You are on page 1of 14

PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN

DALAM MALPRAKTEK

Putra Yani Novriandi Siregar* Harry Haryanto*


Teori Hukum
Dosen Pengajar : Dr. Redyanto Sidi, S.H, M.H
Magister Hukum Kesehatan Program Studi Pascasarjana
Universitas Panca Budi

Abstract
The purpose of this research is to analyze alternative dispute resolution between doctors and
patients in malpractice. The research method is normative juridical. The results of the study are
alternative dispute resolutions so that the results are effective and satisfactory to the parties
because mediation is a dispute resolution process between the parties by involving a neutral
third party, although in fact there is another alternative dispute resolution, namely conciliation
in which there is a third party as a conciliator. involved and neutral, but the conciliator is only a
facilitator to communicate between the parties so that a solution can be found by the parties
themselves, thus the conciliator only takes actions such as arranging the time and place of the
parties' meeting, directing the subject of the discussion, carry a message from one party to
another if the message is impossible to convey directly or the parties do not want to meet face to
face but in mediation, a mediator also does the things that a conciliator does, but also does more
far from that, because the mediator can also suggest a way out or a proposal for resolving the
dispute in question, at least theoretically it is not within the authority of the conciliator.

Abstrak
Tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis penyelesaian sengketa kelalaian medik di
Indonesia secara litigasi (pidana dan perdata) dan nonlitigasi. Metode penelitian yaitu yuridis
normatif. Hasil penelitian adalah alternative penyelesaian sengketa agar hasilnya efektif dan
memuaskan para pihak karena mediasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa di antara
para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, walaupun sebenarnya ada alternatif
penyelesaian sengketa yang lain yaitu konsiliasi yang mana di dalamnya ada pihak ketiga
sebagai konsiliator yang terlibat dan bersifat netral, namun konsiliator hanyalah sebagai pihak
fasilitator untuk melakukan komunikasi di antara para pihak sehingga dapat diketemukan solusi
oleh para pihak sendiri, dengan demikian pihak konsiliator hanya melakukan tindakan-tindakan
seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek pembicaraan,
membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin
disampaikan langsung atau para pihak tidak mau bertemu muka langsung namun di dalam
mediasi, seorang mediator pun melakukan hal-hal yang dilakukan oleh konsiliator, tetapi juga
melakukan lebih jauh dari itu, sebab pihak mediator dapat juga menyarankan jalan keluar atau
proposal penyelesaian sengketa yang bersangkutan, paling tidak secara teoritis tidak ada dalam
kewenangan pihak konsiliator.

Kata Kunci : Penyelesaian sengketa medik, Mediasi


PENDAHULUAN
Dokter pada hakikatnya merupakan profesi yang mulia karena dari profesi inilah banyak
sekali digantungkan harapan hidup dan atau kesembuhan dari pasien serta keluarganya yang
sedang menderita sakit. (Gunawan, Op.Cit. hlm.15)
Dokter dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas.
Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya
melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan. Tindakan medik yang dilakukan terhadap tubuh manusia bukan oleh dokter
merupakan atau digolongkan sebagai tindak pidana.( Hendrojono Soewono , Perlindungan Hak-
Hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik, Srikandi, Surabaya, 2006, hlm. 5)
Berbicara mengenai tindakan medik yang dilakukan oleh dokter, pada dasarnya selalu
mengakibatkan dua kemungkinan yaitu berhasil dan tidak berhasil. Ketidak berhasilan seorang
dokter dalam melakukan tindakan medik disebabkan oleh dua hal, pertama yang disebabkan oleh
overmacht ( keadaan memaksa ), kedua yang disebabkan karena dokter melakukan tindakan medik
yang tidak sesuai dengan standar profesi medik.( Anny Isfandyarie, op.cit., hlm. 24-25).
Hal tersebut dapat menyebabkan konflik antara dokter dengan pasien, sehingga dapat
menyebabkan timbulnya sengketa. Sifat hubungan dokter dan pasien berupa transaksi terapeutik
dimana didalam perjanjian transaksi ini pasien dan dokter atau rumah sakit masing-masing pihak
memiliki hak dan kewajiban yang sama dan yang menjadi tolok ukur adalah apakah dokter sudah
mengupayakan penanganan secara maksimal didalam menangani suatu penyakit, pada transaksi
terapeutik ini yang dilihat upaya maksimal dari dokter bukan hasil dari penanganannya, Salah satu
penyebab timbulnya sengketa medik adalah perbedaan penafsiran antara dokter dan pasien
terhadap transaksi terapeutik, pasien kurang paham tentang transaksi terapeutik, mereka
beranggapan bahwa dokter menjamin kesembuhan dan kehidupan jika pasien berobat ke dokter,
pada transaksi terapeutik apakah yang dilakukan oleh dokter sudah maksimal dalam menangani
pasien tersebut/Inspaning Verbitien,pada transaksi ini bukan menilai dari hasil
pengobatannya/resultan verbitiens (Yussy A. Mannas, “Hubungan Hukum Dokter dan Pasien
Serta Tanggung Jawab Dokter Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan”, Jurnal Cita Hukum
6, no. 1 (2018): 163–182).
Tetapi sebenarnya banyak faktor yang dapat memicu timbulnya sengketa diantaranya
perubahan pola hubungan antara dokter dengan pasien. Awalnya hubungan antara dokter dengan

