Professional Documents
Culture Documents
(Liturgia)
Pada dasarnya, ada tiga tugas pokok Gereja, yaitu tugas mewartakan (tugas
nabiah), tugas menguduskan (tugas imamiah), dan tugas memimpin atau melayani
(tugas rajawi). Namun, tritugas Gereja tersebut secara pastoral dijabarkan ke dalam
lima tugas, yaitu tugas mewartakan (kerygma), tugas menguduskan (liturgia), tugas
memberi kesaksian (martyria), tugas melayani (diakonia) dan tugas membina
persekutuan (koinonia).
b. Fungsi Doa
Peranan dan fungsi doa bagi orang Kristiani, antara lain sebagai berikut:
• Mengkomunikasikan diri kita kepada Allah;
• Mempersatukan diri kita dengan Tuhan;
• Mengungkapkan cinta, kepercayaan, dan harapan kita kepada Tuhan;
• Membuat diri kita melihat dimensi baru dari hidup dan karya kita, sehingga kita
melihat hidup, perjuangan, dan karya kita dengan mata iman;
• Mengangkat setiap karya kita menjadi karya yang bersifat apostolis atau merasul.
2
bagian dalam misteri yang dirayakan. Tentu saja bukan hanya dengan partisipasi
lahiriah, tetapi yang pokok adalah hati yang ikut menghayati apa yang diungkapkan
dalam doa.
Liturgi sungguh-sungguh menjadi doa dalam arti penuh, bila semua yang hadir
secara pribadi dapat bertemu dengan Tuhan dalam doa bersama itu. Dengan demikian
terjadi apa yang dikatakan Tuhan: “... di mana ada dua atau tiga orang berkumpul dalam
nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18: 20). Atau dengan rumusan
Konsili Vatikan II. “Di dalam jemaat-jemaat, meskipun sering hanya kecil dan miskin,
atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus, dan berkat kekuatan-Nya terhimpunlah Gereja
yang satu, kudus, katolik, dan apostolik” (Lumen Gentium, art. 26).
Doa resmi Gereja tidak sama dengan mendaraskan rumus-rumus hafalan doa-doa
resmi, melainkan pertama-tama dan terutama adalah pernyataan iman di hadapan Allah.
Doa berarti mengarahkan hati kepada Tuhan. Yang berdoa adalah hati, bukan badan.
Ibadat resmi Gereja tampak dalam ibadat pagi, ibadat siang, ibadat sore, ibadat
malam, dan ibadat bacaan.
Yang pokok dalam doa bukan sifat “resmi” atau kebersamaan, melainkan kesatuan
Gereja dengan Kristus dalam doa.
Dengan bentuk yang resmi, doa umat menjadi doa seluruh Gereja, yang sebagai
mempelai Kristus berdoa bersama Sang Penyelamat, sekaligus tetap merupakan doa
pribadi setiap anggota jemaat. Liturgi sungguh-sungguh menjadi doa dalam arti penuh
jika semua yang hadir secara pribadi dapat bertemu dengan Tuhan dalam doa bersama
itu.
SAKRAMEN-SAKRAMEN GEREJA
Doa dan ibadat liturgi sebagai sarana pengudusan umat dalam kesatuan dengan
Kristus berlaku secara istimewa untuk upacara-upacara liturgi yang disebut sakramen.
Boleh dikatakan, tujuh sakramen merupakan liturgi dalam arti yang paling penuh.
3
tanda-tanda itu. Dengan perantaraan para pelayan-Nya, Kristus sungguh aktif berkarya
dalam umat Allah.
B.TUJUH SAKRAMEN
Jika seseorang secara resmi menyatakan tobat dan imannya kepada Yesus Kristus,
serta bertekad untuk bersama umat ikut serta dalam tugas panggilan Kristus, maka dia
diterima dalam umat dengan upacara yang sejak zaman para rasul disebut sakramen
permandian.
Kenyataan yang lebih dalam ialah bahwa orang yang menerima sakramen
permandian diterima oleh Kristus menjadi anggota Tubuh-Nya, Umat Allah (Gereja).
