You are on page 1of 24

PELAYANAN KASIH YESUS MELALUI INKARNASI-NYA SEBAGAI UPAYA

TRANSFORMATIF TERHADAP KEDUDUKAN KAUM LGBT DI GMIT

Oleh,

AGNES MEILITA MAONI

712021026

Tugas Akhir Semester

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Kristologi-B

PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2023
Abstract

The purpose of writing this article is to analyze Jesus' loving ministry towards the
Jews at that time through His incarnation, then the results are used to measure the extent of
the openness of the Synod of the Evangelical Church in Timor (GMIT) to LGBT people and
what kind of action will be taken when the GMIT Synod is faced with the presence of LGBT
people in the congregation. This is done because in today's era the existence of LGBT is
increasingly widespread and will certainly affect the growth of congregational faith.

The result of this study is that Jesus' presence equalizes the position of those who are
considered despicable, alienated/marginalized in the view of Jewish law such as the sick and
poor. When it comes to today's reality, LGBT people are also treated like despised people in
Jesus' day. Because they are considered sinful because they have a different sexual
orientation (homosexual). This argument is reinforced by Old and New Testament Bible
verses about male and female relationships such as Genesis 1:26-27, 1 Corinthians 15:33,
Romans, 1:26-27, and so on. But it should be noted that Jesus did hate sin, including
homosexuals, yet He still loved them, especially those who repented. This understanding can
then be applied to the GMIT Synod to be inclusive of LGBT people and love them as Jesus
taught.

Keywords: Love, Jesus, LGBT, GMIT Synod

Abstrak

Penulisan artikel ini bertujuan untuk menganalisis pelayanan kasih Yesus terhadap
orang-orang Yahudi pada masa itu melalui inkarnasi-Nya, kemudian hasilnya digunakan
untuk mengukur sejauh mana keterbukaan Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)
terhadap kaum LGBT dan tindakan seperti apa yang sekiranya akan diambil apabila Sinode
GMIT diperhadapkan dengan kehadiran kaum LGBT di tengah-tengah jemaat. Hal ini
dilakukan sebab di era sekarang ini keberadaan LGBT semakin meluas dan tentunya akan
mempengaruhi pertumbuhan iman jemaat.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ialah kehadiran Yesus menyetarakan
kedudukan orang-orang yang dianggap hina, diasingkan/termarjinal dalam pandangan hukum
Yahudi seperti orang sakit dan miskin. Jika dikaitkan dengan realitas sekarang kaum LGBT
juga diperlakukan seperti orang-orang hina pada zaman Yesus dulu. Sebab mereka dianggap
berdosa karena memiliki orientasi seksual yang berbeda (homoseksual). Argumen ini
diperkuat oleh ayat Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mengenai relasi laki-laki
dan perempuan seperti Kejadian 1:26-27, 1 Korintus 15:33, Roma, 1:26-27, dan sebagainya.
Namun yang harus diperhatikan bahwa Yesus memang membenci dosa termasuk
homoseksual, meski demikian Ia tetap mengasihi mereka terlebih yang mau bertobat.
Pemahaman ini kemudian bisa diterapkan pada Sinode GMIT agar bersikap inklusif terhadap
kaum LGBT dan mengasihi mereka seperti kasih yang Yesus ajarkan.

Kata Kunci: Kasih, Yesus, LGBT, Sinode GMIT


PENDAHULUAN

Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LBGT) adalah bahasan yang cukup luas
karena mencakup eksistensi, karakter, perilaku, relasi hingga kasus pernikahan. LGBT
menjadi bahan perbincangan dunia sejak lampau hingga sekarang. Banyak pemberitaan baik
di media elektronik maupun cetak mengenai LGBT terutama sejak dilegalkannya pernikahan
bagi sesama jenis di Amerika Serikat beberapa waktu lalu 1. Pada tahun 2001 Belanda
melegalkan LGBT diikuti oleh dua puluh dua negara lainnya. Kemudian di tahun 2022
Slovenia menjadi negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Melalui sebuah
keputusan dari Mahkamah Konstitusi, Slovenia memutuskan bahwa larangan pernikahan
sesama jenis melanggar konstitusi2. Namun ada pula negara-negara yang tidak mendukung
kaum LGBT seperti Afrika, Timur Tengah, dan beberapa negara bagian Timur lainnya 3. Di
Indonesia secara umum dan agama Kristen secara khusus, keberadaan kaum LGBT masih
menjadi pro kontra. Hal ini disebabkan karena lahirnya perbedaan pemahaman oleh setiap
individu mengenai HAM (Hak Asasi Manusia), juga pemahaman makna kasih dalam Alkitab
bagi kekristenan. Hingga saat ini kaum LGBT di Indonesia masih belum bisa diketahui pasti
jumlahnya karena banyak dari mereka yang belum mempublikasikan hal tersebut4.

Dewasa ini kaum LGBT di Indonesia diperhadapkan dengan kesulitan. Anggapan


umum yang sering diterima oleh kaum LGBT adalah queer (aneh/ganjil). Hal ini disebabkan
karena diantara kebanyakan orang, mereka (kaum LGBT) memiliki orientasi seksual yang
menyimpang dari yang semestinya. Kaum LGBT termasuk dalam kategori minoritas seksual
di Indonesia, termasuk gereja yang sering dipersonifikasi sebagai “Tubuh Kristus” pun
menentang keberadaan mereka. menghadapi fenomena ini baik gereja maupun para kaum

1
DetikNews, “Joe Biden sahkan UU Perlindungan Pernikahan Sesama Jenis,” akses 30 November 2023
https://news.detik.com/internasional/d-6460240/joe-biden-sahkan-uu-perlindungan-pernikahan-sesama-jenis
2
https://era.id/internasional/101967/negara-yang-melegalkan-lgbt Akses 30 November 2023
3
Dian Azmawi dan Rizky Amalia Putri, “Upaya Gerakan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT)
dalam Legalisasi Kebijakan Pernikahan Sesama Jenis di Amerika Serikat tahun 2015,” Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta Repository (Maret 2019): 3, akses 30 November 2023
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/28107/11.%20NASKAH%20PUBLIKASI.pdf?
sequence=12&isAllowed=y
4
Yudiyanto, Yudiyanto, “Dr. Yudiyanto, M.Si-Fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di
Indonesia serta Upaya Pencegahannya,” Nizham: Jurnal Studi Keislaman 4 no. 1 (2017): 63, akses 30
November 2023 https://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/nizham/article/view/906
LGBT keduanya terkungkung dalam situasi yang dilematis ibarat sebuah mata uang. Di satu
sisi gereja sebagai tempat persekutuan harus merangkul dan menerima kaum LGBT sebagai
bagian dari anggota persekutuan, sementara di sisi yang lain kaum LGBT pula harus
mengupayakan pertobatan serta kesadaran untuk berbalik kepada Allah 5. Di samping itu
negara dan gereja pula semestinya memberikan hak yang sama kepada kaum LGBT sebagai
masyarakat dan anggota gereja agar tidak terjadi ketimpangan pun intimidasi sosial. Sikap
pro kontra yang terjadi kepada kaum LGBT umumnya memiliki keterhubungan dengan
denominasi. Namun dibagian pengantar buku Siapakah Sesamaku tulisan Stephen Suleeman
dan Amadeo D. Udampoh dikatakan bahwa tidak sebatas pada denominasi saja melainkan
gerejalah yang kurang serius dalam memperhatikan serta meneliti lebih seksama isu-isu dan
realitas LGBT6.

