You are on page 1of 19

PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL

MELALUI PELESTARIAN WAYANG KULIT DI DESA KEPUHSARI,


KECAMATAN MANYARAN, KABUPATEN WONOGIRI
Intan Yunia Widyamaharani, Nurhadi dan Zaini Rohmad
Pendidikan Sosiologi Antropologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
intanyuniawm@gmail.com

ABSTRACT
LOCAL WISDOM-BASED EDUCATION THROUGH
PRESERVATION WAYANG KULIT IN KEPUHSARI VILLAGE,
MANYARAN, WONOGIRI. This research aims to know: (1) the educational
process in the workshop's of Kepuhsari Village; (2) the workshops' role in
preserving and developing wayang kulit in Kepuhsari Village; and (3) the attitude
of society towards preservation of wayang kulit in Kepuhsari Village. This
research used the case study as a type of qualitative research. The main study
data was collected using in-depth interview including participant observation,
while secondary data derrived from the analysis of documentation. Technique
research adoption of the subjects in the form of purposive with snowball
sampling. Technique data collection use participant observation, in-depth
interviews and documentation or archive. Technique the validity of data using
triangulation data and triangulation method. Analysis techniques data using
sorting data, of interpretation of data and the withdrawal of conclusion. The
result of this research indicate that: (1) the educational process in the workshops
of Kepuhsari Village are nonformal and flexible; (2) the society has made
workshop's as a center of innovation, thus the workshop's play an important role
in preserving wayang kulit that are heritage of local wisdom of Kepuhsari
Village; The workshops have done a cultural inheritance from old to young
generation that influence preservation of wayang kulit; and (3) some people may
support workshops' activities in preserving wayang kulit, because workshop's is
one means to the preservation of wayang kulit, but there are also some community
members doesn't support, this is caused by differences in the community
perspective.

Keywords: Education, Local wisdom, Preservation, Wayang Kulit


ABSTRAK
PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL MELALUI
PELESTARIAN WAYANG KULIT DI DESA KEPUHSARI,
KECAMATAN MANYARAN, KABUPATEN WONOGIRI. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui: (1) proses pendidikan yang belangsung di sanggar-
sanggar Desa Kepuhsari; (2) peran sanggar-sanggar dalam melestarikan dan
mengembangkan wayang kulit di Desa Kepuhsari; dan 3) sikap masyarakat
terhadap upaya pelestarian wayang kulit yang dilakukan oleh sanggar-sanggar di
Desa Kepuhsari. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif
dengan pendekatan studi kasus. Sumber data primer berasal dari data wawancara
mendalam kepada informan serta observasi langsung di lapangan, sedangkan
sumber data sekunder berasal dari analisis dokumentasi. Teknik pengambilan
subyek penelitian berupa purposive dengan snowball sampling. Teknik
pengumpulan data menggunakan observasi langsung, wawancara mendalam dan
dokumentasi atau arsip. Teknik uji validitas data menggunakan triangulasi data
dan triangulasi metode. Teknik analisis data menggunakan pemilahan data,
interpretasi data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa: (1) proses pendidikan yang berlangsung di sanggar-sanggar Desa
Kepuhsari berlangsung secara nonformal dan fleksibel; (2) sanggar dijadikan
pusat inovasi dalam masyarakat, sehingga sanggar mempunyai peran yang cukup
penting dalam pelestarian wayang kulit yang merupakan warisan kearifan lokal di
Desa Kepuhsari; Sanggar telah melakukan proses pewarisan budaya dari generasi
tua kepada generasi muda yang sangat berpengaruh terhadap upaya untuk
pelestarian wayang kulit,; dan 3) sebagian masyarakat mendukung dengan
diadakannya berbagai upaya yang dilakukan oleh sanggar, karena sanggar
merupakan satu sarana untuk pelestarian wayang kulit, tetapi ada juga sebagian
masyarakat yang tidak mendukung, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan
sudut pandang masyarakat.

Kata kunci: Pendidikan, Kearifan lokal, Pelestarian, Wayang Kulit


PENDAHULUAN wayang merupakan salah satu dari
Indonesia merupakan negara bagiannya. Pada tanggal 7 November 2003
kepulauan dengan jumlah pulau 17.504 wayang juga telah diakui oleh UNESCO
dan luas wilayahnya mencapai sebagai World Master Piece of Oral and
1.910.931,32 km2 (BPS, 2014) serta Intangible Heritage of Humanity, hal ini
memiliki kebudayaan yang beragam menunjukkan bahwa posisi wayang sudah
tersebar dari Sabang sampai Merauke. tinggi dan diakui pada level kebudayaan
Berdasarkan dari sensus BPS pada tahun Internasional. Sementara di level Nasional,
2010, terdapat sekitar 300 etnik dan 1.340 wayang merupakan suatu warisan luhur
suku bangsa yang berkembang di dari nenek moyang bangsa Indonesia yang
Indonesia. Direktorat Jenderal mempunyai kedudukan tersendiri di hati
Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan masyarakat, terutama pada masyarakat
Kebudayaan mencanangkan Renstra / Jawa.
Rencana Strategis 2010-2014 untuk tetap Namun, dewasa ini akibat
menjaga dan melestarikan kebudayaan- pengaruh dari globalisasi yang terus
kebudayaan yang ada di Indonesia agar berkembang setiap harinya serta ditambah
kebudayaan tersebut tidak hilang atau dengan pesat dan canggihnya kemajuan
punah dan tetap dapat berkembang di teknologi komunikasi, memudahkan
masyarakat. Perwujudan dari kebudayaan masuknya kebudayaan dari luar atau asing
tersebut dapat berupa benda-benda yang yang berpengaruh besar terhadap
diciptakan oleh manusia ataupun berupa kebudayaan lokal. Kebudayaan lokal yang
perilaku hidup dari manusia itu sendiri dimiliki oleh Bangsa Indonesia terus
seperti religi, bahasa dan seni. tergeser oleh masuknya kebudayaan asing
Kebudayaan manusia mempunyai yang masuk akibat globalisasi tersebut.
