Professional Documents
Culture Documents
Skripsine MB - Lin Asyik 71
Skripsine MB - Lin Asyik 71
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Berdasar Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah serta
Undang-undang No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Daerah sebagai perwujudan Tap MPR RI No XV / MPR /
1998 tentang Otonomi Daerah, maka diharapkan Pemerintah Daerah lebih berperan
aktif dan responsive dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pembangunan di semua
sektor, termasuk di dalamnya sektor pertambangan. Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta mempunyai beberapa bahan galian industri yang cukup potensial,
khususnya bahan galian golongan C yang sering disebut bahan galian industri yang
tersebar di empat kabupaten, yaitu Sleman, Bantul, Gunung Kidul dan Kulon Progo.
Beberapa potensi bahan galain tersebut berdasarkan jumlah cadangan, kualitas, nilai
kegunaan serta peluang pasar yang mempunyai prospek untuk dilakukan pengusahaan
lebih lanjut. Dengan adanya otonomi daerah, pengusahaan dari bahan galian tersebut
dapat meningkatkan pendapatan asli daerah yang dapat mendorong kesejahteraan
masyarakat di sekitar daerah bahan galian tersebut.
Dalam memanfaatkan bahan galian tersebut dibutuhkan kegiatan penambangan,
dan dalam melakukan kegiatan penambangan diusahakan mendapat keuntungan yang
sebesar - besarnya. Selain mendapat keuntungan , untuk dapat mengoptimalkan
produksi diperlukan tingkat keamanan yang memadai termasuk di dalamnya keamanan
dalam melakukan penggalian. Keamanan dalam melakukan penggalian pada tambang
terbuka, salah satunya ditentukan oleh dimensi jenjang dan geometri lereng
penambangan yang digunakan. Secara umum dalam menentukan dimensi jenjang,
ditentukan berdasar karakterisasi dari bahan galian tersebut, sehingga didapat gambaran
dimensi jenjang dan geometri lereng secara umum yang mempunyai tingkat keamanan
yang memadai.
1
2
BAB II
TINJAUAN UMUM
Tabel 2.1.
Jumlah kecamatan, desa dan luas wilayah tiap kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta
4
5
Tabel 2. 2
Pembagian daerah berdasarkan ketinggian tanah dari permukaan laut
di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
2.1.3.Iklim
Iklim merupakan salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan produksi.
Lebih jauh, perlu dicermati perkembangan unusur-unsur penting iklim, yang meliputi
curah hujan, temperatur dan kelembaban, yang perkembangan kondisinya adalah
sebagai berikut.
2.1.3.1 Curah Hujan
Curah hujan tahun 2002 dari bulan Januari sampai dengan Desember adalah
2.169,4 mm. Dibandingkan dengan tahun 2001 maka curah hujan tahun 2002 lebih
banyak atau dengan kata lain tahun 2002 lebih basah dengan 7 bulan basah dan 5 bulan
kering. Selanjutnya dapat dilihat rincian sebagai berikut:
6
Tabel 2.3.
Curah Hujan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1998-2002
2.2.1.Stratigrafi.
Wilayah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, secara geologi tercakup dalam
Mendala Pegunungan Kulonprogo untuk bagian Barat. Bagian Utara – Tengah
merupakan Mendala Gunungapi Merapi, dan bagian Timur – Selatan adalah anggota
Kulonprogo dan Pegunungan Selatan Jawa Timur. Mendala Pegunungan Kulonprogo
dan Pegunungan Selatan, tersusun oleh batuan berumur Tersier. Sedangkan batuan
berumur Kuarter sebagai penyusun bagian wilayah Mendala Gunungapi Merapi, dan
pantai selatan dari Congot sampai dengan Parangtritis.
Tabel 2.4.
