Professional Documents
Culture Documents
1 PB+29 44
1 PB+29 44
Abstract The management policy of these protected forests often influences the pattern of agricultural land
tenure around protected forests. This research focuses on the agricultural land tenure around the Mbeliling
Protected Forest, West Manggarai Regency, NTT. The purpose of the study was to describe changes in
agricultural land tenure patterns in correlation with the existence of the Mbeliling Protected Forest. In
addition, this study is directed to describe alternative fulfillment of agricultural land in line with protected
forest management. The qualitative method used in this study allows research data to be obtained
profoundly and widely in communities, especially farmers around the Mbeliling Protected Forest. The data
are processed and analyzed by categorization techniques and inductive conclusions. The results showed
that the control of agricultural land has changed from communal control to private control. Today, private
agricultural land is acquired through inheritance influenced by the patrilineal kinship system. Changes in the
area of forest areas directly reduce agricultural land and limit people's access to forest natural resources.
Integrating local wisdom in forest area management and agricultural development is necessary. There needs
to be special treatment on the inheritance of agricultural land to maintain a minimum area of agricultural
land. It is also essential to integrate communal land management into social forestry policies.
Abstrak Pola penguasaan lahan pertanian di sekitar hutan lindung sering dipengaruhi kebijakan
pengelolaan hutan lindung tersebut. Penelitian ini berfokus pada penguasaan lahan pertanian di sekitar
Hutan Lindung Mbeliling Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan
perubahan pola penguasaan lahan pertanian dalam korelasinya dengan keberadaan Hutan Lindung
Mbeliling. Selain itu penelitian ini diarahkan untuk mendeskripsikan alternatif pemenuhan lahan pertanian
yang selaras dengan pengelolaan hutan lindung Metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini
memungkinkan data penelitian diperoleh secara mendalam dan luas pada masyarakat terutama petani di
sekitar Hutan Lindung Mbeliling. Data diolah dan dianalisis dengan teknik kategorisasi, serta pengambilan
kesimpulan secara induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penguasaan lahan pertanian mengalami
perubahan dari penguasaan secara komunal menjadi penguasaan secara privat. Saat ini, lahan pertanian
privat diperoleh melalui pewarisan yang dipengaruhi oleh sistem kekerabatan patrilineal. Perubahan luas
kawasan hutan secara langsung mengurangi lahan pertanian serta membatasi akses masyarakat pada
sumber daya alam hutan. Perlu mengintegrasikan kearifan lokal dalam pengelolaan kawasan hutan dan
pembangunan pertanian. Perlu adanya perlakuan khusus pada pewarisan lahan pertanian untuk
mempertahankan luas minimal lahan pertanian. Penting pula untuk mengintegrasikan manajemen lahan
komunal dalam kebijakan perhutanan sosial.
1. Pendahuluan
Salah satu isu penting dan dilakukan oleh Susanti (Susanti, 2017)
strategis dalam pembangunan sektor menunjukkan fakta bahwa rata-rata
pertanian adalah akses petani pada penguasaan lahan pertanian di
sumber-sumber ekonomi terutama Pegunungan Tengger Atas yaitu seluas
tanah. Hal ini mengingat peran tanah 0,28 hektar. Luas ini belum dapat
sebagai input penting dalam proses menunjang tingkat hidup yang layak
produksi pertanian. Penguasaan tanah sebagaimana ditetapkan dalam UU
pertanian (aspek kuantitas) dapat Pokok Agraria bahwa luas minimum
menjadi rujukan dalam kategorisasi untuk mencapai hidup yang layak
petani sebagai petani pemilik lahan adalah seluas 2 Hektar. Data lain
yang cukup, petani gurem, atau petani menunjukkan bahwa di Indonesia luas
yang tidak memiliki lahan sama sekali. lahan pertanian yang beralih fungsi
Saat ini, penguasaan lahan pertanian setiap tahun mencapai 40.000-100.000
menjadi salah satu persoalan penting hektar, 50% diantaranya terdapat di
karena tingkat pertumbuhan rumah pulau Jawa (Rongiyati, 2013).
tangga usaha petani gurem di Indonesia Penguasaan tanah juga
cukup tinggi. Hermawan (2012) katakan menyinggung aspek lain dalam
salah satu penyebab powerless petani pembangunan masyarakat pertanian
dan dianggap penyebab terbesar adalah dan perdesaan yakni keadilan distribusi
ketimpangan dalam distribusi lahan. lahan. Konflik agraria yang sering terjadi
Hasil Survei Pertanian Antar menunjukkan sensitifnya isu
Sensus (SUTAS) 2018 menunjukkan penguasaan lahan pertanian.
