You are on page 1of 19

Paradigma: Jurnal Kajian Budaya

Volume 12 Article 3
Number 3 Vol 12 No 3 tahun 2022

December 2022

PERKEMBANGAN SANITASI DAN PRASARANA KEBERSIHAN DI


KOTA BANDUNG AWAL ABAD KE-20
Hary Ganjar Budiman
Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah, Badan Riset dan Inovasi Nasional, hgbudiman@gmail.com

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/paradigma

Part of the History Commons

Recommended Citation
Budiman, Hary G. 2022. PERKEMBANGAN SANITASI DAN PRASARANA KEBERSIHAN DI KOTA BANDUNG
AWAL ABAD KE-20. Paradigma: Jurnal Kajian Budaya 12, no. 3 (December). 10.17510/
paradigma.v12i3.1172.

This Article is brought to you for free and open access by the Facutly of Humanities at UI Scholars Hub. It has been
accepted for inclusion in Paradigma: Jurnal Kajian Budaya by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Hary G. Budiman, Perkembangan SanitasiKajian
Paradigma Jurnal dan Prasarana
Budaya Kebersithan
Vol. 12 No.di3 Kota Bandung
(2022): Awal Abad ke-20 263
263–280

PERKEMBANGAN SANITASI DAN PRASARANA KEBERSIHAN


DI KOTA BANDUNG AWAL ABAD KE-20

Hary Ganjar Budiman


Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah, Badan Riset dan Inovasi Nasional; hgbudiman@gmail.com

DOI: 10.17510/paradigma.v12i3.1172

ABSTRACT
This study aims to show the development of sanitation and hygiene infrastructure in
Bandung from the late 19th century to the early 20th century. This research positions
sanitation and hygiene infrastructure as part of urban technology that contributes to
public welfare. This research used the historical method which consisted of four stages:
heuristics, critics, interpretation, and historiography. Results show that sanitation
management in Bandung in the early 20th century was conducted by harmonizing
technology and natural fortress. Gemeente Bandung anticipated the unhygienic habits of
the villagers, environmental pollution, and spread of diseases by providing clean water,
toilet facilities, public washing, and an integrated sewage system. The construction of
infrastructure that supported sanitation management was carried out from 1910 to 1938.
As a result, by 1938, Bandung had already had clean water reservoirs, clean water
pipelines, open pipelines for rainwater disposal, closed pipelines for waste disposal,
sewage treatment systems, waste treatment management, and road cleaning services.

KEYWORDS
Sanitation; infrastructure; hygiene; technology; sewerage system.

ABSTRAK
Penelitian ini akan menunjukkan perkembangan sanitasi dan prasarana kebersihan di
Kota Bandung dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Penelitian ini memosisikan
sanitasi dan prasarana kebersihan sebagai bagian dari teknologi perkotaan yang berfungsi
untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode sejarah yang meliputi empat tahapan kerja, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan
historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen sanitasi di Kota Bandung
pada awal abad ke-20 dibangun dengan mengharmoniskan teknologi dan benteng alam.
Kebiasaan penduduk kampung yang kurang higienis, pencemaran lingkungan, dan
penyebaran penyakit diantisipasi oleh Gemeente Bandung dengan penyediaan air bersih,
toilet, pencucian umum, dan sistem pembuangan terpadu. Pembangunan prasarana yang
menunjang manajemen sanitasi dirintis sejak 1910 hingga 1938. Pada 1938, Bandung
telah memiliki penampungan air bersih, jaringan pipa air bersih, jaringan pipa terbuka

© Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia


264 Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol 12 No. 3 (2022)

untuk pembuangan air hujan, jaringan pipa tertutup untuk pembuangan limbah, sistem
pengolahan air kotor, manajemen pengolahan sampah, dan pelayanan kebersihan jalan.

KATA KUNCI
Sanitasi; prasarana; higiene; teknologi; sistem pembuangan.

1. PENDAHULUAN
Peradaban yang maju sering kali ditandai dengan sistem sanitasi yang baik dan kualitas lingkungan yang
tinggi, dari Mesopotamia, Pulau Kreta, hingga Aqueducts Roma (Cosgrove 1909; Colman 1995). Sistem
sanitasi yang baik lazimnya meliputi tiga hal utama, yaitu penyediaan air bersih untuk keperluan domestik
dan umum, sistem yang menunjang pembuangan sampah, limbah, kotoran, serta melindungi kesehatan
dan keselamatan publik (Melosi 2008). Tiga hal utama itu sulit diwujudkan pada awal abad ke-19 manakala
kapitalisme dan industrialisasi berkembang pesat di Eropa. Misalnya, di Inggris dan Prancis, persoalan
sanitasi buruk menjadi penyebab peluasan wabah kolera yang merenggut banyak korban jiwa (Barnes 2006;
Halliday 2009). Maraknya wabah pada abad ke-19 di sebagian wilayah Eropa dan Amerika mendorong
inovasi dan pemikiran yang lebih serius mengenai teknologi sanitasi di kota besar. Misalnya, di London pada
1864 dibangun jaringan pembuangan bawah tanah sepanjang 132 km dan saluran terbuka sepanjang 1800
kmuntuk membuang limbah ke luar dari kota (Halliday 2009).
Persoalan serupa terjadi pula di negara koloni, seperti Hindia Belanda. Pembukaan lahan perkebunan,
liberalisme ekonomi, dan perkembangan teknologi transportasi yang terjadi sejak abad ke-19 hingga awal
abad ke-20 mendorong pertumbuhan kota-kota kolonial di Hindia Belanda (Naas 2007). Orang Eropa—
para pengusaha dan pegawai pemerintah Hindia Belanda—berdatangan untuk hidup dan bekerja di kota.
Demikian juga, penduduk pribumi datang ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan
menjadi pedagang atau pekerja di perkebunan. Masalah perkotaan pun muncul, seperti kepadatan penduduk
akibat urbanisasi, perkampungan yang tidak teratur dan kumuh, drainase dan sistem pembuangan yang
tidak memenuhi standar kesehatan, akses air bersih yang terbatas, serta iklim tropis yang menyebabkan
bakteri lebih mudah menyebar (Tillema 1915; 1919; Reerink 2015; Jaelani 2017).
Sanitasi buruk dan kondisi lingkungan tempat tinggal penduduk pribumi menyebabkan penyakit kolera,
malaria, tifus, dan disentri merebak. Misalnya, di Semarang pada 1901, 2.480 orang meninggal karena
kolera. Kondisi itu masih terus terjadi hingga 1910: kematian akibat kolera di Semarang mencapai 3.163 jiwa
(Tillema 1919, 8–9). Sementara itu, di Batavia sepanjang tahun 1903 hingga 1911 tingkat kematian rata-rata
64,3% (Tillema 1919, 10). De Vogel, seorang dokter asal Semarang, menyebutkan bahwa penduduk pribumi
tinggal di rumah tidak sehat, membuang kotoran ke sungai, mengonsumsi air tercemar, serta mandi dengan
air sungai yang kotor. Semua itu merupakan ancaman bagi penduduk Eropa. Penduduk pribumi dengan pola
hidup yang tidak bersih itu berpotensi membawa bakteri ke kediaman penduduk Eropa (Semarang 1931, 45).
Penyakit dan kematian yang menimpa banyak penduduk pribumi, termasuk para pekerja, secara tidak
langsung menghambat aktivitas ekonomi yang menjadi andalan pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya,
persoalan kesehatan dan kebersihan (hygiene), termasuk pula sanitasi dan penataan kota, menjadi perhatian
utama dari pemerintah kolonial seiring dengan perguliran politik etis pada awal abad ke-20.
Persoalan kesehatan dan kebersihan selanjutnya tidak hanya menjadi tanggung jawab dokter dan
tenaga medis, tetapi juga menjadi pemikiran para ahli tata kota, insinyur teknik, Burgerlijke Openbare
Werken (Departemen Pekerjaan Umum), dan pemerintah kota madya (gemeente) (Jaelani 2017). Pada
masa itulah mulai dikenal teknologi perkotaan (urban technology) yang meliputi penyediaan air minum,
penanggulangan banjir, dan pembuangan limbah (Ravesteijn 2007). Menurut Ravesteijn (2007), teknologi
Hary G. Budiman, Perkembangan Sanitasi dan Prasarana Kebersithan di Kota Bandung Awal Abad ke-20 265

