktik klinis.1
Terdapat lebih sedikit konsensus dalam mengklasifikasikan perdarahan intraserebral spontan
(non-traumatik) (ICH; perdarahan ke dalam substansi otak). Salah satu sistem, SMASH-U,
mengkategorikan penyebab sebagai lesi pembuluh darah struktural, medikasi, angiopati amiloid,
penyakit sistemik, hipertensi, atau undetermined. Namun, kategori-kategori ini adalah campuran dari

25
faktor risiko, mekanisme, dan proses penyakit. Peningkatan neuro-imaging dari underlying causal
arteriopathies akan meningkatkan klasifikasi di masa depan.

Gambar 10. Ilustrasi perbedaan proses penyakit, faktor resiko, dan mekanisme stroke.1

Manifestasi
Waktu pasti dimulainya gejala sangat penting untuk menentukan kelayakan untuk
trombolisis. Membedakan dengan baik antara perdarahan intraserebral dan stroke iskemik hanya
dapat dilakukan melalui neuroimaging. Kedua kondisi ini ditandai dengan munculnya tiba-tiba gejala
fokal. Pasien dengan perdarahan intraserebral mungkin mengalami perburukan gejala secara bertahap
setelah onset mendadak, mencerminkan peningkatan ukuran hematoma. Pasien dengan stroke
hemoragik juga dapat mengalami penurunan tingkat kesadaran. 29

26
Gambar 11. Lokalisasi stroke berdasarkan vaskularisasi.1

Perdarahan subaraknoid muncul dengan cara yang berbeda dari perdarahan intraserebral dan
stroke iskemik. Gejala paling umum pasien adalah "sakit kepala terburuk dalam hidupnya". Gejala
juga bisa meliputi muntah, kejang, meningismus, dan penurunan tingkat kesadaran. Orang dengan
perdarahan subaraknoid mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda fokal karena perdarahan terjadi di
luar otak, kecuali jika suatu aneurisma ruptur ke lokasi fokal, seperti posterior communication artery
aneurysm yang menekan nervus kranial ketiga. 29
Menurut Chugh C., 2019, terdapat 6 gejala penting pada stroke yang disebut sebagai
BEFAST, yang mana terdiri dari:
 Balance (Kehilangan keseimbangan/rasa pusing)
 Eyes (gangguan penglihatan pada satu atau kedua mata)
 Face (facial droop)
 Arm (Kelemahan)

27
 Speech (bicara pelo)
 Test

Diagnosis Stroke
Anamnesis dan pemeriksaan fisik tetap menjadi pilar diagnosis stroke. Gambaran riwayat
stroke iskemik yang paling umum adalah onset akutnya. Temuan fisik yang paling umum dari stroke
iskemik adalah kelemahan fokal dan gangguan berbicara. 29
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan terfokus sangat penting untuk mengevaluasi
pasien dengan disfungsi neurologis fokal onset akut. Langkah-langkah awal ini sangat penting dalam
membedakan stroke akut dari stroke mimics dan menentukan etiologi (apakah itu iskemik atau
hemoragik). Meskipun statistik dapat bervariasi, stroke iskemik umumnya menyerupai hipoglikemia,
kejang, dan migrain. 30

Stroke Iskemik
Idealnya, riwayat pasien harus mencakup informasi tentang kapan terakhir kali mereka
diketahui sehat, pemahaman tentang onset, faktor risiko apa pun, obat-obatan, dan perincian relevan
lainnya mengenai kemungkinan penyakit yang mendasarinya. Seiring dengan menilai tanda-tanda
vital, melakukan pemeriksaan targeted neurological examination menggunakan National Institutes
of Health Stroke Scale (NIHSS) direkomendasikan. 30

Perdarahan Intraserebral (ICH)


Meskipun ICH paling sering terjadi selama aktivitas rutin, namun juga dapat terjadi selama
hubungan seksual atau aktivitas fisik lainnya. Gejala neurologis cenderung memburuk dalam
beberapa menit hingga beberapa jam secara progresif. Selama rawat inap, kerusakan neurologis
sering diamati karena perluasan hematoma dan konsekuensi yang terkait. Gambaran klinis ICH
bervariasi tergantung pada ukuran dan lokasi perdarahan, dengan gejala umum termasuk mual,
muntah, dan sakit kepala. 30
Kejang biasanya terjadi pada awal perdarahan atau dalam 24 jam. Insiden kejang akut selama
24 hingga 72 jam pertama berkisar antara 4% hingga 42%. Tanpa neuroimaging, tidak ada skala
keputusan klinis yang dapat membedakan ICH dari kondisi lain yang sangat sensitif atau spesifik. 30

28
Perdarahan Subaraknoid (SAH)
Mirip dengan ICH, aneurisma SAH biasanya terjadi selama aktivitas rutin, termasuk istirahat
atau tidur, tetapi juga dapat terjadi selama aktivitas fisik. SAH paling sering ditandai dengan sakit
kepala mendadak dan intens yang dikenal sebagai " thunderclap headache", sering digambarkan
sebagai "sakit kepala paling berat atau terburuk yang pernah dialami dalam hidup." Gejala yang
menyertai mungkin termasuk nyeri atau kekakuan leher, fotofobia, muntah, perubahan status mental,
dan kehilangan kesadaran. Beberapa pasien mungkin melaporkan sentinel headache beberapa hari
atau minggu sebelum presentasi. Selain itu, kejang juga dapat terjadi selama perdarahan, rawat inap,
atau sebagai komplikasi jangka panjang SAH aneurisma. 30
Temuan pemeriksaan fokal potensial termasuk kehilangan penglihatan unilateral,
visuospatial neglect, ophthalmoplegia, dan perdarahan retina, subhyaloid, dan vitreous. Temuan lain
yang mungkin termasuk kelumpuhan saraf ketiga dan keenam, hemiparesis, aphasia, dan abulia.
Pemeriksaan neurologis dapat dikategorikan menggunakan skala Hunt-Hess atau skala World
Federation of Neurological Surgeons. 30
Neuroimaging adalah komponen penting dari manajemen stroke, dengan computed
tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) menjadi modalitas utama. Menurut
Pedoman AHA/ASA 2019 untuk Manajemen acute ischemic stroke (AIS), direkomendasikan bahwa
semua pasien yang diduga mengalami stroke akut harus menjalani evaluasi pencitraan otak darurat
saat tiba di rumah sakit sebelum memulai terapi khusus apa pun untuk mengobati AIS. Noncontrast
CT (NCCT) dan MRI dianggap sebagai modalitas yang tepat untuk mengeksklusi ICH sebelum
pemberian alteplase intravena (IV). 30
Dalam kasus di mana pasien dengan AIS hadir dalam waktu 6 jam setelah onset gejala dan
menunjukkan small core infarct pada NCCT, disarankan untuk menggunakan CT angiografi (CTA)
atau MR angiografi (MRA) untuk memandu pemilihan pasien trombektomi mekanik. Sebaliknya,
ketika pasien dengan AIS datang dalam waktu 6 hingga 24 jam setelah onset gejala dan menunjukkan
large-vessel occlusion (LVO) di sirkulasi anterior, dianjurkan untuk menggunakan diffusion-
weighted MRI (DW-MRI) dengan atau tanpa perfusi MR atau perfusi CT untuk evaluasi. 30
Untuk pasien yang mengalami stroke "wake-up" atau dengan waktu onset gejala yang tidak
pasti, mendapatkan MRI sangat penting dalam mengidentifikasi lesi diffusion-positive fluid-