7
Sebagian besar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta mulai dari Barat sampai
dengan garis bujur sekitar Playen, tercakup dalam peta geologi bersistem, skala
1:100.000, lembar Yogyakarta (Rahardjo, dkk, 1992). Selebihnya di sebelah Timur
sampai perbatasan wilayah, tercakup dalam peta geologi lembar Surakarta – Giritontro
(Surono, dkk, 1992). Berikut akan diuraikan macam-macam batuan pada setiap formasi
batuan penyusun wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, secara berurutan dari Tersier
(tertua) sampai dengan Kuarter (termuda).
dengan ketabalan seluruhnya 660 m. Sebaran formasi batuan ini di wilayah Kabupaten
Kulonprogo, dan Sleman (Kompleks Gunung Berjo – Wungkal dan sekitar, Kecamatan
Godean dan Seyegan).
Formasi Jongggrangan di bagian bawah terdiri dari konglomerat, napal tufan, dan
batupasir gampingan dengan sisipan lignit. Ke arah atas batuan berubah menjadi
batugamping berlapis dan batugamping koral. Umur batuan ini Miosen Bawah, dan di
bagian bawah saling berjemari dengan Formasi Sentolo. Ketebalan diperkirakan 250 m.
Proses diagenesa pada Formasi Jonggrangan menghasilkan sistem karst, dicirikan oleh
bentukan kerucut-kerucut karst di sekitar Jonggrangan.
Formasi Sentolo terdiri dari batugamping dan batupasir napalan. Bagian bawah
terdiri dari kolongmerat alas yang ditutupi oleh napal tufan dengan sisipan tuf gelas.
Batuan ke arah atas berangsur-angsur berubah menjadi batugamping berlapis baik.
Umur formasi batuan ini di wilayah Miosen Awal – Pliosen, dan perkiraan tebal 950 m.
Sebaran formasi batuan ini di wilayah Kabupaten Kulonprogo, Sleman, dan Bantul.
Asosiasi batuan penyusun satuan ini umumnya merupakan endapan lahar dari
Gunungapi Merapi yang masih aktif sampai sekarang. Komposisi batuan adalah lava
andesitik, terdiri dari ukuran butir bongkah, pasir, dan lanau. Pembentukan satuan ini
diduga sejak subkala Plistosen Atas. Mulai dari wilayah Kota Yogyakarta, dan ke
Selatan, satuan ini sukar dibedakan dengan aluvium. Sebaran satuan ini luas, lebih dari
95% wilayah Kabupaten Sleman, sebagian kecil wilayah di sekitar aliran Sungai Progo
(Kecamatan Nanggulan, dan Dekso – Kabupaten Kulonprogo). Selain itu satuan
merupakan pembentuk 100% wilayah Kota Yogyakarta, dan ± 60% dari wilayah
Kabupaten Bantul. Satuan lahar Merapi berpotensi besar sebagai penghasil sirtu kualitas
terbaik, dikarenakan ukuran butir secara umum merupakan pasir kasar (diameter 1 - 2
mm) dan tanpa mengandung bahan debu. Pemasaran bahan galian tersebut sampai Pulau
Kalimantan.
Timur dan Utara – Selatan, arah Timur Laut – Barat Daya relatif lebih sedikit. Secara
keseluruhan Pegunungan Selatan merupakan suatu monoklin, disebabkan kemiringan
lapisan batuan ke satu arah, yaitu ke Selatan. Wilayah sebaran pegunungan ini
mencakup daerah mulai dari sekitar Pantai Selatan Pulau Jawa menerus ke Utara sampai
di gawir pinggir Utara yaitu Lajur Baturagung. Pegunungan ini tercakup dalam wilayah
Kabupaten Gunungkidul.
2.3. Geomorfologi
Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, secara geologi tercakup dalam
Mendala Pegunungan Kulonprogo, Mendala Gunungapi Merapi, dan Mendala
Pegunungan Selatan Jawa Timur. Selain itu terbentuk kekhasan rendahan Pantai Selatan
dari Congot sampai dengan Parangtritis.