2
pasien bersifat paternalistik, dalam hubungan ini partisipasi pasien yang dibolehkan hanyalah
patuh secara mutlak kepada sang pengobat. Pasien dianggap tidak tahu dan tidak perlu tahu
tentang sebab-sebab penyakitnya karena penyakit merupakan manifestasi kutukan Tuhan
(Veronica, Op., Cit., Hlm. 33).

Sengketa antara dokter dengan pasien yang paling marak akhir- akhir ini adalah kasus
dugaan malpraktek medik. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pengaduan kasus-kasus
malpraktek yang diajukan masyarakat pada profesi dokter. Meningkatnya jumlah pengaduan ini
terbukti dengan semakin banyaknya jumlah masyarakat yang menggunakan jasa pengacara untuk
menggugat para dokter yang dituduh telah melakukan malpraktek. Kondisi demikian dipicu oleh
makin meningkatnya tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat atas hak perawatan dan
pemeliharaan kesehatan (the right to health care) dan hak untuk menentukan nasib diri sendiri (
the right of self determination) yang mana mereka dapat memanfaatkan jasa pengacara untuk
memperoleh keadilan (Hendrojono, op.cit., hlm. 29).

Di dalam jurnal ini penulis hanya menganalisis satu faktor penyebab timbulnya sengketa
antara dokter dengan pasien yaitu mengenai malpraktik medik. Sengketa medik ini oleh kalangan
masyarakat dianggap adanya dugaan malpraktik, meskipun sebenarnya istilah malpraktik ini
tidaklah tepat untuk disematkan pada kesalahan atau kekeliruan dokter dalam melakukan
tugasnya.Tidak ada satu pasalpun didalam undang undang maupun peraturan di Indonesia
ditemukan istilah malpraktek karena dengan menggunakan istilah malpraktik berarti sudah ada
keputusan hukum tetap dari pengadilan terhadap kesalahan dokter.

Ngesti lestari dan Soedjatmiko membedakan malapraktik medik menjadi dua bentuk yaitu,
malapraktik etika (ethical malpractice) dan malapraktik yuridis (yudical malpractice), ditinjau dari
segi etika profesi dan segi hukum.11 Pertanggungjawaban dokter dalam ketentuan pidana diatur di
KUHP12,Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran13, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan.1

Malapraktik merupakan istilah yang sifatnya sangat umum dan cenderung berkonotasi
yuridis. Di Indonesia hukum kedokteran belum dapat dirumuskan sampai saat ini, sehingga
definisi-definisi tentang kelalaian maupun malapraktik juga belum dirumuskan. Dengan demikian
rumusan-rumusan yang berasal dari negara lain dapat dijadikan acuan. Dalam hukum kedokteran
dikenal juga istilah kelalaian medik (culpa, negligence) (djuharto S Susanto, “malpraktek ditinjau
3
teorihukum kedokteran” 41, no. 2 (2008): 144–150)

