You are on page 1of 8

NAMA : MUH.

RAIHAN GHALY ZAHRANI


NIM : 602022022149
PRODI : EKONOMI SYARIAH 6

HARTA DALAM ISLAM


A. Pengertian Harta

Dalam kitab-kitab fikih, untuk menunjukkan harta digunakan istilah al–mal


yang bentuk jamaknya adalah al-amwal. Secara literal memiliki arti “condong” atau
“berpaling” dari satu posisi kepada posisi lainnya. Ia adalah sesuatu yang naluri
manusia cenderung kepadanya.
Dalam terminologi fikih muamalah terdapat beberapa macam pengertian
tentang harta atau al-mal . antara lain adalah definisi harta yang berkembang
dikalangan fuqaha’ Hanafiyah yaitu “Segala sesuatu yang naluri manusia cenderung
kepadanya dan dapat disimpan sampai batas waktu yang diperlukan”
Dari definisi di atas dapat ditafsirkan bahwa harta adalah sesuatu selain
manusia yang mana manusia mempunyai hajat (keperluan) terhadapnya dapat
disimpan untuk ditasharufkan.
Adapun konsep harta dikalangan jumhur fuquha mazhab milikiyah, syafi’iyah
dan Hanabilah adalah : “sesuatu yang naluri manusia cenderung kepadanya dan dapat
diserahterimahkan dan orang lain terhalang mempergunakannya” .Dari Pengertian
tersebut mengisyaratkan pandangan mereka bahwa harta tidak terbatas pada materi
melainkan juga manfaaat.
Implikasi dari perbedaaan konsep harta terlihat pada dua contoh berikut ini.
Apabila seorang mengambil manfaat orang lain (ghasab), menurut jumhur fuqaha’
pemilik harta berhak menuntut ganti rugi. Karena menurut pandangan jumhur manfaat
atau kegunaan barang merupakan unsur terpenting dari harta. Nilai harta sangat
bergantung pada kualitasdan kuantitas manfaatnya. Dalam kasus ghasab diatas fuqaha
hanafiyah berpendapat bahwa pemilik barang tidak berhak menuntut ganti rugi.
Sekalipun demikian dalam pandangan mereka ghasab merupakan perbuatan tercela.
Contoh lain terlihat pada pengertian waqaf. Menurut Abu Hanifah wakaf
adalah penghentian harta bergerak dari pemilikan wakif secara hukum dan
penyedekahan manfaatnya untuk kepentingan umum. Oleh karena itu pemilikan
benda yang diwakafkan tidak harus lepas dari pemilikan wakif nya kembali serta
boleh menjualnya. Sedang Jumhur Fuqaha, harta wakaf tidak lagi menjadi milik wakif
melainkan secara hukum menjadi milik Allah atau dalam terminologi sosiologis harta
waqaf menjadi milik masyarakat umum. Wakif tidak boleh menariknya kembali.
Dari beberapa pengertian yang disampaikan dapat disimpulkan bahwa unsur
harta ada empat, yaitu:
1. Bersifat materi atau mempunyai wujud nyata
2. Dapat disimpan untuk dimiliki
3. Dapat dimanfaatkan
4. Uruf (adat atau kebiasaan) masyarakat memandangnya sebagai harta.

Apakah Uang Termasuk Harta?

Sehubungan dengan pengertian harta sebagai barang ,mucullah satu


permasalahan yang dimana mempertanyakan,”apakah konsep harta hanya didominasi
oleh barang? apakah uang dapat dipandang sebagai harta, sebagaimana harta?

Dilihat dari sisi manfaat (nilai atau kegunaan) uang mempunyai manfaat atau
kegunaan yang sepadan dengan harta. Sekedar ilustrasi, misalnya dalam jual-beli
barang dihargai dengan sejumlah uang dalam sewa-menyewa pemilik barang
menstraksaksikan manfaat dengan barang dengan imbalan uang. Hal serupa juga
terjadi pada transaksi perburuhan dimana SDM diupah dengan uang.

Jadi kesimpualn yang didapat dari beberapa sisi pandang yang telah
disampaikan di atas, harta dalam wujud barang maupun dalam wujud uang tidak dapat
dipandang sebagai dua hal yang berbeda. Keduanya sama mempuanyai kedudukan
yang setimbang sebagai harta.