pada skala nasional pertumbuhan Masyarakat petani di sekitar kawasan
jumlah rumah tangga petani gurem pada hutan pada umumnya berpotensi besar
periode 2013 – 2018 sebesar 1.560.534 masuk dalam pusaran konflik agraria.
atau bertumbuh sekitar 10.95%. Pertumbuhan penduduk selalu menjadi
Persentase ini jauh lebih besar satu variabel pemicu alih fungsi lahan
dibandingkan dengan persentase pertanian ke non-pertanian seperti
pertumbuhan rumah tangga pemilik permukiman. Pada sisi lain kawasan
lahan yang berjumlah 1.471.506 atau hutan menjadi semacam “wilayah
5,71% (BPS, 2018). Pada periode yang sakral” yang dalam banyak hal
sama, di Kabupaten Manggarai Barat, membatasi akses masyarakat atas
terjadi pertumbuhan petani gurem sumber daya alam yang ada di
sebesar 4.035 atau sebesar 30,08% dalamnya. Bahkan dalam kasus
(BPS NTT, 2018). Data ini menunjukkan tertentu, masyarakat selalu dipaksa taat
adanya persoalan pada akses tanah pada perubahan batas kawasan hutan,
pertanian di level komunitas. Situasi sekalipun itu mengambil sebagian atau
kurang lebih sama terjadi juga pada seluruh lahan pertaniannya.
wilayah lain seperti hasil penelitian Lahan menjadi pusat konflik
Wigbertus Gaut Utama terutama antara masyarakat dengan
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng, pemerintah (Prastya, 2019). Tidak
Indonesia adanya pemetaan yang tegas antara
Utamagaut25@gmail.com berbagai sektor menyebabkan
ulayatnya yang terdiri atas beberapa terbagi menjadi lahan-lahan pribadi dan
lingko (bdk. Bustan et al., 2020) Lingko- diusahakan sesuai dengan kemauan
lingko ini pada prinsipnya merupakan pemilik lahan. Beberapa MHA Golo
tanah komunal yang pemanfaatannya misalnya Langgo dan Lamung, masih
diatur berdasarkan kebijakan otoritas memiliki beberapa lingko yang belum
adat. Jumlah lingko tiap MHA Golo dibagikan kepada masyarakat, karena
tidaklah sama, demikian pula luas lingko lahan pertanian yang ada saat ini masih
dalam satu MHA Golo tidaklah sama. cukup untuk diusahakan warga. Lingko-
Lingko-lingko ini umumnya merupakan lingko itu masih dibawa penguasaan
lahan pertanian dan beberapanya adat tiap Golo. Sementara itu, beberapa
digunakan untuk perluasan MHA Golo, mengakui beberapa
perkampungan atau permukiman. lingkonya kini dikuasai pemerintah
Dalam tradisi yang lama, lingko karena telah menjadi bagian dari
diusahakan melalui mekanisme Kawasan Hutan Mbeliling.
perladangan berpindah-pindah,
Sehingga pembagian lingko kepada Otoritas Lembaga Adat Golo
masyarakat sifatnya sementara, hanya MHA Golo yang bermukim di
untuk satu periode perladangan. Jika wilayah sekitar Hutan Lindung Mbeliling
kuantitas dan kualitas lingko dianggap memiliki struktur adat untuk mengatur
tidak lagi mampu meningkatkan tata hidup masyarakat. struktur tersebut
produktivitas pertanian, maka lingko dimulai dari keluarga yang dipimpin
akan ditutup, dan selanjutnya akan kepala keluarga, beberapa keluarga
dibuka lingko lain untuk aktivitas yang memiliki ikatan keluarga dekat
berikutnya. memiliki Tua’ Ame sebagai pemimpin.
Seiring berjalanya waktu, Lalu pada tingkatan yang lebih luas,
variabel demografis seperti beberapa keluarga yang umumnya
pertambahan penduduk dan masih memiliki garis keturunan yang
berkembangnya tradisi bertani secara sama membentuk satu Batu yang
modern, setiap keluarga memiliki dikepalai oleh seorang Tua’ Batu.