Memperhatikan kriteria tersebut di atas, kemudian kenampakan morfologi,
kelerengan, dan proses eksogenik yang dominan bekerja, maka wilayah propinsi ini
secara geomorfologi dikelompokkan menjadi enam satuan bentuk lahan (landform).
Keenam satuan tersebut dalah bentuk lahan struktural, denudasional, solusional,
volkanik, fluvial dan eolian.
Berikut ini akan diuraikan secara rinci masing-masing satuan bentuk lahan,
dengan acuhan pembahasan mencakup wilayah sebaran, kenampakan bentuk lahan,
proses penyebab utama (origin), kontrol batuan penyusun, lereng topografi, kekhasan
morfologi, dan lain-lain.
Lereng topografi secara umum landai sampai dengan agak curam, utamanya pada
bentuk lahan perbukitan rendah, dengan kemiringn lereng berkisar 8-25 %. Pada
kawasan pegunungan, kemiringan lereng umum 25 - 40 % dan secara setempat
mencapai lebih 40 %. Kekhasan morfologi dari satuan bentuk lahan ini yaitu kesan
kenampakan permukaan yang halus (smooth) pada perbukitan rendah, dan permukaan
kasar pada pegunungan yang sebagian diantaranya menghasilkan kerucut karst seperti di
gunung Jonggrangan dan sekitar. Kerucut karst terbentuk oleh proses solusional, dan
proses ini berkembang juga sampai membentuk Gua Slarong. Lain-lain sebagai penciri
satuan ini adalah fungsi lahan sebagai kawasan lindung untuk daerah pegunungan, dan
kawasan penyangga & budidaya (lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman) untuk
perbukitan rendah.
Pada bagian timur, seluruhnya terdapat di wilayah Kabupaten Gunungkidul,
utamanya di sebelah utara aliran sungai Oyo sampai batas wilayah DIY, dan sedikit di
selatan alirannya. Kenampakan bentuk lahan berupa perbukitan struktural tersolusi,
gawir, perbukitan struktural, dan pegunungan struktural. Batuan penyusun satuan
bentuk lahan ini merupakan asosiasi dari formasi Kobo-Butak, Semilir, Nglanggaran,
Sambipitu, dan Oyo. Proses penyebab utama adalah pembentukan perlipatan
pegunungan selatan diikuti dengan pensesaran (faulting), sehingga dihasilkan
pegunungan blok (blocked mountain). Lereng topografi secara umum curam, dengan
kemiringan lereng umum 25 – 40% dan di sekitar aliran sungai Oyo lereng agak curam
utamanya dengan kemiringan lereng berkisar 8 – 25 %. Pada kawasan pegunungan
mencapai lebih 40 %. Kekhasan morfologi dari satuan bentuk lahan ini yaitu kesan
umum permukaan kasar, dan kenampakan permukaan halus dan berkembang proses
solusional, terbentuk di sekitar Sungai Oyo.
Proses solusional tersebut disebabkan oleh adanya lapisan-lapisan betugmping
pada formasi Oyo. Lain-lain sebagai penciri satuan ini adalah fungsi lahan sebagai
kawasan lindung untuk daerah pegunungan, dan kawasan penyangga dan budidaya
(lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman) untuk perbukitan. Kenampakan
menonjol yang lain pada satuan ini adalah lahan kritis.
13
bergelombang, dengan kemiringn kurang dari 8 %. Rincian satuan bentuk lahan eolian
berurutan dari selatan ke utara dalah gumuk pasir (sand dunes), dan bentang pantai.
Kekhasan morfologi dari satuan bentuk lahan ini adalah gumuk pasirnya tersebut.