29
attenuated inversion recovery (FLAIR)-negatif. Teknik pencitraan ini membantu dalam menentukan
30
apakah pasien akan mendapat manfaat dari terapi trombolitik.
Pada pasien yang didiagnosis dengan ICH, melakukan CTA dalam beberapa jam pertama
setelah timbulnya gejala dapat membantu mengidentifikasi individu yang berisiko mengalami
ekspansi hematoma (HE). Selain itu, CT scan kepala serial dalam 24 jam pertama dapat menilai
adanya HE. 30
Diagnosis SAH terutama didasarkan pada pencitraan NCCT. Pungsi lumbal
direkomendasikan jika CT scan memberikan hasil negatif meskipun terdapat kecurigaan klinis yang
tinggi. Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa ketika Ottawa SAH rule digunakan untuk
menginterpretasikan CT scan yang dilakukan dalam waktu 6 jam setelah onset sakit kepala, diagnosis
SAH menunjukkan sensitivitas 95,5% dan spesifisitas 100%. 30
Saat menilai SAH, CTA dapat dipertimbangkan. Namun, jika hasil CTA tidak meyakinkan,
studi standar emas untuk mendeteksi aneurisma adalah digital subtraction catheter angiography
dengan rekonstruksi 3 dimensi. 30

Gambar 12. Algoritma diagnosis stroke.31

30
Sesuai Pedoman AHA/ASA 2019, direkomendasikan untuk menilai kadar glukosa darah pada
semua pasien sebelum memulai alteplase IV karena hipoglikemia dan hiperglikemia dapat
menyerupai AIS. Selanjutnya, melakukan penilaian elektrokardiografi dasar disarankan untuk pasien
dengan AIS, tetapi tidak boleh menunda inisiasi alteplase IV. Demikian pula, penilaian troponin dasar
juga direkomendasikan, tetapi seharusnya tidak menghalangi inisiasi alteplase IV atau trombektomi
mekanik. 30

Gambar 13. Algoritma diagnosis TIA.32

Diagnosis Banding Stroke


Tabel 3. Diagnosis banding stroke iskemik dan hemorragik.33,34

31
Stroke Iskemik Stroke Hemorragik
Complicated migraines Krisis hipertensi akut
Toksisitas obat Pituitary apoplexy
Perdarahan intrakranial Cerebral venous trombosis
Tumor intrakranial Dural sinus trombosis
Abses intrakranial Cervical artery dissection
Hipoglikemia Reversible cerebral vasoconstrictive syndrome
(RCVS)
Hiperglikemia Neoplasma hemorragik
Hypertensive encephalopathy Arterio-venous malformations
Sklerosis multipel Meningitis
Kejang, Sepsis Hematoma subdural akut
Sinkop Hemorrhagic infarct
Wernicke encephalopathy
Abnormalitas metabolik

Prinsip Umum Tatalaksana stroke


Semua pasien dengan stroke harus segera dirawat di unit stroke khusus karena hal ini dapat
mencegah komplikasi dan dapat mengurangi kecacatan dan kematian hingga hampir 20%. Tidak jelas
elemen spesifik perawatan unit stroke mana yang memberikan manfaat ini, meskipun cluster
randomized trial baru-baru ini menunjukkan manfaat dari care bundle approach yang melibatkan
manajemen aktif dari pireksia dan hiperglikemia, dan skrining menelan awal. 35

Pemosisian dan area tekanan


Pasien stroke yang berat berisiko tinggi mengalami kerusakan kulit akibat imobilitas dan
harus menjalani penilaian formal. Nutrisi yang baik, sering turning dan pressure-relief mattress
adalah inti dari pencegahan luka akibat tekanan/pressure sores. Menopang tungkai yang mengalami
paralisis secara fisik dapat mengurangi komplikasi. Posisi pasien bisa menjadi penting. Pada fase
akut, membaringkan pasien secara mendatar dapat meningkatkan tekanan perfusi serebral. Manfaat
potensial dari manuver tersebut harus diimbangi dengan kemungkinan peningkatan risiko aspirasi. 35

32
Tekanan darah
Hipertensi pada stroke akut sering terjadi. Pedoman untuk mengobati hipertensi pada pasien
yang dipertimbangkan untuk terapi trombolitik melibatkan pemberian hingga dua bolus labetalol
dengan selang waktu 10 menit untuk mencapai tekanan darah <185/110 mmHg. Pengobatan
antihipertensi juga harus diberikan pada pasien dengan bukti kerusakan organ akhir (misalnya gagal
jantung, ensefalopati). Jika tidak, pengobatan akut tetap kontroversial. Studi menunjukkan hasil yang
lebih buruk pada hipotensi dan hipertensi ekstrem, tetapi target optimal dan waktu pengobatan belum
ditentukan. Terdapat bukti bahwa penurunan tekanan darah secara akut hingga 140 mmHg aman pada
stroke hemoragik tetapi hal ini tidak mengubah risiko kematian atau disabilitas berat. 35

Glukosa, suhu tubuh dan menelan


Hiperglikemia dan pireksia keduanya terkait dengan hasil yang buruk setelah stroke. Uji coba
acak mengevaluasi peran pendinginan aktif dalam pengaturan ini. Penerapan protokol manajemen
untuk hiperglikemia, demam, dan disfungsi menelan mengurangi kematian dan ketergantungan pada
90 hari setelah stroke akut. Setelah stroke, pasien harus diskrining secara akut untuk kesulitan
menelan. Jika perlu, nasogastric feeding tube harus dipasang lebih awal. Percutaneous
endoscopically placed gastrostomy tube dapat diinsersi jika pemberian makanan enteral jangka
panjang diperlukan. 35

Oksigenasi
Hipoksia memperburuk iskemia. Jika saturasi oksigen 95% atau lebih, oksigen tambahan
tidak diperlukan. Perhatian diperlukan pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik. Postur
tegak membantu ventilasi.

Kateter urin menetap


Indwelling synthetic material berhubungan dengan infeksi yang hospital acquired infection.
Kateter urin harus dipasang hanya jika diperlukan (misalnya untuk integritas kulit) dan dilepas sedini
mungkin. 35

Trombosis vena dalam

33
Pemeliharaan hidrasi yang adekuat dan mobilisasi dini mengurangi kemungkinan trombosis
vena dalam (DVT). Stoking anti-emboli tidak boleh ditawarkan sebagai profilaksis DVT. Low
molecular weight heparin dapat diberikan jika stroke hemoragik telah disingkirkan dan risiko
perdarahan dinilai rendah. 35

Kejang
Kejang terjadi pada 10-20% pasien setelah stroke dan berhubungan dengan infark yang lebih
besar. Mereka biasanya terjadi dalam 24 jam pertama dan mudah dikendalikan. Profilaksis tidak
disarankan pada kondisi ini.35

Rehabilitasi awal
Bertentangan dengan tradisi, uji coba AVERT baru-baru ini menunjukkan bahwa mobilisasi
yang sangat awal (very early mobilization) secara signifikan mengurangi kemungkinan hasil yang
baik dalam 3 bulan dibandingkan dengan perawatan standar. Case fatality juga lebih tinggi pada
kelompok mobilisasi sangat awal, tetapi ini tidak signifikan secara statistik. 35

Tatalaksana Stroke Iskemik


Tujuan terapi dalam stroke iskemik akut adalah untuk mempertahankan jaringan di daerah di
mana perfusi berkurang tetapi cukup untuk menghindari infark. Jaringan di daerah oligemia ini
dipertahankan dengan mengembalikan aliran darah ke daerah yang terpengaruh dan meningkatkan
aliran kolateral. Strategi rekanalisasi termasuk recombinant tissue-type plasminogen activator.
Mengembalikan aliran darah dapat meminimalkan efek iskemia hanya jika dilakukan dengan cepat. 33
Teknik endovaskular telah digunakan dalam pengobatan stroke iskemik akut. Carotid
endarterectomy telah digunakan, tetapi tidak ada bukti yang mendukung penggunaannya dalam
stroke iskemik akut. Pertimbangan lain adalah agen neuroprotektif, tetapi sampai saat ini belum ada
yang terbukti meningkatkan outcomes klinis. 33

