You are on page 1of 11

Maximilian Feivel Yudha (110110220085)

Kezia Beryl Josephine(110110220092)

Arif Fadhillah Siregar(110110220097)

1.A. Apakah yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum umum dan apakah fungsi dari
prinsip-prinsip hukum umum dalam kaitannya dengan perjanjian internasional dan hukum
kebiasaan internasional!

Prinsip hukum umum dalam hukum internasional dapat diartikan sebagai mekanisme untuk
menangani permasalahan kekosongan hukum. Menurut Hersch Lauterpacht berpendapat
bahwa prinsip-prinsip hukum umum merupakan salah satu alat yang tidak hanya diperbolehkan,
namun wajib digunakan oleh hakim internasional untuk mengisi kesenjangan dalam struktur
hukum sehubungan dengan kelengkapan hukum. Adapun menurut beberapa pakar
menganggap yaitu prinsip-prinsip umum hanya sebagai sarana bantuan dalam penafsiran dan
penerapan hukum hukum perjanjian dan hukum kebiasaan, sementara para pakar lain
menganggap nya sebagai sumber utama yang mewujudkan norma-norma yang setara atau
bahkan lebih tinggi. Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan, bahwasannya prinsip hukum
umum digunakan karena hukum internasional tidak memiliki otoritas legislatif, tidak ada
prosedur pembentukan hukum internasional yang jelas dan mekanisme penegakan hukumnya
yang jelas.

Prinsip hukum umum juga melengkapi sumber hukum yang pertama dan kedua, karena
hukum nasional tidak dapat dijadikan sumber hukum internasional. Mayoritas ahli hukum
internasional berpendapat dimasukkannya ketentuan ini dengan tujuan untuk memudahkan
mahkamah dalam menggunakan prinsip yang diakui dalam hukum nasiona dan menerapkannya
dalam memutuskan suatu perkara yang dirasakan sesuai dengan karakter sengketa internasiona
yang sedang ditangani. Adapun tujuan lainnya untuk memudahkan hakim mahkamah
memperluas penafsiran hukum internasional dengan cara analogi, menggunakan beberap
prinsip hukum yang berasal dari aturan tertentu dengan cara penafsiran induktif.1

Adapun kaitannya antara prinsip-prinsip umum dengan perjanjian internasional dan


kebiasaan international2

1. “A source of interpretation for conventional and customary international law”

1
M. Cherif Bassiouni, “A Functional Approach to “General Principles Of International Law” ”, 3:11
Michigan Journal Of International law.
2
M. Cherif Bassiouni, “A Functional Approach to “General Principles Of International Law” ”, 3:11
Michigan Journal Of International law.
:Memiliki arti “ sumber penafsiran hukum perjanjian dan kebiasaan internasional”.
Prinsip-prinsip hukum umum yang paling utama digunakan untuk memperjelas dan
menafsirkan hukum internasional. Bahkan, prinsip hukum ini bukan hanya metode untuk
menggantikan atau memperbaiki keurangan dalam perjanjian dan kebiasaan
internasional. Melainkan, memiliki fungsi utama yaitu diakui dan diterapkan secara luas.
2. “A means for developing new norms of conventional and customary international
law”
:Memiliki arti “suatu sarana untuk mengembangkan norma-norma baru dalam hukum
perjanjian dan kebiasaan internasional”. prinsip hukum umum ini digunakan sebagai
fungsi pertumbuhan dan diperlukan untuk perkembangan hukum internasional.
Pendekatan yang dinamis ini mencengah penerapan statis norma dan prosedur yang
kuno. Hal ini juga mengatur kebutuhan dinamis yang sesuai dengan perubahan
kepentingan dan tujuan yang bisa saja berubah, alasan ini digunakan untuk menghadapi
kemajuan teknologi yang berkembang pesat.

3. “A supplemental source to conventional and customary international law”


:Memiliki arti “sumber tambahan untuk hukum perjanjian dan kebiasaan internasiona”.
Fungsi yang ketiga dari prinsip hukum ini dapat memberikan suatu norma Ketika suatu
perjanjian atau kebiasaan internasional tidak dapat diterapkan atau tidak ada sama
sekali. Jika tidak ada aturan hukum internasional yang berlaku, untuk mengisi
kesenjangan hukum dapat mengandalkan prinsip umum yang berasal dari sistem hukum
nasional yang mewakili sistem yurisprudensi utama didunia atau sistem yang lebih
khusus diterapkan dalam kasus tersebut.