Orang yang telah dipermandikan harus bersama Kristus “mati bagi dosa” supaya dalam
Kristus, ia hidup bagi Allah. Kebenaran itu diperagakan, dirayakan, dan dilambangkan
dalam peristiwa pencurahan air pada dahinya, sementara wakil umat (imam)
mengatakan, “Aku mempermandikan engkau dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.”
Dengan permandian, mulailah babak baru dalam hidup seseorang. Kristus sendiri
menjiwai dia melalui Roh-Nya, maka segala pelanggaran dan dosa yang telah
diperbuatnya dihapus.
4
bersangkutan diharapkan hidup bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk ikut membina
Tubuh Kristus (Umat Allah).
3. Sakramen Tobat
Usaha untuk bangun lagi sesudah jatuh, berbaik lagi dengan Tuhan dan sesama,
merupakan unsur yang hakiki dan harus selalu ada dalam hidup kita.
Para pengikut Kristus perlu bertobat dan membaharui diri secara terus-menerus di
hadapan Tuhan dan sesama. Tanda pertobatan di hadapan Tuhan dan sesama itu
diterima dalam perayaan sakramen tobat.
Selama suatu kesalahan berat belum diampuni, ia tidak dapat ikut serta dalam
ibadat umat secara sempurna. Agar dia diterima kembali menjadi anggota umat yang
hidup, dia harus bertobat dan menghadapi wakil umat (pastor) untuk mendapatkan
pengampunan.
4. Sakramen Ekaristi/Misa (Tanda Kesatuan)
Roti dan anggur menyatakan bagaimana Yesus mati (menumpahkan darah). Ia
harus mati demi pengampunan dosa-dosa. Maka, sejak zaman para rasul, umat Kristen
berkumpul untuk bersyukur kepada Allah Bapa yang membangkitkan Yesus dari alam
maut dan menjadikan-Nya Tuhan dan Penyelamat.
Berkumpul di sekitar meja Altar untuk menyambut Kristus dalam sabda dan
perjamuan-Nya merupakan kehadiran Gereja yang paling nyata dan penuh; ungkapan
yang paling konkret dari persatuan umat dan Tuhan serta persatuan para anggotanya.
6. Sakramen Pernikahan
Kristus sendiri hadir dalam cinta suami-istri. Kristus menguduskan cinta insani
menjadi alat dan sarana keselamatan abadi. Di hadapan umat, kedua mempelai berjanji
satu sama lain untuk setia dan cinta baik dalam suka maupun duka. Selama hayat
dikandung badan.
Allah sendiri menjadi penjamin kesetiaan, maka apa yang disatukan Allah tidak
boleh diceraikan oleh manusia. Sakramen perkawinan berlangsung selama seumur hidup
5
dan mengandung panggilan luhur untuk membina keluarga sebagai tanda kasih setia
Allah bagi setiap insan. Hidup cinta mereka menjadi tanda (sakramen) cinta Allah
kepada manusia.
7. Sakramen Imamat
Umat membutuhkan pelayan-pelayan yang bertugas menunaikan berbagai tugas
pelayanan di tengah umat demi kepentingan dan perkembangan umat dalam hidup
beriman dan bermasyarakat. Pelayan-pelayan itu juga berfungsi untuk mempersatukan
umat, membimbing umat dengan berbagai cara demi penghayatan iman pribadi dan
bersama; membatu melancarkan kmunikasi iman demi tercapainya persekutuan umat,
persekutuan iman.
Pelantikan para pelayan itu dirayakan, disahkan dan dinyatakan dalam tahbisan
(sakramen imamat).
Sakramentali dan devosi merupakan bentuk dan kegiatan lain dari bentuk dan
kegiatan pengudusan dalam Gereja.
1. Sakramentali
Gereja mengadakan tanda-tanda suci (berupa ibadat/upacara/pemberkatan) yang
mirip dengan sakramen-sakramen yang disebut sakramentali. Berkat tanda-tanda suci
ini berbagai buah rohani ditandai da diperoleh melalui doa-doa permohonan dengan
perantaraan Gereja.
