Professional Documents
Culture Documents
Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Jl. Brigjen Hasan Basri, Banjarmasin,
Indonesia, 70123 Email : muhammad.yusman@ulm.ac.id
Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Jl. Brigjen Hasan Basri, Banjarmasin,
Indonesia, 70123 Email : soffyan.fahlani@ulm.ac.id
184
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2
PENDAHULUAN
Perkawinan apabila dipandang secara lahiriah ialah merupakan hasrat biologis (reproduksi)
yang bertujuan untuk kelangsungan kehidupan manusia. Selain itu manusia sebagai makhuk yang
beradab, perkawinan pula dimaknai sebagai sebuah lembaga yang memberikan legitimasi seorang
pria dan wanita untuk bisa hidup dan berkumpul bersama dalam sebuah keluarga untuk mendapatkan
ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan.
Maka dari pernyataan tersebut di atas jelas bahwa alasan perkawinan dilakukan bukan hanya
atas aspek lahiriah berupa hubungan seksual atau biologis semata namun juga aspek bathiniah yakni
dapat mendatangkan ketenangan dan ketentraman jiwa.
185
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2
Perkawinan atau pernikahan bukan hanya ditandai dengan adanya akad atau kesepakatan dari
seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dalam sebuah keluarga, namun dimaknai
sebagai suatu lembaga yang sakral sehingga pelaksanaanya terikat dengan nilai-nilai luhur yang
bersumber dari ajaran agama ataupun kepercayaan. Sehingga adanya serangkaian tata tertib yang
oleh pihak yang melangsungkan perkawinan. Bahkan tata tertib tersebut sebagai penentu atas
keabsahan suatu perkawinan.
Dalam islam, keabsahan suatu perkawinan bergantung pada rukun dan syarat perkawinan.
Meskipun terdapat perbedaan antara kalangan fuqaha tentang bagian dalam rukun dan syarat
perkawinan tetapi semua sepakat bahwa terpenuhinya rukun dan syarat sebagai penentu keabsahan
suatu perkawinan.
Di Indonesia maupun Negara asia tenggara lainnya telah lama menganut agama islam yang
diperkirakan sejak abad 7 Masehi atau ada yang menyebut pada 13 Masehi. Maka ketentuan syariat
islam telah sangat mengakar dalam sendi- sendi kehidupan masyarakat termasuk berkenaan dengan
ketentuan dalam perkawinan sehingga harus benar-benar dipenuhi oleh pihak-pihak yang
melangsungkan perkawinan. Maka realitas masyarakat asia tenggara khususnya masyarakat
Indonesia sangat menjunjung tinggi dan berpegangan erat atas apa-apa saja yang ditentukan dalam
ajaran agama dan memaknainya sebagai suatu kebenaran yang utama.
Belakangan setelah Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah
berkuasa atas tanah air sehingga dapat menentukan arah tujuan bagi bangsanya, maka sebagai
pedoman dalam perkawinan dibentuklah Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang memuat ijtihad yang asing bagi masyarakat islam yakni berkenaan dengan pencatatan
perkawinan sebagai suatu keharusan. Meskipun itu bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi
pihak yang melangsungkan perkawinan maupun anak keturunannya.
Dalam realitasnya, keharusan pencatatan perkawinan hingga dewasa ini telah berusia setengah
abad sejak diundangkan, namun kenyataannya masih ada masyarakat yang tidak melakukan
pencatatan perkawinan dengan dalih bahwa perkawinan merupakan ranah privat yang seharusnya
negara tidak berhak ikut campur dalam urusan itu, cukup ketentuan agama yang menjadi pedoman
dalam urusan perkawinan mengingat perkawinan adalah bagian dari ajaran agama yang seharusnya
Negara memfasilitasi agar mempermudah dalam urusan perkawinan bukan sebaliknya. Lagi pula
dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sah nya suatu perkawinan ditentukan menurut agama atau
kepercayaan. Sehingga berpedoman dengan ketentuan tersebut bagi yang beragama Islam,
dikatakan sah apabila telah sesuai dengan tuntunan ajaran Islam dan memenuhi seluruh rukun
dan syarat yang ditetapkan.
Namun dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan ditentukan bahwa tiap-tiap perkawinan
dilakukan pencatatan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut apabila Pasal 2 ayat (1) dimaknai secara parsial maka
pencatatan perkawinan bukan menjadi bagian penentu sahnya suatu perkawinan, pencatatan hanya
menjadi persyaratan administratif yang harus dipenuhi bukan sebagai syarat sah perkawinan,
sedangkan apabila Pasal 2 tersebut dimaknai secara kumulatif maka pencatatan menjadi salah satu
penentu sahnya suatu perkawinan dalam hukum perkawinan di Indonesia. Problematika demikian
menarik bagi penulis untuk mengkaji lebih jauh bagaimana pencatatan perkawinan dilakukan dan
memperbandingkannya dengan mekanisme serta norma hukum pencatatan perkawinan di belahan
negara Asia Tenggara.