Menanggapi isu fenomena LGBT yang sedang merebak, sinode Gereja Masehi Injili
di Timor (GMIT) selaku anggota dari Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) menolak dengan
tegas akan keberadaan kaum LGBT dengan konteks orientasi seksual. Salah satu pendeta
GMIT menyampaikan pendapatnya mengenai fenomena LGBT di lingkup gereja katanya,
LGBT seringkali menunggangi isu humanis yang dipakai untuk melegalkan segala sesuatu
yang salah menurut ajaran, seperti manusia itu bebas, padahal pokok ajaran seharusnya
bersumber dari Alkitab7. Sinode GMIT menilai fenomena kehadiran LGBT dilingkup gereja
masih menjadi problematika dan sensitiv bagi jemaat. Lebih lanjut jemaat selaku anggota
gereja sejatinya masih membutuhkan informasi yang mendalam berkaitan dengan
penggunaan istilah-istilah pula pemahaman mengenai isu LGBT.

Beberap waktu yang lalu Sinode GMIT dikejutkan dengan kehadiran seorang pendeta
yang dicurigai sebagai Gay (LGBT) pada salah satu klasis, lalu dibenarkan oleh pendeta
tersebut. Jemaat kemudian melaporkan hal tersebut kepada Majelis Sinode (MS) untuk
ditindak lanjuti. Sebagai bentuk respon aktif, Majelis Sinode mendisiplinkan pendeta

5
Winda P.E. Sari, “Sulitnya Orang Indonesia Menerima Kaum LGBT,” Journal of Divinity, Peace and Conflict
Studies 1 no. 3 (Desember 2021): 264-265, akses 01 Desember 2023
https://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/aradha/article/view/725/375
6
Stephen Suleeman dan Amadeo D. Unampoh, Siapakah Sesamaku?: Pergumulan Teologi dan Isu-isu
Keadilan Gender (Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 2019), p. 69, akses 01 Desember 2023
https://repository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2015/03/Bab-Buku-Siapakah-Sesamaku-LGBT-dari-
Perspektif-Teologis-Etis-Kristen.pdf
7
https://www.ntthits.com/humaniora/57710485233/gmit-tegas-dan-menolak-lgbt-yandi-manobe-jangan-
legalkan-yang-salah-menurut-ajaran-alkitab akses 02 Desember 2023
tersebut, juga memberikan bimbingan pastoral. Tindakan jemaat menunjukkan bahwa LGBT
di lingkup gereja masih dianggap tabu. Kaum LGBT di Nusa Tenggara Timur mendapat
perlakuan buruk, diskriminasi, bully, dan stigma negatif dari sesama jemaat atau anggota
gereja.

Komunitas Independent Man of FLOBAMORA (IMOF) dibentuk oleh kaum LGBT


di NTT sejak tanggal 18 Maret 2010 dengan anggota awalnya 15 orang dan dilayani oleh
pendeta terindikasi Gay dengan tujuan untuk membantu sesamanya dalam upaya memperoleh
hak-hak dasar mereka8. Komunitas ini hadir bagi para LGBT untuk terus merasakan kasih
Yesus meskipun kenyataan yang harus diterima ialah mereka diasingkan oleh gereja dan
dipandang hina. Dengan menggunakan perspektif Alkitab baik itu Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru penulis hendak menganalisis bagaiamana LGBT dipandang sehingga sampai
pada pandangan bahwa mereka (kaum LGBT) yang melakukan dosa homoseksual merupakan
suatu kerberdosaan bahkan dikutuk oleh Allah.

Oleh sebab itu penelitian ini ditulis dengan tujuan untuk menganalisis bagaimana
pelayanan kasih yang Yesus ajarkan mampu mengubah pola pikir jemaat mengenai kaum
LGBT sebagai yang termarginal, apakah penyimpangan seksual/homoseksual (LGBT)
dianggap dosa oleh Yesus, serta bagaimana seharusnya perilaku jemaat GMIT menyikapi
kehadiran kaum LGBT di tengah-tengah gereja sebagai sesamanya.

Rumusan Masalah

Dilihat pada kenyataan di Sinode GMIT bahwa sampai sekarang kaum LGBT dibatasi
ruang geraknya untuk melayani di gereja sebab dianggap hina dan berdosa, maka paper ini
disusun untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan menyangkut pelayanan kasih Yesus dan
kedudukan kaum LGBT dalam gereja. Beberapa pertanyaan yang dirumuskan, sebagai
berikut:

1. Bagaimana wujud pelayanan kasih Yesus melalui Inkarnasinya terhadap kaum


marginal?

2. Bagaimana seharusnya Sinode GMIT mengedukasi jemaat dalam menyikapi


kehadiran kaum LGBT dalam gereja?

8
Silvester V. Toto, ”Persepsi dan Perilaku Pencegahan HIV Pada Komunitas Gay di Kota Kupang,” Jurnal
Penelitian Kesehatan Suara Forikes 12 (April 2021): 58, akses 02 Desember 2023
http://forikes-ejournal.com/ojs-2.4.6/index.php/SF/article/view/sf12nk211/12nk211
PEMBAHASAN

1. Pelayanan Kasih Yesus Melalui Inkarnasinya Terhadap Kaum Marginal

 Inkarnasi Yesus

Cerita hidup Yesus dikisahkan dengan sangat jelas dalam kitab Injil Matius dan
Lukas. Di dalam kitab Injil Matius kisah mengenai perjalanan hidup Yesus diawali
dengan menunjukkan silsilah Yesus, dalam bahasa Yunani disebut biblos genesos yang
berarti “kitab kejadian” Yesus. Silsilah Yesus dibagi dalam tiga bagian: dari Abraham
sampai Daud, Daud sampai Masa Pembuangan ke Babel, Masa Pembuangan ke Babel
sampai Yesus Kristus. Sementara dalam Injil Lukas asal-usul Yesus tidak dikisahkan dari
Abraham layaknya pada Injil Matius melainkan ditarik lebih jauh yakni dari Adam.
Penulis Injil Lukas memiliki maksud yaitu untuk menunjukkan kepada pembaca kitab
bahwa apa yang terjadi dalam kedatangan dan karya Yesus memiliki hubungan dengan
apa yang Allah lakukan dalam karya penciptaan 9. Pengisahan hidup Yesus dalam kedua
kitab Injil menandakan adanya Inkarnasi.

Kata inkarnasi berasal dari bahasa Latin Incarnatio, berasal dari dua kata yaitu in
(masuk ke dalam) dan caro/carnis (daging)10. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
inkarnasi merupakan suatu peristiwa perwujudan/mewujud menjadi daging. Inkarnasi
menurut Dorner bukanlah suatu tindakan yang digenapi pada waktu Maria mengandung
Yesus, melainkan merupakan suatu proses berkelanjutan Firman (Allah) menggabungkan
diri dalam suatu bentuk (manusia) dan merupakan perwakilan Allah Bapa bagi penebusan
umat manusia, yaitu melalui Yesus Kristus sampai kepenuhan-Nya yakni pada saat
peristiwa penyaliban-kebangkitan sebagai bukti penebusan Allah11.

