Professional Documents
Culture Documents
8391-Article Text-14609-1-10-20230829
8391-Article Text-14609-1-10-20230829
8391
Corresponding Author
Email: andalusianp@gmail.com 145
146 | Aksal Alfarizi Juliana, et al.
A. Pendahuluan
Perempuan selalu mengalami diskriminasi dan ketidakadilan dalam struktur masyarakat.
Dalam struktur masyarakat, perempuan mendapatkan diskriminasi dengan menganggap bahwa
perempuan tidak memiliki kemampuan untuk menentukan masa depan dirinya sendiri. Masa
depan perempuan selalu ditentukan oleh yang bukan dirinya, baik itu negara, keluarga ataupun
laki-laki. Bahkan ada anggapan bahwa perempuan itu seharusnya hanya di rumah
mengerjakan urusan domestik. Pandangan yang membuat perempuan menjadi liyan ini muncul
dalam bentuk masyarakat patriarki.
Kehidupan perempuan yang selalu mengalami diskriminasi berkembang dalam bentuk
masyarakat patriarki. Dalam masyarakat patriarki, kehidupan perempuan diatur oleh pihak
laki-laki. Menurut Engels bentuk masyarakat patriarki berasal dari penyingkiran perempuan
pada lapangan produksi sosial dan dialihkan pada pekerjaan rumah tangga yang bersifat
domestik (Mulyanto & Abdulgani). Tersingkirnya perempuan dalam corak produksi sosial
membuat perempuan terus mengalami diskriminasi dan ketidakadilan dalam masyarakat.
Diskriminasi dan ketidakadilan yang dirasakan perempuan terjadi pada masa kolonial,
terlebih terhadap perempuan pribumi. Perempuan pribumi hidup dalam dua struktur
masyarakat yakni feodalisme dan kolonialisme. Feodalisme merupakan sistem kekuasaan yang
memberikan keuntungan pada keluarga bangsawan dan merugikan rakyat jelata (Nurfaidah,
2015). Sementara itu, kolonialisme merupakan suatu upaya untuk mengusai wilayah bangsa
lain dengan tujuan menguras sumber daya suatu bangsa yang di kuasai (Afandi, 2020).
Feodalisme dan kolonialisme tumbuh dan mengakar dalam kehidupan masyarakat Hindia-
Belanda, sehingga berdampak terhadap kehidupan perempuan pribumi yang semakin
terpinggirkan dalam masyarakat (Fatharani and Putri 2023).
Kedudukan perempuan pribumi pada masa Hindia Belanda berada pada struktur yang
paling bawah. Status tersebut membuat perempuan pribumi tidak memiliki hak untuk
kehidupannya sendiri. Ketika beranjak remaja, yaitu sebelum berumur dua puluh tahun,
perempuan pribumi akan langsung dijodohkan. Praktik perjodohan itu dilakukan oleh orang
tua mereka dan hal tersebut tidak bisa ditolak. Hal tersebut membuat perempuan pribumi tidak
dapat menentukan nasib dan masa depan kehidupan dirinya sendiri karena sudah ditentukan
oleh orang tua mereka (Santi Indra Astuti and Juli R. Binu 2022).
Kehidupan perempuan pribumi pada masa Hindia-Belanda pun dapat terlihat dalam
beberapa karya sastra. Misalnya beberapa karya sastra yang ditulis oleh Pramoedya Ananta
Toer. Dalam Bumi Manusia Pramoedya menciptakan tokoh bernama Nyai Ontosoroh yang
diceritakan sebagai perempuan pribumi yang mempunyai karakter kuat dan cerdas. Selain
Bumi Manusia, Pramoedya menulis pula novel berjudul Gadis Pantai. Gadis Pantai
menceritakan kehidupan perempuan pribumi bernama Gadis Pantai yang memiliki karakter
lemah. Gadis Pantai hidup di dalam masyarakat yang feodal. Pramoedya melalui karya sastra
ingin menyampaikan pesan bahwa perempuan selalu mengalami ketidakadilan dalam struktur
masyarakat.
Selain novel Bumi Manusia dan Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Terdapat
salah satu novel yang menceritakan kehidupan perempuan pribumi di masa kolonial. Novel
tersebut berjudul Lebih Putih Dariku yang menceritakan kehidupan perempuan yang berada di
bawah sistem feodalisme dan kolonialisme. Lewat kedua sistem itu perempuan pribumi
diceritakan mengalami berbagai bentuk ketidakadilan dan diskrimansi yang ditulis dengan
baik oleh sang pengarang (Rita Gani and Citra Rosalyn Anwar 2022).