34
Gambar 14. Terapi pada stroke.28
Beberapa hal dapat dipertimbangkan dalam stroke iskemik, yaitu: 33
 Alteplase
AHA (american heart association)/ASA (american stroke association) merekomendasikan
pemberian alteplase intravena (IV) untuk pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan memiliki onset
gejala atau baseline terakhir diketahui dalam 3 jam. Dosis IV alteplase adalah 0,9 mg/kg, dengan
dosis maksimum 90 mg. Dosis sepuluh persen pertama diberikan selama satu menit pertama sebagai
bolus, dan sisanya diberikan selama 60 menit berikutnya. Waktu ini dapat diperpanjang hingga 4,5
jam untuk kandidat tertentu. Kriteria inklusi meliputi diagnosis stroke iskemik dengan "defisit
neurologis yang dapat diukur," onset gejala dalam 3 jam sebelum pengobatan, dan usia 18 tahun atau
lebih. 33
Sebelum memberikan alteplase, pemeriksaan kriteria eksklusi untuk trombolitik harus
dilakukan. Menurut Food and drug administration (FDA), kontraindikasi terhadap trombolisis
intravena meliputi perdarahan internal yang aktif, operasi intrakranial baru atau cedera kepala serius,
kondisi intrakranial yang dapat meningkatkan risiko perdarahan, diatesis perdarahan, hipertensi berat

35
yang tidak terkontrol, perdarahan intrakranial saat ini, perdarahan subarachnoid, dan riwayat stroke
baru-baru ini. 33
Untuk pasien yang datang antara 3 dan 4,5 jam sejak onset gejala, manfaat dan risiko
pengobatan harus dipertimbangkan. Kriteria eksklusi relatif untuk kategori pasien ini meliputi usia
lebih dari 80 tahun, NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale) lebih besar dari 25,
penggunaan antikoagulan oral, dan riwayat diabetes dan stroke iskemik sebelumnya. 33
Edema orolingual adalah efek samping potensial dari alteplase IV. Jika terjadi angioedema,
manajemen jalan nafas menjadi prioritas. Intubasi endotrakeal atau intubasi fiberoptik saat pasien
masih sadar mungkin diperlukan untuk mengamankan saluran udara. Jika terdapat kecurigaan
angioedema, hentikan pemberian alteplase IV dan ACE inhibitor. Berikan metilprednisolon,
diphenhydramine, serta ranitidin atau famotidin. Epinefrin dapat dipertimbangkan jika terapi
sebelumnya tidak meredakan tanda dan gejala. Icatibant atau C1 esterase inhibitor dapat
dipertimbangkan untuk pengobatan angioedema herediter dan ACE inhibitor angioedema. 33
Agen fibrinolitik lainnya, seperti tenekteplase, dapat dipertimbangkan sebagai alternatif
untuk alteplase. Dalam satu penelitian, tenekteplase tampak memiliki efikasi dan profil keamanan
yang serupa pada stroke ringan, tetapi tidak menunjukkan superioritas dibandingkan dengan
alteplase. 33

 Trabektomi mekanis
Penggunaan trombektomi mekanis harus dipertimbangkan pada semua pasien, bahkan pada
mereka yang telah menerima terapi fibrinolitik. Pedoman AHA/ASA tidak merekomendasikan
observasi respons setelah pemberian alteplase IV pada pasien yang sedang dipertimbangkan untuk
trombektomi mekanis. 33
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi kemajuan signifikan dalam perawatan stroke akut.
Beberapa uji coba stroke pada tahun 2015 menunjukkan bahwa trombektomi endovaskular dalam
enam jam pertama lebih baik daripada perawatan medis standar pada pasien dengan oklusi large
vessel di arteri sirkulasi anterior proksimal. Manfaat ini berlanjut terlepas dari lokasi geografis dan
karakteristik pasien. 33
Pada tahun 2018, terjadi pergeseran paradigma yang signifikan dalam perawatan stroke. Trial
DAWN menunjukkan manfaat signifikan dari trombektomi endovaskular pada pasien dengan oklusi

36
large vessel di arteri sirkulasi anterior proksimal. Uji coba ini memperpanjang stroke window hingga
24 jam pada pasien yang tertentu dengan menggunakan perfusion imaging. Dengan demikian,
33
sekarang lebih banyak pasien yang dapat diobati, bahkan hingga 24 jam.
Rekomendasi saat ini untuk pasien tertentu dengan oklusi large vessel pada stroke iskemik
akut di sirkulasi anterior dan yang juga memenuhi kriteria DAWN dan DEFUSE 3, trombektomi
mekanis direkomendasikan dalam rentang waktu 6 hingga 16 jam sejak terakhir kali diketahui
normal. Pada pasien yang memenuhi kriteria DAWN, trombektomi mekanis dapat diberikan dalam
24 jam terakhir pasien diketahui normal. 33

 Tekanan darah
Pedoman ini menyarankan pengelolaan tekanan darah kurang dari 180/105 mmHg selama 24
jam pertama setelah pemberian IV alteplase. Rekomendasi baru adalah menurunkan tekanan darah
inisial sebesar 15% pada pasien dengan kondisi komorbid seperti gagal jantung akut atau diseksi
aorta. Tidak ada manfaat dari pengelolaan antihipertensi untuk mencegah kematian atau
ketergantungan pada pasien dengan tekanan darah kurang dari 220/120 mm Hg, yang tidak menerima
alteplase IV dan tidak memiliki kondisi komorbid yang memerlukan penurunan tekanan darah. Hal
ini berlaku untuk 48 hingga 72 jam pertama setelah stroke iskemik akut. Bagi pasien dengan tekanan
darah 220/120 mm Hg atau lebih tinggi yang tidak menerima alteplase IV, pedoman mengindikasikan
bahwa mungkin masuk akal untuk menurunkan tekanan darah sebesar 15% dalam 24 jam pertama,
meskipun manfaatnya tidak pasti. 33
Opsi antihipertensi meliputi: 33
 Labetalol IV 10 hingga 20 mg
 Nikardipine IV 5 mg per jam. Tingkatkan 2,5 mg per jam setiap 5 hingga 15 menit. Dosis
maksimum adalah 15 mg per jam
 Clevidipine 1 hingga 2 mg per jam IV. Gandakan dosis setiap 15 menit. Maksimum 21 mg per
jam
 Hydralazine dan enalaprilat dapat dipertimbangkan
Hipotensi dan hipovolemia harus dihindari karena tekanan perfusi serebral bergantung pada
pemeliharaan MAP(mean arterial pressure) yang tinggi saat ICP (intracranial pressure) meningkat
akibat peristiwa iskemik. 33

37
 Suhu
Hipertemia lebih dari 38 oC harus dihindari dan diobati dengan tepat. Antipiretik seperti
asetaminophen dapat digunakan. Sumber infeksi umum harus dikesampingkan, seperti pneumonia
dan infeksi saluran kemih. Saat ini, belum terdapat cukup data yang mendukung hipotermia terapetik
pada stroke iskemik akut. Studi retrospektif baru-baru ini menunjukkan hubungan antara suhu puncak
dalam 24 jam pertama yang lebih besar dari 39oC (100,4 F) dan peningkatan risiko mortalitas di
rumah sakit. 33

