You are on page 1of 56

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Berdasar Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah serta
Undang-undang No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Daerah sebagai perwujudan Tap MPR RI No XV / MPR /
1998 tentang Otonomi Daerah, maka diharapkan Pemerintah Daerah lebih berperan
aktif dan responsive dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pembangunan di semua
sektor, termasuk di dalamnya sektor pertambangan. Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta mempunyai beberapa bahan galian industri yang cukup potensial,
khususnya bahan galian golongan C yang sering disebut bahan galian industri yang
tersebar di empat kabupaten, yaitu Sleman, Bantul, Gunung Kidul dan Kulon Progo.
Beberapa potensi bahan galain tersebut berdasarkan jumlah cadangan, kualitas, nilai
kegunaan serta peluang pasar yang mempunyai prospek untuk dilakukan pengusahaan
lebih lanjut. Dengan adanya otonomi daerah, pengusahaan dari bahan galian tersebut
dapat meningkatkan pendapatan asli daerah yang dapat mendorong kesejahteraan
masyarakat di sekitar daerah bahan galian tersebut.
Dalam memanfaatkan bahan galian tersebut dibutuhkan kegiatan penambangan,
dan dalam melakukan kegiatan penambangan diusahakan mendapat keuntungan yang
sebesar - besarnya. Selain mendapat keuntungan , untuk dapat mengoptimalkan
produksi diperlukan tingkat keamanan yang memadai termasuk di dalamnya keamanan
dalam melakukan penggalian. Keamanan dalam melakukan penggalian pada tambang
terbuka, salah satunya ditentukan oleh dimensi jenjang dan geometri lereng
penambangan yang digunakan. Secara umum dalam menentukan dimensi jenjang,
ditentukan berdasar karakterisasi dari bahan galian tersebut, sehingga didapat gambaran
dimensi jenjang dan geometri lereng secara umum yang mempunyai tingkat keamanan
yang memadai.

1
2

1.2 Tujuan Studi


Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan karakterisasi bahan galian di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang akan ditampilkan dalam kelas-kelas massa
batuan.
Di dalam kegiatan penambangan material yang dijumpai tidak hanya tanah,
melainkan seringkali harus berhadapan dengan massa batuan dengan berbagai sifat dan
struktur geologinya. Oleh karena itu digunakan metode RMRS dalam menentukan
geometri lereng yang akan diterapkan.

1.3. Perumusan Permasalahan


Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana menentukan kelas massa batuan
berdasar parameter-parameter geomekanik,yaitu kuat tekan, kualitas batuan, spasi
bidang kekar, orientasi bidang kekar, kondisi kekar dan kondisi air tanah. Diharapkan
dapat memberikan gambaran tentang sistem penambangan dan dimensi jenjang yang
dapat diterapkan dengan faktor keamanan yang memadai sesuai dengan kelas-kelas
massa batuan tersebut.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian secara garis besar dibagi menjadi dua buah kegiatan
yaitu :
1. Penelitian (survey)
a. Penelitian terhadap data-data yang sudah ada
b. Penelitian lapangan
Di dalam penelitian lapangan data-data yang di ambil adalah :
1). Kualitas batuan (Rock Quality Designation)
2). Tingkat pelapukan batuan
3). Spasi dari bidang kekar (diskontinuitas)
4). Orientasi jurus dan kemiringan bidang kekar
5). Separasi dari kekar
6). Kemenerusan dari kekar
7). Kondisi air tanah
c. Pengujian kuat tekan batuan di laboratorium
2. Perhitungan dan analisis data
3

1.5. Prosedur Penelitian


Prosedur penelitian yang telah dilakukan adalah :
1. Studi literatur
2. Orientasi dan observasi lapangan
3. Menentukan daerah yang dapat mewakili kondisi dari jenis bahan galian yang
sama, sehingga dapat diambil sebagai conto.
4. Melengkapi lembar kerja data input klasifikasi sesuai dengan keenam parameter
yang diperlukan.
5. Pengujian kuat tekan uniaksial bahan galian di laboratorium.
6. Menentukan bobot (Rating) dari enam parameter klasifikasi dan nilai RMR
secara keseluruhan. Dengan mengetahui nilai RMR dapat ditentukan klasifikasi
massa batuan.

1.6. Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan kemudahan dalam kegiatan perencanaan dan perancangan dengan
memberikan data kuantitatif yang diperlukan untuk pemecahan persoalan teknik.
Sehingga dicapai tingkat keamanan yang memadai guna mencapai produksi
yang optimal.
2. Memberikan dasar yang baik untuk mengerti karakteristik dari massa batuan.
3. Memberikan dasar umum untuk komunikasi yang efektif untuk semua orang
yang terlibat dengan persoalan geomekanik.
4

BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1. Keadaan Umum


2.1.1.Lokasi dan Kesampaian Daerah
Lokasi penelitian di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Kabupaten Gunungkidul,
Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman kecuali kota
Yogyakarta. Dan secara keseluruhan terbagi atas 78 kecamatan, dan 438 desa. Berikut
adalah rincian lengkap pembagian wilayah administratif tersebut.

Tabel 2.1.
Jumlah kecamatan, desa dan luas wilayah tiap kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta

Jumlah Jumlah Luas Wilayah


No Kabupaten/Kota
Kecamatan Desa Luas (km2) (%)
1. Gunungkidul 18 144 1.485,36 46,63
2. Bantul 17 75 506,85 15,91
3. Sleman 17 86 574,82 18,04
4 Kulonprogo 12 88 586,27 18,40
5 Yogyakarta 14 45 32,52 1,02
Jumlah 68 393 3.185,80 100
Sumber : BPS Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Secara geografis, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di antara : 7º


33‘ sampai dengan 8º12’ Lintang Selatan dan 110º.00’ sampai dengan 110º50’
Bujur Timur dan secara administrasi batas-batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Wonogiri.
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo.
2.1.2.Topografi
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai topografi yang bervariasi dari
dataran rendah, perbukitan/pegunungan sampai dataran tinggi. Berdasarkan klasifikasi

4
5

tingkat kemiringan tanah di Propinsi Daerah istimewa Yogyakarta dibagi menjadi 4


(empat) tingkat yaitu:
1. 0º sampai 2º meliputi 38,42 % (122.396 ha)
2. 2º sampai 15º meliputi 24,09 % ( 76.746 ha)
3. 15º sampai 40º meliputi 25,31 % ( 80.617 ha)
4. 40º ke atas meliputi 12,18 % ( 38.821 ha).

Tabel 2. 2
Pembagian daerah berdasarkan ketinggian tanah dari permukaan laut
di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

No. Ketinggian (m) Luas (Ha) Persen (%)


1. 0 - 7 13.582 4,26
2. > 7 - 25 20.441 6,42
3. > 25 - 50 15.671 4,92
4. > 50 - 100 42.767 13,42
5. > 100 - 500 208.671 65,50
6. > 500 - 1.000 15. 953 5,01
7. > 1.000 1.495 0,47
Sumber : BPS Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

2.1.3.Iklim
Iklim merupakan salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan produksi.
Lebih jauh, perlu dicermati perkembangan unusur-unsur penting iklim, yang meliputi
curah hujan, temperatur dan kelembaban, yang perkembangan kondisinya adalah
sebagai berikut.
2.1.3.1 Curah Hujan
Curah hujan tahun 2002 dari bulan Januari sampai dengan Desember adalah
2.169,4 mm. Dibandingkan dengan tahun 2001 maka curah hujan tahun 2002 lebih
banyak atau dengan kata lain tahun 2002 lebih basah dengan 7 bulan basah dan 5 bulan
kering. Selanjutnya dapat dilihat rincian sebagai berikut:
6

Tabel 2.3.
Curah Hujan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1998-2002

No. Bulan Curah hujan (mm)


1998 1999 2000 2001 2002
1 Januari 198 269 315 336 530,40
2 Februari 376 297,3 425 230 456,20
3 Maret 379 648,6 314 360 465,60
4 April 253 211,69 301 146 119,90
5 Mei 72 80,76 100 48 97,10
6 Juni 212 8,42 49 81 -
7 Juli 168 12,5 2 29 -
8 Agustus 27 1,07 27 2 1,10
9 September 325 46 172 2 -
10 Oktober 325 46 172 261 1,50
11 November 389 160,57 515 229 262,30
12 Desember 398 208,98 179 110 235,30
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (SP.V)

2.1.3.2. Hari Hujan


Apabila dilakukan perbandingan selama kondisi hujan 5 tahun terakhir, ternyata
bahwa tahun 2001 memperlihatkan keadaan yang lebih kering dari tahun lainnya baik
ditinjau dari curah hujan maupun hari hujannya. Lebih jelas dapat dilihat pada Tabel
2.4.

2.2. Kondisi Geologi

2.2.1.Stratigrafi.
Wilayah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, secara geologi tercakup dalam
Mendala Pegunungan Kulonprogo untuk bagian Barat. Bagian Utara – Tengah
merupakan Mendala Gunungapi Merapi, dan bagian Timur – Selatan adalah anggota
Kulonprogo dan Pegunungan Selatan Jawa Timur. Mendala Pegunungan Kulonprogo
dan Pegunungan Selatan, tersusun oleh batuan berumur Tersier. Sedangkan batuan
berumur Kuarter sebagai penyusun bagian wilayah Mendala Gunungapi Merapi, dan
pantai selatan dari Congot sampai dengan Parangtritis.

Tabel 2.4.
7

Jumlah Hari Hujan Tahun 1998 – 2002 Propinsi DIY

No. Bulan Hari hujan (hari)


1998 1999 2000 2001 2002
1 Januari 10 15 16 17 24
2 Februari 12 15 17 12 22
3 Maret 18 16 16 15 14
4 April 13 10 13 8 17
5 Mei 5 5 7 3 4
6 Juni 10 1 3 6 -
7 Juli 9 1 1 2 -
8 Agustus 2 - 1 1 1
9 September 4 - 1 1 -
10 Oktober 12 2 9 12 1
11 November 14 7 15 10 12
12 Desember 16 9 9 7 17
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (SP.V)

Sebagian besar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta mulai dari Barat sampai
dengan garis bujur sekitar Playen, tercakup dalam peta geologi bersistem, skala
1:100.000, lembar Yogyakarta (Rahardjo, dkk, 1992). Selebihnya di sebelah Timur
sampai perbatasan wilayah, tercakup dalam peta geologi lembar Surakarta – Giritontro
(Surono, dkk, 1992). Berikut akan diuraikan macam-macam batuan pada setiap formasi
batuan penyusun wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, secara berurutan dari Tersier
(tertua) sampai dengan Kuarter (termuda).