Orang Yahudi dan Yunani memiliki pandangannya sendiri mengenai konsep


Logos. Bagi orang Yahudi Firman (Logos) ialah suatu kenyataan yang berdiri sendiri
dengan penuh kekuatan untuk melakukan banyak hal. Firman memiliki kekuatan untuk
menciptakan alam semesta. Sebagai kebiasaan bagi orang Yahudi mengenai Firman Allah
yang berkuasa. Logos merupakan kuasa dimana melalui Ia/Sang Firman (Logos) langit
diciptakan. Dua pengertian dari Logos ialah firman dan nalar dimana keduanya sama-

9
Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah Menahan Diri Tetapi Pantang Berdiam Diri Suatu Upaya Berdogmatika
Kontekstual di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 242-243
10
G. C. VanNiftriek dan B. J. Bolang, Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 226
11
Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Kristus (Surabaya: Momentum, 2009), 60
sama penting sebab merupakan pikiran Allah 12. Sedangkan bagi orang Yunani Logos
ialah suatu hal yang mampu menstabilkan segala sesuatu di dunia, seperti hukum dan pola
pikir (akal budi). Stoa menganggap bahwa Logos ialah jiwa dunia karena Logos lah yang
menguasai dunia pula sebagai akal (rasio) ilahi13.

Yohanes 1:1,14 menjelaskan bagaimana Allah berinkarnasi menjadi manusia.


“1Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu
adalah Allah. 14Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah
melihat kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih
karunia dan kebenaran.” Beberapa ciri tentang keberadaan Firman yang disampaikan
Yohanes diantaranya:

1. “Pada mulanya adalah Firman” : Firman itu sejatinya adalah kekal dan sudah
ada sebelum segala sesuatu ada.

2. “Firman bersama-sama dengan Allah” : Firman itu berpribadi, keterangan


bersama-sama dengan Allah mengindikasikan bahwa Firman merupakan
bagian dari Allah tetapi berbeda. Meski demikian keduanya adalah sehakekat
dan setara (Allah).

3. “Firman telah menjadi manusia”: menunjukkan siapa dimaksudkan sebagai


“pribadi” yaitu Anak Allah yang menjadi manusia dan hidup di antara
manusia.

Pada akhirnya dapat diketahui bahwa Allah yakni Firman/Logos berinkarnasi


yang dinyatakan dalam frasa “Firman itu telah menjadi manusia.” Frasa ini dapat
dimaknai sebagai “telah menjadi daging,” yang merujuk pada makna tubuh manusia
(bersifat jasmani). Penggunaan kata “daging” yang disematkan kepada Sang Firman
merupakan suatu pembuktian Firman (Allah) telah benar-benar menjadi manusia dan
memiliki natur manusia ditandai dengan tubuh jasmani yang serupa/sama dengan
manusia. Firman telah menjadi manusia secara utuh-manusia yang sempurna14.

Dengan demikian, Firman yang telah menjadi daging adalah Anak Allah yang
menjadi manusia. Yesus yang dilahirkan oleh perawan Maria Ia adalah Allah-Firman
12
Jonar Situmorang, Kamus Alkitab dan Teologi (Yogyakarta: Andi, 2016), 258
13
Tinezia B. Novianti, “Inkarnasi Yesus Sebagai Logos Dalam Injil Yohanes” IAKN Toraja (2022): 5 akses 03
Desember 2023 https://osf.io/2mw39/download
14
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), 372
yang berinkarnasi ke dalam dunia serta menjadi manusia sempurna (Mat 1:18-23; Luk.
2:6-7). Ia (Anak Allah) menyatakan diri-Nya kepada dunia melalui kelahiran-Nya (Flp.
2;7; 1 Tim. 3:16; Ibr. 2:14; Yoh. 4:2). Sama halnya dengan manusia Ia bereksistensi,
dapat dilihat, disentuh, dan menjalani hidupnya sebagaimana seorang manusia. Firman
menjadi daging dalam inkarnasi, artinya “yang kekal menjadi yang temporal. Firman
mengambil satu bentuk yang merupakan wujud insani manusia berdosa.” 15 Inkarnasi
berarti Allah mengambil bagian dalam penderitaan dan kefanaan manusia.

Beberapa fakta yang mendukung inkarnasi Yesus (Firman/Logos) ke dalam dunia


yakni Ia diperanakkan dari keturunan Daud (Mat. 1:16, Rm. 1:3), dilahirkan oleh perawan
Maria (Mat. 1:23-25, Gal. 4:4), melewati masa kanak-kanak (Luk. 2:40) dan masa remaja
(Luk. 2:52), serta kehidupan pelayanan-Nya tercatat dalam kitab-kitab Injil (Matius,
Markus, Lukas, dan Yohanes) sebagai autobiografi Yesus dalam keberadaan-Nya sebagai
manusia. Hadir dalam wujud manusia seutuhnya (sempurna) Yesus memiliki tubuh
manusia (Luk. 2:40, 52) dan bernyawa (Luk. 23:46). Tidak hanya itu Ia juga memiliki
sifat-sifat alami manusia seperti merasakan lapar (Mat. 4:2), haus (Yoh. 19:28), letih
(Yoh. 4:6), memiliki perasaan kagum (Mat. 8:10; Mrk. 6:6), merasa sedih (Yoh. 11:35),
mengantuk-tidur (Mat. 8:24), memiliki belas kasihan (Mat. 9:36), berdoa kepada Bapa
(Mat. 14:23), hingga mengalami kematian (Yoh. 19:30) 16. Menjalani kehidupannya
sebagai Manusia Yesus hidup bersama-sama dengan masyarakat Yahudi, menghargai
budaya, serta orang-orang disekeliling-Nya merasakan kehadiran-Nya.

Sebagai Manusia yang seutuhnya, Yesus menjalin relasi sosial dengan masyarakat
di mana ia berada dan orang-orang disekeliling-Nya mengalami pengaruh kehadiran-Nya
dalam kehidupan mereka. wujud relasi sosial yang dimiliki oleh Yesus ialah Ia memasuki
teritorial manusia, hidup bersama dengan manusia, menjadi teladan bagi manusia, dan
memberitahukan tentang Kerajaan Allah.

- Memasuki teritorial manusia

Yesus dalam melaksanakan pelayanan-Nya, Ia selalu berinisiatif untuk


menjangkau orang-orang yang berada di sekitar-Nya dengan cara pergi ke tempat-
tempat yang menjadi target pelayanan-Nya. Yesus pergi ke tempat-tempat ibadah
(Bait Allah) dan mengusir orang yang berdagang di sana (Luk. 2:13-15), pergi ke
15
Karl Barth, Dogmatics in Outline (London: SCM Press Ltd, 1966), 109
16
Charles C. Ryrie, Teologi Dasar: panduan Popular untuk Memahami Kebenaran Alkitab, buku 1
(Yogyakarta: yayasan ANDI, 1991), 337-338
Kapernaum untuk mengajar di rumah ibadat pada hari Sabat (Mrk. 1:21; Luk. 4:31),
menyembuhkan orang sakit di rumah ibadah (Mat. 12:9-14; Mrk. 3:1-6; Luk. 6:6-11),
mengajar di Nazaret (Luk. 4:16-22), dan mengajar di Galilea (Mat. 4:23; Mrk. 1:39;
Luk. 4:44; 6:17-19). Yesus mengunjungi rumah Simon dan Andreas untuk
menyembuhkan ibu mertua Simon (Mrk. 1:29-31), membangkitkan anak Yairus yang
sudah mati di rumahnya (Mrk. 9:18-25; 5:22-24; Luk. 8:51) dan pergi ke rumah Maria
dan Marta (Luk. 10:38-42). Yesus melakukan pelayanan-Nya di alam terbuka seperti
dekat danau (Mrk. 4:1-34; 5:1-20; 5:21-43), di atas perahu, dalam perjalanan, di atas
bukit, pada saat berpapasan dengan orang yang membutuhkan pertolongan di jalan.
Yesus juga bertemu dengan orang-orang dari berbagai tingkat dan status sosial yang
berbeda di tempat di mana mereka berada.