Seseorang dikatakan lalai apabila ia bertindak acuh, tak peduli, tidak memperhatikan
kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya didalam tata pergaulan hidup dimasyarakat. Selama
akibat dari kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain, atau
karena menyangkut hal-hal yang sepele, maka tidak ada akibat hukum apa-apa. Terminologi
malapraktik medik (malpractice medic) dan kelalaian medik (negligence) merupakan dua hal yang
berbeda. Kelalaian medik memang termasuk malapraktik medik tetapi didalam malapraktik medik
tidak hanya terdapat unsur kelalaian, dapat juga karena adanya unsur kesengajaan. Jika dilihat dari
definisi diatas jelaslah bahwa malpractice mempunyai pengertian yang lebih luas daripada
negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malapraktikpun mencakup tindakan-
tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-
undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat ada motif (mens rea, guilty mind) sedangkan arti
negligence lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh,
sembrono, tak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang
bukanlah menjadi tujuan (Ari Yunanto, Op.Cit. hlm37)
Untuk menyelesaikan sengketa malpraktek medik di Indonesia, dapat ditempuh melalui dua
jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan atau jalur non litigasi (di luar peradilan), tetapi biasanya
perkara-perkara tuntutan malpraktek medik melalui jalur litigasi selalu kandas ditengah jalan
karena kendalanya adalah pembuktiannya yang sukar diberikan oleh pihak pasien / pengacaranya.
Oleh karena itu sebagian besar kasus malpraktek medik diselesaikan secara damai yang dilakukan
di luar jalur litigasi karena dokter tidak menghendaki reputasinya rusak bila dipublikasikan
negatif.
Pada dasarnya penyelesaian suatu perkara malpraktek medik melaui jalur litigasi
dimaksudkan untuk meminta pertanggung jawaban dokter sehingga dokter dapat dikenai sanksi
pidana, perdata , maupun administratif, tetapi dalam makalah ini penulis hanya memfokuskan
pada penyelesaian sengketa malpraktek medik secara perdata melalui jalur non
litigasi .Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis akan menganalisis Bagaimana alternative
penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan masalah malpraktek medik?

4
METODE PENNELITIAN
Metode penelitian hukum, menurut Soerjono Soekanto adalah suatu kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan menganalisanya. Metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu data sekunder yang diperoleh dari UUD
1945, Undang-Undang, hasil studi pustaka buku-buku, jurnal ilmiah, skripsi, dan referensi yang
relevan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Sengketa dalam Pelayanan Kesehatan
Ada dua jenis hubungan hukum antara pasien dan dokter dalam pelayanan kesehatan,
yaitu hubungan karena terjadinya kontrak terapeutik dan hubungan karena adanya peraturan-
perundangan. Dalam hubungan yang pertama, diawali dengan perjanjian (tidak tertulis)
sehingga kehendak kedua belah pihak diasumsikan terakomodasi pada saat kesepakatan
tercapai. Kesepakatan yang dicapai antara lain berupa persetujuan tindakan medis atau malah
penolakan pada sebuah rencana tindakan medis. Hubungan karena peraturan-perundangan
biasanya muncul karena kewajiban yang dibebankan kepada dokter karena profesinya tanpa
perlu dimintakan persetujuan pasien.
Hubungan antara dokter dan pasien merupakan transaksi terapeutik yang mana
perjanjiannya berdasarkan upaya maksimal untuk menyembuhkan pasien, hubungan tersebut
dinamakan inspaningverbintenis yang tidak dilihat dari hasilnya tetapi lebih ditekankan pada
upaya yang dilakukan (Isharyanto, 2016;104).
Dasar adanya kewajiban dokter adalah adanya hubungan kontraktual profesional antara
tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum dan kewajiban
profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah
profesi, aturan etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional.
Banyak ahli berpandangan bahwa hubungan pelayanan kesehatan adalah hubungan atas
dasar kepercayaan. Pasien percaya terhadap kemampuan dokter untuk berupaya semaksimal
mungkin menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Pasien juga percaya bahwa dokter akan
berupaya semaksimal mungkin selain menyembuhkan penyakitnya juga akan mengurangi