2.2.1.1. Stratigrafi Mendala Pegunungan Kulonprogo.


Bagian Barat peta geologi lembar Yogyakarta antara lain terdiri dari batuan
berumur Tersier. Batuan tersebut tersusun oleh 4 formasi, dengan urutan dari tua ke
muda adalah formasi : Nanggulan, Andesit Tuda, Jonggrangan, dan Sentolo. Formasi
Nanggulan terdiri dari batuan : batupasir dengan sisipan lignit, napal dan batugamping,
batupasir dan tuf. Ketebalan formasi ini diperkirakan 300 m, dengan umur Eosen
Tengah – Oligosen Atas. Sebaran formasi batuan ini di wilayah Kabupaten Kulonprogo,
dan Sleman (Gunung Wungkal – Kecamatan Godean).
Formasi Andesit Tua terdiri dari batuan : breksi andesit, tuf lapili, aglomerat, dan
sisipan lava andesit. Umur formasi ini diperkirakan Oligosen Atas – Miosen Bawah,
8

dengan ketabalan seluruhnya 660 m. Sebaran formasi batuan ini di wilayah Kabupaten
Kulonprogo, dan Sleman (Kompleks Gunung Berjo – Wungkal dan sekitar, Kecamatan
Godean dan Seyegan).
Formasi Jongggrangan di bagian bawah terdiri dari konglomerat, napal tufan, dan
batupasir gampingan dengan sisipan lignit. Ke arah atas batuan berubah menjadi
batugamping berlapis dan batugamping koral. Umur batuan ini Miosen Bawah, dan di
bagian bawah saling berjemari dengan Formasi Sentolo. Ketebalan diperkirakan 250 m.
Proses diagenesa pada Formasi Jonggrangan menghasilkan sistem karst, dicirikan oleh
bentukan kerucut-kerucut karst di sekitar Jonggrangan.
Formasi Sentolo terdiri dari batugamping dan batupasir napalan. Bagian bawah
terdiri dari kolongmerat alas yang ditutupi oleh napal tufan dengan sisipan tuf gelas.
Batuan ke arah atas berangsur-angsur berubah menjadi batugamping berlapis baik.
Umur formasi batuan ini di wilayah Miosen Awal – Pliosen, dan perkiraan tebal 950 m.
Sebaran formasi batuan ini di wilayah Kabupaten Kulonprogo, Sleman, dan Bantul.

2.2.1.2. Stratigrafi Mendala Pegunungan Selatan Jawa Timur.


Asosiasi batuan tertua adalah Formasi Kebo – Butak. Batuan penyusunnya di
bagian bawah terdiri dari: batupasir, batu lanau, batu lempung, serpih, tuf, aglomerat,
sedangkan di bagian atas terdiri dari perselingan batupasir, batulempung, dan lapisan
tipis tuf asam. Sebaran formasi ini di wilayah Kabupaten Gunungkidul potensial
menghasilkan zeolit.
Formasi Semilir dengan batuan penyusun terdiri dari: tuf, breksi, batuapung –
dasitan, batupasir tufan, dan serpih. Sebagian dari batuan tersebut mengalami alterasi
hidorothermal akibat dari proses intrusi dan magmatisme yang menghasilkan bahan:
breksi pumis / breksi batuapung, batupasir tufan, zeolit, batupecah: andesit, dasit, dorit,
maupun basalt, serta emas. Formasi semilir dijumpai dalam wilayah Kabupaten
Gunungkidul, dan Bantul.
Asosiasi batuan di atas Formasi Semilir adalah Formasi Nglanggran. Sebaran
formasi batuan ini dijumpai di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Formasi Nglanggran
utamanya tersusun oleh breksi volkanik, aglomerat, lava andesit – basaltik, dan tuf serta
perselingan batupasir dengan breksi. Bersumber dari batuan tersebut, dihasilkan bahan
batupecah jenis andesit, mikrodiorit, dan diorit.
9

Formasi Sambipitu menumpang di atas Formasi Nglanggran. Sebaran formasi


batuan ini dijumpai di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Batuan penyusun terdiri dari
utamanya perselingan batupasir kasar, lensa breksi andesit, dengan kandungan klastika
lempung dan karbon. Dari batuan penyusun formasi ini, saat sekarang kurang prospek
sebagai penghasil bahan galian golongan C.
Formasi Oyo berumur lebih muda dibanding dengan Formasi Sambitu. Sebaran
formasi batuan ini dijumpai di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Asosiasi batuan
penyusun Formasi Oyo adalah napal tufan, tuf andesitan, dan batugamping
konglomeratan. Batuan formasi ini penghasil bahan batukapur, batugamping tufan, batu
giring, tegel (untuk lantai, atau dinding rumah), dan berpeluang pula terbentuk bentonit.
Formasi Wonosari secara stratigrafi berumur lebih muda dibanding dengan
Formasi Oyo. Daerah sebaran dalam wilayah Kabupaten Gunungkidul, di Gunung
Seribu. Batuan penyusunnya terdiri dari batugamping, batugamping napalan – tufan,
batugamping konglomerat, batupasir tufan, dan batu lanau. Bersumber dari batuan
tersebut, sangat potensial dihasilkan bahan galian bedhes maupun keprus (istilah
setempat), kalsit ( watu lintang), fosfat guano secara lokal, dan bentonit. Pada wilayah
Kabupaten Gunungkidul, eksploitasi/pengusahaan batukapur intensif dilakukan.
Formasi Kepek menumpang di atas Formasi Wonosari. Daerah sebaran formasi ini
dalam wilayah Kabupaten Gunungkidul, di Plato / Ledok / Cekungan Wonosari
(Wonosari Basin). Batuan penyusun terdiri dari perselingan batugamping berlapis
dengan napal, dan konglomerat batugamping mengandung Balanus. Bersumber dari
batuan tersebut, sangat potensial dihasilkan bahan galian batugamping, tegel watublirik
(sudah laku dipasaran), dan blok-blok batunapal untuk bahan baku kerajinan ukir.
Aluvium merupakan endapan berumur Holosen/Resen. Sebaran endapan ini
meluas, di sekitar aliran sungai Progo (Kabupaten Kulonprogo, Sleman, dan Bantul),
dan Sungai Opak (Kabupaten Sleman, dan Bantul). Endapan terdiri dari: lempung,
lumpur, lanau, pasir, kerikil, kerakal, dan berangkal. Endapan aluvial berpotensi besar
penghasil bahan galian tanah-liat yang banyak terbentuk di dataran limpah banjir, dan
sirtu yang pembentukannya dinamis di alur-alur sungai.

2.2.1.3. Mendala Gunungapi Merapi.


10

Asosiasi batuan penyusun satuan ini umumnya merupakan endapan lahar dari
Gunungapi Merapi yang masih aktif sampai sekarang. Komposisi batuan adalah lava
andesitik, terdiri dari ukuran butir bongkah, pasir, dan lanau. Pembentukan satuan ini
diduga sejak subkala Plistosen Atas. Mulai dari wilayah Kota Yogyakarta, dan ke
Selatan, satuan ini sukar dibedakan dengan aluvium. Sebaran satuan ini luas, lebih dari
95% wilayah Kabupaten Sleman, sebagian kecil wilayah di sekitar aliran Sungai Progo
(Kecamatan Nanggulan, dan Dekso – Kabupaten Kulonprogo). Selain itu satuan
merupakan pembentuk 100% wilayah Kota Yogyakarta, dan ± 60% dari wilayah
Kabupaten Bantul. Satuan lahar Merapi berpotensi besar sebagai penghasil sirtu kualitas
terbaik, dikarenakan ukuran butir secara umum merupakan pasir kasar (diameter 1 - 2
mm) dan tanpa mengandung bahan debu. Pemasaran bahan galian tersebut sampai Pulau
Kalimantan.

2.2.2. Struktur Geologi


Bagian Barat Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam kerangka geologi regional
termasuk dalam kubah oblong (oblong dome) Kulonprogo. Memperhatikan ketepatan
wilayah ini dalam konteks kubah oblong, maka struktur perlapisan daerah penelitian
mempunyai kemiringan umum searah (monoklin) ke Timur. Selain struktur tersebut,
berkembang struktur geologi sesar-sesar relatif berarah Utara – Selatan, dan Barat –
Timur. Zona kubah ini berada dalam wilayah Kabupaten Sleman (Kompleks Gunung
Berjo – Wungkal dan sekitar, Kecamatan Godean dan Sayegan), Kabupaten Kulonprogo
dan Bantul.
Zona Solo merupakan zona depresi tengah Pulau Jawa. Zona ini menempati
bagian tengah wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Struktur geologi pada zona ini
tidak teramati. Hal tersebut dikarenakan sudah tertutup oleh gunungapi bentukan baru
yang berumur Kuarter, yaitu Gunungapi Merapi. Zona Solo berada dalam wilayah
Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulonprogo dan Bantul.
Pegunungan Selatan secara lebih rinci terdiri dari Sistem karst Gunung Sewu,
cekungan Wonosari, gawir (escarpment) Pegunungan Selatan / Lajur Baturagung, dan
Perbukitan terisoler di kawasan Zona Solo Asosiasi jenis batuan penyusun pegunungan
ini adalah batuan beku umumnya sebagainya. Batuan penyusun tersebut hampir
seluruhnya berumur Tersier. Pola struktur geologi di zona ini berarah utama Barat –
11

Timur dan Utara – Selatan, arah Timur Laut – Barat Daya relatif lebih sedikit. Secara
keseluruhan Pegunungan Selatan merupakan suatu monoklin, disebabkan kemiringan
lapisan batuan ke satu arah, yaitu ke Selatan. Wilayah sebaran pegunungan ini
mencakup daerah mulai dari sekitar Pantai Selatan Pulau Jawa menerus ke Utara sampai
di gawir pinggir Utara yaitu Lajur Baturagung. Pegunungan ini tercakup dalam wilayah
Kabupaten Gunungkidul.
2.3. Geomorfologi
Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, secara geologi tercakup dalam
Mendala Pegunungan Kulonprogo, Mendala Gunungapi Merapi, dan Mendala
Pegunungan Selatan Jawa Timur. Selain itu terbentuk kekhasan rendahan Pantai Selatan
dari Congot sampai dengan Parangtritis.
Memperhatikan kriteria tersebut di atas, kemudian kenampakan morfologi,
kelerengan, dan proses eksogenik yang dominan bekerja, maka wilayah propinsi ini
secara geomorfologi dikelompokkan menjadi enam satuan bentuk lahan (landform).
Keenam satuan tersebut dalah bentuk lahan struktural, denudasional, solusional,
volkanik, fluvial dan eolian.
Berikut ini akan diuraikan secara rinci masing-masing satuan bentuk lahan,
dengan acuhan pembahasan mencakup wilayah sebaran, kenampakan bentuk lahan,
proses penyebab utama (origin), kontrol batuan penyusun, lereng topografi, kekhasan
morfologi, dan lain-lain.

2.3.1.Satuan Bentuk Lahan Struktural.


Sebaran satuan bentuk lahan struktural terdapat di bagian barat, dan timur wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada bagian barat, di wilayah Kabupaten Kulonprogo –
Kecamatan: Girimulyo, Sentolo, Pengasih, dan Nanggulan; dan Kabupaten Bantul di
Kecamatan Pandak, Pajangan, Kasihan, dan Sedayu. Kenampakan bentuk lahan
pegunungan terbentuk di kecamatan Girimulyo, daerah gunung Gajah, gunung
Jonggrangan dan sekitar, tersusun oleh batuan dari formasi Andesit Tuf, dan Formasi
Jonggrangan. Proses penyebab utama adalah pembentukan kubah oblong Kulonprogo
maupun perlipatan (folding), dan kawasan ini merupakan tepi Timur dari kubah
tersebut.
12

Lereng topografi secara umum landai sampai dengan agak curam, utamanya pada
bentuk lahan perbukitan rendah, dengan kemiringn lereng berkisar 8-25 %. Pada
kawasan pegunungan, kemiringan lereng umum 25 - 40 % dan secara setempat
mencapai lebih 40 %. Kekhasan morfologi dari satuan bentuk lahan ini yaitu kesan
kenampakan permukaan yang halus (smooth) pada perbukitan rendah, dan permukaan
kasar pada pegunungan yang sebagian diantaranya menghasilkan kerucut karst seperti di
gunung Jonggrangan dan sekitar. Kerucut karst terbentuk oleh proses solusional, dan
proses ini berkembang juga sampai membentuk Gua Slarong. Lain-lain sebagai penciri
satuan ini adalah fungsi lahan sebagai kawasan lindung untuk daerah pegunungan, dan
kawasan penyangga & budidaya (lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman) untuk
perbukitan rendah.
Pada bagian timur, seluruhnya terdapat di wilayah Kabupaten Gunungkidul,
utamanya di sebelah utara aliran sungai Oyo sampai batas wilayah DIY, dan sedikit di
selatan alirannya. Kenampakan bentuk lahan berupa perbukitan struktural tersolusi,
gawir, perbukitan struktural, dan pegunungan struktural. Batuan penyusun satuan
bentuk lahan ini merupakan asosiasi dari formasi Kobo-Butak, Semilir, Nglanggaran,
Sambipitu, dan Oyo. Proses penyebab utama adalah pembentukan perlipatan
pegunungan selatan diikuti dengan pensesaran (faulting), sehingga dihasilkan
pegunungan blok (blocked mountain). Lereng topografi secara umum curam, dengan
kemiringan lereng umum 25 – 40% dan di sekitar aliran sungai Oyo lereng agak curam
utamanya dengan kemiringan lereng berkisar 8 – 25 %. Pada kawasan pegunungan
mencapai lebih 40 %. Kekhasan morfologi dari satuan bentuk lahan ini yaitu kesan
umum permukaan kasar, dan kenampakan permukaan halus dan berkembang proses
solusional, terbentuk di sekitar Sungai Oyo.
Proses solusional tersebut disebabkan oleh adanya lapisan-lapisan betugmping
pada formasi Oyo. Lain-lain sebagai penciri satuan ini adalah fungsi lahan sebagai
kawasan lindung untuk daerah pegunungan, dan kawasan penyangga dan budidaya
(lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman) untuk perbukitan. Kenampakan
menonjol yang lain pada satuan ini adalah lahan kritis.
13

2.3.2.Satuan Bentuk Lahan Denudasional.