kepentingan untuk mengolah lahan- Tingkatan tertinggi adalah Tua’ Golo
lahan pertanian tersebut secara yang memimpin seluruh warga dalam
berkelanjutan. Budidaya tanaman satu MHA Golo. Tokoh masyarakat
pertanian jangka panjang seperti kemiri, kampung Roe mengatakan “Lembaga
kopi, cengkeh, dan lain-lain memaksa adat golo merupakan lembaga adat
masyarakat untuk mempertahankan dalam satu kampung dan sudah
lahannya secara berkelanjutan. Situasi dikukuhkan sejak dari dulu dan
ini kemudian menjadi awal perubahan diwariskan hingga saat ini. Lembaga
arah kepemilikan lahan pertanian dari adat ini memiliki struktur tersendiri di
kepemilikan komunal ke kepemilikan mana tua’ golo memegang kekuasaan
secara pribadi. Situasi ini juga menjadi puncak, lalu di bawahnya ada tua’ batu
pengubah budaya ladang berpindah lalu terakhir ada tua’ ame.”
menjadi perladangan tetap. Secara tradisional setiap
Saat ini keberadaan lingko di pemimpin dalam tiap tingkatan tersebut
beberapa MHA Golo sudah habis memiliki kewenangan mengurus
dimanajemen di bawah otoritas lembaga luar golo. Saat ini banyak juga terjadi
adat. Akan tetapi saat ini hampir semua jual-beli dengan pihak investor yang
lahan komunal sudah dibagi kepada umumnya bergerak di sektor pariwisata.
warga masyarakat. Umumnya, anggota Fenomena ini banyak terjadi di wilayah-
masyarakat yang merupakan anggota wilayah seperti Desa Liang Ndara dan
keluarga atau kerabat dekat Tua’ Golo Desa Tondong Belang. Jual beli ini
memiliki lahan yang lebih banyak (luas) kemudian turut mengubah fungsi tanah
dibandingkan masyarakat umumnya, pertanian menjadi fungsi non-pertanian.
karena adanya hak khusus atau
privilese yang melekat pada status Bentuk Usaha Pertanian
seseorang yang menjadi pemimpin Lokasi MHA Golo yang
MHA Golo. bermukim di sekitar Hutan Lindung
MHA Cecer, yang bermukim di Mbeliling umumnya berada pada
sekitar hutan Lindung Mbeliling sudah ketinggian antara 500 – 800 mdpl.
tidak memiliki lagi lingko yang bisa Kondisi ini sangat mendukung usaha
dibagi. Saat ini, masyarakat sedang pertanian terutama komoditi
menerima pembagian lahan pertanian perkebunan seperti kopi, cengkeh,
baru sebagai bagian dari program kakao, kemiri, maupun vanili. Selain itu
reforma agraria melalui TORA. Tua’ masyarakat juga memanfaatkan lahan
Golo Cecer katakan “Lahan TORA ini pertanian untuk tanaman pangan,
dibagi kepada 210 orang, dan biofarmaka dan buah-buahan. Tabel 1.
merupakan pembagian baru, dengan berikut menunjukkan usaha pertanian
asas keadilan. Bagi MHA Golo yang masyarakat Kecamatan Mbeliling pada
lahan komunalnya sudah habis terbagi, tahun 2019 yang terdiri atas tanaman
lahan untuk usaha pertanian diperoleh pangan, biofarmaka, tanaman
melalui mekanisme pewarisan. perkebunan, dan tanaman buah-buahan
Hak waris, secara tradisional Tabel. 1 Luas Panen dan Jumlah Produksi
hanya dimiliki oleh anak laki-laki, karena Usaha Pertanian Kecamatan Mbeliling
masyarakat Manggarai yang menganut Tahun 2019
Jenis Usaha Luas Produksi
sistem kekerabatan patrilineal.
Pertanian Panen (Ton)
Umumnya, lahan pertanian yang ada (Ha)
saat ini merupakan harta warisan yang Tanaman 940.424 21.019,6
Pangan
diterima dari orang tua. Bahkan anak Biofarmaka 12.100 74.000
laki-laki yang tidak menetap di kampung Perkebunan 808 450
halaman, umumnya tetap mendapat Tanaman Buah- Tidak ada 25.953
buahan data
jatah tanah warisan dari orang tua. JUMLAH 953.332 787.422,6
Bentuk pemanfaatan tanah-tanah Sumber: BPS Manggarai Barat. Kecamatan
warisan ini sepenuhnya menjadi hak Mbeliling dalam Angka, 2020
pemilik tanah.