4. “A modifier of conventional and customary international rules.”

:Memiliki arti “Pengubah aturan perjanjian dan kebiasaan intenasional”. fungsi yang
terakhir sebagai fungsi korektif yang dimana prinsip hukum umum dapat digunakan dan
mengesampingkan atau mengubah ketentuan hukum perjanjian dan kebiasaan
internasional dalam mendukung kebaikan dan tujuan yang lebih besar. Tentunya tidak
semua prinsip hukum umum yang dapat melakukan fungsi korektif ini.

Fungsi prinsip hukum umum :

a) Logis

menyangkut posisi dan fungsi prinsip tersebut dalam suatu tertib hukum, tanpa
peran hukum umum konstruksi suatu tertib hukum menjadi tidak logis dan tidak berfungsi
sebagaimana mestinya3.

b) Aksiologis

3
Atif Latipulhayat, Hukum Internasional: Sumber -Sumber Hukum, Sinar Grafika, 2020. Hal 163
sebagai fondasi minimum yang memungkinkan hukum internasional dapat
beroperasi di tengah keragaman nilai dan tradisi antar bangsa, dengan kata lain sebagai
prinsip pengarah yang memungkinkan hukum internasional dapat berjalan dengan baik.

c) Normatif
fungsi normatif prinsip hukum umum ini terletak pada kekuatan prinsip ini dalam
memperteguh jangkauan dan kepadatan substansi hukum internasional.4

d) Pemersatu
sebagai penegasan kembali dari fungsi aksiologis prinsip tersebut. Dengan kata lain,
fungsi yang satu akan menjadi syarat bagi terlaksananya fungsi yang lainnya. Fungsi
aksiologis dalam arti bagaimana hukum internasional dapat berjalan tidak akan terlaksana
tanpa bekerjanya fungsi pemersatu dari prinsip umum tersebut. Selain itu berfungsi untuk
mencairkan ide pokok dari suatu hukum ke seluruh bagian - bagiannya. Prinsip ini telah
memberikan kontribusi nyata dalam interelasi yang dinamis dan progresif antara hukum
perdata dan hukum punlik yang dipersepsi relasinya sangat kaku dan tertutup satu sama
lain.5

e) Koreksi
berfungsi untuk menambah akurasi terhadap cakupan aplikasi suatu perjanjian atau
kebiasaan internasional,bahkan memiliki kekuatan penghapus terhadapnya. Ketika akan
dilakukan rekonsiliasu terhadap pluralitas norma yang akan diaplikasikan pada fakta dan
waktu yang sama, prinsip hukum umum akan bekerja sebagai pemberi pedoman dalam
mencari jalan keluarnya.

f) Adaptasi
Fungsi adaptasi dari prinsip hukum umum menempatkan prinsip ini pada posisi
sebagai vektor dari proses perubahan minor terhadap hukum meski tidak harus dipahami
sebagai proses yang tidak efektif, dengan fungsi ini prinsip hukum umum menawarkan satu
bentuk interpretasi baru terhadap norma lama dengan melakukan penetrasi interpretasi
terhadap tertib hukum yang ada misalnya lewat penerapan pengecualian yang adil,
membuat norma baru lewat pengembangan hukum oleh peradilan dan sebagainya.6

B. Mahkamah Internasional telah mengakui dan menerapkan prinsip hukum umum (general
principles of law) dalam beberapa putusannya. Jelaskan prinsip hukum umum apakah yang
digunakan dalam putusan pada kasus Chorzow Factory case 1928 (Germany v. Poland) dan
Temple of Preah Vihear Case 1962 (Cambodia v. Thailand)

(Temple of Preah Vihear)

Fakta Hukum:

4
Ibid. Hal 164
5
Ibid. Hal 166
6
Atif Latipulhayat, Hukum Internasional: Sumber -Sumber Hukum, Sinar Grafika, 2020. Hal 167
Kasus temple of preah vihear, merupakan kasus yang melibatkan dua negara yakni, Thailand dan
Kamboja. Objek yang disengketakan kedua negara tersebut ialah kepemilikan atas kuil preah
vihear dan wilayah yang berada disekitarnya dan kuil tersebut terletak diantara negara Kamboja
dan Thailand. Pada tahun 1949, pemerintah Thailand melakukan penempatan pasukan
militernya di area yang menjadi objek sengketa yakni, kuil preah vihear. Hal tersebut
dikarenakan negara Thailand tidak sepakat dengan pembuatan peta batas wilayah Annex Imap
(1904-1908) antara Thailand dan Kamboja yang memasukkan kuil preah vihear sebagai bagian
dari wilayah kedaulatan Kamboja. Thailand juga berpendapat bahwa peta tersebut tidak
mengikat. Peta Annex Imap merupakan peta buatan kartografer Prancis yang menetapkan
perbatasan kedua negara tersebut. Oleh karena itu, pada tahun 1959, pemerintah Kamboja
mengajukan konfilk ini kepada Mahkamah Internasional untuk memeriksa perkara tersebut.

Analisis:

Mahkamah Internasional menggunakan “Annex IMap” sebagai objek penyelesaian sengketa


perbatasan, yang mana preah vihear berada pada jarak 700 meter di dalam wiayah territorial
kerajaan Kambojo. Dalam keputusannya, mayoritas hakim Mahkamah Internasional menyatakan
bahwa Kuil preah vihear berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja dan Thailand harus menarik
pasukan militernnya dari wilayah kuil tersebut. Majelis hakim berpendapat bahwa “Annex Imap”
memiliki kekuatan teknis topografi, namun pada saat dibuatnya peta ini tidak memiliki karakter
mengikat secara hukum.7

Dalam kasus ini, Hakim Mahkamah Internasional menetukan putusannya didasari oleh
pertimbangan prinsip hukum yang berlaku dalam ruang lingkup hukum internasional, yaitu
prinsip estoppel. Prinsip estoppel merupakan sebuah prinsip hukum Internasional yang
bertumpu pada prinsip good faith dan consistency guna mencegah suatu negara bertindak tidak
konsisten sehingga merugikan pihak lain. Good Faith menyebutkan bahwa apabila suatu pihak
memberikan suatu pernyataan dan pihak lainnya mengambil suatu tindakan yang bersangkutan
dan menggantungkan diri kepada pernyataan pihak pertama, maka pihak pertama tersebut
tidak diperbolehkan untuk menarik lagi pernyataan yang dikeluarkan. Pada kasus ini, Kamboja
melakukan serangkaian pengakuan terhadap wilayah kuil preah vihear akan tetapi Thailand
tidak menunjukan tindakan penolakan dari pengakuan tersebut yang oleh hakim
diinterpretasikan sebagai sebuah bentuk persetujuan. Hal ini terjadi sinkronisasi, yang mana
alasan hakim menggunakan peta “Annex Imap” sebagai dasar keputusannya. Hal ini dikarenakan
saat peta ini diserahkan dan dikomunikasikan kepada pemerintah Siam (Thailand) oleh pejabat
Perancis, pemerintah Siam (Thailand) sama sekali tidak memberikan reaksi, tidak menyatakan

7
Hillier, Tim. 1998. Sourcebook On Public International Law. London: Cavendish Publishing Limited, hal. 92
keberatan atau pun mempermasalahkannya. Sehingga penafsirannya dianggap menjadikan
pemerintah Siam (Thailand) menerima keadaan dan kondisi dalam peta tersebut.8

(Chorzow Factory Case)

Fakta Hukum :

Terdapat kesepakatan antara Jerman dan Polandia dan perjanjian bilateral tersebut dikenal
dengan nama Konvensi Jenewa Silesia Atas tahun 1922. Pada tanggal 24 Juni 1922, Polandia
mengambil alih pabrik di Chorzow dengan Keputusan Menteri Polandia. Lalu, pada 10
November 1922, Jerman membawa perkara ini ke Pengadilan Arbitrase Campuran
Jerman-Polandia di Paris, dan meminta “untuk mengizinkan klaim yang diajukan dan
memerintahkan Pemerintah Polandia untuk mengembalikan pabrik, untuk membuat perbaikan
lainnya yang Pengadilan dapat melihat cocok untuk memperbaiki dan untuk membayar biaya
ganti rugi dari tindakan Polandia. Perselisihan saat ini muncul ketika Polandia menyita
perusahaan-perusahaan di sana karena melanggar kewajiban internasionalnya berdasarkan
konvensi Silesia Atas tahun 1922. Jerman menuntut kompensasi dari Polandia.