Novel Lebih Putih Dariku adalah novel karangan penulis sekaligus jurnalis
berkebangsaan Belanda yang bernama Dido Michielsen. Dido Michielsen menulis novel
tersebut dalam bahasa Belanda dengan judul Lichter ik, kemudian diterjemahkan ke bahasa
Indonesia. Penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia dilakukan oleh Martha Dwi Susilowati.
Selanjutnya oleh Marjin Kiri diterbitkan pertama kali tahun 2022 dalam bahasa Indonesia.
Pada tahun 2020 silam, novel ini berhasil mendapatkan penghargaan dalam Nederlandse
Boekhandelsprijs
Perempuan pribumi dalam novel Lebih Putih Dariku mengalami berbagai bentuk
ketidakadilan dan diskriminasi. Untuk membongkar hal itu penelitian ini menggunakan
pendeketan analisis wacana kritis yang dikemukakan oleh Sara Mills. Model analisis wacana
kritis Sara Mills juga dikenal dengan perspektif feminis yang melihat bahwa ada bias dalam
sebuah teks ketika menampilkan perempuan.
Sara Mills dalam model analisis wacana kritisnya memiliki dua pembagian, yakni
antara posisi subjek-objek dan posisi penulis-pembaca. Pada bagian subjek-objek yang
menjadi perhatian adalah melihat bagaimana ditampilkannya posisi subjek dan posisi objek
penceritaan dalam suatu teks, agar dapat memengaruhi terciptanya struktur pada teks. Berbeda
dengan posisi subjek-objek, posisi penulis-pembaca berkaitan dengan seperti apa seseorang,
kelompok orang, pemikiran, ataupun peristiwa yang ditampilkan melalui wacana tertentu yang
dilakukan dengan cara tertentu sehingga hal tersebut dapat memengaruhi kepada penerima
teks yakni pada pembaca (Eriyanto, 2012).Dengan begitu dapat dikatakan bahwa dalam
sebuah teks terdapat wacana tertentu yang ditampilkan.
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap novel Lebih Putih Dariku. Penelitian dilakukan untuk mengkaji
diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan pribumi dalam novel Lebih Putih Dariku.
Peneliti menggunakan pendekatan analisis wacana kritis Sara Mills untuk melihat bagaimana
subjek tampil dan objek ditampilkan dalam teks.
B. Metodologi Penelitian
Peneliti menggunakan paradigima kritis dengan menggunakan metode kualitatif, serta
pendekatan analisis wacana kritis Sara Mills untuk menkaji diskriminasi dan ketidakdilan
terhadap perempuan pribumi dalam novel Lebih Putih Dariku.
Dengan teknik pengumpulan data yakni observasi terhadap novel lebih Putih Dariku,
lalu wawancara terhadap pembaca, dan dokumentasi, peneliti berhasi mengumpulkan data
yang menunjukan bahwa terdapat diskriminadi dan ketidakadilan terhadap perempuan pribumi
dalam novel Lebih Putih Dariku.
Journalism
148 | Aksal Alfarizi Juliana, et al.
“Tentu saja ornamen-ornamen yang terindah terlarang buat kami, orang biasa. Hanya
Sultan, permaisurinya, putra mahkota dan istrinya yang diperbolehkan mengggunakan motif
parang Rusak, parang-parang yang membuat pemakianya tidak mengenal takut” (Michielsen,
hal. 37)
Kutipan diatas Piranti berada pada posisi subjek dan objek. Piranti sebagai subjek
karena dalam kalimat di atas berperan sebagai pencerita yang menceritakan aturan keraton
tentang penggunaa perhiasan. Sedangkan Piranti sebagai objek yakni pihak yang diceritakan
tentang pengalaman dia sebagai rakyat biasa dalam lingkungan keraton. Perempuan biasa
(piranti) dilarang untuk memakai memakai ornament-ornamen indah, yang dibuktikan dengan
kutipan “Tentu saja ornamen-ornamen yang terindah terlarang buat kami, orang biasa”.
Demarkasi ini merupakan diskriminasi terhadap perempuan biasa yang hidup dalam
masyarakat feodal. Feodalisme adalah paham yang memandang bahwa kekuasaan berada di
tangan bangsawan dibanding rakyat jelata (Harahap, 2019). Pandangan tersebut membuat
perempuan pribumi biasa mendapat diskriminasi yang dimana, kaum bangsawan yang
memiliki kekuasaan mengatur apa yang pantas dan apa yang tidak pantas bagi rakyat jelata.
Dalam hal ini kaum bangsawan pantas untuk memakai ornamen indah, dan bagi perempuan
pribumi jelata dilarang untuk memakainya.
