You are on page 1of 8

Bandung Conference Series: Journalism https://doi.org/10.29313/bcsj.v3i2.

8391

Diksiminasi dan Ketidakadilan terhadap Perempuan Pribumi dalam


Novel Lebih Putih Dariku
Aksal Alfarizi Juliana*, Andalusia Neneng Permatasari
Prodi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam
Bandung, Indonesia.
*
aksalalfarizi7728@gmail.com, andalusianp@gmail.com

Abstract. Women always experience discrimination and injustice in social life.


Women have always been treated unfairly by the structure of society. Women
always get discrimination that makes them the other for the dominant subject. In the
novel More Putih Than Me, there are forms of discrimination and injustice against
indigenous women during the Dutch East Indies period. For this reason, this
research was conducted with the aim of seeing that there is discrimination and
injustice against women contained in the novel Lagi Putih Dariku. The method used
is a qualitative method with Sara Mills' critical discourse analysis approach. Sara
Mills' Critical Discourse Analysis is used to see how women are represented in the
text through the position of subject-object and writer-reader. The results of the study
show that in the novel Putih Putih Dariku there is discrimination and injustice
experienced by indigenous women. In the position of the subject, namely Isah as the
narrator as well as the object being told, she experienced discrimination and
injustice as a native woman during the Dutch East Indies period. In the reader's
position, the reader is brought into the text by using the firstperson point of view "I"
to share in the feelings of discrimination and injustice experienced by Isah as an
indigenous woman in the colonial period.
Keywords: Discrimination, Indigenous Women, Critical Discourse Analysis.

Abstrak. Perempuan selalu mengalami diskriminasi dan ketidakadilan di dalam


kehidupan sosial. Perempuan selalu diperlakukan tidak adil oleh struktur
masyarakat. Perempuan selalu mendapatkan diskriminasi yang membuat dirinya
menjadi the other bagi subjek yang dominan. Dalam novel Lebih Putih Dariku,
terdapat bentuk-bentuk terdapat diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan
pribumi di masa Hindia Belanda. Untuk itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan
untuk melihat terdapat diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan yang
terdapat di dalam novel Lebih Putih Dariku. Metode yang digunakan yaitu metode
kualitatif dengan pendekatannya analisis wacana kritis Sara Mills. Analisis Wacana
Kritis Sara Mills digunakan untuk melihat bagaimana perempuan itu ditampilkan
dalam teks melalui posisi subjek-objek dan penulis-pembaca. Hasil penelitian
menunjukan bahwa dalam novel Lebih Putih Dariku terdapat diskriminasi dan
ketidakadilan yang dialmi oleh perempuan pribumi. Pada posisi subjek yakni Isah
sebagai pencerita sekaligus objek yang diceritakan mengalami terdapat diskriminasi
dan ketidakadilan terhadap dirinya sebagai perempuan pribumi di masa Hindia
Belanda. Pada posisi pembaca, pembaca dibawa masuk ke dalam teks dengan
menggunakan sudut pandang orang pertama “aku” untuk ikut merasakan terdapat
diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami Isah sebagai perempuan pribumi di
masa kolonial.
Kata Kunci: Diskriminasi, Perempuan Pribumi, Analisis Wacana Kritis.

Corresponding Author
Email: andalusianp@gmail.com 145
146 | Aksal Alfarizi Juliana, et al.

