You are on page 1of 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/343649820

KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM CERITA RAKYAT


INDONESIA: SEBUAH ANALISIS TRANSITIVITAS

Conference Paper · August 2020

CITATIONS READS
0 493

4 authors, including:

Qanitah Masykuroh
Universitas Muhammadiyah Surakarta
14 PUBLICATIONS 18 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

GIRLHOOD AND FEMININE IDEALS: LINGUISTIC REPRESENTATION OF FEMININITY IN INDONESIAN FOLKTALES View project

All content following this page was uploaded by Qanitah Masykuroh on 02 September 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Dinamika Bahasa dalam Era 4.0
ISBN: 978-623-7959-49-6

KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM CERITA


RAKYAT INDONESIA: SEBUAH ANALISIS
TRANSITIVITAS
Qanitah Masykuroh
Department of English Education, Universitas Muhammadiyah Surakarta
qanitah.masykuroh@ums.ac.id

Abstract
This study examines the linguistic representation of violence against children in
Indonesian folktales retold in children’s books, focusing on seven stories with the
theme of ‘Parents who want their children disappeared.’ The linguistic analytical
tools are derived from Halliday’s Systemic Functional Linguistics which is
concerned with clauses in their ideational function, particularly with the system of
transitivity.The analysis demonstrates that abuse against children is discursively
constructed in Indonesian folktales.The violence is in the forms of trial of murder,
neglect and banishment. In addition, the violence is committed by either father or
both father and mother, while the victim of violence is either male or female
child.Correspondingly, the analysis shows how children are represented as burden
for their parents, especially when the children are handicapped and do not fulfill
their parent’s expectation.Moreover, the analysis shows the existence of
acorrelationbetween the representation of the children as a passivevictim,and object
of parents’ desires oractionsand the transitivity choices thathave been made to
represent them. The transitivity choices in the stories also aid the maintenanceof an
unequal relation of power between children and parents.

Keywords: Indonesian folktales, abuse,children

PENDAHULUAN
Cerita rakyat sebagai ungkapan budaya dapat mencerminkan norma
budaya yang diterima yang dipegang oleh suatu masyarakat. Awalnya, cerita
rakyat, yang kini telah banyak ditulis ulang agar sesuai untuk anak-anak,
tidak secara khusus dibuat untuk anak-anak dan cerita rakyat tersebut dapat
berisi semua aspek kehidupan manusia termasuk di dalamnya kekerasan.
Kekerasan semacam itu tidak terhindarkan, karena secara naratif melekat
menjadi bagian untuk dari keseluruhan cerita. Di samping itu, karena
386
E-Prosiding Simposium Nasional Masyarakat Linguistik Indonesia
Komisariat Universitas Andalas, Padang 25 Juni 2020

Indonesia terdiri dari begitu banyak budaya yang beragam, konteks


kekerasan, tingkat dan sifatnya, juga beragam.
Dalam studi yang mengkaji cerita rakyat, ada banyak perhatian yang
ditujukan untuk kekerasan dan konten dewasa dalam cerita rakyat. Beberapa
kekhawatiran berfokus pada ambiguitas moral dalam cerita. Hal yang sama
juga ditujukan pada kehadiran rasa takut, tindakan seksualitas, kekejaman
dan tipu daya, bersama dengan seksis meumum dan rasisme[1][2][3].
Namun, seperti yang diamati oleh Maria Tatar [4], banyak versi cerita rakyat
sebelumnya, pada masa awal-awal penulisan cerita rakyat dan dongeng yang
semula banyak diturkan secara lisan, yang sebenarnya mengandung lebih
banyak kekerasan dari pada versi yang dibaca oleh anak-anak saat ini. Karena
itu, Tatar menegaskan bahwa dongeng dan cerita rakyat perlu ditinjau
kembali. Peninjauan kembali cerita rakyat terkait erat dengan perubahan
gagasan masa kanak-kanak di mana begitu anak dirasakan secara berbeda
oleh masyarakat, teks untuk anak-anak berubah, seperti halnya cara anak
dicirikan dalam teks-teks tersebut[5] [6]. Oleh karena itu, ada dongeng anak-
anak untuk merespons pengakuan dan legitimasi perolehan anak sebagai
berbeda dari orang dewasa baik dalam kapasitas mereka untuk memahami
serta kebutuhan pendidikan mereka. Tradisi pengeditan dongeng dan cerita
rakyat telah dilakukan secara luas sejak abad ketujuh belas, karena
prevalensiseks, seksualitas, horor dan kekejaman [7] dan karena permintaan
kaum bangsawan; sebuah proses yang disebut Jack Zipes 'borjuisifikasi' [2].
Oleh karena itu cerita rakyat dan dongeng sebelumnya; secara sengaja
disesuaikan dan ditulis Kembali menjadi semacam wacana cerita tentang adat
istiadat, nilai-nilai, dan perilaku sehingga anak-anak menjadi beradab sesuai
dengan tatanan sosial pada waktu itu.
Sejauh ini, dalam studi yang senada di Indonesia, kekerasan dalam
cerita rakyat belum banyak dikaji. Padahal, kekerasan dalam cerita rakyat
387
Dinamika Bahasa dalam Era 4.0
ISBN: 978-623-7959-49-6