Hal ini disebabkan tidak semua Pantai Selatan Pulau Jawa yang mirip dengan Pantai
Congot – Parangtritis, sampai terbentuk gumuk pasir. Lebih menarik lagi gumuk pasir
Parangtritis dapat dirinci menjadi tiga jenis, yaitu gumukpasir memanjang
(longitudional dunes), gumuk pasir bulan sabit (barchan dunes), dan gumukpsir
melintang (transversal dumes). Lain-lain sebagai permukiman, tegalan, dan daerah
tujuan wisata dari Daerah Istimewa Yogyakarta.
BAB III
KARAKTERISASI BAHAN GALIAN BERDASARKAN NILAI
RMR SISTEM
16
17
RQD =
Sebagai acuan kualitas massa batuan dapat digunakan RQD yang diusulkan oleh Deere.
Secara praktisnya, RQD dapat ditentukan langsung di lapangan dengan cara mengambil
panjang dari massa batuan yang akan diukur (misal : 3 m) kemudian diukur jarak
rekahan 10 cm dibagi total panjang tersebut. Palmstrom (1982) mengusulkan apabila
percontoh core tidak ada, RQD dapat diperkirakan dari jumlah kekar per meter untuk
setiap set ditambah. RQD untuk massa batuan bebas lempung adalah :
RQD = 115 – 3,3 Jv
RQD = 100 untuk Jv < 4,5
Dimana :
Jv = “Volumetric Joint Count” = jumlah kekar per m3.
20
Tabel 3.1
Klasifikasi Geomekanik Massa Batuan
21
Kualitas massa batuan berdasarkan RQD dinyatakan dari sangat bagus sampai sangat
jelek untuk dapat dilihat pada tabel 3.3 sebagai berikut :
Tabel 3.3
Kualitas Massa Batuan Berdasarkan RQD6)
RQD (%) Kualitas
90 – 100 Sangat baik
75 – 90 Baik
50 – 75 Biasa
25 – 50 Jelek
<25 Sangat jelek
Gambar 3.1
Prosedur Perhitungan RQD
22
Tabel 3.4
Klasifikasi Spasi Bidang Kekar6)
Diskripsi Spasi Keterangan
Diskontinuitas
Sangat lebar >3m Padat
Lebar 1,0 – 3 m Masif
Cukup dekat 0,3 – 1 m Blocky / seamy
Dekat 50 – 300 mm Pecah-pecah
Sangat dekat < 50 mm Hancur dan tersebar
Tabel 3.5
Diskripsi Dari Separasi
Deskripsi Jarak (mm)
Sangat rapat < 0,1
Permukaan tertutup Rapat 0,1 – 0,25
Sebagian terbuka 0,25 – 0,50
Terbuka 0,5 – 2,5
Permukaan bercelah Agak lebar 2,5 – 10
Lebar > 10
Sangat lebar 1 – 100
Permukaan terbuka lebar Sangat lebar sekali 100 – 1000
Goa-goa > 1000
Non-persistent
Persistent
Gambar 3.2
Persistensi Dari Beberapa Set Bidang Kekar Di Massa Batuan3)
25
Tabel 3.6
Klasifikasi Persistensi Dari Bidang Kekar3)
Diskripsi Panjang Kekar (m)
Persistensi sangat rendah <1
Persistensi rendah 1–3
Persistensi sedang 3 – 10
Persistensi tinggi 10 – 20
Persistensi sangat tinggi > 20
d. Pelapukan (weathering)
Di lapangan, untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dapat dilakukan
dengan pengamatan secara visual.
Berdasarkan pelapukannya batuan diklasifikasi oleh ISRM (1981)
sebagai berikut :
1). Batuan segar (unweathered / fresh rock)
2). Batuan terlapukan rendah (slightly weathered rock).
Pelapukan / pengotoran (discloration) mulai dari permukaan bidang kekar
terus berkembang ke dalam batuan sampai 20% dari spasi bidang kekar.
3). Batuan terlapukan sedang (moderately weathered rock)
Pelapukan berkembang dari bidang kekar ke dalam batuan sampai lebih
besar 20% dari spasi bidang kekar. Antara bidang kekar diisi oleh material
yang teralterasi.
