You are on page 1of 5

Nama : Muhammad Khisin Azmi

NIM : 2104016059
Kelas : Filsafat Syi’ah A4

Menonton dan Me-Review YouTube Ust. Adi Hidayat


“Munculnya Syi’ah dan Alirannya“
Munculnya aliran Syiah dalam Islam memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Hal
ini dapat dilacak kembali ke awal periode sejarah Islam, tepatnya setelah wafatnya Nabi
Muhammad pada tahun 632 Masehi. Perdebatan terjadi di kalangan umat Muslim mengenai
siapa yang berhak menjadi pemimpin umat setelah wafatnya Nabi Muhammad. Beberapa
kalangan menganggap bahwa pemimpin harus dipilih dari kalangan sahabat Nabi yang paling
senior, sementara yang lainnya berpendapat bahwa keturunan Nabi Muhammad memiliki hak
untuk memimpin umat.

Kelompok yang mempercayai hak keturunan Nabi Muhammad ini kemudian dikenal
sebagai Syiah. Mereka menganggap bahwa hanya keturunan Nabi Muhammad dari garis
keturunan Ali bin Abi Thalib yang berhak menjadi pemimpin umat, dan bukan dari kalangan
sahabat Nabi yang senior. Pada saat itu, kelompok Syiah masih merupakan kelompok minoritas
dalam umat Islam, dan konflik antara kelompok Syiah dan Sunni masih terus berlanjut.

Sejarah Syiah

Sejarah awal Syiah dapat dilacak kembali ke masa kepemimpinan Umar bin Khattab,
khalifah kedua dalam Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad. Pada masa pemerintahannya, ia
menunjuk sejumlah gubernur untuk mengelola wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan oleh umat
Islam. Namun, kebijakan pemerintahannya mengundang kritik dari kalangan Syiah yang
mempercayai hak keturunan Nabi Muhammad untuk memimpin umat. Pada masa pemerintahan
khalifah Utsman bin Affan, konflik antara Syiah dan Sunni semakin memanas. Utsman bin Affan
dituduh memberikan jabatan penting dalam pemerintahan kepada keluarganya sendiri, sementara
kelompok Syiah merasa bahwa mereka tidak dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan. Hal
ini memicu terjadinya pemberontakan terhadap Utsman bin Affan yang berujung pada
pembunuhan khalifah pada tahun 656 Masehi.
Setelah pembunuhan Utsman bin Affan, kelompok Syiah dan Sunni saling berkonflik
dalam menentukan siapa yang berhak menjadi khalifah berikutnya. Kelompok Syiah
menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Nabi Muhammad, harus menjadi
khalifah, sementara Sunni memilih Umar bin Khattab sebagai khalifah berikutnya. Akhirnya,
setelah terjadinya perang saudara antara kelompok Syiah dan Sunni, Ali bin Abi Thalib berhasil
menjadi khalifah keempat dalam Islam pada tahun 656 Masehi.

Namun, kepemimpinan Ali sebagai khalifah tidak berlangsung lama. Pada tahun 661
Masehi, ia dibunuh oleh pemberontak yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintahannya.
Setelah kematian Ali, pemerintahan Islam beralih ke tangan dinasti Umayyah, yang merupakan
dinasti kekhalifahan Sunni.

Sejarah Syiah mencakup banyak peristiwa penting, seperti konflik-konflik dengan


penguasa Sunni, perang saudara antara kelompok-kelompok Syiah, serta usaha-usaha untuk
mempertahankan keyakinan dan praktik keagamaan mereka. Beberapa peristiwa penting dalam
sejarah Syiah adalah:

Perpecahan awal: Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perpecahan antara Sunni
dan Syiah bermula setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 656 M. Perpecahan
ini terkait dengan siapa yang seharusnya menjadi pemimpin umat Islam setelah kematian Nabi
Muhammad SAW. Para pengikut Syiah meyakini bahwa kepemimpinan seharusnya diberikan
kepada Ali bin Abi Thalib, sedangkan Sunni meyakini bahwa pemimpin umat seharusnya dipilih
dari kalangan sahabat Nabi Muhammad yang terbaik.

Pertempuran Karbala: Pada tahun 680 M, Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad dan
seorang pemimpin Syiah yang dianggap oleh pengikutnya sebagai imam ketiga, dibunuh oleh
pasukan penguasa Umayyah di Karbala, Irak. Peristiwa ini sangat bersejarah dalam sejarah
Syiah, karena menjadi simbol keteguhan dan pengorbanan dalam mempertahankan keyakinan
dan memperjuangkan keadilan.

Dinasti Safawi di Iran: Pada abad ke-16 M, dinasti Safawi berhasil mengambil alih
kekuasaan di Iran dan mempromosikan Syiah sebagai agama resmi negara. Selama masa
kekuasaan mereka, Syiah berkembang pesat di Iran dan menjadi ciri khas budaya dan masyarakat
Iran hingga saat ini.
Revolusi Islam Iran: Pada tahun 1979, Syiah kembali menjadi sorotan dunia ketika terjadi
Revolusi Islam di Iran yang dipimpin oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini. Revolusi ini
menggulingkan pemerintahan Shah Iran yang didukung Barat dan membawa Syiah ke panggung
dunia sebagai kekuatan politik dan agama yang berpengaruh.