- Hidup bersama manusia

Kata “Imanuel” mengartikan keterhubungan kehadiran Yesus dengan manusia


atau dengan kata lain Yesus tidak hidup secara terpisah dengan manusia sebagai
umat-Nya. Ia menyertai umat-Nya sebagai Allah juga sebagai manusia, hidup
bersama dengan orang-orang dalam komunitas di mana Ia berada. Buktinya ialah
Yesus selalu menghargai bbudaya Yahudi dengan merayakan paskah di Yerusalem
(Luk. 2:40-41), menghadiri pesta perkawinan di Kana (Yoh. 2:1-11) dan turut
merayakan hari raya Pondok Daun (Yoh. 7:1-13). Yesus menghargai orang-orang
yang ditemui-Nya secara pribadi, misalnya makan di rumah Matius, para pemungut
cukai dan orang-orang berdosa datang menemui Dia (Mat. 9:10-13; Mrk. 2:15-17;
Luk. 5:29-32), tidak menolak ketika diurapi oleh perempuan berdosa (Luk. 7:36-39),
menerima undangan makan bersama di rumah orang Farisi di rumahnya (Luk. 11:37),
bertemu dengan Nikodemus (Yoh. 3:1-36), bertemu dengan perempuan Samaria
(Yoh. 4:1-30), juga bertemu dengan perempuan yang kedapatan berzina (Yoh. 8:2-
11). Yesus memberi makan lima ribu orang yang telah mengikut Dia (Mat. 14:13-21;
Mrk. 6:32-44; Luk. 9:10-17; Yoh. 6:1-15) dan empat ribu orang (Mat. 15:32-39; Mrk.
8:1-10). Yesus menghibur Maria dan Marta yang berduka karena kematian saudara
mereka Lazarus dengan firman-Nya (Yoh. 11:25-26), membangkitkan Lazarus
dengan kuasa-Nya (Yoh. 19:17-37), dan memohon pengampunan Bapa terhadap
mereka yang menyalibkan Dia (Luk. 23:34).

- Menjadi teladan bagi manusia


Selama berada di bumi Yesus menjadi teladan bagi manusia tetapi Ia adalah
manusia tanpa dosa. Iblis berupaya mencobai-Nya dengan berbagai pencobaan (Mat.
4:1-11) namun Ia tidak kalah dari Iblis. Orang-orang berupaya menjebak dan
menjatuhkan-Nya namun Ia tetap mempertahankan keberadaan-Nya yang suci dan
melakukan kebenaran (Yoh. 8:1-11).

- Memberitakan Kerajaan Allah

Inti dari pemberitaan Yesus ialah Kerajaan Allah (Mat. 1:17; 4:17; Mrk. 1:17)
dan Kerajaan Allah disampaikan-Nya melalui setiap pelayanan yang Ia lakukan (Mat.
13:11; Mrk. 10:11; Luk. 13:18-21). Kerajaan Allah yang Yesus sampaikan ialah
merupakan “perwujudan tindakan Allah yang berdaulat di tengah-tengah umat
manusia”. Kerajaan Allah harus diberitakan oleh Yesus sebab Kerajaan Allah
mencakup “ruang lingkup, tempat Allah mencurahkan berkat-berkat-Nya.” 17 Pada
eksistensinya Kerajaan Allah berorientasi pada masa kini dan masa yang akan datang.
Kerajaan Allah pada masa kini memiliki makna rohani (Mat. 11:11-12; Luk. 7:28;
16:16) yang berhubungan dengan kedatangan Kristus ke dalam dunia untuk
mengerjakan keselamatan bagi manusia (Luk. 17:20-21) dan mengalahkan iblis (Mat.
12:28)18. Sedangkan Kerajaan Allah yang berorientasi pada masa yang akan datang
adalah Allah yang di mana umat-Nya akan hidup bersama-sama dengan Dia dalam
Kerajaan Allah yang kekal. Dengan demikian, Kerajaan Allah yang berorientasi pada
masa yang akan datang sejatinya mengenai kehidupan umat Allah yang bersama-
sama dengan Pencipta dan Penyelamat, yaitu Kristus di rumah-Nya yang kekal tanpa
penderitaan.

Dari pembahasan ini maka dapat diketahui bersama bahwa Yesus sejatinya
merupakan Allah yang sempuran pula manusia yang sempurna. Kehadiran-Nya ke dalam
dunia melalui inkarnasi dan mewujud sebagai seorang manusia sedikit pun tidak
mengurangi esensi ke-Allah-an serta kemanusiaan-Nya. Realitas kehidupan-Nya sebagai
yang benar-benar manusia (kecuali melakukan dosa) membuktikan kemanusiaan Yesus.
Yesus memiliki natur seperti manusia, mematuhi segala proses yang untuk menjalankan
pelayanan-Nya sesuai kehendak Sang Bapa, memberkati setiap orang melalui kehidupan

17
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2: Misi Kristus, Roh Kudus, Kehidupan Kristen (jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1998), 23
18
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2: Misi Kristus, Roh Kudus, Kehidupan Kristen (jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1998), 27-28
sosial-Nya, mempersiapkan para murid sebagai penerus pelayanan-Nya, dan puncaknya
Ia di Salibkan. Oleh sebab itu misi inkarnasi Yesus ialah menjadi manusia untuk
melaksanakan karya keselamatan. Inkarnasi Yesus menjadi sejarah dan menjadi dasar
kontinuitas pemberitaan Injil.

 Pelayanan Kasih Yesus Bentuk Transformatif

Inkarnasi Yesus ke dalam dunia ialah untuk melakukan perubahan (transformasi)


bagi kehidupan dunia sesuai dengan standart Kerajaan Allah (Mat. 10:34). Perubahan
yang dilakukan oleh Yesus sangat radikal sebab inti dari perubahan yang Yesus lakukan
adalah mengenai Kebenaran Allah dan kepentingan Allah dalam Kerajaan-Nya 19.
Transformasi Yesus menyentuh bagian-bagian kebudayaan Yahudi yang selama ini
menjadi acuan tata nilai dan norma dalam kehidupan sehari-hari. Yesus mengubah
konsep dan tradisi keagamaan yang antroposentris kepada nilai-nilai agama yang
berpusat kepada Allah (Theosentris). Nilai-nilai agama yang Theosentris menempatkan
Allah sebagai inti dan pusat dari segala aktifitas kehidupan manusia. Allah dan
kehendak-Nya lah yang menjadi tolak ukur kebenaran dalam dunia20.

Pelayanan Yesus menitikberatkan pada aspek sosial. Titik tolak pelayanan Yesus
mengacu kepada persoalan yang ada dalam masyarakat dan menjadi jawaban atas
permasalahan sosial yang terjadi21. Dalam hal ini Yesus merupakan contoh tokoh teladan
dalam Alkitaab yang menerapkan pelayanan sosial yang transformatif, di mana dapat
memberikan jawaban bagi masyarakat yang tidak dianggap dan melakukan terobosan
yang membuat pandangan masyarakat berubah terhadap orang yang termarginalkan.