Aneka ragam sakramentali:
a. Pemberkatan, yakni pemberkatan orang, benda/barang rohani, tempat, makanan,
dsb. Pemberkatan atas orang atau benda/barang tersebut adalah pujian kepada
Allah dan doa untuk memohon anugerah-anugerah-Nya.
b. Pemberkatan dalam arti tahbisan rendah, yakni pentahbisan orang dan benda.
2. Devosi
Devosi (Latin: devotio = penghormatan) adalah bentuk-bentuk
penghormatan/kebaktian khusus orang atau umat beriman kepada rahasia kehidupan
Yesus yang tertentu, misalnya kesengsaraan-Nya, Hati-Nya yang mahakudus, sakramen
mahakudus, dsb. Atau, devosi kepada orag-orang kudus.
6
Segala macam bentuk devosi ini bersifat sukarela (tidak mengikat/tidak wajib) dan
harus bertujuan untuk semakin menguatkan iman kita kepada Allah dalam diri Yesus
Kristus.
Dalam diri Yesus dari Nazaret, sabda Allah tampak secara konkret dan manusiawi.
Penampakan itu merupakan puncak seluruh sejarah pewahyuan sabda Allah. Akan
tetapi, oleh karena sabda itu sudah menjelmakan diri dalam sejarah dan tidak dapat
tinggal dalam sejarah untuk selamanya, maka untuk mempertahankan hasilnya bagi
semua orang, sabda itu harus menciptakan bentuk-bentuk lain yang di dalamnya sabda
dapat hadir dan berbicara.
Ada tiga bentuk sabda Allah dalam Gereja, yaitu:
1. sabda/pewartaan para rasul sebagai daya yang membangun Gereja,
2. sabda Allah dalam Kitab Suci sebagai kesaksian normatif, dan
3. sabda Allah dalam pewartaan aktual Gereja sepanjang zaman.
Tiga bentuk pewartaan tersebut saling berhubungan. Pewartaan aktual Gereja
masa kini berdasarkan dan merupakan kesinambungan dari pewartaan para rasul dan
pewartaan Kitab Suci yang diwariskan kepada kita.
Ada perbedaan antara sabda Allah dalam ajaran para rasul serta Alkitab dan sabda
Allah dalam pewartaan aktual Gereja. Oleh karena wahyu selesai dengan kematian para
rasul, maka dasar normatif juga sudah diletakkan. Segala pewartaan selanjutnya
tergantung pada norma itu.
Pewartaan sabda Allah oleh Gereja bukan hanya sekadar informasi mengenai Allah
dan Yesus Kristus, melainkan sungguh-sungguh menghadirkan Yesus yang mulia. Di
dalamnya Kristus menyelamatkan, menyembuhkan hati dari setiap orang yang
mendengar dan membuka diri terhadap sabda yang disampaikan itu. Kristus
membebaskan kita dari dosa melalui sabda-Nya.
7
a. Pewartaan verbal (kerygma)
Pewartaan verbal pada dasarnya merupakan tugas hierarki, tetapi para awam
diharapkan untuk berpartisipasi dalam tugas ini. Bentuk-bentuk pewartaan masa kini,
antara lain sebagai berikut:
• Khotbah atau Homili: Khotbah adalah pewartaan tematis. Homili adalah pewartaan
yang berdasarkan suatu perikop Kitab suci.
• Pelajaran Agama: Dalam pelajaran agama diharapkan para guru agama
mendampingi para siswa untuk menemukan makna hidupnya dalam terang Kitab
Suci dan ajaran Gereja. Pelajaran agama adalah proses pergumulan hidup nyata
dalam terang iman.
• Katakese Umat: Katakese umat adalah kegiatan suatu kelompok umat, di mana
mereka aktif berkomunikasi untuk menafsirkan hidup nyata dalam terang Injil,
yang diharapkan berkelanjutan dengan aksi nyata, sehingga dapat membawa
perubahan dalam masyarakat ke arah yang leebih baik.
