You are on page 1of 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/341640940

Politik Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia: Sebuah Kajian Awal


Interaksi antara "Party-ID" dan Patron-Klien

Article · June 2013

CITATIONS READS

49 564

1 author:

Burhanuddin Muhtadi
Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta
61 PUBLICATIONS 916 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Burhanuddin Muhtadi on 26 May 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


POLITIK UANG DAN DINAMIKA ELEKTORAL
DI INDONESIA: SEBUAH KAJIAN AWAL INTERAKSI ANTARA
“ PARTY-ID ” DAN PATRON-KLIEN

M ONEY POLITICS AND ELECTORAL DYNAMICS IN INDONESIA:


A PRELIMINARYSTUDY OF THE INTERACTION BETWEEN
“PARTY-ID” AND PATRON-CLIENT

Burhanuddin Muhtadi

Dosen Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah dan Pascasarjana Universitas Paramadina, Jakarta
E-mail: burhanmuhtadi@gmail.com
Diterima: 7 Februari 2013; direvisi: 12 Maret 2013; disetujui: 16 Juni 2013

Abstract

Along with the rise o f democratic regimes in the third world, vote buying—the exchange o f material benefits
fo r votes—has become a key component o f electoral mobilization in many young democracies. Is that true that the
patronage and clientelism are the only determinant factor fo r explaining the widespread o f vote buying activities
in the less developed countries? Scholarly literature on clientelism can be divided into three categories. Thefirst
is a determinist view o f clientelism that is congruent with modernization theory ’s argument. The second camp is
the essentialist argument. Clientelism is viewed as a product o f social and cultural proclivity. The third academic
tradition on clientelism is the institutionalist camp. This intellectual strand emphasizes political and institutional
designs implicating to the widespread o f clientelism such as competitive elections and multiparty system, electoral
rules, and decentralization.
Students ofpolitical science gave added weight to the prevalence o f vote buying in relation to clientelism and
patronage, but little attention has been giveh to the relationship o f vote buying and party identiflcation. Referring
to empirical data gathered from Indonesian case, this article shows that the decreasing trend o f party identiflcation
among Indonesian voters has signiftcantly contributed fo r the widespread o f vote buying activities. The public s
tolerance towards such election-related bribery can be reduced by the increase o f party identiflcation. Voters who
identify themselves with any political parties tend to reject vote buying practices. In contrast, those who are not
afflliated with any political parties are more likely to accept vote buying.
The general decline in party identiflcation in Indonesia is largely caused by politicalparties ’poorperformance.
Parties are in crisis because they fa il to perform the functions considered essential to political parties in a demo­
cratic polity. Surveys consistently reveal that compared to other democratic institutions, trust in political parties
is the lowest. Ifthis trend continues to rise, voters tend to be less attached to their political party and political cost
will be much more expensive because they will utilize transactional relationship with political parties. It is clear
that vote-buying has and continues to be pervasive in Indonesia today d u e to th e b ig fa ilu r e o f political p a rtie s to
increase their credibility among voters.
Keywords: vote buying, money politics, party identiflcation, clientelism, electoral dynamics, Indonesia

Abstrak

Seiring dengan penyebaran rezim demokrasi di negara-negara berkembang, politik uang ternyata menjadi
elemen kunci mobilisasi elektoral di banyak demokrasi gelombang ketiga. Benarkah patron-klien menjadi satu-
satunya faktor determinan maraknya politik uang? Literatur kesarjanaan mengenai klientelisme dapat dibagi menjadi
tiga aliran: Pertama, aliran determinis yang paralel dengan teori modernisasi. Kubu kedua adalah argumen kebu­

Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 41


dayaan. Tradisi ketiga adalah pendekatan institusionalis yang menekankan desain institusi politik ikut menyumbang
maraknya praktik patron-klien.
Banyak ahli yang terlalu banyak memberikan perhatian relasi antara politik uang dan patron-klien, tetapi
sedikit sekali yang mengkaji dari sudut pandang identitas kepartaian (party-ID). Tulisan ini menyatakan bahwa
rendahnya party-ID juga berkontribusi bagi semakin maraknya politik uang di tingkat massa. Semakin rendah
party-ID seseorang semakin besar kemungkinan dia menerima praktik politik uang. Sebaliknya, semakin tinggi
tingkat party-ID pemilih maka semakin kecil sikap penerimaannya terhadap praktik politik uang.
Tren party-ID di Indonesia terus menurun dan penurunan ini disumbang oleh buruknya kinerja partai di mata
pemilih. Iklim ketidakpercayaan publik terhadap partai terus meningkat seiring dengan terbukanya kasus-kasus
korupsi yang melibatkan elite partai. Jika partai politik tak berbenah maka pemilih makin menjauhi partai dan biaya
politik makin mahal karena pemilih cenderung memakai pendekatan transaksional dengan partai. Jadi, fenomena
politik uang yang semakin merajalela di tingkat massa dipicu oleh kegagalan partai politik itu sendiri dalam me­
ningkatkan kinerjanya di mata pemilih.
Kata kunci: jual beli suara, politik uang, identifikasi partai, klientelisme, dinamika elektoral, Indonesia

Pendahuluan sewaktu pemilu. Lalu disusul Argentina 18% dan


Seiring dengan penyebaran rezim demokrasi Panama 17,8%.4
di negara-negara berkembang, money politics Demikian pula para politisi di negara-negara
atau politik uang ternyata menjadi elemen Asia yang sering menargetkan warga miskin
kunci mobilisasi elektoral di banyak demokrasi sebagai sasaran politik uang. Di Filipina, misal­
gelombang ketiga. Studi Andrews dan Inman nya, diperkirakan tiga juta warganya ditawari
tentang perilaku pemilih di tujuh negara Afrika uang atau barang dalam pemilu barartgay (tingkat
yang paling demokratis menurut Freedom House, komunitas) pada tahun 2002.5Di Thailand, 30%
misalnya, menemukan fakta adanya jual beli responden yang berasal dari kepala keluarga
suara.1Dengan menggunakan data survei Afroba- mengaku ditawari politisi atau tim suksesnya
rometer Tahap 3 tahun 2005, mereka menemukan uang atau hadiah. Di kota terbesar ketiga di
Ghana adalah negara paling rentan mengalami Taiwan, Taichung, 27% responden mengaku
praktik politik uang atau jual beli suara dengan menerima uang pada waktu kampanye Pemilu
kisaran 42% warganya yang mengaku ditawari 1999.6
uang atau hadiah sewaktu pemilu.2 Meskipun wacana politik uang sudah lama
Demikian juga temuan survei Latin Ameri­ menarik perhatian para sarjana, data empirik
can Public Opinion Project (LAPOP) dalam tentang topik ini masih terbatas baik secara
Americas Barometer tahun 2010 yang menemu­ kuantitas maupun kualitas. Variasi temuan juga
kan variasi menarik perilaku pemilih di Amerika berkaitan dengan pendekatan metodologi, sekup
Latin dan wilayah Karibia.3Di antara 22 negara analisis, dan tujuan studi. Misalnya dalam studi
yang disurvei, Republik Dominika menempati kuantitatif mengenai politik uang, temuan survei
peringkat pertama negara paling rentan yang harus dibaca secara hati-hati karena ada bias
mengidap praktik jual beli suara dengan 22% social desirability yang mungkin terjadi saat pe­
responden mengaku ditawari uang atau barang ngumpulan data. Tak heran kadang survei massa
hanya menemukan persentase kecil mereka yang
1 Josephine T. Andrews dan Kris Inman, “Explaining Vote mengaku menerima uang sewaktu pemilihan.7
Choice in Africa’s Emerging Democracies”, makalah dipre­
sentasikan dalam Midwest Political Science Association,
2009, hlm. 3. 4 Proyek besar ini melibatkan 37.642 responden yang terpilih
secara random untuk merepresentasikan seluruh populasi pe­
2 Setelah Ghana adalah Mali dengan 41% responden yang
milih di 22 negara Amerika Latin.
didekati agar menerima uang sewaktu pemilu, lalu Namibia
(40%), Afrika Selatan (38%), Benin (34%), dan Senegal (34%). 5 “Social Weather Stations: National Survey”, Quezon City,
Pada titik ekstrem yang lain, Botswana adalah negara Afrika Philippines, 2002.
yang paling sedikit terimbas masalah jual beli suara dengan 6 Kuen-Shan Cheng et al., “Analysis o f the Causes o f Vote
hanya (13%) saja warganya yang mengaku ditawari uang Buying, and the Study o f How to Prevent It”, seperti dikutip
sewaktu pemilu. Frederic Charles Schaffer, “Vote Buying in East Asia”, dalam
3 Brian M. Faughnan dan Elizabeth J. Zechmeister, “Vote Global CorruptionRep 2004, Transparency International.
Buying in the Americas”, Americas Barometer Insights, 2011, 7Contoh terbaik mengenai ini adalah survei Transparency In­
hlm. 1. ternational tahun 2005 yang menemukan hanya 7% responden,

