You are on page 1of 12

Volume 4 Issue 2, October 2022: pp. 184-195 Copyright @ BaLRev.

Faculty of Law, Lambung Mangkurat University, Banjarmasin,


BaLRev South Kalimantan, Indonesia. ISSN: 2715-4688 | e-ISSN: 2715-4742.
Open Access at: http://balrev.ulm.ac.id/index.php/balrev

Problematika Pencatatan Perkawinan Di Indonesia : Telaah Perbandingan


Pencatatan Perkawinan di beberapa Negara Asia Tenggara

Muhammad Yusmn1 Soffyan Angga Fahlani 2

Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Jl. Brigjen Hasan Basri, Banjarmasin,
Indonesia, 70123 Email : muhammad.yusman@ulm.ac.id

Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Jl. Brigjen Hasan Basri, Banjarmasin,
Indonesia, 70123 Email : soffyan.fahlani@ulm.ac.id

Submitted : 03-10-2022 Reviewed: 20-10-2022 Accepted:28-10-2022

Abstract: The enactment of Law No. 1 of 1974 concerning Marriage establishes


a new norm in the midst of the life of the Indonesian people in the field of marriage
law. The Marriage Law contains ijtihad that is foreign to Islamic society, namely
with regard to the registration of marriage as a necessity, besides that the validity
of the marriage is determined according to the pillars and conditions stipulated
in the Islamic religion. Even though, it aims to provide protection for those who
are married and their offspring. The existence of "dualism" in these norms caused
different meanings in society. There are those who consider it sufficient to comply
with religious provisions alone for the validity of the marriage and there are also
those who add registration as part of determining the validity of a marriage. As a
study material in looking at the problems of marriage registration, it is necessary
to compare the legal norms for registering marriages in parts of Southeast Asian
countries. The method used is normative legal research, namely a study that uses
legal materials obtained from library research. The legal materials used are
primary legal materials namely provisions of laws and regulations relating to
marriage, secondary materials (library research) are books and journals on
marriage law, while the type of research in this research is doctrinal research and
the approach used is comparative law approach. In this study, the results were
obtained, namely: In Indonesia, the registration of marriages is a must and its
legality will be recognized formally when marriages are registered, as stipulated
in Article 2 paragraph (2) of Law No. 1 of 1974 concerning Marriage and is
regulated in detail in Government Regulation Number 9 of 1975. However, the
reality in society is that there are still many who do not register and register
marriages with various kinds of problems, including for theological reasons
which consider marriage registration not a condition or pillar of marriage in
Islam or requirements according to customary law, or because of a second
marriage or more. And there are also because they consider registration matters
to be time-consuming and costly. In contrast to Malaysia and Brunei Darussalam,
registration and registration of marriages are expressly stated as administrative
obligations of its citizens, so when citizens do not comply they will be subject to
severe sanctions in the form of fines and imprisonment.

Keywords: Marriage Registration; Comparison of Laws; Several Southeast Asian


Countries.

184
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2

Abstrak: Lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


menetapkan norma baru di tengah kehidupan bangsa Indonesia dalam lapangan
hukum perkawinan. UU Perkawinan memuat ijtihad yang asing bagi masyarakat
islam yakni berkenaan dengan pencatatan perkawinan sebagai suatu keharusan,
disamping sahnya perkawinan ditentukan menurut rukun dan syarat yang
ditetapkan dalam agama islam. Meskipun itu bertujuan untuk memberikan
perlindungan bagi pihak yang melangsungkan perkawinan maupun anak
keturunannya. Adanya “dualime” norma tersebut menyebabkan pemaknaan yang
berbeda dalam masyarakat. Ada yang menganggap cukup memenuhi ketetapan
agama saja untuk sahnya suatu perkawinan dan adapula menambahkan
pencatatan sebagai bagian dalam menentukan sahnya perkawinan. Sebagai suatu
bahan kajian dalam melihat problematika pencatatan perkawinan perlu
memperbandingkan norma hukum pencatatan perkawinan di belahan negara Asia
Tenggara. Metode yang digunakan adalah Penelitian hukum normatif yaitu suatu
penelitian yang menggunakan bahan hukum yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yaitu
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan perkawinan,
bahan sekunder (library research) adalah buku-buku dan jurnal hukum
perkawinan, Sedangkan tipe penelitian dalam penelitian ini adalah Penelitian
Doktrinal (doctrinal research) dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perbandingan hukum. Dalam penelitian ini diperoleh hasil yaitu : Di Indonesia
pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan dan akan diakui kebsahannya
secara formal ketika perkawinan dicatatkan, sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat
(2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan secara terperinci diatur dalam
Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Namun realitas di masyakarat, masih
banyak yang tidak melakukan pendaftaran dan pencatatan perkawinan dengan
berbagai macam persoalan diantaranya karena alasan teologis yang menganggap
pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat atau rukun perkawinan dalam agama
islam ataupun syarat menurut hukum adat, atau karena perkawinan yang kedua
kalinya atau lebih, dan adapula karena menganggap urusan pendaftaran yang
memakan waktu dan biaya. Berbeda dengan di Negara Malaysia dan Brunei
Darussalam, pendaftaran dan pencatatan perkawinan secara tegas dinyatakan
sebagai kewajiban administratif warga negaranya, sehingga ketika warga negara
tidak melaksanakan akan dikenakan sanksi yang cukup berat berupa denda dan
sanksi pidana kurungan

