You are on page 1of 7

kerjasama antar lembaga di lingkungan pemerintahan Indonesia termuat

dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 yang menginstruksikan


Menkopolhukam, Mendagri, Kepala BNPT, Kapolri, Kepala BIN, Panglima TNI,
Seluruh Kepala Daerah Tingkat I dan II untuk lebih mengefektikan kerjasama
dalam penanganan terhadap gangguan keamanan dalam negeri salah satunya
yakni ancaman terorisme (Instruksi Presiden RI No. 2 Tahun 2013). BNPT
diberikan otoritas untuk membangun koordinasi dengan Lembaga pemerintah
yang terkait dan pemegang kepentingan lainnya dalam upaya membangun
sinergitas strategi kontra terorisme (Peraturan Presiden RI Nomor 46 Tahun
2010).

Terrorism and Counter Terrorism in Southeast Asia – Emerging Trends and


Dynamics (June 2021) which highlighted that:
1. suicide bombings are becoming an increasingly prevalent terrorist tactic in
Southeast Asia. Thirty-four suicide bombings have been perpetrated in the
region in the last twenty years, with eleven of those coming in just the last
three years.
2. the terrorist landscape in Southeast Asia has witnessed a growing role of
women as perpetrators of terrorist violence, a trend that is likely to continue.
Counterterrorism efforts must account for the multiplicity of roles women play
amongst violent extremists.
3. self-radicalization online shortens the radicalization period to months rather
than years, with acceleration in this timeframe widely attributed to information
and communication technologies, including increased use of social media.
Concern is raised on the possibility of lone wolf attacks.

trends and threats of terrorism in Indonesia, as follows:


First, the Indonesia National Police reported that in 2021, Detachment 88 had
apprehended around 370 (three hundred seventy) terrorist suspects. More than half
apprehended are related to Jamaah Islamiyah (JI), the group that is affiliated to
AlQaeda and to a lesser extent, almost a half of the apprehended suspects are
related to Jamaah Ansharut Daulah (JAD), the group that is affiliated to ISIS/Da’esh.
This is an increase of the amount of terrorist suspect apprehended in the year 2020,
totalling to 232 (two hundred thirty-two) individuals.
Although quantitatively there is an increase of terrorist suspect apprehended in 2021,
the Indonesia National Police reported that there is a decrease of 53.8 (fifty-three
point eight) percent of terrorist acts in 2021 compared to 2020. It was noted that only
2 terrorist acts transpired in 2021, which is the Makassar bombing and the attack at
the Police Headquarter in Jakarta. This could also mean that the Police have used
better means of pre-emptive strike to deter terrorist acts from happening in
Indonesia.
Second, in line with the research of Soufan Center, concern is raised with the
multiplicity role of women in terrorism and violent extremism in Indonesia. For
example, based on IPAC data, from 2011 to 2015, only 3 women were apprehended,
however from 2016 to 2021, 40 (forty) women were apprehended for suspicion of
terrorism acts. In the case of Makassar bombing in 2021, 11 women were implicated
to be involved in the plot. This is a worrying trend for Indonesia, based on BNPT’s
survey in 2020 conducted by the Coordinating Forum for Terrorism Prevention
(FKPT) on “Terrorism Risk Index and Potential Radicalism”, it was found that
younger women were more susceptible to online radicalisation compared to their
male peers. It was also found that online radicalisation was more susceptible to the
Generation Z and Millennials including those in the urban settings. Indonesia sees
that online radicalisation and recruitment by terrorist are still targeting the youth.
In 2021 we have witnessed, Jamaah Islamiyah (JI) utilizing charity boxes as sources
for terrorist financing. This maybe a trend that may continue.