A. Pendahuluan
Perempuan selalu mengalami diskriminasi dan ketidakadilan dalam struktur masyarakat.
Dalam struktur masyarakat, perempuan mendapatkan diskriminasi dengan menganggap bahwa
perempuan tidak memiliki kemampuan untuk menentukan masa depan dirinya sendiri. Masa
depan perempuan selalu ditentukan oleh yang bukan dirinya, baik itu negara, keluarga ataupun
laki-laki. Bahkan ada anggapan bahwa perempuan itu seharusnya hanya di rumah
mengerjakan urusan domestik. Pandangan yang membuat perempuan menjadi liyan ini muncul
dalam bentuk masyarakat patriarki.
Kehidupan perempuan yang selalu mengalami diskriminasi berkembang dalam bentuk
masyarakat patriarki. Dalam masyarakat patriarki, kehidupan perempuan diatur oleh pihak
laki-laki. Menurut Engels bentuk masyarakat patriarki berasal dari penyingkiran perempuan
pada lapangan produksi sosial dan dialihkan pada pekerjaan rumah tangga yang bersifat
domestik (Mulyanto & Abdulgani). Tersingkirnya perempuan dalam corak produksi sosial
membuat perempuan terus mengalami diskriminasi dan ketidakadilan dalam masyarakat.
Diskriminasi dan ketidakadilan yang dirasakan perempuan terjadi pada masa kolonial,
terlebih terhadap perempuan pribumi. Perempuan pribumi hidup dalam dua struktur
masyarakat yakni feodalisme dan kolonialisme. Feodalisme merupakan sistem kekuasaan yang
memberikan keuntungan pada keluarga bangsawan dan merugikan rakyat jelata (Nurfaidah,
2015). Sementara itu, kolonialisme merupakan suatu upaya untuk mengusai wilayah bangsa
lain dengan tujuan menguras sumber daya suatu bangsa yang di kuasai (Afandi, 2020).
Feodalisme dan kolonialisme tumbuh dan mengakar dalam kehidupan masyarakat Hindia-
Belanda, sehingga berdampak terhadap kehidupan perempuan pribumi yang semakin
terpinggirkan dalam masyarakat (Fatharani and Putri 2023).
Kedudukan perempuan pribumi pada masa Hindia Belanda berada pada struktur yang
paling bawah. Status tersebut membuat perempuan pribumi tidak memiliki hak untuk
kehidupannya sendiri. Ketika beranjak remaja, yaitu sebelum berumur dua puluh tahun,
perempuan pribumi akan langsung dijodohkan. Praktik perjodohan itu dilakukan oleh orang
tua mereka dan hal tersebut tidak bisa ditolak. Hal tersebut membuat perempuan pribumi tidak
dapat menentukan nasib dan masa depan kehidupan dirinya sendiri karena sudah ditentukan
oleh orang tua mereka (Santi Indra Astuti and Juli R. Binu 2022).
Kehidupan perempuan pribumi pada masa Hindia-Belanda pun dapat terlihat dalam
beberapa karya sastra. Misalnya beberapa karya sastra yang ditulis oleh Pramoedya Ananta
Toer. Dalam Bumi Manusia Pramoedya menciptakan tokoh bernama Nyai Ontosoroh yang
diceritakan sebagai perempuan pribumi yang mempunyai karakter kuat dan cerdas. Selain
Bumi Manusia, Pramoedya menulis pula novel berjudul Gadis Pantai. Gadis Pantai
menceritakan kehidupan perempuan pribumi bernama Gadis Pantai yang memiliki karakter
lemah. Gadis Pantai hidup di dalam masyarakat yang feodal. Pramoedya melalui karya sastra
ingin menyampaikan pesan bahwa perempuan selalu mengalami ketidakadilan dalam struktur
masyarakat.
Selain novel Bumi Manusia dan Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Terdapat
salah satu novel yang menceritakan kehidupan perempuan pribumi di masa kolonial. Novel
tersebut berjudul Lebih Putih Dariku yang menceritakan kehidupan perempuan yang berada di
bawah sistem feodalisme dan kolonialisme. Lewat kedua sistem itu perempuan pribumi
diceritakan mengalami berbagai bentuk ketidakadilan dan diskrimansi yang ditulis dengan
baik oleh sang pengarang (Rita Gani and Citra Rosalyn Anwar 2022).
Novel Lebih Putih Dariku adalah novel karangan penulis sekaligus jurnalis
berkebangsaan Belanda yang bernama Dido Michielsen. Dido Michielsen menulis novel
tersebut dalam bahasa Belanda dengan judul Lichter ik, kemudian diterjemahkan ke bahasa
Indonesia. Penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia dilakukan oleh Martha Dwi Susilowati.
Selanjutnya oleh Marjin Kiri diterbitkan pertama kali tahun 2022 dalam bahasa Indonesia.
Pada tahun 2020 silam, novel ini berhasil mendapatkan penghargaan dalam Nederlandse
Boekhandelsprijs
Perempuan pribumi dalam novel Lebih Putih Dariku mengalami berbagai bentuk
ketidakadilan dan diskriminasi. Untuk membongkar hal itu penelitian ini menggunakan

Vol. 3 No. 2 (2023), Hal: 145-152 ISSN: 2828-2175


Diksiminasi dan Ketidakadilan terhadap… | 147

pendeketan analisis wacana kritis yang dikemukakan oleh Sara Mills. Model analisis wacana
kritis Sara Mills juga dikenal dengan perspektif feminis yang melihat bahwa ada bias dalam
sebuah teks ketika menampilkan perempuan.
Sara Mills dalam model analisis wacana kritisnya memiliki dua pembagian, yakni
antara posisi subjek-objek dan posisi penulis-pembaca. Pada bagian subjek-objek yang
menjadi perhatian adalah melihat bagaimana ditampilkannya posisi subjek dan posisi objek
penceritaan dalam suatu teks, agar dapat memengaruhi terciptanya struktur pada teks. Berbeda
dengan posisi subjek-objek, posisi penulis-pembaca berkaitan dengan seperti apa seseorang,
kelompok orang, pemikiran, ataupun peristiwa yang ditampilkan melalui wacana tertentu yang
dilakukan dengan cara tertentu sehingga hal tersebut dapat memengaruhi kepada penerima
teks yakni pada pembaca (Eriyanto, 2012).Dengan begitu dapat dikatakan bahwa dalam
sebuah teks terdapat wacana tertentu yang ditampilkan.
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap novel Lebih Putih Dariku. Penelitian dilakukan untuk mengkaji
diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan pribumi dalam novel Lebih Putih Dariku.
Peneliti menggunakan pendekatan analisis wacana kritis Sara Mills untuk melihat bagaimana
subjek tampil dan objek ditampilkan dalam teks.