B. Pembagian Jenis – Jenis Harta

a. Mal Mutaqawwin dan Ghairu Mutaqawwin


Dari sudut pandang perlindungan dan pengakuan syariat atasnya atau
ditinjau dari segi pemanfataannya menurut syara Harta dibedakan menjjadi
Mal Mutaqawwin (halal dimanfaatkan) dan Mal ghairu Mutaqawwin (harta
yang tidak halal dimanfaatkan) . Babi, Khamr, bangkai dan lain – lain
sebagainya tergolong Mal ghairu mutaqawwim karena syara mengharamkan
kepada orang mukmin untuk memanfaatkan barang – barang yang sejenis ini.
Ada beberapa konsekuensi hukum akibat dari perbedaan jenis harta,
sebagai berikut:
Pertama, pada prinsipnya umat islam tidak diperkenankan menjadikan
harta ghairu mutaqawwim sebagai objek transaksi. Akan tetapi prinsip ini
tentunya tidak berlaku secara mutlak. Artinya benda ghairu mutaqwwim bisa
dijadikan sebagai objek transaksi sepanjang terdapat indikasi yang kuat bahwa
tujuan transaksi (mauduul aqdi) tidak untuk hal – hal yang dilarang syara.
Misalnya transaksi jual beli anjing herder bukan anjing potong. Pada transaksi
jual beli anjing potong atau daging anjing tujuannya adalah untuk dimakan.
Tujuan tranksaksi seperti ini jelas bertentyangan dengan syariat islam sedang
anjing herder ditransaksikan untuk tujuan keamanaan. Tujuan transaksi seperti
ini tidak bertentangan denmgan syariat islam sekalipun dilakukan terhadap
mal ghairu mutaqawwim
Kedua, perusakan atas harta ghairu mutaqawwim tidak mengakibatkan
hak menuntu ganti rugi. Dalam hal ini ulama mazhab hanfiya berpendapat
bahwa syariat islam melindungi pemilikan ablul dzimmah terhadap harta
gahiru mutaqawwim, bagi seorang non muslim yang hidupn didalam
pemerintahan islam (ablul dzimmahj) barang – barang tersebut termasuk harta
mutaqawwim. Oleh karena itu menurut abu hanifa orang islam yang
merusakkan atau melenyapkan wajib mengganti dengan harga, jika yang
merusakka seorang dzimmi pemiliki berhak menuntut ganti dengan barang
yang serupa.

b. Mal al – Uqar dan Mal Ghairul Uqar


Pembedaan jenis harta seperti ini mengakibatkan beberapa
konsekuensi hukum, antara lain:
Pertama, hubungan ketetanggan terhadap Mal’ Uqar menimbulkan hak
syuf’ah,yakni hak prioritas seorang tetangga dekat untuk membeli mal uqar,
sebelum pemilik berkehendak menjualnya kepada orang lain. Hak prioritas
seperti ini tidak terdapat pada mal ghairu uqar.
Kedua, mal uqar dapat dijadikan sebagai objek wakaf tanpa ada perselisihan
dikalangan fukaha. Sedang wakaf harta ghairul uqar ulama hafiya
mempersyaratkan sifatnya yang tidak dapat dipisahkan dari harta tidak
bergerak. Menurut fuqaha jumhur semua jenis benda baik bergerak maupun
benda tidak bergerak dapat dijadikan sebagai objek wakaf.
Ketiga, seorang wasi (orang yang kepadanya diberikan wasiat) memelihara
harta anak keciltidak dibenarkan menjual harta tidak bergerak milik anak kecil
tesebut kecuali dalam hal – hal yang sangat mendesak, seperti menjualnya
untuk kepentingan membayar hutang anak kecil. Hal ini dilakukan harus
dengan seizxin hakim sedang terhadap harta bergerak, seorang wasi boleh
menjualnya untuk keperluan pemeliharaan anak kecil tersebut tanpa harus ada
izin dari hakim.
Keempat, dalam hal ghazab. Menurut abu hanifa dan abu yusuf ghazab tidak
mungkin dilakukan terhadap harta tidak berggerak, karena harta jenis initidak
dapat dipindahkan. Salah satu persyaratan ghazab menurut mereka adalah
barang tersebut harus dikuasai dan pindahkan oleh orang yang melakukan
ghzab. Selain itu mengambil manfaat benda tidak bergerak tanpa seizin
pemiliknya tidak dapat dikatan sebagai ghazab karena menurut meraka
manfaat tidak termasuk unsur harta. Sedang menurut jumhur fuqaha ghazab
bisa terjadi pada benda tidak begerak. Karena manfaat merupakan unsur
terpenting dalam harta.