Kasih merupakan salah satu prinsip pelayanan yang dilakukan oleh Yesus. Dalam
setiap pelayanan-Nya baik itu mengajar, menyembuhkan orang sakit, mengadakan
mujizat bagi orang banyak, semua itu dilakukan oleh Yesus dengan berlandaskan kasih
sebab Ia adalah kasih itu sendiri. Tertulis dalam salah satu Injil Kanonik (Yohanes 3:16)
mengatakan bahwa kedatangan Yesus ke dalam dunia semata-mata karena kasih-Nya

19
Maiaweng, “Inkarnasi: Realitas Kemanusiaan Yesus,” Jurnal Jaffray (2015): 109, akses 03 Desember 2022
https://ojs.sttjaffray.ac.id/JJV71/article/view/114
20
David J Bosch, Transformasi Misi Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 55
21
Kalis Stevanus, “Mengimplementasikan Pelayanan Yesusu Dalam Konteks Misi Masa Kini Menurut Injil
Sinoptik,” FIDEI: Jurnal Teologi sistematika dan Praktika 1, no 2 (2018): 290-291
yang begitu besar bagi manusia dan untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Dengan
kasih Yesus tidak memandang latar belakang manusia22.

Dalam Markus 1:40-45 tercatat bahwa Yesus menyembuhkan orang yang


mengalami sakit kusta. Kondisi orang yang menderita sakit kusta pada saat itu
mengalami marginalisasi yang kompleks. Tidak hanya menanggung beban penderitaan
fisik, penderitaan psikis pun dialami oleh penderita sakit kusta. Orang yang sakit kusta
dianggap najis lalu dijauhi, dikucilkan dan dipinggirkan oleh masyaraka dengan
pemahaman bahwa penyakit kusta merupakan tulah akibat dosa yang seseorang lakukan
terhadap Allah23. Orang penderita sakit kusta mengalami diskriminasi/termarjinalkan
baik secara fisik, agama, sosial, dan spiritual jauh dari rahmat Allah.

Namun respon Yesus ketika mendapati orang yang sakit kusta itu ialah kasih.
Hati Yesus tergerak oleh belas kasihan. “Belas kasihan” muncul dalam perumpamaan
yang Yesus sampaikan yakni pada Mat. 18:23-35, Luk. 15:11-32, dan Luk. 10:30-35.
Penggambaran sifat belas kasih secara jelas menunjukkan sikap Allah kepada manusia.
Allah memiliki sikap belas kasih, dan bela rasa yang berbeda dengan sikap manusia
terhadap sesamanya. Sikap yang sama (belas kasih) juga ditunjukkan dalam
perumpamaan orang Samaria ketika menolong korban (Luk. 10:30)24. Kata belas kasih
digunakan untuk menunjukkan sikap Yesus terhadap orang yang dianggap najis, dijauhi,
juga dimarginalkan oleh masyarakat pada umumnya. Dorongan dari belas kasihan Yesus
inilah yang membuat Ia mengulurkan tangan-Nya untuk menjamah orang yang menderita
sakit kusta dan najis. Tindakan pemulihan yang dilakukan Yesus kepada penderita sakit
kusta merupakan salah satu dari empat pekerjaan pokok Yesus, yakni melayani semua
orang sebagai bukti bahwa Kerajaan Allah bersifat universal25.

Kehadiran Yesus di sini tidak hanya merobohkan sekat-sekat agama dan kultur
tetapi juga sekat sosial yang telah terbentuk masa itu, dengan maksud untuk mendekati
dan membebaskan mereka yang dimarginalkan. Yesus memiliki solidaritas sosial yang Ia
terapkan / wujudkan kepada mereka yang termaginal. Melalui jamahan Yesus orang yang

22
Tjendanawangi Saputra, Serdianus, “Pelayanan Yesus Sebagai Teladan Kepemimpinan Transformatif
Pendidikan Agama Kristen,” BONAFIDE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 3, no. 2 (Desember 2022):
263-264, akses 03 Desember 2023 http://jurnal.sttissiau.ac.id
23
Jakob van Bruggen, Markus: Injil Menurut Petrus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 85
24
Balz dan Schneider, Exegetical Dictionary of the New Testament Vol. 3
25
Yusak B. Setyawan, Kristologi: Perkenalan, Pendalaman dan Pergumulan (UKSW, 2023), 39-40
menderita sakit kusta tadi mengalami transformasi secara utuh yakni menjadi pulih
secara fisik, tahir secara hukum agama, diterima oleh masyarakat (sosial), dan secara
spiritual tidak hanya menerima rahmat Allah melainkan juga menjadi pewarta rahmat
Allah (Mrk. 1:45)26. Kasih Yesus menjadi dasar untuk membangun hubungan yang intim
antara manusia dengan Allah dan memulihkan hubungan antara sesama manusia,
sehingga melahirkan sikap saling mengasihi dan menjunjung tinggi harkat serta martabat
manusia, memelihara nilai-nilai kebersamaan, sikap saling menghormati, saling
memperhatikan dan saling tolong-menolong. Di samping itu kasih Yesus juga
memulihkan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Manusia menjadi lebih
menghargai diri sendiri sebagai ciptaan yang Imago Dei dan mulia27

Yesus memiliki pandangan yang secara radikal bertentangan dengan dengan


konsep orang Farisi. Kehadiran-Nya merombak pondasi pemahaman mereka. Misalnya
dalam Injil Matius 15:11 di mana Yesus memberikan pemahaman mengenai kesucian
hidup. Orang Farisi memahami kesucian hidup dari luar ke dalam, sementara Yesus
sebaliknya (dalam ke luar). Bagi Yesus segala sesuatu yang keluar dari mulutlah yang
menajiskan. Dari sini dapat dilihat bahwa Yesus sebenarnya tidak menolak inti tradisi
yang sudah ada melainkan mengoreksi apa yang keliru dari tradisi itu28.

Dengan demikian, kehadiran Yesus ialah untuk mentransformasi ketimpangan


yang telah lama di yakini oleh orang Yahudi. Yesus menjelaskan bahwa hukum Taurat
(pegangan orang Yahudi) hendaklah didasari oleh kasih. Pelaksanaan Hukum Kasih
sejatinya telah mencerminkan seluruh hukum Taurat (mat. 22:40). Pada kenyataannya
Yesus hidup dalam konteks budaya Yahudi sambil melakukan upaya transformasi
terhadap kebudayaan itu. Yesus sebagai orang Yahudi tidak menolak tradisi yang ada
dalam periode-Nya, melainkan memtransformasi inti pemahaman yang lama menjadi
pemahaman baru.

 LGBT Sebagai yang Termarginal

Apabila diperhatikan kembali pada kisah penciptaan dalam Perjanjian Lama


(Kej. 1:26-27) di mana Allah menjadikan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (Imago

26
GeorgeW. Peters, A Biblical Theologi of Missions (Malang: Gandum Mas, 2006), 70
27
GeorgeW. Peters, A Biblical Theologi of Missions (Malang: Gandum Mas, 2006), 69-70
28
Sarah Andrianti, “Yesus, Taurat dan Budaya” STT Intheos Surakarta (2013): 13 akses 03 Desember 2023
https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/antusias/article/download/51/50
Dei) yakni laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mengelola bumi ciptaan Allah.
penekanannya ialah laki-laki dan perempuan bukan laki-laki dan laki-laki atau
perempuan-dan perempuan sebab hanya melalui hubungan antara laki-laki dan
perempuan sajalah akan ada keturunan untuk menguasai bumi (Kej. 1:28).

Para pelaku penyimpangan seksual atau lebih dikenal sebagai kaum LGBT di
Indonesia kini mulai berani menampilkan identitas mereka di ruang publik. Tidak hanya
itu muncul pula kelompok / gerakan pro LGBT di mana dengan mengatasnamakan Hak
Asasi Manusia (HAM) mereka membela kaum LGBT. Kelompok pro LGBT
menciptakan kebenaran yang bertolak belakang dengan standar moral masyarakat.
semula perilaku penyimpangan seksual dianggap tidak bermoral kemudian dirombak
menjadi perilaku yang normal dengan mengatasnamakan HAM. Menurut mereka
perilaku penyimpangan seksual dapat dipahami sekadar sebagai keberagaman orientasi
seksual sama halnya dengan kemajemukan yang ada di Indonesia (keberagaman suku,
agama, ras, dll). Perilaku LGBT dianggap manusiawi juga tidak merugikan orang lain.