Journalism
150 | Aksal Alfarizi Juliana, et al.
diperlakukan apapun (Irenewaty, 2016). Ketidakadilan yang dialami perempuan pribum yang
menjadi seorang nyai dapat terlihat dalam kutipan dibawah ini.
“Aku bakal pergi lama sekali, Isah” jawab gey. “Aku akan menikah di Haarlem
dengan perempuan yang sudah empat tahun menungguku di Belanda. Aku berjanji akan
menjemputnya. Rumah tangga ini akan berhenti dan bila aku Kembali bersama istirku ke
Hindia Belanda, kami akan mencari rumah yang lain.”
Seolah-seolah dengan tangan kosong dia menampar wajahku. Aku tercekat di kursiku.
(Michielsen, hal. 155)
kutipan diatas Isah berada pada posisi subjek dan objek. Isah sebagai subjek
menceritakan tentang nasib perempuan pribumi. Isah sebagai objek yakni pihak yang ceritakan
mengalami ketidakadilan sebagai perempuan pribumi (nyai). Kutipan di atas menceritakan
bahwa Gey akan pergi meninggalkan Isah ke Belanda dengan waktu yang lama sekali
dibuktikan dengan kalimat ““Aku bakal pergi lama sekali, Isah” jawab gey. Gey tidak
bertanggung jawab terhadap Isah pergi meninggalkannya dengan alasan bahwa Gey akan
menikah di Belanda dengan seorang peremuan yang sudah menunggunya lama, dibuktikan
dengan kalimat “ Aku akan menikah di Haarlem dengan perempuan yang sudah empat tahun
menungguku di Belanda”. Orang-orang Belanda beranggapan bahwa adanya status nyai lebih
mudah dan menguntungkan daripada menikah secara resmi karena dengan status nyai lebih
mudah untuk ditinggalkan dan dapat diperlakukan apapun (Irenewaty, 2016). Anggap tersebut
menciptakan sebuah ketidakdilan bagi seorang perempuan pribumi yang menjadi nyai karena
akan dengan mudah ditinggalkan oleh tuannya orang Belanda.
Penulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama “aku”. Penggunaan “aku”
disini menjadi penting karena melalui kata “aku” penulis melakukan mengomunikasikan
kepada pembaca untuk pengalaman yang dialami sang tokoh “aku” dalam novel Lebih Putih
Dariku yaitu Isah.
Lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bukankah aku ibu dari dua anak perempuanya,
yang sudah merawatnya bertahun-tahun? Bukankah aku adalah istrinya, kekasihnya..
pelayannya? Bukankah aku adalah apa saja buatnya? Apa yang bisa diberikan perempuan di
Belanda itu kepadanya? (Michielsen, hal. 156)
Kutipan diatas Isah ada pada posisi subjek sekaligus objek. Isah sebagai subjek
pencerita menceritakan ketidakjelasan nasib perempuan pribumi. Isah sebagai objek yakni
pihak yang diceritakan mengalami penderitaan terhadap nasib perempuan pribumi. Kutipan di
atas menceritakan bahwa Isah ditinggalkan oleh Gey ke Belanda. Isah lalu mempertanyakan
ketidakjelasan kehidupannya yang dibuktikan dengan kalimat “Lalu bagaimana dengan aku
sendiri? Isah kebingungan bagaimana untuk merawat anaknya dan apa status antara dirinya
dan Ge, apakah dirinya itu istri atau pelayan dalam kehidupan Gey. Pada titik ini Gey tidak
memiliki tanggung jawab terhadap Isah serta anaknya dan hal itu merupakan bentuk
ketidakadilan yang di alami perempuan pribumi yang menjadi nyai. Nyai adalah seorang
perempuan pribumi yang bertugas mengatur rumah tangga, dan hidup bersama laki-laki Eropa.
Nyai akan tinggal bersamanya, makan dengannya, menemaninya dan tidur bersamanya
(Irenewaty, 2016). Status Isah sebagai seorang nyai membuatnya harus mengalami
ketidakadilan yang dilakukan bangsa kolonial.
Ya Allah, pilihan macam apa ini? Aku takut bakal kehilangan anak-anakku, bahwa
aku tidak akan pernah melihat mereka lagi, atau hanya bisa menyaksikan dari jauh ketika
mereka tumbuh menjadi gadis cilik dan remaja. Aku berpikir mereka bakal dirampas dariku.
(Michielsen, hal 178)
Kutipan di atas penulis menggunakan sudut pandang orang pertama “aku” yang
menyapa pembaca untuk merasakan ketidakadilan yang di alami nyai di masa Hindia Belanda.
Penyapaan dengan menggunakan kata “aku” sebagai sudut pandang orang pertama ini adalah
komunikasi yang dilakukan penulis kepada pembaca untuk masuk ke dalam teks. Seperti yang
dikatakan oleh pembaca novel Lebih Putih Dariku yang ikut merasakan yang Isah alami.