5
penderitaannya. Besarnya kepercayaan yang terbangun dalam pandangan publik inilah yang
seringkali berbuah kekecewaan ketika harapan tidak terwujud, dan inilah jalan melahirkan
konflik atau sengketa. Biasanya pemicunya adalah ketika kekecewaan tersebut tidak di sertai
komunikasi yang efektif. Jadi sekali lagi komunikasi adalah kata kunci dalam sebab-musabab
sebuah konflik atau sengketa.
Sengketa medik sering kali timbul akibat hasil yang kurang memuaskan dari pihak
pelayanan medik, kaitannya dalam kurangnya mendapatkan informasi dari dokter, ataupun
kelalian yang timbul akibat tenaga medis sendiri (Trini Handayani, Jurnal Mimbar Justicia:
Edisi Juli-Desember 2014).
Upaya penyelesaian sengketa melalui peradilan umum yang selama ini ditempuh tidak
dapat memuaskan pihak pasien, karena putusan hakim dianggap tidak memenuhi rasa keadilan
pihak pasien. Hal ini disebabkan sulitnya pasien atau Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim
untuk membuktikan adanya kesalahan dokter. Kesulitan pembuktian dikarenakan minimnya
pengetahuan mereka mengenai permasalahan-permasalahan tehnis sekitar pelayanan medik.
Seharusnya penyelesaian sengketa ini dilakukan secara berjenjang, mengingat profesi tenaga
kesehatan atau lembaga yang menaunginya ini rentan terhadap pembunuhan karakter oleh
media massa atau rentan terhadap pemerasan oleh oknum yang tak bertanggungjawab. Pada
tataran pertama, bila gejala sengketa terbuka mulai muncul surat ketidakpuasan hanya
ditujukan ke pihak RS, sebaikanya pihak rumah sakit melalui bagian humas segera melakukan
pendeketan guna menjawab atau klarifikasi terhadap permasalahan yang ada sehingga pihak
pengadu/pelapor merasa puas dan terselesaikan permasalahannya. Pada tataran kedua, bila
sengketa telah meluas (laporan ketidakpuasan pelayanan ditujukan ke RS dan ditembuskan ke
LSM/LPK/Ombudsman) dan melibatkan pihak ke‐3 (kuasa hukum/LSM/masyarakat) maka
diperlukan adanya mediator yang dianggap netral untuk membantu penyelesaian sengketanya.
Pada tataran ke tiga, jika laporan sengketa kesehatan sudah meluas pada lembaga peradilan
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan) maka mutlak mediator bersertifikat menjadi sangat
diperlukan bila pendekatan penyelesaian sengketa secara tertutup masih di inginkan oleh pihak
Rumah Sakit/ lembaga pemberi layanan kesehatan/tenaga kesehatan. Bila proses mediasi gagal
maka penyelesaian sengketa akan dilanjutkan melalui proses persidangan di pengadilan
(Suryono, 2012; 4).

6
b. Malpraktik Medik
Malapraktik medik ini merupakan suatu istilah yang selalu berkonotasi buruk, bersifat
stigmatis, menyalahkan. Menurut J Guwandi30 malapraktik medik dapat dibedakan menjadi
dua golongan:
1. Dengan sengaja (dolus, vorsatz,wilens en wetens handelen,intentional) yang dilarang oleh
peraturan perundang-undangan.
2. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misalnya menelantarkan
pengobatan pasien karena lupa atau sembarangan sehingga penyakit pasien bertambah berat
dan kemudian meninggal dunia (abandonment) Soejatmiko membedakan malapraktik etik
dan yuridik ; 1. Malapraktik Etik; 2. Malapraktik Yuridik; 3. Malapraktik Perdata; 4.
Malapraktik Pidana; 5. Malapraktik Administratif.

Pengertian malpraktek medik di dalam Black’s Law Dictionary :

“Malpraktek adalah setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam
ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap
tindak dari para dokter, pengacara, dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan
pelayanan professional dan melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan
kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari
profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima
pelayanan tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu.
Termasuk di dalamnya setiap sikap- tindak profesional yang salah, kekurangan
keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati- hatian atau kewajiban hukum,
praktek buruk, atau illegal atau sikap immoral “.

