Professional Documents
Culture Documents
Disusun untuk memenuhi tugas stase Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis
Pembimbing Akademik : Ns. Reni Sulung Utami, S.Kep., M.Sc
Ns. Dody Setyawan, S.Kep., M.Kep
Pembimbing Klinik :
Disusun Oleh :
Agung Pamuji Nugroho
Susmiyati
Naela Zulfa
DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG, 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Oksigen dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan. Tujuan utama
pengaturan pernafasan ialah mensuplai kebutuhan oksigen yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan tubuh, misalnya kebutuhan saat melakukan latihan fisik,
infeksi, atau masa kehamilan (Potter & Perry, 2006).
Oksigen merupakan kebutuhan dasar paling penting dalam kehidupan
manusia. Dalam tubuh, oksigen berperan penting sebagai proses metabolisme
sel. Kekurangan oksigen akan menimbulkan dampak yang bermakna bagi tubuh,
salah satunya kematian. Karenanya, berbagai upaya perlu selalu dilakukan untuk
menjamin agar kebutuhan dasar ini terpenuhi dengan baik. Dalam
pelaksanaannya, pemenuhan kebutuhan dasar tersebut masuk kedalam bidang
keperawatan. Setiap perawat mampu memenuhi manifestasi tingkat pemenuhan
oksigen pada pasiennya serta mengatasi berbagai masalah yang terkait dengan
pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada manusia ( Mubarak, 2008).
Pemenuhan kebutuhan oksigen akan terganggu apabila fungsi-fungsi dari
sistem pernapasan terganggu. Empiema menjadi salah satu faktor penyebab
terjadinya kondisi abnormal pada paru sehingga terjadi gangguan pada
pemenuhan kebutuhan oksigen. Penumpukan nanah pada rongga pleura
menyebabkan tidak mampunya paru berkembang dengan maksimal. Kondisi
seperti ini menyebabkan terjadinya ketidakefektifan pola napas.
Ketidakefektifan pola napas berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan
oksigen dalam tubuh. Apabila fungsi-fungsi dalam sistem pernapasan terganggu,
maka proses dalam penyediaan kebutuhan oksigen akan terganggu (Asmadi,
2012).
Ketidakefektifan pola napas adalah inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak
memberikan ventilasi yang adekuat. Penegakan dengan diagnosa ini ditandai
dengan adanya sesak napas, peningkatan respiratory rate, dan adanya bunyi
nafas tambahan dalam paru-paru (NANDA, 2018).
Perawat harus mampu memberikan tindakan yang sesuai dengan kondisi
pasien, tindakan yang tepat adalah dengan memenuhi kebutuahan oksigen dan
mengurangi gejala sesak yang dirasakan pasien. Intervensi keperawatan yang
bisa diberikan adalah dengan memberikan posisi semi fowler untuk membantu
pengembangan dada, monitoring cairan dari water shied drainase, dan
memberikan oksigen sesuai dengan saran dokter (Nursing Intervention
Classification).
B. TUJUAN PENULISAN
Tujuan Umum :
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif
dengan masalah ketidakefektifan pola napas.
Tujuan Khusus :
1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian primer, sekunder dan
pemeriksaan penunjang.
2. Mahasiswa mampu mengidentifikasi diagnosa keperawatan dan menetapkan
prioritas diagnosa.
3. Mahasiswa mampu menyusun rencana intervensi untuk menyelesaiakan
masalah ketidakefektifan pola napas.
4. Mahasiswa mampu mengimplementasi dan mengevaluasi intervensi
keperawatan yang diberikan dalam menyelesaikan masalah ketidakefektifan
pola napas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Ketidakefektifan pola nafas merupakan inspirasi dan atau ekspirasi yang
tidak memberikan ventilasi yang cukup (NANDA, 2018). Pola nafas tidak efektif
merupakan suatu kondisi tidak adekuatnya ventilasi yang disebabkan perubahan
pola napas (Somantri, 2007). Keadaan dimana pola inhalasi dan ekshalasi
individu tidak memungkinkan pengembangan atau pengosongan paru yang
adekuat (Allen, 2009). Sehingga dapat disimpulkan pola nafas yang tidak efektif
dapat menyebabkan ventilasi (inspirasi dan atau ekspirasi) tidak adekuat.