Masyarakat juga dituntut untuk turut bertoleransi terhadap perilaku menyimpang


kaum LGBT. Jika ditentang oleh masyarakat maka akan dipandang sebagai pelanggaran
terhadap HAM para LGBT. Kelompok LGBT menuntut untuk memperoleh “hidup yang
layak” sesuai orientasi seksual mereka, dan diberikan ruang sebebas-bebasnya untuk
dapat mengekspresikan orientasi seksualnya. Pelaku penyimpangan seksual (LGBT)
dipandang sebagai kaum minoritas oleh orang-orang (komunitas) pro LGBT. Masyarakat
akan diberikan label negatif apabila melakukan pertentangan, diskriminasi, pelecehehan
hingga kekerasan terhadap kaum LGBT.

Analisis terhadap kitab Injil Matius 19:12 “ada orang yang tidak dapat kawin
karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya....” 29 ditemukan bahwa tidak ada
orang yang dilahirkan menjadi LGBT. Apabila ditemukan seperti “laki-laki kemayu”
atau “perempuan tomboi” merupakan suatu kecenderungan yang dapat diterima, namun
bukan berarti harus menjadi LGBT. Akan tetapi dapat meminta pertolongan Allah agar
menjadi pribadi yang takut akan Allah. Laki-laki kemayu dan perempuan tomboy tidak
semuanya gay dan lesbian. Ada banyak banci dan waria yang justru menikah, memiliki
keturunan dan bertumbuh dalam keluarga yang sehat. Perlu diperhatikan bahwa identitas
seks tidak selalu sama arti dengan perilaku seks30.

29
Alkitab TB LAI (2018)
Menurut seorang psikologi Amerika bernama Clyde M. Narramore disampaikan
bahwa homoseksual pada umumnya merupakan hasil perkembangan kepribadian yang
tidak normal (gangguan hormonal). Dengan demikian maka pemahaman bahwa
kecenderungan menjadi LGBT merupakan bawaan dari lahir merupakan suatu
kesalahan / kekeliruan. Meski demikian para pelaku LGBT seringnya mengklaim bahwa
“penyimpangan” seksualitas ereka merupakan bawaan dari lahir dan tidak dapat di
rumah dan hal itu bukanlah sebuah pilihan.

Gerakan pro LGBT kemudian berupaya agar keberadaan LGBT dapat diterima
oleh masyarakat. Namun dengan berlandaskan Alkitab Perjanjian Baru (1 Kor. 15:33)
“janganlah kamu sesat, pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik.” Masyarakat
mengatakan bahwa apa bila LGBT di wajarkan bahkan di terima keberadaannya maka
ditakutkan akan mempengaruhi generasi penerus bangsa bahkan menyelewengkan nilai-
nilai kristiani (Firman Allah).

Dalam Perjanjian Lama Allah mengingatkan bahwa perbuatan homoseksual


adalah sebuah kekejian yang harus mendapat hukuman (Imamat 18:22; 20:13).
Kemudian dikaitkan dengan pemusnahan kota Sodom dan Gomora oleh Allah karena
kaum laki-laki di sana mempraktekkan hubungan homoseksual. Dengan demikian Allah
mengutuk bahkan menghukum segala jenis homoseksual yang merupakan suatu
“kejatuhan” dalam dosa.

Dalam Perjanjian Baru, Roma 1:26-27 “karena itu Allah menyerahkan mereka
kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan
persetubuhan yang wajar dengan tidak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan
persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka
seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, lelaki dengan
lelaki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk
kesesatan mereka.” Selain itu dalam 1 Korintus 6:9-10, 1 Timotius 1:9-10 dan Yudas
1:731 merupakan ayat-ayat dalam Alkitab Perjanjian Baru yang menjelaskan bahwa
LGBT merupakan suatu kekejian yang sudah ada sejak zaman Abraham (Perjanjian
Lama).32

30
Ebenhaizer Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik: Sebuah Pengantar Berteologi dari Perspektif Sosiologi
Agama (Universitas Kristen Satya Wacana, 2018), 82
31
Alkitab TB LAI (2018)
Pada akhirnya dapat dipahami bersama bahwa Allah tidak pernah menciptakan
seseorang menjadi LGBT. Seseorang mungkin dilahirkan dengan kecenderungan
terhadap orientasi seksual yang berbeda, sama seperti orang dapat dilahirkan dengan
kecenderungan melakukan dosa-dosa lainnya. Namun menurut Alkitab, pengampunan
Allah senantiasa tersedia bagi kaum LGBT, sama halnya dengan dosa zinah, menyembah
berhala, membunuh, mencuri, dan sebagainya. Allah juga menjanjikan kekuatan bagi
mereka yang ingin bertobat untuk menang dan keselamatan terhadap dosa, termasuk
homoseksualitas.

2. Upaya Sinode GMIT Mengedukasi Jemaat Dalam Menyikapi Kehadiran Kaum


LGBT Dalam Gereja

 Sinode GMIT, Pemahaman Relasi Laki-laki dan Perempuan

Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) menyatakan diri sebagai gereja mandiri
pada tanggal 31 Oktober 1947 dan merupakan salah satu Gereja Bagian Mandiri (GBM)
dari Gereja Protestan Indonesia (GPI). Dasar GMIT adalah Allah Tritunggal, dasar ini
mengantarkan GMIT kepada pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Sang Juruselamat
(1 Kor. 3:11). Allah Tritunggal sebagai landasan dengan demikian GMIT memiliki tugas
untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah, diantaranya mewujudnyatakan
keselamatan Allah bagi dunia dan manusia. GMIT melandaskan diri pada pengakuan
bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Firman Allah. dengan
demikian ajaran GMIT didasarkan pada kesaksian Alkitab mengenai Allah Tritunggal,
dunia, manusia, gereja, dan konteksnya. GMIT digambarkan sebagai keluara Allah
(familia Dei) yang mana merupakan suatu persekutuan persaudaraan sebagai anak-anak
Allah, dicirikan melalui keragaman suku bangsa, kebudayaan, sejarah, dan geografis.
GMIT memiliki pemahaman khusus mengenai jemaat dan gereja. Istilah jemaat
digunakan dalam pengertian persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus,
jemaat pula menjadi basis penyelenggaraan hidup dan pelayanan gereja, menjalankan
fungsi sebagai pelaksana pelayanan, serta menyediakan sarana dan prasarana penunjang

32
Candra Gunawan Marisi, “Perspektif Alkitabiah Terhadap Gerakan LGBT”Jurnal STT Real (2016): 4-11,
akses04Desember2023
https://www.researchgate.net/publication/342146448_PERSFEKTIF_ALKITABIAH_TERHADAP_GERAKA
N_LGBT
pelayanan. Sementara istila gereja digunakan untuk menamai persekutuan jemaat
(GMIT)33.