tujuh unsur yang kemudian disebut dengan Pengaruh dari kebudayaan asing dengan
unsur-unsur kebudayaan universal atau cepat melanda para generasi muda,
cultural universals. Ketujuh unsur yang menjadikan suatu trend bahwa apabila
dapat disebut sebagai isi pokok dari tiap mereka tidak mengikuti perkembangan
kebudayaan di dunia itu adalah bahasa, kebudayaan asing maka mereka akan
sistem pengetahuan, organisasi sosial, ketinggalan zaman atau kuno, mereka
sistem peralatan hidup dan teknologi, menganggap kebudayaan asing sebagai
sitem mata pencaharian hidup, sistem suatu ukuran tingkat kemajuan atau
religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, modern. Semakin hilangnya nilai-nilai
1990: 203-204). Dalam unsur kesenian, kearifan lokal pada masyarakat khususnya
pada generasi muda juga dikarenakan Berpijak pada latar belakang yang
kurangnya lembaga pendidikan formal telah dideskripsikan di atas, maka peneliti
(sekolah) dalam mengenalkan kebudayaan memfokuskan permasalahan pada: (1)
lokal pada peserta didiknya. bagaimana proses pendidikan yang
Sebagai wujud dalam belangsung di sanggar-sanggar Desa
pengembangan dan pelestarian wayang Kepuhsari? (2) bagaimana peran sanggar-
kulit, ada satu Desa di Kabupaten sanggar dalam melestarikan dan
Wonogiri yang dikenal sebagai Kampung mengembangkan wayang kulit di Desa
Wayang yaitu Desa Kepuhsari, Kepuhsari? dan 3) bagaimana sikap
masyarakatnya mempunyai cara tersendiri masyarakat terhadap upaya pelestarian
untuk tetap melestarikan wayang kulit agar wayang kulit yang dilakukan oleh sanggar-
tidak hilang oleh pengaruh modernisasi sanggar di Desa Kepuhsari?
dan globalisasi yang berkembang setiap Sehingga tujuan dari penelitian ini
harinya. Terdapat kurang lebih 135 Kepala adalah untuk mengetahui proses
Keluarga yang berprofesi sebagai pendidikan yang belangsung di sanggar-
pengrajin wayang kulit dan hampir setiap sanggar Desa Kepuhsari, mengetahui
rumah dijadikan sebagai tempat peran sanggar-sanggar dalam melestarikan
pembuatan wayang mulai dari proses dan mengembangkan wayang kulit di Desa
penyamaan kulit, pembuatan gagang, Kepuhsari, dan mengetahui sikap
sampai dengan penatahan (tatah sungging). masyarakat terhadap upaya pelestarian
Menariknya, tidak hanya orang tua wayang kulit yang dilakukan oleh sanggar-
saja yang mempelajari tentang wayang sanggar di Desa Kepuhsari.
kulit ini, hampir semua lapisan umur di
Desa ini ikut serta dalam mempelajari dan Kajian Pustaka
membuat wayang kulit. Serangkaian Pendidikan
proses kreatif masyarakat dalam Istilah pendidikan berasal dari
melestarikan wayang kulit tersebut tidak EDKDVD /DWLQ ³e-ducere atau educare´ \DQJ
terlepas dari adanya peran sanggar-sanggar berarti untuk memimpin atau memandu
wayang yang berada di Desa Kepuhsari. keluar, terkemuka, membawa manusia
Sanggar-sanggar tersebut berfungsi menjadi mengemuka, proses menjadi
sebagai salah satu sarana pendidikan untuk terkemuka, atau sebagai kegiatan
mempelajari cara pembuatan wayang, terkemuka (Danim, 2010: 3). Selain itu,
terutama untuk anak-anak. definisi pendidikan juga dikemukakan oleh
Ki Hajar Dewantara dalam Kongres
Taman Siswa yang pertama pada 1930 ia karakter, kepribadian dan kemampuan
menyebutkan, bahwa pendidikan anak-anak dalam menuju kedewasaan
umumnya berarti daya upaya untuk yang dikehendaki oleh masyarakat.
memajukan bertumbuhnya budi pekerti Terdapat tiga jenis pendidikan di
(kekuatan batin, karakter), pikiran dalam masyarakat, yaitu pendidikan
(intelek), dan tubuh anak. Dalam Taman formal, pendidikan informal dan
Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan pendidikan nonformal (Coombs, 1973
bagian-bagian itu agar kita dapat dalam D. Sudjana, 2007: 17). Cara yang
memajukan kesempurnaan hidup, paling umum dilakukan untuk
kehidupan dan penghidupan anak-anak membedakan ketiga jenis pendidikan
yang kita didik selaras dengan dunianya tersebut adalah dengan membandingkan
(Mahfud, 2011: 33). rincian karateristik pendidikannya (Ryan,
Pendidikan yang hadir ditengah 1972 dalam D. Sudjana, 2007: 20).
masyarakat tidak hanya berfungsi untuk Pendidikan formal selalu memiliki
mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi program yang berurutan untuk setiap
memiliki banyak fungsi seperti sebagai jenjang pendidikan dan dapat diterapkan
pencerdasan diri, sosial, negara bangsa, dalam setiap satuan atau jenjang
bahkan dunia. Salah satu fungsi pendidikan dan dapat diterapkan di semua
pendidikan dijelaskan oleh Tirtarahardja tempat yang memiliki kondisi yang sama.
dan Sulo (2005: 33), yaitu pendidikan Sedangkan pendidikan informal
sebagai proses tranformasi budaya. berlangsung dengan sendirinya yang tidak
Pendidikan diartikan sebagai kegiatan mempunyai program tetap, berlangsung
pewarisan budaya dari satu generasi ke terutama pada keluarga dan lingkungan.
generasi lain. Pewarisan budaya yang ada Sementara pendidikan nonformal memiliki
tidak semata-mata mengekalkan budaya program yang berkaitan dengan kebutuhan
secara estafet, tetapi mengalami proses masyarakat dan program-programnya
transformasi dari generasi tua ke generasi bersifat fleksibel (D. Sudjana (2007: 26).
muda. Ada lima karateristik untuk
Berdasarkan beberapa definisi mengetahui bahwa satu satuan pendidikan
tentang pendidikan di atas, dapat merupakan bagian dari pendidikan
disimpulkan bahwa pendidikan adalah nonformal, yaitu tujuan, waktu, isi
suatu proses pengarahan dan bimbingan program, proses pembelajaran, dan
yang diberikan kepada anak-anak dalam pengendalian (Paulston, 1972 dalam D.
pertumbuhannya untuk pembentukan Sudjana, 2007: 20-22).