 Glukosa
Pertahankan kadar glukosa dalam kisaran 140 hingga 180 dalam 24 jam pertama. Pasien
hipoglikemik kurang dari 60 mg/dL harus diobati untuk mencapai normoglikemia. Otak bergantung
pada oxidative pathways yang memerlukan glukosa untuk metabolisme, dan metabolic demand otak
tinggi. Oleh karena itu, episode hipoglikemia dapat mengurangi pemulihan otak. Namun,
hiperlikemia diduga dapat mengurangi reperfusi karena oksidasi nitric oxide-dependent mechanisms
dan penurunan tonus vaskular. Selain itu, peningkatan asidosis juga berperan, mungkin karena cedera
pada lactic acid-sensing channels. Capes et al. menunjukkan bahwa hiperglikemia pada pasien stroke
iskemik meningkatkan mortalitas dalam 30 hari dan merupakan faktor risiko independen untuk
konversi stroke hemoragik. 33

 Nutrisi
Pemberian makanan enteral dini sebaiknya didorong. Untuk pasien dengan disfagia, gunakan
tabung nasogastrik untuk mempromosikan pemberian makan enteral. Jika ada kekhawatiran bahwa
pasien mungkin mengalami kesulitan menelan dalam waktu yang lama (lebih dari 2 hingga 3
minggu), dianjurkan untuk memasang percutaneous gastrostomy tube. Pemberian makanan dini telah
terbukti memiliki reduksi mutlak risiko kematian. 33

 Profilaksis deep vein trombosis (DVT)

38
Intermittent pneumatic compression direkomendasikan untuk semua pasien immobile kecuali
jika ada kontraindikasi. Meskipun heparin profilaksis sering digunakan untuk pasien immobile,
manfaatnya tidak jelas pada pasien stroke. 33

 Skrining depresi
Pemeriksaan depresi sebaiknya dipertimbangkan. Namun, waktu optimal dalam pemeriksaan
masih belum jelas. 33

 Edema serebral/serebellar
Edema cerebellar dapat mengkomplikasi infark Serebellum, dan para klinisi harus menyadari
bahwa pasien-pasien ini dapat dengan cepat mengalami dekompensasi. Pembengkakan Serebellum
diyakini disebabkan oleh edema sitotoksik dan vasogenik. Tekanan intrakranial yang meningkat
dapat menyebabkan hidrosefalus obstruktif pada ventrikel keempat, atau transtentorial herniation
pada superior vermis dan downward cerebellar tonsillar herniation. Tanda-tandanya meliputi
perubahan atau memburuknya status mental, penurunan tingkat kesadaran, abnormalitas pernapasan,
perubahan ukuran pupil, posturing, dan kematian. 33
Konsultasi bedah nervus harus diperoleh secara dini. Ventrikulostomi diindikasikan dalam
setting hidrosefalus obstruktif setelah infark serebelum. Dalam kasus edema otak dengan efek massa,
dekompresi kraniotomi suboksipital sangat disarankan. 33

 Kejang
Jika pasien mengalami kejang berulang, obat antiepilepsi direkomendasikan. Namun,
33
penggunaan rutin obat antiepilepsi profilaksis tidak disarankan.

 Evaluasi jantung
Pemantauan jantung untuk fibrilasi atrium atau aritmia lainnya direkomendasikan dalam 24
jam pertama. Manfaat pemantauan lebih lanjut belum jelas. Troponin inisial direkomendasikan
karena adanya hubungan antara stroke dan penyakit arteri koroner. 33

 Tatalaksana antiplatelet

39
Aspirin direkomendasikan dalam 24 hingga 48 jam setelah onset gejala. Tinjauan Cochrane
menyimpulkan bahwa pemberian aspirin dalam 48 jam setelah onset gejala untuk stroke iskemik
mencegah rekurensi stroke iskemik dan meningkatkan outcome jangka panjang. Tidak ada risiko
perdarahan intrakranial awal yang besar dengan penggunaan aspirin. 33

 Tatalaksana antitrombotik
Penggunaan warfarin dalam pencegahan stroke sekunder tidak direkomendasikan. Pada
pasien dengan fibrilasi atrium, pedoman menyatakan bahwa masuk akal untuk memulai antikoagulan
33
oral dalam 4 hingga 14 hari setelah onset gejala neurologis.
Saat untuk memulai antikoagulan pada pasien dengan fibrilasi atrium setelah stroke akut
selalu menjadi dilema. Biasanya, ini tergantung pada berbagai faktor seperti ukuran stroke dan
komorbiditas lainnya. Biasanya, jika ukuran stroke kecil hingga sedang, antikoagulan dapat dimulai
dalam 7-14 hari. 33
Terkadang terdapat pasien dengan small hemorrhagic transformation setelah stroke akut, dan
dalam skenario ini, lebih baik menunda antikoagulan selama beberapa minggu. Penundaan ini tidak
33
terkait dengan peningkatan rekurensi stroke yang berlebihan.

 Statin
Statin dengan intensitas tinggi (atorvastatin 80 mg sehari atau rosuvastatin 20 mg sehari)
direkomendasikan untuk pasien yang berusia 75 tahun atau lebih muda dan memiliki atherosclerotic
cardiovascular disease klinis. Selain itu, pasien dapat melanjutkan penggunaan statin jika mereka
sudah menggunakannya sebelum stroke iskemik. 33

Tatalaksana Stroke Hemoragik


Terdapat banyak pendapat yang berbeda tentang pengobatan stroke hemoragik. Banyak uji
coba mengenai manajemen optimal stroke hemoragik, seperti Antihypertensive Treatment in Acute
Cerebral Hemorrhage (ATACH), Intensive Blood Pressure Reduction in Acute Cerebral
Hemorrhage Trial (INTERACT), Factor VIIa for Acute Hemorrhagic Stroke Treatment (FAST), dan
Surgical Trial in Intracerebral Haemorrhage (STICH). Peran pembedahan dalam stroke hemoragik
adalah topik yang kontroversial.34

40
Manajemen tekanan darah
Tekanan darah (TD) harus dikurangi secara bertahap menjadi 150/90 mmHg dengan
menggunakan beta-blocker (labetalol, esmolol), ACE inhibitor (enalapril), calcium channel blocker
(nicardipine), atau hidralazin. Tekanan darah harus diperiksa setiap 10-15 menit. Studi ATACH
mendapatkan hubungan yang tidak signifikan antara besarnya pengurangan tekanan darah sistolik
(SBP) dan perluasan hematoma serta outcome dalam 3 bulan. Namun, studi INTERACT
menunjukkan bahwa pengobatan penurunan TD yang intensif secara dini mengurangi pertumbuhan
hematoma dalam 72 jam. Ditemukan bahwa SBP yang tinggi terkait dengan gangguan neurologis
dan kematian. Rekomendasi American Stroke Association (ASA) adalah bahwa untuk pasien dengan
SBP antara 150 sampai 220 mmHg, penurunan SBP akut menjadi 140 mmHg aman dan dapat
meningkatkan outcome fungsional. Untuk pasien dengan SBP >220 mmHg, penurunan TD agresif
dengan infus intravena berkelanjutan diperlukan. 34

Manajemen peningkatan tekanan intrakranial


Pengobatan inisial untuk ICP yang meningkat adalah elevasi kepala tempat tidur hingga 30
derajat dan menggunakan agen osmotik (mannitol, saline hipertonik). Mannitol 20% diberikan
dengan dosis 1,0 hingga 1,5 g/kg. Hiperventilasi setelah intubasi dan sedasi dengan pCO 28 hingga
32 mmHg diperlukan jika ICP meningkat lebih lanjut. ASA merekomendasikan pemantauan ICP
dengan kateter parenkim atau ventrikel untuk semua pasien dengan Glasgow coma scale (GCS) <8
atau mereka dengan bukti herniasi transtentorial atau hidrosefalus. Kateter ventrikular memiliki
keunggulan dalam drainase cairan serebrospinal (CSF) dalam kasus hidrosefalus. Tujuannya adalah
menjaga cerebral perfusion pressure (CPP) antara 50 hingga 70 mmHg. 34