Analisis :

“a principle of international law that the reparation of a wrong may consist in an indemnity
corresponding to the damage which the nationals of the injured state have suffered as a result
of the act which is contrary to international law.”9

Kalimat diatas memiliki arti, yakni sebuah prinsip hukum internasional yang menyatakan
bahwa perbaikan atas suatu kesalahan dapat berupa pemberian ganti rugi sesuai dengan
kerugian yang diderita oleh warga negara dari negara yang dirugikan sebagai akibat dari
tindakan yang bertentangan dengan hukum Internasional. Dalam kasus tersebut, pengadilan
mengamati bahwa setiap pelanggaran perikatan melibatkan kewajiban untuk melakukan
reparasi. Reparasi merupakan pelengkap yang dapat dibuang dari kegagalan dalam menerapkan
suatu konvensi dan tidak ada keharusan untuk melakukan hal ini dalam konvensi itu sendiri.
Kasus ini merupakan salah satu kasus pengambilalihan yang tidak sah dan dalam hal ini
negara-negara yang melakukan pengambilalihan selain harus membayar ganti rugi sehubungan
dengan pengambilalihan yang sah tersebut, juga harus membayar ganti rugi atas kerugian yang
dialami oleh pihak yang dirugikan.10

2. A. Jelaskan putusan pengadilan internasional sebelumnya yang digunakan sebagai sumber


hukum oleh Hakim ICJ dalam Putusan Sipadan-Ligitan.

8
N. Shaw, Malcolm. International Law, New York : Cambridge University Press, 2017, hal 72-73
9
N. Shaw, Malcolm. International Law, New York : Cambridge University Press, 2017, hal 74
10
Hillier, Tim. 1998. Sourcebook On Public International Law. London: Cavendish Publishing Limited, hal. 92
Pasal 38 ayat 1 ICJ D/4 bahwa putusan pengadilan merupakan sumber hukum tambahan
atau subsider dan sumber ini digunakan untuk membuktikkan adanya kaidah hukum
internasional mengenai suatu persoalan atas sumber hukum primer yaitu perjanjian
internasional dan kebiasaan internasional.11 Pasal 38 ayat 1 ICJ 4/D bahwa putusan pengadilan
dapat diterapkan sebagai sumber hukum tambahan untuk menentukan aturan hukum. Pasal 59
Statuta Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa putusan mahkamah internasional
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kecuali para pihak dan yang terkait dengan
kasus yang diajukan.12 Intinya putusan mahkamah internasional dapat berlaku bagi pihak yang
mengajukan kasus tersebut. Pasal ini dikeluarkan untuk melindungi negara lain yang tidak ikut
serta dalam kasus tersebut agar tidak terkena pengaruh dari putusan yang dikeluarkan oleh
mahkamah internasional.

Adapun contoh kasus sengketa hukum internasional yaitu Indonesia vs Malaysia terkait
kedaulatan pulau sipadan dan ligitan, awal mula sengketa ini terjadi pada tahun 1969 sewaktu
kedua negara mengadakan perundingan untuk menetapkan batas landas kontinen.13 Dan terjadi
perdebatan mengenai pulau sipadan dan ligitan yang pada akhirnya diserahkan kepada
mahkamah internasional. Adapun kesepakatan negara yang bersengketa yang diatur dalam
pasal 36 ayat 1 statuta MI. Indonesia dan Malaysia telah membuat suatu perjanjian yaitu
“Special Agreement for Submission To The International Court Of Justice Of Dispute Between
Indonesia and Malaysia Concerning Sovereignty Over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan”.14 Dan
dalam pasal 2 special agreement MI diminta untuk menentukan siapa yang mempunyai
kedaulatan atas pulau ligitan dan sipadan.