B. Batasan Karakteristik
1. Bradipnea
2. Dispnea
3. Fase ekspirasi memanjang
4. Ortopnea
5. Penggunaan otot bantu nafas
6. Penggunaan posisi tiga titik
7. Peningkatan diameter anterior dan posterior
8. Penurunan kapasitas vital
9. Penurunan tekanan ekspirasi
10. Penurunan tekanan inspirasi
11. Penurunan ventilasi semenit
12. Pernafasan bibir
13. Pernafasan cuping hidung
14. Perubahan ekskursi dada
15. Pola nafas tidak abnormal
16. Takipnea
(NANDA, 2018).
C. Faktor-faktor yang Berhubungan (NANDA, 2018).
1. Cidera medula spinalis
Medula spinalis merupakan bagian susunan syaraf pusat yang terletak di
dalam kanalis vertebralis dan menjulur daru foramen magnum ke bagian
atas region lumbalis. Cedera medula spinalis dapat terjadi karena trauma
ekstensi fiksasi singat yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai
menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis dnegan quadriplegia.
Bentuk cedera dapat berupa fleksi-rotasi, dislokasi maupun dislokasi
fraktur. Cedera ini dapat mengakibatkan iskemia pada medula spinalis
sehingga terjadi ketidakefektifan pola nafas (Batticaca, 2008).
2. Deformitas dinding dada, deformitas tulang
Deformitas merupakan kelainan atau bentuk trauma yang terjadi sehingga
menyebabkan adanya bentuk abnormal dari bagian tubuh itu sendiri.
Adanya deformitas tulang dan deformitas dinding dada memungkinkan
untuk memicu ketidakefektifan pola nafas karena terjadinya abnormalitas
pada sistem pernafasan.
3. Disfungsi neuromuskular, gangguan muskuloskeletal, gangguan neurologis
Disfungsi neuromuskular, gangguan muskuloskeletal maupun gangguan
neurologis yang berhubungan dengan organ-organ yang menjalankan sistem
pernafasan dapat memicu terjadinya pola nafas yang tidak efektif (Batticaca,
2008).
4. Hiperventilasi
Hiperventilasi adalah suatu episoda yang ditandai dengan adanya hyperpnea
berupa pernafasan yang cepat dan biasanya dangkal, yang diikuti dengan
sensasi subyektif berupa rasa takut atau panik, serta adanya bermacam-
macam keluhan fisik. Hiperventilasi merupakan ventilasi ang lebih besar
dari pada jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan CO2.
Hiperventilasi dapat dilihat dari tekanan parsial CO2 arteri atau PaCO2
yang menunjukkan nilai rendah dari angka normal (40 mmHg) (Indrawanto,
2015).
5. Keletihan otot pernafasan
Keletihan otot pernafasan dapat terjadi karena kelemahan otot, kelumpuhan
otot, berkurangnya fungsi mekanis otot maupun kelainan pada otot.
Penelitian yang dilakukan oleh Monod Scherrer pada otot diafragma yang
mengalami kelelahan menyimpulkan bahwa kelelahan yang terjadi dan
berkembang pada otot bergantung pada jumlah energi yang tersimpan dalam
otot, kecepatan pemasokan energi dan pemakaian otot yang tepat. Jika
kemampuan dinding thoraks atau paru untuk mengembang mengalami
penurunan sedangkan tahanan pada saluran pernafasan meningkat maka
tenaga yang diperlukan oleh otot pernafasa untuk memberikan perubahan
volume serta tenaga yang diperlukan kerja pernafasan juga akan meningkat
(Muttaqin, 2008).
6. Obesitas
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya obstruktif sleep
apnea, sehingga menyebabkan terjadinya risiko pola nafas yang tidak efektif
(Cahaya, 2014).
7. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
Ekspansi paru merupakan pengembangan paru-paru yang terjadi pada
proses pernafasan. Kesulitan dalam melakukan espansi paru menyebabkan
terganggunya siste pernafasan sehingga pasien tidak dapat bernafas secara
maksimal.
8. Sindrom hipoventilasi
Hipoventilasi merupakan suatu penurunan frekuensi ventilasi yang berkaitan
dengan metabolisme yang sedang berlangsung. Berkebalikan dengan
hiperventilasi, hipoventilasi dapat dilihat dari peningkatan PCO2 yang
melebihi angka normal (Muttaqin, 2008).
