You are on page 1of 11

MODERASI BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an Integratif

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Makrum Kholil, M.Ag.

Disusun oleh :

IMAM MALIKI 50123017

MAGISTER HUKUM KELUARGA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI K.H. ABDURRAHMAN WAHID
PEKALONGAN
2023
A. Pendahuluan
Studi tentang Al-Qur’an tidak akan pernah lepas dari berbagai ranah
kehidupan umat manusia, meliputi segi jasmani-rohani, duniawi-ukhrawi,
pribadi-sosial maupun dalam urusan kehidupan berbangsa bernegara. Al-
Qur’an menurut umat Islam bagaikan sebuah permata yang dapat
memancarkan cahaya dari arah mana saja yang mampu menghasilkan pantulan
yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Fenomena Islam kekinian telah hadir dan banyak mencuri perhatian
para kaum intelektual. Umat Islam saat ini berada di dalam dua tantangan
yang cukup serius. Pertama, sebagian golongan umat Islam besikap ekstrem
dan kaku dalam memahami teks-teks keagamaan, dan berusaha memaksakan
cara mereka berfikir di tengah masyarakat muslim, bahkan dalam sebagian hal
menggunakan kekerasan, golongan pertama ini dikenal sebagai golongan
radikal. Kedua, kecenderungan lain yang juga masuk dalam golongan ekstrem,
yaitu: bersikap longgar dalam beragama dan mengikuti karakter ataupun
pemikiran negatif yang berasal dari negara dan peradaban lain. Hal tersebut
mengakibatkan munculnya tindakan-tindakan yang menyimpang dari tuntunan
agama islam sebagai dampak paham-paham yang salah.
Pada dasarnya setiap agama mengajarakan tuntunan serta tendensi
yang bersifat fundamental yakni keselarasan yang tidak berpacu pada satu
sudut pandang saja melainkan berbagai sudut pandang. Pada agama Islam
ajaran ini disebut dengan wasaṭiyah yang berarti memilih jalan tengah di
antara sudut pandang ekstrem dan sudut pandang yang tidak berlebih-lebihan
sebagai bentuk peribadatan yang seimbang. 1 Secara umum konsep tersebut
juga dikenal dengan istilah moderasi yang mana dalam sejarah peradaban serta
tradisi dipandang sebagai sesuatu yang dominan serta acuan yang ideal dalam
beragama.
Moderasi agama bukan berarti memoderasi agama, karena agama
dalam dirinya sudah mengandung prinsip moderasi, keadilan dan
keseimbangan. Bukan agama jika ia mengajarkan perusakan di muka bumi,
kedzaliman dan Angkara murka. Agama tidak perlu dimoderasi lagi.
Sebaliknya, orang yang memahami dan mengamalkan ajaran agama bisa