Aku merasa ada diposisi Isah. Isah mengalami ketidakadilan sebagai perempuan
pribumi yang menjadi nyai orang Belanda. Dan juga sedih melihat kehidupan Isah yang
ditinggalkan oleh orang Belanda itu (Kani, 2023).
D. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan dan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka
peneliti menarik beberapa kesimpulan.
1. Posisi subjek objek pada novel Lebih Putih Dariku adalah Isah sebagai perempuan
pribumi mendapatkan diskriminasi dan ketidakadilan di masa Hindia Belanda. Isah
sebagai perempuan pribumi berada pada posisi subjek sekaligus objek. Isah sebagai
perempuan pribumi jelata mendapatkan diskriminasi, baik itu secara kultural yaitu
karena Isah hidup dalam struktur masyarakat feodal sehingga membuatnya mengalami
diskriminasi dari kaum bangsawan. adapun Isah juga mendapatkan diskriminasi rasial
terhadap dirinya yang dilakukan oleh orang Belanda yang mengganggap bahwa ras
kulit putih lebih unggul daripada kaum pribumi. Ketidakadilan pun dialami Isah
Journalism
152 | Aksal Alfarizi Juliana, et al.
Daftar Pustaka
[1] Eriyanto. (2012). Analisis wacana: pengantar analisis teks media. LKiS Yogyakarta.
[2] Fatharani, Dila Putri, and Dian Widya Putri. 2023. “Pengaruh Fashion Influencer Thrift
@rayiputra26 Terhadap Gaya Busana Followers Instagram @rayiputra26.” Jurnal Riset
Jurnalistik Dan Media Digital 3(1):19–24.
[3] Harahap, S. H., Sunendar, D., & Damaianti, V. S. (2019). REPRESENTASI
KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM DRAMA AH, MATJAM-
MATJAM MAOENJA KARYA MOLIERE: KAJIAN SEMIOTIK. Seminar
Internasional Riksa Bahasa.
[4] Irenewaty, T. (2016). Eksistensi Perjuangan Wanita Masa Kolonial. ISTORIA Jurnal
Pendidikan Dan Ilmu Sejarah, 12(1).
[5] Lubis, F. W. (2020). Analisis Androgini Pada Novel “Amelia” Karya Tere-Liye. Jurnal
Serunai Bahasa Indonesia, 17(1), 1–6.
[6] Mulyana, D. (2014). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya.
[7] Mulyanto, D., & Abdulgani, F. (n.d.). Friedrich Engels Pemikiran dan Kritik (2020th
ed.). ULTIMUS.
[8] Mutiah, R. (2019). Sistem patriarki dan kekerasan atas perempuan. Komunitas, 10(1),
58–74.
[9] Nurfaidah, R. (2015). Feodalisme dalam Novel Pipisahan karya RAF. Patanjala:
Journal of Historical and Cultural Research, 7(1), 81–96.
[10] Nurgiyantoro, B. (2010). Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press.
[11] Perwitasari, M. E., & Hendariningrum, R. (2014). Analisis wacana kritis feodalisme dan
diskriminasi perempuan Jawa dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
Jurnal Ilmu Komunikasi, 7(3), 212–227.
[12] Rahayu, R. (2022). Praxis Gerakan Feminis di Indonesia: Dinamika Aksi Politik dan
Produksi Pengetahuan. Jurnal Perempuan, 27, 107–130.
[13] Rita Gani, and Citra Rosalyn Anwar. 2022. “Nyaman Dan Aman Ketika Bermain Di
Ruang Digital.” Jurnal Riset Jurnalistik Dan Media Digital 115–20. doi:
10.29313/jrjmd.v2i2.1365.
[14] Santi Indra Astuti, and Juli R. Binu. 2022. “Memberdayakan Komunitas Lokal Dalam
Gerakan Literasi Digital.” Jurnal Riset Jurnalistik Dan Media Digital 2(2):77–90. doi:
10.29313/jrjmd.v2i2.1350.
[15] Afandi, A. N., Swastika, A. I., & Evendi, E. Y. (2020). Pendidikan pada masa
pemerintah kolonial di hindia belanda tahun 1900-1930. Jurnal Artefak Vol, 7(1).
[16] Solihah, N., & Dienaputra, R. D. (2018). Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda
Sripanggung Karya Tjaraka: Analisis Dekonstruksi Derrida. Patanjala, 10(3), 291903.
[17] Utama, H. (2012). Pemakaian deiksis persona dalam bahasa indonesia. Students E-
Journal, 1(1), 7.