42 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 41-58


Sebaliknya, para ahli yang menggunakan studi politik.11 Tak heran jika praktik jual beli suara
kualitatif dengan teknik etnografi justru pada menjadi endemik karena jaringan patron-klien
umumnya menyimpulkan praktik politik uang berjasa menyuburkan dan memelihara politik
atau jual beli suara telah menggurita di banyak uang demi keberlangsungan status quo mereka.
negara berkembang.8 Meski terlihat masuk akal, kubu modernisasi ini
Meskipun demikian, survei mutakhir yang gagal menjelaskan mengapa masih ada jaringan
menggunakan pertanyaan yang standar untuk klientelistik di negara yang relatif sudah makmur
mengukur praktik politik uang atau jual beli suara dengan tingkat pendidikan yang memadai,
berhasil memotret hingga angka puluhan persen seperti Jepang, Belgia, Austria, Korea Selatan,
seperti di banyak negara Afrika, Amerika Latin, Italia, dan Prancis.12 Berdasarkan studi-studi
dan Asia Tenggara. Pertanyaannya, mengapa ini, patron-klien tak hanya ditemukan di negara
negara berkembang rentan praktik jual beli suara? berkembang, tetapi juga di negara-negara yang
Benarkah patron-klien menjadi satu-satunya sudah maju. Menurut Lande:
faktor determinan? Bagaimana kita menjelaskan
What have been calledpatron-client relationships
kaitan patron-klien dan politik elektoral? and horizontally dyadic alliances have been observed
in a wide variety o f national and institutional set-
tings where they have taken many different forms.
State o f the Field: Patronase They have been fo u n d in early chiefdoms, in ancient
dan Klientelisme city-states and empires, infeudal systems, in Western
and Third World democracies, in military dictator-
Banyak ahli ilmu politik yang percaya bahwa ships, and in modern socialist States. They have been
patron-klien adalah penyebab merebaknya prak­ observed in operation at various levels o f societies:
tik moneypolitics di negara-negara berkembang. among the poorest o f the poor, among the rural and
Literatur kesarjanaan dalam studi klientelisme urban middle classes, and at the very center o f the
struggle fo r pow er between members ofruling elites.13
dapat dibagi menjadi tiga aliran. Pertama, aliran
determinis yang paralel dengan teori modernisasi. Sistem patron-klien barangkali akan lebih
Menurut kubu ini, klientelisme digambarkan mudah ditemukan dan kuat resonansinya di
sebagai w arisan zam an pram odern dalam negara berkembang, namun seperti dikatakan
relasi sosial-politik.9Patron-klien dinilai sebagai Lande di atas, patron-klien ada di semua lapisan
bagian intrinsik Dunia Ketiga yang relatif masih masyarakat, modem atau tidak modem, demokra­
miskin dengan tingkat buta huruf yang tinggi. tis atau otoriter, dan sebagainya. Klientelisme
Mereka “tidak modern” menurut M artin S. sukses bertahan sejak masa kuno hingga modem
Lipset.10*Padahal, demokrasi hanya mungkin melalui kode-kode informal, nilai-nilai, dan
bisa diterapkan dalam masyarakat yang memiliki norma yang secara sosial terus dijaga.
tingkat ekonomi dan pendidikan yang memadai.
Fokus kubu intelektual ini adalah konsep­ 11Allen fficken, “Clientelism”, Annual Review Political Science,
tualisasi dan studi kasus. Asumsi teoretik yang 2001, www.annualreviews.org.

dibangun adalah patron-klien dapat diatasi jika 12 E. Scheiner, “Clientelism in Japan: The Importance and
Limits o f Institutional Explanations”, dalam Herbert Kitschelt
negara itu sudah modem, baik ekonomi maupun dan Steven Wilkinson (Eds.), Patrons, Clients, and Policies:
di Brazil yang menerima uang atau hadiah waktu pemilu 2001. Patterns o f Democratic Accountability and Political Competi-
Padahal banyak studi kualitatif yang mengklaim bahwa jual tion, (Cambridge, UK: Cambridge Univ. Press, 2007), hlm.
beli suara adalah elemen kunci politik kontemporer di Brazil. 276-297; Herbert Kitschelt, “The Demise o f Clientelism in
Lebih jauh baca Frances Hagopian, Traditional Politics and Affluent Capitalist Democracies”, dalam Herbert Kitschelt &
Regime Change in Brazil, (New York: Cambrige University Steven Wilkinson (Eds.), ibid., hlm. 298-321; Joongi Kim,
Press, 1996). “Clientelism and Corruption in South Korea”, dalam Stephen
Kotkin dan Andras Sajo (Eds.), Political Corruption in Transi-
8Misalnya baca, Javier Auyero, “The Logic o f Clientelism in tion: A Skeptic ’s Handbook, (Budapest and New York: Central
Argentina: An Ethnographic Account,” Latin American Studies European University Press, 2002), hlm. 167-185; Carolyn
Association, Vol. 35, No. 3, 2000, hlm. 55-81. Warner, “Mass Parties and Clientelism in France and Italy”,
9 Misalnya baca Emest Gellner & J. Waterbury, Patrons and dalam Simona Piattoni, Clientelism. Interests and Democratic
Clients in Mediterranian Societies, (London: Duckworth, 1977). Representation, (Cambridge: Cambridge University Press,
10 Lebih jauh baca Martin Seymour Lipset, ”Some Social 2001), hlm. 122-151.
Requisites of Democracy: Economic Development and Politi­ 13C.H. Lande, “Political Clientelism in Political Studies: Ret-
cal Legitimacy," American Political Science Review, (53 (1), rospect and Prospect”, International Political Science Review,
1959), hlm. 69-105. 4, 4, 1993, hlm.440.

Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 43


Kubu kedua adalah argumen kebudayaan. kasus Swedia yang mampu mengeliminasi
Patron-klien dinilai sebagai produk sosial-budaya ‘budaya’ patron-klien dalam kontestasi politik
di mana kelompok yang mempunyai keistime­ dan birokrasi mereka.18Pengalaman Inggris pada
waan tertentu {patrons) memberikan uang tahun 1700-1860 saat reformasi negara melawan
atau keuntungan sebagai imbalan atas loyalitas patronase dan korupsi juga menjadi contoh
pengikutnya (clients).14 Omobowale menulis: klasik bahwa klientelisme bisa dihilangkan,
atau setidaknya direduksi. Jika kita percaya
Clientelism (patronage) is definitely not a novel
bahwa patron-klien membawa implikasi negatif
social phenom enon. Though it is a non-m aterial
aspect o f culture, its ontological reality is accepted, bagi maraknya korupsi, inefisiensi birokrasi dan
not ju s t because it is said to exist, but because o f money politics maka pendekatan budaya sama
the potency o f its inherent exchange relationship, sekali tidak membantu. Politik uang dan korupsi
which brings patrons a n d clients together fo r the
interchange o f valued resources beyond the direct
mustahil dihilangkan karena dianggap bagian
control o f each actor (i.e. patron and client) within integral dari budaya kita sendiri.
the social structurefr
Tradisi ketiga dalam studi klientelisme adalah
Berdasarkan pendapat Omobowale di atas, pendekatan institusionalis yang menekankan
klientelisme dianggap bukan sekadar hubungan desain institusi politik berjasa menyebarkan
sosial, tetapi juga sebuah “political subcultures". praktik patron-klien, misalnya pemilu yang
Menurut Jaensch, “ When the attitudes o f a kompetitif dan sistem multipartai ditengarai
particular part ofa population vary considerably menjadi penyebab maraknya patronase politik19
in either intensity or content, thatpart can be said dalam sistem pemilu,20desentralisasi,21dan proses
to have its own distinctivepolitical subculture. ”16 pengambilan keputusan, baik di legislatif maupun
Studi Zappala yang menggunakan perspektif eksekutif.22 Bagi kubu ini, patron-klien makin
Jaensch tentang political subculture menggam­ menarik bagi politisi di negara yang integrasi
barkan j ejaring klientelisme di kalangan pemilih sistem politiknya masih buruk, pembelahan etnik
imigran Australia dari negara-negara yang tidak yang kuat, dan performa ekonomi yang lemah.
menggunakan bahasa Inggris. Meski mereka Pertanyaan retorik yang muncul, antara lain jika
sudah berimigrasi ke Australia sangat lama dan calon presiden, anggota DPR, gubernur atau bu­
hidup dalam suasana demokrasi dengan tingkat pati dan wali kota dapat membeli suara pemilih,
pendidikan dan ekonomi yang sangat memadai, apakah mereka masih mempunyai insentif untuk
perilaku dan budaya politik mereka masih sangat mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat ketika
kental nuansa patron-kliennya.17 berada di singgasana kekuasaan?
Akan tetapi, kubu budaya ini potensial jatuh Robert Putnam, melalui studinya tahun
dalam jebakan esensialisme, sebuah tendensi 1993, meneliti secara sistematik wilayah di
keyakinan bahwa budaya klientelisme itu bersifat Italia dengan menempatkan kinerja institusi
unik, tetap, dan tak berubah. Aliran intelektual ini sebagai variabel dependen dan tingkat kewargaan
cenderung mengabaikan perkembangan sosial, 18Apostolis Papakostas, “Why There is No Clientelism in Scan-
dinavia? A Comparison of the Swedish and Greek Sequences
budaya, dan politik. Studi Papakostas menun­
o f Development”, dalam Simona Piattoni (Ed.), Clientelism.
jukkan bahwa patron-klien juga dipengaruhi Interests and Democratic Representation, (Cambridge: Cam­
variabel historis yang bersifat temporal seperti bridge University Press, 2001), hlm. 31-53.
19Philip Keefer, “Democratization and Clientelism: Why are
14 L. Taylor, “Clientship and Citizenship in Latin America”, Young Democracies Badly Govemed?”, dalam World Bank
Bulletin o f Latin American Research, Vol. 23, No. 2, 2004, Policy Research Paper 3594 (May 2005), hlm. 24-25. Baca
hlm. 213-227. Wolfgang Muno, “Conseptualizing and Measuring Clien­
telism”, dalam Workshop Neopatrimonialism in Various World
15Ayokunle Olumuyiwa Omobowale, “Clientelism and Social
Regions, (Hamburg: GIGA German Institute of Global and
Structure: AnAnalysis of Patronage inYoruba Social Thought”,
Area Studies, 2010).
Afrika Spectrum, Vol. 43, No. 2,2008, Hamburg: GIGA Institute
of African Affairs, hlm. 203. 20E. Scheiner, loc.cit..
16D. Jaensch, The Politics o f Australia, (Melboume: Macmillan, 21Maria Pilar Garcia-Guadilla and Carlos Perez, “Democracy,
1992), hlm. 22-23. Decentralization, and Clientelism: New Relationships and Old
17Gianni Zappala, “Clientelism, Political Culture and Ethnic Practices”, Latin American Perspectives, Vol. 29, No. 5 ,2002,
Politics in Australia”, Australian Journal o f Political Science, hlm. 90-109.
Vol. 33, No. 3, 2010, hlm. 381-397. 22Philip Keefer, loc.cit.