UPAYA PENANGGULANGAN TERORISME

1. UU NO 5 TAHUN 2018
• Pada Juni 2018, Indonesia telah mengesahkan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme. Dalam undang-undang tersebut disebutkan
bahwa lembaga yang menjalankan fungsi pemberantasan terorisme adalah BNPT.
• Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berfungsi (43F):
a) Menyusun dan menetapkan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang
penanggulangan Terorisme;
b) Menyelenggarakan koordinasi kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang
penanggulangan Terorisme; dan
c) Melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.
• Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bertugas (43G):
a) Merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan
program nasional penanggulangan Terorisme di bidang kesiapsiagaan nasional,
kontra radikalisasi, dan deradikalisasi;
b) Mengoordinasikan antarpenegak hukum dalam penanggulangan Terorisme;
c) Mengoordinasikan program pemulihan Korban; dan
d) Merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan
program nasional penanggulangan Terorisme di bidang kerja sama internasional.
• Undang-undang ini merupakan payung hukum pemerintah dalam membuat
peraturan-peraturan pemerintah yang terdiri dari:
1) Perlindungan terhadap penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, pelapor, ahli,
saksi, dan petugas pemasyarakatan;
2) Perlindungan korban tindak pidana terorisme seperti pemberian kompensasi dan
restitusi;
3) Pelaksanaan kesiapsiagaan nasional;
4) Pelaksanan kontra radikalisasi; dan
5) Pelaksanaan deradikalisasi.
• Di dalam Undang-Undang ini juga dijelaskan upaya penanggulangan terorisme
yang dilakukan BNPT melalui Hard Approach dan Soft Approach, antara lain:
Soft Approach
Upaya Pencegahan:
a. Kontra Radikalisasi, melalui Kontra Narasi, Kontra Propaganda, dan Kontra
Ideologi
b. Deradikalisasi, melalui proses identifikasi dan penilaian, rehabilitasi, reedukasi,
dan integrasi sosial.
c. Kesiapsiagaan Nasional, melalui penguatan komunitas, peningkatan kemampuan
aparat keamanan dan penegak hukum, peningkatan perlindungan infrastruktur,
pengembangan kajian terorisme, pemetaan wilayah rawan serangan aksi terorisme.
Upaya Perlindungan:
d. Terhadap Korban;
e. Terhadap aparat penegak hukum.
• Hard Approach, yaitu melalui Penegakan Hukum.
• Terdapat Hal baru dalam UU No 5 Tahun 2018 dibanding peraturan sebelumnya,
yakni sebagai berikut :
1) Pada Pasal 35 dan 36 yakni adanya panduan yang jelas dalam pemberian
restitusi dan kompensasi kepada korban terorisme;
2) Pasal 43A sampai dengan 43D yakni keseluruhan membahas pencegahan
terorisme;
3) Pasal 13A dan 14 yakni mengkriminalisasi untuk tindakan penghasutan dan
mendalangi tindakan terorisme;
4) Pasal 12A dan 12B yakni mengkriminalisasi untuk tindakan bergabung dan
mendukung FTF;
5) Pasal 25 yakni memperpanjang masa penahanan untuk tersangka terorisme; dan
6) Pasal 15 yakni mengkriminalisasi tindakan merencanakan terorisme.
2. PERPRES NO 7 TAHUN 2021
• Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional
Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang
Mengarah pada Terorisme (RAN PE) yang disahkan oleh Presiden Republik
Indonesia pada tanggal 6 Januari 2021 merupakan komitmen kehadiran negara
untuk pemenuhan hak atas rasa aman warga negara.
• Terdapat 3 (tiga) Pilar yang menjadi soko guru pelaksanaan RAN PE (PE) yaitu (1)