perkotaan pada masa Hindia Belanda diarahkan untuk meningkatkan standar hidup penduduk Belanda dan
pribumi. Teknologi itu merupakan bentuk invensi dalam adaptasi budaya, bentang alam, dan iklim tropis di
Hindia Belanda (Ravesteijn 2007).
Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas, penelitian ini melacak dan menunjukkan teknologi
sanitasi dan prasarana kebersihan yang telah diwujudkan di kota kolonial untuk menciptakan kota yang lebih
sehat dan modern pada awal abad ke-20.
Dalam kesempatan ini, penelitian difokuskan pada Kota Bandung. Kota ini berkedudukan menarik
dalam berbagai literatur dan riset pada periode kolonial. Pertama, menurut Tillema, seorang aktivis
kebersihan di Hindia Belanda, Kota Bandung memiliki standar kesehatan dan lingkungan yang lebih
memuaskan daripada Surabaya, Batavia, dan Semarang (Bandoeng 1918; 1929). Masih menurut Tillema,
Kota Bandung yang sejuk dan memiliki standar kesehatan, dapat menjadi tempat yang cocok untuk
mendirikan Institut Pendidikan Teknik (Technische Hoogeschool) yang memberikan perhatian khusus pada
standar sanitasi (Bandoeng 1929, 6). Kedua, Kota Bandung pernah direncanakan menjadi Ibu Kota Hindia
Belanda menggantikan Batavia pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Strium
(1916‒1921). Rencana itu mendorong pembangunan gedung pemerintah dan fasilitas publik, termasuk
upaya memodernisasi kota (Dienaputra 2015; Budiman 2017). Ketiga, sejak pertengahan abad ke-19 hingga
awal abad ke-20, Kota Bandung selalu menjadi tujuan wisata para pelancong dari Eropa (Reitsma dan
Hoogland 1927; Kunto 1986). Artinya, Kota Bandung sudah memiliki sarana dan prasarana yang dapat
menunjang berbagai aktivitas masyarakat (Hardjasaputra 2003).
Ketiga alasan tersebut kiranya cukup untuk peneliti berargumen bahwa Kota Bandung pada masa
Hindia Belanda memiliki fondasi yang memadai sebagai teknologi sanitasi dan prasarana kebersihan kota.
Oleh sebab itu, penelitian ini akan mengelaborasi argumentasi itu ke dalam dua pertanyaan penelitian, yaitu
(1) bagaimana kondisi lingkungan di Kota Bandung pada akhir abad ke-19; dan (2) bagaimana sanitasi,
kondisi lingkungan, serta prasarana kebersihan di Kota Bandung pada awal abad ke-20 ketika pembangunan
dan modernisasi kota gencar dilakukan?
Penelitian ini melihat perkembangan teknologi perkotaan di masa Hindia Belanda, khususnya sanitasi
dan prasarana publik dalam lingkup kebersihan (hygiene). Konsep teknologi dalam penelitian ini mencakup
segala sarana yang menunjang ketersediaan air bersih dan lingkungan yang sehat, antara lain pipa saluran
air (waterleiding), sumur artesis (artesische put), toilet, jaringan saluran pembuangan limbah (rioolering),
dan mesin pembakaran sampah (incinerator). Adapun konsep higiene secara sederhana dapat dipahami
sebagai pengetahuan atau cara memperlakukan tubuh dengan benar, membedakan mana yang aman
dan berbahaya bagi tubuh (Sigerist 1933). Tindakan dapat berupa membersihkan tubuh, olahraga, dan
mengonsumsi makanan yang bernutrisi. Oleh sebab itu, higiene pada mulanya bersifat pribadi. Namun,
pemahaman tentang higiene berkembang dan berbeda-beda pada tiap zaman. Pada awal abad ke-19,
manakala kondisi lingkungan yang buruk tercipta sebagai efek Revolusi Industri, higiene bukan lagi hal
personal melainkan terkait dengan kesejahteraan bersama (common walfare) (Sigerist 1933, 330). Jaelani
(2017) menjelaskan bahwa higiene tidak sekadar terkait dengan dunia kedokteran, tetapi mencakup pula
masalah politik, moral, dan penataan ruang kota sebagaimana yang terjadi di Hindia Belanda.
Penelitian ini berpijak pada kerangka pikir: higiene merupakan kesejahteraan bersama yang
diwujudkan dengan penyediaan prasarana sanitasi dan kebersihan bagi publik. Menurut Melosi (2008, 18)
prasarana sanitasi suatu kota bukanlah entitas organik (alamiah), tetapi terspesialisasi dalam sistem teknikal
yang membantu membentuk elemen kota modern. Batasan sanitasi dalam penelitian ini mencakup teknologi
dan fasilitas yang menunjang pembuangan limbah rumah tangga, kotoran manusia, air hujan, dan fasilitas
penyediaan air bersih. Batasan prasarana kebersihan dalam penelitian ini meliputi segala fasilitas publik
266 Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol 12 No. 3 (2022)

yang mendukung penciptaan ruang kota yang bersih. Oleh karena itu, penelitian ini tidak akan membahas
higiene dengan kacamata kedokteran, tetapi berfokus pada teknologi perkotaan dan fasilitas publik yang
berperan menciptakan lingkungan yang lebih sehat, bersih, dan modern.
Penelitian tentang sanitasi dan prasarana kebersihan dalam disiplin sejarah belum banyak dilakukan di
Indonesia. Penelitian terdahulu yang sedikit bersinggungan dengan tema ini cenderung memberikan amatan
pada aspek kesehatan masyarakat dengan perspektif kependudukan, seperti yang dilakukan Boomgard
(1986; 1993). Penelitian lain lebih banyak mengamati persoalan kesehatan yang terkait dengan kebijakan
(Baha’Uddin 2012), peran institusi kesehatan (Gouda 2009), dan wabah (Safitry 2020; Emalia 2020; Adji dan
Priyatmoko 2021).
Beberapa penelitian yang mengusung topik higiene berfokus pada persoalan pembenahan kampung
(Husain 2016), mandi dan kamar mandi dalam foto (Taylor 2011), eksebisi serta propaganda kebersihan
(Honggare 2021). Karya yang membahas secara lebih komprehensif persoalan higiene ditulis oleh Jaelani
(2017) dalam disertasinya La question de l'hygiène aux Indes-Néerlandaises: les enjeux médicaux, culturels
et sociaux (Persoalan Hygiene di Hindia Belanda: Masalah Medis, Budaya, dan Sosial). Dalam disertasinya
itu, Jaelani membahas satu bab khusus tentang pemurnian ruang kota, termasuk penataan kampung,
penyediaan air bersih, dan toilet.
Topik sanitasi dan prasarana kebersihan bersinggungan pula dengan aspek teknologi di Hindia
Belanda. Ravesteijn (2007) membahas secara umum dan juga secara teknis infrastruktur hasil karya para
insinyur dan Departemen Pekerjaan Umum (Burgerlijke Openbare Werken) dari tahun 1800 hingga 1950.
Sementara itu, Mrazek (2006) melihat perkembang an teknologi di Hindia Belanda dari kacamata sosial
dan budaya. Dari sekian banyak penelitian terdahulu, penelitian ini mengambil posisi untuk memperdalam
ceruk yang sebelumnya telah dibahas oleh Jaelani (2017), yaitu kebersihan di ruang kota, tetapi secara lebih
spesifik mengambil ruang lingkup Kota Bandung, dengan penekanan pada aspek air bersih dan pembuangan
limbah.

2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri atas empat tahapan kerja: heuristik, kritik, interpretasi,
dan historiografi (Kuntowijoyo 2003). Pada tahap heuristik, sumber utama yang digunakan adalah yang terbit
pada akhir abad ke-19 hingga dekade ketiga abad ke-20, meliputi laporan gemeente Bandoeng tentang drainase
dan saluran pembuangan (Afwatering en afvoer van Bandoeng), laporan kondisi kebersihan kota (Bandoeng en
de Hygiene), booklet yang dikeluarkan gemeente Bandoeng tentang kondisi Bandung sebagai kota di dataran
tinggi (Bandoeng De Stad op de Hoogvlakte), laporan Dinas Pekerjaan Umum (Burgerlijke Openbare Werken)
tentang pembuangan limbah di Hindia Belanda (Het Rioleringsvraagstuk in Nederlandsch-Indië). Penelitian
ini juga menggunakan laporan dan buku yang ditulis oleh individu, di antaranya laporan Coolsma selama
melakukan perjalanan di Jawa Barat (Twaalf Voorlezingen over West Java), beberapa buku yang ditulis Tillema
tentang kondisi kesehatan, kebersihan, air bersih, dan pemukiman pribumi di Hindia Belanda (Volksgezondheid
In Nederland – Indie, Kromoblanda, Kampongwee, Van Wonen en Bewonen), serta biografi Bupati Bandung
R.A.A. Marta Nagara yang dirangkum oleh Drewes (The Life-Story of An old-Time Priangan Regent as Told by
Himself).
Sumber penting lain adalah buku tentang penyakit dan kebersihan di Hindia Belanda, di antaranya
Vraagstukken der Indische Hygiene ditulis oleh Van Longhem, Peladjaran Kesehatan ditulis oleh A Tuyter dan
diterjemahkan oleh Tjik Nang dan Bouwhygiene ditulis oleh Bergmans. Penelitian ini juga ditopang oleh sumber
Hary G. Budiman, Perkembangan Sanitasi dan Prasarana Kebersithan di Kota Bandung Awal Abad ke-20 267

berupa surat kabar, seperti Algemeen Indisch dagblad de Preangerbode, Bataviaasch Nieuwsblad, Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indië, dan De Koerir.
Semua sumber yang terkumpul diseleksi dan diverifikasi terlebih dahulu untuk menguji otentisitasnya.
Sumber dengan bahasa Belanda harus melalui proses sulih bahasa ke dalam bahasa Indonesia terlebih
dahulu. Tahap selanjutnya dilakukan pembacaan semua sumber secara lebih mendalam untuk memperoleh
pemahaman (versthehen) dan rekonstruksi kondisi Kota Bandung, sanitasi, dan prasarana kebersihan. Hasil
rekonstruksi kisah, deskripsi sanitasi, dan prasarana kebersihan kemudian dituangkan dalam bentuk historiografi
yang sistematis.