Pengadilan mengamati “effectivities” dari kedua belah pihak yang diandalkan hanya
menegaskan hak kepemilikan berdasarkan perjanjian. Indonesia berargurmen atau mengutip
patrol-patroli di daerah tersebut oleh kapal-kapal angkatan laut belanda, kegiatan-kegiatan
Angkatan laut Indonesia, dan juga kegiatan-kegiatan para nelayan Indonesia, dan
Undang-Undang Nomor 4 tentang perairan Indonesia. Indonesia juga mengklaim kedaulatan
kedua pulau berdasarkan perjanjian yang pernah dibuat antara inggris dan belanda pada tahun
1891.15

Sedangkan, Malaysia menyebutkan dan berargumen adanya control terhadap


pengambilan penyu dan pengumpulan telur penyu, yang diduga merupakan kegiata ekonomi
yang terpenting di Sipada yang sudah bertahun-tahun, pendirian suaka burung di Sipadan pada

11
Dr. Irawati Handayani, putusan pengadilan, doktrin & sumber hukum lainnya. 2020
12
ibid.
13
Hikmahanto Juwana, “Putusan MI atas Pulau Sipadan dan Ligitan”, 1:1 Expert Commentary
14
ibid.
15
Case Concerning Sovereignty Over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan ( Indonesia Vs Malaysia)
(Merits), Judgement Of 17 December 2002.
tahun 1933, Pembangunan mercusuar oleh pemerintah klonial inggris di borneo utara di pulau
Sipadan dan Ligitan pada awal tahun 1960 dan mercusuar masih ada sampai sekarang.
16
Pengadilan permanen mahkamah internasional dalam kasus status hukum Greenland Timur
menetapkan: “klaim kedaulatan yang tidak didasarkan pada suatu tindakan atau hak tertentu
seperti perjanjian penyerahan, tetapi hanya berdasarkan pada tampilan kewenangan yang
terus-menerus, melibatkan dua elemen yang masing-masing harus dibuktikkan keberadaannya:
niat dan kehendak untuk bertindak sebagai penguasan dan suatu pelaksanaan atau tampilan
nyata dari kewenangan tersebut.

Pada akhirnya, tanggal 17 Desember 2002 putusan mahkamah internasional


memberikan kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia. MI mengacu terhadap
putusan Denmark melawan Norway dalam kasus legal status of eastern Greenland menentukan
2 kriteria penting mengenai effectivities. Yang pertama adanya kehendak dan kemauan untuk
bertindak sebagai negara pada wilayah yang disengketakan. Yang kedua adalah adanya tindakan
nyata atau pelaksanaan kewenangan negara.17 Menurut MI Malaysia telah memenuhi syarat
pertama yang dimana inggris menyerahkan pulaunya dan dengan adanya berbagai aturan yang
dikeluarkan antara lain ketentuan pengambilan telur penyu dan ketentuan tentang cagar
burung. Selanjutnya MI menganggapsyarat kedua telah terpenuhi oleh inggris yang diberikan
kepada Malaysia dengan adanya Pembangunan mercusuar dipulau Sipadan tahun 1962 dan
Ligitan tahun 1963, bahkan Pembangunan mercusuar ini dilakukan tanpa ada protes dari pihak
Indonesia.

Pembangunan mercusuar ini didasarkan pada putusan pengadilan dalam kasus mengenai Batas
Maritim dan Pertanyaan Teritorial antara Qatar dan Bahrain (Qatar v. Bahrain)18, Pengadilan
menyatakan sebagai berikut:

"Beberapa jenis kegiatan tertentu yang dimohonkan oleh Bahrain seperti pengeboran
sumur artesis, jika dilakukan dengan sendirinya, akan dianggap kontroversial sebagai
tindakan yang dilakukan sebagai titre de souverain. Sebaliknya, pembangunan sarana
bantu navigasi, di sisi lain, dapat menjadi relevan secara hukum dalam kasus pulau-pulau
yang sangat kecil. Dalam kasus ini, dengan mempertimbangkan ukuran Qit'at Jaradah,
kegiatan yang dilakukan oleh Bahrain di pulau tersebut harus dianggap cukup untuk
mendukung klaim Bahrain bahwa Bahrain memiliki kedaulatan atas pulau tersebut."

2. B. Resolusi dari PBB, baik yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum
PBB merupakan salah satu sumber hukum internasional lainnya. Apakah perbedaan kekuatan
hukum dari Resolusi yang dikeluarkan oleh kedua organ PBB tersebut? Sebutkan dan jelaskan

16
ibid.
17
Hikmahanto Juwana, “Putusan MI atas Pulau Sipadan dan Ligitan”, 1:1 Expert Commentary
18
Case Concerning Sovereignty Over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan ( Indonesia Vs Malaysia) (Merits),
Judgement Of 17 December 2002.
secara singkat dua contoh kasus yang menyatakan penerimaan Resolusi PBB sebagai sumber
hukum!