Terapi Hemostatik
Terapi hemostatik diberikan untuk mengurangi perkembangan hematomaVitamin K,
prothrombin complex concentrates (PCC), recombinant activated factor VII (rFVIIa), fresh frozen
plasma (FFP), dll., digunakan. ASA merekomendasikan bahwa pasien dengan trombositopenia harus

41
menerima platelet concentrate. Pasien dengan waktu protrombin INR meningkat harus menerima
vitamin K intravena dan FFP atau PCC. FFP memiliki risiko reaksi alergi transfusi. PCC adalah
plasma-derived factor concentrates yang mengandung faktor II, VII, IX, dan X. PCC dapat
direkonstitusi dan diadministrasi dengan cepat. Uji FAST menunjukkan bahwa rFVIIa mengurangi
pertumbuhan hematoma tetapi tidak meningkatkan survival atau outcome fungsional. rFVIIa tidak
direkomendasikan pada pasien secara umum dikarenakan tidak mengantikan seluruh faktor
pembekuan.34

Terapi antiepilepsi
Sekitar 3 hingga 17% pasien akan mengalami kejang dalam dua minggu pertama, dan 30%
pasien akan menunjukkan electrical seizure activity pada pemantauan EEG. Pasien dengan kejang
klinis atau kejang elektrografis harus diobati dengan obat antiepilepsi. Hematoma lobar dan
pembesaran hematoma menyebabkan kejang yang terkait dengan penurunan neurologis. Kejang
subklinis dan status epileptik non-konvulsif juga bisa terjadi. Pemantauan EEG berkelanjutan
diindikasikan pada pasien dengan penurunan tingkat kesadaran. Sebaliknya, pengobatan
34
antikonvulsan profilaksis tidak direkomendasikan, sesuai pedoman ASA.
Pembedahan
Berbagai jenis pengobatan pembedahan untuk stroke hemoragik adalah kraniotomi,
dekompresi kraniektomi, aspirasi stereotaktik, aspirasi endoskopik, dan aspirasi kateter. Uji STICH
menunjukkan tidak ada manfaat keseluruhan dari pembedahan dini untuk perdarahan intraserebral
supratentorial dibandingkan dengan perawatan konservatif inisial. Pasien yang memiliki perdarahan
lobus dalam 1 cm dari permukaan otak dan defisit klinis yang lebih ringan (GCS>9) mungkin
mendapat manfaat dari pembedahan dini. Evakuasi bedah darurat diperlukan dalam perdarahan
serebellar dengan hidrosefalus atau kompresi batang otak. Pasien dengan perdarahan serebellar
dengan diameter >3 cm akan memiliki outcome yang lebih baik dengan pembedahan. Hematoma
serebellar dievakuasi melalui kraniotomi suboksipital. Evakuasi perdarahan batang otak dapat
berbahaya dan tidak direkomendasikan. Prosedur invasif minimal seperti aspirasi stereotaktik juga
sedang dalam pengujian. Hattori et al. menunjukkan dalam randomized study bahwa evakuasi
stereotaktik bermanfaat pada pasien dengan perdarahan putamen spontan, jika mata mereka akan
terbuka sebagai respons terhadap stimulus yang kuat. 34

42
Bedah minimal invasif ditambah dengan recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA)
untuk evakuasi perdarahan intraserebral (MISTIE) adalah trial randomized, prospektif yang menguji
image-guided catheter-based removal dari blood clot. Studi ini menunjukkan reduksi edema
perihematomal dengan evakuasi clot. 34
Trial CLEAR IVH (Clot Lysis: Evaluating Accelerated Resolution of IntraVentricularr
Hemorrhage) menunjukkan bahwa rt-PA dosis rendah dapat diberikan dengan aman pada clots
intraventrikular yang stabil dan dapat meningkatkan tingkat lisis. Dekompresi kraniektomi dan
evakuasi hematoma sekarang dilakukan lebih sering untuk stroke hemoragik. Moussa dan Khedr
menunjukkan perbaikan outcome yang diperoleh dengan menambahkan dekompresi kraniektomi
dengan expansive duraplasty pada evakuasi large hypertensive hemispheric ICH in a randomized
controlled trial. Dekompresi hemikraniektomi dengan evakuasi hematoma dilakukan pada pasien
dengan skor GCS 8 atau kurang dan hematom besar dengan volume lebih dari 60 ml. Hal ini
mengurangi mortalitas dan dapat meningkatkan outcome fungsional. 34

Proteksi serebral
Cedera sekunder dari stroke hemoragik melibatkan inflamasi, stres oksidatif, dan toksisitas
dari lisis eritrosit dan trombin. Oleh karena itu, strategi untuk mengurangi ini sedang diteliti.
Pioglitazon, misoprostol, dan celecoxib diteliti untuk mengurangi kerusakan akibat peradangan.
Edaravone, flavonoid, dan nicotinamide mononukleotida dapat mengurangi stres oksidatif. Iron
chelator deferoxamine juga sedang dalam tahapan eksperimental. Keamanan dan efikasi
neuroprotektif komponen membran sel sitikolin (sitidin-5-difosfokolin) telah ditunjukkan dalam
beberapa studi. Rosuvastatin, competitive inhibitor enzim 3-hidroksi-3-metilglutaril koenzim A
reduktase, terkait dengan outcome yang lebih baik dalam trial. Calcium channel blocker nimodipine
meningkatkan outcome dalam SAH dengan efek neuroprotektif. 34

Tatalaksana umum
Perawatan medis yang baik, nursing care, dan rehabilitasi sangat penting. Masalah umum
termasuk disfagia, aspirasi, aritmia jantung, stress-induced cardiomyopathy, gagal jantung, cedera

43
ginjal akut, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, dll. Percutaneous endoscopic
gastrostomy (PEG) mungkin diperlukan untuk mencegah aspirasi. Pemeriksaan untuk iskemia
miokard dengan elektrokardiogram dan pengujian enzim jantung direkomendasikan dalam stroke
hemoragik. Intermittent pneumatic compression mengurangi kejadian deep vein thrombosis, tetapi
manfaat elastic stockings masih meragukan. Rehabilitasi multidisiplin disarankan untuk mengurangi
disabilitas. Kadar glukosa darah harus dimonitor, dan tindakan harus diambil untuk mencegah hiper-
dan hipoglikemia. 34

Ringkasan
Stroke adalah penyebab mortalitas dan penyumbang disabilitas kedua di seluruh dunia dan
memiliki biaya ekonomi yang signifikan. Kunci pertama dalam pengobatan stroke adalah
mengidentifikasi apakah stroke tersebut adalah stroke emboli atau hemoragik dan kemudian
memberikan tatalaksana yang sesuai. Manajemen stroke sangat bergantung terhadap waktu. Dimana
setiap menit yang hilang dapat mengurangi outcome fungsional pasien dan berakhir pada paralisis
yang ireversibel.

