You are on page 1of 25

Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati

ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI


PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI


PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA (Studi Kasus
Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)

Mohammad Rifqy Fakhriza


(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara)
(E-mail: mrifqifakhriza24@gmail.com)

Mia Hadiati, S.H., M.H


(Corresponding Author)
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Meraih Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran, Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara)
(E-mail:mia.hadiati @yahoo.com)

Abstract

The life of society has evolved, there are no boundaries between people from any race, religion, tribe
background in Indonesia. Because of that, it's very possible for people from two different religions to
have any relationship and want to get married. One of those people is Agustinus Dwi Nugroho and Ika
Dede Yuniar, they appeal some pleas to Surakarta Court, demanding for their marriage to be
legalized. In the verdict, the judge granted all the pleas. The issue in this research is how is different
religion marriage in Indonesian laws? (Case Studies number 278/Pdt.P/2019/PN.Skt), the research
method is Normative with conceptual, laws and case approach and supported by data from library and
some interviews. Different religion marriage in Indonesian law is not yet being regulated but there are
a few laws related to the topic, such as: Article 2 Paragraph (1) and Article 8 Law Number 16 Year
2019, Article 35 Law Number 23 Year 2006, and Article 40 and Article 44 in Islamic Law
Compilation. In the verdict that became the subject in this research, the writer feels there's some law
that is not yet included in the consideration, such as Article 8 Law Number 16 Year 2019 and Article
44 in Islamic Law Compilation because one of the parties in that verdict is moslem.

Keywords: private law, marriage law, different religion marriage.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang sejatinya tidak bisa hidup
sendiri. Dalam perjalanan hidupnya, manusia pasti membutuhkan bantuan dari
manusia lain. Dalam kehidupan sehari hari contohnya seperti dalam melakukan
pekerjaan, berinteraksi, dan kegiatan lainnya. Hubungan manusia juga sangat
identik dengan yang namanya perkawinan. Perkawinan merupakan suatu
peristiwa hukum yang hampir pasti akan dialami oleh semua orang. Definisi
Perkawinan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perihal

1532
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

(urusan dan sebagainya), berasal dari kata kawin yang berarti membentuk
keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri1. Sementara pengertian
Perkawinan menurut Pasal 1 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
tentang Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa2.
Dalam praktiknya, perkawinan harus dipersiapkan dengan baik dan
matang agar mencapai tujuan dari perkawinan tersebut, dengan demikian perlu
adanya kesiapan dari para pihak baik secara mental, material maupun
administratif serta memperhatikan peraturan yang berlaku agar tidak menyalahi
aturan.
Indonesia merupakan negara yang dikenal sebagai negara yang Religius
dan sangat menjunjung tinggi nilai agama dan budaya, maka dari itu
masyarakat Indonesia menganggap sebuah perkawinan bukan saja hubungan
manusia dengan manusia lainnya, tetapi juga menyangkut hubungan yang
Sakral yaitu hubungan manusia dengan Tuhan-nya. Maka dari itu sebuah
perkawinan yang sah harus memenuhi syarat syarat tertentu dalam Agama juga
persyaratan sebagaimana tertera di Peraturan Perundang Undangan yang
berlaku, hal itu dikarenakan Indonesia merupakan negara hukum yang
menjunjung tinggi hukum yang berlaku, dan dikarenakan perkawinan
merupakan sebuah perbuatan yang dilakukan oleh manusia (subjek hukum),
maka perkawinan pun menjadi sebuah perbuatan hukum yang tentu akan
menimbulkan akibat akibat hukum yang nantinya akan diterima dan dialami
oleh orang yang akan melangsungkan perkawinan tersebut. Maka sudah

1
https://kbbi.web.id/kawin diakses pada tanggal 20 Agustus 2020 pukul 14:39
2
Indonesia, Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), Pasal 1