Kata Kunci: Pencatatan Perkawinan; Perbandingan Hukum; Beberapa Negara


Asia Tenggara.

PENDAHULUAN
Perkawinan apabila dipandang secara lahiriah ialah merupakan hasrat biologis (reproduksi)
yang bertujuan untuk kelangsungan kehidupan manusia. Selain itu manusia sebagai makhuk yang
beradab, perkawinan pula dimaknai sebagai sebuah lembaga yang memberikan legitimasi seorang
pria dan wanita untuk bisa hidup dan berkumpul bersama dalam sebuah keluarga untuk mendapatkan
ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan.
Maka dari pernyataan tersebut di atas jelas bahwa alasan perkawinan dilakukan bukan hanya
atas aspek lahiriah berupa hubungan seksual atau biologis semata namun juga aspek bathiniah yakni
dapat mendatangkan ketenangan dan ketentraman jiwa.

185
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2

Perkawinan atau pernikahan bukan hanya ditandai dengan adanya akad atau kesepakatan dari
seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dalam sebuah keluarga, namun dimaknai
sebagai suatu lembaga yang sakral sehingga pelaksanaanya terikat dengan nilai-nilai luhur yang
bersumber dari ajaran agama ataupun kepercayaan. Sehingga adanya serangkaian tata tertib yang
oleh pihak yang melangsungkan perkawinan. Bahkan tata tertib tersebut sebagai penentu atas
keabsahan suatu perkawinan.
Dalam islam, keabsahan suatu perkawinan bergantung pada rukun dan syarat perkawinan.
Meskipun terdapat perbedaan antara kalangan fuqaha tentang bagian dalam rukun dan syarat
perkawinan tetapi semua sepakat bahwa terpenuhinya rukun dan syarat sebagai penentu keabsahan
suatu perkawinan.
Di Indonesia maupun Negara asia tenggara lainnya telah lama menganut agama islam yang
diperkirakan sejak abad 7 Masehi atau ada yang menyebut pada 13 Masehi. Maka ketentuan syariat
islam telah sangat mengakar dalam sendi- sendi kehidupan masyarakat termasuk berkenaan dengan
ketentuan dalam perkawinan sehingga harus benar-benar dipenuhi oleh pihak-pihak yang
melangsungkan perkawinan. Maka realitas masyarakat asia tenggara khususnya masyarakat
Indonesia sangat menjunjung tinggi dan berpegangan erat atas apa-apa saja yang ditentukan dalam
ajaran agama dan memaknainya sebagai suatu kebenaran yang utama.
Belakangan setelah Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah
berkuasa atas tanah air sehingga dapat menentukan arah tujuan bagi bangsanya, maka sebagai
pedoman dalam perkawinan dibentuklah Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang memuat ijtihad yang asing bagi masyarakat islam yakni berkenaan dengan pencatatan
perkawinan sebagai suatu keharusan. Meskipun itu bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi
pihak yang melangsungkan perkawinan maupun anak keturunannya.
Dalam realitasnya, keharusan pencatatan perkawinan hingga dewasa ini telah berusia setengah
abad sejak diundangkan, namun kenyataannya masih ada masyarakat yang tidak melakukan
pencatatan perkawinan dengan dalih bahwa perkawinan merupakan ranah privat yang seharusnya
negara tidak berhak ikut campur dalam urusan itu, cukup ketentuan agama yang menjadi pedoman
dalam urusan perkawinan mengingat perkawinan adalah bagian dari ajaran agama yang seharusnya
Negara memfasilitasi agar mempermudah dalam urusan perkawinan bukan sebaliknya. Lagi pula
dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sah nya suatu perkawinan ditentukan menurut agama atau
kepercayaan. Sehingga berpedoman dengan ketentuan tersebut bagi yang beragama Islam,
dikatakan sah apabila telah sesuai dengan tuntunan ajaran Islam dan memenuhi seluruh rukun
dan syarat yang ditetapkan.
Namun dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan ditentukan bahwa tiap-tiap perkawinan
dilakukan pencatatan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut apabila Pasal 2 ayat (1) dimaknai secara parsial maka
pencatatan perkawinan bukan menjadi bagian penentu sahnya suatu perkawinan, pencatatan hanya
menjadi persyaratan administratif yang harus dipenuhi bukan sebagai syarat sah perkawinan,
sedangkan apabila Pasal 2 tersebut dimaknai secara kumulatif maka pencatatan menjadi salah satu
penentu sahnya suatu perkawinan dalam hukum perkawinan di Indonesia. Problematika demikian
menarik bagi penulis untuk mengkaji lebih jauh bagaimana pencatatan perkawinan dilakukan dan
memperbandingkannya dengan mekanisme serta norma hukum pencatatan perkawinan di belahan
negara Asia Tenggara.