3. HASIL PENELITIAN

3.1 Kondisi Lingkungan, dan Sanitasi Penduduk pada Akhir Abad Ke-19
Coolsma (1881) dalam catatan perjalanannya ke Bandung menjelaskan bahwa Bandung terletak sekitar 2.300
kaki dari permukaan laut. Pada siang hari suhunya tinggi seperti layaknya kota di Jawa, tetapi pada malam
hari suhunya rendah sehingga udaranya sejuk (Coolsma 1881). Kabut tebal menggantung dari pagi hingga
pukul 9 atau 10 menjelang siang (Coolsma 1881). Dapat dikatakan bahwa Bandung terletak di dataran tinggi
(Bandoeng 1918).
Cikal bakal Kota Bandung terletak di tepi barat Sungai Cikapundung, sebelah selatan Sungai Cibadak,
dan berdekatan dengan Jalan Raya Pos. Selain dua sungai itu, Bandung juga dilewati oleh dua sungai lain,
yaitu Sungai Ciguriang di sisi barat, dan Sungai Cikawao sisi timur. Pertimbangan penentuan lokasi cikal bakal
kota merujuk pada filosofi tata ruang tradisional garuda ngupluk, tanah hade, bahe ngaler-ngetan, deukeut
pangguyangan batak putih. Artinya, lahan yang dipilih menyerupai kepakan sayap garuda, tanahnya subur,
landai ke arah timur laut, berdekatan dengan sumber air (Kunto 1986; Hardjasaputra 2003; Yusandi 2022).
Lokasi Bandung yang diapit oleh dua pasang sungai menandakan pentingnya sungai bagi masyarakat
kuno yang primordial. Sungai tidak sekadar berfungsi sebagai jalur transportasi air, tetapi juga menjadi sumber
penghidupan bagi penduduk pribumi dan memiliki makna transendental-spiritual (Danasasmita et al. 1987;
Yusandi 2022, 137) Perkampungan tua, seperti Cikapundung Kolot dan Cikalintu, dibangun berdekatan dengan
aliran sungai sehingga namanya diawali suku kata Tji (ci) yang berarti air (Coolsma 1881; Hardjasaputra 2003).
Oleh karena itu, penduduk sangat jarang mengalami kekurangan air. Hampir setiap rumah memiliki kolam
sendiri (Coolsma 1881). Kelimpahan air juga mendukung mata pencaharian penduduk yang mengutamakan
pertanian dengan komoditas utama beras (Coolsma 1881).
Unsur air memang menjadi semacam ciri bagi daerah di Bandung. Pasalnya, berbagai tempat di Bandung
diselang-selingi oleh genangan air berupa rawa (ranca) dan danau (situ). Diduga bahwa daerah genangan air
itu merupakan sisa Danau Bandung Purba (Hardjasaputra 2003, 60). Indikasi itu dapat dilacak dari toponimi
beberapa daerah, seperti Rancaekek, Rancabadak, Situ Aksan, Situsaeur.
Percepatan perubahan Bandung menjadi kota kolonial mulai terjadi semenjak Residen Priangan
berkedudukan di Bandung pada 1864. Kemudian, disusul dengan pemberlakuan undang-undang agraria pada
1870. Lalu, laju perubahan kota semakin cepat setelah pengembangan rute kereta api jalur barat (West Lijn)
dari Bogor hingga Cilacap sejak 1881 hingga 1911. Bandung menjadi salah satu kota yang dilewati jalur itu
sehingga terhubung dengan kota-kota lain di Jawa (Kunto 1986; Hardjasaputra 2003; Lasmiyati 2017).
Semenjak tahun 1880-an, Bandung perlahan mulai bertransformasi menjadi kota kolonial yang ditandai
dengan lokus-lokus pemukiman berdasarkan etnis. Menurut R.A.A Marta Nagara dalam biografinya, Kota
Bandung semakin ramai semenjak pembukiaan akses kereta api, pembangunan bengkel kereta, dan adanya
268 Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol 12 No. 3 (2022)

Departemen Perang (Departement van Oorlog). Pada 1893, ketika ia diangkat menjadi Bupati Bandung, Marta
Nagara mencatat sudah ada 143 keluarga Eropa di Bandung. Sebagian besar di antara mereka adalah tentara,
pensiunan angkatan laut, dan pesiunan pegawai rendah (Drewes 1985, 415). Penduduk Eropa, baik pengusaha
maupun pegawai pemerintah, cenderung menetap di utara dari Jalan Raya Pos. Aktivitas ekonomi terdapat di
sekitar Jalan Braga, pusat hiburan dan hotel yang berlokasi di persimpangan Jalan Braga dan Jalan Raya Pos,
yaitu Societiet Concordia dan Hotel Savoy Homann.
Penduduk Cina dan Arab cenderung menetap di sebelah barat kota, sekitar Pasar Baru. Sementara itu,
penduduk pribumi menetap di sebelah selatan dan timur kota, tersebar ke dalam perkampungan. Di sebelah
selatan Jalan Raya Pos, terdapat beberapa kampung pribumi, yaitu Kampung Kaum, Kampung Ciguriang,
Kampung Istal, Kampung Régol, Kampung Pangarang, Léngkong, Cikapundung Kolot, dan Kebon Kalapa
(Hardjasaputra 2003, 151). Sebagian kecil kampung tua terdapat di sebelah utara Jalan Raya Pos, seperti
Balubur Hilir, Kampung Bogor, Andir, dan Kebon Jukut. Pada tahun 1870-an, sekitar 20 kampung berdiri
bersamaan dengan pembukaan kebun (kebon) oleh penduduk (Haryoto Kunto 1984). Kemudian, diikuti oleh
kampung yang bermunculan pada lahan kosong di belakang perumahan Eropa, berdekatan dengan lahan
pemakaman (van Houten Parkweg), dan di tepi sungai Cikapundung, seperti Kampung Taman Sari (Reerink
2015).
Kampung pribumi tersebut terus bertambah hingga awal abad ke-20 seiring dengan peluasan lapangan
pekerjaan. Pekerjaan penduduk mulai dari mengolah lahan persawahan, bekerja di industri perkebunan Eropa,
bekerja di pabrik, hingga pembantu atau pengurus rumah orang Eropa dan Cina (Coolsma 1881; Hardjasaputra
2003; Reerink 2015). Banyak juga kampung yang didirikan berdasarkan kelompok daerah asal, seperti
Kampung Jawa, Babakan Tarogong, Babakan Ciamis, Babakan Bogor, Babakan Surabaya. Pertumbuhan itu
menandakan bahwa telah terjadi urbanisasi. Misalnya, Kampung Jawa dan Babakan Surabaya berdiri karena
kepindahan pabrik mesiu dari Ngawi dan pabrik senjata dari Surabaya (Haryoto Kunto 1984, 164)
Menurut Reerink (2015, 196), tingginya urbanisasi ke Bandung dipengaruhi oleh kepemilikan tanah
perdesaan di Priangan yang tidak lagi digunakan bersama (komunal) dan menjadi kepemilikan privat segelintir
orang, seperti keluarga kaum menak (bangsawan), orang kaya di perdesaan, pedagang, dan haji. Pindah ke
Bandung menjadi pilihan paling logis ketika tidak ada tanah yang diolah dan kesempatan kerja di desa semakin
menurun (Reerink 2015, 196).
Reerink (2015) yang melakukan penelitian kampung di Bandung menyatakan bahwa kampung membawa
karakteristik perdesaan di tengah kota kolonial. Keberadaan kampung di kota menjadi masalah karena orang
yang menetap di kampung memilki standar hidup, norma, hukum, dan struktur kepemimpinan tersendiri yang
tidak dapat disentuh langsung oleh pemerintah kolonial, termasuk dalam konteks kebersihan dan penataan tata
ruang kampung.
Coolsma (1881) mendeskripsikan bahwa penduduk kampung, dalam hal ini rakyat kecil yang disebut
cacah, hidup dengan cara yang sangat sederhana. Rumah berbentuk rumah panggung (imah tjeblok) dan
terbuat dari bambu. Tiang rumah terbuat dari kayu atau bambu yang dialasi batu kali; dindingnya terbuat dari
bambu yang dianyam (bilik); lantainya terbuat dari kayu atau bambu (palupuh). Masih menurut Coolsma (1881),
rumah jenis itu tidak memiliki jendela, hanya berupa lubang dengan jeruji di dinding samping. Pembagian ruang
rumah hanya menggunakan selembar tirai, sementara atap rumah menggunakan rumput panjang (eurih) atau
pelepah palem yang diikat menjadi satu. Perabotan yang digunakan pun sangat sederhana; tidak ada meja,
kursi, dan tempat tidur beralaskan samak, makan dengan piring tanah liat. Mereka yang miskin menggunakan
daun pisang raja untuk alas makan. Cara makan pun menggunakan ujung jari tangan kanan. Perabotan di
seluruh rumah sangat sederhana, tidak sampai 10 gulden (Coolsma 1881, 111). Kelompok cacah ini biasanya
Hary G. Budiman, Perkembangan Sanitasi dan Prasarana Kebersithan di Kota Bandung Awal Abad ke-20 269