186
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2
METODE
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan atau studi dokumen, karena penelitian ini
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan tertulis atau pada bahan hukum lain.
Metode penelitian hukum normatif digunakan untuk melakukan analisis terhadap peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, maupun kontrak-kontrak.
Penelitian hukum normatif juga diartikan suatu penelitian yang menggunakan bahan hukum
yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum
primer, bahan sekunder (library research) serta bahan hukum tersier. Sedangkan tipe penelitian dalam
penelitian ini adalah Penelitian Doktrinal (doctrinal research).
187
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2
Pencatatan perkawinan mempunyai tujuan yang sama halnya dengan pencatatan peristiwa
hukum lainnya, misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam daftar pencatatan yang
telah disediakan. Di Indonesia, ketentuan tentang pencatatan perkawinan tertuang dalam UU. No.
1 Tahun 1974 Pasal 2 yang berbunyi:
Ayat (1) : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaan itu.
Ayat (2) : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku”.
1
Ibid. Hal.48
188
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2
Dengan demikian disadari bahwa keberadaan akta perkawinan secara hukum memegang
peranan yang sangat penting, khususnya dalam upaya mempertahankan dan melindungi hak-hak
seseorang serta untuk membuktikan bahwa suatu peristiwa hukum telah dilakukan. Oleh karena itu,
ketika terjadi tuntutan, penyangkalan atau gugatan dari pihak lain tentang keabsahan suatu
perkawinan, maka peranan alat bukti (dalam hal ini adalah akta perkawinan)menjadi sangat penting.
Difahami bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 memiliki alasan tersendiri.
Undang-undang ini merupakan respons dari masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Banyaknya
praktik perkawinan di bawah tangan (pernikahan yang tidak dicatatkan) atau pernikahan sirri
ternyata menimbulkan permasalahan yang masif di masyarakat. Banyak perempuan dan anak-anak
yang menjadi korban dari perkawinan yang tidak memiliki bukti otentik atau surat nikah.2
Persoalan regulasi perkawinan yang tidak tegas memberikan sumbangsih sehingga sebgaian
masyarakat tidak mencatatkan perkawinan. Jika merujuk pada peraturan perundang-undangan
sebagai pelaksanaan tata cara perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, khususnya
Pasal 45, disebutkan bahwa hukuman terhadap pelanggaran pencatatan perkawinan hanya dikenai
hukuman denda setinggi- tingginya 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah) yang dinilai relatif ringan.
Dalam hal pencatatan perkawinan dilaksanakan oleh suatu instansi yang berwenang. Bagi
yang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh KUA(Kantor Urusan Agama) dan yang beragama
selain Islam dicatat dipencatatan sipil (KCS). Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan
hak dasar dalam keluarga yang bersandingan dengan pencatatan lainnya seperti pencatatan
kelahiran dan kematian.
Ketentuan yang secara khusus sebagai pedoman dalam pencatatan perkawinan adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pencatatan Talak, Nikah dan Rujuk. Menurut
Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa:
a) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam
dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksudkan dalam UU No 32 Tahun 1954
tentang pencatatan nikah,talak dan rujuk;
b) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan
kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada
Kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai peraturan perundangundangan
mengenai pencatatan perkawinan.
Prosedur pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam PeraturanPemerintah No. 9
Tahun1975 yaitu pada :
Pasal 3 ayat :
1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada
Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja
sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat
2
Ibid.Hal.50
189
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2
(2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala
Daerah.
Pasal 4 :
“Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau
wakilnya”.
Pasal 5 :
Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Pegawai Pencatat
meneliti pula:
1)“Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta
kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur
dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;
2).Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon
mempelai;
3) Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3),
(4) dan (5) Undang- undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-
undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri;
6) Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang
calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
7) Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah
seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang
penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 7 :
“Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar
yang diperuntukkan untuk itu. Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan
190
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2
perkawinan sebagai dimaksud Undang- undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut
dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon
mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.
Pasal 8 :
“Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan
perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkawinan
dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor
Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Pasal 9 :
Di Asia Tenggara, dalam hal ini Malaysia merupakan negara pertama yang melakukan
pembaharuan Hukum Keluarga Islam dengan Mohammadan Marriage ordinance No.V Tahun 1880
di negara-negara selat (Penang, Melaka, singapore). undang-undang inilah yang berisi hukum
formal/prosedur (pencatatan dan pendaftaran perkawinan dan perceraian). Untuk Negara-Negara
bagian yang bersekutu yakni (Perak, selangor, negeri sembilan, dan Pahang) adalah berdasarkan
REGISTRATION OF MUHAMMADAN MARRIAGES DAN DIVORCES ENACTMENT 1885.