186
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2

METODE
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan atau studi dokumen, karena penelitian ini
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan tertulis atau pada bahan hukum lain.
Metode penelitian hukum normatif digunakan untuk melakukan analisis terhadap peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, maupun kontrak-kontrak.
Penelitian hukum normatif juga diartikan suatu penelitian yang menggunakan bahan hukum
yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum
primer, bahan sekunder (library research) serta bahan hukum tersier. Sedangkan tipe penelitian dalam
penelitian ini adalah Penelitian Doktrinal (doctrinal research).

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Perkawinan dan Pencatatannya
Sebelum memahami isitilah pendaftaran dan pencatatan perkawinan, terlebih dahulu penulis
kemukakan istilah perkawinan itu sendiri. Dalam literatur agama islam, Perkawinan disebut dengan
nikah (‫ )نكاح‬dan zawaj ( ‫)زواج‬. Secara etimologi, nikah (kawin) berarti “bergabung” ( ‫)ضم‬, “hubungan
kelamin” ( ‫)وطء‬, dan juga berarti “perjanjian” ( ‫)عقد‬. Dari pemahaman terhadap pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa kawin menurut arti asalnya adalah “hubungan kelamin”. Para ulama
menetapkan berbagai ketentuan menyangkut keabsahan perkawinan, yaitu: adanya calon suami dan
istri, wali dari pihak perempuan, dua orang saksi, serta ijab - qabul yang merupakan simbol dari
adanya persetujuan pernikahan di antara kedua belah pihak.
Tujuan perkawinan, sebagaimana diuraikaan oleh Khoiruddin Nasution, meliputi lima hal,
yaitu (a) untuk memperoleh kebahagiaan dan ketentraman sekaligus membangun keluarga sakinah,
(b) regenerasi umat manusia (reproduksi) di bumi atau memperoleh keturunan yang saleh, (c)
pemenuhan kebutuhan biologis, (d) menjaga kehormatan, dan (e) untuk ibadah/ mengikuti sunnah
nabi.
Kemudian dalam Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam UU No.16
Tahun 2019 tentang perubahan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan definisi
bahwa perkawinan ialah “ikatan lahir bathin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
yang Mahaesa.”
Sedangkan pencatatan perkawinan adalah suatu yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap
peristiwa perkawinan atau pernikahan. Dalam hal ini pegawai pencatat nikah yang melangsungkan
pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad pernikahan antara calon suami dan calon istri.
Pencatatan adalah suatu administrasi Negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan
kesejahteraan warga Negaranya. Mencatat artinya memasukan pernikahan itu dalam buku akta nikah
kepada masingmasing suami istri. Kutipan akta nikah itu sebagai otentik yang dilakukan oleh
pegawai pencatat nikah, talak, rujuk. Juga oleh pegawai pernikahan kantor catatan sipil sebagaimana
di maksud dalam berbagai perundangundangan yang berlaku mengenai pencatatan pernikahan.
Maka jelas bahwa kegiatan mendaftarkan atas perkawinan dilakukan oleh pihak pria dan wanita
yang melangsungkan pernikahan melalui instansi yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang mengurusi tentang perkawinan yang kemudian dicatatkan dalam akta dan diberikan

187
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2

kutipan akta kepada para pihak yang melangsungkan perkawinan.