Transient ischemic attack


Pendahuluan
Transient ischemic attack (TIA) adalah keadaan darurat medis. Ini didefinisikan sebagai
episode transien dari disfungsi neurologis akibat iskemia otak fokal, sumsum tulang belakang, atau
retina, tanpa infark akut atau cedera jaringan. Definisi TIA telah berubah dari berbasis waktu menjadi
berbasis jaringan. TIA biasanya berlangsung kurang dari satu jam, lebih sering terjadi beberapa
menit. TIA dapat dianggap sebagai peringatan serius untuk serangan stroke iskemik yang akan
datang. Resiko tertinggi dalam 48 jam pertama setelah serangan iskemik transien. Membedakan
serangan iskemik transien dari kondisi lainnya penting dilakukan. Serangan iskemik transien
biasanya berhubungan dengan defisit neurologis fokal dan/atau gangguan bicara di wilayah vaskular
karena penyakit serebrovaskular yang mendasarinya. Onsetnya selalu tiba-tiba. Evaluasi TIA harus
segera dilakukan dengan pencitraan dan pemeriksaan laboratorium untuk mengurangi resiko stroke
berikutnya. Resiko selanjutnya dari TIA atau stroke iskemik dapat dikelompokkan dengan ukuran
klinis sederhana. Intervensi terapeutik multimodal segera harus dimulai. Ini akan mencakup

44
pengobatan tekanan darah yang agresif, statin dosis tinggi, terapi antiplatelet, kontrol gula darah, diet,
dan olahraga. Etiologi spesifik yang mendasari perlu dikelola sesuai. Skema tatalaksana ini secara
substansial dapat mengurangi risiko stroke berulang atau TIA di masa mendatang hingga setidaknya
80%.36

Definisi
TIA adalah episode singkat disfungsi neurologis akibat iskemia serebral fokal yang tidak
terkait dengan infark serebral permanen. Di masa lalu, TIA secara operasional didefinisikan sebagai
kejadian iskemik serebral fokal dengan gejala yang berlangsung selama kurang dari 24 jam. Baru-
baru ini, banyak penelitian diseluruh dunia telah menunjukkan bahwa ambang waktu ini terlalu luas
karena 30% hingga 50% dari TIA yang didefinisikan secara klasik menunjukkan cedera otak pada
diffusion-weighted magnetic resonance imaging. Beberapa kelompok telah mengembangkan definisi
operasional TIA yang lebih baru, berdasarkan informasi neuroimaging, seperti "episode singkat
disfungsi neurologis yang disebabkan oleh iskemia otak fokal atau retina, dengan gejala klinis
biasanya berlangsung kurang dari satu jam, dan tanpa bukti infark akut". 37

Sejarah perubahan definisi


Menurut kriteria World Health Organization yang diusulkan pada tahun 1988, transient
ischemic attack (TIA) didefinisikan sebagai tanda klinis yang berkembang pesat dari gangguan fungsi
serebral fokal atau global, berlangsung kurang dari 24 jam, tanpa penyebab non-vaskular yang jelas.
The National Institute of Neurological Disorders and Stroke Report yang diterbitkan pada tahun 1990
mendefinisikan TIA sebagai episode singkat hilangnya fungsi otak fokal kurang dari durasi 24 jam,
diperkirakan karena iskemia, yang biasanya dapat terlokalisasi pada bagian otak yang disuplai oleh
satu sistem vaskular. Kedua definisi tradisional ini didasarkan pada asumsi bahwa resolusi gejala
yang cepat pada TIA menunjukkan gangguan iskemik yang bersifat sementara pada tingkat jaringan.
Definisi tradisional juga berasumsi bahwa penilaian klinis mengenai apakah pola tanda dan gejala
sesuai dengan wilayah arteri tertentu merupakan cara yang akurat untuk menghubungkan gejala
sementara dengan iskemia. Kemajuan terbaru dalam neuroimaging telah secara substansial
mengubah pemahaman tentang TIA. Saat ini, tidak satu pun dari asumsi ini yang benar. TIA belum
tentu bersifat sementara pada tingkat jaringan; sekitar sepertiga dari TIA yang didefinisikan secara

45
tradisional dikaitkan dengan cedera jaringan iskemik permanen. Demikian pula, gejala fokal yang
terlokalisasi pada wilayah arteri tidak selalu menunjukkan mekanisme iskemik. Beberapa mekanisme
non-iskemik termasuk kejang, perdarahan subdural, perdarahan intraserebral, tumor otak, sklerosis
multipel, dan migrain dapat menyebabkan gejala neurologis sementara yang terbatas pada wilayah
vaskular.38
Spesialis serebrovaskular mengusulkan definisi tissue-based, dibandingkan time-based, pada
tahun 2002: “transient ischemic attack (TIA): episode singkat disfungsi neurologis yang disebabkan
oleh iskemia otak fokal atau retina, dengan gejala klinis biasanya berlangsung kurang dari satu jam,
dan tanpa bukti infark akut”.37

Kelebihan dan kekurangan definisi baru TIA


37
Beberapa argumen yang menunjukkan manfaat pada definisi TIA yang baru adalah:
 Definisi klasik 24 jam dapat membuat kesalahan dimana banyak pasien dengan kejadian
trasnsien < 24 jam sebenarnya mengalami infark serebral. Dimana definisi tradisional dapat
menunda administrasi terapi stroke akut.
 Batasan 24 jam untuk gejala iskemi serebral tidak mencerminkan durasi tipikal kejadian ini.
 Definisi penyakit, termasuk pada iskemia jaringan, paling berguna ketika tissue based.
Beberapa argumen yang menunjukkan kekurangan pada definisi TIA yang baru adalah: 37
 Definisi baru membutuhkan pencitraan otak yang akan bervariasi tergantung pada
ketersediaan alat pencitraan. Tingkat kejadian stroke dan TIA akan berbeda tergantung pada
apakah dan kapan studi pencitraan dilakukan.
 Tingkat stroke dan TIA tidak dapat secara langsung dibandingkan jika definisi baru diadopsi.
 Dokter layanan primer mungkin bingung apakah akan menunjuk kejadian brain ischemia
sebagai stroke atau TIA jika mereka tidak memiliki akses langsung ke neuroimaging atau
sumber diagnostik lainnya.
 Ungkapan “biasanya <1 jam” dalam definisi baru tidak membantu karena titik waktu 1 jam,
seperti titik waktu 24 jam, tidak secara akurat membedakan antara pasien dengan atau tanpa
infark serebral akut.

46
Epidemiologi
Insiden TIA dalam suatu populasi sulit diperkirakan karena gangguan lainnya yang mirip ,
tetapi insiden TIA di Amerika Serikat bisa sekitar setengah juta per tahun, dan diperkirakan sekitar
1,1 per 1000 populasi Amerika Serikat. Perkiraan prevalensi keseluruhan TIA di antara orang dewasa
di Amerika Serikat adalah sekitar 2%. Telah terbukti bahwa riwayat stroke sebelumnya
meningkatkan prevalensi TIA. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa mayoritas orang yang
mengalami stroke awal memiliki gejala TIA sebelumnya.36

Patofisiologi
Patofisiologi TIA tergantung pada subtipe TIA tersebut. Masalah umum adalah gangguan
sementara aliran darah arteri ke area otak yang disuplai oleh arteri tersebut. 36
 Large artery atherothrombosis. Hal ini dapat aterotrombosis intrakranial atau ekstrakranial.
Mekanismenya dapat karena kurangnya aliran darah distal ke lokasi stenosis arteri atau
36
emboli arteri ke arteri yang sebenarnya merupakan mekanisme yang lebih umum.
 Small vessel ischemic diseases. Patologi yang mendasarinya adalah lipohyalinosis atau small
vessel arteriolosclerosis. Faktor risiko tersering adalah hipertensi, diabetes dan usia. 36
 Emboli jantung. Gumpalan di ruang jantung paling sering di atrium kiri sekunder akibat
fibrilasi atrium. 36
 Kriptogenik. Ini biasanya merupakan pola iskemia kortikal tanpa large artery
atherothrombosis yang dapat diidentifikasi atau sumber emboli jantung. Baru-baru ini sering
disebut sebagai ESUS (embolic stroke of unknown source). 36
 Penyebab tidak umum lainnya seperti diseksi arteri atau keadaan hiperkoagulasi. 36