Pengertian malpraktek menurut Veronica dalam Diding Rahmat, 2016 adalah :


“Kesalahan profesional di bidang medis ( medical malpractice ) adalah kesalahan dalam
menjalankan profesi medis sesuai dengan standar profesi medis; atau tidak melakukan
tindakan medis menurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu pengetahuan medis
dan pengalaman yang rata-rata dimiliki seorang dokter menurut situasi dan kondisi di
mana tindakan medis itu dilakukan “.

7
Dengan demikian ada 3 aspek hukum yang dapat dipakai untuk menentukan malpraktek,
yaitu (Anny Isfandyarie, op.cit., hlm. 111):
1. Penyimpangan dari standar profesi medis;
2. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian;
3. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian
baik materiil maupun non materiil, atau fisik ( luka atau kematian ) atau mental.
Pada setiap tindakan medik yang dilakukan oleh dokter, baik bersifat diagnostik
maupun terapeutik akan selalu mengandung risiko yang melekat ( risk of treatment ), risiko
dapat timbul dapat pula tidak. Khusus di dalam pelayanan kesehatan, kelalaian juga
dikaitkan dengan pelayanan yang tidak memenuhi standar (di bawah) standar profesi
(standar pelayanan medis) yang dalam prakteknya juga perlu digunakan untuk membedakan
antara resiko medik dan malpraktek medik. Kalau terhadap pasien telah dilakukan prosedur
sesuai standar pelayanan medis, tetapi pasien akhirnya luka berat atau mati, ini merupakan
resiko medis, sedangkan bagi pasien yang mengalami luka berat maupun kematian sebagai
akibat dokter melakukan pelayanan di bawah standar medis, maka ini berarti terjadi
malpraktek medik.

b. Alternatif Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Uu No. 30 Tahun 1999 Tentang


Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999, memperlihatkan kepada kita bahwa
undang-undang tersebut juga menekankan kepada penyelesaian sengketa alternatif berbentuk
mediasi (dan pemakaian tenaga ahli). Bahkan tidak menutup kemungkinan penyelesaian
sengketa melalui alternatif-alternatif yang lain. Mengenai penyelesaian alternatif ini UU
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa No. 30 Tahun 1999 menentukan sebagai
berikut (Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 3) :
Pasal 6 :
1. Sengketa atau beda pendapat dapat diselesaikan oleh parapihak melalui alternatif
penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengenyampingkan
penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri.

8
2. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak
dalam waktu paling lama 14 ( empat belas ) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu
kesepatan tertulis.
3. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2 ) tidak
dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda
pendapat diselesaikan melalui seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui
seorang mediator.
4. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 ( empat belas ) hari dengan
bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator tidak
berhasil mencapai kata sepakat, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga
arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk sorang
mediator.
5. Setelah penunjukkan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama tujuh hari usaha mediasi harus sudah
dapat dimulai.
6. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling
lama 30 hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani
oleh semua pihak yang terkait.
7. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan
mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak penandatanganan.
8. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (7) wajib diselesaikan dalam waktu paling lama 30 hari sejak pendaftaran.
9. Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat
(6) tidak dapat tercapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat
mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.

Karena berbagai kelemahan yang melekat pada badan pegadilan dalam meyelesaikan
sengketa, baik kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun tidak, maka banyak kalangan
yang ingin mencari cara lain atau institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar

9
badan-badan pengadilan. Tetapi tidak semua model penyelesaian sengketa alternatif baik
untuk para pihak yang bersengketa. Suatu penyelesaian sengketa alternatif yang baik
setidak-tidaknya haruslah memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut (Ibid, hlm. 34) :
a. Haruslah efisien dari segi waktu.
b. Haruslah hemat biaya.

a. Haruslah dapat diakses oleh para pihak. Misalnya tempatnya jangan terlalu jauh.
b. Haruslah melindungi hak-hak dari para pihak yang bersengketa.
c. Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur.
d. Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di mata
masyarakat dan di mata para pihak yang bersengketa.
e. Putusannya haruslah final dan mengikat.
f. Putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi.
g. Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari komunikasi dimana
penyelesaian sengketa alternatif tersebut terdapat.