Pilar Pencegahan (kesiapsiagaan, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi), yang
dikoordinasikan oleh Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi
BNPT; (2) Pilar Penegakan Hukum, Pelindungan Saksi dan AS OF 2 JUNI 2022 17
Korban, dan Penguatan Kerangka Legislasi Nasional, yang dikoordinasikan oleh
Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT; dan (3) Pilar
Kemitraan dan Kerja Sama Internasional oleh Deputi Bidang Politik Luar Negeri,
Kemenko Polhukam.
• RAN PE dirancang sebagai bagian dari upaya untuk mengatasi persoalan dan latar
belakang tumbuh dan berkembangnya ekstremisme berbasis kekerasan yang
mengarah pada terorisme di Indonesia antara lain adalah:
1) besarnya potensi konflik komunal berlatar belakang sentimen primordial dan
keagamaan;
2) kesenjangan ekonomi;
3) perbedaan pandangan politik;
4) perlakuan yang tidak adil; dan
5) intoleransi dalam kehidupan beragama. Hal ini diperkuat oleh kajian-kajian
maupun riset yang berbasiskan data (evidence base) yang dilakukan oleh sejumlah
lembaga think thank.
• Pelaksanaan RAN PE ini diperkuat dan dikembangkan hingga ke tingkat akar
rumput melalui dukungan Pemerintah Daerah dan peran serta masyarakat sipil,
pemuka agama, pemuka adat dan tokoh masyarakat.
• Saat ini, BNPT telah membentuk Sekretariat Bersama RAN PE dengan 6 K/L lain
yaitu: Kemenko Polhukam, Kemenko PMK, Kemen PPN/Bappenas, Kemendagri dan
Kemenlu dan BNPT.
• Tugas Sekber mengoordinasikan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan RAN
PE oleh kurang lebih 48 K/L dalam RAN PE yang terbagi ke dalam PokjaPokja,
termasuk juga Pokja tematis yang terdiri dari masyarakat sipil.
• Hasil implementasi RAN PE ini akan dilaporkan kepada Presiden oleh Kepala
BNPT serta disampaikan kepada publik sebagai wujud akuntabilitas.
• Dengan berbagai amanat, pilar, serta kebijakan sebagai fondasi, pelaksanaan
RAN PE pada tahun 2021 berjalan cukup baik di seluruh Kementerian/Lembaga
terkait. Hasil Laporan Pelaksanaan RAN PE tahun 2021 terdapat 70 aksi RAN PE
yang telah dan sedang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga dengan jumlah
kegiatan sebanyak 249 Kegiatan, dimana:
1) Jumlah aksi di Pilar Pencegahan menjadi aksi terbanyak pada RAN PE di tengah
para K/L sebagai wujud semangat serta komitmen, yang akhirnya menghasilkan 165
kegiatan;
2) Pilar Penegakan Hukum, Pelindungan Saksi dan Korban serta Penguatan
Kerangka Legislasi Nasional terdapat 54 kegiatan; dan
3) Pilar Kemitraan dan Kerjasama Internasional memiliki 30 kegiatan.
• Kekuatan dari RAN PE ini terletak pada komitmen kuat Pemerintah melalui
Peraturan Presiden dan dukungan penuh Wakil Presiden dalam memantau
implementasinya.
• Pada tahun pertama pelaksanaan RAN PE, hal yang paling nyata terlihat adalah
terbangunnya infrastruktur komprehensif yang dapat dijadikan sebagai media
koordinasi dan konsolidasi atas pelaksanaan aksi-aksi RAN PE antar K/L dan juga
masyarakat sipil, serta dukungan sistem monitoring, evaluasi, dan pelaporan
berbasis digital yaitu I-Khub on CT/VE (Indonesia Knowledge Hub on Countering
Terrorism and Violent Extremism) yang dibangun oleh BNPT.
• Kendala dan hambatan pada tahun pertama sejak terbitnya Peraturan Presiden
mengenai RAN PE diantaranya: keterbatasan anggaran, kurang maksimalnya
koordinasi internal, kegiatan RAN PE belum menjadi prioritas kegiatan K/L serta
kebijakan internal yang belum mendukung.