Sebaran satuan bentuk lahan denudasional seluruhnya terdapat di bagian barat
Daerah istimewa Yogyakarta di wilayah kecamatan Pengasih, Kokap, Girimulyo, dan
Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo. Kenampakan berupa pegunungan, perbukitan, bukit
terisolasi, dan lereng kaki koluvial. Lereng topografi secara dominan (≥ 60% luas
sebaran) sangat curam, dengan kemiringan lereng > 40 %, kemudian sekitar masing-
masing 20 % luas sebaran termasuk kelas curam dengan kemiringan lereng 25 – 40%,
dan kelas agak curam dengan kemiringan lereng berkisar 8 – 25%. Kekhasan moroflogi
dari satuan bentuk lahan ini yaitu kesan umum permukaannya kasar. Lain-lain sebagai
penciri satuan ini adalah fungsinya sebagai kawasan lindung untuk daerah pegunungan,
dan kawasan penyangga dan budidaya perkebunan yang dominan, dan selebihnya untuk
lahan pertanian maupun pemukiman untuk perbukitan.

2.3.3.Satuan Bentuk Lahan Solusional


Sebaran umum bentuk lahan solusional seluruhnya terdapat di bagian Tenggara
Daerah Istimewa Yogyakarta di kawasan Gunung Sewu, dan Ledok Wonosari –
Kabupaten Gunungkidul. Kenampakan bentuk lahan berupa dataran karst di Ledok
Wonosari, dan perbukitan karst di Gunung Sewu. Dataran karst Ledok Wonosari
termasuk dalam kelas lereng landai, dengan kemiringan lereng ≤ 15%. Kawasan
Gunung Sewu termasuk dalam kelas agak curam-curam, dengan kemiringan lereng 15-
40%. Kekhasan morfologi dari satuan bentuk lahan ini deretan bukit-bukit kerucut, baik
yang tampak soliter atau sambung-menyambung sebagai ekokrast, gua karst beserta
asesori sebagai endokarst, dan plato karst yang tampak sebagai ledokan diantara bukit
kerucut di sekitar. Lain-lain sebagai penciri satuan ini adalah fungsinya sebagai
kawasan penyangga di kawasan bukit kerucut.Pada kawasan tersebut sebagian
dimanfaatkan sebagai lokasi penambangan, dan realita sebagian telah sukses
melaksanakan penghijauan. Ledok Wonosari difungsikan sebagai pemukiman
perkotaan maupun pedesaan, dan selebihnya untuk pertanian.

2.3.4.Satuan Bentuk Lahan Volkanik.


Sebaran satuan bentuk lahan seluruhnya terdapat di bagian Utara – Tengah –
Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta, mencakup sebagian besar wilayah Kabupaten
14

Sleman, Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan sedikit Kabupaten Kulonprogo di


sekitar Sungai Tinalah. Kenampakan bentuk lahan berupa vulkan Gunungapi Merapi,
terinci dalam kerucut gunungapi, lereng gunungapi, dataran fluvial gunungapi, dan
dataran aluvial gunungapi. Rincian tersebut berarah dari Utara ke Selatan. Kawasan
sebaran satuan bentuk lahan ini mempunyai kemiringan lereng sangat bervariasi, mulai
kurang dari 8 %, yaitu pada dataran fluvial gunungapi, sampai lebih 40 % yaitu pada
kerucut gunungapi. Kekhasan morfologi dari satuan bentuk lahan vulkanik adalah
keaktifan vulkan Merapi, gunung tersebut merupakan sumber air bagi wilayah di
selatannya. Lain-lain sebagai penciri satuan ini adalah fungsinya sebagai kawasan
lindung, penyangga, dan budidaya, dengan kalimat lain daerah sebaran satuan ini
berfungsi lengkap.

2.3.5.Satuan Bentuk Lahan Fluvial.


Sebaran satuan bentuk lahn fluvial utamanya berada pada bagian Selatan, bagian
hilir aliran Sungai Progo maupun Sungai Opak. Secara administrasi wilayah, tercakup
dalam Kabupaten Kulonprogo (Kecamatan: Temon, Wates, Panjatan, dan Galur), dan
Kabupaten Bantul (Kecamatan: Srandakan, Sanden, dn Kretek). Kenampakan bentuk
lahan seluruhnya berupa dataran dengan kemiringan aluvial, dataran aluvial pantai,
tanggul alam, dataran banjir dan teras sungai, dan lembah koluvial/aluvial. Kekhasan
morfologi dari satuan bentuk lahan ini adalah sifatnya yang datar, sehingga merupakan
sasaran banjir tahunan dari Sungai Progo atau Sungai Opak. Lain-lain sebagai penciri
satuan fluvial yaitu fungsinya sebagai kawasan budidaya, baik sebagai permukiman
maupun lahan pertanian seperti persawahan dan tegalan.

2.3.6.Satuan Bentuk Lahan Eolian


Sebaran satuan bentuk lahan eolian berada pada kawasan Pantai Selatan,
rendahan. Secara administrasi wilayah, tercakup dalam sebagian kecil wilayah
Kabupaten Kulonprogo (Kecamatan: Temon, Wates, Panjatan, dan Galur) bagian
Selatan, dan sebagian kecil pula dari wilayah Kabupaten Bantul (Kecamatan:
Srandakan, Sanden, dan Kretek) bagian selatan, meliputi daerah dari Congot sampai
dengan Parangtritis. Kenampakan bentuk lahan seluruhnya berupa dataran, dan
15

bergelombang, dengan kemiringn kurang dari 8 %. Rincian satuan bentuk lahan eolian
berurutan dari selatan ke utara dalah gumuk pasir (sand dunes), dan bentang pantai.
Kekhasan morfologi dari satuan bentuk lahan ini adalah gumuk pasirnya tersebut.
Hal ini disebabkan tidak semua Pantai Selatan Pulau Jawa yang mirip dengan Pantai
Congot – Parangtritis, sampai terbentuk gumuk pasir. Lebih menarik lagi gumuk pasir
Parangtritis dapat dirinci menjadi tiga jenis, yaitu gumukpasir memanjang
(longitudional dunes), gumuk pasir bulan sabit (barchan dunes), dan gumukpsir
melintang (transversal dumes). Lain-lain sebagai permukiman, tegalan, dan daerah
tujuan wisata dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

2.4. Bahan Galian di Daerah Istimewa Yogyakarta


Bahan galian yang terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat diempat
kabupaten, yaitu Gunung Kidul, Bantul, Kulon Progo dan Sleman. Agar lebih mudah
disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini.
Tabel 2.5.
Bahan Galian di Daerah Istimewa Yogyakarta
No Kabupaten Nama Bahan Galian
1 Gunung Kidul Batu gamping, Zeolit, Napal, Andesit, Breksi Batu apung,
Kaolin, Feldspar
2 Bantul Breksi Batu apung, Pasir Kali, Tanah Liat
3 Sleman Lempung, Batu gamping, Pasir Kali, Andesit, Breksi Batu
apung
4 Kulon Progo Tras, Andesit, Batu gamping, Marmer, Bentonit, Emas
16

BAB III
KARAKTERISASI BAHAN GALIAN BERDASARKAN NILAI
RMR SISTEM

3.1. Prinsip Klasifikasi Massa Batuan2)


Sifat massa batuan tergantung dari sifat batuan utuh (intact rock) dan keadaan
massa batuan berupa pelapukan, kandungan air tanah serta keadaan rekahan dan retakan
(joint dan fissure).
Pada pengklasifikasian massa batuan, data-data kekuatan serta perilaku massa
batuan sangat diperlukan. Namun untuk mengetahui tepatnya data-data massa batuan
diseluruh daerah penelitian adalah suatu hal yang sulit. Maka yang mungkin adalah
menetahui secara umum, dengan membagi batuan kedalam beberapa kelas.
Tujuan klasifikasi massa batuan adalah :
1. Membagi massa batuan ke dalam kelompok yang mempunyai kelakuan yang
sama.
2. Memberikan dasar yang baik untuk mengerti karakteristik dari massa batuan.
3. Memudahkan perencanaan dan perancangan struktur di dalam batuan dengan
memberikan data kuantitatif yang diperlukan untuk pemecahan persoalan teknik.
4. Memberikan dasar umum untuk komunikasi yang efektif untuk semua orang
yang terlibat dengan persoalan “geomekanik”.
Untuk mencapai tujuan, klasifikasi tersebut antara lain harus :
a. Sederhana dan mudah dimengerti.
b. Berdasarkan pada perameter yang dapat diukur dan dapat ditentukan
dengan cepat dan mudah di lapangan.
Ada dua klasifikasi massa batuan yang paling sering digunakan, yaitu klasifikasi
geomekanika atau Rock Mass Rating System (RMR) yang dikembangkan oleh
Bieniawski (1973) dan klasifikasi massa batuan Q-System yang dikembangkan di
Norwegia oleh Barton, Lien dan Lunde dari Norwegian Geotechnical Institute pada
tahun 1974. Kedua klasifikasi ini disarankan untuk digunakan bersama-sama untuk
suatu lokasi proyek mengingat masing-masing system mempunyai kelebihan tersendiri.

16
17

Sistem RMR lebih sederhana dibandingkan dengan sistem-Q, tetapi karena


sistem RMR ini dikembangkan untuk terowongan yang tidak begitu dalam pada hard
jointed rock dan faktor tegangan insitu tidak dimasukkan, maka pada batuan yang
sangat lemah dimana dihasilkan kondisi squeezing, swelling atau flowing, sistem RMR
sangat sulit digunakan.