Pengaturan Pencatatan Perkawinan di Indonesia dan beberapa di Negara Asia Tenggara


Perkawinan menjadi kebutuhan biologis manusia, hal demikian menyangkut eksistensi
manusia untuk melanjutkan garis keturunannya. Kebebasan untuk menentukan pasangan hidup
berada di tangan manusia seutuhnya. Dalam perspektif demikian Negara semestinya tidak berhak
melakukan intervensi soal urusan dengan siapa seseorang melakukan perkawinan dan tatacara
perkawinan. Akan tetapi, bagaimana dengan persoalan adanya ketentuan negara mengatur pencatatan
perkawinan? Dalam hal ini harus ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah termasuk usaha
negara untuk mengintervensi ruang-ruang privat warga negaranya. Pencatatan perkawinan
merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh negara untuk mengatur administrasi yang bersangkutan
dengan warga negaranya. Negara mengatur masyarakat demi kepentingan dan kemaslahatan
bersama. Kepastian hukum menjadi salah satu tujuan penting diadakannya aturan tentang pencatatan
perkawinan. Adanya pencatatan perkawinan menjamin hak-hak masing-masing warga negara dapat
terpenuhi.

Pencatatan perkawinan mempunyai tujuan yang sama halnya dengan pencatatan peristiwa
hukum lainnya, misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam daftar pencatatan yang
telah disediakan. Di Indonesia, ketentuan tentang pencatatan perkawinan tertuang dalam UU. No.
1 Tahun 1974 Pasal 2 yang berbunyi:

Ayat (1) : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaan itu.

Ayat (2) : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku”.

Bunyi Pasal 2 dari Undang-Undang Perkawinan tersebut ternyata menimbulkan perdebatan


di tengah masyarakat. Setidaknya pertanyaan yang muncul adalah apakah pencatatan perkawinan
menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan? Terkait dengan hal ini, ada dua pendapat.
Pendapat pertama cenderung ingin memisahkan penafsiran Pasal 2 ayat (1) dengan ayat (2), bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
itu, sedangkan pendaftaran adalah syarat administratif saja. Tidak dilakukannya pencatatan
perkawinan tidak akan mengakibatkan cacat atau tidak sahnya suatu perkawinan. Pendapat kedua
menafsirkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) itu bukan dari sudut yuridis saja, yakni terkait sahnya
suatu perkawinan, tetapi juga dikaitkan dengan aspek sosiologis. Oleh karena itu, Pasal 2 ayat
(1) dan ayat (2) itu tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling terkait. Dua ayat tersebut
diibaratkan seperti rajutan yang saling jalin-menjalin, yang jika salah satu jalinannya lepas maka
akan berkurang kekuatan rajutan tersebut dan bahkan akan hilang sama sekali. Sebab, sebuah
pernikahan atau perkawinan pada hakikatnya akan melahirkan akibat hukum yang melekat pada
suami dan istri. Oleh karena itu mencatatkan perkawinan merupakah sesuatu yang mesti dilakukan
demi terwujudnya kemaslahatan dan kepastian hukum.Dicatatk1annya sebuah perkawinan akan
membantu menjaga masing masing pihak mendapatkan haknya, dan sekaligus menjadi bukti otentik
jika ada perselisihan.

1
Ibid. Hal.48

188
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2

Dengan demikian disadari bahwa keberadaan akta perkawinan secara hukum memegang
peranan yang sangat penting, khususnya dalam upaya mempertahankan dan melindungi hak-hak
seseorang serta untuk membuktikan bahwa suatu peristiwa hukum telah dilakukan. Oleh karena itu,
ketika terjadi tuntutan, penyangkalan atau gugatan dari pihak lain tentang keabsahan suatu
perkawinan, maka peranan alat bukti (dalam hal ini adalah akta perkawinan)menjadi sangat penting.