Konsep Kearifan Lokal Wayang
Kearifan lokal berasal dari dua kata Salah satu bentuk karya seni yang
yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). dapat dipakai sebagai sumber pencarian
Secara umum maka local wisdom (kearifan nilai-nilai adalah seni wayang kulit Jawa.
setempat) dapat dipahami sebagai Wayang kulit memiliki berbagai ajaran
gagasan-gagasan lokal yang bersifat dan nilai etis yang bersumber dari agama,
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, sistem filsafat dan etika. Ajaran-ajaran dan
yang tertanam dan diikuti oleh anggota nilai-nilai etis itu memenuhi persyaratan
masyarakatnya. Kearifan lokal terbentuk untuk dipakai oleh bangsa Indonesia untuk
sebagai keunggulan budaya masyarakat kelangsungan hidupnya, dan terbukti
setempat maupun kondisi geografis dalam keluhurannya karena telah bertahan dan
arti luas (Simanjuntak, 2014: 115). tetap dipakainya ajaran-ajaran dan nilai-
Kearifan lokal dalam setiap nilai tersebut oleh bangsa Indonesia dari
kebudayaan adalah hasil belajar, bukan zaman ke zaman. Dari sistem kepercayaan
warisan biologis. Kearifan lokal adalah ³DVOL´ ,QGRQHVLD \DNQL VLVWHP kepercayaan
warisan sosial dengan melalui enkulturasi, purba yang coba dihidupkan kembali oleh
yaitu proses pewarisan sesuatu masyarakat aliran kepercayaan/kebatinan/mistisisme,
dari generasi yang satu ke generasi wayang menyerap ajaran-ajaran dan nilai-
berikutnya (Haviland, 2005 dalam nilai tentang penghormatan kepada alam
Rochgiyanti dkk, 2014: 6). (Amir, 1991: 16).
Berdasarkan penjelasan di atas, Dalam bukunya yang berjudul
dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal Nilai-nilai Etis dalam Wayang, Hazim
adalah gagasan atau ajaran-ajaran lokal Amir (1991: 19) menyebutkan bahwa
yang mempunyai sifat baik, bijaksana dan ³:D\DQJ WLGDN VDMD PHUXSDNDQ VDODK VDWX
penuh nilai moral, sehingga diterapkan sumber pencarian nilai-nilai yang amat
oleh masyarakat dalam kehidupannya diperlukan bagi kelangsungan hidup
sehari-hari untuk mengembangkan bangsa, tetapi wayang juga merupakan
kebudayaan, sumber daya manusia atau salah satu wahana atau alat pendidikan
sumber daya alam yang dimiliki. Oleh ZDWDN \DQJ EDLN VHNDOL´ Hal ini
karena itu, kearifan lokal merupakan dikarenakan dalam pertunjukan wayang
perwujudan budaya yang seharusnya terus mengajarkan metoda yang menarik dalam
dijadikan pedoman dan pegangan hidup setiap pertunjukannya. Pertunjukan
oleh masyarakat. wayang mengajarkan ajaran-ajaran dan
nilai-nilai tidak secara dogmatis sebagai
suatu indoktrinasi, tetapi menawarkan sistem, yaitu adaptation (A), goal
ajaran dan nilai-nilai tersebut kepada attainment (G), integration (I), dan latency
penonton untuk menafsirkan, menilai dan (L) atau pemeliharaan pola. Secara
memilih sendiri ajaran dan nilai-nilai mana bersama-sama, keempat imperatif
yang sesuai dengan kehidupan mereka. fungsional ini dikenal dengan skema
Selanjutnya wayang mengajarkan ajaran AGIL. Agar tetap bertahan, suatu sistem
dan nilai-nilai tersebut tidak secara teoritis harus memiliki keempat fungsi ini (Ritzer
melainkan secara kongkret atau nyata dan Goodman, 2012: 121).
dengan menghadirkan kehidupan tokoh- Adaptation (adaptasi), bahwa
tokohnya sebagai teladan. Materi sebuah sistem harus menanggulangi situasi
pendidikan watak yang disajikan dalam eksternal yang gawat, sistem harus dapat
pertunjukan wayang yang berupa lakon, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
tokoh, ajaran serta nilai-nilai dapat menyesuaikan lingkungan itu dengan
digunakan untuk pendidikan watak dengan kebutuhannya. Goal attainment
metoda lain seperti pendidikan agama, (pencapaian tujuan), bahwa sebuah sistem
pendidikan budi pekerti, dan lain-lain. harus mendefinisikan dan mencapai tujuan
utamanya, tujuan ini mengacu pada
Konsep AGIL Talcott Parsons masalah prioritas tujuan sistem dan
Konsep AGIL (Adaptation, Goal menggerakkan sumber-sumber daya sistem
attainment, Integration, Latency) dari untuk mencapainya. Integration
Talcott Parsons adalah konsep yang dipilih (integrasi), bahwa sebuah sistem harus
untuk menjelaskan dan menganalisis data mengatur antarhubungan bagian-bagian
temuan penelitian di lapangan pada bagian yang menjadi komponennya, sistem juga
selanjutnya (pembahasan). Talcott Parsons harus mengelola antarhubungan ketiga
adalah tokoh fungsionalisme yang lebih fungsi penting lainnya (A, G, L).
menekankan konsep (ide) daripada Sedangkan latency (pemeliharaan pola),
proporsinya (Jazuli, 2011: 59). Suatu bahwa sebuah sistem harus melengkapi,
fungsi adalah kumpulan kegiatan yang memelihara dan memperbaiki, baik
ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan motivasi individual maupun pola-pola
tertentu atau kebutuhan sistem (Rocher, kultural yang menciptakan dan menopang
1975: 40 dalam Ritzer, 2012: 121). motivasi (Jazuli, 2011: 60-61).
Dengan menggunakan definisi tersebut,
Parsons meyakini bahwa terdapat empat
fungsi penting yang diperlukan semua
METODE PENELITIAN membandingkan jawaban informan satu
Penelitian ini merupakan jenis dengan informan lainnya mengenai
penelitian deskriptif kualitatif, karena pada pendidikan berbasis kearifan lokal melalui
penelitian ini peneliti mendeskripsikan pelestarian wayang kulit di Desa
data yang ditemui di lapangan berbentuk Kepuhsari, (2) membandingkan data
kata atau gambar daripada angka-angka observasi dengan hasil wawancara secara
dengan menggambarkan apa, mengapa dan mendalam, yaitu dengan cross check
bagaimana suatu kejadian atau peristiwa antara hasil observasi dan hasil
yang diteliti dapat terjadi. Pendekatan wawancara. Sedangkan teknik analisis data
yang dipakai dalam penelitian ini adalah yang dipakai adalah menggunakan
pendekatan studi kasus. pemilahan data, interpretasi data dan
Sumber data primer berasal dari penarikan kesimpulan.