4). Batuan terlapukan tinggi (highly weathered rock)
Pelapukan berkembang keseluruh permukaan batuan dan sebagian batuan
mudah hancur.
5). Batuan terlapukan sempurna (completely weatheredrock)
Batuan terlapukan secara total dan berubah ke kondisi yang mudah hancur.
26
e. Material Pengisi
Diantara dua buah bidang diskontinuitas biasanya diisi oleh material
seperti kalsit, khlorit, lempung, lanau, breksi, kuarsa dan pirit. Material pengisi
ini akan mempengaruhi kuat geser bidang kekar.
BAB IV
KARAKTERISASI BAHAN GALIAN DI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA
27
28
Tabel 4.1.
Peralatan dan Tinggi Lereng Penambangan
No Lokasi Bahan Galian Peralatan Dimensi Jenjang
1 Clumprit,Samigaluh, Andesit Linggis,palu, ganco Tinggi : 5m
Kulon Progo Berm : 3m
2 Pengasih, Kulon Bentonit Linggis, palu, Tinggi : 5m
Progo ganco Berm : 3m
3 Wening, Pengasih, Batugamping Linggis, sekop, Tinggi : 6m
Kulon Progo ganco Berm : 5m
4 Kalibawang, Kulon Marmer Palu, linggis, Tinggi lereng :
Progo cangkul 10m
5 Gembyongan, Breksi Linggis, palu, Tinggi : 2m
Patuk, Gunung Batuapung ganco Berm : 4m
Kidul
6 Hargomulyo, Zeolit Linggis, palu, Tinggi : 7m
Gedangsari, Gunung ganco Berm : 2-4 m
Kidul
7 Njelo, Semin, Napal Linggis, palu, Tinggi : 2-7 m
Gunung Kidul ganco Berm : 1-4 m
8 Jetak, Karangsari, Feldspar Cangkul, linggis, Tinggi : 12 m
Semin, Gunung ganco, keranjang Berm : 5 m
Kidul
9 Bedoyo, Ponjong, Batugamping Cangkul, linggis, Tinggi : 7m
Gunung Kidul ganco Berm : 5m
RQD =
RQD =
= 90,33 %
Tabel 4.1
Data Hasil Uji Kuat Tekan Batuan
33
Bidang Kekar
Bidang Kekar
Gambar 4.1
Spasi Bidang Kekar
34
Tabel 4.2
Data RQD Tiap Jenis Batuan
Tabel 4.3
Data Spasi Bidang Kekar
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Material yang mengisi sela-sela diantara permukaan bidang-bidang kekar yang
ada sebagian besar adalah lempung.
4.2.4.2. Penambangan Breksi Batu Apung di Kecamatan Patuk
a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus hingga agak kasar.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang ada maksimum 20 mm, tetapi
umumnya berkisar antara 1 – 5 mm.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 1 – 3 m.
36
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Material yang mengisi sela-sela diantara permukaan bidang-bidang kekar yang
ada sebagian besar adalah lempung.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang ada maksimum 5 mm, tetapi
umumnya berkisar antara 1 – 4 mm.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 0,5 – 2 m.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan sedang (moderately
weathered rock).
e. Material Pengisi
Material yang mengisi sela-sela diantara permukaan bidang-bidang kekar yang
ada sebagian besar adalah lempung.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Sebagian besar dari sela-sela antara bidang kekar tidak terisi oleh material
pengisi.
4.2.4.8. Penambangan Feldspar di Kecamatan Semin
a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Tidak ada bukaan pada bahan galian yang diamati,
karena merupakan bidang perlapisan.
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 2-4 m.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Tidak ditemukan material pengisi, karena tidak ada bukaan yang ditemukan pada
badan bahan galian.