Difahami bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 memiliki alasan tersendiri.
Undang-undang ini merupakan respons dari masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Banyaknya
praktik perkawinan di bawah tangan (pernikahan yang tidak dicatatkan) atau pernikahan sirri
ternyata menimbulkan permasalahan yang masif di masyarakat. Banyak perempuan dan anak-anak
yang menjadi korban dari perkawinan yang tidak memiliki bukti otentik atau surat nikah.2

Persoalan regulasi perkawinan yang tidak tegas memberikan sumbangsih sehingga sebgaian
masyarakat tidak mencatatkan perkawinan. Jika merujuk pada peraturan perundang-undangan
sebagai pelaksanaan tata cara perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, khususnya
Pasal 45, disebutkan bahwa hukuman terhadap pelanggaran pencatatan perkawinan hanya dikenai
hukuman denda setinggi- tingginya 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah) yang dinilai relatif ringan.

Dalam hal pencatatan perkawinan dilaksanakan oleh suatu instansi yang berwenang. Bagi
yang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh KUA(Kantor Urusan Agama) dan yang beragama
selain Islam dicatat dipencatatan sipil (KCS). Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan
hak dasar dalam keluarga yang bersandingan dengan pencatatan lainnya seperti pencatatan
kelahiran dan kematian.

Ketentuan yang secara khusus sebagai pedoman dalam pencatatan perkawinan adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pencatatan Talak, Nikah dan Rujuk. Menurut
Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa:

a) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam
dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksudkan dalam UU No 32 Tahun 1954
tentang pencatatan nikah,talak dan rujuk;
b) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan
kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada
Kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai peraturan perundangundangan
mengenai pencatatan perkawinan.
Prosedur pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam PeraturanPemerintah No. 9
Tahun1975 yaitu pada :

Pasal 3 ayat :

1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada
Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja
sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat

2
Ibid.Hal.50

189
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2

(2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala
Daerah.

Pasal 4 :

“Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau
wakilnya”.

Pasal 5 :

“Pemberitahuan memuat nama, umur,agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon


mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau
suaminya terdahulu”.
Pasal 6 Ayat (1) :
Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti
apakah syaratsyarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan
menurut Undang-undang.

Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Pegawai Pencatat
meneliti pula:

1)“Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta
kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur
dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;

2).Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon
mempelai;

3) Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3),
(4) dan (5) Undang- undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-
undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri;

4) Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;


5) Surat kematian isteri atau suami yangterdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan
perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;

6) Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang
calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;

7) Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah
seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang
penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 7 :

“Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar
yang diperuntukkan untuk itu. Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan

190
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2

perkawinan sebagai dimaksud Undang- undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut
dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon
mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.

Pasal 8 :

“Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan
perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkawinan
dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor
Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Pasal 9 :

“Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat: Nama, umur,


agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon
mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau
suami mereka terdahulu; dan Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka diketahui pencatatan perkawinan hanya dilakukan


oleh dua instansi yaitu pegawai pencatatan nikah, talak dan rujuk dan kantor catatan sipil/instansi
pejabat yang membantunya Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975.
Mengenai hal yang berhubungan dengan tata cara pencatatan perkawinan menurut penjelasan Pasal
2 ayat (3) pada dasarnya dilakukan sesuai dalam ketentuan tersebut dari Pasal 3 sampai dengan
Pasal 9.

Kemudian untuk memberikan kepastian hukum kepada kedua mempelai, masing-masing


diserahkan kutipan akta perkawinan sebagai alat bukti. Selanjutnya, setelah dipenuhinya tata cara
dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai
pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang
sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Di Asia Tenggara, dalam hal ini Malaysia merupakan negara pertama yang melakukan
pembaharuan Hukum Keluarga Islam dengan Mohammadan Marriage ordinance No.V Tahun 1880
di negara-negara selat (Penang, Melaka, singapore). undang-undang inilah yang berisi hukum
formal/prosedur (pencatatan dan pendaftaran perkawinan dan perceraian). Untuk Negara-Negara
bagian yang bersekutu yakni (Perak, selangor, negeri sembilan, dan Pahang) adalah berdasarkan
REGISTRATION OF MUHAMMADAN MARRIAGES DAN DIVORCES ENACTMENT 1885.
Sedangkan untuk negara-negara Melayu tidak bersekutu atau negara-negara bernaung (kelantan,
trengganu, Perlis, Kedah, Johor) adalah DIVORCE REGULATION tahun 1907. Setelah itu, sama
dengan Indonesia, aturan terkait pencatatan ini dimasukkan ke dalam hukum materiil di dalam
berbagai undang-undang atau enakmen, di berbagai Negara bagian di Malaysia termasuk dalam
Akta Undang-undang Keluarga Islam (Wilayah- Wilayah Persekutuan) 1984 (AUKI WP 1984) atau