sering kali memang merupakan bagian yang inherent dari cerita dan
bentuknya juga bermacam-macam [8]. Penelitian yang sudah ada yang
berhubungan dengan kekerasan dalam cerita rakyat kebanyakan berfokus
pada kekerasan berbasis gender [9] [10], juga kekerasan ibu dan saudara
tiri[11] [12].Bunanta [13], mencatat tidak adanya perselisihan sosial, politik
atau agama yang signifikan atau keberatan terhadap konten kekerasan dari
cerita rakyat yang disajikan untuk anak anak di Indonesia. Namun, studi lebih
lanjut perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi klaim ini karena studi Bunanta
dilakukan pada periode sebelum kebebasan berekspresi yang berkembang di
era reformasi. Selain itu, belum ada penelitian komprehensif yang dilakukan
terkait dengan kekerasan dalam buku anak-anak.
Oleh karena itu, studi ini diharapkan dapat mengisi sedikit
kekosongan tersebut. Bukan tujuan tulisan ini ini untuk menilai apakah
sebuah cerita rakyat itu bagus atau tidak, ataupun melakukan sensor.
Investigasi kekerasan dalam studi ini terutama bertujuan untuk
merefleksikan bagaimana kekerasan ditempatkan secara structural dalam
cerita rakyat.

METODE PENELITIAN
Data penelitian ini terdiri dari klausa yang dikumpulkan dari tujuh
cerita rakyat dengan tema 'Orang tua yang ingin anak-anak mereka lenyap’.
Data kemudian dianalisis dengan perangkat linguistik yang berdasarkan pada
teori Halliday mengenai transitivitas dalam Linguistik Sistemik Fungsional
[14][15]. Analisis ini berfokus pada klausa dalam fungsi idealnya, khususnya
dengan sistem transitivitas yang merupakan fungsi gramatikal yang
mengekspresikan aspek pengalaman makna dan yang berpotensi terdiri dari
tiga elemen: (a) proses, (b) peserta dalam proses dan (c) keadaan yang terkait
dengan proses.

388
E-Prosiding Simposium Nasional Masyarakat Linguistik Indonesia
Komisariat Universitas Andalas, Padang 25 Juni 2020

Tujuh cerita dengan tema 'Orang tua yang ingin anak-anak mereka
lenyap' dalam studi ini yaitu 'Sesentola dan Burung Garuda' dari Sulawesi
Tengah, 'Doyan Nada' dari Lombok, 'Si kelingking' dari Bangka Belitung,
'Putri Tadampalik' Dari Sulawesi Selatan , 'Ni Tuwung Kuning' dari Bali,
'Putri Lumbung Kapas' dari Sulawesi Tengah, dan 'Putri Pucuk Gelumpang'
dari Sumatra Barat.
'Si Kelingking' menggambarkan sebuah kisah tentang orang tua yang
ingin menyingkirkan anak mereka karena anak itu cacat dalam bentuk
memiliki tubuh yang tidak normal yang kecil, sedangkan dalam 'Putri
Tadampalik,' penyakit kulit yang diderita sang anak menyebabkan
pembuangannya. 'Sesentola dan Burung Garuda 'dan' Doyan Nada
'menggambarkan kisah orang tua yang ingin menyingkirkan anak mereka
karena dia makan terlalu banyak dan karena itu dianggap menjadi beban bagi
orang tua. Dalam kedua jenis cerita itu, anak itu selalu beruntung dan selalu
bisa pulang. Kisah-kisah itu berakhir dengan keberuntungan bahwa anak itu
dibawa pulang yang menyadarkan orang tuanya.
Dalam kisah 'Ni Tuwung Kuning', 'Putri Lumbung Kapas', dan 'Putri
Pucuk Gelumpang', alasan utama sang ayah untuk membunuh putrinya
hanyalah statusnya sebagai wanita. Selain itu, keinginan ayah untuk
membunuh putrinya telah dimulai bahkan sebelum putrinya lahir yang
memperkuat kepercayaan pemuliaan laki-laki.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sistem transitivitas membantu penafsiran terhadap para partisipan dan
peristiwa-peristiwa dalam sebuah teks yang seringkali juga mengandung
hubungan kekuasaan yang tidak setara. Cerita rakyat Indonesia dengan
tema 'orang tua yang ingin anak-anak mereka lenyap' biasanya ditafsirkan
pada bingkai latar belakang tempat di mana sebuah peristiwa-peristiwa dalam
cerita itu terjadi yaitu 1) rumah dan 2.) hutan.
389
Dinamika Bahasa dalam Era 4.0
ISBN: 978-623-7959-49-6