1533
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

sewajarnya perkawinan diatur didalam Peraturan Perundang Undangan di


Indonesia.
Peraturan mengenai Perkawinan memang sangat menarik untuk dibahas,
terlebih jika dilihat dari sudut pandang Indonesia merupakan negeri yang
beragam, macam macam Suku, Budaya, Ras dan Agama memberikan suatu
aspek yang menarik untuk diteliti karena dalam keadaan sosial sangat
memungkinkan terjadinya suatu hubungan antara dua orang yang berbeda
agama dan ingin melangsungkan Perkawinan tetapi tetap ingin memegang
teguh agamanya sendiri sesuai dengan hak beragama dalam Pasal 28E Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”), disinilah penelitian yang berkaitan
dengan aspek hukum dilakukan. Terlebih di saat peristiwa ini mempunyai isu
hukum yang terkait dengan masyarakat luas.
Pada akhirnya perkawinan beda agama selalu menjadi polemik tersendiri,
terlebih dalam Hukum Perkawinan di Indonesia yang saat ini menganut prinsip
bahwa Hukum Positif Negara yaitu Undang-Undang Perkawinan menyerahkan
keabsahan suatu perkawinan yang dilakukan oeh setiap orang kepada Hukum
agamanya masing masing, hal ini tercantum dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai berikut, “Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.”, dari Pasal tersebut dapat diartikan bahwa sebuah
perkawinan ialah menganut agamanya dari orang yang akan melakukan
perkawinan tersebut, hal ini berarti Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan merupakan
sebuah “blanconorm” atau Kaidah Kosong, Blanconorm sendiri menurut A.
Pitlo adalah norma yang memberikan keleluasaan (diskresi) bagi Majelis
Hakim untuk menilai suatu substansi peristiwa atau perbuatan hukum3.

3
Soerjono Soekanto dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2013), hlm. 103.

1534
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

Dalam praktiknya, banyak sekali yang melakukan perkawinan beda


agama. Menurut Ahmad Nurcholish dari Indonesian Conference on Religion
and Peace (ICRP), bahwa organisasi mereka memberikan konseling bagi 3000
pasangan beda agama dan telah memfasilitasi sekitar 827 pasangan beda agama
di Indonesia4. Hal ini menunjukan adanya celah dalam hukum Indonesia, salah
satunya adalah Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan yang menyebutkan bahwa Pencatatan perkawinan
dapat dilakukan dilakukan jika memenuhi penetapan pengadilan. Dari
penjelasan Undang-Undang tersebut, pencatatan yang dimaksud adalah
perkawinan beda agama. Maka seringkali dalam permohonan menikah beda
agama, Pasal tersebut dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan tersebut.
Salah satu permohonan perkawinan beda agama ialah pada Penetapan
Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 278/Pdt.P/2019/PN.Skt. Dalam penetapan
tersebut Agustinus Dwi Nugroho, beragama Katolik sebagai Pemohon 1 dan
Ika Dede Yuniar, beragama Islam sebagai Pemohon II. Seperti yang diketahui
dari permohonan tersebut, para Pemohon sudah mendatangi Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tetapi ditolak permohonannya
karena para Pemohon menganut Agama yang berbeda, Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta menolak dengan alasan sebagaimana
tersebut dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 16
Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan tentang Perkawinan juncto Pasal 35 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006. Lalu atas dasar Pasal 1 Undang-Undang tahun 1974
tentang perkawinan juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan, Para pemohon mengajukan penetapan ke
Pengadilan Negeri. Berdasarkan fakta fakta dalam persidangan, diketahui

4
Arzia Tivany Wargadiredja, “Kata Siapa di Indonesia Tak Bisa Menikah Beda Agama”,
https://www.vice.com/id_id/article/wjpb4q/kata-siapa-di-indonesia-tak-bisa-menikah-beda-agama
diakses pada tanggal 6 September 2020 Pukul 22.38