data wawancara mendalam kepada
informan serta observasi langsung di HASIL PENELITIAN
lapangan, sedangkan sumber data sekunder Desa Kepuhsari terletak di bagian
berasal dari analisis dokumentasi. Teknik selatan Kabupaten Wonogiri tepatnya di
pengambilan subyek penelitian berupa Kecamatan Manyaran, memiliki luas
purposive dengan snowball sampling. daerah mencapai 15.563,445 Ha. Berjarak
Dalam penetian ini, peneliti memilih dan ±8km dari pusat pemerintahan Kecamatan
menentukan informan yang dianggap Manyaran dan ±41 km dari pusat
mengetahui permasalahan penelitian dan pemerintahan Kota Wonogiri. Desa ini
dapat dipercaya untuk dijadikan sumber lebih dikenal dengan sebutan Kampung
data, yaitu pengurus sanggar, anggota Wayang atau Wayang Village karena
sanggar, aparat pemerintah desa, dan merupakan Desa dengan banyak sentra
masyarakat. pengrajin wayang kulit. Tidak hanya itu,
Teknik pengumpulan data nama jalan di Desa Kepuhsari juga
menggunakan observasi langsung, menggunakan nama dari tokoh-tokoh
wawancara mendalam dan dokumentasi pewayangan, seperti Jl. Bima, Jl.
atau arsip. Teknik uji validitas data Puntadewa, Jl. Arjuna, Jl. Srikandi, dll.
menggunakan triangulasi data dan Untuk mempermudah dalam pelaksanaan
triangulasi metodologi dalam menguji pemerintahan, Desa ini dibagi menjadi
keabsahan data. Cara-cara yang ditempuh lima belas dusun dengan mayoritas sentra
dalam melaksanakan triangulasi dalam pengrajin wayang dan sanggar-sanggar
penelitian ini yaitu sebagai berikut; (1)
seni budaya berada di Dusun buat. Selain itu sanggar-sanggar di Desa
Kepuhtengah. ini juga berfungsi sebagai salah satu sarana
Adanya Kampung Wayang di Desa pendidikan untuk mempelajari hal-hal
Kepuhsari tidak terlepas dari adanya sentra yang berhubungan dengan wayang kulit,
industri wayang kulit yang ada di Desa ini. seperti cara pembuatan wayang (tatah
Wayang kulit sudah masuk ke Desa ini wayang).
sejak abad ke 17. Jumlah pengrajinnya
mencapai ±200 orang yang berpusat di Proses Pendidikan yang Berlangsung di
Dusun Kepuhtengah, hampir 80% warga Sanggar
yang bertempat tinggal di Dusun Metode Pembelajaran
Kepuhtengah adalah pengrajin wayang Sanggar-sanggar yang ada di Desa
kulit. Hampir disetiap rumah dijadikan Kepuhsari merupakan sebuah tempat
sebagai tempat pembuatan wayang mulai belajar untuk siapapun, sifatnya tidak
dari proses penyamaaan kulit, pembuatan formal (nonformal). Proses ini merupakan
gagang, sampai dengan penatahan atau salah satu bentuk pewarisan dan
tatah. Sampai akhirnya pada tanggal 29 transformasi pengetahuan yang terbingkai
November 2014 Desa Kepuhsari dalam kesederhanaan dan tradisional, yaitu
diresmikan oleh Bupati Wonogiri sebagai dilihat dari cara-cara memperoleh
Kampung Wayang. Adanya program pengetahuan dan proses belajarnya. Proses
Kampung Wayang ini tidak sebatas hanya untuk belajar menatah wayang kulit di
untuk mengenalkan potensi wisata yang sanggar-sanggar menggunakan metode
dimiliki oleh Kepuhsari, tetapi juga praktek atau pembelajaran mandiri, yaitu
mengenalkan bagaimana proses anak-anak yang ingin belajar langsung
pembuatan wayang kulit mulai dari mempraktekan apa yang ingin ia pelajari
penyamakan kulit, pembuatan gagang, setelah mendapat sedikit arahan dari
sampai dengan penatahan (tatah), tidak pengajar. Pengajar yang melatih anak-anak
hanya itu saja mereka juga mengenalkan dalam menatah biasanya adalah para
kreasi lain seperti lukis kaca dan kesenian pengrajin yang sudah terampil atau para
gamelan. pemilik sanggar.
Banyaknya pengrajin wayang kulit
di Desa Kepuhsari membuat sebagian Penerimaan Anggota Sanggar
besar dari mereka mendirikan sanggar- Dalam hal penerimaan anggota,
sanggar untuk menampilkan atau sanggar-sanggar di Desa Kepuhsari tidak
menunjukan hasil karya yang telah mereka membuka pendaftaran selayaknya sekolah-
sekolah formal. Siapapun yang ingin Materi yang Dipelajari dalam Sanggar
belajar mengenai wayang atau tatah Dalam penyampaian materi di
wayang bisa datang kapan saja ke sanggar, sanggar-sanggar, berlangsung secara
jadi sifatnya adalah sukarela tanpa nonformal, sanggar juga tidak mempunyai
paksaan. Khusus untuk lingkungan acuan khusus dalam proses
Kepuhsari, karena memang misinya untuk pembelajarannya karena sanggar-sanggar
menularkan budaya yang sudah diwariskan yang ada tidak terikat dengan kurikulum
nenek moyang ke anak cucu, maka tidak seperti yang ada di sekolah-sekolah formal
dipungut biaya dalam proses penerimaan pada umumnya. Adapun materi-materi
anggota. Siapa saja yang ingin belajar, yang diajarkan para pengurus atau
khususnya anak-anak cukup langsung pengajar sanggar kepada anak-anak yang
datang ke sanggar. Sedangkan untuk ingin belajar menatah wayang adalah
masyarakat diluar Desa Kepuhsari telah materi mengenai proses pembuatan
disediakan paket belajar secara lengkap, wayang kulit (tatah), ukiran-ukiran yang
bentuk paket ini tidak hanya pengenalan harus dipahami, serta sisipan nilai-nilai
mengenai tatah wayang saja, tetapi juga karakter wayang yang mereka buat.
bisa memilih lukis kaca dan lainnya. Dalam proses pembuatan wayang
Masyarakat dari luar bisa langsung kulit dibutuhkan bahan yang baik, yaitu
mendatangi Kesekretariatan Kampung kulit binatang, para pengrajin di Desa
Wayang. Kepuhsari memakai kulit binatang kerbau.