D. Manifestasi Klinis
a. Mayor (harus ada)
1. Perubahan pada nadi (frekuensi, irama, kualitas)
2. Perubahan dalam frekuensi atau pola pernapasan (dari nilai normal)
Intoleransi Aktifitas
Kelemahan
Ketidakefektifan Pola
Napas Penurunan suplay O2
Efusi Pleura
TINJAUAN KASUS
A. PENGKAJIAN
Meassured 370C
pH 7.435 - 7.37-7.46 H
pCO2 33,3 mmHg
PO2 163,8 mmHg 83-105
H
Calculated temp 38,5 C
FiO2 35,0 %
pH(T) 7,413 - 7.37-7.46
PCO2(T) 35,5 mmHg 35-48
PO2(T) 172,6 mmHg 83-108 H
HCO3- 22,6 mmol/L 22-29
TCO2 23,6 mmol/L 23-27
BEecf -1,9 mmol/L
BE(B) -0,6 mmol/L (-2)-(+3)
SO2c 99,4 % 94%-98% H
A-aDO2 34,5 mmHg
RI 0,2 -
Tanggal 20 Desember 2019
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Interpretasi
HEMATOLOGI
Hematologi Paket
KIMIA KLINIK
Asam laktat 2,09 mmol/L 0,4-2,0 H
Albumin 2,8 g/dL 3,4-5,0 L
Ureum 62 mg/dL 15-39 H
Kreatinin 2,4 mg/dL 0,6-1,3 H
Magnesiun 0,82 mmol/L 0,74-0,99
Calcium 1,8 mmol/L 2,12-2,52 L
Elektrolit
Natrium 145 mmol/L 136-145
Kalium 4,8 mmol/L 3,5-5,0
chlorida 115 mmol/L 95-105 H
b) Pemeriksaan hasil rontgen
Pemeriksaan MSCT Abdomen dengan kontras
Tanggal : 15 Desember 2019
Hasil Pemeriksaan
Klinis : Trauma tumpul abdomen
Kesan :
- Ruptur lien AAST grade V disertai hematoperitonium
- Tidak tampak kontras mengisi sebagian besar ginjal kiri dan tidak
mengisi vena renalis kiri dari hilus ke bagian distal DD/ renal injury
AAST grade IV (Penurunan fungsi ginjal kiri ec proses kronis)
- Hepatomegaly (ukuran kurang lebih 17,8 cm)
- Irregularitas dan penurunan densitas parenkim pada segmen 2 hepar
disertai hematoperitonium pada periheptik curiga laserasi
- Infiltrat pada segmen 9/10 paru kanan kiri disertai efusi pleura dupleks
- Fraktur pada costa posterior 9 kiri dan costa lateral 10 kiri
Pemeriksaan X Foto Thorax AP Supine
Tanggal : 16 Desember 2019
Hasil Pemeriksaan
Klinis : post laparatomi nefrektomi
Kesan :
- ET terpasang dengan ujung distal setinggi corpus vertebra
- Cvc terpasang, dari arah subclavia kiri dengan ujung distal pada
paracertebra kiri setinggi corpus vertebra
- Chest tube terpasang dengan ujung distal hemithorax kiri setinggi sic 7
posterior kiri
- Cor sulit dievaluasi
- Pulmo tak tampak infiltrat
- Efusi pleura kiri
Pemeriksaan X Foto Thorax AP Semierect
Tanggal : 19 Desember 2019
Hasil Pemeriksaan
Klinis : post laparatomi
Kesan :
- Bentuk dan letak jantung normal
- Pulmo tak tampak infiltrat
- Efusi pleura kiri berkurang
- Perubahan hilus kanan DD/limfdenopati, vasikuler
7. Terapi Medis
C. TINDAKAN KEPERAWATAN
Nama Klien : Ny. S
No. Rekam Medik : C79XXXX
Ruang Rawat : Ruang ICU
21/12/2019 2 Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Monitor TTV (TD, nadi, suhu, status
selama 3 x 24 jam risiko penurunan perfusi pernapasan) setiap 1 jam sekali
jaringan jantung klien dapat teratasi dengan 2. Monitor tanda dan gejala penurunan perfusi
kriteria hasil : (disritmia, takikardi, takipnea, dan penurunan
curah jantung)
1. Tekanan darah sistolik dan diastolik
3. Berkolaborasi dengan tim dokter dalam
dalam batas normal yaitu 120-80
pemberian obat yaitu norepinefrin, dobutamin,
mmHg
cairan RL, dan NaCl.