44 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 41-58


Ccivilness ) sebagai variabel independen. Putnam tetapi, realitas pemilih dengan tingkat pendidikan
kemudian membagi Italia menjadi dua kategori: dan pendapatan ke bawah cenderung lebih peduli
pertama, clientelistpolities yang diartikan sebagai terhadap keuntungan sesaat ketimbang tawaran
kepentingan partikularistik sebagian warga yang programatik. Patron-klien, kata Fukuyama, ber­
didahulukan dengan mengorbankan kepentingan beda dengan korupsi.27Ada hubungan resiprokal
kolektif. Italia bagian selatan menjadi eksemplar antara politisi dan pemilih yang disebut sebagai
dari clien telist p o litie s. Kedua, civic p o lities bentuk “akuntabilitas” yang lain di mana politisi
dengan menunjuk Italia bagian utara yang lebih harus memberikan sesuatu kepada pemilihnya.
beradab, makmur, dan berpendidikan tinggi.
Kinerja institusi sosial politik di Italia utara State o f the Field : Politik Uang dan
jauh lebih baik ketimbang saudaranya yang di Party-ID
selatan.23
Banyak ahli yang terlalu banyak memberikan
Meskipun demikian, argumen institusionalis perhatian relasi antara politik uang dan patron-
ini rentan terjatuh pada “situasi telur atau ayam”, klien, tetapi sedikit sekali yang mengkaji dari
atau dilema kausalitas di antara patron-klien dan sudut pandang identitas kepartaian [party-ID). Di
institusi politik yang menjadi penyebab bagi antara yang memberi atensi sedikit pada soal ini
yang lain. Brinkerhoff dan Goldsmith, misalnya, adalah Brusco, Nazareno, dan Stokes. Fokus studi
menunjuk patron-klien sebagai sistem informal mereka sebenarnya tentang efektivitas politik
yang merusak institusi demokrasi, menyuburkan uang di Argentina dalam memobilisasi dukungan
praktik politik uang dan korupsi, menambah dari kalangan kelas menengah ke bawah. Melalui
inefisiensi birokrasi dan pelayanan publik.24 efek generasi, mereka menemukan, “Pendukung
Padahal, seperti dikatakan O ’Donnell, sistem Peronis dari kaum papa yang baru memilih pada
politik informal harus dipahami karena fokus dekade 1990-an cenderung kurang loyal dan
eksklusif hanya pada sistem atau aturan formal bergantung pada tawaran material. Sebaliknya,
akan mengabaikan perhatian kita kepada informal kaum Peronis sangat loyal dan tetap memilih
p o litics yang justru lebih berpengaruh dalam
partai karena identifikasi mereka yang lebih
menentukan institusi politik.25 Mengabaikan dalam terhadap tradisi dan ideologi partai.”28
inform al p o litics seperti patrimonialisme dan
Dalam studi tentang jual beli suara dan
patron-klien akan membuat kita kehilangan
resiprokalitas di Paraguay, Finan, dan Schechter
“rules o f the gam e ” yang seringkah bersifat tak
juga menyebut sekilas korelasi politik uang de­
tertulis, tapi berurat akar sejak lama.26
ngan party-ID . Mereka menemukan kedua partai
Kelem ahan pendekatan institusionalis utama di Paraguay (Colorado dan Liberals) ikut
yang lain adalah terlalu kritis dan kurang terlibat m oneypolitics. Kedua partai menargetkan
simpatik terhadap patron-klien. Di banyak negara pendukung mereka sendiri dengan kisaran 31%
berkembang, politisi bukan berarti tak mampu pemilih yang dekat dengan Colorado dan 23%
menawarkan kebijakan programatik, atau mereka yang dekat dengan Liberals mengaku diberi uang
dianggap tak paham bagaimana representasi atau hadiah. Sebaliknya, hanya 13% pemilih yang
politik demokrasi mampu dioperasionalkan, akan tidak memiliki kedekatan dengan Colorado atau
23Robert D. Putnam, Making Democracy Work: Civic Tradi- Liberals yang ditawari hal serupa.29
tions in Modern Italy, (Princeton: Princeton University Press,
Pada titik ini literatur dalam studi m oney
1993), hlm. 121-162.
24Derick Brinkerhoff dan Arthur Goldsmith, Clientelism, Pat-
politics terbagi menjadi dua. Stokes berpendapat
rimonialism and Democratic Governance: An OverView and
Frameworkfor Assessment andProgramming, (USA1D Office 27Francis Fukuyama, “The Two Europes”, 2012, http://blogs.
for Democracy and Governance, 2002), http://pdf.usaid.gov/ the-american-interest. com/fukuyama/2012/05/08/the-two-
pdf_docsZPnacr426.pdf. europes/.
25 Guillermo O’Donnel, “Another Institutionalization: Latin 28 Valeria Brusco, et al., “Vote Buying in Argentina”, Latin
America and Elsewhere”, Kellog Institute Working Paper, American Research Review, Vol. 39, No. 2, 2004, hlm. 75.
222, March, 1996
2,Frederico Finan dan Laura Schehter, “Vote Buying and Reci-
26 Gretchen Helmke dan Steven Levitsky, “Informal Institu­ procity”, NBER Working Papers 17411, (National Bureau of
tions and Comparative Politics: A Research Agenda”, Kellog Economic Research, Inc., 2011), hlm. 7.
InstituteWorking Paper, 307, September, 2003.

Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 45


bahwa partai hanya menargetkan politik uang di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Namun,
pada kalangan sw ing voters atau pendukung la­ secara faktual, perkembangan demokrasi di
wan yang lemah “iman” pilihannya.3031Sementara Indonesia telah dihambat dengan maraknya
itu, Nichter berpendapat sebaliknya; partai justru bentuk-bentuk m oney politics, tak terkecuali di
menyasar basis pemilih mereka sendiri untuk tingkat akar rumput dalam bentuk jual beli suara.
meningkatkan partisipasi dalam memilih. Dia Banyak politisi atau calon kepala daerah
menyebutnya sebagai turnout buying.11 Asumsi yang menjadikan kaum papa sebagai target
dasar yang dipakai Stokes adalah pemilih loyal operasi jual beli suara ( vote buying) dengan
itu basis tradisional. Kalaupun tidak mendapat menawarkan uang atau bentuk-bentuk hadiah
alokasi dan distribusi material, mereka akan tetap yang lain sebagai alat tukar dalam pemilihan.
memberikan dukungan kepada partainya apa pun Sudah menjadi rahasia umum, banyak politisi
yang terjadi. yang melakukan kampanye pemilu yang bersifat
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mobilisasi pemilih melalui pendekatan transak­
adakah hubungan antara jual beli suara dengan sional. Faktor-faktor sosial-ekonomi seperti
p a rty -ID ? Dapatkah p a rty -ID yang menjadi tingkat pendidikan dan pendapatan memengaruhi
konsep kunci dalam perilaku pemilih sejak maraknya praktik jual beli suara. Selain itu, studi-
1950-an digunakan untuk mereduksi toleransi studi terkait dengan jual beli suara juga sangat
pemilih terhadap praktik politik uang? Memang berkaitan dengan sikap toleran warga terhadap
belakangan literatur kesarjanaan mengenai praktik semacam itu dan jejaring patron-klien
jual beli suara dan determinannya cenderung yang menjadi penghubung antara elit dan massa
meningkat, khususnya tentang aspek sosial- di bawah.
ekonomi dan karakteristik demografi pemilih Dalam literatur tentang perilaku pemilih
yang disasar serta kiatnya dengan patron-klien. di Indonesia, sudah cukup banyak studi yang
Namun, sepengetahuan penulis tidak ada kajian ditulis dari perspektif model sosiologis, model
yang secara spesifik membahas interaksi antara psikologis, dan ra tio n a l c h o ic e (ekonomi-
politik uang dan party-ID . politik). Namun, studi yang memberi perhatian
Agar dapat menguji secara lebih empiris pada pengaruh m oney politics dalam pemilihan
relasi jual beli suara dengan party-ID di satu sisi, belum banyak diteliti secara akademis. Wacana
dan patron-klien di sisi yang lain, konsep-konsep m o n e y p o litic s lebih banyak terkait dengan
itu harus mampu dioperasionalkan. Konteks mobilisasi finansial di tingkat elit.
spesifik tentang bagaimana praktik jual beli Kalaupun ada tulisan terkait dengan praktik
suara dilakukan dan bagaimana p a rty-ID dan politik uang di tingkat massa biasanya hanya
patron-klien memengaruhi politik elektoral perlu berdasarkan data-data jurnalistik. Tentu sangat di­
juga dielaborasi. sayangkan j ika para ahli mengabaikan munculnya
praktik jual beli suara dalam bentuk pemberian
Politik Uang dan Patron-Klien dalam uang tunai, hadiah, sembako dan lain-lain yang
Politik Elektoral Indonesia biasanya diberikan pada waktu musim pemilu.
Sebagai negara demokrasi yang masih muda, Masalah jual beli suara makin sulit diatasi karena
Indonesia masih rentan politik uang. Secara mekanisme penegakan hukum yang tidak di­
prosedural, Indonesia telah merintis konsolidasi lakukan secara semestinya.32*Misalnya, tuduhan
demokrasi secara baik seiring dengan pelaksa­ adanya jual beli suara hanya diberikan waktu
naan tiga pemilu legislatif secara berturut-turut selama tiga hari untuk membuktikannya. Tentu
pascareformasi, pemilihan presiden dan wakil waktu sependek ini menyulitkan bagi pembuktian
presiden secara langsung dan ratusan pemilukada praktik m oney politics di tingkat bawah.