1535
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

bahwa Para Pemohon merupakan pasangan suami-istri yang telah diteguhkan


perkawinannya menurut tata cara agama Katolik pada tanggal 20 Juli 2019 dan
permohonan ini ditujukan untuk mendapatkan izin Pencatatan Perkawinan di
Catatan Sipil. Dalam pertimbangan, Majelis Hakim menyatakan bahwa Undang
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Perkawinan tidak mengatur
mengenai perkawinan beda agama. Hal ini menjadi menarik bagi penulis karena
seperti apa yang penulis kemukakan bahwa Pasal 2 Ayat (1) Undang Undang
Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Perkawinan mengatakan bahwa
Perkawinan dikatakan secara sah apabila dilakukan menurut agama dan
kepercayaan masing-masing. Dalam kasus ini, Pemohon 2 secara jelas
memeluk agama Islam, dan menurut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
Pasal 44, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam. Hal ini tentu menjadi sebuah
pertanyaan bagaimana sebenarnya pengaturan tentang perkawinan beda agama
di Indonesia dan bagaimana Indonesia sebenarnya memandang sebuah
perkawinan beda agama sendiri yang masih menjadi polemik sampai saat ini.
Oleh karena itu, penulis tertarik mengangkat judul ini karena ingin
meneliti lebih lanjut tentang Analisis Terhadap Perkawinan Beda Agama
Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, permasalahan
dalam penelitian ini adalah Bagaimana Perkawinan Beda Agama ditinjau dari
Peraturan Perundang Undangan di Indonesia? (Studi kasus Penetapan Nomor
278/Pdt.P/2019/PN.Skt)

C. Metode Penelitian

1536
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif.
Penelitian hukum normatif menurut Peter Mahmud Marzuki atau lebih
sering dikenal dengan istilah penelitian doktrinal merupakan suatu
penelitian hukum yang dikerjakan dengan tujuan menemukan hukum
positif yang berlaku5
2. Spesifikasi Penelitian
Pendekatan penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah analisis data dilakukan
dengan menjabarkan secara rinci kenyataan atau keadaan atas suatu objek
guna memberikan gambaran lebih jelas terhadap permasalahan yang
diajukan sehingga memudahkan untuk ditarik suatu kesimpulan.
3. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer yang digunakan pada penelitian ini ialah:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 Sebagai Perubahan
Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan
4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang Undangan
5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975
6) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

5
Ibid., hal. 181.

1537
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

7) Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta No


278/Pdt.P/2019/PN.Skt.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah
1) Buku-buku yang berkaitan dengan Hukum Perkawinan.
2) Artikel internet yang berkaitan dengan isu hukum yang
dihadapi.
3) Jurnal hukum yang berkaitan dengan Hukum Perkawinan.
c. Bahan Non-Hukum
Bahan non-hukum yang digunakan dalam penelitian ini iaah berupaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan juga Ensiklopedia sebagai
upaya mendapatkan pendapat hukum tentang obyek yang diteliti.
4. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian hukum ini adalah dengan menggunakan
teknik studi kepustakaan dan wawancara, studi kepustakaan dengan cara
tinjauan ke perpustakaan dan pengumpulan buku buku, serta referensi-
referensi yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan.
Sementara wawancara dilakukan untuk memperkuat data data yang telah
dikumpulkan.
5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode berpikir deduktif (cara berfikir
analitik), yaitu cara berpikir yang bertolak dari pengertian bahwa sesuatu
yang berlaku bagi keseluruhan peristiwa atau kelompok/jenis berlaku juga
bagi tiap-tiap unsur di dalam peristiwa atau kelompok/jenis tersebut.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan

1538
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

Definisi Perkawinan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)


adalah perihal (urusan dan sebagainya)6 berasal dari kata kawin yang berarti
membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri.7
Menurut ketentuan dalam Pasal 1 Undang Undang Nomor 16 Tahun
2019 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, pengertian Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang
B. Dasar Hukum Perkawinan
Perkawinan diatur dalam Pasal 28B Ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal tersebut menyatakan “Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah”, dari Pasal tersebut dapat diartikan bahwa membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah merupakan
salah satu Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Konstitusi Negara Indonesia
yaitu Undang Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perkawinan
sendiri diatur lebih rinci dan mendalam pada Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, undang undang tersebut dibuat melalui berbagai
pertimbangan, salah satunya ialah mengingat pada saat itu belum ada peraturan
yang mengatur hukum perkawinan di Indonesia yang sesuai dengan falsafah
Pancasila sebagai dasar negara serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional,
maka sebuah Undang Undang tentang perkawinan hendaknya dibuat untuk
kepentingan seluruh warga negara Indonesia.
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disahkan di Jakarta
oleh Presiden Soeharto pada tanggal 2 Januari 1974. Undang Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan diundangkan oleh Menteri/Sekretaris Negara
Sudharmono. SH pada tanggal 2 Januari 1974 di Jakarta. Berlakunya Undang
Undang ini diikuti dengan peraturan pelaksananya yaitu Pemerintah Pemerintah