2. Nilai MAP klien dalam batas normal
yaitu 100
3. Rekaman EKG : irama sinus reguler
4. Nadi klien dalam batas normal 60-
100x/menit
D. IMPLEMENTASI
Nama Klien : Ny. S
No. Rekam Medik : C73XXXX
Ruang Rawat : Ruang ICU
14.20 WIB 2 Melakukan personal hygiene S : klien mengatakan sudah sehat dan ingin segera
07/02/2019
pulang
O : klien terlihat sudah membaik dari sebelumnya,
dapat bergerak dan merubah posisi tanpa sesak nafas
14.55 WIB 1 Mengaustultasi suara napas S:-
O: bunyi napas ronkhi pada paru kiri, irama teratur
15.00 WIB 1, 2 Memonitor hemodinamik S:-
O: GCS E4M6V5, kesadaran composmentis, TD
142/72 mmHg, MAP 87, HR 86 x/menit, RR 26
x/menit,SaO2 100%, suhu 36,50C
15.30 WIB 1 Memposisikan klien semifowler S:-
O: klien terlihat lebih nyaman dari sebelumnya
16.05 WIB 2 Membantu klien untuk minum S : -
susu O : susu masuk 150 cc
17.00 1 Memonitor hemodinamik S:-
WIB O: GCS E4M6V5, kesadaran composmentis, TD
136/93 mmHg, MAP 104, HR 98 x/menit, RR 20
x/menit, SaO2 100%, suhu 38,50C
Ketidakefektifan pola napas ditandai dengan adanya sesak napas atau dispnea,
peningkatan respiratory rate (RR), retraksi dinding dada, suara nafas tambahan, dan tanda-
tanda lain yang menunjang (NANDA, 2018).
Pada pasien dengan permasalahan pada pola napas perlu diberikan beberapa
intervensi yaitu posisi semi-fowler, pemenuhan kebutuhan oksigen yang adekuat, dan
pemantauan status hemodinamik. Posisi semi fowler merupakan posisi yang nyaman
pada pasien dengan permasalahan napas. Posisi tersebut dapat mendorong inspirasi
dengan maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi di sisi paru yang tidak
efektif (Doenges, Marry, Alice, 2014). Posisi semi-fowler 30° memiliki efek positif,
hal tersebut didukung oleh penelitian El-Moaty yang menunjukkan efek positif pada
hemodinamik seperti denyut nadi, laju pernapasan, tekanan darah, CVP, tekanan
darah arteri rata-rata (MAP) dan nilai gas darah arteri (SaO2, PaO2 dan PaCo2) (El-
Moaty, Naglaa, Asmaa, 2017). Penelitian lain juga mengungkapkan bahwa posisi
semi Fowler terbuti lebih efektif dalam meningkatkan volume tidal dan oksigenasi
pada pasien ARDS (Shah, Anjan, Nilan, 2012).
Pemberian bantuan oksigen dapat membantu pasien untuk mengurangi beban
pernapasan, mencegah distress pernapasan dan sianosis yang berhubungan dengan
hipoksia (Doenges, Marry, Alice, 2014). Pada pasien kasus keloalaan pasien diberikan
intervensi kolaborasi dengan terapi oksigenasi dengan masker non rebreathing mask.
Non Rebreathing Mask (NRM) merupakan suatu alat yang digunakan untuk terapi
oksigen dengan prinsip kerja aliran udar ekspirasi dan inpirasi dari alat hanya
mengalir satu arah keluar saat ekspirasi. Saat inspirasi udara luar tidak dapat masuk ke
dalam alat sedangkan saat ekspirasi udara CO yang tinggi dapat dibuang. Aliran
oksigen yang dapat diberikan menggunakan alat ini adalah 10-15 L/menit, dengan
konsentrasi FiO yang mampu dicapai sebanyak 80-95%. Hal ini memungkinkan
karena pada NRM terdapat kantong reservoar yang mampu menampung oksigen.
Pada alat ini juga terdapat katup yang menghalangi bercampurnya aliran oksigen
dengan udara lingkungan dan ekspirasi, sehingga memungkinkan untuk pemberian
aliran oksigen yang lebih tinggi (Jhon, 2003).
Pemantauan status hemodinamik dan status respirasi pasien dilakukan sebagai
intervensi. Status hemodinamik dapat sebagai indikator adanya perburukan kondisi
atau keberhasilan intervensi yang telah diberikan(Doenges, Marry, Alice, 2014).