Setelah bahan yang dipergunakan untuk
Waktu Belajar dalam Sanggar membuat wayang dipersiapkan, maka
Waktu untuk belajar di sanggar proses selanjutnya adalah pengukiran
biasanya adalah setelah anak-anak pulang (tatah). Teknik dalam pengukiran wayang
sekolah, sekitar pukul 13.00 sampai kulit ini terdiri dari beberapa rangkaian
dengan pukul 17.00 atau pada saat sekolah untuk mewujudkan satu tokoh wayang.
libur, yaitu pada hari minggu. Tidak setiap Kegiatan itu adalah nyorek (membuat pola/
hari mereka belajar untuk menatah wayang pembuatan gambar dasar atau sketsa yang
kulit, semua bersifat kondisional atau dilakukan diatas lembar kulit), anggebing
tergantung pada kegiatan anak masing- (menatah bagian garis tepi dari sketsa yang
masing. Waktu yang dibutuhkan anak sudah dibuat, sehingga akan memperoleh
untuk dapat mahir membuat satu karakter bentuk wayang secara keseluruhan atau
wayang secara benar membutuhkan waktu biasa disebut sebagai gatra wayang),
± 2 tahun. anggempur (menatah pada bagian-bagian
pokok sampai dengan bagian kecil dari kedisiplinan, serta bangga dengan budaya
wayang), dan ambedhah (menatah bagian sendiri.
muka tokoh wayang). Anak-anak yang
belajar menatah di sanggar akan diajarkan Peran Sanggar dalam Pelestarian
mengenai bentuk ukiran-ukiran yang ada Wayang Kulit
di wayang yang jumlahnya ada 12 macam Pelaksanaan Pelestarian Wayang Kulit
jenis ukiran, tetapi penyampaiannya secara Pelestarian disini bersifat dinamis
nonformal. sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
Dalam pengajarannya, di sanggar tanpa mengubah nilai utama dari kesenian
juga menyampaikan materi atau wayang kulit agar kesenian ini bisa terus
mensisipkan materi mengenai nilai-nilai dilestarikan sampai anak cucu nanti.
karakter yang dimiliki oleh tokoh Dalam upaya untuk tetap menjaga
pewayangan. Namun cara eksistensi wayang kulit ini harus ada pihak
penyampaiannya juga dengan nonformal, yang bertanggungjawab untuk tercapainya
yaitu dengan cara ketidaksengajaan. tujuan tersebut. Seperti yang telah
Ketidaksengajangan disini maksudnya dijelaskan dalam bagaimana proses
adalah nilai-nilai karakter dalam wayang pendidikan yang berlangsung di sanggar,
tidak disampaikan dalam satu waktu menunjukan bahwa sanggar memegang
khusus tertentu yang membahas mengenai peran yang cukup penting dalam
karakter wayang, tetapi biasanya pada saat pelestarian wayang kulit di Desa
jeda istirahat menatah, pengajar akan Kepuhsari, dengan mengajarkan berbagai
menceritakan tokoh yang sedang dibuat pengetahuan mengenai wayang mulai dari
oleh anak, karena apabila penyampaian bagaimana cara menatah sampai dengan
dilakukan pada saat menatah, itu akan sisipan nilai-nilai karakter tokoh wayang.
mengganggu konsentrasi dari anak Sanggar telah melakukan proses pewarisan
tersebut. budaya dari generasi tua kepada generasi
Selain penyampaian karakter dari muda yang sangat berpengaruh terhadap
tokoh wayang, ada nilai-nilai karakter lain upaya untuk pelestarian wayang kulit.
yang jelas didapat saat anak belajar untuk Pelaksanaan dalam pelestarian
menatah wayang kulit. Dalam proses wayang kulit ini juga tidak terlepas karena
pembuatannya, secara tidak langsung anak hubungan antar sanggar-sanggar yang ada
akan belajar mengenai berbagai nilai di Kepuhsari juga terjaga baik. Sanggar-
kehidupan, antara lain nilai ketekunan, sanggar yang ada sering melakukan
ketelitian, kerja keras, percaya diri, kolaborasi dan kerjasama, baik dalam
proses penjualan wayang dan juga mengenai cerita narasi dari gambar
pagelaran wayang. wayang yang ditampilkan dan juga
Upaya lain yang dilakukan adalah dijelaskan pula mengenai karakter dari
dari Pemerintah Desa Kepuhsari terhadap salah satu tokoh wayang. Sedangkan untuk
keberadaan sanggar-sanggar. Karena inovasi lainnya adalah dengan membuat
sampai saat ini sanggar yang ada hanya gantungan kunci dengan tema tokoh
berpusat di Dusun Kepuhtengah dan dirasa pewayangan. Gantungan dibuat dari kulit
keberadaan sanggar sangatlah penting seperti ingin membuat wayang, tetapi
dalam pelestarian wayang kulit, ukurannya lebih kecil. Selain membuat
Pemerintah Desa merencanakan untuk gantungan kunci, ada satu inovasi baru
membuat sanggar pertemuan di Dusun yang dicetuskan oleh Paguyuban
Ngluwur Kepuhsari dekat dengan objek Pokdarwis Tetuka sebagai salah satu cara
wisata alam Air Terjun Banyu Nibo. Hal untuk tetap melestarikan wayang kulit
ini dilakukan agar masyarakat lainnya juga adalah dengan mengadakan lomba
bisa turut serta dalam upaya pelestarian ini menatah wayang. Lomba itu dilaksanakan
dan juga agar sanggar yang ada tidak pada peringatan Hari Kemerdekaan RI
hanya berpusat di Kepuhtengah saja bulan Agustus 2015 yang lalu. Lomba
melainkan bisa tersebar diberbagai Dusun tersebut menyedot perhatian dari berbagai
di Kepuhsari. kalangan, sehingga peserta lomba
berjumlah sampai enam puluhan anak.
Inovasi-inovasi Baru Wayang Kulit Karena antusias dari masyarakat yang
Perkembangan zaman yang sangat senang dan menerima kegiatan
semakin pesat membuat para pengrajin tersebut, maka lomba menatah wayang
atau pecinta wayang kulit harus pintar- akan dijadikan sebagai agenda rutin setiap
pintar dalam upaya melestarikan wayang tahunnya.
agar tidak tergerus oleh kesenian modern.
