Professional Documents
Culture Documents
MATERI KULIAH
Para Fuqaha mendefinisikan Hukum Wadh‟i : “ Sesuatu yang diletakkan oleh pembuat syariat
dari tanda-tanda untuk menetapkan atau menolak, melaksanakan atau membatalkan”
Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam kitabnya Ilmu Ushul Fiqh bahwa Hukum Wadh’i terbagi
kepada : Sebab, Syarat, Mani’ (Penghalang) , Rukhshah dan Azimah, Shah dan Bathal.
Sebab : Menurut Abdul Wahab Khallaf : “Sesuatu yang oleh pembuat syariat dijadikan
sebagai tanda atas suatu akibat dan hubungan adanya akibat dengan sebab serta tidak
adanya akibat karena tidak adanya sebab”. Sebab dibagi menjadi dua : yaitu sebab yang
bukan berasal dari perbuatan manusia dan sebab yang berasal dari perbuatan manusia. Sebab
yang bukan berasal dari perbuatan manusia adalah sebab yang dijadikan oleh Allah sebagai
tanda atas wujudnya hukum, seperti adanya waktu merupakan sebab bagi wajibnya shalat,
melihat hilal Ramadhan menjadi sebab kewajiban berpuasa .
Sebab yang ada dalam jangkauan kemampuan manusia adalah perbuatan manusia mukallaf
yang oleh Allah dijadikan sebagai akibat timbulnya hukum. Contohnya memiliki satu nishab
harta berkembang menjadi sebab kewajiban membayar zakat, mencuri menjadi sebab
kewajiban potong tangan, sakit atau bepergian jauh menjadi sebab diperbolehkannya
berbuka puasa Ramadhan di siang hari.
HUKUM WADH‟I (SYARAT)
Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqh, Syarat adalah : “Sesuatu yang
menjadi tempat bergantung wujudnya hukum, tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya
hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum,”
Perbedaan antara Syarat dan sebab adalah ditemukan adanya syarat tidak memastikan adanya
hukum. Oleh karena itu, adanya Wudhu yang merupakan Syarat shalat tidak mengakibatkan
wajibnya shalat. Akan tetapi, shalat menjadi tidak sah tanpa adanya Wudhu‟. Sedangkan
sebab, ditemukan adanya sebab itu memastikan adanya hukum, kccuali ada Mani’
(penghalang). Karenanya, jika telah tiba bulan Ramadhan, maka wajiblah berpuasa
Syarat dapat dibedakan dengan Rukun walaupun pada dasarnya kedua-duanya menjadi pokok
dari suatu hukum. Rukun itu bagian dari hakikat. Sedangkan syarat adalah sesuatu di luar
hakikat sesuatu dan bukan bagian darinya. Ruku‟ adalah rukun shalat karena ia merupakan
bagian dari hakikat shalat. Adapun adanya Dua Saksi (Laki-laki) dalam pernikahan adalah
Syarat, bukan rukun, karena hal tersebut bukan bagian dari Aqad.
HUKUM WADH‟I (MANI‟/PENGHALANG)
Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam Kitab Ilmu Ushul Fiqh . Mani‟ (penghalang) adalah :
“Sesuatu yang adanya meniadakan hukum atau membatalkan sebab.”
Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam Kitab Ushul Fiqh bahwa Mani‟ /Penghalang adalah :
“Perkara Syara’ yang keberadaannya menafikan tujuan yang dikehendaki oleh sebab atau
hukum”
Menurut Jumhur Fuqaha Mani‟/Penghalang adalah : Sesuatu yang ditemukan setelah terbukti
sebabnya dan memenuhi syaratnya, tetapi dapat menghalangi hubungan sebab dan akibat.
Menurut sebagian Ulama Ushul Fiqh Rukhshah dan Azimah adalah : Rukhshah adalah suatu
hukum yang dikerjakan lantaran ada suatu sebab yang memperbolehkan untuk meninggalkan
hukum yang asli, sedangkan Azimah ialah hukum yang mula-mula harus dikerjakan lantaran
tidak ada sesuatu yang menghalang-halanginya.
Rukhshah terbagi menjadi dua macam : yaitu Rukhshah untuk mengerjakan suatu perbuatan,
dan Rukhshah untuk meninggalkannya, pembagian ini didasarkan pada hukum dalam Azimah.
Jika hukum Rukhshah dan Azimah itu berupa larangan, maka Rukhshahnya berupa dispensasi
untuk mengerjakan. Sebaliknya, jika hukum Azimah itu berupa kewajiban melaksanakan suatu
perbuatan, maka Rukhshahnya berupa dispensasi untuk meninggalkannya.
Sah dan Batal merupakan sifat yang ada dalam hukum Syara‟, baik itu hukum Taklifi maupun
hukum Wadh’i. Oleh karena itu shalat yang termasuk lingkup Taklifi dituntut keabsahannya.
Shalat menjadi tidak sah jika syarat-syaratnya tidak terpenuhi, dan karenanya kewajiban
mengerjakannya belum gugur, dan berdosa jika seseorang tidak mengulangi shalatnya pada
waktunya
Demikian juga hukum Wadh‟i disebut dengan sah batal. Sebab yang Sah akan mengakibatkan
timbulnya Efek Hukum (Musabbab), begitu juga syarat yang sah akan menjadikan
sempurnanya sebab atau hukum. Sebagai contoh, Wudhu yang sah dapat dipergunakan untuk
menunaikan Shalat
Pengertian Sah menurut Syara‟ adalah : Perbuatan mukallaf mempunyai pengaruh secara
syara’
Para ahli fiqh sepakat bahwa tidak ada perbedaan antara ibadah yang tidak sah dan ibadah
yang batal. Artinya jika ibadah itu telah memenuhi rukun dan syarat sahnya, berarti sudah
cukup, dan dengan melaksanakannya berarti telah terbebas dari tanggungan (Taklif). Sedangkan
jika ibadah itu kurang sebagian dari syarat dan rukunnya berarti belum cukup, dan dengan
melaksanakan semacam ini belum terbebas dari tanggungan.