hidup dari mengolah sawah dan berternak. Ternak unggas biasanya ditempatkan di kolong rumah, sementara
ternak kambing dan sapi ditempatkan di kandang di belakang rumah.
Kaum cacah yang menetap di kampung, merujuk pada keterangan Coolsma (1881), tidak memiliki
ruang khusus baik untuk buang air besar maupun kecil. Coolsma hanya menyebutkan bahwa rumah mereka
memiliki bilik khusus di belakang rumah untuk memasak. Penelitian mutakhir yang dilakukan Sasmita (2022)
memperlihatkan bahwa rumah tradisional Sunda tidak memiliki toilet di dalam rumah sebagaimana lazimnya
rumah modern sekarang. Merujuk pada Ensiklopedia Sunda (Rosidi et al. 2000), tempat buang air disebut
pacilingan yang dibangun di atas kolam (balong) yang jauh dari rumah. Dinding pacilingan dibuat dari bilik tanpa
atap, lantainya dibuat dari potongan bambu gelondongan dengan lubang di atas lantai. Di dalam pacilingan
biasanya terdapat sebuah pancuran air.
Dengan pacilingan, kotoran manusia akan langsung masuk ke dalam kolam dan terurai secara biologis di
dalam kolam. Proses itui dimungkinkan pada masyarakat perdesaan, artinya lahan luas, kondisi alam (termasuk
air) yang baik, dan jumlah penduduk yang terbatas. Meskipun demikian, pembuatan pacilingan tentu menjadi
jauh lebih sulit ketika dilakukan di kota dengan lahan dan akses air yang terbatas. Apalagi, teknologi pipa belum
dikenal penduduk pribumi pada abad ke-19. Penduduk pribumi yang jauh dari sumber air, atau mengalami
kemarau panjang, mungkin menggunakan kakus kering sebagaimana dijelaskan Tillema (1913, 35) dalam
karyanya Van Wonen en Bewonen, yaitu berupa bilik berlantai tanah dengan lubang galian untuk membuang
kotoran.
Penduduk Bandung yang berada di daratan tinggi memanfaatkan sumber air berlimpah karena wilayahnya
dilewati sungai besar (Cikapundung) serta tiga sungai kecil (Cibadak, Ciguriang, Cikawao. Keadaan alam itu
memungkinkan mereka untuk mengakses air. Oleh karena itu, penduduk pribumi cenderung menjadikan Sungai
Cikapundung sebagai sumber air untuk berbagai keperluan rumah tangga; mulai dari minum, mencuci, mandi,
bahkan buang hajat (Kunto 1986; Yusandi 2022). Sebelum instalasi air minum (waterleiding) tersedia pada
1911, sungai Cikapundung memenuhi kebutuhan air sebagian penduduk Bandung (Haryoto Kunto 1984, 161;
Kunto 1986, 96). Menurut Kunto (1986, 758), air Sungai Cikapundung yang jernih memungkinkan penduduk
untuk mencuci pakaian dan mandi.

Gambar 1. Penduduk kampung di Bandung sedang mandi di pinggir sungai.


(Sumber: Tillema 1915, 106)
270 Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol 12 No. 3 (2022)

Dalam pandangan para peneliti kesehatan dan dokter Belanda, pola hidup penduduk pribumi yang
cenderung menggunakan air permukaan, seperti air sungai untuk berbagai keperluan, termasuk buang
hajat, merupakan salah satu sebab penyebaran penyakit. Air permukaan, meskipun tampak jernih,
sebenarnya terpapar berbagai jenis bakteri (Tillema 1915; Longhem 1920). Menurut Longhem (1920, 13),
air sungai di daerah tropis lebih berbahaya daripada di tempat lain karena penuh dengan kuman; suhu air di
daerah tropis lebih menguntungkan untuk perkembangan kuman. Merujuk pada penjelasan Tuyter (1930),
setidaknya ada lima penyakit yang mengancam akibat sanitasi yang buruk di Hindia Belanda, yaitu malaria,
cacing tambang, disentri, tipus, dan kolera. Kesadaran akan ancaman penyakit dan hubungannya dengan
kebersihan baru muncul pada tahun 1890-an ketika ilmu pengetahuan tentang bakteri berkembang di Hindia
Belanda. Sebelumnya, berbagai penyakit di tengah penduduk dianggap bersumber dari udara yang buruk
yang disebut miasma (Jaelani 2017).
Inisiatif perbaikan kondisi lingkungan penduduk pribumi sempat dilaksanakan oleh Bupati Bandung,
R.A.A. Marta Nagara, pada penghujung abad ke-19. Ia memerintahkan penimbunan wilayah rawa agar tidak
menjadi sumber penyakit malaria, mengganti atap rumah penduduk dari rumbia ke genteng, memperbaiki
kondisi jalan, dan mengganti jembatan bambu dengan jembatan dari tembok dan besi (Drewes 1985; Kunto
1984).
Bertolak belakang dengan keberadaan kampung pribumi, wilayah utara Bandung, tepatnya sebelah utara
Jalan Raya Pos, berkembang menjadi pusat aktivitas dan permukiman penduduk Eropa. Wilayah itu memiliki
tata ruang, jalan, bangunan, serta fasilitas publik yang jauh lebih baik. Para pengusaha perkebunan dan kaum
terpandang Eropa mendirikan Vereeniging Tot Nut van Bandoeng en Omstreken (Perkumpulan Kesejahteraan
Masyarakat Bandung dan sekitarnya) pada 1898 untuk meningkatkan kenyamanan dan kelengkapan fasilitas
kota. Mereka melakukan pengaspalan jalan, perbaikan trotoar, pemasangan lampu penerang, penanaman
pohon peneduh jalan, dan pembangunan taman kota (Kunto 1986; Kunto 1984). Namun, selokan dan got di tepi
jalan belum mendapat perhatian serius sehingga kala hujan jalan penuh dengan genangan air (Hardjasaputra
2003, 232). Dalam laporan drainase dan saluran pembuangan (Afwatering en afvoer), gemeente Bandung
menyebutkan bahwa selokan di perumahan Eropa dibuat sendiri oleh setiap penghuni dan hanya untuk
membuang air hujan ke jalan (Bandoeng 1919).
Rumah penduduk Eropa yang berdinding tembok dan beratap genteng besar mungkin dibangun
dengan memperhatikan standar kebersihan rumah tropis di Hindia Belanda sebagaimana dijelaskan oleh
Bergmans (1909). Toilet dan kamar mandi biasanya dibangun secara terpisah dan tertutup dinding tembok
dan atap genteng, artinya terpisah menjadi dua ruang yang bersebelahan. Lokasinya di belakang bangunan
rumah, berdekatan dengan sumur air (Bergmans 1909; Taylor 2011). Manakala teknologi drainase dan
pipa pembuangan (riol) belum tersedia, limbah toilet ditampung dalam tangki septik yang tertutup. Toilet
menggunakan kloset berleher angsa agar bau tidak menyebar ke mana-mana (Bergmans 1909). Hingga
akhir abad ke-19, Kota Bandung belum memiliki sistem pembuangan yang terintegrasi dan belum memiliki
pipa air bersih yang terpasang ke rumah. Sanitasi dan kebersihan rumah diurus secara indivual. Belum
tersedia layanan publik yang dapat memenuhi kebutuhan itu (Bandoeng 1919).

3.2 Lingkungan, Sanitasi, dan Prasarana Kebersihan Awal Abad ke-20


Pada awal abad ke-20, dapat dikatakan bahwa Bandung menjadi kota yang lebih nyaman ditinggali oleh
orang Eropa dibandingkan kota pesisir yang cenderung panas dan kurang sehat. Suhu udara yang lebih
rendah daripada Batavia, daerah yang tidak berpaya, serta bebas malaria, menunjang produktivitas
penduduk Eropa yang sudah terbiasa hidup di daerah sejuk. Selain itu, topografi wilayah Bandung yang agak
Hary G. Budiman, Perkembangan Sanitasi dan Prasarana Kebersithan di Kota Bandung Awal Abad ke-20 271

menurun ke arah selatan, memungkinkan air hujan mengalir secara alami (Bandoeng 1918; 1929; Reitsma
dan Hoogland 1927).
Jumlah penduduk Bandung pada 1905 mencapai 47.500 orang, tetapi jumlah itu jauh lebih kecil
dibandingkan penduduk Batavia (200.000 orang), Surabaya (150.000 orang), dan Semarang (90.000
orang) (Voskuil 2017, 46). Kondisi itu memungkinkan pengelolaan kota yang lebih terarah. Selain itu, jumlah
penduduk yang lebih kecil mengurangi risiko pencemaran dan penyebaran penyakit yang masif. Penyakit
kolera, misalnya, tidak terjadi serempak dalam jumlah besar di Bandung, tetapi kasusnya tersebar di berbagai
kampung dalam jumlah kecil (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 27 Juni 1913).
Kota Bandung yang nyaman untuk ditinggali turut berpengaruh pada kelahiran banyak inisiatif perbaikan
kota. Politik etis yang bergulir pada awal abad ke-20 beriringan dengan pemerintah otonom (gemeente) di
kota juga menjadi dorongan pembenahan kota, termasuk dalam bidang sanitasi dan kebersihan. Inisiatif
pemasangan pipa air bersih di Bandung dirintis sejak 1910 di bawah pimpinan direktur pekerjaan kota
(directeur van Gemeentewerken), Mr. Heetjans (Tillema 1915, 105; Haryoto Kunto 1984, 161). Adapun usaha
pemasangan pipa drainase dan saluran pembuangan (rioleering) dirintis pada 1917.