Visi GMIT ialah sebagai berikut, “GMIT adalah keluarga Allah yang merupakan
Umat Keluaran yang diutus ke dalam dunia guna membawa Shalom Allah. setiap
anggota GMIT berfungsi sebagai Surat Kristus yang hidup guna membawa kabar baik
bagi dunia seusia dengan teladan Kristus, Sang Diakonos Agung. Dalam menjalankan
fungsi tersebut, setiap anggota GMIT bekerja dengan setia, taat dan produktif dalam
memperjuangkan keadilan dan kebenaran, yaitu pembebasan bagi yang tertindas,
kesetaraan derajat dan adanya keseimbangan dinatara pemenuhan hak dan kewajiban
serta menggunakan alam ciptaan Allah secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.” 34

Adapun misi GMIT diantaranya:

1. Membangyn struktur GMIT yang melayani dalam azas presbiterial sinodal

2. Menyatukan, mengarahkan dan mendayagunakan berbagau karunia dan


talenta warga GMIT dalam pelayanan bagi jemaat dan masyarakat untuk
menjawab kebutuhan nyata warga jemaat dan masyarakat sendiri

3. Mengembangkan aksi-aksi sosial, politik, ekonomi, dan budaya dalam rangka


transformasi dunia ini sebagai antisipasi terhadap pemberlakuan Kerajaan
Allah di dunia ini

4. Menghadirkan GMIT sebagai sebuah komunitas ibadah yang memiliki


kepedulian ekologis dan bersikap ramah terhadap lingkungan hidup (alam)
dalam tindakan-tindakan pelayanan dan pembangunan masyarakat

5. Memungkinkan keterlibatan GMIT dalam berbagai bidang kehidupan di dunia


ini.

Fokus utama mengenai GMIT ialah pemaknaan relasi antara laki-laki dan
perempuan. Salah satu tugas gereja dalam kehadirannya adalah memaknaai relasi antara
laki-laki dan perempuan sebagai gambar Allah (Imago Dei). Gereja sebagai tempat
utama untuk menunjukkan kepenuhan kemanusiaan (full humanity) bagi lak-laki dan

33
“Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT): Pokok-pokok Eklesiologi GMIT” (2015): 7-13, akses 04 Desember
2023 https://sinodegmit.or.id/wp-content/uploads/2019/03/4-Pokok-Pokok-Eklesiologi-GMIT.pdf
34
Majelis Sinode GMIT, Halaman dan Kebijakan Umum Pelayanan 2011-2030 (Majelis Sinode GMIT:
Kupang, 2011), 1
perempuan. Oleh sebab itu, kekristenan dan teologi perlu melepaskan simbol-simbol
patriarkhal dan bersikap kritis terhadap pengutamaan laki-laki (androsentrisme) yang
telah memarginalkan perempuan. Dengan demikian, gereja perlu menjadi dasar untuk
menata kehidupan sesuai dengan pesan Alkitab. Gereja perlu mengembangkan sikap
kritis terhadap budaya yang cenderung memarginalkan perempuan. Dalam hal ini
keluarga menjadi tempat pendidikan keadilan dan kesetaraan dengan mengembangkan
pemikiran teologis yang kontekstual mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan 35.

 Pandangan Pendeta GMIT Mengenai LGBT

Pembahasan mengenai LGBT khususnya di sinode GMIT bukan lah hal yang
baru namun masih saja dianggap tabu oleh beberapa jemaat, terlebih lagi jika orang yang
terindikasi LGBT berada di sekitar lingkungan gereja. Pada tahun 2020 GMIT dikejutkan
dengan berita seorang pendeta jemaat di GMIT yang mengakui dirinya adalah gay.
Pengakuan tersebut mengundang kontroversi baik secara khusus dalam jemaat tempat
pendeta yang bersangkutan melakukan pelayanan hingga GMIT secara umum. Dampak
dari pengakuan pendeta tersebut ia akhirnya di pulangkan oleh jemaatnya dan Majelis
Sinode GMIT memutuskan mendisiplinkan beliau hingga masa yang belum ditentukan.
Majelis Sinode juga terus memberikan pendampingan pastoral kepada pendeta yang
bersangkutan. Tidak hanya itu baik jemaat maupun pendeta utusan melakukan aksi demo
di kantor Sinode Kupang agar pendeta tersebut diberhentikan dari jabatan
kependetaannya. Selama menjalani masa disiplin, pendeta yang bersangkutan tidak
diberikan kesempatan untuk melayani baik di GMIT maupun sinode lainnya (dalam
istilah GMIT disebut “gantung toga”)36. Tindakan yang cukup radikal oleh jemaat
dengan menolak keberadaan LGBT di GMIT terkhusus dalam ranah gereja secara
langsung menunjukkan bahwa minimnya pemahaman jemaat mengenai kasih Yesus.

Sambil menati hasil putusan Majelis Sinode GMIT pendeta tersebut melayani
pada komunitas Independent Man of FLOBAMORA (IMOF) untuk membantu sesamanya
dalam mendapat hak-hak dasar mereka. komunitas ini hadir sejak tahun 2010 guna
mewadahi LGBT di NTT. Kaum LGBT di NTT mendapat perlakuan buruk, diskriminasi,
bully, hingga stigma negatif masyarakat yang menyebabkan kesehatan mental (mental
health) terganggu.

35
Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT): Pokok-pokok Eklesiologi GMIT” (2015): 46
36
https://katongntt.com/pergumulan-panjang-pendeta-gay-beta-protes-tuhan/ akses 04 Desember 2023
Beberapa pendeta GMIT juga turut menyampaikan pandangan masing-masing
mengenai LGBT, khususnya di Sinode GMIT. Tiga diantaranya:

1. Pdt. Dr. Merry Kolimon, M.Th: Pembicaraan mengenai LGBT di NTT masih
sangat sensitif baik dalam masyarakat maupun gereja. Bagi pendeta Merry
Kolimon sendiri, gereja dan masyarakat masih harus belajar menerima
keberadaan mereka (kaum LGBT) di tengah-tengah kehidupan. Jangan
menolak mereka dengan kekerasan (verbal, fisik, psikis, ekonomi). Melainkan
terima mereka sebagai ciptaan Allah yang mulia, yang memiliki kekhasan
tersendiri37.

2. Pdt. Yandri Manobe, S.Th: LGBT harus ditolak dengan tegas khususnya
dalam konteks orientasi seksual. Menurut pendeta Yandri Manobe LGBT
seringkali menunggangi isu humanis yang dipakai untuk melegalkan segala
sesuatu yang salah menurut ajaran, seperti manusia itu bebas, padahal pokok
ajaran semestinya bersumber dari Alkitab. Perlu dipertegas bahwa yang
ditolak dari LGBT adalah orientasi seksualnya sedangkan individunya
diterima dan diberikan ruang untuk melayani dalam gereja38.

3. Pdt. Nelson M. Liem, M.Th: homoseksual (LGBT) bukanlah anugerah atau


pemberian Allah melainkan sebuah perilaku penyimpangan (pelanggaran)
seks. Oleh sebab itu pendeta Nelson Liem menekankan agar jemaat tidak
mudah tertipu oleh oleh para pelaku homoseksual yang berupaya
menyamakan perilaku penyimpangan seksual dengan kodrat manusia terlebih
menggunakan ayat Alkitab39.