191
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2

enakmen lainnya.3

Aturan terkait sanksi dan denda ditetapkan dalam ketentuan tersebut, pencatatan menjadi
sesuatu yang penting bagi hukum Islam di Malaysia. Kemudian berkenaan kedudukan perkawinan
yang tidak dicatatkan sebagaimana di Negara Indonesia tidak diakui keabsahannya di depan Negara,
meskipun secara agama sah. Sementara Hukum keluarga di Malaysia tidak menjadikan pencatatan,
(istilah dalam enakmen mereka adalah pendaftaran) sebagai penentu sah atautidaknya sebuah
perkawinan di hadapan hukum Negara. Hukum Keluarga di Malaysia benar-benar menetapkan
syariat sebagai penentu tunggal keabsahan sebuah perkawinan. Jadi, sah atau tidaknya sebuah
perkawinan ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya rukun syarat sebuah perkawinan menurut fiqih
munakahat dalam Islam. Bahkan, Undang-undang di Malaysia menegaskan bahwa tidak
diperkenankan menganggap sebuah perkawinan tidak sah di hadapan hukum Negara hanya karena
tidak didaftarkan. 4

Walaupun masing-masing negara bagian di Malaysia mempunyai undang- undang tersendiri


yang mengatur tentang administrasi hukum Islam, namun ketentuan pencatatan perkawinan ini
diberlakukan oleh seluruh negara bagianMalaysia.5

Mirip dengan apa yang ditetapkan di Malaysia, Negara Brunei Darussalam juga menerapkan
keharusan pencatatan yang dilakukan oleh petugas Pencatat. Untuk menguatkan sistem pencatatan
dan pendaftaran perkawinan tersebut, Hukum Brunei mengancam setiap orang yang tidak mencatat
perkawinannya tanpa alasan yang dapat diterima denga denda sebanyak $1000 dolar atau penjara
paling lama 3 bulan dan/atau kedua-duanya. Di samping itu, Pasal 11 ayat (1) UU Hukum Keluarga
Brunei tahun 1999 menetapkan bahwa perkawinan yang tidak mengikuti atau bertentangan dengan
UU tersebut tidak dapat dicatatkan menurut catatan resmi. Akan tetapi perkawinan demikian tetap
dapat didaftarkan secara resmi melalui proses pengadilan, dengan beberapa syarat, yaitu: 1) adanya
wali yang menikahkan sesuai dengan ketentuan Syariat Islam; dan 2) Hakim yang memutuskan
adalah berhak atas kewenangan hukumnya, bila kebolehan perkawinan itu didasarkan kepada
putusan Hakim.6

Brunei mengharuskan adanya pendaftaran (pencatatan) perkawinan, meskipun dilakukan


setelah akad nikah, dan lewat pendaftaran inilah pegawai pendaftaran memeriksa lengkap atau
tidaknya syarat-syarat perkawinan. Bagi pihak-pihak yang melakukan perkawinan tetapi tidak
mendaftar, termasuk pelanggaran yang dapat dihukum dengan hukuman penjara atau denda.7
Demikian beberapa hal mengenai pendaftaran dan pencatatan perkawinan dibeberapa negara Asia
Tenggara, yang pada prinsipnya sama-sama mengharuskan dilakukan pencatatan perkawinan
dengan disertai penjatuhan sanksi bagi pelanggarnya. Meskipun terdapat perbedaan dalam

3
Fahmi Basyar, “Prosedur Pencatatan Perkawinan Dan Perceraian Di Negara Indonesia dan Malaysia Perspektif Hukum
Islam,” Istidlal: Jurnal Ekonomi Dan Hukum Islam 1, no. 1 (2017):
Hal.93.
4
Ibid.Hal.94.
5
Ibid.
6
Afrizon, Fajar Devan. “Sanksi Pelanggaran Terhadap Aturan Poligami Dan Pencatatan Perkawinan Di Indonesia,
Malaysia, Dan Negara Brunei Darussalam.” B.S. thesis, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, n.d. Hal.49
7
Ibid.Hal.50