3.2. Macam-macam Sistem Klasifikasi Massa Batuan1)


Dalam rekayasa batuan, sistem klasifikasi utama yang pertama diusulkan oleh
Terzaghi (1946) untuk penerowongan dengan penyangga baja. Ini merupakan sistem
klasifikasi praktis pertama yang digunakan di Amerika Utara dan dominan selama lebih
dari 35 tahun. Setelah itu mulai banyak sistem klasifikasi baru yang diusulkan dan
dimodifikasi. Sampai saat ini terdapat tidak kurang dari 11 sistem klasifikasi utama dan
18 perluasannya. Dari sistem klasifikasi yang ada tersebut, delapan diantaranya yang
cukup dikenal dan sering dibahas dari aspek penerapannya, yaitu :
1) Rock Load (Terzaghi, USA, 1946), untuk penerowongan dengan penyangga baja
(sekarang hanya sebagai topik bahasan teoritis saja).
2) Stand-up time (Lauffer, Austria, 1958), untuk penerowongan.
3) New Austrian Tunneling Method (NATM, Pacher et. al., Austria, 1964), untuk
penerowongan.
4) Rock Quality Designation (Deere et. al., USA, 1967), untuk core logging dan
penerowongan.
5) Rock Structure Rating (Wickham et. al, USA, 1972), untuk penerowongan.
6) Rock Mass Rating System (Bieniawski, Afrika Selatan, 1973), untuk
penerowongan, tambang, lereng, fondasi).
7) Q-system (Barton, Lien, Lunde, Norway, 1974), untuk penerowongan, ruang
bawah tanah.
8) Rock Mass Index (Palmstrom, Norway, 1995), untuk rock engineering, evaluasi
penyangga, masukan dalam mekanika batuan, komunikasi.
18

3.3. Klasifikasi Geomekanik Massa Batuan (RMR Sistem)2)


Klasifikasi geomekanik disebut juga “The Rock Mass Rating System” (RMR),
dikenal juga dengan nama sistem CSIR ( Commenwealth Scientific and Industrial
Research ).
Dipilihnya sistem RMR dalam studi ini karena sistem tersebut menggunakan
parameter-perameter yang mencakup secara luas serta penggunaannya relatif mudah.
Klasifikasi ini menggunakan enam parameter yang dapat diukur di lapangan atau
diambil dari data bor inti. Kemudian setiap nilai rentang pada tiap parameter diberi
bobot (rating) dalam bentuk angka. Selanjutnya bobot dari enam parameter tersebut
dijumlahkan. Dari bobot total dapat ditentukan kelas batuannya ( lihat tabel 3.1 ).
Keenam parameter tersebut adalah :

3.3.1. Kekeuatan batuan utuh ( intact rock strenght )


Kekuatan batuan utuh dapat diperoleh dari hasil pengujian dan dapat digunakan
berbagai alat Compression Machine , dan pada pengujian di laboratorium digunakan
alat Mesin Tekan Uniaksial.
Klasifikasi teknis batuan utuh menurut Deere dapat dilihat pada table 3.2.
Pembagian ini praktis dan mudah diingat karena dimulai dengan harga 1 Mpa, dimana
batuan dengan kekuatan ( UCS ) < 1 Mpa didefinisikan sebagai tanah (soil). Pembagian
selanjutnya menjadi lemah, sedang, atau kuat (5 katagori) menghilangkan keragu-
raguan dalam mengklasifikasikan batuan yang lapuk, jadi tidak hanya dibagi menjadi
lemah dan kuat saja.
Tabel 3.2
Klasifikasi Teknis Batuan Utuh Menurut Deere6)
Pemerian kekuatan UCS (MPa) Batuan
Sangat lemah 1 – 25 Kalk, batu garam
Lemah 25 – 50 Batubara, siltstone, sekis
Sedang 50 – 100 Batupasir, slate, shale
Kuat 100 – 200 Marmer, granit, gneiss
Sangat kuat > 200 Kwarsit, dolorit, gabro, basalt
19

3.3.2. Rock Quality Designation (RQD)


RQD adalah prosentasi hasil bor inti yang lebih panjang dari 10 cm terhadap
panjang keseluruhan hasil bor inti. RQD dapat dihitung dari percontoh core (inti) hasil
pemboran sebagai berikut:

RQD =

Sebagai acuan kualitas massa batuan dapat digunakan RQD yang diusulkan oleh Deere.
Secara praktisnya, RQD dapat ditentukan langsung di lapangan dengan cara mengambil
panjang dari massa batuan yang akan diukur (misal : 3 m) kemudian diukur jarak
rekahan  10 cm dibagi total panjang tersebut. Palmstrom (1982) mengusulkan apabila
percontoh core tidak ada, RQD dapat diperkirakan dari jumlah kekar per meter untuk
setiap set ditambah. RQD untuk massa batuan bebas lempung adalah :
RQD = 115 – 3,3 Jv
RQD = 100 untuk Jv < 4,5

Dimana :
Jv = “Volumetric Joint Count” = jumlah kekar per m3.
20

Tabel 3.1
Klasifikasi Geomekanik Massa Batuan
21

Kualitas massa batuan berdasarkan RQD dinyatakan dari sangat bagus sampai sangat
jelek untuk dapat dilihat pada tabel 3.3 sebagai berikut :

Tabel 3.3
Kualitas Massa Batuan Berdasarkan RQD6)
RQD (%) Kualitas
90 – 100 Sangat baik
75 – 90 Baik
50 – 75 Biasa
25 – 50 Jelek
<25 Sangat jelek

Gambar 3.1
Prosedur Perhitungan RQD
22

3.3.3. Spasi bidang kekar


Spasi bidang kekar adalah jarak yang diukur tegak lurus antara dua buah bidang
lemah misalnya, kekar, sesar, bidang perlapisan, dan lain sebagainya. Rekahan-rekahan
yang sejajar disebut set, sedangkan set-set yang saling berpotongan akan membentuk
joint set system. Spasi bidang kekar mempunyai peranan yang sangat penting dalam
penilaian struktur massa batuan. Kehadiran kekar-kekar akan mengurangi kekuatan
batuan. Jarak rekahan yang rapat dengan 3 atau lebih set yang saling berpotongan akan
membentuk blok-blok kecil sehingga mengurangi kekuatan batuan. Rekahan akan
mengurangi kuat geser batuan sehingga blok dapat jatuh. Klasifikasi spasi bidang kekar
menurut Deere didiskripsikan dari sangat lebar hingga sangat dekat, untuk lebih jelas
dapat dilihat pada tabel 3.4 di bawah ini :

Tabel 3.4
Klasifikasi Spasi Bidang Kekar6)
Diskripsi Spasi Keterangan
Diskontinuitas
Sangat lebar >3m Padat
Lebar 1,0 – 3 m Masif
Cukup dekat 0,3 – 1 m Blocky / seamy
Dekat 50 – 300 mm Pecah-pecah
Sangat dekat < 50 mm Hancur dan tersebar

3.3.4. Kondisi bidang kekar


Kondisi bidang kekar meliputi kekasaran dari bidang kekar (roughness),
separation, kemenerusan atau persistensi (persistence), pelapukan (weathering) batuan,
dan material pengisi.
a. Kekasaran (Roughness)
Kekasaran di permukaan bidang kekar berfungsi untuk mencegah
pergeseran sepanjang permukaan kekar. Macam-macam kekasaran adalah
sebagai berikut :
23

1). Sangat kasar (very rough)


Jika jenjang-jenjang yang terjadi di permukaan bidang kekar hampir
vertikal.
2). Kasar (rough)
Kekasaran dapat dilihat dengan jelas, dan jika diraba dengan tangan
terasa sangat abrasif.
3). Kekasaran rendah (slightly rough)
Kekasaran dipermukaan bidang kekar baru dapat diketahui dengan
jelas jika diraba dengan tangan.
4). Mulus (smooth)
5). Slickensided
b. “Separation”
Adalah jarak tegak lurus yang memisahkan batuan dinding dari suatu
rekahan yang terbuka. Rekahan diisi oleh material lain dapat digolongkan
sebagai separasi jika material pengisinya telah tercuci (hilang) secara lokal.
Separasi berkurang, kuat geser semakin kecil dikarenakan batuan akan saling
mengunci. Semakin lebar separasi maka kuat geser semakin besar. Separation
yang lebih dari 25 mm, sebaiknya didiskripsikan sebagai bidang kekar utama
(major discontinuity).
c. Persistensi (persistency)3)
Persistensi dari bidang kekar merupakan salah satu parameter dari massa
batuan yang paling penting dan paling susah ditentukan. Persistensi merupakan
sifat kemenerusan dari bidang kekar yang ditentukan dengan mengamati dan
mengukur panjang dari bidang kekar di massa batuan. Gambar 3.2
memperlihatkan persistensi dari beberapa set bidang kekar pada massa batuan.
24

Tabel 3.5
Diskripsi Dari Separasi
Deskripsi Jarak (mm)
Sangat rapat < 0,1
Permukaan tertutup Rapat 0,1 – 0,25
Sebagian terbuka 0,25 – 0,50
Terbuka 0,5 – 2,5
Permukaan bercelah Agak lebar 2,5 – 10
Lebar > 10
Sangat lebar 1 – 100
Permukaan terbuka lebar Sangat lebar sekali 100 – 1000
Goa-goa > 1000

Non-persistent

Persistent

Gambar 3.2
Persistensi Dari Beberapa Set Bidang Kekar Di Massa Batuan3)
25

Menurut ISRM (1987), persistensi bidang diskontinuitas diklasifikasikan dari sangat


rendah hingga sangat tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.6 seperti di
bawah ini :

Tabel 3.6
Klasifikasi Persistensi Dari Bidang Kekar3)
Diskripsi Panjang Kekar (m)
Persistensi sangat rendah <1
Persistensi rendah 1–3
Persistensi sedang 3 – 10
Persistensi tinggi 10 – 20
Persistensi sangat tinggi > 20

d. Pelapukan (weathering)
Di lapangan, untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dapat dilakukan
dengan pengamatan secara visual.
Berdasarkan pelapukannya batuan diklasifikasi oleh ISRM (1981)
sebagai berikut :
1). Batuan segar (unweathered / fresh rock)
2). Batuan terlapukan rendah (slightly weathered rock).
Pelapukan / pengotoran (discloration) mulai dari permukaan bidang kekar
terus berkembang ke dalam batuan sampai 20% dari spasi bidang kekar.
3). Batuan terlapukan sedang (moderately weathered rock)
Pelapukan berkembang dari bidang kekar ke dalam batuan sampai lebih
besar 20% dari spasi bidang kekar. Antara bidang kekar diisi oleh material
yang teralterasi.
4). Batuan terlapukan tinggi (highly weathered rock)
Pelapukan berkembang keseluruh permukaan batuan dan sebagian batuan
mudah hancur.
5). Batuan terlapukan sempurna (completely weatheredrock)
Batuan terlapukan secara total dan berubah ke kondisi yang mudah hancur.
26

e. Material Pengisi
Diantara dua buah bidang diskontinuitas biasanya diisi oleh material
seperti kalsit, khlorit, lempung, lanau, breksi, kuarsa dan pirit. Material pengisi
ini akan mempengaruhi kuat geser bidang kekar.

3.3.5. Kondisi Air Tanah


Kondisi air tanah dapat ditentukan dengan mengukur tekanan air yang keluar
dari kekar (joint water pressure) dan debit air dalam 10 meter panjang lereng. Atau
secara umum mudah dilakukan, yaitu dengan memperhatikan keadaan dari lereng
tersebut, sehingga diperoleh keadaan air di sekitar lereng adalah kering, lembab, basah,
menetes dan mengalir. Jika air tanah meningkat maka kuat geser juga akan meningkat
sehingga runtuhan akan lebih mudah terjadi. Pada batuan yang mudah mengalami
pengembangan volume, deformasi juga semakin mudah terjadi.