c. Mal Misliy dan Mal Qimiy


Mal Misliy adalah harta yang mempunyai persamaan atau
padanandengan tidak mempertimbangkan adanya perbedaan anatara satu
dengan lainnya dalam kesatuan jenisnya. Biasanya Mal Misliy berupa harta
benda yang dapat ditimbang, di takar, di ukur atau dihitung kuantitasnya.
Kebanyakan komoditas (barang dagangan) tergolong jenis ini seperti buah –
buahan, sayur mayur, germent dan lain sebagainya.
Mal Qimiy adalah harta yang tidak mempunyai persamaan atau
padanan atau harta yang memiliki padanan namun terdapat perbedaan kualitas
yang sangat diperhitungkan, seperti perhiasan binatang piaraan, naskah kuno,
barang antik dan lain sebagainya.
Pembedaan jenis harta seperti ini mengakibatkan beberapa
konsekuensi hukum, antara :
Pertama, sistem jaul beli barter atas mal qimiy tidak memungkinkan terajdi
ribah fudhuli karena jenis satuannya tidak sama. Tetapi jaul belli barter
terhaadap mal misliy dimungkinkan transaksi jual beli yang menjurus pada
praktek riba fudhuli.
Kedua, dalam perserikatan harta yang bersifat misliy dapat mengambil
bagiannya ketika teman atau mitra sekutunya sedang tidak ada di tempat
sebaliknya dalam persekutuan harta yang bersifat masing – masing pihak yang
bersekutu tidak boleh mengambil bagiannya selama pihak lain tidak sedang
berada di tempat.
Ketiga, pengrusakan terhadap harta misliy pemilik berhak menuntut ganti rugi
dengan barang yang sejenis, sedang pengrusakan terhadap harta yang bersifat
qimiy maka ganti pembayaran ganti rugi dilakukan dengan memperhitungkan
harganya.

Barang Misliy
Adapun yang termasuk dalam barang Misliy yaitu Beras, dikarenakan
beras merupakan barang atau harta benda yang dapat ditakar, ditimbang dan
dihitung kuantitasnya dengan menggunakan hak Akad yang dimana kedua
belah pihak melakukan sebuah perikatan seperti akda jual beli.

Barang Qimiy
Adapun yang termasuk dari barang Qimiy yaitu Perhiasan yang
dimana harta yang memiliki padanan namun terdapat perbedaaan kualitas
yang sangat diperhitungkan.
d. Mal Isti’mali dan Mal Istiblaki
Mal Isti’mali adalah harta benda yang dapat diambil manfaatnya
beberapa kali dengan tidak menimbulkan perubahan dan kerusakan zatnya dan
tidak berkurang nilainya, seperti kebun, pakaian, perhiasan dan lain
sebagainya. Sedangkan Mal Istiblaki adalah harta benda yang menurut
kebiasaannya hanya dapat dipakai dengan menimbulkan kerusakan zatnya atau
berkurang nilainya. Seperti korek api, makanan, minuman, kayu bakar dan lain
sebagainya.
Mal Istiblaki dibedakan menjadi dua. Pertama, Istiblaqi haqiqiy yakni
harta benda yang benar – benar habis sekali dipakai seperti kayu bakar, korek
api makanan dan lain sebagainya. Kedua, Istiblaqi buquqiy yaitu harta benda
yang secara hukum bersifat habis sekali pakai, meskipun bendanya masih
utuh, kertas tulis dan lain sebagainya.
Pembedaan harta benda seperti ini menimbulkan konsekuensi hukum
dalam hal menjadi obyek transaksi. Pada harta yang bersifat Isti’mali dapat
dijadikan sebagai obyek akad yang mendatangkan keuntungan material bagi
pemiliknya. Seperti akad ijarah, yakni akad yang mentransaksi manfaat suatu
harga dengan sejumlah imbalan tertentu. Akad ijarah seperti ini tidak dapat
dilakukan terhadap harta isti’mali. Jenis harta isti’mali hanya memungkinkan
pemiliknya mentasarrufkan manfaat barang untuk tujuan ta’awun (tolong
menolong), seperti pada akad ariyah, yakni transaksi atas manfaat barang yang
tidak disertai imbalan.