30Susan Stokes, “Perverse Accountability: A Formal Modelof


Machine Politics with Evidence from Argentina", American
Political Science Review, Vol. 99, August 2005, hlm. 315-325. 32 Perludem Research Team, Reorganizing Pemilukada Arrange-
31 Simeon Nichter, “Vote Buying or Turnout Buying? Machine ment, (Jakarta: Perludem, Indonesia-Australia Partnership and
Politics and the Secret Ballot”, American Political Science the International Foundation for Electoral Systems (IFES),
Review, Vol. 102, No. 1, February 2008, hlm. 19-31. March2011).

46 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 41-58


Tidak seperti di negara tetangga, studi politik umum mengenai kekuatan predatoris.36Ahli yang
uang di Indonesia tidak menarik perhatian banyak lain secara sekilas mengaitkan m oney politics
akademisi.33 Kebanyakan diskusi mengenai dalam konteks politik elektoral, baik di tingkat
topik ini di Indonesia hanya menjadi konsumsi nasional maupun lokal.
di media. Riset International Foundation for Untuk memahami konstelasi politik uang
Electoral Systems (IFES) tentang M oney Politics: sebagaim ana kita lihat hari ini, kita perlu
Regulation o f P o litica l F inance in Indonesia mengeksplorasi literatur, baik yang memakai
hanya sedikit contoh pendekatan akademik pendekatan historis, sosiologis maupun politik
mengkaji politik uang dan dampak elektoralnya.34 mengenai patron-klien dan patrimonialisme.
Namun, studi IFES ini sudah out o f date karena Dua hal ini menjadi persemaian yang subur bagi
dirilis pada 1999. Riset tersebut juga hanya politik uang. Indonesianis terkemuka Benedict
memfokuskan pada regulasi keuangan partai. Anderson pertama kali menggunakan istilah
Istilah m oney p o litics sendiri kurang jelas. patrimonialisme untuk menunjuk pada konsep
Dalam banyak kesempatan, istilah ini dipakai kekuasaan tradisional Jawa yang terkait dengan
sebagai kontainer besar yang merangkum seluruh struktur dan perilaku politik negara patrimo-
praktik dan perilaku mulai dari korupsi politik ke nialis.37 Meskipun demikian, patron-klien dan
patron-klien hingga jual beli suara dan kriminal. patrimonialisme adalah konsep yang berbeda,
Ada semacam konsensus di antara sarjana yang tetapi memiliki makna yang dekat dan berkaitan.
mengkaji politik Indonesia bahwa money politics Menumt Mackie, patron-klien adalah istilah yang
adalah korupsi yang terkait dengan proses elek­ langsung menunjuk pada hubungan mutualistik
toral. Karena itu, politik uang beroperasi pada antara patron yang berkecukupan dan klien yang
dua ranah. Pertam a, di tingkat elite seperti calon membutuhkan, sedangkan patrimonialisme jauh
presiden, DPR, DPRD, gubernur, bupati atau wali lebih abstrak dan merujuk pada sistem sosial
kota yang maju dalam proses pemilihan. Setiap politik yang luas.38
calon harus merogoh kantongnya lebih dalam B anyak ahli ten tan g Indonesia yang
baik untuk sewa “perahu” partai, kampanye, menekankan politik patronase sebagai gambaran
konsultan hingga beperkara ke M ahkamah kunci sistem politik sejak Sukarno, Suharto
Konstitusi. K edua, politik uang di tingkat massa hingga era reformasi. Feith, misalnya, meng­
dalam bentuk jual beli suara ke pemilih. gambarkan pentingnya basis sosial yang me­
Studi kesarjanaan mengenai m oney politics mengaruhi hasil Pemilu 1955 pada era Sukarno.
berbeda antara satu setting tertentu dan yang lain. Meski basis sosial ini dominan tetap saja diikuti
Choi, misalnya, menggambarkan m oney politics dengan sumber daya politik yang penting, yakni
dalam beberapa kasus pemilukada,35 sedangkan uang.39Persis sama dengan politik uang melalui
Hadiz menggunakan istilah ini dalam fra m in g broker yang terjadi di Thailand, Feith menemu­
33 Ironisnya, studi tentang politik uang lebih maju di negara
kan bahwa uang digunakan oleh beberapa partai
tetangga seperti Thailand atau Filipina, Misalnya, William A seperti PNI dengan menyediakan fasilitas umum,
Callahan, “The Discourse of Vote Buying and Political Reform
in Thailand”, Pacific Ajfairs, Vol. 78. No. 1, Spring 2005, hlm.
95-113; Benedict J. Kerkvliet, “Understanding Politics in a 36Vedi R. Hadiz, "Reorganizing Political Power in Indonesia: A
Nueva Ecija Rural Community”, dalam Kerkvliet and Mojares Reconsideration o f So-called ‘Democratic Transitions’”, dalam
(Eds.), From Marcos to Aquino: LocalPerspectives on Political M. Erb, P. Sulistiyanto dan C. Faucher (Eds.), Regionalism in
Transition in the Philippines, (Honolulu: University of Hawaii post-Suharto Indonesia, (London: Routledge-Curzon, 2005),
Press, 2002). hlm. 44-50.

34 International Foundation for Electoral Systems (IFES), 37 Benedict Anderson, “The Idea of Power in Javanese Cul­
“Money Politics: Regulation of Political Finance in Indonesia”, ture”, dalam Claire Holt, et al., (Eds.), Culture and Politics in
1999, http://www.ifes.org/Content/Publications/Reports/1999/ Indonesia, (Ithaca: Comell University Press, 1972), hlm. 36.
Money-Politics-Regulation-of-Political-Finance-in-Indone- 38Jamie Mackie, “Patrimonialism: The New Order and Beyond”,
sia-1999.aspx, dalam Edward Aspinall dan Greg Fealy (Eds.), Suharto 's New
35Nankyung Choi, “Local Elections and Party Politics in Post- Order and Its Legacy: Essays in Honour o f Harold Crouch,
Reformasi Indonesia: A View from Yogyakarta”, Contemporary (Canberra: ANU E-Press, 2010), http://epress.anu.edu.au/wp-
Southeast Asia, Vol. 26, No. 2,2004, hlm. 280-301; Nankyung content/uploads/2010/ll/whole.pdf. hlm. 83
Choi, “Local Elections and Democracy in Indonesia: The Riau 39 Daniel Bumke, “Challenging Democratization: Money
Archipelago”, Journal o f Contemporary Asia, Vol. 37, No. 3, Politics and Local Democracy in Indonesia”, (tt.). Makalah ini
2007, hlm. 326-345. diperoleh dari kawan, tanpa ada keterangan sumber.

Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 47


makanan, dan hiburan.40 Pada saat tertentu, Party-ID dan Dinamika Elektoral di
uang juga digunakan untuk membayar beberapa Indonesia
tokoh masyarakat tertentu untuk mendapatkan Secara normatif, jaringan representasi formal,
dukungan elektoral. term asuk pertanggungjaw aban dan sikap
Sementara itu, artikel Harold Crouch yang responsif antara pemilih dan elite politik bisa
berjudul “Patrimonialism and Military Rule in dijalankan melalui politisi atau kandidat pejabat
Indonesia” membantu kita memahami sistem publik melalui tarikan programatik dan capaian
politik pada masa Orde Baru.41 Dia secara kebijakan.44 Politisi yang membangun tautan
meyakinkan menjelaskan patronase politik dan programatik berarti telah berkontribusi bagi
berbagai macam bentuknya pada masa itu. Meski perkembangan demokrasi representatif. Namun,
studi Crouch ini bersifat kualitatif, dia berhasil secara faktual, seringkah politisi tergoda untuk
menjelaskan secara memuaskan pada tingkat mengabaikan tautan ideal dan programatik ini.
makro tentang salah satu yang menjadi teka-teki Mereka sengaja memanfaatkan jaringan informal
paling sulit di kalangan ilmuwan politik selama antara elite dan massa via kharisma personal
ini.42 seorang tokoh politik dan mempertukarkan in­
Namun sayangnya, jatuhnya Suharto pada sentif material dengan loyalitas dukungan akar
1998 bukan berarti praktik patrimonialisme rumput (klientelisme).45
dan patronase politik ikut menyingkir. Sistem Dalam studi-studi yang telah dilakukan
politik inform al yang berdam pak n eg atif berkaitan dengan jual beli suara, banyak ahli
tersebut tetap bertahan, bahkan mengalami yang selalu mengaitkannya dengan patron-klien.
sofistifikasi. Ada semacam fenomena yang Money politics dan patron-klien merupakan
terjadi pada masa pasca-Suharto di mana politisi kombinasi yang memungkinkan praktik jual
secara ekstensif mendayagunakan aspek-aspek beli suara terjadi di tingkat massa. Penulis men­
patrimonialistik dan klientelistik politik uang coba mengaitkan jual beli suara dengan identitas
untuk mengamankan dukungan elektoral di kepartaian (party-ID), namun dalam perspektif
tingkat daerah maupun nasional. Bukti adanya ini yang positif karena ia bisa mengurangi potensi
biasanya berkaitan dengan jejaring yang sudah jual beli suara di tingkat pemilih. Identifikasi
ada yang kemudian dipakai oleh politisi untuk diri dengan partai (party-ID) adalah perasaan
mengeruk sumber daya negara demi kepentingan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas
politik dan ekonomi.43 politiknya. Party-ID ini merupakan komponen
Sementara itu, sebagian besar studi ten­ psikologis yang akan memberikan sumbangan
tang politik uang di Indonesia menggunakan bagi stabilitas dukungan terhadap partai dan
pendekatan kualitatif. Meskipun pendekatan ini sistem kepartaian yang bisa m em perkuat
berjasa besar meningkatkan pemahaman kita demokrasi itu sendiri.
tentang konteks spesifik di Indonesia, studi ini Selama ini literatur dalam studi perilaku
kurang mampu mengukur sejauh mana politik pemilih hanya melihat party ID dalam kaitannya
uang terjadi. Intinya, karya ilmiah tentang politik dengan stabilitas dan instabilitas dukungan elek­
uang, patron-klien dan politik elektoral belum toral.46Semakin besar pemilih yang merasa dekat
mencapai kesimpulan yang solid. dengan partai maka kontinuitas dan stabilitas
elektoral partai akan semakin terjaga. Sebaliknya,
40 Herbert Feith, The Indonesian Elections o f 1955, Ithaca:
semakin sedikit pemilih yang mengidentikkan
Modern Indonesia Project, (Southeast Asia Program, Dept. of
Far Eastem Studies, Comell University, 1957), hlm. 21. diri dengan partai politik maka semakin dinamis
41 Harold Crouch, “Patrimonialism and Military Rule in In­ dan tidak stabil dukungan elektoral. Maddox
donesia”, World Politics, Vol. 31, No. 4, 1979, hlm. 571-587.
^Herbert Kitschelt, “Linkages between Citizens and Politicians
42Jamie Mackie, “Patrimonialism: The New Order and Beyond,”
in Democratic Polities”, Comparative Political Studies, Vol.
dalam Edward Aspinall dan Greg Fealy (Eds.), Suharto ’s New
33, 2000, hlm. 845.
Order and Its Legacy: Essays in Honour o f Harold Crouch,
(Canberra: ANU E-Press, 2010), http://epress.anu.edu.au/wp- 45Ibid.
content/uploads/2010/ll/whole.pdf 46 Lebih jauh baca, Angus Campbell, Philip E. Converse, Warren
43Lebih jauh baca Edward Aspinall & Gerry van Klinken, The Miller & Dinald Stokes, The American Voter, (New York: John
State andIllegality in Indonesia, (Leiden: KITLV Press, 2011). Wiley & Sons, 1960).

48 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. I Juni 2013 | 41-58


Sumber: Lembaga Survei Indonesia

Grafik 1. Data Longitudinal Party-ID di Indonesia

dan Nimmo, misalnya, menyatakan bahwa Itupun pemilih yang memiliki party-ID terbagi
rendahnya party-ID punya kontribusi terhadap ke banyak partai. Artinya, deparpolisasi memiliki
tidak konsistennya pilihan politik individu pada dasar empiris kuat.
pemilu.47 Deparpolisasi juga diukur melalui sejauh
Selain itu, jika pemilih yang memiliki party mana partai dirasakan berfungsi menghubungkan
ID semakin sedikit maka gejala deparpolisasi kepentingan massa pemilih dan keputusan-
atau party dealignment akan semakin tinggi. keputusan publik yang dibuat DPR atau peme­
Deparpolisasi adalah gejala psikologis yang rintah. Hasil survei terbaru LSI menemukan
membuat publik kehilangan kepercayaan terha­ sebagian besar pemilih merasa fungsi rasional
dap partai. Dalam leksikon ilmu politik, gejala atau intermediasi partai masih lemah. Data tren
ini bisa dilihat dari dua dimensi yang meng­ LSI juga menemukan dibandingkan institusi
hubungkan pemilih dengan partai: identifikasi demokrasi yang lain, kepercayaan publik ter­
diri dengan partai (dimensi afeksi) dan evaluasi hadap partai paling lemah. Banyak faktor yang
massa pemilih atas fungsi intermediasi partai bisa diatribusikan sebagai penyebab maraknya
(dimensi rasional).48 deparpolisasi, yaitu kesadaran politik pemilih
Hal inilah yang terjadi pada konteks yang meningkat, sinisme negatif media massa,
Indonesia. Politik elektoral kita sangat tidak kalangan akademisi, dan civil society terhadap
stabil. Salah satu penjelasannya adalah minimnya partai politik, disilusi publik terhadap politik
pemilih yang memiliki party-ID. Bahkan data dan partai, dan kinerja pemerintah yang buruk.
longitudinal Lembaga Survei Indonesia (LSI) Setidaknya ada empat dampak buruk akibat
menunjukkan kecenderungan party-ID kita deparpolisasi yang salah satu faktor utamanya
semakin menurun. Survei terakhir LSI pada disebabkan menurunnya kedekatan psikologis
Maret 2013, pemilih Indonesia yang memiliki pemilih terhadap partai {party ID). Pertama,
party ID cuma 14,3%, sama dengan rata-rata tren penurunan partisipasi elektoral dalam tiga
temuan survei pada dua tahun terakhir (Grafik 1). pemilu legislatif yang terakhir. Pada Pemilu
1999, pemilih yang menggunakan haknya sebesar
47W.S. Maddox & D. Nimmo, “In Search o f the Ticket-Splitter”, 93,3%, lalu turun menjadi 84,9% pada 2004,
Social Science Quarterly, Vol. 62, 1981, hlm. 401-408.
dan terakhir tinggal 70,9% saja yang masih
48 Roberto Biorcio & Renato Mannheimer, “Relationship
between Citizens and Political Parties”, dalam Hans-Dieter
menggunakan haknya dalam pemilu legislatif
Klingemann dan Dieter Fuchs (Eds.), Beliefs in Government, pada 2009. Pemilih yang tidak memiliki party-ID
Volume One: Citizens and the State, (Oxford. Oxford University
Press, 1995), hlm. 206-226.

Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 49


Grafik 2. Tren Partisipasi dalam Pemilu

PDIP Golkar PKB PPP PAN PKS PD Gerindra Hanura Lain-lain


■ 1999 12009

Grafik 3. Perubahan Perolehan Suara Partai pada Pemilu 1999 dan 2009

cenderung tidak menggunakan haknya karena pemilih. Dalam pemilu presiden atau kepala
merasa apatis dan teralienasi. daerah, banyak konstituen partai yang memilih
Kedua, volatilitas dukungan elektoral kerap calon yang tidak didukung partainya sendiri.
terjadi (Grafik 3 tentang Perubahan Perolehan Keempat, sebagai konsekuensi lanjut dari
Suara Partai pada Pemilu 1999 dan 2009). ini, kecenderungan elektoral akan bergerak ke
Seperti kita alami pada pemilu pasca-Soeharto, arah candidate-centeredpolitics atau politik yang
tiga pem ilu m enghasilkan pem enang yang bertumpu pada figur atau kandidat. Biaya politik
berbeda-beda, mulai dari PDI Perjuangan pada menjadi lebih mahal untuk keperluan strategi
1999, Golkar pada 2004, dan Demokrat pada pemasaran politik yang berdasarkan pemolesan
2009. Pemilu juga menghasilkan perubahan citra, kampanye media, dan bergantung pada
dramatis yang ditandai naik-turunnya dukungan konsultan politik yang memerankan diri se­
pemilih terhadap partai layaknya roller coaster. bagai task-force elektoral yang bekerja secara
Ketiga, deparpolisasi akibat dari minimnya profesional. Partisipasi dalam kampanye yang
pemilih yang memiliki party-ID juga mendorong diorganisasikan oleh partai atau jaringan partai
maraknya split-ticket voting, yakni dukungan menurun drastis.
konstituen yang tidak linear antara instruksi elit K eem pat dam pak buruk deparpolisasi
partai agar mendukung calon pejabat eksekutif akibat dari rendahnya party-ID tersebut sudah
yang dinominasikan partai dan afiliasi partai kasat mata terjadi dalam perjalanan reformasi