COUNTER-TERRORISM FINANCING
• Berdasarkan National Risk Assessment (NRA) Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme yang dikeluarkan oleh PPATK pada tahun 2021, dijelaskan hal-hal
sebagai berikut:
➢ Pendanaan oleh kelompok teror umumnya digunakan untuk mendukung
operasional seperti kegiatan pelatihan militer, transportasi (baik domestik maupun
melintasi batas negara), membeli amunisi dan persenjataan, serta pemberian
dukungan dana bagi teroris dan/atau anggota keluarga teroris.
➢ Tren pendanaan Terorisme saat ini adalah melalui:
- Sponsor pribadi.
- Penyalahgunaan donasi melalui ormas.
- Usaha yang sah.
➢ Pemindahan dana dilakukan dengan berbagai metode, yaitu:
- Melalui penyedia jasa keuangan (perbankan).
- Pembawaan uang tunai lintas batas negara.
- Penggunaan New payment methode (virtual currency, peer-to-peer lending).
➢ Potensi Ancaman Pendanaan Terorisme:
- Corporate/Firm (Perusahaan)
- Drugs (Obat-obatan terlarang)
- Virtual Asset (Aset Virtual)
- Online Lending (Pinjaman Online)
- Armed Criminal Groups (Kelompok Kriminal Bersenjata)
• Upaya-Upaya yang dilakukan dalam menanggulangi pendanaan teorirsme, antara
lain:
➢ Penguatan Legislasi Nasional dalam upaya penanggulangan pendanaan
terorisme:
- Ditetapkannya Rencana Aksi Strategi Nasional TPPU dan TPPT Tahun 2022-2024.
Pada bulan Maret 2020, Menkopolhukam selaku Ketua Komite TPPU telah
menetapkan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU Tahun 2020
– 2024 yang terdiri atas 5 (lima) Strategi Nasional, sebagai berikut:
1) Meningkatkan Kemampuan Sektor Privat Untuk Mendeteksi Indikasi atau Potensi
TPPU, TPPT dan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal Dengan
Memperhatikan Penilaian Risiko.
2) Meningkatkan Upaya Pencegahan Terjadinya TPPU dan TPPT dengan
Memperhatikan Penilaian Risiko.
3) Meningkatkan Upaya Pemberantasan Terjadinya TPPU dan TPPT dengan
Memperhatikan Penilaian Risiko.
4) Mengoptimalkan Asset Recovery Dengan Memperhatikan Penilaian Risiko.
5) Meningkatkan Efektivitas Targeted Financial Sanction Dalam Rangka Mendisrupsi
Aktivitas Terorisme, Teroris, Organisasi Teroris, dan Aktivitas Pendanaan Proliferasi
Senjata Pemusnah Massal.
- Ratifikasi International Convention for The Supression of The Financing Terrorism
dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006.
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Pendanaan Terorisme
- Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 terkait Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
- Perpres No. 7 Tahun 2021 tentang RAN-PE.
- Peraturan bersama Ketua MA, Menlu, Kapolri, Kepala BNPT, dan Kepala PPATK
tentang Pencantuman Identitas Orang dan Korporasi dalam DTTOT dan
Pemblokiran secara serta merta atas dana miliki orang atau korporasi yang
tercantum dalam DTTOT.
- Impementasi Resolusi DK PBB 1373 > PEMBENTUKAN SATGAS DTTOT >
PPATK bersama-sama dengan kementerian/lembaga terkait, yaitu Densus 88 AT
Polri, Badan Intelijen Negara, dan Ditjen Imigrasi tergabung dalam Satgas DTTOT
yang dikoordinir oleh BNPT.
• Upaya Nasional dan Global Indonesia dalam upaya penanggulangan pendanaan
terorisme, yakni melalui :
➢ Sitem Informasi Terduga Pendanaan Terorisme (SIPENDAR), Platform koordinasi
Kemeterian dan Lembaga terkait untuk bertukar informasi terkait pendanaan
terorisme. Melalui platform ini Kementerian dan Lembaga terkait (Densus 88, BNPT,
BIN) bisa mendapatkan informasi dari penyedia jasa keuangan terkait transaski
keuangan terduga teroris.
➢ Pembentukan Tim Penanggulangan Pendanaan Terorisme. BNPT membentuk
tim penanggulangan pendanaan terorisme yang dinisiasi sejak 2016 dan terus
bekerja hingga 2021.
➢ Penyusunan white paper pemetaan resiko tindak pidana pendanaan terorisme
jaringan teroris domestik.
➢ Indonesia dan FATF. Saat ini Indonesia belum menjadi anggota FATF. Indonesia
saat ini sedang menjalani Mutual Evaluation Review oleh FATF untuk menjadi
anggota. Hasil on site visitt FATF tahun 2021 akan menjadi pertimbangan kunci
penentuan Indonesia menjadi anggota FATF. Indonesia saat ini masih menjadi
observer di FATF, namun belum menjadi negara anggota.
➢ Indonesia dalam APG (Asia Pacific Group on Money Laundering). Indonesia telah
menjadi anggota APG sejak tahun 2004 dan telah kukuhkan dengan Keputusan
Presiden Nomor 23 Tahun 2011. Laporan atau Mutual Evaluation Report (MER)
Indonesia tahun 2018 menetapkan bahwa kepatuhan Indonesia terhadap standar
Internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang dan pendanaan terorisme, termasuk pendanaan proliferasi senjata pemusnah
massal atau FATF Recommendation, dinilai sangat memadai. Dari 40 rekomendasi
FATF terkait dengan kepatuhan legal framework, Indonesia mendapat nilai atau
rating C (complaint) atau tertinggi untuk 6 rekomendasi. Kemudian mendapat nilai
LC (Largely Compliant) untuk 29 rekomendasi serta mendapat nilai atau rating PC
(Partially Compliant) untuk 4 rekomendasi.
➢ Indonesia dalam Egmont Group. Sejak Juni 2004, PPATK telah menjadi anggota
Egmont Group (organisasi perhimpunan FIU seluruh dunia). Melalui forum ini
PPATK memiliki saluran pertukaran informasi intelijen dengan lebih dari 160 FIU.
Sampai akhir tahun 2020 lalu, PPATK telah melakukan lebih dari 2200 pertukaran
informasi.