Sehingga dirasa perlu adanya sebuah Sikap Masyarakat Terhadap Upaya
inovasi baru agar para pecinta wayang bisa Pelestarian Wayang Kulit yang
bertambah setiap harinya. dilakukan oleh Sanggar
Salah satu inovasi baru yang Sikap masyarakat yang dimaksud
diciptakan adalah permainan ular tangga dalam hal ini adalah penilaian oleh
dengan tema wayang. Dalam ular tangga masyarakat sekitar dan pada umumnya
tersebut tidak hanya disajikan gambar- dalam menyikapi usaha pelestarian yang
gambar wayang saja, tetapi juga dijelaskan dilakukan oleh sanggar-sanggar di Desa
Kepuhsari, terutama yang tergabung dalam menganggap bahwa program-program
Paguyuban kelompok sadar wisata Tetuka. yang dijalankan oleh Pokdarwis dalam
Sikap masyarakat tentang upaya yang melestarikan wayang kulit nantinya yang
dilakukan oleh sanggar-sanggar adalah paling diuntungkan hanyalah pengrajin
sebagai berikut terbagi menjadi 2 sikap, saja, dan adanya Pokdarwis untuk sanggar-
pertama, sebagian masyarakat mendukung sanggar dirasa hanya untuk menguasai
adanya pelestarian wayang kulit oleh potensi yang ada di Desa Kepuhsari.
sanggar-sanggar yang tergabung dalam Para anggota yang tergabung di
Pokdarwis Tetuka, karena secara tidak Pokdarwis mempunyai satu program
langsung hal ini mendukung kegiatan jangka panjang untuk mengatasi perbedaan
positif terutama untuk kegiatan anak-anak sudut pandang dari masyarakat yang
dan remaja di lingkungan Desa, bukan kurang mendukung terhadap pelestarian
untuk merusak karakter warga, merusak wayang kulit, yaitu dengan program yang
anak-anak yang masuk ke sanggar, mengarah pada merangkul masyarakat
melainkan berusaha untuk mengajarkan secara keseluruhan bukan saja
anak-anak tentang karakter, tentang Kepuhtengah tapi semua warga Kepuhsari.
kebersamaan, dan tentang saling bisa Hal tersebut dilakukan dengan cara
mengerti satu sama yang lain. Dari melakukan sosialisasi dan pembuktian
pelestarian yang dilakukan, juga akan tindakan bahwa bagaimana kegiatan di
menunjang peningkatan ekonomi, sanggar ini dampaknya bagus untuk
sehingga mayoritas masyarakat lingkungan. Tetapi memang program
mendukung. tersebut membutuhkan tenaga ekstra dan
Kedua, sebagian masyarakat waktu yang lama.
kurang mendukung adanya pelestarian
wayang kulit oleh sanggar-sanggar yang PEMBAHASAN
tergabung dalam Pokdarwis Tetuka. Hal Sanggar sebagai Tempat Pendidikan
ini disebabkan karena memang adanya Nonformal
Pokdarwis belum bisa diterima seutuhnya Sanggar-sanggar yang ada di
oleh masyarakat. Pembentukan Pokdarwis Kepuhsari dapat dikategorikan sebagai
untuk memberdayakan sanggar-sanggar ini salah satu dari pendidikan nonformal, hal
diambil dari kesadaran masyarakat, ada ini dapat dilihat dari program-program
masyarakat yang tidak ingin bergabung yang dijalankan oleh sanggar belajar.
menyebarkan isu-isu negatif mengenai Tujuan yang dimiliki sanggar adalah untuk
Pokdarwis tersebut. Ada yang tetap melestarikan wayang agar wayang
kulit tidak punah dan anak cucu bisa sanggar telah memenuhi karateristik dari
mengenalnya, dalam sanggar tidak pendidikan nonformal, sehingga dapat
menuntut hasil belajar yang dicapai oleh disimpulkan bahwa kedudukan sanggar
anak yang belajar dan tidak mempunyai dalam pendidikan merupakan bagian dari
ijazah. Hasil yang didapat oleh anak yang pendidikan nonformal.
belajar tergantung pada kemampuan dan Seperti yang telah dijelaskan,
kreatifitas yang dimiliki oleh anak bahwa sanggar yang ada di Kepuhsari
tersebut. Waktu belajar di sanggar juga tidak hanya mengenalkan cara untuk
tidak secara baku ditetapkan, anak yang menatah wayang saja, melainkan juga ada
ingin belajar dapat datang kapan saja ke penanaman nilai karakter. Proses belajar
sanggar. Pelaksanaan jangka waktu untuk yang berlangsung di sanggar tidak hanya
belajar di sanggar juga relatif singkat, anak sebatas penularan keahlian menatah
yang belajar hanya membutuhkan waktu ± wayang dari pengajar ke anak-anak,
2 tahun dari ia mulai belajar menatah melainkan ada kegiatan lain yang sifatnya
sampai dengan bisa menjadi mahir, tetapi untuk menumbuhkan kekuatan karakter
ini juga tergantung dari kemampuan yang pada anak yang bisa menjadi bekal sampai
ia miliki. Berbeda dengan sekolah formal anak dewasa nanti.
yang jangka waktu belajarnya relatif lama
atau panjang antara 3 sampai dengan 6 Sanggar sebagai Pusat Inovasi di
tahun. Masyarakat
Isi program dan proses Sanggar-sanggar yang ada di
pembelajaran yang dijalankan di sanggar Kepuhsari telah mengangkat kembali
juga sangat fleksibel, tidak berdasarkan kearifan lokal yang dimiliki oleh Desa
pada acuan atau kurikulum tertentu, tersebut, yaitu wayang kulit. Wayang kulit
sanggar lebih menekankan materi dikenalkan melalui proses kegiatan tatah
mengenai bagaimana cara menatah wayang dan inovasi baru lainnya.
wayang kulit dan penanaman nilai karakter Walaupun di beberapa sekolah di Desa
yang didapat pada saat menatah wayang Kepuhsari telah memasukkan tatah
kulit. Sedangkan pengendalian yang sungging ke dalam muatan lokal, nyatanya
dilakukan oleh sanggar pengawasannya dalam pembelajaran di dalamnya hanya
tidak terpusat, koordinasi yang dilakukan sebatas teori saja, sedangkan prakteknya
hanya sebatas pada sanggar yang terkait pembuatannya masih sangat minim.
dan pada Paguyuban pokdarwis Tetuka Sehingga anak-anak yang ingin
saja. Berdasarkan dari penjelasan tersebut, melanjutkan proses belajarnya di sekolah
akan datang ke sanggar. Dalam hal ini, pengrajin dan sanggar yang ada sampai
sanggar juga telah melakukan proses dengan saat ini. Dengan berbagai kondisi
pewarisan budaya dari generasi tua kepada dan situasi yang terus berubah setiap
generasi muda yang sangat berpengaruh tahunnya, ada bukti dan indikasi yang kuat
terhadap upaya untuk pelestarian wayang bahwa sanggar-sanggar itu memiliki
kulit. Karena proses pewarisan kesenian kemampuan untuk beradaptasi.