3.3.6. Orientasi Bidang Kekar


Orientasi jurus dan kemiringan dari bidang kekar mempengaruhi kestabilan dari
lereng seperti ditunjukkan pada tabel 3.1.
Setelah ke enam parameter tersebut ditentukan, nilai RMR dapat ditentukan
dengan cara menjumlahkan semua bobot dari ke enam parameter tersebut di atas (bobot
total). Dari bobot total tersebut dapat ditentukan klasifikasi sebuah massa batuan apakah
sangat baik, baik, sedang, jelek atau sangat jelek.
27

BAB IV
KARAKTERISASI BAHAN GALIAN DI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA

4.1. Kegiatan Penambangan


Daerah yang diamati dalam penelitian ini adalah Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta yang terdiri beberapa tambang bahan galian golongan C yang diusahakan
dengan sistem tambang kuari dengan membuat jenjang-jenjang. Dan dimensi dari
tambang-tambang tersebut berbeda sehingga akan diuraikan satu persatu, yaitu :

4.1.1. Penambangan di Kabupaten Kulon Progo


4.1.1.1. Penambangan Andesit
Di daerah ini belum dilakukan penambangan secara intensif, hanya dilakukan
pengambilan pada andesit yang tersingkap di permukaan dengan menggunakan
peralatan sederhana seperti linggis, palu, dan lain sebagainya.
4.1.1.2. Penambangan Bentonit
Sistem penambangan yang dilakukan adalah kuari dengan tinggi jenjang  5m,
dan lebar berm  3m. Peralatan yang digunakan merupakan peralatan tradisional, yaitu
linggis, palu, ganco, dan lain sebagainya.
4.1.1.3. Penambangan Batu Gamping Klastik
Sistem penambangan yang dilakukan adalah kuari dengan tinggi jenjang  6m
dan lebar berm  5m. Peralatan yang digunakan adalah peralatan tradisional yaitu
linggis, sekop, palu, dan lain sebagainya. Tetapi tidak semua dari penambangan tersebut
dilakukan dengan sistem penambangan berjenjang, ada sebagian yang dilakukan dengan
mengambil bagian yang dianggap berkualitas bagus yang akan membentuk goa yang
dapat mengakibatkan keruntuhan.
4.1.1.4. Penambangan Marmer
Marmer di Kecamatan Kalibawang belum dilakukan penambangan tetapi sudah
diadakan penelitian. Dari penelitian tersebut diketahui cadangan marmer sebesar
164.918,032 m3 dengan rancangan lebar jenjang minimum 4,5 m, panjang jenjang
minimum 18 m, tinggi jenjang 1 m dan kemiringan jenjang 90 o. Peralatan penambangan
yang direncanakan adalah peralatan sederhana yang terdiri dari palu dan ganco dengan
sistem pembajian.

27
28

4.1.2. Penambangan di Kabupaten Sleman


4.1.2.1. Penambangan Breksi Batu Apung
Daerah penambangan yang diamati adalah di Gunung Bangkel, Desa Jogotirto,
Berbah, Sleman. Sistem penambangan yang dilakukan adalah kuari dengan tinggi
jenjang  3m, lebar berm  4m dan tinggi bukit  52m. Peralatan yang digunakan
adalah peralatan tradisional, yaitu linggis, palu dan ganco.

4.1.3. Penambangan di Kabupaten Bantul


4.1.3.1. Penambangan Breksi Batu Apung
Daerah penambangan yang diamati adalah di Gunung Pring, Dusun Jambon,
Desa Bawuran, Kecamatan Pleret. Sistem penambangan yang dilakukan adalah kuari
dengan tinggi jenjang  3m, lebar berm  4m, tinggi lereng 10-15 m, dan tebal over
burden  1m. Peralatan yang digunakan adalah peralatan yang sederhana, seperti ganco,
palu dan linggis. Sedangkan untuk mengangkut dari front penambangan ke truk
menggunakan keranjang bambu untuk ukuran yang relatir kecil, tetapi untuk yang
berukuran relatif basar langsung dengan tangan.
4.1.3.2. Penambangan Batu Gamping Klastik
Daerah penambangan yang diamati adalah di Dusun Karang Rejo, Desa Girijati,
Kecamatan Kretek. Cara penambangan yang dilakukan dengan mengambil bahan
galian, tanpa membuat jenjang karena sifatnya yang mudah runtuh karena tidak
kompak. Banyak ditemui rongga dan bidang lemah yang banyak dan tidak beraturan
sehingga dimensi dari hasil bongkaran berukuran relatif kecil-kecil. Peralatan yang
digunakan juga sederhana, seperti palu, linggis, cangkul dan keranjang bambu.Tinggi
lereng berkisar 10 meter.

4.1.4. Penambangan di Kabupaten Gunung Kidul


4.1.4.1. Penambangan Breksi Batu Apung
Daerah penambangan yang diamati adalah di Dusun Gembyongan, Desa Ngoro-
oro, Kecamatan Patuk. Sistem penambangan adalah kuari dengan tinggi jenjang  2m,
lebar berm  4m, dan tinggi lereng  20 m. Peralatan yang digunakan dalam
penambangan merupakan peralatan sederhana seperti linggis, palu, ganco dan keranjang
bambu.
29

4.1.4.2. Penambangan Zeolit


Daerah penambangan yang diamati adalah di Dusun Mangli, Desa Hargomulya,
Kecamatan Gedang Sari. Sistem penambangan yang dilakukan adalah kuari dengan
membuat jenjang dengan tinggi jenjang  7 m, lebar berm 2 – 4 m, jumlah jenjang 7
buah, tebal over burden 0,5 m. Peralatan yang digunakan dalam penambangan
merupakan peralatan yang sederhana, seperti : ganco, linggis, palu dan keranjang.
4.1.4.3. Penambangan Napal
Daerah penambangan yang diamati adalah di Dusun Ndolo, Desa Njelo,
Kecamatan Semin. Sistem penambangan yang dilakukan adalah kuari dengan tinggi
jenjang 2 – 7 m, lebar berm 1 – 4 m, tinggi bukit  50 m, tebal over burden 0 – 0,5 m.
Peralatan yang digunakan adalah peralatan sederhana seperti : ganco, linggis dan palu.
Sedangkan pemotongan untuk pembentukan dimensi yang diinginkan oleh pasar
dilakukan di daerah penambangan dengan menggunakan gergaji manual.
4.1.4.4. Penambangan Feldspar
Daerah penambangan yang di amati adalah di Dusun Jetak, Desa Karangsari,
Kecamatan Semin. Penambangan dilakukan dengan tinggi jenjang  12m, lebar berm
 5 m, tinggi bukit  50 m. Peralatan yang digunakan dalam penambangan adalah
dengan menggunakan peralatan yang sederhana, seperti cangkul, gancu, linggis, dan
keranjang.
4.1.4.5. Penambangan Andesit
Daerah penambangan yang diamti di Kecamatan Gedangsari, sistem
penambangan yang dilakukan adalah kuari dengan tinggi jenjang  10 m, lebar berm 
4m. Peralatan penambangan yang digunakan adalah peralatan tradisional seperti ganco,
palu dan keranjang bambu.
4.1.4.7. Penambangan Batugamping
Daerah penambangan yang diamati adalah di Bedoyo, Kecamatan Ponjong.
Sistem penambangan yang dilakukan adalah kuari dengan tinggi jenjang  7m, lebar
berm  5m. Peralatan yang digunakan dalam penambangan sudah modern, seperti
penggunaan alat berat.
Untuk peralatan yang digunakan dalam kegiatan penambangan dan tinggi lereng
dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini.
30

Tabel 4.1.
Peralatan dan Tinggi Lereng Penambangan
No Lokasi Bahan Galian Peralatan Dimensi Jenjang
1 Clumprit,Samigaluh, Andesit Linggis,palu, ganco Tinggi : 5m
Kulon Progo Berm : 3m
2 Pengasih, Kulon Bentonit Linggis, palu, Tinggi : 5m
Progo ganco Berm : 3m
3 Wening, Pengasih, Batugamping Linggis, sekop, Tinggi : 6m
Kulon Progo ganco Berm : 5m
4 Kalibawang, Kulon Marmer Palu, linggis, Tinggi lereng :
Progo cangkul 10m
5 Gembyongan, Breksi Linggis, palu, Tinggi : 2m
Patuk, Gunung Batuapung ganco Berm : 4m
Kidul
6 Hargomulyo, Zeolit Linggis, palu, Tinggi : 7m
Gedangsari, Gunung ganco Berm : 2-4 m
Kidul
7 Njelo, Semin, Napal Linggis, palu, Tinggi : 2-7 m
Gunung Kidul ganco Berm : 1-4 m
8 Jetak, Karangsari, Feldspar Cangkul, linggis, Tinggi : 12 m
Semin, Gunung ganco, keranjang Berm : 5 m
Kidul
9 Bedoyo, Ponjong, Batugamping Cangkul, linggis, Tinggi : 7m
Gunung Kidul ganco Berm : 5m

4.2. Data Masukan


Data-data masukan yang digumakan untuk menentukan karakterisasi batuan
berdasar nilai RMR sistem adalah :
4.2.1. Kekuatan Batuan Utuh (Intact Rock Strength)
Kekuatan batuan diperoleh dengan mengambil percontoh dilapangan dan
melakukan uji kuat tekan di laboratorium Mekanika Batuan Jurusan Teknik
31

Pertambangan, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Pengambilan


percontoh di lakukan di tiga titik yang berbeda dan hasilnya diambil nilai rata-ratanya.
Urutan pengujian kuat tekan uniaksial sesudah dilakukan preparasi percontoh adalah
sebagai berikut :
1. Memasukkan percontoh pada alat uji kuat tekan uniaksial.
2. Memasang dial gauge pada kondisi sempurna, sehingga pembacaan awal
kedudukan dial gauge tetap dalam keadaan benar, yaitu 2 (dua) buah dial gauge
untuk mengukur perubahan pada arah lateral dan satu buah untuk mengukur
perubahan pada arah aksial.
3. Mengatur kedudukan jarum penunjuk besaran gaya yang bekerja pada
kedudukan awal.
4. Menghidupkan mesin dengan kedudukan piston pada kondisi belum bekerja.
5. Menggerakkan gagang kearah up.
6. Memutar pengatur kecepatan beban.
7. Mengatur dial gauge pada kedudukan nol setelah percontoh menyentuh plat
landasan atas.
8. Mengamati proses pembebanan, pencatatan yang dilakukan adalah pergerakan
deformasi lateral pada dua dial pengukur oleh dua orang, pencatatan dial
deformasi aksial oleh satu orang dan pencatatan jarum pembebanan aksial oleh
satu orang, serta satu orang operator.
9. Mengamati secara terus menerus proses pembebanan dengan teliti.
Menghentikan pembebanan setelah jarum hitam pembaca bergerak kembali ke
kedudukan nol yang menunjukkan percontoh mengalami keruntuhan. Jarum
merah adalah jejak pembebanan maksimum pada saat percontoh mengalami
keruntuhan.
10. Dengan demikian pengujian kuat tekan uniaksil sudah selesai, kemudian
dilakukan pengolahan untuk menentukan sifat-sifat mekanik.
Harga-harga uji kuat tekan batuan seperti terlihat pada tabel 4.1. Pada data
batuan yang diuji harga kuat tekan terendah adalah 2,94 MPa yaitu pada Breksi Batu
Apung (Patuk) dan nilai kuat tekan terbesar adalah 128, 28 MPa yaitu Andesit
(Pengasih). Data hasil pengujian kuat tekan tiap bahan galian dapat dilihat pada tabel
4.1.
32

4.2.2. Rock Quality Designation (RQD)


RQD ditentukan di lapangan tanpa melakukan pemboran inti karena
keterbatasan alat dan biaya. Tetapi, RQD secara mudah dapat dilakukan dengan
pendekatan rumus yang diusulkan oleh Deere (1968) dengan menggunakan scan line
sepanjang 3 meter diukur jarak antar kekar yang lebih dari 10 cm dan dijumlahkan.
Kemudian dibagi panjang scan line dikalikan 100%. Secara jelas dapat dilihat rumus
pada bab III. Pengukuran dilakukan pada 3 titik pengambilan data untuk mencari rata-
rata RQD massa batuan.
Data RQD batuan hasil perhitungan menunjukkan kualitas batuan biasa hingga
sangat baik dan hasil dari perhitungan RQD semua jenis batuan dapat dilihat pada tabel
4.2 di bawah ini :
Contoh perhitungan pada Breksi Batu Apung (Berbah) :

RQD =

RQD =

= 90,33 %

Tabel 4.1
Data Hasil Uji Kuat Tekan Batuan
33

4.2.3. Spasi Bidang Kekar


Spasi bidang kekar di lapangan diukur dengan menggunakan meteran. Jarak
yang diukur adalah jarak tegak lurus antara dua buah bidang kekar.
Spasi kekar yang ada di lapangan sangat beragam dan untuk menentukan
diambil spasi kekar yang umum terdapat di lokasi tersebut. Data pengukuran spasi kekar
menunjukkan jarak bidang ketidakmenerusan dari dekat hingga cukup dekat.Hasil
pengukuran yang lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 4.3.