Pada bulan Februari 2016 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima


dengan suara bulat rancangan Rencana Aksi PBB untuk Mencegah Ekstremisme
Kekerasan yang diajukan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam Plan of Action, ada tujuh bidang prioritas yang perlu ditangani dalam
Pencegahan/CVE, yaitu (a) Dialog dan Pencegahan Konflik, (b) Memperkuat Tata
Pemerintahan yang Baik, Hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum, (c) Melibatkan
Komunitas, (d) Pemberdayaan Pemuda, (e) Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan
Perempuan, (f) Pendidikan, Pengembangan Keterampilan dan Fasilitasi Pekerjaan,
dan (g) Komunikasi Strategis, Internet dan Media Sosial.

David H. Bayley dan David Weisburd dalam (Satria et al., 2018) mengkategorikan
sepuluh jenis kegiatan kontraterorisme, yaitu sebagai berikut:
a. Deteksi terselubung
b. Gangguan/pembongkaran plot teroris
c. Analisis risiko
d. Pengerasan target
e. Mobilisasi masyarakat untuk pencegahan
f. Perlindungan orang-orang penting dan infrastruktur
g. Bantuan darurat pada insiden teroris
h. Pemeliharaan ketertiban saat terorisme terjadi
i. Mitigasi kerusakan teroris
j. Investigasi kriminal insiden teroris

Adapun strategi kontra-terorisme Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)


dalam menghadapi ancaman ISIS adalah sebagai berikut:
a. Mengintensifkan Operasi Satuan Densus 88 Anti Teror
b. Sosialiasi Kepada Masyarakat dan Peningkatan Kesiapsiagaan
c. Menjalin Kerjasama dengan Negara-Negara Sahabat

You might also like