Perubahan tanda-tanda vital dan distress pernapasan dapat menunjukkan adanya syok
karena hipoksia. Penanganan yang cepat pada penurunan kondisi dapat meningkatkan
keberhasilan tindakan kegawatan napas.
Pada masalah intoleransi aktivitas pasien diberikan intervensi berupa terapi
aktivitas dan pendampingan dalam perawatan diri. Tindakan ini diberikan untuk
memenuhi kebutuhan dasar pasien dan membantu meningkatkan kemandirian
(Alliegod & Tomy, 2014). Terapi aktivitas ini merujuk pada teori self care dari
Deothora Orem, dimana efektif diberikan kepada pasien dengan masalah intoleransi
aktivitas (Risca, Felicia, 2017) .
Pada masalah resiko infeksi pasien diberikan intervensi berupa kontrol
terhadap infeksi dan monitoring pada tube yang terpasang pada pasien. Monitor luka
post WSD dan melihat ada atau tidaknya tanda-tanda infeksi. Membersihkan luka
dengan prinsip steril mampu menjaga luka dari infeksi lokal.
Pelaksaan intervensi pada pasien secara keseluruhan sudah sesuai antara teori
dengan praktik di lahan rumah sakit. Hal yang perlu ditingkatkan sebagai intervensi
pada pasien dengan masalah pola napas yang tidak efektif yaitu dengan meningkatkan
kenyamanan pasien saat menerima terapi oksigenasi. Pasien merasa kurang nyaman
akan penggunaan nasal kanul di hidung, sehingga perlu dimonitor pula efek dari
pemasangan nasal kanul agar tidak terjadi iritasi pada mukosa hidung (Kurniawati,
2017).
Pengelolaan pasien dengan ketidakefektifan pola napas mengacu pada aspek
etik dan legal keperawatan, segala intervensi yang diberikan sesuai dengan tanda dan
gejala yang didapat dari pasien. Pengontrolan pasien juga dilakukan 1 x 24 jam oleh
perawat, sehingga meminimalisir terjadinya kondisi yang lebih buruk. Pasien yang
terpasang ventilator mekanik juga dimonitor status respirasinya agar jika sudah terjadi
peningkatan, cepat dilakukan perubahan mode ventilator sesuai dengan kebutuhan
pasien. Hal ini memenuhi aspek dari non-maleficiense.
Prinsip autonomi juga diterapakan baik pada pasien saat terpasang ventilator
(verbal ett) ataupun sudah tidak lagi terpasang ventilator. Semua dilakukan dengan
meminta izin pada pasien. Aspek etik dan legal sudah terpenuhi dengan baik pada
pengelolaan pasien.
BAB V
REFLEKSI DIRI
A. PERSONAL KNOWLEDGE
1. Monitoring cairan dari WSD merupakan hal yang penting untuk melihat
perkembangan kondisi pada pasien dengan efusi pleura.
2. Posisi semi fowler merupakan intervensi keperawatan yang efektif dalam
mengurangi sesak napas dan memberikan kenyamanan pada pasien dengan
gangguan pada paru-paru.
B. ESTETIKA
Nilai estetika yang diberikan kepada pasien adalah dengan memberikan sensitifitas
yang tinggi kepada pasien. Yaitu bertanya tentang kenyamanan setelah intervensi
diberikan, apabila masih belum dirasakan, mahasiswa berpikir kritis dan kreatif dalam
memodifikasi intervensi sesuai dengan kebutuhan pasien. Seperti pada kasus, pada
awalnya pasien terpasang masker NRM, setelah kondisi membaik, pasien dipasang
nasal kanul. Pasien merasa kurang nyaman, lalu perawat membantu memasangkan
nasal kanul hingga pasien merasa nyaman serta menjelaskan pemberian O2 melalui
nasal kanul. Setelah itu pasien nyaman dan merasa puas.
C. ETIKA
1. Tetap meminta persetujuan pasien sebelum melakukan intervensi keperawatan.
2. Tidak memberikan intervensi yang bisa membahayakan pasien.
3. Memberikan penjelasan kepada pasien mengenai tujuan dari intervensi yang
diberikan.
4. Memberikan intervensi yang memiliki manfaat paling baik untuk pasien.
DAFTAR PUSTAKA