3.2.1 Sumur Artesis, Pipa, dan Air Bersih


Sumber air bersih utama untuk Kota Bandung pada dekade pertama abad ke-20 adalah sumur artesis
(artesian well) dengan pipa yang terhubung ke pemukiman penduduk. Sumur jenis itu digali hingga lapisan
tanah yang sangat dalam sehingga air yang didapat bersih dan layak diminum (Bergmans 1909). Dari
kacamata kesehatan, air dari sumur artesis tentu jauh lebih aman dibandingkan air sungai karena tidak
terpapar udara dan bakteri.
Rancangan instalasi sumur artesis dan pipa saluran di Bandung dibuat oleh kantor teknik sipil bernama
Nierstrasz yang berlokasi di Yogyakarta. Pembangunan instalasinya dipimpin oleh Mr. Heetjans (Tillema
1915, 103). Pembangunan sumur dan pipa ke pemukiman penduduk menelan biaya sebersar 160.000
gulden (De Preanger Bode 11 November 1911). Berdasarkan Staatsblad tahun 1910 No. 597, 85.000 gulden
digunakan untuk pemasangan pipa di kawasan Bandung Timur, sementara 75.000 gulden digunakan untuk
perluasan pipa ke Bandung Barat (Tillema 1915, 104).

Gambar 2. Peta sebaran sumur artesis di Bandung pada tahun 1911. (Sumber: Section 1911)
272 Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol 12 No. 3 (2022)

Dalam buku Kromoblanda yang disusun oleh Tillema (1915), dijelaskan bahwa Kota Bandung memiliki
enam sumur artesis utama yang terletak di: Dago (arus air 900 liter/menit), Oud Merdeka (1080 liter/menit),
Pasir Kaliki (1538 liter/menit), Citepus (414 liter/menit), Cicendo (706 liter/menit), dan sumur tua di Jalan
Raya Pos (108 liter/menit). Pada 1912, sebanyak 350 rumah sudah tersambung ke pasokan air artesis. Pada
1914, jumlah rumah yang tersambung ke sumur artesis mencapai angka 426. Rumah yang memperoleh
air artesis melalui pipa itu dikenakan biaya di bawah 10 gulden (Bandoeng 1929). Hampir dapat dipastikan
bahwa penduduk yang membayar akses air bersih ini sebagian besar orang Eropa serta sebagian kecil
golongan elite Cina dan pribumi. Pasokan air artesis juga disalurkan ke sekolah, hotel, perusahaan, pasar,
dan penatu (De Preanger Bode 18 November 1911; Tillema 1915; Bandoeng 1929). Sumur artesis yang
sebagian pipanya terbuka, air yang tersembur dimanfaatkan oleh toekang aer. Terkadang pemuda pribumi
memanfaatkan semburan air untuk mandi (Tillema 1915).
Bagi mayoritas penduduk pribumi yang tinggal di perkampungan, gemeente memberikan layanan gratis
air artesis melalui pipa yang melewati wilayah kampung padat penduduk, seperti sebelah barat Cikapundung,
Pasir Kaliki, dan Banceui (De Preanger Bode 18 November 1911). Dalam upaya meminimalkan wabah dan
risiko kebakaran di perkampungan, gemeente membangun hidran sumber air, tempat pembilasan berubin
untuk mencuci cuci peralatan rumah tangga, pemandian umum, serta toilet yang dilengkapi dengan saluran
drainase (Tillema 1915). Meskipun demikian, menurut keterangan Tillema (1915), jika ada kesempatan,
penduduk kampung masih sering mandi di sungai dan di tempat pembilasan.
Upaya penyediaan air bersih untuk penduduk kota terus dilakukan dari 1915 hingga 1925. Peningkatan
dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah penduduk kota yang semakin padat serta ancaman penurunan
aliran sumur artesis yang telah ada. Pada tahun 1921, selesai dibangun sumber artesis baru di Cikendi dan
Cibadak, 5 bangunan penampungan air (reservoir), dan perluasan jaringan pipa di distrik baru (Bandoeng
1929, 28). Pada 1925 telah dibangun 5 sumur artesis: Cisalada 1, Cisalada 2, Cicariuk, Ciwangun, dan
Ciliang. Kelima sumur itu terhubung melalui jaringan pipa yang dibangun dalam waktu 4‒5 bulan (Bandoeng
1929, 28).
Pada tahun 1930-an, teknologi penyaluran air bersih sudah jauh berkembang dan lebih rumit.
Bangunan penampungan air (reservoir) tersebar ke dalam tiga zona (A, B, C) berdasarkan ketinggian. Tiap
reservoir pada tiap zona dibangun di wilayah yang lebih tinggi agar air dalam pipa lebih mudah mengalir.
Suplai air di reservoir tidak hanya diperoleh dari sumur artesis, tetapi juga disuplai dari mata air dan waduk.
Panjang jaringan pipa kota mencapai 130 km dan sudah terhubung ke 700 sambungan rumah. Layanan air
bersih per rumah dikenakan biaya kurang dari 40 gulden. Untuk memastikan kebersihan air, tim dari Institur
Paster Bandung melakukan uji kadar bakteri secara acak setiap satu bulan (Bandoeng 1929, 27–32).
Fasilitas air bersih untuk perkampungan pribumi pun mengalami peningkatan. Seratus hidran terpasang
di sana disertai 70 tempat mandi umum, tempat mencuci, dan toilet. Penduduk mendapat semua fasilitas
itu secara gratis. Pihak gemeente Bandung mengklaim penduduk pribumi sudah menghargai penggunaan
keran, kamar mandi, dan toilet (Bandoeng, 1929, 31‒32). Pihak gemeente juga menilai bahwa orang Sunda
mencintai kebersihan dan mudah diajari konsep kebersihan ala Barat (Bandoeng 1929, 6).

3.2.2 Toilet, Selokan, dan Saluran Pembuangan


Pada dekade ketiga abad ke-20, kondisi lingkungan dan fasilitas kebersihan kota dapat dikatakan jauh
lebih baik dibandingkan akhir abad ke-19. Pada 1925, hidran air bersih, toilet jongkok, pencucian umum
serta drainasenya sudah tersebar di berbagai kampung dan penduduk pribumi pun sudah mulai belajar
menggunakannya (Bataviaasch Nieuwsblad 5 Februari 1925; Bandoeng 1929, 26).
Hary G. Budiman, Perkembangan Sanitasi dan Prasarana Kebersithan di Kota Bandung Awal Abad ke-20 273

Sebuah artikel dalam Bataviaasch Niuewsblad (5 Februari 1925) menjelaskan kunjungan pejabat
Gemeente Bandung ke kampung yang dianggap terburuk di pusat Kota Bandung untuk meninjau sejauh
mana perbaikan fasilitas telah dilakukan. Dari artikel itu, dapat diketahui bahwa Kampung Babatan, dekat
Jalan Raya Pos, sudah memiliki fasilitas sanitasi yang baik. Kampung itu memiliki selokan yang dalam dan
air limpasan bisa mengalir dengan mulus. Saluran pembuangan dari pipa beton terhubung ke rumah-rumah,
terdapat pula hidran pasokan air, toilet berdinding bata, dan selokan untuk pembuangan air hujan. Hidran,
tempat pencucian, dan toilet digunakan secara komunal oleh penduduk kampung.

Gambar 3. Toilet dan pencucian umum bagi penduduk Gambar 4. Kloset dan pipa yang digunakan untuk toilet
kampung. (Sumber: Bandoeng 1929, 39). umum. (Sumber: Bandoeng 1929, 26).