• Pendalaman Kitab Suci: Pendalaman Kitab Suci dapat dilakukan dalam keluarga,
kelompok, atau pada kesempatan-kesepatan khusus seperti pada masa
Prapaskah (APP), masa Adven, dan pada bulan Kitab Suci (September).
8
Pengenalan latar belakang dari orang-orang yag kepadanya sabda Allah akan
disampaikan tentu sangat penting. Kita harus mengenal jiwa dan budaya mereka.
Dengan kata lain, pewartaan kita harus sungguh menyapa para pendengarnya, harus
inkulturatif.
9
Menjadi pewarta merupakan suatu panggilan. Oleh karena itu, seorang pewarta
harus:
a. dekat dengan yang diwartakannya;
b. menjadi senasib dengan yang diwartakannya;
c. berani menanggung derita seperti yang diwartakannya;
d. siap untuk diutus dan “diserahkan” kepada umat yang mendengar pewartaannya;
dan
e. memiliki komitmen yang utuh kepada umat.
Siapakah yang harus menjadi para pewarta?
Kita semua harus menjadi pewarta sabda. Karena Sakramen Baptis dan
Pengurapan, kita menjadi anggota Gereja dan sekaligus terlibat dalam misi Gereja.
Salah satu misi Gereja yang paling penting adalah mewartakan sabda Allah.
Mereka yang secara khusus melibatkan diri secara agak penuh ke dalam tugas
pewartaan ini adalah sebagai berikut.
a. Para Pengkhotbah
Sebagian besar umat kita merayakan ibadat hari Minggu tanpa imam. Awam-awam
tertentu di beberapa tempat sudah biasa melibatkan diri untuk memimpin upacara
sabda di tempat-tempat ibadat yang jauh dari pusat paroki. Mereka pun sering
membawakan khotbah atau homili dalam ibadat itu.
b. Para Katekis
Banyak katekis tamatan lembaga-lembaga katekis, namun mereka tidak bekerja
sebagai katekis dalam pengertian yang tradisional. Mereka praktis bekerja di bebagai
bidang hidup dalam masyarakat.
Rupanya, perlu dipikirkan identitas baru bagi katekis zaman ini di wilayah gerejani
kita. Yang jelas, banyak dari mereka dapat diandalkan sebagai penggerak umat dan
masyarakat dalam kerasulan tata dunia.
c. Guru Agama
Guru agama sekarang lebih banyak dijumpai di sekolah-sekolah daripada di tengah
masyarakat, tidak seperti tempo dulu. Peranan mereka sudah diambil alih oleh pengurus
kelompok basis.
Guru agama di sekolah-sekolah, umumnya sudah menjadi pegawai negeri, tetapi
dari segi mutu masih perlu ditingkatkan. Pola pelajaran agama sekarang memerlukan
pengetahuan dan keterampilan yang cukup tinggi.
10
Bab III: Gereja yang Menjadi Saksi
(Martyria)
PEWARTAAN LEWAT KESAKSIAN HIDUP
Kata “saksi” sering diartikan sebagai “orang yang melihat atau mengetahui sendiri
suatu peristiwa (kejadian)”. Orang tersebut diminta hadir apabila diperlukan untuk
memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh
terjadi. “Saksi” menunjuk pada personal atau pribadi seseorang, yakni pribadi yang
“mengetahui” atau “mengalami” dan “mampu memberikan keterangan yang benar”.
Menjadi saksi Kristus berarti menyampaikan atau menunjukkan apa yang dialami
dan diketahui tentang Kristus kepada orang lain. Penyampaian, penghayatan, atau
pengalaman itu dapat dilaksanakan melalui kata-kata, sikap, dan tindakan nyata.
Injil pertama-tama diwartakan dengan kesaksian, yakni diwartakan dengan tingkah
laku dan peri hidup. Gereja juga mewartakan Injil kepada dunia dengan kesaksian hidup
yang setia kepada Tuhan Yesus.