1
Nurul Sakinah, “Moderasi Beragama dalam Perspektif Mufasir Nusantara (Kajian Tafsir QS Al-Baqarah [2]:
143)” (Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2021), 2.
terjerumus pada pemahaman yang ekstrem, tidak adil, dan berlebih-lebihan.
Dari sinilah kemudian cara beragamma seseorang harus didorong ke jalan
tengah atau harus senantiasa dimoderasi.
Wasathiyah atau moderasi saat ini telah menjadi diskursus dan wacana
keIslaman yang diyakini mampu membawa umat Islam lebih unggul dan lebih
adil serta lebih relevan dalam berinteraksi dengan peradaban modern di era
globalisasi dan revolusi industri, informasi dan komunikasi. Wasathiyah Islam
bukanlah ajaran baru atau ijtihad baru yang muncul di abad 20 masehi atau 14
hijriyah. Tapi wasathiyah Islam atau moderasi Islam telah ada seiring dengan
turunnya wahyu dan munculnya Islam di muka bumi pada 14 abad yang lalu.
Agama Islam yang datang dengan misi menciptakan persatuan umat
manusia dikuatkan dengan tuntunanya berupa Al-Qur’an sebagai wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi pesan kasih sayang
dan rahmat bagi alam semesta. Al-Qur’an juga menyebutkan peran penting
sikap moderasi dalam kehidupan beragama. Meski tidak secara gamblang
penyebutan ayat-ayat moderasi, akan tetapi Al-Qur’an menyebutkan ciri-ciri,
konsep, dan prinsip moderasi secara rinci. Secara garis besar, Al-Qur’an
menyebutkan konsep moderasi beragama yang meliputi konsep tawassuṭ
(sikap tengah-tengah), ta’adul (adil), tawazun (seimbang) dan lain sebagainya.
Tawassuṭ, ta’adul, tawazun adalah ciri khas Islam yang paling menonjol.
Tawassuṭ, ta’adul, tawazun dapat disatukan menjadi wasaṭiyyah. Al- Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 143 menjelaskan watak wasaṭiyah yang dihendaki oleh
Allah.2
Konsep moderasi beragama sampai kapan pun akan tetap dianggap
sangat relevan, karena sikap ini dinilai sebagai pendorong bagi sikap
beragama yang seimbang antara praktik keagamaan sendiri (eksklusif) dan
praktik keagamaan orang lain yang memiliki keyakinan berbeda (inklusif).
Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik keagamaan itu akan
menjadikan seseorang tidak menjadi ekstrem yang berlebihan, fanatik dan
revolusioner dalam beragama. Moderasi beragama merupakan solusi terhadap
dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ekstremis ultra-konservatif atau
sayap kanan di satu sisi dan juga di sisi lain liberal atau ekstrem kiri.

2
Afifuddin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat (Kajian Metodologis) (Situbondo: Tanwirul Afkar, 2018),
11
B. Pengertian
Kata moderasi berasal dari bahasa latin moderatio, yang artinya sedang
(tidak berlebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti pengendalian
diri (dari sikap memiliki kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) memiliki dua arti kata-kata moderasi yaitu: Mengurangi
kekerasan dan menghindari hal-hal yang ekstrem. Dalam bahasa Arab
moderasi disebut dengan wasaṭ atau wasaṭiyah, yang memiliki padanan kata
dengan tawassuṭ (tengah-tengah), I’tidal (adil), dan tawazun (berimbang).
Wasaṭiyah dalam bahasa Arab diartikan pula dengan “pilihan terbaik”.
Sedangkan pengertian Beragama menurut KBBI adalah memeluk atau
menganut suatu agama sedangkan agama itu sendiri mengandung arti, sistem,
prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-
kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Di Indonesia agama yang
diakui oleh negara adalah Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu.
Secara Bahasa Beragama berarti menganut (memeluk) agama.
Beragama berarti beribadat; taat kepada agama; baik hidupnya (menurut
agama). Beragama itu bukan untuk menyeragamkan keberagaman, tetapi
untuk menyikapi keberagaman dengan penuh kearifan. Agama hadir ditengah-
tengah kita agar harkat, derajat dan martabat kemanusiaan kita senantiasa
terjamin dan terlindungi. Oleh karenanya jangan gunakan agama sebagai alat
untuk menegasi dan saling merendahkan dan meniadakan satu dengan yang
lain.
Moderasi beragama sudah digiatkan sejak zaman dahulu oleh ajaran
agama Islam. Moderasi beragama diterangkan dalam Al-Qur’an dengan ciri-
ciri, konsep, dan prinsip, diantaranya yaitu tawassuṭ, ta’adul, dan tawazun
yang dapat disatukan menjadi wasaṭiyah.3 Umat Islam mendapat julukan
ummatan wasaṭan yang dapat diartikan umat pilihan yang selalu bersikap
menengahi atau adil. Hal tersebut sudah terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-
Baqarah ayat 143.
Lukman Hakim Saifudin yang mengartikan moderasi beragama sebagai
sikap beragama yang seimbang antara pengamalan dalam agama sendiri dan