Manifestasi klinis
Gejala TIA sering telah teratasi pada saat pasien dibawa ke dokter atau unit gawat darurat.
Anamnesis harus mencakup onset, durasi, waktu, gejala neurologis lengkap, gejala terkait, dan faktor
yang memberatkan atau meringankan. Klinisi juga harus mencoba mengidentifikasi faktor risiko
terkait seperti penyakit arteri koroner, merokok, penyalahgunaan obat, obesitas, diabetes melitus,
dislipidemia, dan hipertensi, serta riwayat gangguan hiperkoagulabilitas, stroke, atau TIA.
Anamnesis harus mencakup petunjuk etiologi seperti riwayat fibrilasi atrium, infark miokard baru-

47
baru ini untuk menunjukkan sumber kardioemboli. Adanya gejala kortikal seperti gangguan bahasa
atau kehilangan lapangan visual akan mengarah ke TIA kortikal daripada sindroma lacunar. 36
Pemeriksaan fisik harus fokus pada identifikasi defisit neurologis fokal dan gangguan bicara
yang merupakan gejala yang paling sering muncul pada pasien dengan TIA. Pemeriksaan saraf
kranial dapat menghasilkan temuan kebutaan monokuler, disconjugate gaze, facial droop,
hemianopia, diplopia, gerakan lidah abnormal, kesulitan menelan, dan disfungsi pendengaran.
Beberapa temuan motorik meliputi kelemahan unilateral pada ekstremitas atas atau bawah, wajah,
dan lidah, peningkatan tonus, klonus, kekakuan dan juga refleks abnormal dapat terjadi pada TIA.
Pemeriksaan jantung dan auskultasi karotis untuk bruit karotis sangat penting. Fundoskopi penting
untuk mencari bukti funduskopi dari perubahan vaskular akibat hipertensi atau diabetes. Ini mungkin
juga menunjukkan Hollenhurst plague yang akan menunjukkan penyakit arteri karotis internal yang
mendasarinya. 36

Stratifikasi faktor resiko


Skor ABCD2 sangat penting untuk memprediksi risiko TIA atau stroke selanjutnya. Skor
ABCD2 mencakup faktor-faktor termasuk usia (age), tekanan darah (blood pressure), gejala klinis
(clinical symptoms), durasi, dan diabetes. 36
 Usia: lebih tua dari 60 tahun (1 poin).36
 Tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg pada evaluasi pertama (1 poin).36
 Gejala klinis: kelemahan fokal dengan spells (2 poin) atau gangguan bicara tanpa kelemahan
(1 poin).36
 Durasi lebih dari 60 mnt (2 poin), atau 10 mnt hingga 59 mnt (1 poin).36
 Diabetes melitus (1 poin).36
Risiko stroke 2 hari adalah 0% untuk skor 0 atau 1, 1,3% untuk skor 2 atau 3, 4,1% untuk
skor 4 atau 5, dan 8,1% untuk skor 6 atau 7. Sebagian besar center stroke akan memasukkan pasien
dengan TIA ke rumah sakit untuk penatalaksanaan dan observasi yang cepat jika skornya 4 atau 5
atau lebih tinggi. Pendekatan yang cepat telah terbukti meningkatkan outcome. 36

48
Pencitraan pada TIA

Gambar 15. Algoritma diagnosis, evaluasi dan tatalaksana pada TIA. 39

49
CT kepala sebaiknya dengan CT angiogram direkomendasikan jika MRI tidak dapat
dilakukan. MRI otak dengan diffusion-weighted imaging memiliki sensitivitas yang lebih besar
daripada CT untuk mendeteksi infark kecil pada pasien dengan TIA. Praktisi harus menilai pembuluh
darah cervicocephalic pasien untuk lesi aterosklerotik menggunakan ultrasonografi karotis/
ultrasonografi Doppler transkranial, magnetic resonance angiography, atau CT angiografi. Lesi ini
dapat diobati. Pada kandidat untuk endarterektomi karotid, pencitraan karotid harus dilakukan dalam
waktu 1 minggu setelah timbulnya gejala. Penilaian jantung harus dilakukan dengan EKG,
Ekokardiogram/TEE untuk menemukan sumber kardioemboli dan adanya patent foramen ovale,
penyakit katup, trombus jantung, dan aterosklerosis. Holter monitor atau prolonged cardiac rhythm
monitor yang lebih lama dalam setting rawat jalan wajar untuk pasien dengan infark kortikal tanpa
sumber emboli yang jelas, terutama untuk mengevaluasi fibrilasi atrium paroksismal. Tes darah rutin
termasuk hitung darah lengkap, PT/INR, CMP, FBS, panel lipid, urine drug screen, dan ESR harus
dipertimbangkan.36

Tatalaksana TIA
Terapi Antiplatelet
Pada pasien dengan stroke iskemik nonkardioembolik, aspirin adalah pengobatan yang paling
efektif untuk mengurangi risiko stroke rekuren selama 90 hari pertama, dan merupakan satu-satunya
pengobatan antiplatelet yang telah terbukti mengurangi resiko stroke iskemik rekuren (stroke iskemik
pada pasien dengan skor pada skala Rankin yang dimodifikasi 2 atau lebih (skor berkisar dari 0 [tidak
ada gejala] hingga 6 [kematian]) selama periode tersebut. Namun, setelah 3 bulan, kemanjuran aspirin
menjadi kurang jelas. Berdasarkan uji klinis yang telah menunjukkan efektivitas, loading dose aspirin
(300 mg per oral) harus diberikan sesegera mungkin setelah gejala TIA, sebelum masuk atau saat tiba
untuk perawatan darurat. Aspirin segera diberikan dirumah jika memungkinkan. Aspirin kemudian
harus dilanjutkan dengan dosis 75 sampai 100 mg per hari selama 90 hari. 39
Dua trial telah menunjukkan bahwa pengobatan dual antiplatelet (loading dose 300 mg
clopidogrel ditambah 300 mg aspirin, diikuti dengan dosis pemeliharaan 75 mg clopidogrel dan 75
mg aspirin selama 21 atau 90 hari pertama setelah TIA atau iskemik ringan) mengurangi resiko stroke
sebesar 25%, dibandingkan dengan aspirin saja. 39

50
Tatalaksana Faktor Resiko Terkait
Pada pasien dengan TIA, pengobatan jangka panjang melibatkan terapi penurun tekanan
darah dan penurun lipid dan kontrol diabetes. Berhenti merokok dan perubahan gaya hidup juga
dianjurkan. Masuk akal untuk menargetkan tekanan darah hingga kurang dari 140/90 mm (target di
bawah 130/80 mm Hg sesuai untuk pasien dengan stroke lacunar atau diabetes dan lebih sesuai secara
umum jika pasien dapat mencapai tingkat ini tanpa efek samping). Randomized trials yang
melibatkan pasien dengan stroke iskemik atau TIA baru-baru ini telah menunjukkan penurunan yang
signifikan dalam risiko stroke dan kejadian kardiovaskular secara keseluruhan dengan statin dosis
tinggi atau yang secara khusus menargetkan kadar kolesterol low-density lipoprotein (LDL) kurang
dari 70 mg per desiliter. Dengan demikian, terapi statin intensif direkomendasikan ketika diduga
39
berasal dari TIA aterosklerotik, terlepas dari kadar kolesterol LDL awal.
Semua pasien harus diskrining dan dirawat untuk diabetes mellitus dan harus menerima
konseling mengenai gaya hidup (misalnya diet, penurunan berat badan, berhenti merokok, dan
pentingnya tiga sampai empat sesi olahraga per minggu). Skrining untuk sleep apnea juga
dianjurkan.39
Endarterektomi atau pemasangan stent karotis harus dipertimbangkan pada pasien yang
penyebab TIA-nya adalah stenosis arteri karotis interna ipsilateral sebesar 50% atau lebih.
39
Pemasangan stent stenosis intrakranial biasanya tidak dianjurkan.