Alternatif Dispute Resolution atau penyelesaian sengketa alternatif ini terdiri dari cara-
cara berikut ini (H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase , Raja
Grafindopersada, Jakarta, 2004, hlm. 11):

Konsiliasi
Konsiliasi adalah suatu penyelesaian di mana para pihak berupaya aktif mencari
penyelesaian dangan bantuan pihak ketiga. Konsiliasi diperlukan apabila para pihak yang
bersengketa tidak mampu menyelesaikan sendiri perselisihannya. Hal ini menyebabkan
istilah konsiliasi kerapkali diartikan sama dengan mediasi, padahal penyelesaian sengketa
dengan konsiliasi lebih mengacu kepada cara penyelesaian sengketa melalui konsensus
antara para pihak, sedangkan pihak ketiga hanya bertindak netral-berperan secara aktif
maupun tidak aktif.

Negosiasi
Negosiasi merupakan hal yang biasa dilakukan dalam suatu persoalan dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut Gary Good Paster, negosiasi merupakan proses konsensus
yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan diantara mereka.

10
Mediasi
Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah
dimana pihak ketiga yang tidak memihak (imparsial) bekerjasama dengan para pihak yang
bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. Adi
Sulistiono mendefinisikan Mediation is generally understood tobe a shorttrem, structured,
taks-oriented, participatory intervention process. Disputing parties work with a neutral
third party, the mediator, to reach a mutually process, where athird party inventervenor
imposes adecision, no such compulsion exists in mediation (Adi Sulistiono, 2008; 8).
Sedangkan menurut Mas Ahmad Santosa dan Anton L.P. Hutapea, mediasi adalah :
negosiasi yang dihadiri oleh pihak ketiga netral yang tidak memiliki kewenangan untuk
memutuskan. Pihak ketiga yang disebut sebagai mediator berfungsi untuk membantu para
pihak yang berselisih untuk menyediakan fasilitas bagi pihak-pihak di dalam negosiasi
untuk mencapai kesepakatan.

Penunjukkan pihak ketiga sebagai mediator ini dapat terjadi karena :


a. Kehendak sendiri ( mencalonkan sendiri )
b. Ditunjuk oleh penguasa ( misalnya wakil dari para pihak yang bersengketa).
c. Diminta oleh kedua belah pihak.
Suyud Margono menyatakan dalam berbagai kepustakaan setidak-tidaknya
ditemukan sepuluh definisi tentang mediasi yang dirumuskan para penulis. Dari rumusan
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian mediasi mengandung unsur-unsur
sebagai berikut :
1. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam
perundingan.
3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari
penyelesaian.
4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan
berlangsung.
5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepatan yang dapat
diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri segketa.

11
Alasan-alasan penyelesaian sengketa melalui mediasi banyak dipilih oleh pihak yang
bersengketa :
a. Proses penyelesaian sengketa relatif cepat ( quick )
b. Biaya murah ( inexpensive )
c. Bersifat rahasia ( confidential )
d. Penyelesaian bersifat fair melalui kompromi
e. Hubungan kooperatif
f. Sama-sama menang ( win-win )
g. Tidak emosional

Arbitrase
Arbitrase merupakan suatu bentuk lain dari ajudikasi privat, namun mirip dengan
ajudikasi publik dan sama-sama memiliki keuntungan dan kelemahan. Arbitrase
melibatkan litigasi sengketa pribadi yang membedakannya dengan litigasi melalui
pengadilan.
Penyelesaian melalui arbitrase umumnya dipilh untuk sengketa kontraktual (baik yang
bersifa sederhana maupun kompleks ) yang dapat digolongkan menjadi :
a. Quality Arbitration, yang menyangkut permasalahan kontraktual, yang dengan
sendirinya memerlukan para arbitrator dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
b. Technical Arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan factual sebagaimana
halnya dengan masalah yang timbul dalam penyusunan dokumen atau aplikasi
ketentuan-ketentuan kontrak.
c. Mixed Arbitration, sengketa baik mengenai permasalahan faktual maupun hukum.
Dari berbagai macam alternatif penyelesaian sengketa tersebut, metode yang dapat
dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa malpraktek medik menurut penulis adalah
metode mediasi. Metode mediasi dapat dijadikan alternative dalam penyelesaian sengketa
agar hasilnya efektif dan memuaskan para pihak karena mediasi merupakan suatu proses
penyelesaian sengketa di antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral,
walaupun sebenarnya ada alternatif penyelesaian sengketa yang lain yaitu konsiliasi yang
mana di dalamnya ada pihak ketiga sebagai konsiliator yang terlibat dan bersifat netral,