3
Mujahidin, Akhmad. “Implementasi Moderasi Beragama di Lingkungan PTKIN”, dalam Moderasi Beragama
Dari Indonesia untuk Dunia, (Yogyakarta: LKIS, 2019) hal 26
penghormatan terhadap praktik dalam agama orang lain yang berbeda. 4
Moderasi beragama bertujuan untuk menengahi kelompok yang memiliki cara
pandang dan perilaku beragama yang liberal, atau ekstrem kiri juga menengahi
pemikiran yang condong pada pemahaman keagamaan yang ultra-konservatif
juga. Lukman Hakim menuturkan bahwa keragaman dalam beragama
mengharuskan penerapan moderasi dalam beragama itu sendiri karena
moderasi beragama adalah kunci terciptanya toleransi dan kerukunan di setiap
sektor kehidupan. Hal ini merupakan sikap yang sangat dibutuhkan dikalangan
masyarakat Indonesia yang multikultural, namun moderasi beragama bukan
alasan untuk melalaikan keharusan. Dengan kata lain, moderasi beragama
menunjukkan adanya penerimaan, keterbukaan dan sinergi dari kelompok
agama yang berbeda-berbeda.5
Menurut Quraisy Shihab karakter moderasi Islam digambarkan dengan
sikap sedang, tidak cenderung dengan sikap berlebih-lebihkan (ifrath) atau
sikap meremehkan (tafrith) dalam kaitannya dengan berbagai masalah agama
dan duniawi.6 Tidak termasuk dalam kelompok moderat yang ekstrem dalam
beragama. Karena moderasi Islam menggabungkan dua hak, yaitu hak ruh dan
hak badan, tanpa mengabaikan satu sisi dengan yang lain. Begitu juga ketika
melihat sesuatu, mereka berpikir secara objektif dan komprehensif dalam
kaitannya dengan berbagai permasalahan yang ada, khususnya yang berkaitan
dengan isu-isu pluralitas agama. Jadi untuk mencapai moderasi beragama
diperlukan kemampuan untuk bersikap objektif dan komprehensif dalam
kaitannya dengan berbagai masalah yang ada, terutama jika
mempertimbangkan masalah pluralitas agama. Maka ketepatan dalam menalar
teks-teks keagamaan dalam wujud penafsiran sangat dibutuhkan agar
melahirkan konsep beragama yang moderat, tidak ekstrem dan radikal.

C. Ciri-ciri Moderasi Beragama

4
Lukman Hakim, Moderasi Beragama: Tanggapan atas Masalah, Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan
yang Dihadapinya. (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2022), 19.
5
Ibid
6
Shihab, M. Quraish. Wasathiyah, Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama. Tangerang: Lentera Hati. 2020.
Konsep moderasi (wasathiyah) diartikan dengan beragama tanpa
ektremisme yakni seseorang tidak diperkenankan berpandangan ekstrem dan
selalu mencari titik temu antara dua titik pandang. Prinsip dasar moderasi
beragama sendiri Dibawah ini disebutkan ciri-ciri moderasi agama.7
1. Tawasuth (mengambil jalan tengah), yaitu: pemahaman dan praktek yang
tidak melebihi batas dan tidak mengurangi takaran.
2. Tawazun (berkeseimbangan), yaitu: pemahaman dan praktek dalam
beragama secara seimbang meliputi semua aspek dalam kehidupan, dan
juga tegas dalam memegang prinsip untuk membedakan antara
penyimpangan dan perbedaan.
3. I’tidal (adil), yaitu: meletakkan sesuatu pada tempatnya lalu melaksanakan
hak dan melaksanakan kewajiban secara sama.
4. Tasamuh (toleransi), yaitu: mampu mengakui dan menghormati perbedaan
dalam beragama maupun dalam kehidupan lainnya.
5. Musawah (egalliter), yaitu: tidak bersikap membatasi kepada yang lain
yang disebabkan karena perbedaan warna kulit, golongan, suku, ekonomi
agama dan lain sebagainya.
6. Syura (musyawarah), yaitu: mencapaikan mufakat dengan menekankan
prinsip meletakkan kemaslahatan di atas segalanya di setiap
penyeselesaian masalah.
7. Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu: kemampuan untuk
membedakan mana yang lebih penting dan harus diutamakan untuk
dilaksanakan terlebih dahulu dibandingkan kepentingan yang lebih
rendah.