Masih dalam artikel yang sama (Bataviaasch Niuewsblad 5 Februari 1925), diceritakan Haji Sanusi
di Kampung Babatan yang memiliki selusin rumah kontrakan yang dibangun dengan mengikuti saran dari
layanan teknis gemeente. Kedua belas rumah miliknya adalah rumah panggung dan setiap rumah memiliki
tiga kamar. Halamannya bersih dilengkapi dengan jalan setapak yang dilapisi kerikil. Pada bagian belakang
rumah dibangun kandang kuda yang bersih dan rapi. Semua rumah milik Hadji Sanusi sudah terhubung
dengan pipa pasokan air dan saluran pembuangan limbah rumah tangga sudah menggunakan pipa tertutup.
Kondisi kampung yang teratur dan bersih ditemukan pula di Kampung Cipurut. Di kampung itu sudah terdapat
pipa air besih dan saluran pembuangan, bahkan disebutkan akan dibangun insinerator (mesim pembakaran
sampah) untuk memproses sampah dari penduduk kampung.
Penulis artikel, dalam Bataviaasch Niuewsblad (5 Februari 1925), menjelaskan bahwa sejumlah
kampung terburuk di Bandung pada saat itu sudah mengalami kemajuan jauh, bahkan dalam kondisi
terburuknya dulu, kondisi kampung di Bandung masih lebih baik dibandingkan kampung di Batavia,
Semarang, dan Surabaya. Penulis artikel itu mengutip pendapat Prof. Schoemaker selaku anggota Dewan
Kota, yang menyatakan “Dat Bandoeng dan gelukte wenschen was, want dat het sleehtst hier altijd nog
beter was dan wat gemiddeld in Batavia, Semarang, en Soerabaja te zien is”. Artinya, Bandung pada saat
itu berhasil karena yang terburuk di sini selalu lebih baik daripada yang rata-rata dapat dilihat di Batavia,
Semarang, dan Surabaya.
Kondisi yang dideskripsikan di atas merupakan hasil dari perencanaan Gemeente Bandung, yaitu
sistem drainase dan saluran pembuangan yang sudah diusulkan sejak 1917. Adapun laporan teknisnya baru
diterbitkan pada 1919 dengan judul Afwatering en Afvoer van Bandoeng (Rioleering). Dari laporan itu dapat
diketahui bahwa rencana sistem drainase dan saluran pembuangan di Kota Bandung disusun oleh ahli di
bidangnya, yaitu H. Heetjans (Direktur Pekerjaan Umum), J. J. van Lonkhuijzen (Inspektur Dinas Kesehatan
Sipil Jawa Barat), dan C. A. E. Van Leeuwen (Insinyur Biro Perbaikan B.O.W). Rencana sistem drainase dan
274 Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol 12 No. 3 (2022)

saluran pembuangan itu pun sudah disetujui oleh Perelaer (Kepala Departemen Pekerjaan Umum) dan De
Vogel (Kepala Layanan Medis Sipil).

Gambar 5. Rancangan peta jaringan pembuangan Kota Bandung tahun 1919.


Garis warna merah menunjukkan jaringan pipa tertutup dalam tanah (riol). (Sumber: Bandoeng 1919, 61)

Rencana sistem drainase dan saluran pembuangan ini mengusung lima prinsip utama, yaitu (1) desain
saluran pembuangan mencakup semua daerah terbangun, termasuk daerah dalam rencana pengembangan,
dan diterapkan secara bertahap; (2) air hujan dibuang melalui selokan terbuka dengan rute terdekat ke
drainase alami (sungai); (3) kotoran (feses dan urin) serta limbah dapur dibuang melalui saluran pembuangan
tertutup di bawah tanah. Volume air pembilasannya (spoelwater) disesuaikan dengan kebutuhan; (4) cairan
atau air kotor yang dibawa saluran pembuangan harus melalui proses pembersihan sebelum dibuang ke air
umum (sungai); (5) metode pembersihan air yang direkomendasikan adalah activated sludge (penggunaan
lumpur aktif) yang dapat diganti dengan metode lain dengan syarat tingkat efisiensi disesuaikan dan diuji
lebih lanjut.
Rencana sistem drainase itu diwujudkan dalam waktu 15 tahun (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indië 6 Oktober 1926). Adapun dana yang diusulkan untuk jaringan pipa berjumlah 1.000.000
gulden dengan subsidi sebesar 50% yang diberikan oleh pemerintah pusat (Bandoeng 1919; Algemeen
Handelsblad 1 November 1926). Pembangunan jaringan drainase dan saluran pembuangan itu dilakukan
bersamaan dengan upaya perbaikan kampung (kampong verbetering) yang diperkirakan menelan biaya
yang sama (P. Thijsse Jr. 1934). Perbaikan kampung meliputi perbaikan jalan, sistem drainase air hujan,
pemasangan pipa pasokan air bersih ke perumahan, penutupan sumur tua, termasuk penyediaan listrik
(Bandoeng 1929, 36). Beberapa kampung yang mengalami perbaikan adalah Gempol, Astana Anyar, Ciateul,
dan Rasamala (Reerink 2015).
Sebelum rencana tersebut diterapkan pada 1919, air hujan dan limbah hanya dibawa dari satu
pekarangan ke pekarangan lain dengan pipa terbuka (selokan berbahan batu bata) sehingga sangat
berpeluang penularan penyakit (Bandoeng 1919, 22). Selokan terbuka yang tidak memenuhi standar dan
penempatannya tidak sesuai dengan elevasi sering kali menimbulkan banjir lokal. Selain itu, penyakit tifus
Hary G. Budiman, Perkembangan Sanitasi dan Prasarana Kebersithan di Kota Bandung Awal Abad ke-20 275

dan disentri yang mewabah di Bandung disebabkan oleh feses manusia yang tidak segera dibuang ke luar
dari lingkungan masyarakat. Ancaman pencemaran dan penyakit dapat semakin tinggi mengingat penduduk
kampung yang terbiasa buang hajat di sungai dan pertambahan penduduk bersamaan dengan wilayah
hunian yang semakin meluas. Penggunaan tangki septik di rumah-rumah Eropa.masih sporadis (Bandoeng
1919). Atas dasar kondisi itu, realisasi sistem drainase dan saluran pembuangan yang terintegrasi menjadi
sangat penting.
Secara teknis, sistem drainase dan saluran pembuang yang dirancang pada 1919 adalah membangun
tiga jenis jaringan pipa untuk membuang air hujan dan limbah (feses, urin, limbah dapur) ke luar lingkungan
penduduk dengan aman. Sistem itu dapat berjalan dengan baik karena ditopang oleh bentang alam Kota
Bandung yang agak menurun ke selatan, serta keberadaan sungai yang membelah kota. Tiga jenis jaringan
pipa yang dibangun meliputi (1) pipa terbuka (selokan) untuk pembuangan air hujan, (2) pipa tertutup untuk
pembuangan feses, urin, dan limbah dapur. Pipa jenis ini dipasang di bawah permukaan tanah, dan (3) pipa
air pembilasan (spoelwater) yang mengikuti dan mendukung jaringan pipa tertutup agar bawaan limbah
padat dapat mengalir hingga stasiun pembuangan akhir.

Gambar 6. Pengangkutan pipa tertutup Gambar 7. Pemasangan pipa tertutup


(pipa beton) di Bandung. (pipa beton) di Bandung. (Sumber: KITLV,
(Sumber: KITLV, 1929 –1930) 1929–1930).

Tiga jenis jaringan pipa tersebut tersebar di wilayah terbangun Kota Bandung pada saat itu yang
relatif tidak terlampau luas. Pada akhir 1906, luas wilayah Bandung hanya 1.922 hektare i dan terdiri atas
dua kecamatan, yaitu Bandung Kulon (Andir, Citepus, Pasar, Cicendo, Suniaraja, Karanganyar, Regol)
dan Bandung Wetan (Balubur, Kejaksaan, Lengkong, Kosambi, Cikawao, dan Gumuruh) (Falah 2019).
Pipa tertutup yang digunakan untuk pembuangan feses, urin, dan limbah dapur terbuat dari beton dengan
diameter 90 cm (De Koerir 9 Maret 1938; KITLV, 1930). Harga beton per meter untuk diameter itu adalah 21
gulden (Bandoeng 1919, 52). Adapun pipa yang terhubung ke rumah berlapis kaca (geglazuurde gebakken
buizen samengesteld) (P. Thijsse Jr. 1934). Mengenai pipa terbuka, belum diketahui terbuat dari bahan apa,
tetapi memiliki diameter 3 meter (Bandoeng 1929, 25).
Jaringan air alami berupa sungai kecil-kecil atau kali di hulu (utara kota) yang difungsikan sebagai
pasokan air pembilasan. Sungai yang menjadi sumber pasokan air pembilasan adalah Cikapayang dan
276 Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol 12 No. 3 (2022)

Luewilimus (arus air 818 liter/detik). Sementara itu, jaringan sungai di hilir (selatan kota) difungsikan sebagai
stasiun akhir pembuangan. Setiap stasiun akhir pembuangan memiliki konstruksi penampungan untuk
pembersihan air. Metode pembersihan air yang digunakan, sesuai dengan rekomendasi Ir. Van Leeuwen,
adalah metode activated sludge yang sudah diterapkan di Amerika dan Australia (Bandoeng 1919, 12).
Sungai yang menjadi stasiun akhir pembuangan adalah Cikapundung Kolot dan Citepus Hilir. Sungai kecil
lain, seperti Cikudapateuh, Cihapit, Ciroyom, Citepus, Cikakak, dan Ciguriang menjadi medium pembuangan
air hujan. Air hujan yang dibuang ke sungai-sungai itu dapat dijadikan pasokan air untuk irigasi sawah yang
memang tersebar di selatan Kota Bandung.
Drainase dan saluran pembuangan yang terintegrasi itu terus ditambah dan dikembangkan hingga
1938. Pada 1926, sekitar 100 hektare wilayah terbangun Kota Bandung sudah dilengkapi dengan saluran
pembuangan baru, termasuk perkampungan yang tingkat kebersihan penduduknya dianggap rendah
(P. Thijsse Jr. 1934, 139). Pembangunan pemukiman baru di wilayah Bandung Timur sudah menyertakan
pipa terbuka (selokan). Pipa terbuka itu dibangun di halaman belakang permukiman yang dibatasi dinding
setinggi 2 meter. Pemasangan dinding bertujuan untuk mencegah penduduk pribumi membuang sampah
atau hajat di selokan. Selain itu, dinding yang tinggi dapat mencegah anak-anak bermain di sepanjang aliran
selokan.
Pada 1934, mulai dilakukan pengembangan sistem baru pembersihan air di stasiun pembuangan
akhir Citepus. Pada tahun itu mulai dibangun tangki Imhoff yang berfungsi membersihkan air. Endapan
limbah dalam tangki Imhoff dapat diolah menjadi gas metana yang cocok untuk bahan bakar kendaraan
(P. Thijsse Jr. 1934, 139). Penggunaan tangki Imhoff direncanakan menjadi sistem percontohan untuk
kota lain. Pengembangan sistem itu dilaksanakan dengan berkonsultasi ke labolatorium pemurnian air
di Manggarai dan uji cobanya didukung penuh oleh Asosiasi Hindia Belanda untuk Promosi Kebersihan
(Nederlandsch-Indische Vereeniging ter bevordering der Hygiëne) (P. Thijsse Jr. 1934, 139). Tangki Imhoff di
Citepus baru digunakan secara aktif pada 1938 bersamaan dengan penyempurnaan jaringan pipa tertutup
yang baru di jalan Landraad, Banceui, hingga Alun-alun (De Koerir 9 Maret 1938). Pada tahun yang sama,
kawasan perkampungan pribumi seluas 160 hektare telah dilengkapi dengan saluran pembuangan tertutup,
termasuk saluran pembuangan untuk rumah yang digunakan untuk usaha ritel (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie 9 Maret 1938).