Sedangkan untuk negara-negara Melayu tidak bersekutu atau negara-negara bernaung (kelantan,
trengganu, Perlis, Kedah, Johor) adalah DIVORCE REGULATION tahun 1907. Setelah itu, sama
dengan Indonesia, aturan terkait pencatatan ini dimasukkan ke dalam hukum materiil di dalam
berbagai undang-undang atau enakmen, di berbagai Negara bagian di Malaysia termasuk dalam
Akta Undang-undang Keluarga Islam (Wilayah- Wilayah Persekutuan) 1984 (AUKI WP 1984) atau
191
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2
enakmen lainnya.3
Aturan terkait sanksi dan denda ditetapkan dalam ketentuan tersebut, pencatatan menjadi
sesuatu yang penting bagi hukum Islam di Malaysia. Kemudian berkenaan kedudukan perkawinan
yang tidak dicatatkan sebagaimana di Negara Indonesia tidak diakui keabsahannya di depan Negara,
meskipun secara agama sah. Sementara Hukum keluarga di Malaysia tidak menjadikan pencatatan,
(istilah dalam enakmen mereka adalah pendaftaran) sebagai penentu sah atautidaknya sebuah
perkawinan di hadapan hukum Negara. Hukum Keluarga di Malaysia benar-benar menetapkan
syariat sebagai penentu tunggal keabsahan sebuah perkawinan. Jadi, sah atau tidaknya sebuah
perkawinan ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya rukun syarat sebuah perkawinan menurut fiqih
munakahat dalam Islam. Bahkan, Undang-undang di Malaysia menegaskan bahwa tidak
diperkenankan menganggap sebuah perkawinan tidak sah di hadapan hukum Negara hanya karena
tidak didaftarkan. 4
Mirip dengan apa yang ditetapkan di Malaysia, Negara Brunei Darussalam juga menerapkan
keharusan pencatatan yang dilakukan oleh petugas Pencatat. Untuk menguatkan sistem pencatatan
dan pendaftaran perkawinan tersebut, Hukum Brunei mengancam setiap orang yang tidak mencatat
perkawinannya tanpa alasan yang dapat diterima denga denda sebanyak $1000 dolar atau penjara
paling lama 3 bulan dan/atau kedua-duanya. Di samping itu, Pasal 11 ayat (1) UU Hukum Keluarga
Brunei tahun 1999 menetapkan bahwa perkawinan yang tidak mengikuti atau bertentangan dengan
UU tersebut tidak dapat dicatatkan menurut catatan resmi. Akan tetapi perkawinan demikian tetap
dapat didaftarkan secara resmi melalui proses pengadilan, dengan beberapa syarat, yaitu: 1) adanya
wali yang menikahkan sesuai dengan ketentuan Syariat Islam; dan 2) Hakim yang memutuskan
adalah berhak atas kewenangan hukumnya, bila kebolehan perkawinan itu didasarkan kepada
putusan Hakim.6
3
Fahmi Basyar, “Prosedur Pencatatan Perkawinan Dan Perceraian Di Negara Indonesia dan Malaysia Perspektif Hukum
Islam,” Istidlal: Jurnal Ekonomi Dan Hukum Islam 1, no. 1 (2017):
Hal.93.
4
Ibid.Hal.94.
5
Ibid.
6
Afrizon, Fajar Devan. “Sanksi Pelanggaran Terhadap Aturan Poligami Dan Pencatatan Perkawinan Di Indonesia,
Malaysia, Dan Negara Brunei Darussalam.” B.S. thesis, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, n.d. Hal.49
7
Ibid.Hal.50
192
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2
menentukan pencatatan apakah sebagai syarat sah perkawinan dihadapan negara atau hanya sebagai
kewajiban adminstratif saja
Dalam hal ini, para pakar yang memaknai tersebut mengemukakan berbagai alasan:
pertama keharusan melakukan pencatatan perkawinan didukung oleh praktek hukum dari badan-
badan publik, juga pasal-pasal peraturan perundang- undangan pelaksanaan UUP (PP No. 9 Tahun
1975), serta didukung oleh jiwa dan hakekat UUP itu sendiri. Kedua, ayat yang terdapat dalam Pasal
2 UU No. 1 Tahun 1974 sebagai satu kesatuan. Artinya, perkawinan yang telah memenuhi syarat
keagamaan dan/atau kepercayaannya itu harus segera disusul dengan pendaftaran atau pencatatan,
karena sebagaimana ditentukan oleh Pasal 100 K.U.H.Perdata dan Pasal 34 Peraturan Perkawinan
Kristen Indonesia, Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon, bahwa akte perkawinan adalah bukti satu-
satunya dari suatu perkawinan. Ketiga, apabila isi Pasal 2 UUP dikaitkan dengan bab III (Pasal 13
s/d 21) dan bab IV (Pasal 22s/d 28) UU No. 1 Tahun 1974, bahwa pencegahan dan batalnya
perkawinan hanya bisa dilakukan apabila prosedur pendaftaran atau pencatatanya ditempuh
sebagaimana diatur oleh PP No. 9 Tahun 1975.