D. Moderasi Beragama Dalam Perspektif Al-Qur’an


Moderasi beragama lebih tepatnya merupakan perintah agama Islam
yang termaktub jelas dalam Al-Qur’an. Secara konsensus (ijma’), Ulama telah
sepakat menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam Islam yang
relevan digunakan dari masa ke masa, baik secara akidah, syari’at dan
kebenarannya sudah teruji secara ilmiah sejak masa Rasulullah Saw hingga
sekarang dan sampai akhir zaman. Dalam Al-Qur’an, telah dijelaskan secara

7
Muhajir, Afifuddin. Membangun Nalar Islam Moderat (Kajian Metodologis). (Situbondo: Tanwirul Afkar.
2018). Hal 13
lengkap, detail dan akuratif hakikat arah pemikiran wasathiyah. Menurut
Muhammad Ali As-Shalaby, kata wasathiyah dalam Al-Qur’an telah
disebutkan dengan bentuk yang bervariasi, sebagaimana dijelaskan sebagai
berikut:
1. Wasathiyah bermakna adil dan pilihan

‫ِش‬ ‫ِا‬ ‫َّأ‬ ‫ِذ‬


َ‫َو َك لَ كَ َج ْع َلنُاْك م ًم ةَ َو سً ط َلُتْك ُو ْنواُ َش َه دَاءَ َعلىاَّلناِ سَ َو ُيْك َو ناَّلُر ْس ُو لَ َعْلُيْكمَ ْه ًيدا‬
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu". (Q.S.
Al-Baqarah: 143)
Hasbi Ash-Shiddieqy dalam menafsirkan ayat di atas menjelaskan
bahwa Islam merupakan agama yang berisi tuntunan yang adil dan paling
baik. Umat Islam dapat dikatakan sebagai umat yang seimbang atau
moderat. Umat Islam bukan umat yang hidup berlebihan dalam beragama
(ekstrem) serta tidak pula termasuk umat yang kurang dalam mengamalkan
ajaran agamanya. Dengan itu dapat dikatakan Islam sebagai agama yang
moderat yang berada ditengah dua golongan yaitu: ekstrimis kanan dan
kiri.8
Quraish Shihab menjelaskan kata ‫ وسطا‬yang terdapat pada ayat di atas
menunjukkan bahwa umat Islam dipilih sebagai umat yang memiliki sikap
adil yang akan menjadi saksi atas perbuatan menyimpang yang dilakukan
orang lain selama hidup di dunia. 9 Sedangkan dalam tafsir Ibnu Katsir
kata ‫ وسطا‬ditujukan kepada umat Islam sebagai umat pertengahan yang
tidak keras dalam memahami ajaran agama tetapi juga selektif terhadap
gerakan baru yang mengatasnamakan Islam.
2. Wasathiyah bermakna paling berilmu, bijak dan baik

‫َقاَل َاْو َس ُطُهْم َاَلْم َاُقْل َّلُك ْم َلْو اَل ُتَس ِّبُحْو َن‬.

8
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur Jilid 1, (Semarang; Pustaka Rizki
Putra, 2000). Hal 64
9
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. (Tanggerang: Lentera Hati. 2013). Hal 43
Berkatalah seorang yang paling bijak di antara mereka, “Bukankah aku
telah mengatakan kepadamu, mengapa kamu tidak bertasbih (kepada
Tuhanmu).” (Q.S. Al-Qalam: 28)
Ibnu Abbas ra dan At-Thabari berkata: Bahwa yang diamaksud
dengan kata aushatuhum adalah “Orang yang paling adil dari mereka”. 10
Al-Qurthubi menafsirkan ayat 28 surat Al-Qalam ini adalah “orang yang
paling Ideal, paling berakal dan paling berilmu”. Dalam ayat ini juga dapat
dismpulkan bahwa makna akata ausathuhum adalah “paling adil, paling
baik atau ideal dan paling berilmu”.
Seseorang yang memiliki wawasan keilmuan yang luas, akan lebih
berpotensi bisa membedakan informasi yang diterima. Informasi yang
layak dibagikan sebagai konsumsi publik dan informasi yang cukup dibaca
secara individu.
3. Wasathiyah bermakna pertengahan