3.2.3 Manajemen Sampah dan Kebersihan Jalan


Dalam sebuah buklet yang diterbitkan oleh Gemeente Bandung berjudul Bandoeng en de Hygiene (1929),
diketahui bahwa pemerintah kota pada tahun 1930-an sudah memiliki sistem manajemen sampah yang
cukup baik. Gemeente sudah menyediakan layanan pengangkutan sampah yang beroperasi setiap hari.
Oleh sebab itu, penduduk diharuskan memiliki keranjang sampah. Layanan pengangkutan sampah ini tidak
dikenakan biaya, tetapi apabila ada sampah tambahan yang melebihi kapasitas angkutan sampah—sampah
kebun, puing bongkaran, atau tanah, warga dikenakan biaya tambahan.
Pemerintah gemeente menyediakan tiga jenis moda transpor untuk pengangkutan sampah, yaitu
gerobak beroda empat yang ditarik seekor kuda, gerobak beroda dua ditarik seekor kuda, dan gerobak
tangan. Tiap moda transpor disertai sebuah tim pekerja. Gerobak roda empat disertai 5 orang pekerja,
termasuk satu kusir. Komposisi armada angkut sampah di Kota Bandung terdiri atas 6 unit gerobak roda
empat, 18 gerobak roda dua, dan 80 gerobak tangan. Unit-unit itu terbagi ke dalam 13 tim dan tersebar
di 6 wilayah kota. Dalam sekali perjalanan, satu armada gerobak roda empat dapat mengangkut 1.430 kg
Hary G. Budiman, Perkembangan Sanitasi dan Prasarana Kebersithan di Kota Bandung Awal Abad ke-20 277

sampah, sedangkan armada gerobak roda dua dapat mengangkut 800 kg sampah. Adapun rata-rata biaya
operasional untuk pengangkutan sampah dalam satu tahun mencapai 27.300 gulden (Bandoeng 1929, 21).

Gambar 8. Gerobak pengangkut sampah bersama lima orang pekerja


(Sumber: Bandoeng 1929, 21)

Pengangkutan sampah per hari rata-rata hingga 197 m3. Jumlah itu terdiri dari sampah rumah tangga,
sampah dari perkampungan, sampah di selokan, sampah ekstra berbayar, sampah penyapuan jalan, dan
sampah dari wilayah militer.
Sampah tersebut diproses dengan insinerator yang berkapasitas 80 m3. Insinerator utama berlokasi
di Astana Anyar. Selain itu, terdapat pula oven pembakaran sampah di tiga kampung, salah satunya di
Kampung Melong. Oven itu dapat membakar sampah hingga 10 m3. Penyediaan mesin pembakaran sampah
di beberapa kampung dilakukan untuk meminimalkan biaya angkut sampah ke pengumpulan sampah utama.
Upaya mencegah penumpukan sampah pun dilakukan dengan menyalurkan sampah untuk menutup daerah
berawa atau daerah yang rendah. Beberapa kampung berdiri di atas tanah hasil penumpukan sampah
(Bandoeng 1929, 24).
Selain persoalan sampah dan limbah, jalan umum menjadi salah satu perhatian serius dari gemeente.
Menurut Mrazek (2006), sebagaimana ia mengutip pendapat Tillema, jalan aspal di Hindia Belanda dapat
membawa ancaman penyakit. Feses manusia yang terbawa bersama debu dapat menyebarkan bakteri ke
jalan. Penduduk pribumi yang terbiasa bertelanjang kaki dan terpapar debu, membawa biang penyakit ke
rumah. Oleh karena itu, Tillema menyarankan pentingnya penyiraman rutin jalan (Mrazek 2006). Saran
Tillema itu diaplikasikan di Kota Bandung.
Gementee Bandung menyediakan layanan pembersihan dan penyiraman jalan. Pada 1927, Bandung
sudah memiliki jalan beraspal sepanjang 29.393 m2 (Bandoeng 1929, 17). Untuk menjaga kebersihan jalan,
gemeente menyiapkan 120 personel yang terbagi ke dalam 12 tim. Keduabelas tim itu bertanggung jawab
menjaga kebersihan di enam wilayah kota. Pemeliharaan yang dilakukan adalah penyapuan jalan dan
penyiraman jalan. Proses penyiraman jalan dilakukan dengan menggunakan truk penyemprot air. Selain
itu, untuk menunjang kebersihan jalan, gemeente menyiapkan 10 gerobak pengangkut kotoran kuda yang
dioperasikan oleh 10 orang personel. Kotoran itu perlu disingkirkan sebelum menyebar di jalan dalam bentuk
debu (Bandoeng 1929, 19).
278 Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol 12 No. 3 (2022)

4. KESIMPULAN
Bandung berdiri di atas bentang alam yang cukup menguntungkan untuk pertumbuhan kehidupan perkotaan
yang ideal. Agak berbeda dari karakteristik beberapa kota besar di Hindia Belanda yang tumbuh dari wilayah
pesisir, Bandung berkembang dari wilayah pedalaman dengan air berlimpah, topografi yang agak menurun
ke selatan, dan udara sejuk. Pada masa kepemimpinan Bupati R.A.A. Marta Nagara (1893–1918), daerah
berawa yang berpotensi menimbulkan penyakit ditutup dengan tanah atau dijadikan lahan persawahan.
Pada akhir abad ke-19, pribumi masih hidup dengan pola khas masyarakat perdesaan (rural) dengan standar
kebersihan dan sanitasi yang masih sederhana (tradisional). Penduduk Eropa yang masih kecil jumlahnya
beradaptasi dengan standar kebersihan dan sanitasi tersendiri, misalnya toilet yang sangat privat, air sumur,
dan saluran pembuangan yang ala kadarnya (selokan terbuka atau tangki septik).
Persoalan Kota Bandung pada awal abad ke-20, sebagaimana kota lain di Hindia Belanda, adalah
sanitasi dan kebersihan penduduk kampung yang dianggap berpotensi mencemari lingkungan. Kepadatan
penduduk, ancaman pencemaran lingkungan, dan penyebaran penyakit itu dapat diantisipasi dengan cukup
baik oleh Gemeente Bandung. Sejak 1910, Gemeente bersama para insinyur merintis upaya mewujudkan
sanitasi yang baik dan berkesinambungan mengikuti potensi pertumbuhan penduduk serta perluasan
wilayah pemukiman. Upaya itu dimulai dengan penyediaan air bersih pada 1911, kemudian dilanjutkan
dengan pembangunan sistem pembuangan terpadu yang dirintis sejak 1917. Upaya pembangunan dan
pengembangan prasarana sanitasi, dan kebersihan terus dilakukan hingga tahun 1938, termasuk usaha
penyediaan pipa air bersih, toilet, pencucian umum, dan oven pembakar sampah untuk perkampungan
pribumi. Hingga dekade keempat abad ke-20, Kota Bandung sudah memiliki bangunan penampungan air
bersih, jaringan pipa air bersih, jaringan pipa terbuka (selokan) untuk pembuangan air hujan, jaringan pipa
tertutup untuk pembuangan limbah (feses, urin, limbah dapur), sistem pengolahan air kotor (sistem Imhoff),
manajemen pengolahan sampah, dan pelayanan kebersihan jalan.