4.2.4. Kondisi Bidang Kekar


Kondisi bidang kekar yang diamati di lapangan meliputi kekasaran dari bidang
kekar, separasi, persistensi, pelapukan batuan di bidang lemah, dan material
pengisi. Di sini akan di uraikan setiap lokasi penambangan, karena jenis bahan galian
berbeda-beda.

Bidang Kekar

Spasi Bidang Kekar

Bidang Kekar

Gambar 4.1
Spasi Bidang Kekar
34

Tabel 4.2
Data RQD Tiap Jenis Batuan

4.2.4.1. Penambangan Breksi Batu Apung di Kecamatan Berbah


a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus hingga agak kasar.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang ada maksimum 5 mm.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 1 – 3 m.
35

Tabel 4.3
Data Spasi Bidang Kekar

d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Material yang mengisi sela-sela diantara permukaan bidang-bidang kekar yang
ada sebagian besar adalah lempung.
4.2.4.2. Penambangan Breksi Batu Apung di Kecamatan Patuk
a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus hingga agak kasar.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang ada maksimum 20 mm, tetapi
umumnya berkisar antara 1 – 5 mm.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 1 – 3 m.
36

d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Material yang mengisi sela-sela diantara permukaan bidang-bidang kekar yang
ada sebagian besar adalah lempung.

4.2.4.3. Penambangan Breksi Batu Apung di Kecamatan Pleret


a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus hingga agak kasar.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang ada maksimum 10 mm, tetapi
umumnya berkisar antara 1 – 5 mm.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 1 – 2 m.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Material yang mengisi sela-sela diantara permukaan bidang-bidang kekar yang
ada sebagian besar adalah lempung. Tetapi ada sebagian yang tidak terisi oleh material
pengisi.

4.2.4.4. Penambangan Andesit di Kecamatan Samigaluh


a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus hingga agak kasar.
37

b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang ada maksimum 5 mm, tetapi
umumnya berkisar antara 1 – 4 mm.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 0,5 – 2 m.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan sedang (moderately
weathered rock).
e. Material Pengisi
Material yang mengisi sela-sela diantara permukaan bidang-bidang kekar yang
ada sebagian besar adalah lempung.

4.2.4.5. Penambangan Napal di Kecamatan Semin


a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang ada maksimum 2 mm.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi sangat
rendah dengan panjang kemenerusan kekar kurang dari 1 m.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (Slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Sebagian besar sela-sela antara bidang kekar tidak terisi oleh material pengisi.
38

4.2.4.6. Penambangan Zeolit di Kecamatan Gedangsari


a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus hingga agak kasar.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang ada maksimum 5 mm, tetapi
umumnya berkisar antara 1 – 5 mm.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 1 – 3 m.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan sedang (moderately
weathered rock).
e. Material Pengisi
Sebagian besar dari sela-sela antara bidang kekar tidak terisi oleh material
pengisi, hanya terlihat lapukan dari zeolit tersebut.
4.2.4.7. Penambangan Bentonit di Kecamatan Nanggulan
a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus hingga agak kasar.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang ada maksimum 2 mm, tetapi
umumnya berkisar antara 1 – 2 mm.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 1 – 3 m.
39

d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Sebagian besar dari sela-sela antara bidang kekar tidak terisi oleh material
pengisi.
4.2.4.8. Penambangan Feldspar di Kecamatan Semin
a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Tidak ada bukaan pada bahan galian yang diamati,
karena merupakan bidang perlapisan.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 2-4 m.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Tidak ditemukan material pengisi, karena tidak ada bukaan yang ditemukan pada
badan bahan galian.
4.2.4.9. Penambangan Batugamping di Kecamatan Pengasih
a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus hingga agak kasar.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang diamati berkisar 10 mm.
40

c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 1 – 2 m.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Sebagian besar dari sela-sela antara bidang kekar tidak terisi oleh material
pengisi.

4.2.4.10. Penambangan Batugamping di Kecamatan Ponjong


a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus hingga agak kasar.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang diamati berkisar 1 mm.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 1 – 2 m.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Sebagian besar dari sela-sela antara bidang kekar tidak terisi oleh material
pengisi.
41

4.2.4.11. Penambangan Batugamping di Kecamatan Kretek


a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya agak kasar hingga kasar.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang diamati berkisar 10-50 mm.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 1 – 3 m.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Sebagian besar dari sela-sela antara bidang kekar tidak terisi oleh material
pengisi.
4.2.4.12. Penambangan Andesit di Kecamatan Gedangsari
a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus hingga agak kasar.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang diamati berkisar 5 mm.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 2 - 3 m.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
42

e. Material Pengisi
Sebagian besar dari sela-sela antara bidang kekar tidak terisi oleh material.

4.2.4.13. Penambangan Marmer di Kecamatan Samigaluh


a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus hingga agak kasar.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang diamati berkisar 5 mm.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar 1 m.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Sebagian besar dari sela-sela antara bidang kekar tidak terisi oleh material.

4.2.4.14. Penambangan Emas


a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus hingga agak kasar.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang diamati berkisar 1 mm.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar 1 m.
43

d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan sedang.
e. Material Pengisi
Sebagian besar dari sela-sela antara bidang kekar terisi oleh material, terutama
lempung.

4.2.5. Kondisi Air Tanah


Di lapangan, untuk menentukan kondisi air tanah di pilih cara yang mudah dan
cepat yaitu dengan meraba permukaan batuan dengan tangan dan memperhatikannya
secara visual. Maka didapat kondisi air tanah di permukaan batuan seperti kering,
lembab, menetes, basah atau mengalir. Data kondisi air tanah dapat dilihat pada tabel
4.4.

4.2.6. Orientasi Bidang Kekar


Orientasi dari bidang kekar diukur menggunakan kompas geologi, kemudian
pengukuran jurus dan kemiringan umum dari bidang kekar dianalisis dengan
menggunakan program DIPS. Dari analisis diperoleh kedudukan umum arah kekar,yaitu
arah kekar mayor dan arah kekar minor untuk masing-masing jenis batuan. Untuk data
arah kekar dapat dilihat pada tabel 4.5

Tabel 4.4
Kondisi Air Tanah
44

4.3. Penentuan Kelas Massa Batuan


Dari Pembobotan keenam parameter tersebut pada subbab 4.2 dapat diketahui
total RMR dan kelas massa batuan yang ada. Cara menghitung total RMR dilakukan
dengan pembobotan keenam parameter sebagai berikut, seperti ditunjukkan pada tabel
4.6.
Tabel 4.6
Contoh Perhitungan Total RMR

Tabel 4.5
Data Arah Bidang Kekar

Data perhitungan RMR untuk jenis batuan yang lain dapat dilihat pada
lampiran C.
45

4.4. Kelas Bahan Galian Berdasar RMRS


Dengan memasukkan bobot dari keenam parameter, maka diperoleh jumlah
pembobotan RMR sehingga dapat ditentukan kelas dari bahan galian tersebut. Kelas
dari masing-masing bahan galian ditampilkan dalam tabel 4.7 berikut
Tabel 4.7
Kelas Bahan Galian Berdasar RMRS
Bahan Galian Lokasi RMR Kelas
Breksi Batuapung Berbah, Sleman 49 III
Breksi Batuapung Patuk, Gunung Kidul 52 III
Breksi Batuapung Pleret, Bantul 51 III
Andesit Samigaluh, Kulon Progo 44 III
Napal Semin, Gunung Kidul 61 II
Zeolit Gedangsari, Gunung Kidul 56 III
Bentonit Nanggulan, Kulon Progo 66 II
Feldspar Semin, Gunung Kidul 63 II
Marmer Samigaluh, Kulon Progo 55 III
Batugamping Kretek, Bantul 52 III
Batugamping Pengasih, Kulon Progo 54 III
Batugamping Ponjong, Gunung Kidul 57 III
Batuan induk emas Kokap, Kulon Progo 50 III
46

BAB V
PEMBAHASAN

5.1. Karakterisasi Massa Batuan


Dalam kegiatan penambangan, penggalian batuan selalu menjadi kegiatan yang
harus dilaksanakan. Sedangkan penggalian batuan merupakan permasalahan yang
komplek, karena akan mempengaruhi kondisi batuan dan daerah sekitar pengalian yang
akan mengalami deformasi.
Klasifikasi massa batuan dapat dijadikan sebagai dasar perkiraan dimensi dari
lereng yang akan dibuat dalam melakukan kegiatan penambangan, sehingga didapat
dimensi lereng yang mempunyai tingkat keamanan yang memadai. Dengan tingkat
keamanan yang memadai maka akan tercipta kenyamanan kerja yang akan
meningkatkan produksi.
Meskipun demikian cara ini perlu dilanjutkan dengan kegiatan pemantauan
(monitoring) untuk mengetahui tegangan batuan di sekitar penggalian yang sebenarnya
untuk mengetahui kestabilan dalam penggalian.

5.1.1. Karakterisasi Breksi Batu Apung


Hasil pengujian kuat tekan uniaksial di laboratorium menunjukkan kekuatan
batuan yang lemah. Pengambilan percontoh di lapangan dilakukan pada 3 titik dengan
jarak  50 m, dengan hasil kuat tekan uniaksial rata-rata pada penambangan di Berbah
adalah 3,83 MPa, pada penambangan di Patuk adalah 2,94 MPa dan pada penambangan
di Pleret adalah 3,94 MPa. Dari hasil rata-rata ketiga tempat penelitian tersebut didapat
kuat tekan uniaksial tertinggi adalah penambangan breksi batuapung di Pleret dan
terendah adalah penambangan breksi batuapung di Patuk. Hal ini menunjukkan bahwa
breksi batuapung mempunyai kualitas kekuatan yang rendah untuk itu diperlukan
kehati-hatian dalam melaksanakan penggalian dan pemilihan dimensi lereng yang aman
dan dari segi ekonomi menguntungkan. Kuat tekan uniaksial ini akan mempengaruhi
pembobotan dalam pengklasifikasian, sehingga berdasar pada kuat tekan uniaksial ini
maka kualitas breksi batuapung di Pleret adalah tertinggi dan kualitas yang terendah
adalah breksi batuapung di Patuk.