Sedangkan bentuk kekerasan terhadap anak-anak dalam cerita dengan


tema tersebut adalah dalam bentuk: 1.) percobaan pembunuhan dan 2.)
pembuangan atau pengusiran. Selain itu, kekerasan dilakukan oleh ayah atau
ayah dan ibu, sedangkan korban kekerasan adalah anak laki-laki atau
perempuan.
Dengan menggunakan transitivitas di bawah kerangka SFL Halliday,
205 klausa ditemukan. Tabel distribusi proses yang mencirikan teks, para
partisipan dan sirkum stan dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 1. Jenis proses yang diinisiasi oleh anak dan orang tua
Diinisiasi oleh
Prosentase
Tipe proses anak Diinisiasi oleh orang tua Prosentase (%)
(%)
Mental 65 31,707% 43 20,976%
Material 43 20,975% 52 25,366%
Relasional 41 20,000% 50 24,390%
Verbal 40 19,512% 54 26,341%
Behavioral 0 0% 0 0%
Existensial 6 2,927% 6 2,927%
Meteorologikal 0 0 0%
Total 205 205 100%

Tabel 2. Tipe partisipan

Initiated by Initiated by
children parents
Participants Percentage (%) Percentage (%)
Frequency of Frequency of
Occurrence Occurrence
Actor 65 31,707% 43 20,976%
Senser
43 20,975% 52 25,366%
Carrier
Token 41 20,000% 50 24,390%
Sayer 40 19,512% 54 26,341%
Behaver 0 0% 0 0%
Existential 6 2,927% 6 2,927%
Subject 0 0 0%
Total 205 205 100%

390
E-Prosiding Simposium Nasional Masyarakat Linguistik Indonesia
Komisariat Universitas Andalas, Padang 25 Juni 2020

Table 3. Types of circumstance

Circumstance Frequency of Occurrence Percentage (%)


Time 17 26,5625%
Place 22 34,375%
Manner 20 31,25%
Cause 2 3,125%
Accompaniment 1 1,5625%
Matter 1 1,5625%
Role 1 1,5625%
Total 64 100%

Proses yang diprakarsai oleh anak-anak mencakup proses materi


transitif seperti mengesampingkan, membuat, membawa; proses material
intransitive seperti berjalan, berbaring, berdiri; dan proses mental seperti
bertanya-tanya, menjawab, bertanya. Meskipun proses materitransitif
menunjukk anak-anak sebagai aktor, tujuan dari tindakan semua adalah non-
manusia, menunjukkan bahwa anak-anak tidak memiliki control atas orang.
Di samping itu, tindakan anak-anak perempuan juga merujuk pada
pekerjaan feminin dan sifat feminine dari kepatuhan (membuat pakaian untuk
dirinya sendiri untuk mempersiapkan hari pembunuhannya). Selanjutnya,
tindakan anak-anak menunjukkan sifat dermawan (membuat pakaian untuk
ayah, membawa pulang batu untuk membangun rumah). Selain proses materi,
proses mental yang diprakarsai oleh anak-anak menunjukkan kepasifan dan
ketidakberdayaan anak-anak untuk melarikan diri dari kekerasan yang
mengancam mereka.
Dalam cerita, proses yang diprakarsai oleh ayah sebagian besar adalah
proses materi (mengancam istrinya untuk menjadikannya menggantikan
posisi anak perempuan sebagai korban, memerintahkan putranya ke kayu,
mengayunkan pedang, membunuh putrinya, mendorong batu besar kebawah
untuk tempat putranya berdiri, usir putranya). Oleh karena itu, proses yang