DAFTAR REFERENSI
Adji, Fransisca Tjandrasih, dan Heri Priyatmoko. 2021. ‘Esuk Lara, Sore Mati’: Sejarah Pageblug dan
Penanggulangannya di Jawa Awal Abad XX. Patrawidya 22, no. 1: 43–67.
Algemeen Handelsblad. 1926. Rioleering van Bandoeng, 1 November.
Baha’Uddin. 2012. Propaganda Kesehatan Rockefeller Foundation di Jawa pada Akhir Masa Kolonial.
Patrawidya 13, no. 2: 195–218.
Bandoeng. 1918. Bandoeng De Stad op de Hoogvlakte! Bandoeng: Uitgave Comite van Actie Bandoeng.
———. 1929. Bandoeng en de Hygiene. Bandoeng.
Bandoeng, Gemeente. 1919. Afwatering en Afvoer van Bandoeng (Rioleering). Bandoeng: N.V. Mij Vorkink.
Barnes, David S. 2006. The Great Stink of Paris and the Nineteenth-Century Struggle against Filth and
Germs. Baltimore, Maryland: The Johns Hopkins University Press.
Bataviaasch Nieuwsblad. 1925. Kampong Toestanden, 5 Februari.
Bergmans, E.J. 1909. Bouwhygiene: Proeve van Eene Toepassing van de Algemeene Regelen der
Gezondheidsleer Bij Het Bouwen in Koude, Gematigde en Tropische Klimaten. Delft: J. Waltman Jr.
Boomgaard, P. 1986. The Welfare Services in Indonesia, 1900-1942. Itinerario 10, no. 1: 57–82.
https://doi.org/10.1017/S0165115300008986.
Boomgaard, Peter. 1993. The Development of Colonial Health Care in Java; an Exploratory Introduction.
Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast
Asia 149, no. 1: 77–93. https://doi.org/10.1163/22134379-90003137.
Hary G. Budiman, Perkembangan Sanitasi dan Prasarana Kebersithan di Kota Bandung Awal Abad ke-20 279

Budiman, Hary Ganjar. 2017. Modernisasi dan Terbentuknya Gaya Hidup Elit Eropa di Bragaweg (1894–1949).
Patanjala: Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya 9, no.2: 163. https://doi.org/10.30959/patanjala.v9i2.8.
Colman, Penny. 1995. Toilets, Bathtubs, Sinks, and Sewers: A History of the Bathroom. Atheneum.
Coolsma, S. 1881. Twaalf Voorlezingen over West Java: Het Land de Bewoners en de Arbeid der
Nederlandsche Zendingsvereeniging. Rotterdam: J.H. Dunk.
Cosgrove, Joseph. 1909. History of Sanitation. Pittsbrugh: Standard Sanitary.
Danasasmita, Saleh, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Ahmad Darsa. 1987. Sewaka Darma; Sanghyang
Siksakandang Karesian; Amanat Galunggung Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
De Koerir. 1938. Bandoeng’s Rioleering, 9 Maret
De Preanger Bode. 1911. “Gemeenteleening F 1.100.000.” 18 November.
Dienaputra, Reiza D. 2015. Bandung 1906-1970; Studi tentang Perkembangan Ekonomi Kota. Dalam Kota
Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia. Diedit oleh Freek Colombijn, Martine Barwegen,
Purnawan Basundoro, dan Johny Alfian Khusairy. Yogyakarta: Ombak.
Drewes, G. 1985. The Life-Story of an Old-Time Priangan Regent as Told by Himself. Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde 141, no. 4: 399–422.
Emalia, Imas. 2020. Wabah Tifus di Cirebon Masa Hindia Belanda: Kebijakan Pemerintah dan Solusi Sehat
Masyarakat. Jurnal Sejarah 3, no. 1: 111–15. https://doi.org/10.26639/js.v3i1.258. [Diakses 12 November
2022].
Falah, M. 2019. Ruang Terbuka Hijau dalam Tata Ruang Kota Bandung Akhir Abad XIX hingga Pertengahan
Abad XX. Sosiohumaniora 21, no. 2: 130–139.
Gouda, Frances. 2009. Discipline versus Gentle Persuasion in Colonial Public Health: The Rockefeller
Foundation’s Intensive Rural Hygiene Work in the Netherlands East Indies, 1925–1940. https://www.
researchgate.net/publication/228472916_Discipline_versus_gentle_persuasion_in_colonial_public_
health_The_Rockefeller_Foundation’s_intensive_rural_hygiene_work_in_the_Netherlands_East_
Indies_1925-
Halliday, Stephen. 2009. The Great Stink of London Sir Joseph Bazalgette and the Cleansing of the Victorian
Metropolis. The Mill, Brimscombe Port: The History Press.
Hardjasaputra, Sobana. 2003. Perubahan Sosial di Bandung. Disertasi, Universitas Indonesia.
Haryoto Kunto. 1984. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: Granesia.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië. 1913. Cholera te Bandoeng, 27 Juni.
———.1926. Rioleering van Bandoeng, 6 Oktober.
———.1938. Bandoeng’s Rioleering Het Hoofdrioolstelsel zal dit Jaar voltooid zijn, 9 Maret.
Honggare, Robin Hartanto. 2021. Disease on Display: The First Hygiene Exhibition in the Netherlands Indies
Revisited. Southeast of Now: Directions in Contemporary and Modern Art in Asia 5, no. (1–2): 97–116.
https://doi.org/10.1353/sen.2021.0003.
Husain, Sarkawi B. 2016. The Improvement of Kampong As an Instrument to Mitigate Floods in Surabaya.
Jurnal Humaniora 27, no. 3: 317. https://doi.org/10.22146/jh.v27i3.10621.
Jaelani, Gani Achmad. 2017. La question de l’hygiène aux Indes-Néerlandaises: les enjeux médicaux,
culturels et sociaux. Tesis, École des Hautes Études en Sciences Sociales.
KITLV. 1930. Betonbuis wordt boven de uitgegraven sleuf gebracht vanwege de aanleg van riolering in een
woonwijk te Bandoeng. KITLV.
———. 1930. Het transport van een betonbuis vanwege de aanleg van riolering in een woonwijk te Bandoeng.
KITLV.
280 Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol 12 No. 3 (2022)

Kunto, H. 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: Granesia.


Kuntowijoyo. 2003. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Lasmiyati. 2017. Transportasi Kereta Api di Jawa Barat (Bogor, Sukabumi, Bandung). Patanjala: Jurnal
Penelitian Sejarah dan Budaya 9, no. 2: 197–212. https://doi.org/10.30959/patanjala.v9i2.21.
Longhem, J.J. van. 1920. Vraagstukken Der Indische Hygiene. Amsterdam: Ellerman, Harms & Co.
Melosi, Martin. 2008. The Sanitary City: Urban Infrastructure in America from Colonial Times to the Present.
Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press.
Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land. Jakarta: Obor.
Naas, Peter, J.M. 2007. Kota-kota Indonesia; Bunga Rampai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
P. Thijsse Jr. 1934. Eenige Mededeelingen over het Technisch Werk aan de Gemeente Bandoeng. De
Ingenieur, 24 Agustus.
Ravesteijn, Wim. 2007. Between Globalization and Localization: The Case of Dutch Civil Engineering in
Indonesia. Comparative Technology Transfer and Society 5, no. 1: 32–64.
Reerink, Gustaaf. 2015. From Autonomous Village to ‘Informal Slum’. Dalam Cars, Conduits, Kampongs:
The Modernization of the Indonesian City, 1920–1960. Diedit oleh Freek Colombijn dan Joost Coté,
193–212. Leiden, Boston: Brill.
Reitsma, S.A., dan W.H. Hoogland. 1927. Gids van Bandoeng en Midden Priangan. Bandoeng: N.V. Mij
Vorkink.
Rosidi, A., Ekadjati, E. S., Djiwapradja, D., Suherman, E., Ayatrohaedi, S., N., Soepandi, A., & Sastradipoera,
K. 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, termasuk Budaya Cirebon dan Betawi.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Safitry, Martina. 2020. Kisah Karantina Paris of the East: Wabah Pes di Malang 1910-1916. Jurnal Sejarah
3, no. 1: 116–20. https://doi.org/10.26639/js.v3i1.261.
Sasmita, Mamat. 2022. Mengenal Teknologi Tradisional Orang Sunda. Bandung: Pustaka Jaya.
Section, Allied Geographical. 1911. Artesian Bores 1911 Bandoeng and Environs. Monash Collections Online.
https://repository.monash.edu/items/show/37977.
Semarang, Gemeente. 1931. Gedenkboek der Gemeente Semarang 1906–1942. Semarang: N. V. Dagblad
de Locomotief.
Sigerist, Henry E. 1933. “The Philosophy of Hygiene.” Bulletin of The Institute of The History of Medicine 1,
no. 8: 323–31.
Taylor, Jean Gelman. 2011. Bathing and Hygiene Histories from The KITLV Images Archive. Dalam Cleanliness
and Culture Indonesian Histories. Diedit oleh Kees van Dijk dan Jean Gelman Taylor, 41–60. Leiden:
KITLV Press.
Tillema, H.F. 1913. Van Wonen en Bewonen, Van Bouwen, Huis en Erf. Tjandi Samarang.
———. 1915. Kromoblanda Over ’t vraagstuk van "het Wonen”. Dalam Kromo’s groote land. S-Gravenhage.
———. 1919. Kampongwee! Groningen.
Tuyter, A. 1930. Peladjaran Kesehatan. Groningen, Den Haag, Weltevreden: J.B. Wolters.
Voskuil, Robert P.G.A. 2017. Bandung Citra Sebuah Kota. Bandung: ITB.
Yusandi, Ojel Sansan. 2022. Bandoeng Waktoe Itoe - Dari Tepi Citarum ke Sisi Cikapundung. Jilid 1.
Bandung: Propublic.info.

You might also like