Selain pemerolehan melalui Tabel 1, menunjukkan bahwa
mekanisme pewarisan, beberapa tanah pada tahun 2019, usaha pertanian
juga diperoleh melalui sistem jual beli, masyarakat di Kecamatan Mbeliling
baik antaranggota masyarakat dalam didominasi oleh tanaman perdagangan
satu golo, maupun dengan warga lain di dan tanaman buah-buahan. Khusus
Tema Konsep
U
Lahan Pertanian Komunal
N Dari Lahan Pertanian
I berbasis hak ulayat ke
T Otoritas Lembaga Adat Golo Lahan Pertanian Pribadi
Penguasaan Lahan
Degradasi Manajemen Lokal untuk Lahan Komunal
Pertanian melalui
I Pewarisan
N
Pemerolehan Lahan Pertanian
F
Perubahan Penguasaan
O Lahan Pertanian sebagai
R Bentuk Usaha Pertanian Dampak Perubahan Batas
M Kawasan Hutan
A Perubahan Batas Hutan Lindung
S
I Manajemen lokal untuk
Akses Masyarakat pada Kawasan Hutan Integrasi Pembangunan
Pertanian dan Kehutanan
diakui haknya atas lahan tersebut. Inilah tertentu, ada lingko yang baru mulai
yang menjadi awal mula perubahan pola dibuka. Fakta ini kemudian menjadi latar
kepemilikan lahan pertanian pada MHA belakang dari pemerolehan lahan
di sekitar Kawasan Hutan Lindung pertanian melalui mekanisme
Mbeliling, dan juga pada wilayah pewarisan. Saat ini, umumnya lahan
Manggarai umumnya. Jannah et al., pertanian diperoleh sebagai harta
(2022) mengungkapkan fakta ini dalam warisan dari orang tua kepada anak
penelitiannya di wilayah Manggarai (umumnya anak laki-laki) berdasarkan
timur yang menunjukkan bahwa budaya patrilineal yang dianut oleh
keberadaan tanah ulayat masih ada masyarakat setempat.
namun jumlahnya sangat terbatas dan Konsekuensinya adalah,
bahkan beberapa wilayah sudah habis semakin bertambahnya penduduk atau
sama sekali. Ia juga mengatakan bahwa anggota keluarga, maka mekanisme
eksistensi MHA cenderung melemah. pewarisan ini akan menyebabkan
Perubahan pola kepemilikan semakin kecilnya luas lahan pertanian
lahan ini juga menjadi titik awal semakin yang akan dikuasai oleh tiap orang atau
memudarnya peran dan otoritas tiap rumah tangga petani. Hal ini akan
lembaga adat Golo dalam menjadi persoalan bagi lahan pertanian
memanajemen lahan pertanian. jika terjadi jual beli lahan pertanian.
Nugroho, (2004) menilai, Situasi ini Adanya pola penguasaan lahan
merupakan dampak dari sistem politik pertanian melalui mekanisme
rezim Orde Baru yang represif sehingga pewarisan, pada prinsipnya memuat
keberadaan institusi lokal tidak potensi persoalan yakni, pertama,
berfungsi atau masih beroperasi tetapi berpotensi meningkatkan jumlah rumah
tidak efektif. Bahkan dalam konteks tangga petani penggarap, buruh tani,
yang lebih luas, peran lembaga adat dan petani gurem. Mewariskan lahan
dalam kehidupan MHA seluruhnya pertanian kepada anak yang tidak
mengalami degradasi karena berprofesi sebagai petani cukup riskan
kehilangan wewenang agrarisnya dalam terhadap jual beli lahan, dan munculnya
kehidupan masyarakat. Hal ini lahan pertanian yang terbengkalai.
disampaikan pula oleh (Rizal, 2002) Dalam situasi yang lebih positif, lahan
yang mengatakan “Selama lebih 30 pertanian tersebut akan disewakan
tahun berbagai lembaga – lembaga kepada petani gurem atau kepada
masyarakat (adat/tradisional) yang petani yang tidak memiliki lahan
diharapkan dapat mengembangkan pertanian. Selain itu, dengan semakin
proses peran serta secara aktif dalam bertambahnya jumlah penduduk,
pembangunan umumnya dan pewarisan lahan pertanian secara
kehutanan khususnya telah banyak konstan akan mengurangi luas lahan
hilang atau pudar.” pertanian itu sendiri.