391
Dinamika Bahasa dalam Era 4.0
ISBN: 978-623-7959-49-6

diprakarsai oleh ayah menunjukkan bahwa seorang figur ayah sepenuhnya


mengendalikan anaknya dan juga istrinya. Dari semua proses yang
diprakarsai oleh ayah, hanya ada beberapa proses yang tidak klausa transitif
yang menyebutkan dia sebagai aktor dan anak atau istri sebagai tujuan dari
tindakannya mis. Klausa intransitive menunjukkan tindakan bergerak
(pergikehutan) dan proses mental intransitif (penyesalan).
Sedangkan proses yang diprakarsai oleh ibu kurang lebih mirip
dengan proses yang diinisiasi oleh anak (menempatkan anak perempuan di
hutan, memanggil anak perempuan untuk pulang, merasa sedih karena niat
kejam suaminya terhadap anak perempuan mereka. Tindakan yang dilakukan
oleh ibu biasanya sebagai penolong, dia menghadapi kendali ayah dengan
memperdayainya, walaupun triknya tidak berhasil, menunjukkan inisiatif
melakukan aksi meskipun dia menyadari kemungkinan akibat perbuatan yang
dia lakukan.
Hasil analisis data menunjukkan bagaimana anak-anak
direpresentasikan sebagai beban bagi orang tua mereka, terutama ketika
anak-anak cacat dan tidak memenuhi harapan orang tua mereka. Ketidak
sempurnaan anak-anak dianggap sebagai kegagalan yang menghasilkan
hukuman. Selain itu, analisis menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara
representasi anak-anak sebagai korban yang pasif, dan objek keinginan atau
tindakan orang tua dengan pilihan transitivitas yang digunakan untuk
mewakili mereka. Sebagian besar proses yang diprakarsai oleh anak-anak
umumnya merupakan proses mental, sedangkan orang tua kebanyakan
memulai proses tindakan. Selain itu, ketika anak-anak akhirnya aman dari
penghinaan orang tua mereka, hal itu tidak lepas dari bantuan kekuatan magis
biasanya muncul sebagai penolong. Ini memperkuat representasi anak-anak
sebagai karakter yang tidak berdaya.

392
E-Prosiding Simposium Nasional Masyarakat Linguistik Indonesia
Komisariat Universitas Andalas, Padang 25 Juni 2020

Lebih jauh lagi, semua proses dalam cerita yang diprakarsai oleh anak
perempuan menegaskan persepsi sifat feminine bahwa tokoh utama
perempuan itu secara umum cenderung pasif (merasa sedih, tidak tahu
mengapa ia terkena penyakit itu) dan tidak bersuara (hanya bisa menangis).
Proses yang diprakarsai oleh tokoh antagonis (merasa malu memiliki anak
perempuan yang jelek, mengusir anak perempuan) juga memberikan persepsi
bahwa tokoh antagonis memiliki kendaliatas tokoh utama perempuan. Selain
itu, akhir dari kisah di mana tokoh utama perempuan mendapatkan kembali
kecantikannya dan dihadiahi dengan pernikahan seorang pangeran tampan
memperkuat persepsi bahwa ketabahan dalam menanggung kesulitan untuk
seorang anak perempuan adalah salah satu sifat femininitas yang baik.
Studi ini menunjukkan kebermanfaatan linguistic sebagai salah satu
alat untuk mengkaji konten dalam cerita anak [16]. Hasil analisis yang
menyajikan representasi anak-anak sebagai objek kekuasaan orang tua serta
dalam kondisi hubungan yang timpang dengan orang tua, selaras dengan
temuan sebelumnya mengenai bagaimana cerita tradisional di eropa
menggambarkan posisi lemah anak-anak di mata orang tua[2][3]. Selain itu,
gambaran kekerasan terhadap anak dalam cerita rakyat yang dikaji dalam
studi ini juga sejalan dengan kajian yang lebih besar dalam usaha untuk
menyajikan warisan budaya bangsa kepada anak-anak secara aman, dengan
ide untuk merekonstruksi cerita rakyat, terutama yang berkaitan dengan
muatan kekerasan, seksualitas dan bias gender [13][17][18] Studi lanjut yang
mengeksplorasi cerita rakyat yang dengan tema yang berbeda yang
mengandung konten kekerasan di dalamnya dengan bentuk yang
kemungkinan berbeda sangat diperlukan untuk melengkapi literature
mengenai konten kekerasan dalam cerita rakyat Indonesia, fungsi konten
kekerasan tersebut dalam struktur cerita, juga kaitannya dengan latar
belakang budaya asal cerita rakyat tersebut.
393
Dinamika Bahasa dalam Era 4.0
ISBN: 978-623-7959-49-6