B. Metodologi Penelitian
Peneliti menggunakan paradigima kritis dengan menggunakan metode kualitatif, serta
pendekatan analisis wacana kritis Sara Mills untuk menkaji diskriminasi dan ketidakdilan
terhadap perempuan pribumi dalam novel Lebih Putih Dariku.
Dengan teknik pengumpulan data yakni observasi terhadap novel lebih Putih Dariku,
lalu wawancara terhadap pembaca, dan dokumentasi, peneliti berhasi mengumpulkan data
yang menunjukan bahwa terdapat diskriminadi dan ketidakadilan terhadap perempuan pribumi
dalam novel Lebih Putih Dariku.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Diskriminasi terhadap Perempuan pribumi Jelata
Diskriminasi dan ketidakadilan adalah dua hal yang ingin disampaikan melalui tokoh
perempuan sebagai aktor sosial dalam wacana yang dimunculkan novel “Lebih Putih Dariku”.
Baik itu ketika karakter perempuan tersebut berada pada posisi subjek ataupun menempati
posisi objek. Hal itu dapat terlihat pada kutipan dibawah ini.
“Aku sendiri sejak berumur dua belas tahun sudah mengenakan jarit, tetapi dengan
kemben di bagian atas sebagai penutup dada. Gadis dari rakyat biasa tidak diperbolehkan
mengenakan kebaya” (Michielsen, hal. 29).
Kutipan diatas Piranti sebagai perempuan pribumi berada pada posisi subjek sekaligus
posisi objek. Piranti sebagai subjek karena dalam kalimat tersebut Piranti sebagai ‘aku
pencerita’ yang menceritakan kondisi pihak perempuan jelata. Ada pun Piranti sebagai objek
ditunjukkan dengan dia menceritakan apa yang dialami sebagai perempuan jelata. Pada masa
Hindia Belanda terdapat perbedaan antara perempuan pribumi (rakyat jelata) dengan
perempuan yang berasal dari keluarga keraton (bangsawan) mengenai apa yang boleh dan
tidak boleh dipakai. Perempuan biasa hanya diperbolehkan memakai kemben, berbeda dengan
keluarga keraton (bangsawan) yang diperbolehkan menggunkan kebaya yang tertera pada
kalimat “Gadis dari rakyat biasa tidak diperbolehkan mengenakan kebaya”. Hal tersebut
merupakan sebuah diskriminasi dalam struktur masyarakat yang feodalistik. Dalam sistem
Feodalisme kaum bangsawan memiliki kekuasaan yang memberikan keuntungan pada dirinya
dan merugikan pihak yang rakyat jelata (Nurfaidah, 2015). Sistem feodalisme tersebut
membuat perempuan pribumi yang bukan merupakan golongan bangsawan tidak boleh
memakai pakaian sebagaimana kaum bangsawan.
Diskriminasi yang berada pada tataran artifisial, yaitu sesuatu yang melekat dalam
tubuh, muncul dalam bentuk lain seperti kutipan dibawah ini.

Journalism
148 | Aksal Alfarizi Juliana, et al.

“Tentu saja ornamen-ornamen yang terindah terlarang buat kami, orang biasa. Hanya
Sultan, permaisurinya, putra mahkota dan istrinya yang diperbolehkan mengggunakan motif
parang Rusak, parang-parang yang membuat pemakianya tidak mengenal takut” (Michielsen,
hal. 37)
Kutipan diatas Piranti berada pada posisi subjek dan objek. Piranti sebagai subjek
karena dalam kalimat di atas berperan sebagai pencerita yang menceritakan aturan keraton
tentang penggunaa perhiasan. Sedangkan Piranti sebagai objek yakni pihak yang diceritakan
tentang pengalaman dia sebagai rakyat biasa dalam lingkungan keraton. Perempuan biasa
(piranti) dilarang untuk memakai memakai ornament-ornamen indah, yang dibuktikan dengan
kutipan “Tentu saja ornamen-ornamen yang terindah terlarang buat kami, orang biasa”.
Demarkasi ini merupakan diskriminasi terhadap perempuan biasa yang hidup dalam
masyarakat feodal. Feodalisme adalah paham yang memandang bahwa kekuasaan berada di
tangan bangsawan dibanding rakyat jelata (Harahap, 2019). Pandangan tersebut membuat
perempuan pribumi biasa mendapat diskriminasi yang dimana, kaum bangsawan yang
memiliki kekuasaan mengatur apa yang pantas dan apa yang tidak pantas bagi rakyat jelata.
Dalam hal ini kaum bangsawan pantas untuk memakai ornamen indah, dan bagi perempuan
pribumi jelata dilarang untuk memakainya.

