You are on page 1of 5

Ketentuan Pornografi

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang


Pornografi (“UU Pornografi”) menerangkan bahwa:

Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,


gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk
pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi
seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Selain itu, Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi menyatakan bahwa:

Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,


menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
pornografi yang secara eksplisit memuat:

a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;


b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.

Pelanggaran atas Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi akan dikenai sanksi


pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Pornografi, yang
berbunyi:

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak,


menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Menurut hemat kami, pihak yang memberikan komentar tidak sononoh
pada media sosial sebagaimana yang Anda maksud dapat dikenai sanksi
pidana atas tindak pidana pornografi. Tindakan ini dapat dikategorikan
sebagai membuat dan mempublikasikan konten melalui media komunikasi
yang memuat unsur yang melanggar kesusilaan berupa pernyataan yang
menggambarkan persenggamaan dan kekerasan seksual (pemerkosaan).

Adami Chazawi dalam buku Tindak Pidana Pornografi (hal. 122-123)


menguraikan bahwa yang dimaksud dengan “membuat” dalam Pasal 4
ayat (1) UU Pornografi adalah perbuatan dengan cara apapun terhadap
suatu barang yang belum ada menjadi ada. Selesainya tindak pidana
diletakkan pada adanya objek pornografi yang dihasilkan. Dalam hal ini,
menurut hemat kami, objek tersebut adalah komentar tidak senonoh di
media sosial

Ketentuan Konten Media Sosial


Selain ketentuan dalam UU Pornografi, komentar sebagaimana yang Anda
maksud juga dilarang oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”). Pasal 27 ayat (1)
UU ITE jo. Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 berbunyi:

Pasal 27 ayat (1) UU ITE


Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
yang melanggar kesusilaan.

Pasal 1 angka 1 UU 19/2016


Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki
arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Yang dimaksud dengan “membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan
lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik
yang menyebabkan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.[1] Terhadap
pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE, Pasal 45 ayat (1) UU
19/2016 menyatakan bahwa:

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan


dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, menurut hemat kami, komentar


yang Anda maksud dapat dikategorikan sebagai muatan informasi
elektronik yang mengandung pelanggaran kesusilaan. Komentar tersebut
juga memenuhi unsur dapat diakses orang lain, karena tercantum pada
kolom komentar media sosial.

Ancaman Pidana yang Berlaku


Dengan demikian, terdapat setidaknya dua peraturan yang dapat menjerat
komentar pada media sosial yang melanggar kesusilaan, yaitu UU
Pornografi dan UU ITE dan perubahannya yang mengatur perbuatan yang
menyebabkan konten yang melanggar kesusilaan dapat diakses oleh
masyarakat umum.

asas lex specialis derogat legi generalis.


Sebagai salah satu asas hukum, asas ini mengandung makna bahwa
aturan hukum yang khusus akan mengenyampingkan aturan hukum yang
umum.
Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-
ketentuan lex generalis (semisal, undang-undang dengan undang-
undang).
Asas tersebut diperkuat dalam Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang menerangkan bahwa:

Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur
pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah
yang diterapkan.

Maka dari itu, menurut hemat kami, ketentuan yang berlaku adalah
ketentuan dalam UU ITE dan perubahannya, karena undang-undang ini
secara khusus mengatur penyebaran konten yang melanggar kesusilaan
melalui media elektronik.

Hal yang dapat di lakukan tentunya adalah melaporkan perbuatan tersebut


kepada pihak kepolisian terdekat dengan domisili/ Tkp nya. dan juga dapat
melaporkan akun yang berkomentar demikian kepada pihak
penyedia platform agar akun tersebut segera dikenakan sanksi sesuai
kebijakan platform.

Contoh Kasus
Sebagai contoh, kami akan menguraikan secara ringkas Putusan
Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun Nomor
93/Pid.Sus/2018/PN.MJY. Dakwaan kepada Terdakwa yang diajukan oleh
Penuntut Umum adalah dakwaan alternatif (hal. 16). Dakwaan pertama,
yaitu Terdakwa bersalah atas pelanggaran UU Pornografi dan dakwaan
kedua, yaitu Terdakwa bersalah atas pelanggaran UU ITE.

Baca juga: Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan

Terdakwa sendiri telah melakukan beberapa perbuatan, yaitu (hal. 18):


1. mengirimkan foto berupa gambar alat kelamin laki-laki kepada Saksi
Korban sebanyak tiga kali; dan
2. menghujat Saksi Korban sebagai perempuan yang dianggap
murahan. Terdakwa juga mengajak Saksi Korban untuk bersetubuh.

Salah satu ahli memberikan keterangan bahwa (hal. 11):

1. gambar yang dikirimkan Terdakwa secara eksplisit memuat


persenggamaan termasuk persenggamaan yang menyimpang,
ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan dan
alat kelamin. Sementara untuk tulisan yang dikirimkan Terdakwa,
ada yang eksplisit dan ada yang implisit (perlu penafsiran); dan
2. ahli menyimpulkan bahwa tulisan dan/atau gambar tersebut
bermuatan pornografi.

Putusan bersalah kemudian dijatuhkan, karena Terdakwa telah memenuhi


seluruh unsur pidana dalam Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (1) UU ITE
dan perubahannya, termasuk “tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan”. Hakim menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama
enam bulan dan 10 hari dan denda sebesar Rp1 juta, dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana
kurungan pengganti denda selama satu bulan.

You might also like