wayang kulit ini bukan merupakan warisan Fungsi selanjutnya adalah goal
biologis, tetapi merupakan sebuah warisan attainment (pencapaian tujuan), sanggar
sosial. Proses belajar yang dilakukan oleh yang ada di Kepuhsari memiliki satu
anak-anak dalam belajar menatah wayang tujuan utama, yaitu ingin tetap
tidak dilakukan secara instan, melainkan melestarikan wayang agar wayang kulit
dengan kerja keras sampai dengan ia bisa tidak punah dan anak cucu bisa
menatah wayang secara benar sesuai mengenalnya. Untuk mencapai tujuan ini,
dengan pakem yang berlaku. sanggar yang ada mengadakan kelas-kelas
Hal ini dapat dikaitkan dengan untuk belajar menatah wayang kulit untuk
konteks skema AGIL (Adaptation, Goal anak-anak sampai dengan remaja, dari
attainment, Integration, dan Latency) yang masyarakat luar yang ingin belajarpun bisa
dijelaskan oleh Talcott Parsons, bahwa datang ke Desa ini dengan menggunakan
dalam proses pelestarian yang paket wisata Kampung Wayang. Selain itu,
berlangsung, pasti akan menjalani keempat dari Pemerintah Desa juga mengenalkan
fungsi tersebut agar tetap bisa bertahan wayang kulit melalui nama jalan yang ada
(survive). Sanggar-sanggar yang ada Desa di Kepuhsari menjadi nama-nama tokoh
Kepuhsari juga telah menjadi sebuah pewayangan, seperti seperti Jl. Bima, Jl.
sistem dan memiliki empat fungsi dalam Puntadewa, Jl. Arjuna, Jl. Srikandi, dll.
menjalankan kegiatannya selama ini. Sedangkan selain tujuan utamanya
Adaptation atau adaptasi, para untuk melestarikan wayang kulit,
pengrajin dan sanggar-sanggar yang ada di pengrajin ataupun sanggar dan juga
Kepuhsari telah melakukan adaptasi pemerintah mempunyai tujuan lain yang
dengan segala perubahan situasi baik itu sifatnya lebih konkrit dan lebih bisa
perubahan situasi ekonomi, politik, bahkan diamati, yaitu untuk tujuan yang lebih
perubahan masyarakatnya sejak awal mengarah pada tujuan ekonomi
kemunculan para pengrajin pada abad 17, masyarakat dan tujuan memberikan
mulai dibentuknya koperasi awal pada identitas untuk Desa Kepuhsari. Tujuan
tahun 1980-an untuk mewadahi para ekonomi dalam hal ini berbentuk pada
upaya pelestarian wayang kulit dilakukan Kepuhsari merupakan Desa sentra wayang
untuk mendorong perekonomian kulit dan memiliki sanggar-sanggar seni
masyarakat di Desa Kepuhsari terutama budaya untuk mengajarkan tentang
para pengrajin wayang. Karena saat ini berbagai hal yang berkaitan dengan
orientasi masyarakat bersifat lebih wayang kulit. Sanggar sangat berperan
konsumtif dan materialistik, maka semua sentral, karena promosi yang dilakukan
hal yang berhubungan dengan kehidupan nantinya akan membawa dampak baru,
masyarakat akan dikaitkan dengan yaitu masyarakat luar akan lebih mengenal
ekonomi. Begitu pula dengan pelestarian Desa Kepuhsari sebagai Kampung
wayang kulit di Kepuhsari, walaupun Wayang, yang tujuan akhirnya nanti akan
tujuan ekonomi bukanlah tujuan utama tetap berujung pada tujuan ekonomi
yang ingin dicapai oleh masyarakat, tetapi masyarakat, yaitu menunjang peningkatan
tujuan ekonomi untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Kepuhsari.
perekonomian Desa merupakan satu tujuan Selanjutnya adalah integration
yang harus dicapai dan penting juga. (integrasi), dalam sanggar belajar seni dan
Karena apabila sanggar-sanggar yang ada budaya yang ada di Kepuhsari telah
ini berhenti atau mati, maka para mengatur satu bagian dengan bagian
masyarakat akan kehilangan sebagian atau lainnya agar sanggar bisa terintegrasi
sepenuhnya dari mata pencaharian mereka. sehingga masih bisa bertahan hingga
Untuk mencapai tujuan ini, maka sanggar sekarang. Bagian-bagian itu adalah
terus mencari anggota atau orang-orang terintegrasinya antara metode
baru untuk masuk ke sanggar miliknya, pembelajaran, anggota yang bergabung,
dari mulai anak-anak sekitar sanggar pengajar di sanggar, serta materi-materi
sampai dengan mempromosikan Desa yang diberikan di sanggar. Semuanya yang
Kepuhsari di berbagai media sosial agar ada di sanggar bersifat fleksibel dan
masyarakat dari luar Desa tertarik untuk dinamis menyesuaikan dengan
berkunjung ke Desa Kepuhsari. Sehingga perkembangan yang ada sehingga sanggar
sanggar-sanggar yang ada di Kepuhsari ini juga bisa selalu beradaptasi dengan
akan terus dijalankan untuk menunjang lingkungannya.
kehidupan mereka sehari-hari.
Selain itu, tujuan lainnya adalah Sanggar sebagai Sarana Pelestarian
untuk memberikan identitas tersendiri bagi Wayang Kulit
Desa Kepuhsari. Identitas yang Untuk melengkapi ketiga fungsi A,
dimaksudkan di sini adalah bahwa Desa G, I sebelumnya, maka diperlukan satu
fungsi lagi agar sanggar dapat terus tidak terpusat di Dusun Kepuhtengah saja,
bertahan (survive) dalam masyarakat, yaitu pemerintah Desa merencanakan untuk
fungsi L, latency atau pemeliharaan pola, membuat sanggar pertemuan di Dusun
bahwa sebuah sistem harus melengkapi, Ngluwur Kepuhsari dekat dengan objek
memelihara dan memperbaiki, baik wisata alam Air Terjun Banyu Nibo.