e. Mal Mamluk, Mal Mahjur, dan Mal Mubah


Mal Mamluk adalah harta benda yang statusnya berada dalam
pemilikan seseorang atau badan hukum seperti pemerintah yayasan. Orang
lain tidak berhak menguasai barang seperti ini kecuali melalui akad tertentu
yang dibenarkan oleh syara.
Mal Mahjur adalah harta menurut syara tidak dapat dimiliki dan tidak
dapat diserahkan kepada orang lain lantaran telah diwakafkan atau telah
diperuntukkan bagi kepentingan umum, seperti jalan, masjid, tempat
pemakaman dan segala macam barang yang diwakafkan.
Mal Mubah (benda bebas) adalah segala harta selain yang termasuk
kedua kategori benda diatas. Setiap orang dapat menguasai dan memiliki jenis
benda ini sesuai kesanggupannya. Orang yang lebi dahulu menguasainya ia
menjadi peemiliknya. Upaya menguasai benda mubah dalam terminologi fikih
muamalah disebut ibraz almubahat (penguasaan atas harta benda).
f. Mal Ashl dan Mal Tsamarah
Mal ashl adalah harta benda yang dapat menghasilkan harta lain.
Sedangkan Mal Tsamarah adalah harta benda yang tumbuh dan dihasilkan dari
Mal Ashl tanpa menimbulkan kerugian atau kerusakan atasnya. Misalnya
sebidang kebun menghasilkan buah – buahan. Maka kebun merupakan Mal
Ashl sedangkan buah – buahan merupakan Mal Tsmarah.
Pembedaan jenis harta seperti ini mengakibatkan beberapa
konsekuensi hukum sebagai beriku :
Pertama, pada prinsipny harta wakaf tidak dapat dimiliki atau
ditasarrufkan menjadi milik perorangan, namun hal serupa dapat dilakukan
terhadap hasil harta wakaf. Oleh karena itu antara pengganti harta waqaf
berbeda dengan hasil harta wakaf. Harga atau hasil tukar guling atas harta
wakaf harus diperuntukkan untuk mengganti harta wakaf sejenis. Demikian
pula reruntuhan harta wakaf harus dipergunakan untuk kepentingan wakaf.
Adapun hasil dari harta wakaf dapat ditasarrufkan sesuai dengan tujuan
wakaf, sampai habis sekalipun.
Kedua, harta yang diperuntukkan bagi kepentingan fasilitas umumj
seperti jalan dan pasa pada prinsipnya tidak dapat dimiliki oleh perorangan.
Sedang penghasilan dari harta umum ini dapat dimiliki.
g. Mal Qismah dan Mal Ghairul Qismah
Mal Qismah adalah harta benda yang dapat dibagi menjadi beberapa
bagian dengan tidak menimbulkan kerusakan atau berkurangnya manfaat
masing – masing bagian dibandingkan sebelum dilakukan pembagian seperti,
emas batangan, daging, kayu dan lain sebagainya.
Mal Ghairul Qismah adalah harta yang tidak dapat dilakukan
pmbagian sebagaimana pada Mal Qismah, seperti gelas, kursi, dan perhiasan.
Pembedaan jenis harta seperti ini mengakibatkan konsekuensi hukum
sebagai berikut:
Pertama, perselisihan terhadap Mal Qismah yang menjadi milik
bersama diselesaikan oleh keputusan hakim melalui qismatut tafriq, yakni
membagi benda menjadi bagian – bagian yang terpisah. Jika perselisihan
serupa terjadi pada Mal Gairul Qismah diselesaikan melalui pembagian lebiih
dahulu.
Kedua, persekutuan terhadap mal ghairul qismah yang belum
ditentukan bagian masing – masing, maka pemilik bagian tersebut sah
melimpahkan pemilikan tersebut kepada orang lain. Terhadap Mal qismah,
pemberian seperti di atas tidak sah sebelum dilakukan pembagian lebih
dahulu.
Ketiga, biaya perawatan terhadap Mal qismah yang berupa harta tidak
bergerak yang dimiliki secara berserikat yang dikeluarkan oleh seorang
pemilik tanpa sepengetahuan atau tanpa seizin pemilik lainnya berlaku sebagai
pembiayaan sukarela yang tidak dapat dimintakan ganti kepada pemilik
lainnya.

You might also like