50 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 41-58


pasca-Orde Baru. Politik yang bertumpu pada Dasar empiris penulis adalah survei nasional
calon (candidate-centeredpolitics) menjadikan yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada
partai tak lebih dari sarana nir-ideologis untuk 21-27 Maret 2013. Populasi survei ini adalah
meraih kekuasaan. Politisi menjadikan partai seluruh warga negara Indonesia yang mempunyai
sebagai tunggangan kepentingan sesaat. Jika hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka
tak lagi mampu menopang hasrat kuasa sang yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau
politisi maka fenomena kutu loncat politik sudah menikah ketika survei dilakukan. Sampel:
menjadi pilihan. Jumlah sampel basis 1.200, dengan oversample di
Tak terkecuali dalam rezim pilkada, muncul Provinsi Jawa Barat dan Banten masing-masing
pula figur-figur dari luar partai yang terlihat lebih 400. Diperkirakan margin o f error sebesar ±2,9%
populer dan elektabilitasnya tinggi. Ini memaksa pada tingkat kepercayaan 95%. Responden
partai untuk mengakomodasi figur tersebut dan terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh
mengabaikan kader partainya yang kurang pewawancara yang telah dilatih. Satu pewawan­
populer. Partai-partai di Indonesia bersikap prag­ cara bertugas untuk satu desa/kelurahan yang
matis, tetapi sekaligus realistis. Jika kadernya hanya terdiri atas 10 responden. Quality control
sendiri kurang memiliki peluang untuk unggul terhadap hasil wawancara dilakukan secara
dalam pemilukada, mereka sangat terbuka kepada random sebesar 20% dari total sampel oleh su­
calon dari luar partai untuk diusung. Jika calon pervisor dengan kembali mendatangi responden
yang memiliki elektabilitas kuat tersebut bukan terpilih (spot check). Dalam quality control tidak
kader partai manapun maka biasanya mereka ditemukan kesalahan berarti.
ditawari masuk ke partai yang menjanjikan untuk Secara gambaran umum, melalui pengukuran
mengusungnya dalam pemilukada. yang sama, tingkat party-ID pemilih di Indonesia
Di samping itu, ada dampak buruk depar­ selevel dengan beberapa negara Amerika Latin
polisasi dan rendahnya party-ID yang belum yang juga mengalami persoalan yang sama terkait
pemah disebut kalangan sarjana, namun secara dengan toleransi warga terhadap politik uang.
realitas sui-generis telah terjadi secara masif di Menariknya, negara-negara demokrasi yang
Indonesia. Menurut penulis, rendahnya party-ID sudah stabil dan terkonsolidasi seperti Amerika
juga berkontribusi bagi semakin maraknya Serikat, dan Australia, tingkat party-ID di atas
money politics atau jual beli suara di tingkat 50%, tapi tidak ditemukan praktik jual beli suara
massa. Dengan kata lain, praktik jual beli suara di tingkat massa (Lihat Tabel 1). Secara sekilas
punya korelasi yang sangat kuat, baik dengan terlihat ada hubungan antara negara-negara yang
rendahnya kedekatan pemilih terhadap partai tingkat party-ID-nya tinggi dan minimnya, untuk
maupun buruknya evaluasi pemilih terhadap tidak menyebut absennya, praktik politik uang.
kinerja partai. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI)
party-ID pemilih maka semakin kecil sikap pada Maret 2013 tersebut menemukan temuan
penerimaannya terhadap praktik politik uang. menarik. Secara nasional pemilih yang merasa
dekat dengan partai sekitar 14,3%. Setelah
Party-ID sebagai Antidot Politik Uang di-breakdown sesuai dengan kecukupan sampel,
tingkat party-ID Banten, Jawa Barat, Jawa
Penulis ingin mengelaborasi lebih jauh kegunaan
Tengah, dan Jawa Timur sedikit di bawah
party-ID dalam m ereduksi sikap perm isif
rata-rata nasional (kisaran 10%—13%). Semen­
terhadap money politics. Dalam arti kata, politisi
tara itu, Bali yang datanya diambil dari survei
tak bisa lagi menyalahkan pragmatisme pemilih
pilkada pada rentang waktu yang kurang lebih
yang membuat biaya politik semakin mahal.
sama dengan waktu pengumpulan data survei
Politik transaksional antara politisi dan pemilih
nasional menemukan tingkat party-ID yang over-
tak bisa dilepaskan dari kegagalan partai dalam
representative, di atas rata-rata nasional. Jika
meningkatkan diferensiasi dan positioning ide­
dilihat dari sikap responden terhadap pemberian
ologis partai di mata pemilih. Akibatnya, pemilih
uang atau hadiah agar dipilih dalam pemilu
tak suka mengidentifikasikan diri dengan partai.
apakah dianggap wajar atau tidak wajar, proporsi

Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 51


pemilih Bali yang menganggap politik uang tidak kepercayaan terhadap partai lemah. Akibatnya,
bisa diterima jauh lebih besar ketimbang pemilih relasi antara partai dan pemilih bersifat jangka
dari provinsi lain (Lihat Tabel 2). pendek dan materialistik. Kalaupun pemilih
Demikian pula, jika ditanyakan pertanyaan merasa dekat dengan partai lebih karena faktor
ada pihak yang menawari uang atau hadiah, pemimpin atau tokoh kharismatik partai.
langkah apa yang akan dipilih responden. Intinya, dalam survei nasional Maret 2013
Dibandingkan pemilih yang tinggal di provinsi ini, kami membagi pertanyaan tentang politik
lain, pemilih Bali paling banyak menolak tawaran uang dalam dua bentuk. Pertama, sikap dan
uang dan tetap memilih partai sesuai pilihan kecenderungan perilaku terhadap vote buying
semula (lihat Tabel 3). Secara logis, memang (toleran/menerima atau tidak toleran/menolak),
bisa diterima jika pemilih yang memiliki ke­ yakni “sikap” (V_139) dan “kecenderungan
dekatan dengan partai maka cenderung menolak perilaku” (V_143). Kedua, pengalaman vote
tawaran material dari tim sukses atau dari partai buying: pengalaman langsung vote buying
lain. Pemilih yang dekat dengan partai akan (pemah ditawari uang/barang atau tidak pemah)
berpartisipasi dalam politik secara bergairah. yang terdiri dari dua item, yakni “Ditawari uang/
Politik transaksional dimungkinkan karena barang dalam pileg” (V_144A) dan “Ditawari
pemilih merasa tidak dekat dengan partai. Tingkat uang/barang dalam pilpres” (V_144B). Kemu-

Tabel 1. Tingkat Party-ID berdasarkan Negara*

Belarus 2001 7,90 Republik Czechnya 1996 44,43


Thailand 2001 13,88 Inggris 1997 45,56
Slovenia 1996 19,01 Sw edia 1998 46,24
Chile 1999 19,78 Rusia 2000 46,62
Korea 2000 23,18 Portugal 2002 46,74
Peru 2001 26,39 Israel 1999 47,88
Belanda 1998 27,75 D enm ark 1998 48,68
Lithuania 1997 30,62 Polandia 1997 48,78
Taiw an 1996 32,33 Kanada 1997 49,81
Jerm an 1998 33,88 M eksiko 2000 50,40
Hungaria 1998 34,89 N orw egia 1997 52,31
Brasil 2002 35,20 Selandia Baru 1996 54,98
Sw iss 1996 35,60 A m erika Serikat 1996 56,71
Je p an g 1999 37,53 Ukraina 1998 59,23
Spanyol 2000 41,39 A ustralia 1996 80,76
Rum ania 1996 44,43 Rata-rata 40,06

' David Samuels, “Sources of Mass Partisanship in Brazil,” Latin American Politics and Societies, Vol. 48,
No. 2, Summer 2006.