192
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2

menentukan pencatatan apakah sebagai syarat sah perkawinan dihadapan negara atau hanya sebagai
kewajiban adminstratif saja

Beberapa persoalan dalam Pencatatan Perkawinan

Meskipun keharusan melakukan pencatatan perkawinan telah diatur dalam undang-undang,


namun masalah pencatatan perkawinan sebagai tanda sahnya sebuah perkawinan masih terus
diperdebatkan dan menimbulkan sikap pro dan kontra. Bukan hanya itu sebagian kalangan bahkan
mengabaikan dan mengangap pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang tidak penting. Beberapa
kalangan berpendapat bahwa pencatatan perkawinan merupakan bagian dari syarat sah perkawinan.
Mereka ini umumnya adalah para sarjana dan ahli hukum yang selama ini tunduk dan melaksanakan
perkawinan berdasarkan hukum perdata dan ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia, yang dengan
adanya akta perkawinan dapat dibuktikan sahnya perkawinan (berdasarkan Pasal 100 B.W.) Mereka
berpendapat, saat mulai sahnya perkawinan adalah setelah pendaftaran/pencatatan perkawinan.8

Dalam hal ini, para pakar yang memaknai tersebut mengemukakan berbagai alasan:
pertama keharusan melakukan pencatatan perkawinan didukung oleh praktek hukum dari badan-
badan publik, juga pasal-pasal peraturan perundang- undangan pelaksanaan UUP (PP No. 9 Tahun
1975), serta didukung oleh jiwa dan hakekat UUP itu sendiri. Kedua, ayat yang terdapat dalam Pasal
2 UU No. 1 Tahun 1974 sebagai satu kesatuan. Artinya, perkawinan yang telah memenuhi syarat
keagamaan dan/atau kepercayaannya itu harus segera disusul dengan pendaftaran atau pencatatan,
karena sebagaimana ditentukan oleh Pasal 100 K.U.H.Perdata dan Pasal 34 Peraturan Perkawinan
Kristen Indonesia, Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon, bahwa akte perkawinan adalah bukti satu-
satunya dari suatu perkawinan. Ketiga, apabila isi Pasal 2 UUP dikaitkan dengan bab III (Pasal 13
s/d 21) dan bab IV (Pasal 22s/d 28) UU No. 1 Tahun 1974, bahwa pencegahan dan batalnya
perkawinan hanya bisa dilakukan apabila prosedur pendaftaran atau pencatatanya ditempuh
sebagaimana diatur oleh PP No. 9 Tahun 1975.

Di sisi lain, terdapat juga sekelompok orang yang tidak sependapat dengan pandangan yang
menyatakan bahwa pencatatan perkawinan merupakan salah satu syarat sahnya sebuah perkawinan.
Sebab, menurut mereka, fungsi pencatatan perkawinan hanyalah sekedar urusan administrasi
belaka, bukan sebagai syarat sah atau tidaknya perkawinan (akad nikah), kecuali pada penjelasan
UU No.1 rahun 1974 tersebut apabila ada menyatakan, bahwa peraturan perundang- undangan
termasuk unsur yang harus dipenuhi untuk sahnya akad nikah.

Dengan demikian, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut tata
cara yang berlaku dalam agama yang diakui di Indonesia. Dalam agama Islam, suatu perkawinan
dianggap sah apabila telah memenuhisyarat-syarat dan rukun-rukunnya.

Selain adanya perbedaan pandangan tersebut sebagaimana disebutkan di atas, ternyata


menurut Itsnaatul Lathifah dalam penelitiannya menemukan, masih cukup banyak kelompok
masyarakat yang enggan melakukan pencatatan perkawinan, dan mereka lebih memilih melakukan
perkawinan di bawah tangan atau perkawinan sirri.