Salah satu fenomena penting dalam perkembangan hukum internasional. Khususnya


pasca Perang Dunia ke 2 adalah hadirnya berbagai organisasi Internasional. Seiring dengan
semakin meningkat dan kuatnya posisi organisasi Internasional terutama setelah diakui sebagai
salah satu sumber hukum Internasional. Salah satu produk hukum PBB yang terpenting adalah
resolusi khususnya yang dikeluarkan oleh Majelis Umum. Meskipun Resolusi PBB tidak memiliki
kekuatan mengikat secara hukum namun mengandung kewajiban daya mengikat cukup efektif.
Resolusi menurut Komisi Hukum Internasional (international Law Commission/ILC) adalah
keputusan dan tindakan-tindakan lainnya yang dibuat oleh organisasi internasional dan
konferensi antarpemerintah (intergovernmental conferences) baik yang dimaksudkan sebagai
keputusan yang mengikat secara hukum maupun yang tidak mengikat.19 Definisi ini mengakui
bahwa mengikat dan tidak mengkatnya sebuah resolusi buku disebabkan bentuk instrumennya,
yaitu resolusi, melainkan maksud atau kehendak dari institusi pembuatnya. Misalnya, resolusi
yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB (DK PBB) bersifat mengikat, sementara itu resolusi
MU PBB tidak mengikat secara hukum. Dewan Keamanan PBB mempunyai kompetensi
mengambil resolusi berdasarkan pasal-pasal 24 dan 25 Piagam PBB dan mengikat semua negara
anggota organisasi. Pasal 24 dan 25 Piagam PBB.20

Terdapat 3 alasan mengapa Resolusi MU PBB dapat dijadikan sumber hukum internasional.

Pertama, MU PBB memiliki kewenangan yang berasal dari Piagam PBB yang merupakan
perjanjian internasional yang mengikat negara-negara anggota PBB. Piagam PBB mengatur
bukan saja mengenai kelembagaan, tetapi juga topik-topik hukum internasional yang
fundamental seperti hak menentukan nasib sendiri, hak asasi manusia, persamaan dan
kebebasan, kerja sama ekonomi, dan sebagainya. Resolusi PBB termasuk juga resolusi
merupakan pengejawantahan dan penjabaran nilai-nilai Piagam PBB. Atas dasar itu MU diberi
kewenangan yang luas untuk menjabarkan dan mengoperasionalkan nilai-nilai Piagam PBB.

Kedua, Resolusi MU PBB merupakan elemen penting dalam melahirkan kebiasaan


internasional. Misalnya Resolusi MU PBB mengenai universal declaration of human rights yang
telah diakui dan menjadi hukum kebiasaan internasional dan oleh karena nya menjadi bagian
dari hukum internasional. Dalam hal ini Resolusi MU PBB dianggap melahirkan norma kebiasaan
internasional yang baru.

Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa resolusi MU merupakan kewenangan yang


melekat sebagai standar normatif yang ada pada setiap organisasi internasional dalam
berinteraksi dengan anggotanya. Resolusi ini diharapkan sebagai medium pentaatan

19
Atip.Latipulhayat, Hukum Internasional: Sumber-Sumber Hukum, Sinar Grafika, Bandung, 2020, hlm. 249.
20
N. Shaw, Malcolm. International Law, New York : Cambridge University Press, 2017, hal 84-88
anggotannya. Apabila resolusi ini didesain hanya sebagai sebuah harapan institusi terhadap
anggotanya, tidak cukup rasional apabila kemudian diberlakukan sebagai hukum mengikat.21

Contoh dari keputusan Majelis Umum yang mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar
daripada art keputusan Majelis Umum sebagai anjuran yaitu Resolusi mengenai Hak
Menentukan Nasib Sendiri dan Kemer. dekaan Bangsa-bangsa di dunia dan Resolusi mengenai
kedaulatan Bangsa-bangsa atas kekayaan Alam. Pengaruh besar keputusan Majelis Umum ini
telah menyebabkan seorang penulis menamakannya peranan atau fungsi Majelis Umum sebagai
kuasa legislative.