motivasi individual maupun pola-pola Dukungan oleh masyarakat
kultural yang menciptakan dan menopang ditunjukkan dengan mayoritas masyarakat
motivasi. Sanggar yang ada harus yang mendukung adanya pelestarian
memelihara pola yang telah dibangun wayang kulit oleh sanggar-sanggar yang
sampai saat ini. Pemeliharaan yang terjadi, tergabung dalam Pokdarwis Tetuka,
bisa dikategorikan ke dalam dua hal, yang karena secara tidak langsung hal ini
pertama dari internal dan yang kedua dari mendukung kegiatan positif terutama
eksternal. Pemeliharaan pola dari internal untuk kegiatan anak-anak dan remaja di
dilakukan oleh para pengelola sanggar dan lingkungan Desa. Dukungan lain juga
angggota-anggotanya. Mereka tetap ditunjukkan saat diadakannya lomba
menjaga keberadaan sanggar dalam menatah wayang kulit pada acara
upayanya untuk tetap melestarikan Peringatan Hari Kemerdekaan RI bulan
kesenian tradisional wayang kulit, yaitu Agutus tahun 2015 lalu, masyarakat sangat
dengan melakukan rekrut anggota secara antusias dengan acara tersebut. Hal ini
sukarela, penyampaian materi mengenai menunjukkan bahwa sebagian besar
wayang kulit, maupun dengan melakukan masyarakat masih terus menginginkan
inovasi-inovasi baru yang terkait dengan wayang kulit terus dilestarikan dan tidak
kesenian wayang kulit. hilang oleh perubahan zaman. Tetapi, ada
Sementara eksternalnya adalah sebagian masyarakat yang kurang
hubungan antar sanggar satu dengan mendukung terhadap pelestarian wayang
lainnya, masyarakat dan pemerintah. kulit oleh sanggar-sanggar yang tergabung
Sanggar-sanggar yang ada sering dalam Pokdarwis Tetuka, hal ini
melakukan kolaborasi dan kerjasama, baik disebabkan karena adanya perbedaan sudut
dalam proses penjualan wayang dan juga pandang dari masyarakat. Masyarakat
pagelaran wayang, membuat pola yang menganggap bahwa hal tersebut hanya
telah dibangun akan semakin terpelihara untuk menguasai potensi yang dimiliki
dengan baik. Sedangkan dukungan dari oleh Desa Kepuhsari. Oleh sebab itu,
pemerintah Desa dibuktikan dengan ingin diperlukan lagi adanya pelatihan atau
memperluas keberadaan sanggar sehingga penyuluhan pelestarian nilai-nilai wayang
kulit terhadap masyarakat yang kurang proses pendidikan yang berlangsung di
mendukung kegiatan yang dilakukan oleh sanggar-sanggar Desa Kepuhsari
sanggar. Karena adanya hubungan yang berlangsung secara nonformal dan
baik antara sanggar satu dengan lainnya fleksibel. Kedua, peran sanggar dalam
serta dukungan dari pemerintah Desa dan pelestarian dan pengembangan wayang
masyarakat akan terus melanggengkan kulit, sanggar dijadikan pusat inovasi
keberadaan sanggar. Sanggar juga terus dalam masyarakat, sehingga sanggar
dapat dijadikan wadah dalam pelestarian memegang peran yang cukup penting
wayang kulit yang ada dan terus menjaga dalam pelestarian wayang kulit yang
atau memelihara pola (latency) yang telah merupakan warisan kearifan lokal di Desa
ada sampai saat ini. Kepuhsari. Ketiga, sikap masyarakat
Keempat skema AGIL terhadap upaya pelestarian wayang kulit
(Adaptation, Goal attainment, Integration, yang dilakukan oleh sanggar terbagi
dan Latency) yang telah dijelaskan dalam menjadi dua sikap, yaitu: sebagian
penjelasan mengenai pendidikan masyarakat mendukung dengan adanya
nonformal di sanggar, sanggar sebagai berbagai upaya yang dilakukan oleh
pusat inovasi di masyarakat, dan sanggar sanggar terhadap pelestarian wayang kulit,
sebagai sarana pelestarian wayang kulit karena dengan hal itu akan akan
pada dasarnya saling berkaitan. Jika salah menumbuhkan kegiatan positif yang
satu dari skema ini tidak dijalankan, maka berlangsung di Desa Kepuhsari, seperti
skema-skema yang lainnya akan sia-sia mengajarkan anak-anak mengenai nilai-
untuk dilakukan. Maksudnya, sebuah nilai karakter, memajukan perekonomian
sistem (tindakan) akan berlaku jika skema Desa serta membuat nama Desa Kepuhsari
AGIL ini dijalankan karena skema AGIL menjadi lebih dikenal oleh masyarakat
ini menjadi ciri dari seluruh sistem. luas. Dalam hal ini sanggar telah menjadi
satu sarana untuk pelestarian wayang kulit.
SIMPULAN Sebagian masyarakat yang tidak
Berdasarkan hasil penelitian mendukung, karena beranggapan bahwa
tentang pendidikan berbasis kearifan lokal apa yang dilakukan oleh sanggar-sanggar
melalui pelestarian wayang kulit di Desa dan menjadikannya Desa Wisata Kampung
Kepuhsari, Kecamatan Manyaran, Wayang hanyalah untuk menguasai
Kabupaten Wonogiri, dapat ditarik potensi yang dimiliki oleh Desa
kesimpulan sebagai berikut: pertama, Kepuhsari.
DAFTAR PUSTAKA

Amir, H. (1991). Nilai-nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Danim, S. (2010). Pengantar Kependidikan. Bandung: Alfabeta.
Jazuli, M. (2011). Sosiologi Seni (Pengantar dan Model Studi Seni). Surakarta: Sebelas
Maret University.
Mahfud, C. (2011). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Ritzer, G. & Goodman, D.J. (2012). Teori Sosiologi Modern. Terj. Alimandan. Jakarta:
Kencana.
Rochgiyanti, dkk. (2014). Kearifan Lokal Orang Dayak Barakumpai di Lahan Basah.
Yogyakarta: Aynat Publishing Yogyakarta.
Simanjuntak, B.A (Ed). (2014). Korelasi Kebudayaan & Pendidikan. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Sudjana, D. (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI). _____. Ilmu & Aplikasi
Pendidikan Bagian 2 Ilmu Pendidikan Praktis. Bandung: PT. IMTIMA.
Tirtarahardja, U. & S.L La Sulo. (2015). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Luas Daerah dan Jumlah Pulau Menurut Provinsi Tahun 2002-2014
(http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1366) diakses pada hari Senin, 30
November 2015 pukul 18:05
Rencana Strategis 2010-2014 Direktorat Jenderal Kebudayaan
(http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/) diakses pada hari Kamis, 22 Oktober 2015
pukul 13:37

You might also like