12
namun konsiliator hanyalah sebagai pihak fasilitator untuk melakukan komunikasi di
antara para pihak sehingga dapat diketemukan solusi oleh para pihak sendiri, dengan
demikian pihak konsiliator hanya melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur waktu
dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek pembicaraan, membawa pesan dari
satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung atau
para pihak tidak mau bertemu muka langsung.
Di dalam mediasi, seorang mediator pun melakukan hal-hal yang dilakukan oleh
konsiliator, tetapi juga melakukan lebih jauh dari itu, sebab pihak mediator dapat juga
menyarankan jalan keluar atau proposal penyelesaian sengketa yang bersangkutan, paling
tidak secara teoritis tidak ada dalam kewenangan pihak konsiliator.
Dengan demikian mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang cukup
efektif dan menguntungkan para pihak karena baik pihak pasien sebagai orang awam yang
tidak mengetahui ilmu pengetahuan kedokteran maupun pihak dokter diberikan pengertian-
pengertian oleh mediator mengenai hal-hal yang berkaitan dengan malpraktek medik,
aspek-aspek hukum malpraktek medik, dan lain-lain yang diperlukan untuk penyelesaian
sengketa tersebut, sehingga kedua belah pihak dapat menyelesaikan sengketanya sendiri.

KESIMPULAN
Metode mediasi dapat dijadikan alternative dalam penyelesaian sengketa agar
hasilnya efektif dan memuaskan para pihak karena mediasi merupakan suatu proses
penyelesaian sengketa di antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang
netral, walaupun sebenarnya ada alternatif penyelesaian sengketa yang lain yaitu
konsiliasi yang mana di dalamnya ada pihak ketiga sebagai konsiliator yang terlibat
dan bersifat netral, namun konsiliator hanyalah sebagai pihak fasilitator untuk
melakukan komunikasi di antara para pihak sehingga dapat diketemukan solusi oleh
para pihak sendiri, dengan demikian pihak konsiliator hanya melakukan tindakan-
tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan
subyek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan
tersebut tidak mungkin disampaikan langsung atau para pihak tidak mau bertemu
muka langsung.
Di dalam mediasi, seorang mediator pun melakukan hal-hal yang dilakukan

13
oleh konsiliator, tetapi juga melakukan lebih jauh dari itu, sebab pihak mediator dapat
juga menyarankan jalan keluar atau proposal penyelesaian sengketa yang
bersangkutan, paling tidak secara teoritis tidak ada dalam kewenangan pihak
konsiliator.Dengan demikian mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang
cukup efektif.

DAFTA PUSTAKA

Adi Sulistiyono. 2008. Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi Di Indonesia.


Surakarta: UNS Press.
Anny Isfandyarie, Malpraktek dan Resiko Medik, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005.

D. Veronica Komalawati, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1989.
Diding Rahmat, 2016, Eksistensi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cirebon dalam
Pendampingan Perkara Pidana di Pengadilan Negeri Cirebon, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 3
No. 1 Januari 2016, Kuningan: FH Uniku, hlm. 1- 13

Gunawan, Memahami Etika Kedokteran, Kanisius, Yogyakarta,1991.

H. Sudiarto dan Zaeni Asyadie, Mengenal Arbitrase, Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 2004.

Hendrojono Soewono , Perlindungan Hak- Hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik,


Srikandi, Surabaya, 2006, hlm. 5
Isharyanto. 2016. Hukum Pelayanan Kesehatan. Depok: Herya Media.

Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Subekti, Pokok-pokok HukumPerdata, Intermasa, Jakarta, 1989.

Suryono dan Indra Bastian, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Jakarta: Salemba Medik,
2011.

Yussy A. Mannas, Hubungan Hukum Dokter dan Pasien Serta Tanggung Jawab Dokter
Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan, Jurnal Cita Hukum 6, no. 1 (2018 :163–
182).

SUMBER HUKUM
Undang Undang Dasar NRI Tahun 1945
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

14

You might also like