‫َو َك َذ ِلَك َج َع ْلَناُك ْم ُأَّم ًة َو َس ًطا ِلَتُك وُنوا ُش َهَداَء َع َلى الَّناِس َو َيُك وَن الَّرُسوُل َع َلْيُك ْم َش ِهيًدا‬.
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai
umat pertengahan agar kalian bisa menjadi saksi atas (perbuatan) manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Q.S.
Al-Baqarah : 143)
Umat Islam adalah Umatan Wasathan yang mendapat petunjuk dari
Allah Subhana wa ta’ala, sehingga mereka menjadi umat yang adil serta
pilihan dan akan menjadi saksi atas keingkaran orang yang kafir. Umat
Islam harus senantiasa menegakkan keadilan dan kebenaran serta
membela yang hak dan melenyapkan yang batil. Mereka dalam segala
persoalan hidup berada di tengah orang orang yang membantingkan
kebendaan dalam kehidupannya Dan orang-orang yang mementingkan
ukhawi saja.
Dengan demikian, seorang yang moderat akan bersikap adil dalam
menilai sesama muslim, tidak suuzon, dan berprasangka buruk kepada
mereka sebelum melakukan klarifikasi terlebih dahulu. Seorang yang
moderat akan menghargai eksistensi orang lain yang berbeda keyakinan
10
Arif, ‘Moderasi Islam (Wasathiyah Islam) Perspektif Al-Qur’an, As-Sunnah Serta Pandangan Para Ulama Dan
Fuqaha.
dengannya serta tidak mencela ataupun menjelek-jelekkan agama dan
keyakinannya tersebut.
4. Menghormati orang lain

‫ِد‬ ‫ِا‬
‫ٓاَل ْك َر اَه ىِف الِّد ْيِۗن َقْد َّتَبَنَّي الُّرْشُد ِم َن اْلَغِّي ۚ َفَمْن َّيْك ُفْر ِبالَّطاُغْو ِت َو ُيْؤ ِم ِبالّٰلِه َفَق اْس َتْم َس َك‬
‫ْۢن‬

‫ّٰل ِمَس ِل‬ ‫ِف‬ ‫ِب ِة‬


‫اْلُعْر َو اْلُو ْثٰقى اَل اْن َص اَم َهَلاۗ َو ال ُه ْيٌع َع ْيٌم‬
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya
telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang
sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah,
maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat
yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
(Q.S. Al-Baqarah: 256)
Hasbi Ash-Shiddieqy menuliskan dalam agama Islam tidak
mengajarkan paksaan ataupun tindakan kekerasan agar mereka beriman
dan masuk dalam agama Islam. Iman itu tunduk dan khudhu‟ (patuh).
Maka dari itu Iman itu urusannya dengan hati manusia, dan manusia tidak
bisa menguasai hati manusia lainnya.11
Al-Baqarah ayat 256 adalah bukti tentang kesalahpahaman penentang
agama, yang mengatakan: “Agama Islam ditegakkan dengan pedang, dan
orang yang tidak mau memeluk agama Islam dipancung lehernya”. Sejarah
Islam sudah membuktikan pernyataan kebohongan itu. Yang pada
kenyataanya tidak ada yang bisa membuktikan bahwa nabi Muhammad
telah berdakwah dengan cara yang kasar.
5. Menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat

‫ِا‬ ‫ِل‬ ‫ٰٓل ِس‬ ‫ِلّٰلِه‬ ‫ِم ِب ِق ِط‬ ‫ِذ‬ ‫ٰٓي‬


‫َاُّيَه ا اَّل ْيَن ٰاَم ُنْو ا ُك ْو ُنْو ا َقَّو ا َنْي اْل ْس ُش َه َد ۤاَء َو َلْو َع ى َاْنُف ُك ْم َاِو اْلَو ا َد ْيِن َو اَاْلْقَر ِبَنْي ۚ ْن َّيُك ْن‬
‫َغِنًّيا َاْو َفِق ْيًر ا َفالّٰل ُه َاْو ىٰل ِهِبَم ۗا َفاَل َتَّتِبُعوا اَهْلٰٓو ى َاْن َتْع ِدُلْو اۚ َو ِاْن َتْلوٓٗا َاْو ُتْع ِر ُضْو ا َفِاَّن الّٰل َه َك اَن َمِبا‬

‫َتْع َم ُلْو َن َخ ِبْيًر ا‬

11
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur Jilid 1, (Semarang; Pustaka
Rizki Putra, 2000). Hal 78
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau
terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya
ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya).
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang
dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap
segala apa yang kamu kerjakan. (Q.S. An-Nisa: 135)
Hasbi Ash-Shiddieqy menafsirkan ayat ini dengan menjelaskan
bahwa Allah memerintahkan kepada umat-Nya agar senantiasa
menegakkan keadilan dan menerapkannya dengan cara sebaik-baiknya,
jangan didasari karena keterpaksaan ataupun yang lainnya. Jika manusia
bersaksi, bersaksilah untuk Allah karena Allah Maha Mengetahui dan
kesaksian ditujukan untuk mencari ridha Allah. Maka dari itu bersaksilah
dengan adil walaupun berurusan dengan diri sendiri.
Lukman Hakim dengan mengambil pengertian adil dalam KBBI
menggambarkan seperti layaknya wasit yang merujuk pada seorang yang
memimpin pertandingan, yakni seorang yang tidak berat sebelah, dan
harus berpihak kepada kebenaran.12

E. Penutup
Moderasi beragama dalam wawasan Al-Qur’an adalah suatu sikap
dasar utama Islam dan warga muslim dalam menentukan arah baru bagi
masyarakat dalam memahami agama dan membawa perubahan cara pandang
yang lebih bernilai dan berimbang. Moderasi beragama dalam al-Qur’an
mempunyai misi demi menciptakan perdamaian bagi seluruh umat manusia.
Moderasi beragama memiliki dua prinsip dasar, yaitu: adil dan berimbang.

DAFTAR PUSTAKA
12
Lukman Hakim, Moderasi Beragama: Tanggapan atas Masalah, Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan
yang Dihadapinya. (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2022), 19.
Nurul Sakinah, “Moderasi Beragama dalam Perspektif Mufasir Nusantara (Kajian
Tafsir QS Al-Baqarah [2]: 143)” (Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2021),
Afifuddin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat (Kajian Metodologis)
(Situbondo: Tanwirul Afkar, 2018),
Mujahidin, Akhmad. “Implementasi Moderasi Beragama di Lingkungan PTKIN”,
dalam Moderasi Beragama Dari Indonesia untuk Dunia, (Yogyakarta: LKIS, 2019)
Lukman Hakim, Moderasi Beragama: Tanggapan atas Masalah, Kesalahpahaman,
Tuduhan, dan Tantangan yang Dihadapinya. (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2022)
Shihab, M. Quraish. Wasathiyah, Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama.
Tangerang: Lentera Hati. 2020.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur Jilid
1, (Semarang; Pustaka Rizki Putra, 2000).
Muhajir, Afifuddin. Membangun Nalar Islam Moderat (Kajian Metodologis).
(Situbondo: Tanwirul Afkar. 2018).
Arif, ‘Moderasi Islam (Wasathiyah Islam) Perspektif Al-Qur’an, As-Sunnah Serta
Pandangan Para Ulama Dan Fuqaha.

You might also like