Para murid Yesus memang dipanggil untuk menjadi saksi-Nya, mulai dari
Yerusalem, kemudian berkembang ke seluruh Yudean dan Samaria, bahkan sampai ke
ujung bumi (lih. Kis 1: 8). Pada waktu itu yang dimaksud ujung bumi adalah Roma.
Dengan sampainya pewartaan Injil di Roma, maka diyakini bahwa pewartaan Injil juga
akan sampai ke ujung bumi, seluruh dunia.
Bagi kita sekarang menjadi saksi Kristus mulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria
sampai ke ujung bumi berarti menjadi saksi Kristus mulai dari rumah/keluarga, sanak
saudara, tetangga, lingkungan sekolah sampai ke ujung di mana hidup kita nanti
berakhir.
Sabda Yesus itu menunjukkan tugas pokok yang harus dilaksankan para pengikut-
Nya. Dalam sejarah Gereja, kita tahu bahwa banyak orang telah merelakan dirinya
menjadi saksi Kristus. Ingat saja sejarah mengenai para misionaris.
Pewartaan dalam bentuk kesaksian hidup mungkin sangat relevan bagi kita di
Indonesia. Kita hidup di tengah bangsa yang sangat majemuk kepercayaan dan
budayanya. Pewartaan verbal mungkin kurang simpatik dibandingkan dengan pewartaan
lewat dialog, termasuk dialog hidup, di mana kita mewartakan iman kita melalui
kesaksian hidup kita.
11
KESAKSIAN HIDUP BERDARAH
Menjadi saksi Kristus ternyata dapat menuai banyak risiko. Yesus telah berkata,
“Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang
membunuh kamu akan meyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah ( lih. Yoh 16: 2).
Yesus sendiri telah menjadi martir. Ia menderita dan wafat di salib demi Kerajaan Allah.
Beberapa contoh orang yang berani menyerahkan jiwanya (mati sebagai martir)
demi iman mereka kepada Kristus adalah sebagai berikut.
1. Santo Sebastianus
Sebastianus adalah pengawal istana Kaisar Diokletianus. Ia suka menghibur dan
meneguhkan orang-orang Kristiani yang disiksa. Akibatnya, ia sendiri dihukum mati
dengan dihujani panah, karena menolak paksaan untuk menyangkal imannya akan
Kristus.
3. Santa Regina
Regina mati sebagai martir Kristus di Autun, Prancis, tahun 303. Ia adalah gadis
cantik yang menolak ketika dipinang oleh gubernur yang kafir. Ayahnya yang rindu
perbaikan hidup menjadi sangat marah. Regina dimasukkan ke dalam gudang bawah
tanah. Kemudian, Regina ditangkap oleh gubernur yang kafir itu dan dimasukkan ke
dalam penjara. Walaupun didera dan disiksa, Regina tetap teguh dalam iman kepada
Kristus. Menjelang kepalanya dipenggal, merpati putih kemilau hinggap di kepala
Regina. Mereka menyaksikan dan mengakui kesucian Regina dan bertobat.
5. P. Maximilianus Kolbe
P. Maximilianus Kolbe rela mati dibunuh di kamp konsetrasi Nazi Jerman untuk
menggantikan seorang kepala keluarga, supaya kelak si bapak dapat pulang ke tengah
keluarganya.
12
Masih banyak saksi Kristus lain yang rela menyerahkan hidupnya dan mati sebagai
martir demi imannya akan Yesus Kristus.
13
Ciri religius pelayanan Gereja ialah menimba kekuatan dari sari teladan Yesus
Kristus.
d. Kerendahan hati
Dalam pelayanan, Gereja (kita) harus tetap bersikap rendah hati. Gereja tidak
boleh berbangga diri, tetapi tetap melihat dirinya sebagai “hamba yang tak berguna”
(Luk 17: 10)
14
mengajak umatnya untuk berpartisipasi dalam politik lewat partai-partai dan ormas yang
mengutamakan kepentingan rakyat.
15