Berdasarkan pendapat tiga pendeta GMIT maka dapat dilihat bahwa pro dan
kontra dalam sinode mengenai keberadaan LGBT tidak pudar. Ada pihak yang menerima
kaum LGBT sebagai sesamanya yang unik namun ada pula yag mengecam kehadiran
mereka. Sejatinya pemahaman pendeta sangat mempengaruhi pandangan jemaatnya
terhadap keberadaan kaum LGBT. Dalam pandangan pendeta Yandri Manobe
disampaikan bahwa individu terindikasi LGBT tetap diberikan ruang untuk melayani di
gereja namun pada kenyataannya jemaat-gereja justru memulangkan pendeta yang
37
https://www.dionbata.com/2016/02/sikap-dan-pandangan-gereja-soal-lgbt.html , akses 04 Desember 2023
38
https://www.ntthits.com/humaniora/57710485233/gmit-tegas-dan-menolak-lgbt-yandi-manobe-jangan-
legalkan-yang-salah-menurut-ajaran-alkitab akses 04 Desember 2023
39
https://www.youtube.com/watch?v=LwNSeUN2xdM akses 04 Desember 2023
ketahuan memiliki orientasi seksual berbeda. Namun lebih dari pada itu bisa di lihat
bahwa GMIT masih terus menyiarkan kasih bahkan kepada sesama LGBT dengan tetap
merangkul mereka secara individu dan tetap menentang penyimpangan yang dilakukan.

 Strategi GMIT Mengedukasi Jemaat Dalam Menyikapi Kehadiran


Kaum LGBT Dalam Gereja

Sebagai sinode yang menerapkan sistem Presbiterial Sinodal di mana setiap


keputusan yang diambil berdasarkan kesepakatan bersama maka pendeta GMIT perlu
mengajak jemaat untuk menyikapi keberbedaan di tengah-tengah jemaat dengan positif
terkhusus mengenai isu LGBT.

Setiap manusia ciptaan Allah sejatinya adalah unik terlepas dari segala
keburukan yang dilakukan. Allah tidak pernah menciptakan manusia untuk tujuan yang
buruk. Terlebih dalam konteks upaya GMIT mengedukasi jemaat agar menjadi inklusif
dan menerima keberadaan sesamanya (LGBT) di tengah lingkungan gereja dengan tetap
mengingat bahwa kasih Allah adalah yang utama. Kaum LGBT merupakan ciptaan Allah
yang utuh dan istimewa. Jemaat sebagai sesama ciptaan Allah hendaklah
memperlakukan mereka tanpa kekerasan. Sebab mereka (kaum LGBT) juga diciptakan
segambar dengan Allah.

Pelayanan kasih Yesus yang dilakukan terhadap orang-orang najis menurut


hukum Yahudi sangat relevan diterapkan oleh Sinode GMIT dalam menyikapi
keberadaan LGBT di tengah-tengah gereja. Kaum LGBT semestinya dirangkul oleh
GMIT sebab keadaan seperti itu sejatinya yang dibutuhkan oleh mereka ialah kasih.
Meski penyimpangan yang dilakukan adalah dosa namun belajar dari Yesus yang tidak
membenci namun memberikan pengampunan bagi mereka yang ingin bertobat.

Strategi yang sekiranya dapat membantu jemaat memahami keberadaan kaum


LGBT ialah dengan melakukan sosialisasi baik oleh pihak Majelis Sinode mau pun
pendeta yang melayani di masing-masing gereja agar jemaat dapat dibekali mengenai isu
LGBT dan cara menyikapi isu tersebut. Namun agaknya sedikit sulit karena hingga
sekarang GMIT masih belum menetapkan sikapnya mengenai kehadiran LGBT dalam
jemaat. Meski demikian pendeta Merry Kolimon tetap menghimbau kepada seluruh
jemaat untuk tetap memberikan ruang agar kaum LGBT terus berpartisipasi dalam
pelayanan jemaat sesuai talenta yang Allah berikan kepada mereka40.

Gereja yang mengetahui kecenderungan orientasi seksual LGBT maka pastoral


gereja menjadi penting diterapkan. Kemudian gereja harus “meninggalkan mimbar”
dalam artian merangkul jemaat secara personal. Sebagai pendeta haruslah ia masuk
secara mendalam dan menyeluruh terhadap kehidupan jemaat dengan tetap menegakkan
kebenaran Alkitab.

Gereja perlu mengambil prakarsa memberitakan pesan yang menimbulkan


harapan bagi kaum LGBT juga pemahaman kasih kepada jemaat. Gereja dan anggota
jemaatnya tidak boleh membiarkan, mengacuhkan, meminggirkan, menghina, serta
menghakimi orang-orang yang bergumul dengan masalah, dalam kasus ini LGBT. Gereja
dan jemaatnya harus ambil bagian di dalam karya Yesus untuk membawa pertolongan
bagi kaum LGBT. Tindakan preventif lain yang dapat diambil ialah dengan melakukan
kosneling untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat sebagaimana tercatat
dalam dasar GMIT secara pribadi dan menghindarkan diri dari setiap gaya hidup LGBT.

PENUTUP

 Kesimpulan

40
https://www.ntthits.com/humaniora/57710485233/gmit-tegas-dan-menolak-lgbt-yandi-manobe-jangan-
legalkan-yang-salah-menurut-ajaran-alkitab akses 04 Desember 2023
Inkarnasi Firman (Logos) ke dalam dunia sebagai Yesus membawa
perubahan / transformasi yang signifikan terutama terhadap hukum Yahudi. Yesus
secara radikal merombak tatanan hukum Yahudi yang dikira-Nya keliru. Kehadiran-
Nya bukan untuk meniadakan hukum Taurat melainkan melengkapi hukum Taurat.
Melalui inkarnasi-Nya Yesus melayani jemaat tanpa memandang seperti apa latar
belakang mereka. Ia bahkan memfokuskan pelayanan kasih-Nya kepada orang miskin,
terpinggirkan, marjinal, dan yang dipandang najis oleh masyarakat Yahudi.

Meski melayani dengan kasih Yesus tetap tidak mentolerir akan adanya dosa.
Seperti apa bentuknya, dosa tetaplah dosa. Namun yang perlu dipahami bahwa Yesus
hanya benci terhadap dosa tetapi tetap mengasihi manusia yang memiliki keyakinan
untuk bertobat.

Melalui pelayana kasih Yesus Sinode GMIT juga haruslah melayani jemaatnya
tanpa membeda-bedakan. Dalam hal ini yang maksudkan ialah mengenai kehadiran
kaum LGBT. Sebagai Sinode yang melandaskan pengajarannya kepada Allah
Tritunggal serta mengimani Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, hendaklah
GMIT menerima kaum LGBT, memberikan ruang untuk bersama-sama melayani di
gereja dan mengedukasi jemaat agar tidak mendiskriminasi mereka dengan tetap
menjadikan Alkitab sebagai pengajaran utama. Yesus sang Juruselamat anti terhadap
dosa tetapi tetap merangkul setiap orang, demikian pula GMIT sebagai “rumah” bagi
jemaatnya hendaklah merangkul setiap mereka yang terpinggirkan (kaum LGBT).
Homoseksual memanglah dosa namun mereka sejatinya juga membutuhkan rangkulan
GMIT agar tetap merasakan kasih Yesus.

 Refleksi Teologis

Belajar dari pelayana kasih yang Yesus lakukan sebagai upaya untuk
melakukan transformasi terhadap hukum Yahudi terutama bagi kelompok termarjinal,
marilah kita menerapkan itu dalam kehidupan sebagai anak-anak Allah dalam
menyikapi keberagaman terutama terhadap sesama kita sebagai kaum LGBT. Belajar
menerima kehadiran mereka sebagai pribadi yang utuh dengan keunikannya tanpa
melakukan kekerasan. Penyimpangan seksual memang suatu dosa dan dianggap najis
oleh Yesus tetapi pribadi mereka tetaplah sama dengan kita. Jadi mari kita terima dan
hidup penuh kasih melayani Allah.
DAFTAR PUSTAKA

You might also like