4.2.4.9. Penambangan Batugamping di Kecamatan Pengasih
a. Kekasaran
Untuk menentukan kekasaran di lapangan dilakukan secara visual yaitu diraba
dengan tangan. Macam kekasaran yang ada pada umumnya halus hingga agak kasar.
b. Separasi
Di lapangan, pengukuran separasi dengan menggunakan penggaris, diukur
berapa lebar-lebar kekar yang ada. Lebar kekar yang diamati berkisar 10 mm.
40
c. Kemenerusan (Persistensi)
Persistensi dari bidang-bidang kekar yang ada termasuk persistensi rendah
dengan panjang kemenerusan kekar berkisar antara 1 – 2 m.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan rendah (slightly weathered
rock).
e. Material Pengisi
Sebagian besar dari sela-sela antara bidang kekar tidak terisi oleh material
pengisi.
e. Material Pengisi
Sebagian besar dari sela-sela antara bidang kekar tidak terisi oleh material.
d. Pelapukan
Untuk mengetahui jenis pelapukan batuan dilakukan dengan pengamatan visual.
Kondisi pelapukan yang ada termasuk batuan terlapukkan sedang.
e. Material Pengisi
Sebagian besar dari sela-sela antara bidang kekar terisi oleh material, terutama
lempung.
Tabel 4.4
Kondisi Air Tanah
44
Tabel 4.5
Data Arah Bidang Kekar
Data perhitungan RMR untuk jenis batuan yang lain dapat dilihat pada
lampiran C.
45
BAB V
PEMBAHASAN
46
47
Untuk penambangan akan dilakukan tegak lurus terhadap jurus dan sejajar
dengan kemiringan dari kekar sehingga tidak mudah terjadi runtuhan dan akan
memberikan nilai yang menguntungkan.
Pada penghitungan parameter-parameter untuk menentukan kelas massa batuan,
didapat total nilai sistem RMR untuk batugamping di Pengasih sebesar 54, Ponjong
sebesar 57 dan Kretek sebesar 52. Berdasar pembobotan tersebut dapat ditentukan kelas
batugamping menurut sistem RMR adalah kelas III. Berdasar kelas massa batuan
tersebut, pengusulan geometri lereng untuk penambangan batugamping dengan tinggi
jenjang tunggal maksimum 10 m dan lebar berm minimum 5 m, untuk lebih lengkapnya
dapat dilihat pada lampiran C.
memberikan gaya geser yang besar sehingga mudah terjadi runtuhan, karena kekasaran
merupakan sistem pengunci antara dua blok yang saling berdekatan.
Kondisi air tanah pada daerah penambangan feldspar relatif kering, terlihat
ketika diraba tidak ada rembesan atau tetesan air. Kondisi air ini sangat berpengaruh
pada kestabilan lereng karena akan terjadi pengembangan massa batuan maka kuat geser
semakin besar yang mengakibatkan kemungkinan runtuh akan semakin besar.
Pada penghitungan parameter-parameter untuk menentukan kelas massa batuan,
didapat total nilai sistem RMR untuk feldspar yang berada di Kecamatan Semin adalah
63, sehingga masuk pada kelas II. Berdasar kelas massa batuan tersebut, pengusulan
untuk geometri lereng dengan tinggi jenjang maksimum 10m dan lebar berm minimum
5m, untuk lebih jelas lihat lampiran C.
Untuk penambangan akan dilakukan tegak lurus dengan jurus dan sejajar dengan
kemiringan kekar sehingga tidak mudah terjadi runtuhan dan akan memberikan nilai
yang menguntungkan.
terjadi jatuhan bongkah batuan. Untuk mengatasi terjadinya runtuhan bongkah yang
tidak terkendali, maka arah penambangan tidak searah dengan kemiringan lereng.
Kondisi kekar pada daerah penambangan zeolit pada umumnya memiliki
permukaan yang halus, atau datar dan relatif tidak bergelombang. Hal ini akan
memberikan gaya geser yang besar sehingga mudah terjadi runtuhan, karena kekasaran
merupakan sistem pengunci antara dua blok yang saling berdekatan.