Pemaksaan Kehendak pada Perempuan Pribumi Jelata


Sistem feodalisme yang begitu kuat digunakan pada masa Hindia Belanda menciptakan
bentuk-bentuk relasi kuasa. Feodalisme pada masa itu berarti para tuan tanah atau pemilik
modal adalah yang paling berkuasa (Perwitasari & Hendariningrum, 2014). Akibat itulah,
sistem pengelompokkan masyarakat terjadi, termasuk terciptanya patriarki. Hal itu disebabkan
karena sistem feodalisme memperlihatkan laki-laki yang memiliki kualitas untuk bekerja
dibanding perempuan.
Bentuk konkret pada masa itu yang memperlihatkan bahwa perempuan adalah
masyarakat kelas dua, salah satunya ditunjukkan dengan perempuan tidak memiliki kehendak
bebas dalam menentukan nasibnya sendiri. Hal tersebut ditampilkan pada kutipan dibawah ini
yang memperlihatkan kawin paksa yang terjadi pada tokoh di novel “Lebih Putih Dariku”.
“kurasa sudah tiba waktunya menentukan hari perkawinan, kata mbok Inten yang tidak
ingin keberhasilannya luput dari tangannya. “Kita harus segera menentukan Langkah-langkah
berikutnya.”
“Aku tidak mau,” ulangku sekali lagi
“Sudahlah, Piranti kamu diam saja,” kata ibuku sembari menuangkan minuman sekali
lagi buat tamunya. “Umurmu sekarang enam belas. Mestinya aku mengawinkanmu tiga tahun
lalu. Barangkali jauh lebih baik begitu.” (Michielsen, hal. 81)
Kutipan diatas Piranti berada pada posisi subjek sekaligus objek. Piranti sebagai
subjek yakni pihak pencerita yang menceritakan praktik perjodohan terhadap perempuan
pribumi. Sekalipun Piranti sebagai objek yakni pihak yang diceritakan, merasakan paksaan
terhadap praktik perjodohan. Kutipan di atas menceritakan bahwa Piranti tidak boleh melawan
terhadap keputusan ibunya yang akan menjodokan dirinya, dibuktikan dengan kutipan
“Sudahlah, Piranti kamu diam saja,”. Selain itu, tertera pada kalimat “Umurmu sekarang
enam belas. Mestinya aku mengawinkanmu tiga tahun lalu” kutipan ini menunjukan letak
kekuasaan keluarga (ibunya) terhadap Piranti yang dipaksa untuk kawin sesuai pilihan
keluarga. Pemaksaan yang dilakukan ibunya kepada Piranti disini adalah ketika ibunya
mengatakan kepada Piranti untuk mau menikahi sesuai dengan pilihan ibunya. Padahal Piranti
tidak mengingingkan laki-laki yang ibunya pilihkan dan Piranti ingin laki-laki yang sesuai
dengan pilihan dirinya Sendiri. Pemaksaan tersebut merupakan bentuk penindasan terhadap
perempuan pribumi yang hidup dalam masyarakat patriarki karena Piranti tidak dapat
menentukan pilihan hidupnya sendiri. Dalam masyarakat patriaki laki-laki merasa berhak
untuk mengatur kehidupan perempuan (Mutiah, 2019). Perempuan pribumi mengalami
penindasan karena dipaksa untuk menikah oleh pihak keluarga.