46
47

Perhitungan RQD dilakukan dengan cara pendekatan rumus yang diusulkan


Deere karena tidak dilakukan pemboran inti yang sesuai dengan prosedur penentuan
RQD. Dari perhitungan RQD, menunjukkan kualitas breksi batuapung dari yang
tertinggi ke yang terendah adalah di Patuk, Berbah dan Pleret. Hal ini dipengaruhi oleh
jarak antar kekar yang terbentuk pada permukaan batuan cukup panjang.
Spasi yang ditemukan umumnya sempit atau saling berdekatan, yaitu berkisar
antara 5 cm – 40 cm. Hal ini akan berpengaruh pada kestabilan lereng yang akan dibuat,
karena batuan akan membentuk bongkahan yang relatif kecil sehingga akan mudah
terjadi jatuhan bongkah batuan. Untuk mengatasi terjadinya runtuhan bongkah yang
tidak terkendali, maka arah penambangan tidak searah dengan kemiringan lereng.
Kondisi kekar pada daerah penambangan breksi batuapung pada umumnya
memiliki permukaan yang halus, atau datar dan relatif tidak bergelombang. Hal ini akan
memberikan gaya geser yang besar sehingga mudah terjadi runtuhan, karena kekasaran
merupakan sistem pengunci antara dua blok yang saling berdekatan.
Kondisi air tanah pada daerah penambangan breksi batuapung relatif kering,
terlihat ketika diraba tidak ada rembesan atau tetesan air. Kondisi air ini sangat
berpengaruh pada kestabilan lereng karena sifat breksi batuapung yang absorbtif
sehingga akan terjadi pengembangan massa batuan maka kuat geser semakin besar yang
mengakibatkan kemungkinan runtuh akan semakin besar.
Untuk penambangan akan dilakukan tegak lurus dengan strike dan searah
dengan dip sehingga tidak mudah terjadi runtuhan dan akan memberikan nilai yang
menguntungkan.
Pada penghitungan parameter-parameter untuk menentukan kelas massa batuan,
didapat total nilai sistem RMR untuk breksi batuapung di Berbah sebesar 49, Patuk
sebesar 52 dan Pleret sebesar 51. Berdasar pembobotan tersebut dapat ditentukan kelas
breksi batuapung menurut sistem RMR termasuk kelas III. Dengan kelas massa batuan
tersebut, pengusulan geometri lereng untuk penambangan breksi batuapung di Patuk
dengan tinggi jenjang tunggal maksimum 7 m dan lebar berm minimal 5 m, sedangkan
untuk geometri lereng untuk penambangan breksi batuapung di Berbah dengan tinggi
jenjang tunggal maksimum 10m dan lebar berm minimum 5m, untuk lebih lengkapnya
dapat dilihat pada lampiran C.
48

5.1.2. Karakterisasi Batugamping


Hasil pengujian kuat tekan uniaksial di laboratorium menunjukkan kekuatan
batuan yang lemah. Pengambilan percontoh di lapangan dilakukan pada 3 titik dengan
jarak  50 m, dengan hasil kuat tekan uniaksial rata-rata pada penambangan di Pengasih
adalah 5,18 MPa, pada penambangan di Ponjong adalah 5,62 MPa dan pada
penambangan di Kretek adalah 6,28 MPa. Dari hasil rata-rata ketiga tempat penelitian
tersebut didapat kuat tekan uniaksial tertinggi adalah penambangan batugamping di
Kretek dan terendah adalah penambangan batugamping di Pengasih. Hal ini
menunjukkan bahwa batugamping mempunyai kualitas kekuatan yang rendah untuk itu
diperlukan kehati-hatian dalam melaksanakan penggalian dan pemilihan dimensi lereng
yang aman dan dari segi ekonomi menguntungkan. Kuat tekan uniaksial ini akan
mempengaruhi pembobotan dalam pengklasifikasian, sehingga berdasar pada kuat tekan
uniaksial ini maka kualitas batugamping di Kretek adalah tertinggi dan kualitas yang
terendah adalah batugamping di Pengasih.
Perhitungan RQD dilakukan dengan cara pendekatan rumus yang diusulkan
Deere karena tidak dilakukan pemboran inti yang sesuai dengan prosedur penentuan
RQD. Dari perhitungan RQD, menunjukkan kualitas batugamping dari yang tertinggi ke
yang terendah adalah di Pengasih, Ponjong dan Kretek. Hal ini dipengaruhi oleh jarak
antar kekar yang terbentuk pada permukaan batuan cukup panjang.
Spasi yang ditemukan umumnya sempit atau saling berdekatan, yaitu berkisar
antara 5 cm – 40 cm. Hal ini akan berpengaruh pada kestabilan lereng yang akan dibuat,
karena batuan akan membentuk bongkahan yang relatif kecil sehingga akan mudah
terjadi jatuhan bongkah batuan. Untuk mengatasi terjadinya runtuhan bongkah yang
tidak terkendali, maka arah penambangan tidak searah dengan kemiringan lereng.
Kondisi kekar pada daerah penambangan batugamping pada umumnya memiliki
permukaan yang halus, atau datar dan relatif tidak bergelombang. Hal ini akan
memberikan gaya geser yang besar sehingga mudah terjadi runtuhan, karena kekasaran
merupakan sistem pengunci antara dua blok yang saling berdekatan.
Kondisi air tanah pada daerah penambangan batugamping relatif kering, terlihat
ketika diraba tidak ada rembesan atau tetesan air. Kondisi air ini sangat berpengaruh
pada kestabilan lereng karena air tanah akan memperbesar gaya penyebab keruntuhan
sehingga kemungkinan runtuh akan semakin besar.
49

Untuk penambangan akan dilakukan tegak lurus terhadap jurus dan sejajar
dengan kemiringan dari kekar sehingga tidak mudah terjadi runtuhan dan akan
memberikan nilai yang menguntungkan.
Pada penghitungan parameter-parameter untuk menentukan kelas massa batuan,
didapat total nilai sistem RMR untuk batugamping di Pengasih sebesar 54, Ponjong
sebesar 57 dan Kretek sebesar 52. Berdasar pembobotan tersebut dapat ditentukan kelas
batugamping menurut sistem RMR adalah kelas III. Berdasar kelas massa batuan
tersebut, pengusulan geometri lereng untuk penambangan batugamping dengan tinggi
jenjang tunggal maksimum 10 m dan lebar berm minimum 5 m, untuk lebih lengkapnya
dapat dilihat pada lampiran C.

5.1.3. karakterisasi Feldspar


Hasil pengujian kuat tekan uniaksial di laboratorium menunjukkan kekuatan
batuan yang lemah. Pengambilan percontoh di lapangan dilakukan pada 3 titik dengan
jarak  50 m, dengan hasil kuat tekan uniaksial pada titik A adalah 53,17 MPa, titik B
adalah 42,09 MPa dan titik C adalah 29,17 MPa. Dari hasil rata-rata ketiga titik tersebut
didapat kuat tekan uniaksial rata-rata 41,48 MPa. Hal ini menunjukkan bahwa feldspar
mempunyai kualitas kekuatan yang rendah untuk itu diperlukan kehati-hatian dalam
melaksanakan penggalian dan pemilihan dimensi lereng yang aman dan dari segi
ekonomi menguntungkan.
Perhitungan RQD dilakukan dengan cara pendekatan rumus yang diusulkan
Deere karena tidak dilakukan pemboran inti yang sesuai dengan prosedur penentuan
RQD. Dari perhitungan RQD, menunjukkan kualitas massa batuan berdasar parameter
ini adalah baik, dengan nilai RQD rata-rata yaitu 89,44%. Hal ini dipengaruhi oleh
jarak antar kekar yang terbentuk pada permukaan batuan panjang.
Spasi yang ditemukan umumnya sempit atau saling berdekatan, yaitu berkisar
antara 10 cm – 30 cm. Hal ini akan berpengaruh pada kestabilan lereng yang akan
dibuat, karena batuan akan membentuk bongkahan yang relatif kecil sehingga akan
mudah terjadi jatuhan bongkah batuan. Untuk mengatasi terjadinya runtuhan bongkah
yang tidak terkendali, maka arah penambangan tidak searah dengan kemiringan lereng.
Kondisi kekar pada daerah penambangan feldspar pada umumnya memiliki
permukaan yang halus, atau datar dan relatif tidak bergelombang. Hal ini akan
50

memberikan gaya geser yang besar sehingga mudah terjadi runtuhan, karena kekasaran
merupakan sistem pengunci antara dua blok yang saling berdekatan.
Kondisi air tanah pada daerah penambangan feldspar relatif kering, terlihat
ketika diraba tidak ada rembesan atau tetesan air. Kondisi air ini sangat berpengaruh
pada kestabilan lereng karena akan terjadi pengembangan massa batuan maka kuat geser
semakin besar yang mengakibatkan kemungkinan runtuh akan semakin besar.
Pada penghitungan parameter-parameter untuk menentukan kelas massa batuan,
didapat total nilai sistem RMR untuk feldspar yang berada di Kecamatan Semin adalah
63, sehingga masuk pada kelas II. Berdasar kelas massa batuan tersebut, pengusulan
untuk geometri lereng dengan tinggi jenjang maksimum 10m dan lebar berm minimum
5m, untuk lebih jelas lihat lampiran C.
Untuk penambangan akan dilakukan tegak lurus dengan jurus dan sejajar dengan
kemiringan kekar sehingga tidak mudah terjadi runtuhan dan akan memberikan nilai
yang menguntungkan.

5.1.4. Karakterisasi Zeolit


Hasil pengujian kuat tekan uniaksial di laboratorium menunjukkan kekuatan
batuan yang lemah. Pengambilan percontoh di lapangan dilakukan pada 3 titik dengan
jarak  50 m, dengan hasil kuat tekan uniaksial pada titik A adalah 36,08 MPa, titik B
adalah 37,44 MPa dan titik C adalah 38,08 MPa. Dari hasil rata-rata ketiga titik tersebut
didapat kuat tekan uniaksial rata-rata 37,20 MPa. Hal ini menunjukkan bahwa zeolit
mempunyai kualitas kekuatan yang rendah untuk itu diperlukan kehati-hatian dalam
melaksanakan penggalian dan pemilihan dimensi lereng yang aman dan dari segi
ekonomi menguntungkan.
Perhitungan RQD dilakukan dengan cara pendekatan rumus yang diusulkan
Deere karena tidak dilakukan pemboran inti yang sesuai dengan prosedur penentuan
RQD. Dari perhitungan RQD, menunjukkan kualitas massa batuan berdasar parameter
ini adalah baik, dengan nilai RQD rata-rata yaitu 84,28%. Hal ini dipengaruhi oleh
jarak antar kekar yang terbentuk pada permukaan batuan panjang.
Spasi yang ditemukan umumnya sempit atau saling berdekatan, yaitu berkisar
antara 2 cm – 6 cm. Hal ini akan berpengaruh pada kestabilan lereng yang akan dibuat,
karena batuan akan membentuk bongkahan yang relatif kecil sehingga akan mudah
51

terjadi jatuhan bongkah batuan. Untuk mengatasi terjadinya runtuhan bongkah yang
tidak terkendali, maka arah penambangan tidak searah dengan kemiringan lereng.
Kondisi kekar pada daerah penambangan zeolit pada umumnya memiliki
permukaan yang halus, atau datar dan relatif tidak bergelombang. Hal ini akan
memberikan gaya geser yang besar sehingga mudah terjadi runtuhan, karena kekasaran
merupakan sistem pengunci antara dua blok yang saling berdekatan.
Kondisi air tanah pada daerah penambangan zeolit relatif kering, terlihat ketika
diraba tidak ada rembesan atau tetesan air. Kondisi air ini sangat berpengaruh pada
kestabilan lereng karena akan terjadi pengembangan massa batuan maka kuat geser
semakin besar yang mengakibatkan kemungkinan runtuh akan semakin besar.
Pada penghitungan parameter-parameter untuk menentukan kelas massa batuan,
didapat total nilai sistem RMR untuk zeolit yang berada di Kecamatan Gedangsari
adalah 56, sehingga masuk pada kelas III. Berdasar kelas massa batuan tersebut,
pengusulan untuk geometri lereng dengan tinggi jenjang maksimum 10m dan lebar
berm minimal 5m, untuk lebih jelas lihat lampiran C