Kondisi air tanah pada daerah penambangan zeolit relatif kering, terlihat ketika
diraba tidak ada rembesan atau tetesan air. Kondisi air ini sangat berpengaruh pada
kestabilan lereng karena akan terjadi pengembangan massa batuan maka kuat geser
semakin besar yang mengakibatkan kemungkinan runtuh akan semakin besar.
Pada penghitungan parameter-parameter untuk menentukan kelas massa batuan,
didapat total nilai sistem RMR untuk zeolit yang berada di Kecamatan Gedangsari
adalah 56, sehingga masuk pada kelas III. Berdasar kelas massa batuan tersebut,
pengusulan untuk geometri lereng dengan tinggi jenjang maksimum 10m dan lebar
berm minimal 5m, untuk lebih jelas lihat lampiran C
dibuat, karena batuan akan membentuk bongkahan yang relatif kecil sehingga akan
mudah terjadi jatuhan bongkah batuan. Untuk mengatasi terjadinya runtuhan bongkah
yang tidak terkendali, maka arah penambangan tidak searah dengan kemiringan lereng.
Kondisi kekar pada daerah penambangan napal pada umumnya memiliki
permukaan yang halus, atau datar dan relatif tidak bergelombang. Hal ini akan
memberikan gaya geser yang besar sehingga mudah terjadi runtuhan, karena kekasaran
merupakan sistem pengunci antara dua blok yang saling berdekatan.
Kondisi air tanah pada daerah penambangan napal relatif kering, terlihat ketika
diraba tidak ada rembesan atau tetesan air. Kondisi air ini sangat berpengaruh pada
kestabilan lereng karena akan terjadi pengembangan massa batuan maka kuat geser
semakin besar yang mengakibatkan kemungkinan runtuh akan semakin besar.
Pada penghitungan parameter-parameter untuk menentukan kelas massa batuan,
didapat total nilai sistem RMR untuk napal yang berada di Kecamatan Semin adalah 61,
sehingga masuk pada kelas II. Berdasar kelas massa batuan tersebut, pengusulan untuk
geometri lereng dengan tinggi jenjang maksimum 10m dan lebar berm minimum 5m,
untuk lebih jelas lihat lampiran C.
Untuk penambangan akan dilakukan tegak lurus dengan jurus dan sejajar dengan
kemiringan kekar sehingga tidak mudah terjadi runtuhan dan akan memberikan nilai
yang sangat menguntungkan.
ini adalah sangat baik, dengan nilai RQD rata-rata yaitu 92,22 %. Hal ini dipengaruhi
oleh jarak antar kekar yang terbentuk pada permukaan batuan panjang.
Spasi yang ditemukan umumnya sempit atau saling berdekatan, yaitu berkisar
antara 10 cm – 100 cm. Hal ini akan berpengaruh pada kestabilan lereng yang akan
dibuat, karena batuan akan membentuk bongkahan yang relatif kecil sehingga akan
mudah terjadi jatuhan bongkah batuan. Untuk mengatasi terjadinya runtuhan bongkah
yang tidak terkendali, maka arah penambangan tidak searah dengan kemiringan lereng.
Kondisi kekar pada daerah penambangan bentonit pada umumnya memiliki
permukaan yang halus, atau datar dan relatif tidak bergelombang. Hal ini akan
memberikan gaya geser yang besar sehingga mudah terjadi runtuhan, karena kekasaran
merupakan sistem pengunci antara dua blok yang saling berdekatan.
Kondisi air tanah pada daerah penambangan bentonit relatif kering, terlihat
ketika diraba tidak ada rembesan atau tetesan air. Kondisi air ini sangat berpengaruh
pada kestabilan lereng karena akan terjadi pengembangan massa batuan maka kuat geser
semakin besar yang mengakibatkan kemungkinan runtuh akan semakin besar.