Vol. 3 No. 2 (2023), Hal: 145-152 ISSN: 2828-2175


Diksiminasi dan Ketidakadilan terhadap… | 149

Diskriminasi Rasial pada Perempuan Pribumi Jelata


Kolonialisme di masa Hindia Belanda telah membuat kehidupan orang-orang pribumi
mendapatkan kesengsaran hidup. Orang pribumi di masa Hindia Belanda mendapatkan
perlakukan rasis oleh bangsa Belanda. Perlakukan rasis tersebut yang membuat kaum pribumi
selalu mengalami diskriminasi rasial. Bangsa barat menganggapan bahwa ras kulit putih
(kaukasia) yang lebih unggul daripada ras mongoloid atau ras lainnya (Solihah & Dienaputra,
2018). Anggapan tersebut yang membuat bangsa barat merasa lebih superior daripada kaum
pribumi.
Diskriminasi rasial pun dialami perempuan pribumi yang bekerja terhadap nyonya
Belanda. Kedudukan perempuan pribumi yang menjadi babu bagi orang Belanda membuatnya
selalu mengalami diskriminasi rasial. Hal itu pun dapat terlihat dalam seperti kutipan di bawah
ini.
Kamu boleh memanggilku Nyonya Lot, “katanya sambil memandangiku dari atas
sampai ke bawah “Astaga, mau apa Rudolph dengan anak seperti ini?”katanya mengomel.
“O ya, Tuan Gey van Pittous itu teman baik suamiku, Arnould van Boekhout. Dia
minta tolong aku buat mengajarimu. Pertama-tama kita mulai dengan menunjukan tempatmu.
Kamu nyai pribumi, berbeda sekali dengan nyonya rumah. Kamu tidak boleh terlihat dan
tugasmu mengatur semuanya supaya berjalan lancar (Michielsen, hal. 95)
Berdasarkan kutipan di atas Isah berada pada posisi subjek sekaligus posisi objek. Isah
sebagai subjek yakni pihak pencerita yang menceritakan tentang perlakukan bangsa Belanda
terhadap perempuan pribumi. Sebagai objek Isah diceritakan bahwa dia mengalami
perendahan diri sebagai perempuan pribumi oleh bangsa Belanda. Kutipan tersebut
menceritakan bagaimana perlakuan Lot kepada Isah dengan menempatkan batasan antara
kedudukan Lot dan kedudukan Isah itu berbeda yang dibuktikan dengan kalimat “Kamu nyai
pribumi, berbeda sekali dengan nyonya rumah”. Pembedaan itu membuat posisi nyai yang
dimiliki Isah menjadi pihak terpinggirkan sebagai perempuan pribumi. Hal itu merupakan
bentuk diskriminasi rasial terhadap perempuan pribumi. Tindakan diskriminasi rasial
mengganggap bahwa ras kulit putih (kaukasia) yang direpresentasikan oleh bangsa Belanda
lebih unggul daripada ras mongoloid (pribumi) (Solihah & Dienaputra, 2018). Dalam hal ini
perempuan pribumi mendapatkan diskriminasi ras oleh pihak bangsa kolonial yang merasa
bahwa ras kulit putih lebih unggul daripada ras lainnya.
Diskriminasi rasial juga terjadi ketika perempuan pribumi diharuskan jongkok
dihadapan bangsa Belanda, seperti pada kutipan dibawah ini.
Aku menyelanya: “Nyonya Lot, Gey ingin makan masakan Eropa.”
“Apa kau bilang? Maksudmu Tuan Rudolph. Sekali lagi, kamu mesti tahu tempatmu.
Kamu adalah perantara antara Tuan Rudolph dan pelayan-pelayannya, dia pada dasarnya tidak
perlu berbicara langsung dengan mereka. Sekalian belajara kebiasaan Eropa, biar tidak
ketahuan kalau kamu orang kampung. Kalau ada tamu datang, kamu bungkuk, layani,
bungkuk lagi, terus pergi. Jangan menatap ke mata mereka. (Michielsen, hal. 96)
Pada kutipan diatas Isah ada pada posisi subjek sekaligus objek. Isah sebagai subjek
menceritakan tentang kedudukan antaran bangsa kolonial dan bangsa pribumi. Isah sebagai
objek yakni pihak yang diceritakan mengalami diskriminiasi yang dilakukan bangsa kolonial.
Kutipan di atas menceritakan tentang perlakuan bangsa kolonial yang merendahkan
perempuan pribumi yang dibuktikan dengan kalimat “Kalau ada tamu datang, kamu bungkuk
terus pergi. Jangan menatap ke mata mereka”. Kalimat tersebut merupakan diskriminasi
terhadap perempuan pribumi. Diskriminasi yang dialami pribumi termasuk ke dalam
diskriminasi rasial yang mengganggap bahwa ras kulit putih lebih unggul dibandingkan
dengan ras kulit berwarna (pribumi) (Solihah & Dienaputra, 2018). Isah sebagai perempuan
pribumi diperlakukan diskriminastif dengan harus jongkok dihadapan sang tuan yakni bangsa
kolonial yang merasa bahwa bangsanya lebih unggul dibanding pribumi.