Kedua, masih terkait dengan
Penguasaan lahan pertanian melalui pola pewarisan dalam pemerolehan
pewarisan lahan pertanian. Jika lahan pertanian
Setelah mengalami perubahan diwariskan kepada anak yang tidak
kepemilikan lahan pertanian dari lahan berprofesi sebagai petani atau anak
komunal ke lahan privat, maka bentuk yang menetap di luar wilayah tersebut
pemerolehan lahan pertanian saat ini maka akan meningkatkan potensi
umumnya tidak lagi bersumber dari konversi lahan pertanian ke non
pembagian lahan oleh otoritas adat pertanian. Konversi ini terjadi karena
dalam hal ini Tua’ Golo dan nilai lahan pertanian akan berkurang jika
perangkatnya, kecuali dalam kasus dikuasai oleh orang yang tidak
ini dapat menjadi satu refleksi penting (2020). Karakteristik Dan Dinamika
bagi masyarakat untuk memprediksi Sistem Pertanian Lahan Kering Dalam
ketersediaan lahan pertanian minimum Kebudayaan Manggarai. Jurnal
Lazuardi, 3(1), 344–367.
untuk menunjang kesejahteraan
http://www.ejurnal-
keluarga. Bagi pemerintah penelitian ini
pendidikanbahasaundana.com/index.
menjadi penting untuk menerapkan
php/lazuardijournal/article/view/25/21
berbagai kebijakan pengelolaan Gu, G. (2022). Rethinking dispossession:
ekosistem hutan yang berkelanjutan. The livelihood consequences of land
Hasil penelitian ini merekomendasikan expropriation in contemporary rural
perlunya peninjauan kembali China. Journal of Agrarian Change,
pengelolaan hutan lindung oleh institusi 22(4), 703–721.
kehutanan terutama pada wilayah- https://doi.org/10.1111/joac.12498
wilayah yang diklaim oleh MHA sebagai Hasan, R. AL, & Yumantoko. (2012).
wilayah ulayatnya. Selanjutnya, institusi Kemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan
(Studi Kasus di Pulau Lombok).
adat dan terutama masyarakat petani
Prosiding Seminar Nasional FISIP-UT
perlu membuka diri pada perubahan-
2012, 7.
perubahan yang mungkin dalam sistem http://repository.ut.ac.id/2521/1/fisip20
pewarisan lahan pertanian 1224.pdf
Hermawan, S. (2012). Tinjauan Keadilan
Daftar Pustaka Sosial Terhadap Hukum Tata Pangan
Adiansah, W., Apsari, N. C., & Raharjo, S. T. Indonesia. Mimbar Hukum - Fakultas
(2019). Resolusi Konflik Agraria Di Hukum Universitas Gadjah Mada,
Desa Genteng Kecamatan Sukasari 24(3), 489–503.
Kabupaten Sumedang. Jurnal Jandi, Y., Vipriyanti, N. U., & Sukanteri, N. P.
Kolaborasi Resolusi Konflik, 1(1), 1. (2018). Pertanian Di Kota Denpasar (
https://doi.org/10.24198/jkrk.v1i1.2088 Studi Kasus Subak Intaran Barat
7 Renon – Denpasar ). Jurnal Agrimeta,
Bedner, A., & Arizona, Y. (2019). Adat in 8(15), 51–59.
Indonesian Land Law: A Promise for Jannah, W., Salim, M. N., & ... (2022).
the Future or a Dead End? Asia Pacific Eksistensi Masyarakat Hukum Adat
Journal of Anthropology, 20(5), 416– dan Dinamika Tanah Ulayat di
434. Manggarai Timur. Jurnal Ilmu Sosial
https://doi.org/10.1080/14442213.201 Dan …, 11(2), 213–232.
9.1670246 https://ejournal.undiksha.ac.id/index.p
BPS. (2018). Hasil Survey Pertanian Antar hp/JISH/article/view/41006%0Ahttps://
Sensus (SUTAS) 2018 (T. Sutas2018 ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JIS
(ed.)). Badan Pusat Statistik. H/article/download/41006/22468
BPS Mangarai Barat. (2022). Kecamatan Mulyani, L. (2014). Reforma Agraria untuk
Mbeliling Dalam Angka 2020. BPS Mendukung Tata Kelola Kehutanan
Kabupaten Manggarai Barat. yang Baik. In I. Hakim, L. R. Wibowo,
BPS NTT. (2018). Hasil Survey Pertanian D. R. K. Sari, & A. Pribadi (Eds.),
Antar Sensus SUTAS 2018 Provinsi Penataan Kembali Reformasi Agraria
Nusa Tenggara Timur (B. S. P. BPS Kehutanan di Indonesia Pasca
NTT (ed.); A1 ed.). Badan Pusat Desentralisasi (Issue Agraria dan
Statistik Provinsi NTT. Kehutanan, pp. 5–10). Puslitbang
Bustan, F., Mahur, A., & Nau, A. S. T. Perubahan Iklim dan Kebijakan Badan