5.1.5. Karakterisasi Napal


Hasil pengujian kuat tekan uniaksial di laboratorium menunjukkan kekuatan
batuan yang lemah. Pengambilan percontoh di lapangan dilakukan pada 3 titik dengan
jarak  50 m, dengan hasil kuat tekan uniaksial pada titik A adalah 12,5 MPa, titik B
adalah 36,60 MPa dan titik C adalah 30,40 MPa. Dari hasil rata-rata ketiga titik tersebut
didapat kuat tekan uniaksial rata-rata 26,50 MPa. Hal ini menunjukkan bahwa napal
mempunyai kualitas kekuatan yang rendah untuk itu diperlukan kehati-hatian dalam
melaksanakan penggalian dan pemilihan dimensi lereng yang aman dan dari segi
ekonomi menguntungkan.
Perhitungan RQD dilakukan dengan cara pendekatan rumus yang diusulkan
Deere karena tidak dilakukan pemboran inti yang sesuai dengan prosedur penentuan
RQD. Dari perhitungan RQD, menunjukkan kualitas massa batuan berdasar parameter
ini adalah baik, dengan nilai RQD rata-rata yaitu 88,22 %. Hal ini dipengaruhi oleh
jarak antar kekar yang terbentuk pada permukaan batuan panjang.
Spasi yang ditemukan umumnya sempit atau saling berdekatan, yaitu berkisar
antara 6 cm – 40 cm. Hal ini akan berpengaruh pada kestabilan lereng yang akan
52

dibuat, karena batuan akan membentuk bongkahan yang relatif kecil sehingga akan
mudah terjadi jatuhan bongkah batuan. Untuk mengatasi terjadinya runtuhan bongkah
yang tidak terkendali, maka arah penambangan tidak searah dengan kemiringan lereng.
Kondisi kekar pada daerah penambangan napal pada umumnya memiliki
permukaan yang halus, atau datar dan relatif tidak bergelombang. Hal ini akan
memberikan gaya geser yang besar sehingga mudah terjadi runtuhan, karena kekasaran
merupakan sistem pengunci antara dua blok yang saling berdekatan.
Kondisi air tanah pada daerah penambangan napal relatif kering, terlihat ketika
diraba tidak ada rembesan atau tetesan air. Kondisi air ini sangat berpengaruh pada
kestabilan lereng karena akan terjadi pengembangan massa batuan maka kuat geser
semakin besar yang mengakibatkan kemungkinan runtuh akan semakin besar.
Pada penghitungan parameter-parameter untuk menentukan kelas massa batuan,
didapat total nilai sistem RMR untuk napal yang berada di Kecamatan Semin adalah 61,
sehingga masuk pada kelas II. Berdasar kelas massa batuan tersebut, pengusulan untuk
geometri lereng dengan tinggi jenjang maksimum 10m dan lebar berm minimum 5m,
untuk lebih jelas lihat lampiran C.
Untuk penambangan akan dilakukan tegak lurus dengan jurus dan sejajar dengan
kemiringan kekar sehingga tidak mudah terjadi runtuhan dan akan memberikan nilai
yang sangat menguntungkan.

5.1.6. Karakterisasi Bentonit


Hasil pengujian kuat tekan uniaksial di laboratorium menunjukkan kekuatan
batuan yang sangat lemah. Pengambilan percontoh di lapangan dilakukan pada 3 titik
dengan jarak  50 m, dengan hasil kuat tekan uniaksial pada titik A adalah 3,22 MPa,
titik B adalah 3,58 MPa dan titik C adalah 3,58 MPa. Dari hasil rata-rata ketiga titik
tersebut didapat kuat tekan uniaksial rata-rata 3,46 MPa. Hal ini menunjukkan bahwa
bentonit mempunyai kualitas kekuatan yang sangat rendah untuk itu diperlukan kehati-
hatian dalam melaksanakan penggalian dan pemilihan dimensi lereng yang aman dan
dari segi ekonomi menguntungkan.
Perhitungan RQD dilakukan dengan cara pendekatan rumus yang diusulkan
Deere karena tidak dilakukan pemboran inti yang sesuai dengan prosedur penentuan
RQD. Dari perhitungan RQD, menunjukkan kualitas massa batuan berdasar parameter
53

ini adalah sangat baik, dengan nilai RQD rata-rata yaitu 92,22 %. Hal ini dipengaruhi
oleh jarak antar kekar yang terbentuk pada permukaan batuan panjang.
Spasi yang ditemukan umumnya sempit atau saling berdekatan, yaitu berkisar
antara 10 cm – 100 cm. Hal ini akan berpengaruh pada kestabilan lereng yang akan
dibuat, karena batuan akan membentuk bongkahan yang relatif kecil sehingga akan
mudah terjadi jatuhan bongkah batuan. Untuk mengatasi terjadinya runtuhan bongkah
yang tidak terkendali, maka arah penambangan tidak searah dengan kemiringan lereng.
Kondisi kekar pada daerah penambangan bentonit pada umumnya memiliki
permukaan yang halus, atau datar dan relatif tidak bergelombang. Hal ini akan
memberikan gaya geser yang besar sehingga mudah terjadi runtuhan, karena kekasaran
merupakan sistem pengunci antara dua blok yang saling berdekatan.
Kondisi air tanah pada daerah penambangan bentonit relatif kering, terlihat
ketika diraba tidak ada rembesan atau tetesan air. Kondisi air ini sangat berpengaruh
pada kestabilan lereng karena akan terjadi pengembangan massa batuan maka kuat geser
semakin besar yang mengakibatkan kemungkinan runtuh akan semakin besar.
Pada penghitungan parameter-parameter untuk menentukan kelas massa batuan,
didapat total nilai sistem RMR untuk bentonit yang berada di Kecamatan Nanggulan
adalah 66, sehingga masuk pada kelas II. Berdasar kelas massa batuan tersebut,
pengusulan untuk geometri lereng dengan tinggi jenjang maksimum 10m dan lebar
berm minimum 5m, untuk lebih jelas lihat lampiran C.
Untuk penambangan akan dilakukan tegak lurus dengan jurus dan searah
kemiringan kekar sehingga tidak mudah terjadi runtuhan dan akan memberikan nilai
yang sangat menguntungkan.
5.1.7. Karakterisasi Marmer
Hasil pengujian kuat tekan uniaksial di laboratorium menunjukkan kekuatan
batuan yang sedang. Pengambilan percontoh di lapangan dilakukan pada 3 titik dengan
jarak  50 m, dengan hasil kuat tekan uniaksial pada titik A adalah 58,45 MPa, titik B
adalah 60,25 MPa dan titik C adalah 62,35 MPa. Dari hasil rata-rata ketiga titik tersebut
didapat kuat tekan uniaksial rata-rata 60,35 MPa. Hal ini menunjukkan bahwa marmer
mempunyai kualitas kekuatan yang sangat rendah untuk itu diperlukan kehati-hatian
dalam melaksanakan penggalian dan pemilihan dimensi lereng yang aman dan dari segi
ekonomi menguntungkan.
54

Perhitungan RQD dilakukan dengan cara pendekatan rumus yang diusulkan


Deere karena tidak dilakukan pemboran inti yang sesuai dengan prosedur penentuan
RQD. Dari perhitungan RQD, menunjukkan kualitas massa batuan berdasar parameter
ini adalah biasa, dengan nilai RQD rata-rata yaitu 71,22 %. Hal ini dipengaruhi oleh
jarak antar kekar yang terbentuk pada permukaan batuan panjang.
Spasi yang ditemukan umumnya sempit atau saling berdekatan, yaitu berkisar
antara 9 cm – 30 cm. Hal ini akan berpengaruh pada kestabilan lereng yang akan
dibuat, karena batuan akan membentuk bongkahan yang relatif kecil sehingga akan
mudah terjadi jatuhan bongkah batuan. Untuk mengatasi terjadinya runtuhan bongkah
yang tidak terkendali, maka arah penambangan tidak searah dengan kemiringan lereng.
Kondisi kekar pada daerah penambangan marmer pada umumnya memiliki
permukaan yang halus, atau datar dan relatif tidak bergelombang. Hal ini akan
memberikan gaya geser yang besar sehingga mudah terjadi runtuhan, karena kekasaran
merupakan sistem pengunci antara dua blok yang saling berdekatan.
Kondisi air tanah pada daerah penambangan marmer relatif kering, terlihat
ketika diraba tidak ada rembesan atau tetesan air. Kondisi air ini sangat berpengaruh
pada kestabilan lereng karena akan terjadi pengembangan massa batuan maka kuat geser
semakin besar yang mengakibatkan kemungkinan runtuh akan semakin besar.
Pada penghitungan parameter-parameter untuk menentukan kelas massa batuan,
didapat total nilai sistem RMR untuk marmer yang berada di Kecamatan Samigaluh
adalah 55, sehingga masuk pada kelas III. Berdasar kelas massa batuan tersebut,
pengusulan untuk geometri lereng dengan tinggi jenjang maksimum 10m dan lebar
berm minimum 5m, untuk lebih jelas lihat lampiran C.
Untuk penambangan akan dilakukan tegak lurus dengan jurus dan sejajar
kemiringan kekar sehingga tidak mudah terjadi runtuhan dan akan memberikan nilai
yang sangat menguntungkan.
55

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan klasifikasi geomekanik massa batuan, bahan galian di Daerah
Istimewa Yogyakarta termasuk dalam kelas II (baik) dan kelas III (sedang).
Bahan galian yang termasuk kelas II adalah Napal (Gunung Kidul), Feldspar
(Gunung Kidul), Bentonit (Kulon Progo) dan untuk bahan galian kelas III adalah
Breksi Batuapung (Gunung Kidul), Breksi Batuapung (Bantul), Breksi
Batuapung (Sleman), Batugamping (Gunung Kidul), Batugamping (Bantul),
Batugamping (Kulon Progo), Andesit (Kulon Progo), Zeolit (Gunung Kidul),
Marmer (Kulon Progo).
2. Dimensi jenjang dengan faktor keamanan yang memadai untuk melakukan
penambangan pada bahan galian kelas II adalah tinggi jenjang tunggal maksimal
10 m dan lebar berm minimum 5 m. Untuk bahan galian kelas III dimensi
jenjang adalah tinggi jenjang tunggal maksimal antara 7 – 10 m dan lebar berm
minimum 5 m.
3. Faktor keamanan dalam keadaan jenuh tertinggi pada Breksi Batuapung
(Sleman) yaitu 7,58 dan terendah pada Marmer (Kulon Progo) yaitu 2,06.
4. Berdasarkan klasifikasi geomekanik massa batuan, bahan galian di Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam kegiatan penggaliannya dapat menggunakan
peralatan tradisional dan untuk meningkatkan produksi dapat menggunakan
peralatan mekanis.
5. Parameter yang sangat berpengaruh dalam klasifikasi massa batuan untuk bahan
galian di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah kondisi bidang ketidakmenerusan.
6. Berdasar hasil klasifikasi massa batuan, bahan galian di Daerah Istimewa
Yogyakarta secara teknis tidak mengalami masalah dalam melakukan
penambangan jika dilakukan dengan dimensi jenjang yang telah diajukan serta
penambangan dilakukan berlawanan dengan jurus bidang ketidakmenerusan dan
searah kemiringan bidang ketidakmenerusan.

55
56

6.2. Saran
1. Kegiatan penambangan dilakukan berdasar dimensi jenjang yang telah
disarankan untuk mendapatkan faktor keamanan yang memadai guna mencapai
sasaran produksi yang diinginkan.
2. Arah penambangan dilakukan berlawanan dengan jurus bidang
ketidakmenerusan dan searah dengan kemiringannya.

You might also like