51
Daftar Pustaka

1. Murphy SJ, Werring DJ. Stroke: causes and clinical features. Medicine (Abingdon). 2020
Sep;48(9):561–6.
2. Ludwig PE, Reddy V, Varacallo M. Neuroanatomy , Central Nervous System ( CNS ).
StatPearls [Internet]. 2023;1–6.
3. Konan LM, Reddy V, Mesfin FB. Neuroanatomy, Cerebral Blood Supply. StatPearls
[Internet]. 2023;4–9. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30335330
4. Nguyen J, Duong H. Neurosurgery, Sensory Homunculus [Internet]. StatPearls [Internet].
2023. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549841/
5. Li Q, Yang Y, Reis C, Tao T, Li W, Li X, et al. Cerebral Small Vessel Disease. Cell
Transplant. 2018;27(12):1711–22.
6. Jimsheleishvili S, Dididze M. Neuroanatomy , Cerebellum. StatPearls [Internet]. 2023;1–5.
7. Sarikaya H, Steinlin M. Cerebellar stroke in adults and children [Internet]. 1st ed. Vol. 155,
Handbook of Clinical Neurology. Elsevier B.V.; 2018. 301–312 p. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-444-64189-2.00020-2
8. Lindauer U. Physiology of Cerebral Blood Vessels. Brain Edema From Mol Mech to Clin
Pract. 2017;3–27.
9. Mustafa PS. Implikasi Pola Kerja Telensefalon dan Korteks Cerebral dalam Pendidikan
Jasmani. Media Ilmu Keolahragaan Indones. 2020;10(2):53–62.
10. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJB, Culebras A, et al. AHA /
ASA Expert Consensus Document An Updated Definition of Stroke for the 21st Century A
Statement for Healthcare Professionals From the American Heart Association / American
Stroke Association. 2013;
11. Coupland AP, Thapar A, Qureshi MI, Jenkins H, Davies AH. The definition of stroke. J R
Soc Med. 2017;110(1):9–12.
12. Kedokteran PNP. TATALAKSANA STROKE. 2019;1–151.
13. Mendis S, Norrving B. Organizational update world health organization. Stroke.
2014;45(2):22–4.
14. Venketasubramanian N, Yudiarto FL, Tugasworo D. Stroke Burden and Stroke Services in
Indonesia. Cerebrovasc Dis Extra. 2022;12(1):53–7.

52
15. Boehme AK, Esenwa C, Elkind MSV. Stroke Risk Factors, Genetics, and Prevention. Circ
Res. 2017;120(3):472–95.
16. Wijesundera C, Vingrys AJ, Wijeratne T, Crewther SG. Acquired Visual Deficits
Independent of Lesion Site in Acute Stroke. Front Neurol. 2020;11(July):1–10.
17. Sand KM, Midelfart A, Thomassen L, Melms A, Wilhelm H, Hoff JM. Visual impairment in
stroke patients - a review. Acta Neurol Scand. 2013;127(S196):52–6.
18. Bamiou DE. Hearing disorders in stroke [Internet]. 1st ed. Vol. 129, Handbook of Clinical
Neurology. Elsevier B.V.; 2015. 633–647 p. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-
0-444-62630-1.00035-4
19. Ghelani DP, Kim HA, Zhang SR, Drummond GR, Sobey CG, De Silva TM. Ischemic stroke
and infection: A brief update on mechanisms and potential therapies. Biochem Pharmacol
[Internet]. 2021;193:114768. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0006295221003841
20. Sun LL, Tang WX, Tian M, Zhang L, Liu ZJ. Clinical Manifestations and Mechanisms of
Autoimmune Disease-Related Multiple Cerebral Infarcts. Cell Transplant. 2019;28(8):1045–
52.
21. A. Boehme, C. Esenwa ME. Stroke: Risk Factors and Prevention. J Pak Med Assoc.
2018;60(3):412.
22. Markus HS. Stroke genetics. Hum Mol Genet. 2011;20(R2):124–31.
23. Østergaard L, Engedal TS, Moreton F, Hansen MB, Wardlaw JM, Dalkara T, et al. Cerebral
small vessel disease: Capillary pathways to stroke and cognitive decline. J Cereb Blood Flow
Metab. 2016;36(2):302–25.
24. Arenillas JF, Moro MA, Dávalos A. The metabolic syndrome and stroke: Potential treatment
approaches. Stroke. 2007;38(7):2196–203.
25. Zaorsky NG, Zhang Y, Tchelebi LT, Mackley HB, Chinchilli VM, Zacharia BE. Stroke
among cancer patients. Nat Commun [Internet]. 2019;10(1). Available from:
http://dx.doi.org/10.1038/s41467-019-13120-6
26. Balachandran A, Kalyanshettar S, Patil S, Shegji V. Ischemic Stroke in Confederation with
Trivial Head Trauma. Case Rep Pediatr. 2016;2016:1–4.
27. Yang FH, Wang H, Zhang JM, Liang HY. Cerebral infarction after mild head trauma in

53
children. Indian Pediatr. 2013;50(9):875–8.
28. Kuriakose D, Xiao Z. Pathophysiology and Treatment of Stroke: Present Status and Future
Perspectives. Int J Mol Sci. 2020 Oct;21(20).
29. Yew KS, Cheng E. Acute stroke diagnosis. Am Fam Physician. 2009;80(1):33–40.
30. Tadi P, Lui F. Acute Stroke. Starpearls. 2023;
31. Yew KS, Cheng EM. Diagnosis of acute stroke. Am Fam Physician. 2015;91(8):528–36.
32. Edlow JA. Managing Patients With Transient Ischemic Attack. Ann Emerg Med [Internet].
2018;71(3):409–15. Available from: https://doi.org/10.1016/j.annemergmed.2017.06.026
33. Hui C, Tadi P, Patti L. Ischemic Stroke [Internet]. Starpearls. 2022. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499997/
34. Unnithan A, Das J, Mehta P. Hemorrhagic Stroke [Internet]. Starpearls. 2023. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559173/
35. Gbinigie II, Reckless IP, Buchan AM. Stroke: management and prevention. Med (United
Kingdom) [Internet]. 2016;44(9):521–9. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.mpmed.2016.06.003
36. Panuganti K, Tadi P, Lui F. Transient Ischemic Attack. Starpearls. 2023;
37. Easton JD, Saver JL, Albers GW, Alberts MJ, Chaturvedi S, Feldmann E, et al. Definition
and evaluation of transient ischemic attack: A scientific statement for healthcare
professionals from the American heart association/American stroke association stroke
council; council on cardiovascular surgery and anesthesia; council on cardiovascular
radiology and intervention; council on cardiovascular nursing; and the interdisciplinary
council on peripheral vascular disease. Stroke. 2009;40(6):2276–93.
38. Sorensen AG, Ay H. Transient ischemic attack: definition, diagnosis, and risk stratification.
Neuroimaging Clin N Am. 2011 May;21(2):303–13, x.
39. Amarenco P. Transient Ischemic Attack. N Engl J Med [Internet]. 2020 May
13;382(20):1933–41. Available from: https://doi.org/10.1056/NEJMcp1908837

54

You might also like