PENUTUP
Kajian konstruksi klausa dalam cerita rakyat bertema 'orang tua yang
ingin anak mereka lenyap' menunjukkan bahwa pilihan transitivitas yang
digunakan dalam cerita, bersama dengan tema cerita mengkonfirmasi
konstruksi anak-anak dalam cerita rakyat yang umumnya pasif dan tidak
punya suara untuk menghadapi orang tua terutama sosok ayah. Selanjutnya,
pilihan bahasa membantu penciptaan karakter ayah yang sangat kuat yang
memiliki kendali penuh atas semua karakter dalam cerita. Pilihan transitivitas
dalam cerita juga membantu menjaga hubungan kekuasaan yang tidak setara
antara anak-anak dan orang tua. Ini membuktikan bahwa alat linguistic dapat
secara signifikan digunakan untuk mengungkapkan representasi tokoh-tokoh
dalam sebuah cerita beserta hubungan kekuasaan antara para tokoh tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
[1] G. Shannon, Folk Literature and Children, An Annotated Bibliography
of Secondary Materials. London.: Greenwood Press, 1981.
[2] J. Zipes, Fairy Tales and the Art of Subversion: the Classical Genre
for Children and the Process of Civilization, 2nd. Edition,. New York:
Routledge, 2006.
[3] M. Tatar, The Hard Facts of the Grimms’ Fairy Tales. New.Jersey:
Princeton University Press, 2002.
[4] M. Tatar, Off With Their Heads. Fairy Tales and the Culture of
Childhood,. New Jersey: Princeton University Press, 1992.
[5] J. Townsend, Written for Children: An Outline of English-Language
Children’s Literature, 3rd ed. New York: J. B. Lippincott, 1974.
[6] Z. Shavit, Poetics of Children’s Literature. Athens.: University of
Georgia Press, 1986.
[7] N. Bengtsson, “Sex and Violence in Fairy Tales for Children,”
Bookbird A J. Int. Child. Lit., vol. 47, no. 3, pp. 15–21, 2009.
[8] Q. Masykuroh, “Physical and Verbal Violence in Indonesian folktales
retold in children’s books,” J. Kaji. Linguist. dan Sastra, vol. 1, no. 1,
pp. 25–34, 2016.
[9] I. N. Suaka, “Refleksi kekerasan dalam rumah tangga dalam cerita
rakyat bali tuwung kuning : analisis feminisme,” J. Kaji. bali, vol. 8,
no. 2, pp. 63–84, 2018.
394
E-Prosiding Simposium Nasional Masyarakat Linguistik Indonesia
Komisariat Universitas Andalas, Padang 25 Juni 2020

[10] J. Karim, “Wacana kekerasan simbolik pada cerita wandiudiu,”


Linguist. Bul. Ilm. Progr. magister Linguist. Univ. udayana, vol. 22,
pp. 154–161, 2015.
[11] A. Ratu, “Karakter Ibu Tiri Selalu Jahat? (Studi Perbandingan Cerita
Rakyat Indonesia),” J. Sos. Hum., vol. 10, no. 1, pp. 1–8, 2017.
[12] Q. Masykuroh, “Cinderellas in Indonesia: Story Variants of Indonesian
Folktales with the Theme of ‘Kind and Unkind Girls,’” in Proceeding
of The 4th Literary Studies Conference, 2016, p. 176=179.
[13] M. Bunanta, Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak
Indonesia : Telaah Penyajian dengan Contoh Dongeng Bertipe Cerita
Cinderella. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
[14] M. Halliday, Introduction to Functional Grammar. London: Edward
Arnold, 1985.
[15] M. Halliday, MAK, Construing Experience through Meaning: A
Language-based approach to cognition,. London: Cassell, 2004.
[16] I. A. Baydak, A. V, Scharioth, C., & Il, “Interaction of Language and
Culture in the Process of International Education,” in Procedia -
Social and Behavioral Sciences, 2015, pp. 14–18, doi:
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.11.567.
[17] R. P. & H. R. W. T. Citraningtyas, Clara Evi, “Pedagogical
implications of folktales to children: urgency for a reconstructed tale,”
in Proceeding of the World Conference on Integration of Knowledge,
2013, pp. 222–229.
[18] C. N. Faidah, “Dekonstruksi sastra anak: mengubah paradigma
kekerasan dan seksualitas pada karya sastra anak indonesia,” Kredo,
vol. 2, no. 126–139, 2018.

395

View publication stats

You might also like