Ketidakadilan terhadap Perempuan Pribumi Jelata


Kehidupan perempuan pribumi yang menjadi nyai bagi orang Belanda mengalami
ketidakadilan karena bagi orang Belanda status nyai lebih mudah untuk ditinggalkan dan dapat

Journalism
150 | Aksal Alfarizi Juliana, et al.

diperlakukan apapun (Irenewaty, 2016). Ketidakadilan yang dialami perempuan pribum yang
menjadi seorang nyai dapat terlihat dalam kutipan dibawah ini.
“Aku bakal pergi lama sekali, Isah” jawab gey. “Aku akan menikah di Haarlem
dengan perempuan yang sudah empat tahun menungguku di Belanda. Aku berjanji akan
menjemputnya. Rumah tangga ini akan berhenti dan bila aku Kembali bersama istirku ke
Hindia Belanda, kami akan mencari rumah yang lain.”
Seolah-seolah dengan tangan kosong dia menampar wajahku. Aku tercekat di kursiku.
(Michielsen, hal. 155)
kutipan diatas Isah berada pada posisi subjek dan objek. Isah sebagai subjek
menceritakan tentang nasib perempuan pribumi. Isah sebagai objek yakni pihak yang ceritakan
mengalami ketidakadilan sebagai perempuan pribumi (nyai). Kutipan di atas menceritakan
bahwa Gey akan pergi meninggalkan Isah ke Belanda dengan waktu yang lama sekali
dibuktikan dengan kalimat ““Aku bakal pergi lama sekali, Isah” jawab gey. Gey tidak
bertanggung jawab terhadap Isah pergi meninggalkannya dengan alasan bahwa Gey akan
menikah di Belanda dengan seorang peremuan yang sudah menunggunya lama, dibuktikan
dengan kalimat “ Aku akan menikah di Haarlem dengan perempuan yang sudah empat tahun
menungguku di Belanda”. Orang-orang Belanda beranggapan bahwa adanya status nyai lebih
mudah dan menguntungkan daripada menikah secara resmi karena dengan status nyai lebih
mudah untuk ditinggalkan dan dapat diperlakukan apapun (Irenewaty, 2016). Anggap tersebut
menciptakan sebuah ketidakdilan bagi seorang perempuan pribumi yang menjadi nyai karena
akan dengan mudah ditinggalkan oleh tuannya orang Belanda.
Penulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama “aku”. Penggunaan “aku”
disini menjadi penting karena melalui kata “aku” penulis melakukan mengomunikasikan
kepada pembaca untuk pengalaman yang dialami sang tokoh “aku” dalam novel Lebih Putih
Dariku yaitu Isah.
Lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bukankah aku ibu dari dua anak perempuanya,
yang sudah merawatnya bertahun-tahun? Bukankah aku adalah istrinya, kekasihnya..
pelayannya? Bukankah aku adalah apa saja buatnya? Apa yang bisa diberikan perempuan di
Belanda itu kepadanya? (Michielsen, hal. 156)
Kutipan diatas Isah ada pada posisi subjek sekaligus objek. Isah sebagai subjek
pencerita menceritakan ketidakjelasan nasib perempuan pribumi. Isah sebagai objek yakni
pihak yang diceritakan mengalami penderitaan terhadap nasib perempuan pribumi. Kutipan di
atas menceritakan bahwa Isah ditinggalkan oleh Gey ke Belanda. Isah lalu mempertanyakan
ketidakjelasan kehidupannya yang dibuktikan dengan kalimat “Lalu bagaimana dengan aku
sendiri? Isah kebingungan bagaimana untuk merawat anaknya dan apa status antara dirinya
dan Ge, apakah dirinya itu istri atau pelayan dalam kehidupan Gey. Pada titik ini Gey tidak
memiliki tanggung jawab terhadap Isah serta anaknya dan hal itu merupakan bentuk
ketidakadilan yang di alami perempuan pribumi yang menjadi nyai. Nyai adalah seorang
perempuan pribumi yang bertugas mengatur rumah tangga, dan hidup bersama laki-laki Eropa.
Nyai akan tinggal bersamanya, makan dengannya, menemaninya dan tidur bersamanya
(Irenewaty, 2016). Status Isah sebagai seorang nyai membuatnya harus mengalami
ketidakadilan yang dilakukan bangsa kolonial.
Ya Allah, pilihan macam apa ini? Aku takut bakal kehilangan anak-anakku, bahwa
aku tidak akan pernah melihat mereka lagi, atau hanya bisa menyaksikan dari jauh ketika
mereka tumbuh menjadi gadis cilik dan remaja. Aku berpikir mereka bakal dirampas dariku.
(Michielsen, hal 178)
Kutipan di atas penulis menggunakan sudut pandang orang pertama “aku” yang
menyapa pembaca untuk merasakan ketidakadilan yang di alami nyai di masa Hindia Belanda.
Penyapaan dengan menggunakan kata “aku” sebagai sudut pandang orang pertama ini adalah
komunikasi yang dilakukan penulis kepada pembaca untuk masuk ke dalam teks. Seperti yang
dikatakan oleh pembaca novel Lebih Putih Dariku yang ikut merasakan yang Isah alami.
Aku merasa ada diposisi Isah. Isah mengalami ketidakadilan sebagai perempuan
pribumi yang menjadi nyai orang Belanda. Dan juga sedih melihat kehidupan Isah yang
ditinggalkan oleh orang Belanda itu (Kani, 2023).