8
Op.Cit.Lathifah. Hal.50

193
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2

Pada umumnya, alasan yang dikemukakan adalah:9

a.
Perkawinan di bawah tangan selain sudah sah menurut undang-undang maupun
menurut hukum Islam, juga untuk menghindari biaya yang mahal dan birokrasi yang
berbelit-belit.
b. Bagi orang-orang yang menikah untuk kedua kalinya, mereka menggunakan
kesempatan menikah di bawah tangan karena biasanya istri pertama tidak akan
memberikan izin. Selain itu juga untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab kepada
istri kedua serta tidak perlu lagi mengajukan permohonan nikah kepada Pengadilan
Agama.
c. Paradigma berpikir yang masih terbingkai dengan hukum adat, seperti Suku-suku pada
pedalaman yang mash menjunjung tinggi adat. Bagi mereka, hukum negara tentang
pencatatan perkawinan bukanlah hal yang penting bagi mereka. Pernikahan yang
penting telah memenuhi syaratyang telah ditentunkan oleh adat atau kepercayaan yang
mereka anut.
Dari beberapa problem tersebut maka pelaksanaan pencatatan dan pendaftaran perkawinan
di Indonesia mengalami banyak hambatan dari berbagai aspek sehingga menjadikan pencatatan
perkawinan tidak berjalan optimal.

PENUTUP
Kesimpulan
Perkawinan sebagai suatu peristiwa yang sakral dan sangat penting bagi kelangsungan
kehidupan manusia. Perkawinan bukan hanya sebagai legitimasi hubungan seksual dan reproduksi
semata namun sebagai lembaga yang dapat mendatangkan ketentraman dan kebahagian dalam
menjalani kehidupan.

Pada umumnya masyarakat di Negara-Negara Asia Tenggara maupun Indonesia


perkawinan dianggap sah apabila sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaan yang masyarakat
anut. Sehingga suatu perkawinan kebanyakan masyarakat menganggapnya sebagai hak privat
warga negara. Namun disisi lain suatu peristiwa perkawinan agar dapat diterima orang lain perlu
dibuktikan secara formil, dari itu diperlukan alat bukti tertulis berupa akta. Negara
bertanggungjawab melindungi warga negaranya sehingga mengadakan pendaftaran dan pencatatan
perkawinan. Di samping sebagai bukti tentang adanya peristiwa perkawinan, pencatatan juga
bertujuan untuk melindungi pihak wanita maupun anak ketika timbul masalah dalam perkawinan
dengan membuktikanperkawinan melalui surat kutipan akta nikah.

Di Indonesia pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan dan akan diakui


kebsahannya secara formal ketika perkawinan dicatatkan, sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (2)
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan secara terperinci diatur dalam Peraturan pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975. Namun realitas di masyakarat, masih banyak yang tidak melakukan
pendaftaran dan pencatatan perkawinan dengan berbagai macam persoalan diantaranya karena
alasan teologis yang menganggap pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat atau rukun

9
Ibid. Hal.50

194
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2

perkawinan dalam agama islam ataupun syarat menurut hukum adat, atau karena perkawinan yang
kedua kalinya atau lebih, dan adapula karena menganggap urusan pendaftaran yang memakan
waktu dan biaya.

Berbeda dengan di Negara Malaysia dan Brunei Darussalam, pendaftaran dan pencatatan
perkawinan secara tegas dinyatakan sebagai kewajiban administratif warga negaranya, sehingga
ketika warga negara tidak melaksanakan akan dikenakan sanksi yang cukup berat berupa denda dan
sanksi pidana kurungan.

BIBLIOGRAFI
Abdurrahman. 2007. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo;
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, cet. Ke-1 (Jakarta: Kencana, 2006).
Muhammad Zein & Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis, Cet. Ke- 1 (Jakarta :
Graha Cipta, 2005).
Afrizon, Fajar Devan. “Sanksi Pelanggaran Terhadap Aturan Poligami Dan Pencatatan
Perkawinan Di Indonesia, Malaysia, Dan Negara Brunei Darussalam.” B.S. thesis,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, n.d.

Basyar, Fahmi. “Prosedur Pencatatan Perkawinan Dan Perceraian Di Negara Indonesia Dan
Malaysia Perspektif Hukum Islam.” Istidlal: Jurnal Ekonomi Dan Hukum Islam 1, no. 1
(2017): 87–99.

Lathifah, Itsnaatul. “Pencatatan Perkawinan: Melacak Akar Budaya Hukum Dan Respon
Masyarakat Indonesia Terhadap Pencatatan Perkawinan.” Al- Mazaahib: Jurnal
Perbandingan Hukum 3, no. 1 (2015).

Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PerubahannyaUndang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019;
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pencatatan Talak, Nikah dan Rujuk.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

195

You might also like