Ditinjau dalam rangka pembahasan sumber hukum internasional, Resolusi Majelis


Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dihadiri oleh lebih dari 120 negara memang mau tidak
mau mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan suatu pendapat umum yang
tersebar di seluruh dunia. Apabila yang diputuskan itu menyangkut hal yang bertalian dengan
hukum seperti misalnya hak asasi manusia, kemerdekaan bangsa-bangsa dan hak
bangsa-bangsa atas kekayaan alam di wilayah negaranya, mau tidak mau keputusan demikian
mempunyai akibat yang jauh terhadap pembentukan suatu pendapat umum (communis
opinion) mengenai hal tersebut tadi yang memegang peranan penting dalam membina suatu
kesadaran hukum walaupun keputusan tadi mungkin dalam tingkat pertama terdorong oleh
motif politik.22

Contoh lainnya adalah Pengakuan dari negara lain dalam pembentukan Negara Kosovo,
Resolusi MU yang dipakai ialah “declaration on the Granting of Independence to Colonial
Countries and Peoples 1960”. Deklarasi ini memuat prinsip-prinsip penting dan mendasar bagi
pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri serta kondisi-kondisi yang harus segera dipenuhi oleh
penguasa administrasi:

1. Penguasaan/penaklukan bangsa dengan dominasi, eksploitasi merupakan pelanggaran hak


asasi. manusia yang bertentangan dengan Piagam PBB yang dapat menganggu perdamaian
dan keamanan seluruh dunia.

2. Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri untuk secara bebas
menentukan status politik dan mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budayanya.

3. Persiapan yang tidak memadai di bidang politik, ekonomi dan sosial bukan alasan untuk
menunda kemerdekaan suatu bangsa.

21
Atip.Latipulhayat, Hukum Internasional: Sumber-Sumber Hukum, Sinar Grafika, Bandung, 2020, hlm. 251
22
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, 2003, Pengantar HUkum Internasional, PT ALUMNI, Bandung, hal 156.
4. Tindakan militer dan penekanan-penekanan lainnya terhadap bangsa yang belum merdeka
harus dihentikan untuk memungkinkan pelaksanaan kemerdekaan dan keutuhan wilayah
nasional secara bebas dan damai.

5. Daerah-daerah perwalian dan wilayah tak berpemerintahan sendiri dan wilayah-wilayah


lainnya yang belum memperoleh kemerdekan agar segera dilimpahkan kewenangannya
kepada rakyat (bangsa) di wilayah-wilayah tersebut tanpa syarat apapun.

6. Setiap usaha yang ditujukan untuk memecahkan sebagian atau seluruh kesatuan nasional
atau keutuhan wilayah suatu negara melanggar tujuan dan prinsip PBB.

7. Semua negara harus melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Piagam PBB secara


sungguh-sungguh. Deklarasi hak-hak asasi PBB atas dasar persamaan hak, tidak mencampuri
urusan dalam negeri, menghormati hak-hak kedaulatan semua bangsa serta keutuhan
wilayahnya.23

23
Dwi Saputra, Yogi, and Ramlan Ramlan. “Penerapan Prinsip self determination terhadap pembentukan Negara
Kosovo Ditinjau Dari perspektif Hukum Internasional.” Uti Possidetis: Journal of International Law, vol. 1, no. 2, 2021,
pp. 193–223, https://doi.org/10.22437/up.v1i2.9867.
DAFTAR PUSTAKA

Latipulhayat, Atif. Hukum Internasional: Sumber - Sumber Hukum. Sinar Grafika : Jakarta. 2021.

N. Shaw, Malcolm. International Law, New York : Cambridge University Press, 2017

Peter Malanczuk, Modern Introduction to International Law, Seventh Revised Edition,


Routledge, USA, 1997.

M. Cherif Bassiouni, “A Functional Approach to “General Principles of International


Law”, Michigan Journal of International Law, Vol. 11 Issue 3, 1990.

Tim Hillier, Sourcebook on Public International Law, Cavendish Publishing Limited,


London, 1998.

CASE CONCERNING SOVEREIGNTY OVER PULAU LIGITAN AND PULAU SIPADAN


(INDONESIA v. MALAYSIA) (MERITS) Judgment of 17 December 2002

Hikmahanto Juwana, “Putusan Mahkamah Internasional atas Pulau Sipadan dan Ligitan”,
Indonesian Journal of International Law, Vol. 1 No. 1, Oktober 2003.

You might also like