Selain peristiwa-peristiwa tersebut, Syiah juga mengalami perubahan dan perkembangan


dalam pandangan keagamaan dan praktik keagamaan mereka seiring berjalannya waktu.
Beberapa aliran Syiah, seperti Ismailiah dan Zaidiah, hampir tidak dikenal lagi di dunia modern,
sedangkan aliran Imamiah merupakan aliran utama dalam Syiah yang memiliki banyak pengikut
di Iran, Irak, Lebanon, dan Yaman.

Pandangan teologis Syiah juga berkembang seiring berjalannya waktu dan melalui
diskusi dan perdebatan di antara para ulama Syiah. Salah satu hal yang membedakan pandangan
Syiah dengan Sunni adalah konsep imamah, yaitu kepemimpinan spiritual yang dipercayai hanya
dimiliki oleh keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, putri Nabi Muhammad.

Syiah juga memiliki pandangan yang berbeda dalam interpretasi beberapa ayat Al-Quran,
terutama yang berkaitan dengan kepemimpinan dan keabsahan pemimpin umat Islam. Selain itu,
Syiah juga memiliki praktik keagamaan yang unik, seperti ziarah ke makam para imam Syiah,
puasa Asyura, dan beberapa ritual lainnya. Meskipun Syiah dan Sunni memiliki perbedaan dalam
pandangan teologis dan praktik keagamaan, keduanya tetap memiliki banyak persamaan dalam
aqidah, moralitas, dan praktik ibadah. Keduanya mengakui keesaan Allah SWT, keberadaan
Nabi Muhammad SAW sebagai rasul terakhir, dan pentingnya ibadah, seperti shalat, zakat,
puasa, dan haji.

Seiring perkembangan zaman dan globalisasi, hubungan antara Syiah dan Sunni terus
berkembang dan bergeser dari konflik ke dialog dan kerjasama. Banyak upaya telah dilakukan
oleh tokoh-tokoh agama dan negara untuk meningkatkan pemahaman dan toleransi antara kedua
aliran Islam ini.Namun, di beberapa negara, terutama di Timur Tengah, konflik antara Syiah dan
Sunni masih menjadi masalah yang serius. Beberapa faktor yang memperburuk situasi ini antara
lain kepentingan politik, ekonomi, dan etnis, serta propaganda dan radikalisasi yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok ekstremis.
Di Iran, Syiah merupakan agama mayoritas dan diakui sebagai agama resmi negara.
Namun, di negara-negara lain, terutama di negara-negara dengan mayoritas Sunni, seperti Saudi
Arabia, Bahrain, dan Pakistan, Syiah sering mengalami diskriminasi dan penganiayaan.

Selain itu, munculnya kelompok-kelompok militan seperti Hizbullah di Lebanon, Hashd


Al-Shaabi di Irak, dan Houthi di Yaman yang dianggap beraliran Syiah oleh pihak Sunni, turut
memperburuk hubungan antara kedua aliran ini.

Dalam konteks global, konflik antara Syiah dan Sunni juga memiliki dampak di luar
Timur Tengah. Perseteruan antara Iran (yang dianggap sebagai negara Syiah terbesar) dan Arab
Saudi (yang dianggap sebagai negara Sunni terbesar) turut memengaruhi stabilitas di kawasan
Teluk, serta mengganggu ketertiban dunia internasional.

Namun, di sisi lain, upaya-upaya untuk meningkatkan dialog dan toleransi antara kedua
aliran terus dilakukan. Banyak tokoh agama dan politik dari kedua aliran yang berbicara untuk
mempromosikan kerjasama dan persahabatan, serta menekankan pentingnya menghormati
perbedaan dan membangun kedamaian.

Kesimpulan

Syiah adalah salah satu aliran Islam yang memiliki jumlah pengikut yang signifikan di
seluruh dunia. Syiah percaya bahwa hanya keturunan Ali bin Abi Thalib yang layak menjadi
pemimpin Muslim setelah Nabi Muhammad wafat. Hal ini berbeda dengan aliran Sunni yang
memilih pemimpin melalui pemilihan atau syura. Syiah juga memiliki keyakinan tambahan
seperti konsep imamah dan keyakinan dalam keberadaan dua belas Imam yang terpilih secara
ilahi. Aliran Syiah juga memiliki sub-aliran seperti Zaidi, Ismaili, dan Ja’fari.Meskipun Syiah
dan Sunni mempunyai perbedaan dalam hal keyakinan dan praktek, namun kedua aliran ini
masih memiliki banyak kesamaan. Kedua aliran ini sama-sama mempercayai satu Tuhan yang
sama, mengimani Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dan mempercayai kitab suci Al-Quran.

Konflik antara Syiah dan Sunni masih terus terjadi dan menyebabkan ketegangan di
beberapa wilayah di Timur Tengah dan Asia Selatan. Upaya-upaya telah dilakukan untuk
memperbaiki hubungan antara kedua aliran ini, termasuk upaya dialog dan kerjasama antara
kelompok-kelompok agama yang berbeda, dukungan dari para pemimpin politik dan agama,
serta pendidikan dan dukungan dari masyarakat sipil dan negara-negara di seluruh dunia.
Dalam menghadapi konflik antara Syiah dan Sunni, penting untuk membangun
pemahaman yang baik, menghormati perbedaan, dan mempromosikan dialog dan toleransi.
Dengan begitu, kita dapat membantu menciptakan dunia yang lebih damai dan harmonis bagi
semua orang, tanpa terkecuali.

You might also like