T a b e l 2. Politik Uang Bisa Diterima atau Tidak (%)

Bisa diterim a se b a ­
W ilayah Base T id a k bisa diterim a
gai hal yan g w ajar
Sum atra 21,4 22 78
Jabar 18,2 42 58
Jateng 13,7 54 46
Jatim 15,8 36 64
Banten 4,5 45 55
Bali* 1,6 18 82
Lainnya 24,7 27 73
Sumber: Lembaga Survei Indonesia, M aret 2013

52 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 41-58


dian berikutnya adalah pengalaman mengetahui atau menyaksikan adanya praktik politik uang
adanya vote buying di lingkungan sekitar (tahu/ maka semakin toleran seseorang dengan money
melihat banyak orang menerima uang/hadiah, politics. Semakin banyak mengalami praktik
tahu/melihat ada orang menerima uang/hadiah, money politics atau menyaksikan peristiwa
tetapi tak banyak atau tidak pemah melihat). Ada tersebut maka membuat praktik money politics
tiga item yang dipakai, yakni tahu/melihatnya menjadi hal yang lumrah.
dalam pilpres (V_145), tahu/melihatnya dalam Adapun melalui analisis regresi logistik
pileg (V_147), dan tahu/m elihatnya dalam terhadap pengaruh party-ID, klientalisme, keang­
pilkada (V_149). gotaan dalam organisasi, dan socio-economic
Hasil analisis bivariat yang kami lakukan structure (khususnya pendapatan), terhadap
menunjukkan bahwa sikap dan perilaku vote perilaku vote buying menunjukkan bahwa faktor
buying berkorelasi positif signifikan. Semakin party-ID dan SES (pendapatan)-lah yang berpe­
bersikap toleran terhadap pemberian politik uang ngaruh langsung dan signifikan. Sebaliknya,
maka semakin cenderung menerima bila ditawari faktor keanggotaan dalam organisasi dan faktor
(Lihat tabel 4). Sementara itu, dari Analisis klientalisme tidak punya efek langsung terhadap
Bivariate (Spearman Correlation) antarvariabel perilaku money politics (Lihat Tabel 6). Ini bukti
vote buying menunjukkan bahwa sikap (V 1 3 9 ) bahwa party-ID memberikan sumbangan besar
dan kecenderungan perilaku vote buying (V_143) bukan hanya dalam menjaga stabilitas pilihan,
berhubungan positif signifikan dengan pengalam­ tetapi juga mampu menjadi antidot praktik money
an langsung ditawari uang/barang (V 1 4 4 A , politics. Pemilih cenderung menerima dan toleran
V_144B) serta pengetahuan adanya vote buying terhadap praktik politik uang karena mereka tidak
di lingkungan sekitar (V 1 4 5 , V_147, V_149) memiliki kedekatan secara psikologis dengan
(Lihat Tabel 5). partai politik. Sedikitnya pemilih yang memiliki
Sebenarnya sangat masuk akal apabila party-ID, terbukti meningkatkan toleransi terha­
dikatakan ada hubungan sebab akibat antara dap money politics. Pemilih kemudian melakukan
sikap toleran terhadap money politics dan penga­ relasi transaksional dengan partai politik. Ibarat
laman atau menjadi saksi terjadinya praktik “penipu kecil” yang tak ingin memberi suara
jual beli suara ini. Pengalaman ditawari uang secara gratis kepada “penipu besar”, pemilih
atau hadiah dalam pemilu maupun menjadi melihat money politics dan pendekatan kampanye
saksi atas terjadinya praktik money politics yang bersifat partikularistik sebagai kompensasi
berpengaruh membentuk sikap yang toleran kepada partai politik.
terhadap vote buying; atau membentuk perilaku Oleh karena itu, untuk mengurangi praktik
“akan menerima” bila diberi. Dengan kata lain, politik uang di tingkat massa, partai politik harus
semakin sering seseorang ditawari uang/barang meningkatkan party-ID sekaligus kinerjanya di

Tabel 3. Langkah Jika Ditawari Uang (%)


Hanya
M enerim a
M enolak M enolak m enerim a M enerim a se- M enerim a
sem ua uang­
uangnya uangnya uang dari m ua uangnya sem ua
nya dan m e­ Tidak
_ dan m em ilih dan m em ilih satu partai dan m em - uangnya Lain­
W ilayah Base m ilih partai tahu/
partai sesuai partai yg tidak dan m em beri beri kan suara dan m em ilih nya
yg m em beri jaw ab
pilihan m enaw ar kan kan suara ke­ hanya kepada partai seseuai
uang paling
sem ula uang pada partai salah satu pilihan sendiri
besar
tsb
Sumatra 21,4 60 7 7 7 16 2 0 1
Jabar 18,2 34 8 8 7 23 9 6 4
Jatene 13,7 40 3 15 9 24 4 2 2
Jatim 15,8 48 3 6 7 25 7 2 2
Banten 4,5 36 11 10 14 22 3 3 1
Bali* 1.6 70 5 2 4 10 2 2 3
Lainnya 24.7 56 5 9 9 13 5 1 1
Sumber: Lembaga Survei Indonesia, M aret 2013

Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 53


Tabel 4. Analisis Bivariate (Spearman Correlation): Sikap vs Perilaku Vote Buying
Correlations
VB 139 VB 143
Spearman's rho VB_139 Correlation Coefficient 1.000 .588**
Sig. (2-tailed) .000
N 1319 1254
VB_143 Correlation Coefficient .588** 1.000
Sig. (2-tailed) .000
N 1254 1254
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Ket. kode variabel:
V B 1 3 9 : 1 = toleran, 0 = tidak toleran
V B 1 4 3 : 1 = menerima, 0 = menolak

Tabel 5. Analisis Bivariate (Spearman Correlation) antar-Variabel Vote Buying


C orrelations

V B 139 V B 143 V B 144A V B 144B V B 145 V B 147 V B 149


Spearman's rho VB_139 Correlation Coefficient 1.000 .588** .104** .089** .092** .088** .144**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .002 .001 .001 .000
N 1319 1254 1280 1274 1318 1318 1319
VB_143 Correlation Coefficient .588** 1.000 .097** .093** .110** .089** .139**
Sig. (2-tailed) .000 .001 .001 .000 .002 .000
N 1254 1254 1218 1210 1253 1253 1254
V EM 44A Correlation Coefficient .104** .097** 1.000 ' .591 ** .412** .523** .392**
Sig. (2-tailed) .000 .001 .000 .000 .000 .000
N 1280 1218 1280 1270 1279 1279 1280
VB_144B Correlation Coefficient .089** .093** .591 ** 1.000 .408** .297** .244**
Sig. (2-tailed) .002 .001 .000 .000 .000 .000
N 1274 1210 1270 1274 1273 1273 1274
VB_145 Correlation Coefficient .092** .110** .412** .408** 1.000 .675** .573**
Sig. (2-tailed) .001 .000 .000 .000 .000 .000
N 1318 1253 1279 1273 1318 1317 1318
VB_147 Correlation Coefficient .088** .089** .523** .297** .675** 1.000 .704**
Sig. (2-tailed) .001 .002 .000 .000 .000 .000
N 1318 1253 1279 1273 1317 1318 1318
VB_149 Correlation Coefficient .144** .139** .392** .244** .573** .704** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000
N 1319 1254 1280 1274 1318 1318 1319
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

mata pemilih. Untuk meningkatkan party-ID, karena dalam sistem multipartai yang terlalu
diperlukan penyederhanaan sistem kepartaian ekstrem, positioning dan diferensiasi ideologis
kita. Party-ID lebih mudah dijelaskan dalam tidak terlihat sempurna. Dampak negatif yang
sistem kepartaian yang lebih sederhana, sedang­ lain adalah partai cenderung mengandalkan
kan Indonesia menganut sistem multipartai mobilisasi finansial, baik melalui iklan, atribut
ekstrem. Dalam sistem multipartai ekstrem yang kampanye maupun jual beli suara di tingkat
dipengaruhi pendekatan kompetisi elektoral, massa.
partai-partai cenderung mengarah ke catch-all
party, bergerak ke arah tengah seperti dalam Penutup
kurva norm al, sem bari m enjauhi pem ilih
Jika praktik money politics ini tak segera diatasi
ekstrem yang berjumlah sedikit.49 Akibatnya,
maka akan memunculkan masalah pelik akun­
partai cenderung mengaburkan jenis kelamin
tabilitas dan representasi demokrasi. Politik uang
ideologi mereka. Pemilih bergerak ke tengah
di Indonesia jelas merusak akuntabilitas proses
49 Lebih jauh baca Anthony Downs, An Economic Theory o f pengambilan dan representasi kebijakan, baik di
Democracy, (New York: Harper & Row, 1957).

54 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 41-58


Tabel 6. Analisis Regresi Logistik

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)


SJep partylD -.364 .182 3.996 1 .046 .695
1 klientalisme -.046 .086 .291 1 .590 .955
organisasi -.054 .047 1.300 1 .254 .948
pendapatan -.072 .018 16.872 1 .000 .930
Constant .333 .157 4.475 1 .034 1.395
a. Variable(s) entered on step 1: partylD, klientalisme, organisasi, pendapatan.