Di sisi lain, terdapat juga sekelompok orang yang tidak sependapat dengan pandangan yang
menyatakan bahwa pencatatan perkawinan merupakan salah satu syarat sahnya sebuah perkawinan.
Sebab, menurut mereka, fungsi pencatatan perkawinan hanyalah sekedar urusan administrasi
belaka, bukan sebagai syarat sah atau tidaknya perkawinan (akad nikah), kecuali pada penjelasan
UU No.1 rahun 1974 tersebut apabila ada menyatakan, bahwa peraturan perundang- undangan
termasuk unsur yang harus dipenuhi untuk sahnya akad nikah.
Dengan demikian, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut tata
cara yang berlaku dalam agama yang diakui di Indonesia. Dalam agama Islam, suatu perkawinan
dianggap sah apabila telah memenuhisyarat-syarat dan rukun-rukunnya.
8
Op.Cit.Lathifah. Hal.50
193
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2
a.
Perkawinan di bawah tangan selain sudah sah menurut undang-undang maupun
menurut hukum Islam, juga untuk menghindari biaya yang mahal dan birokrasi yang
berbelit-belit.
b. Bagi orang-orang yang menikah untuk kedua kalinya, mereka menggunakan
kesempatan menikah di bawah tangan karena biasanya istri pertama tidak akan
memberikan izin. Selain itu juga untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab kepada
istri kedua serta tidak perlu lagi mengajukan permohonan nikah kepada Pengadilan
Agama.
c. Paradigma berpikir yang masih terbingkai dengan hukum adat, seperti Suku-suku pada
pedalaman yang mash menjunjung tinggi adat. Bagi mereka, hukum negara tentang
pencatatan perkawinan bukanlah hal yang penting bagi mereka. Pernikahan yang
penting telah memenuhi syaratyang telah ditentunkan oleh adat atau kepercayaan yang
mereka anut.
Dari beberapa problem tersebut maka pelaksanaan pencatatan dan pendaftaran perkawinan
di Indonesia mengalami banyak hambatan dari berbagai aspek sehingga menjadikan pencatatan
perkawinan tidak berjalan optimal.
PENUTUP
Kesimpulan
Perkawinan sebagai suatu peristiwa yang sakral dan sangat penting bagi kelangsungan
kehidupan manusia. Perkawinan bukan hanya sebagai legitimasi hubungan seksual dan reproduksi
semata namun sebagai lembaga yang dapat mendatangkan ketentraman dan kebahagian dalam
menjalani kehidupan.
9
Ibid. Hal.50
194
Banua Law Review October 2022 Volume 4 Issue 2
perkawinan dalam agama islam ataupun syarat menurut hukum adat, atau karena perkawinan yang
kedua kalinya atau lebih, dan adapula karena menganggap urusan pendaftaran yang memakan
waktu dan biaya.
Berbeda dengan di Negara Malaysia dan Brunei Darussalam, pendaftaran dan pencatatan
perkawinan secara tegas dinyatakan sebagai kewajiban administratif warga negaranya, sehingga
ketika warga negara tidak melaksanakan akan dikenakan sanksi yang cukup berat berupa denda dan
sanksi pidana kurungan.
BIBLIOGRAFI
Abdurrahman. 2007. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo;
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, cet. Ke-1 (Jakarta: Kencana, 2006).
Muhammad Zein & Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis, Cet. Ke- 1 (Jakarta :
Graha Cipta, 2005).
Afrizon, Fajar Devan. “Sanksi Pelanggaran Terhadap Aturan Poligami Dan Pencatatan
Perkawinan Di Indonesia, Malaysia, Dan Negara Brunei Darussalam.” B.S. thesis,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, n.d.
Basyar, Fahmi. “Prosedur Pencatatan Perkawinan Dan Perceraian Di Negara Indonesia Dan
Malaysia Perspektif Hukum Islam.” Istidlal: Jurnal Ekonomi Dan Hukum Islam 1, no. 1
(2017): 87–99.
Lathifah, Itsnaatul. “Pencatatan Perkawinan: Melacak Akar Budaya Hukum Dan Respon
Masyarakat Indonesia Terhadap Pencatatan Perkawinan.” Al- Mazaahib: Jurnal
Perbandingan Hukum 3, no. 1 (2015).
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PerubahannyaUndang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019;
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pencatatan Talak, Nikah dan Rujuk.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
195