Vol. 3 No. 2 (2023), Hal: 145-152 ISSN: 2828-2175


Diksiminasi dan Ketidakadilan terhadap… | 151

Komunikasi yang penulis sampaikan membuat pembaca ikut merasakan pengalaman


Isah sebagai nyai orang Belanda. Sebagaimana menurut Effendy (2007) fungsi komunikasi
yaitu untuk memengaruhi, artinya bahwa komunikasi memiliki fungsi untuk memberikan efek
dari sang komunikator kepada sang komunikan. Selain itu dengan menggunakan kata “aku”
membuat pembaca hadir dalam teks. Penggunaan kata “aku”, menunjukkan keakraban antara
penulis dan pembaca (Utama, 2012). Penulis dengan menggunakan kata “aku” berhasil
mengomunikasikan ide kepada pembaca, sehingga Pembaca ikut merasakan pengalaman Isah
menjadi nyai dan turut sedih melihat kehidupan Isah yang ditinggalkan begitu saja.
Aku bakal menjadi babu buat anak-anakku sendiri. Mereka tidak akan pernah tahu
bahwa aku yang melahirkan mereka, atau tentang bapak mereka sebenarnya. Bukan kuasaku
untuk menyuruh mereka memanggil Lot dan Arnould sebagai “mama” dan “papa”. Tak ada
lagi yang bisa kutentukan sendiri. Tidak diragukan lagi itu adalah hal terberat yang harus
kulakukan dalam hidupku. (Michielsen, hal 179-180)
Pada kutipan di atas penulis menggunakan sudut pandang orang pertama “aku”
mengajak pembaca untuk ikut merasakan penderitaan yang di alami nyai yang harus menjadi
babu untuk anaknya sendiri. Penggunaan “aku” adalah komunikasi yang penulis kepada
pembaca dengan tujuan pembaca dapat ikut merasakan apa yang terjadi dalam teks.
Sebagaimana yang dikatakan pembaca novel Lebih Putih Dariku.
“dia harus jadi babu oleh anak-anaknya, ini anak-anaknya Enggak tahu dia ibunya,
gue merasa miris, tapi di saat yang sama juga gue bersyukur gue bisa hidup di zaman sekarang
gitu” (Mei, 2023).
Pembaca ikut merasakan penderitaan Isah yang harus menjadi babu untuk anaknya.
Perasaan tersebut terjadi karena adanya komunikasi antara penulis kepada pembaca.
Komunikasi merupakan proses ketika sebuah ide dipindahkan dari satu sumber ke sumber
lainnya (Mulyana, 2014). Penulis memindahkan ide tentang penderitaan Isah kepada pembaca
lewat penggunaan sudut pandang orang pertama yakni kata “aku”. Penggunaan kata “aku”,
menunjukkan keakraban antara penulis dan pembaca (Utama, 2012). Penggunaan kata “aku”
yang menunjukan keakraban tersebut membuat pembaca merasakan cerita yang ada dalam
novel Lebih Putih Dariku.
Berdasarkan paparan tersebut, ada diskriminasi dan ketidakadilan pada perempuan
pribumi di masa Hindia Belanda. Pengarang melalui novel Lebih Putih Dariku
memperlihatkan bahwa perempuan pribumi di masa Hindia Belanda mendapatkan
diskriminasi baik itu secara kultural seperti tidak boleh memakai perhiasan tertentu maupun
secara rasial yang meletakan kaum pribumi lebih rendah daripada bangsa asing. Adapun
ketidakadilan seperti saat seorang nyai ditinggalkan begitu saja oleh tuannya. Pengarang
melalui novel Lebih Putih Dariku mengajak pembaca untuk terus memperjuangkan nilai-nilai
keseteraan sebagai manusia, baik itu antara laki-laki dengan perempuan ataupun secara
perbedaan ras. Sebagaimana feminisme gelombang kedua yang memperjuangkan keseteraan
perempuan dalam perbedaan ras (Rahayu, 2022). Maka dengan begitu diharapkan bahwa
masyarakat dapat memperjuangkan terus nilai-nilai keadilan untuk menciptakan masyarakat
yang setara dalam segala aspek kehidupan sehingga tidak akan ada lagi manusia yang
mengalami dikriminasi dan ketidakadilan.

D. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan dan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka
peneliti menarik beberapa kesimpulan.
1. Posisi subjek objek pada novel Lebih Putih Dariku adalah Isah sebagai perempuan
pribumi mendapatkan diskriminasi dan ketidakadilan di masa Hindia Belanda. Isah
sebagai perempuan pribumi berada pada posisi subjek sekaligus objek. Isah sebagai
perempuan pribumi jelata mendapatkan diskriminasi, baik itu secara kultural yaitu
karena Isah hidup dalam struktur masyarakat feodal sehingga membuatnya mengalami
diskriminasi dari kaum bangsawan. adapun Isah juga mendapatkan diskriminasi rasial
terhadap dirinya yang dilakukan oleh orang Belanda yang mengganggap bahwa ras
kulit putih lebih unggul daripada kaum pribumi. Ketidakadilan pun dialami Isah

Journalism
152 | Aksal Alfarizi Juliana, et al.

sebagai perempuan pribumi yang menjadi seorang nyai. Isah mendapatkan


ketidakadilan yakni Isah ditinggalkan begitu saja oleh tuannya Gey. Bagi orang
Belanda seorang nyai tidaklah begitu penting, sehingga mereka dapat dengan mudah
ditinggalkan begitu saja.
2. Pada posisi pembaca berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap novel
Lebih Putih Dariku. Penulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama “aku”
mengomunikasikan kepada pembaca untuk ikut merasakan apa yang dialami Isah
sebagai perempuan pribumi yang hidup di masa Hindia Belanda. Penggunaan kata
“aku” membuat pembaca ikut merasakan diskriminasi dan ketidakadilan yang Isah
alami. Pengalaman pembaca yang ikut merasakan perasaan diskriminasi dan
ketidakadilan yang Isah alami merupakan keberhasilan penulis dalam menempatkan
pembaca pada posisi Isah sebagai perempuan pribumi.

Daftar Pustaka
[1] Eriyanto. (2012). Analisis wacana: pengantar analisis teks media. LKiS Yogyakarta.
[2] Fatharani, Dila Putri, and Dian Widya Putri. 2023. “Pengaruh Fashion Influencer Thrift
@rayiputra26 Terhadap Gaya Busana Followers Instagram @rayiputra26.” Jurnal Riset
Jurnalistik Dan Media Digital 3(1):19–24.
[3] Harahap, S. H., Sunendar, D., & Damaianti, V. S. (2019). REPRESENTASI
KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM DRAMA AH, MATJAM-
MATJAM MAOENJA KARYA MOLIERE: KAJIAN SEMIOTIK. Seminar
Internasional Riksa Bahasa.
[4] Irenewaty, T. (2016). Eksistensi Perjuangan Wanita Masa Kolonial. ISTORIA Jurnal
Pendidikan Dan Ilmu Sejarah, 12(1).
[5] Lubis, F. W. (2020). Analisis Androgini Pada Novel “Amelia” Karya Tere-Liye. Jurnal
Serunai Bahasa Indonesia, 17(1), 1–6.
[6] Mulyana, D. (2014). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya.
[7] Mulyanto, D., & Abdulgani, F. (n.d.). Friedrich Engels Pemikiran dan Kritik (2020th
ed.). ULTIMUS.
[8] Mutiah, R. (2019). Sistem patriarki dan kekerasan atas perempuan. Komunitas, 10(1),
58–74.
[9] Nurfaidah, R. (2015). Feodalisme dalam Novel Pipisahan karya RAF. Patanjala:
Journal of Historical and Cultural Research, 7(1), 81–96.
[10] Nurgiyantoro, B. (2010). Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press.
[11] Perwitasari, M. E., & Hendariningrum, R. (2014). Analisis wacana kritis feodalisme dan
diskriminasi perempuan Jawa dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
Jurnal Ilmu Komunikasi, 7(3), 212–227.
[12] Rahayu, R. (2022). Praxis Gerakan Feminis di Indonesia: Dinamika Aksi Politik dan
Produksi Pengetahuan. Jurnal Perempuan, 27, 107–130.
[13] Rita Gani, and Citra Rosalyn Anwar. 2022. “Nyaman Dan Aman Ketika Bermain Di
Ruang Digital.” Jurnal Riset Jurnalistik Dan Media Digital 115–20. doi:
10.29313/jrjmd.v2i2.1365.
[14] Santi Indra Astuti, and Juli R. Binu. 2022. “Memberdayakan Komunitas Lokal Dalam
Gerakan Literasi Digital.” Jurnal Riset Jurnalistik Dan Media Digital 2(2):77–90. doi:
10.29313/jrjmd.v2i2.1350.
[15] Afandi, A. N., Swastika, A. I., & Evendi, E. Y. (2020). Pendidikan pada masa
pemerintah kolonial di hindia belanda tahun 1900-1930. Jurnal Artefak Vol, 7(1).
[16] Solihah, N., & Dienaputra, R. D. (2018). Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda
Sripanggung Karya Tjaraka: Analisis Dekonstruksi Derrida. Patanjala, 10(3), 291903.
[17] Utama, H. (2012). Pemakaian deiksis persona dalam bahasa indonesia. Students E-
Journal, 1(1), 7.

Vol. 3 No. 2 (2023), Hal: 145-152 ISSN: 2828-2175

You might also like