legislatif maupun eksekutif. Kajian awal studi ini Hadiz, Vedi R. 2005. “Reorganizing Political Power
menunjukkan bahwa maraknya politik uang di in Indonesia: A Reconsideration of So-called
tingkat massa ternyata disumbang oleh minimnya ‘Democratic Transitions’”, dalam M. Erb, P.
Sulistiyanto dan C. Faucher (Eds.). 2005. Re-
kedekatan pemilih terhadap partai (party-ID ).
gionalism in post-Suharto Indonesia. London:
Tren party-ID di Indonesia terus menurun dan Routledge-Curzon.
penurunan ini disumbang oleh buruknya kinerja Hagopian, Frances. 1996. Traditional Politics and Re-
partai di mata pemilih. Iklim ketidakpercayaan gime Change in Brazil. New York: Cambrige
publik terhadap partai terus meningkat seiring University Press.
dengan terbukanya kasus-kasus korupsi yang Jaensch, Dean. 1992. The Politics o f Australia. Mel-
melibatkan elite partai. Jika partai politik tidak boume: Macmillan.
berbenah maka pemilih makin menjauhi partai Kerkvliet, Benedict J. 2002. “Understanding Politics
dan biaya politik makin mahal karena pemilih in a Nueva Ecija Rural Community”, dalam
cenderung memakai pendekatan transaksional Kerkvliet dan Mojares (Eds.). 2002. From Mar-
cos to Aquino: Local Perspectives on Political
dengan partai. Jadi makin maraknya politik uang
Transition in the Philippines. Honolulu: Uni­
di tingkat massa dipicu oleh kegagalan partai versity of Hawaii Press.
politik itu sendiri dalam meningkatkan kinerjanya
Kim, Joongi. 2002. “Clientelism and Corruption in
di mata pemilih. South Korea”, dalam Kotkin, Stephen dan An-
dras Sajo (Eds.). 2002. Political Corruption in
Daftar Pustaka Transition: A Skeptic’s Handbook. Budapest
and New York: Central European University
Press.
Buku Kitschelt, Herbert. 2007. “The Demise of Clientelism
Aspinall, Edward dan Gerry van Klinken. 2011. in Affluent Capitalist Democracies”, dalam
The State and Illegality in Indonesia. Leiden: Kitschelt, Herbert dan Steven Wilkinson (Eds.).
KITLV Press. 2007. Patrons, Clients, andPolicies: Patterns
Biorcio, Roberto & Renato Mannheimer. 1995. “Rela­ o f Democratic Accountability and Political
tionship between Citizens and Political Parties”, Competition. Cambridge, UK: Cambridge Uni­
dalam Hans-Dieter Klingemann dan Dieter versity Press.
Fuchs (Eds.). Beliefs in Government, Volume Mackie, Jamie. 2010. “Patrimonialism: The New Or­
One: Citizens and the State, Oxford. Oxford der and Beyond”, dalam Aspinall, Edward dan
University Press. Greg Fealy (Eds). 2010. Suharto’s New Order
Campbell, Angus et al., 1960. The American Voter. and Its Legacy : Essays in Honour o f Harold
New York: John Wiley & Sons. Crouch. [e-book]. Canberra: ANU E-Press.
Downs, Anthony. 1957. An Economic Theory o f De­ Dalam http://epress.anu.edu. au/wp-content/
mocracy. New York: Harper & Row. uploads/2010/11/whole.pdf
Gellner, Emest dan J. Waterbury. 1977. Patrons and Papakostas, Apostolis. 2001. “Why There is No
Clients in Mediterranian Societies. London: Clientelism in Scandinavia? A Comparison of
Duckworth. the Swedish and Greek Sequences of Devel­
opment”, Piattoni, Simona (Ed.). 2001. Clien­
telism, Interests and Democratic Representa-
tion. Cambridge: Cambridge University Press.

Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 55


Putnam, Robert D. 1993. Making Democracy Work: Lipset, M artin Seymour. 1959. “Some Social
Civic Traditions in Modern Italy. Princeton: Requisites of Democracy: Economic Develop­
Princeton University Press. ment and Political Legitimacy”, American Po­
Scheiner, E. 2007. “Clientelism in Japan: The Im- litical Science Review. 53 (1): 69-105.
portance and Limits of Institutional Explana- Maddox, W.S. & D. Nimmo. 1981. “In Search of the
tions”, dalam Kitschelt, Herbert dan Steven Ticket-Splitter”, Social Science Quarterly, 62:
Wilkinson (Eds.). 2007. Patrons, Clients, and 401—408.
Policies: Patterns o f Democratic Accountabil- Nichter, Simeon. 2008. “Vote Buying or Turnout Buy­
ity and Political Competition. Cambridge, UK: ing? Machine Politics and the Secret Ballot”,
Cambridge University Press. American Political Science Review, February,
Warner, Carolyn. 2001. “Mass Parties and Clientelism 102(1): 19-31.
in France and Italy”, dalam Piattoni, Simona. Omobowale, Ayokunle Olumuyiwa. 2008. “Clien­
2001. Clientelism. Interests and Democratic telism and Social Structure: An Analysis of
Representation. Cambridge: Cambridge Uni­ Patronage in Yoruba Social Thought”, Afrika
versity Press. Spectrum, 43 (2): 203.
Perludem Research Team. 2011. Reorganizing Pemilu­
Jurnal kada Arrangement. Jakarta: Perludem, Indone-
Auyero, Javier. 2000. “The Logic of Clientelism in sia-Australia Partnership and the International
Argentina: An Ethnographic Account”, Latin Foundation for Electoral Systems (IFES).
American Studies Association. 35 (3): 55-81. Samuels, David. 2006. “Sources of Mass Partisan-
Faughnan, Brian M. dan Elizabeth J. Zechmeister. ship in Brazil”, Latin American Politics and
2011. “Vote Buying in the Americas”, Ameri­ Societies, Summer, 48 (2).
cas Barometer Insights. Stokes, Susan. 2005. “Perverse Accountability: A For­
Brusco, Valeria, Marcelo Nazareno & Susan Stokes. mal Model o f Machine Politics with Evidence
2004. “Vote Buying in Argentina”, Latin Ameri­ from Argentina”, American Political Science
can Research Review, 39 (2): 75 Review, August, 99: 315-325.
Callahan, William A. 2005. “The Discourse of Vote Taylor, Lucy. 2004. “Clientship and Citizenship in
Buying and Political Reform in Thailand”, Pa­ Latin America”, Bulletin o f Latin American
cific AfJairs, Spring, 78 (1): 95-113 Research, 23 (2): 213-227.
Choi, Nankyung. 2004. “Local Elections and Party Zappala, Gianni. 2010. “Clientelism, Political Culture
Politics in Post-Reformasi Indonesia: A View and Ethnic Politics in Australia”, Australian
from Yogyakarta”, Contemporary Southeast Journal o f Political Science, 33 (3): 381-397 .
Asia, 26 (2); 280-301.
Choi, Nankyung. 2007. “Local Elections and Democ­ Laporan dan Makalah
racy in Indonesia: The Riau Archipelago”, Jour­
Andrews, Josephine T. dan Kris Inman. 2009. “Ex-
nal o f Contemporary Asia, 37 (3): 326-425.
plaining Vote Choice in Africa’s Emerging De­
Crouch, Harold. 1979. “Patrimonialism and Mili­ mocracies”, dalam seminar Midwest Political
tary Rule in Indonesia”, World Politics, 31 (4): Science Association.
571-587.
Brinkerhoff, Derick dan Arthur Goldsmith. 2002.
Garcia-Guadilla, Maria Pilar dan Carlos Perez. 2002. Clientelism, Patrimonialism and Democratic
“Democracy, Decentralization, and Clientelism: Governance: An OverView and Framework
New Relationships and Old Practices”, Latin fo r Assessment and Programming. [e-hook\.
American Perspectives, 29 (5): 90-109. USAID Office for Democracy and Gover­
Helmke, Gretchen and Steven Levitsky. 2003. “In­ nance.dalam http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/
formal Institutions and Comparative Politics: Pnacr426.pdf.
A Research Agenda”, Kellog InstituteWorking Bumke, Daniel. “Challenging Democratization:
Paper, No. 307, September. Money Politics and Local Democracy in Indo­
Kitschelt, Herbert. 2000. “Linkages between Citizens nesia”, makalah tanpa ada keterangan sumber.
and Politicians in Democratic Polities”, Com­ Feith, Herbert. 1957. The Indonesian Elections o f
parative Political Studies, 33: 845 1955, Ithaca: Modern Indonesia Project. South­
Lande, C.H. 1993. “Political Clientelism in Political east Asia Program, Dept. of Far Eastem Studies,
Studies: Retrospect and Prospect”, Interna­ Comell University.
tional Political Science Review, 4 (4): 440.

56 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 41-58


Finan, Frederico & Laura Schehter. 2011. “Vote Buy­ O ’Donnel, Guillermo. 1996. “Another Institutio­
ing and Reciprocity”, NBER Working Papers, nalization: Latin America and Elsewhere”, Kel­
No. 17411. National Bureau of Economic Re­ log Institute Working Paper, No. 222, March.
search, Inc. Schaffer, Frederic Charles. “Vote Buying in East
International Foundation for Electoral Systems Asia”, Global CorruptionRep 2004. Transpar­
(IFES). 1999. “Money Politics: Regulation of ency International.
Political Finance in Indonesia” [online]. Dalam “Social Weather Stations: National Survey”, Quezon
http://www.ifes.org/Content/Publications/Re- City, Philippines, 2002.
ports/1999/Money-Politics-Regulation-of-Po-
litical-Finance-in-Indonesia-1999.aspx
Surat Kabar dan Website
Keefer, Philip. 2005. “Democratization and Clien­
telism: Why are Young Democracies Badly Fukuyama, Francis. 2012. “The Two Europes” [on­
Govemed?”, World Bank Policy Research Pa­ line]. Dalam http://blogs.the-american-interest.
per, No. 3594, May. com/fukuyama/2012/05/08/the-two-europes/
Muno, Wolfgang. 2010. “Conseptualizing and Mea- Hicken, Allen. 2001. “Clientelism”, Annual Review
suring Clientelism”, paper Workshop Neopatri- Political Science, [online]. Dalam www.annu-
monialism in Various World Regions. Ham­ alreviews.org.
burg: GIGA German Institute of Global and
Area Studies.

Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 57

View publication stats

You might also like