Pada penghitungan parameter-parameter untuk menentukan kelas massa batuan,
didapat total nilai sistem RMR untuk bentonit yang berada di Kecamatan Nanggulan
adalah 66, sehingga masuk pada kelas II. Berdasar kelas massa batuan tersebut,
pengusulan untuk geometri lereng dengan tinggi jenjang maksimum 10m dan lebar
berm minimum 5m, untuk lebih jelas lihat lampiran C.
Untuk penambangan akan dilakukan tegak lurus dengan jurus dan searah
kemiringan kekar sehingga tidak mudah terjadi runtuhan dan akan memberikan nilai
yang sangat menguntungkan.
5.1.7. Karakterisasi Marmer
Hasil pengujian kuat tekan uniaksial di laboratorium menunjukkan kekuatan
batuan yang sedang. Pengambilan percontoh di lapangan dilakukan pada 3 titik dengan
jarak 50 m, dengan hasil kuat tekan uniaksial pada titik A adalah 58,45 MPa, titik B
adalah 60,25 MPa dan titik C adalah 62,35 MPa. Dari hasil rata-rata ketiga titik tersebut
didapat kuat tekan uniaksial rata-rata 60,35 MPa. Hal ini menunjukkan bahwa marmer
mempunyai kualitas kekuatan yang sangat rendah untuk itu diperlukan kehati-hatian
dalam melaksanakan penggalian dan pemilihan dimensi lereng yang aman dan dari segi
ekonomi menguntungkan.
54
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan klasifikasi geomekanik massa batuan, bahan galian di Daerah
Istimewa Yogyakarta termasuk dalam kelas II (baik) dan kelas III (sedang).
Bahan galian yang termasuk kelas II adalah Napal (Gunung Kidul), Feldspar
(Gunung Kidul), Bentonit (Kulon Progo) dan untuk bahan galian kelas III adalah
Breksi Batuapung (Gunung Kidul), Breksi Batuapung (Bantul), Breksi
Batuapung (Sleman), Batugamping (Gunung Kidul), Batugamping (Bantul),
Batugamping (Kulon Progo), Andesit (Kulon Progo), Zeolit (Gunung Kidul),
Marmer (Kulon Progo).
2. Dimensi jenjang dengan faktor keamanan yang memadai untuk melakukan
penambangan pada bahan galian kelas II adalah tinggi jenjang tunggal maksimal
10 m dan lebar berm minimum 5 m. Untuk bahan galian kelas III dimensi
jenjang adalah tinggi jenjang tunggal maksimal antara 7 – 10 m dan lebar berm
minimum 5 m.
3. Faktor keamanan dalam keadaan jenuh tertinggi pada Breksi Batuapung
(Sleman) yaitu 7,58 dan terendah pada Marmer (Kulon Progo) yaitu 2,06.
4. Berdasarkan klasifikasi geomekanik massa batuan, bahan galian di Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam kegiatan penggaliannya dapat menggunakan
peralatan tradisional dan untuk meningkatkan produksi dapat menggunakan
peralatan mekanis.
5. Parameter yang sangat berpengaruh dalam klasifikasi massa batuan untuk bahan
galian di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah kondisi bidang ketidakmenerusan.
6. Berdasar hasil klasifikasi massa batuan, bahan galian di Daerah Istimewa
Yogyakarta secara teknis tidak mengalami masalah dalam melakukan
penambangan jika dilakukan dengan dimensi jenjang yang telah diajukan serta
penambangan dilakukan berlawanan dengan jurus bidang ketidakmenerusan dan
searah kemiringan bidang ketidakmenerusan.
55
56
6.2. Saran
1. Kegiatan penambangan dilakukan berdasar dimensi jenjang yang telah
disarankan untuk mendapatkan faktor keamanan yang memadai guna mencapai
sasaran produksi yang diinginkan.
2. Arah penambangan dilakukan berlawanan dengan jurus bidang
ketidakmenerusan dan searah dengan kemiringannya.