6
https://kbbi.web.id/perkawinan diakses pada tanggal 15 Agustus 2020 pukul 20.05
7
https://kbbi.web.id/kawin diakses pada tanggal 15 Agustus 2020 pukul 20:02

1539
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

Nomor 9 Tahun 1975 yang mengatur hal hal yang bersifat pelaksanaan teknis
seperti pelaksanaan perkawinan, dan tata cara perceraian.
Dasar hukum perkawinan juga diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1974 tentang Kompilasi Hukum Islam, yaitu pada buku 1 yang mengatur
tentang hukum perkawinan dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 170.
Perkawinan dalam hakikatnya juga wajib dicatatkan agar perkawinan
tersebut diakui oleh negara dan mendapatkan hak dan kewajiban sebagai
pasangan suami istri, pencatatan perkawinan diatur dalam Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, lebih tepatnya
pada Pasal 35 sampai dengan Pasal 39 yang mengatur tentang pencatatan
perkawinan sampai pencatatan pembatalan perkawinan.
C. Tujuan Perkawinan
Dalam Pasal 28B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 perkawinan merupakan sebuah sarana untuk membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan, dapat diartikan bahwa tujuan perkawinan
menurut Pasal tersebut ialah untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan.
Dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, tujuan perkawinan
terdapat pada Pasal 1, yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa8.
Tujuan perkawinan juga diatur dalam Pasal 3 Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah.

D. Syarat Syarat Perkawinan

8
Indonesia, Loc, Cit.

1540
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

Syarat perkawinan ialah sebuah ketentuan yang harus dipatuhi oleh


seseorang yang ini melakukan perkawinan dan merupakan sebuah kewajiban.
Syarat perkawinan tersebut diatur dalam Pasal 6 – 12 Undang Undang Nomor
16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, syarat syarat tersebut dibagi menjadi 2, yaitu syarat yang
bersifat materiil dan bersifat formil.
Syarat Perkawinan yang bersifat materiil ialah:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tuanya/salah satu orang tuanya,
apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang
tuanya telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada
penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.
Syarat yang bersifat formil menurut Pasal 12, diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang undangan tersendiri. Maksud dari peraturan perundang
undangan tersendiri tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, tepatnya ada Pasal 3 sampai Pasal 13, syarat syarat tersebut ialah:

1541
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1. Setiap perkawinan yang akan dilakukan harus diberitahukan kepada


Pegawai Pencatat ditempat perkawinan dilansungkan sekurang kurangnya
sepuluh hari sebelum perkawinan dilangsungkan9
2. Pemberitahuan tersebut dilakukan secara lisan atau tertulis oleh kedua
calon mempelai atau orang tua atau wakilnya10.
3. Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan,
tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau
keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya
terdahulu11
4. Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan
telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut
Undang-undang12.
5. Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis
dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu. Apabila dari hasil
penelitian terdapat halangan perkawinan atau belum dipenuhinya
persyaratan, maka keadaan itu akan segera diberitahukan kepada calon
mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya. 13
6. Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada
sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut
formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu
tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.14

9
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 3
10
Ibid. Pasal 4
11
Ibid. Pasal 5
12
Ibid. Pasal 6
13
Ibid. Pasal 7
14
Ibid. Pasal 8

1542
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

7. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman


kehendak perkawinan, tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum
agamanya masing masing dan kepercayaannya, perkawinan dilaksanakan
dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.15
8. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai
Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta tersebut juga
ditandatangani oleh wali nikah atau yang mewakilinya, dengan
penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara
resmi. 16
Syarat perkawinan menurut Pasal 14 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ialah harus adanya: calon suami, calon
istri, wali nikah, dua saksi, ijab dan qabul. Calon suami dan calon istri dalam
hal ini ialah orang yang akan melangsungkan perkawinan, wali nikah ialah
pihak yang menyatakan ijab dalam upacara akad nikah itu. Jika tidak ada, maka
akad nikah tidak dapat terlaksana, ijab yaitu ucapan penyerahan yang
diucapkan wali (dari pihak perempuan) atau wakilnya sebagai penyerahan
kepada mempelai laki-laki. Qabul adalah ucapan pengantin laki-laki sebagai
tanda penerimaan, sementara saksi ialah orang yang melihat saat
dilangsungkannya akad nikah.
E. Larangan Perkawinan
Larangan perkawinan telah diatur dalam Pasal 8, 9, 10 Undang Undang
Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan dilarang antara dua orang yang17:

15
Ibid. Pasal 10
16
Ibid. Pasal 11
17
Indonesia, op cit. Pasal 8

1543
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun


keatas
b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya.
c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri
d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi atau paman susuan.
2. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
3. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal yang diatur dalam Undang Undang18.
4. Apabila seorang suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan
yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka
tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain19
Larangan Perkawinan dalam Islam terdiri dari 2 jenis, yaitu larangan
selama lamanya yang tercantum dalam Pasal 39 Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dan larangan
sementara yang tercantum dalam Pasal 40-44 Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan:
1) Larangan Perkawinan untuk Selama Lamanya

18
ibid. Pasal 9
19
Ibid. Pasal 10

1544
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang


wanita disebabkan20:
a) Karena pertalian nasab:
(1) dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang
menurunkannya atau keturunannya;
(2) dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
(3) dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
b) Karena pertalian kerabat semenda :
(1) dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas
isterinya;
(2) dengan seorang wanita bekas isteri orang yang
menurunkannya;
(3) dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya,
kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya
itu qobla al dukhul; d. dengan seorang wanita bekas isteri
keturunannya.
c) Karena pertalian sesusuan :
(1) dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis
lurus ke atas;
(2) dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis
lurus ke bawah;
(3) dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan
sesusuan ke bawah;
(4) dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan
ke atas;
(5) dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
2) Larangan Perkawinan dalam Waktu Tertentu

20
ibid. Pasal 39

1545
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

a) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan


seorang wanita karena keadaan tertentu21:
(1) karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain;
(2) seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan
pria lain;
(3) seorang wanita yang tidak beragama islam.
b) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita
yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan
isterinya; yaitu saudara kandung, seayah atau seibu atau
keturunannya; dan wanita dengan bibinya atau kemenakannya22.
c) Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang
isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau
masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara
mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam
masa iddah talak raj`i23.
d) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali dan dengan
seorang wanita bekas isterinya yang dili`an24.
e) Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam25.
F. Kasus Posisi
8 Juli 2019, telah diterima dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri Surakarta dalam Register Nomor 278/Pdt.P/2019/PN.Skt. sebuah

21
Ibid, Pasal 40
22
Ibid, Pasal 41
23
Ibid, Pasal 42
24
Ibid, Pasal 43
25
Ibid, Pasal 44

1546
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

permohonan untuk Perkawinan Beda Agama oleh para pemohon yaitu:


Agustinus Dwi Nugroho (Pemohon 1) yang diketahui beragama Katolik dan
Ika Dede Yuniar (Pemohon 2) yang beragama Islam.
Sebelumnya, para pemohon telah memberitahukan kepada kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta tentang akan
dilaksanakannya perkawinan tersebut, tetapi dikarenakan perbedaan agama dari
kedua pemohon maka oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Surakarta, permohonan tersebut ditolak dengan dasar Pasal 2 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan juncto Pasal 35
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.
Karena para pemohon tetap pada pendiriannya untuk melakukan
perkawinan dan tetap pada kepercayaan masing-masing, maka pemohon
mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan Negeri Surakarta yang
mengacu pada Pasal 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 35 huruf
(a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan beserta penjelasannya, para pemohon berpendapat bahwa asas
hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia pada prinsipnya,
perkawinan beda agama tidaklah menjadi penghalang untuk melakukan
perkawinan. Berdasarkan alasan tersebut, maka para pemohon meminta kepada
bapak Ketua Pengadilan Negeri Surakarta berkenan untuk menerima,
memeriksa permohonan ini dan selanjutnya berkenan memberikan penetapan
yang mengabulkan, memberi izin, kepada para pemohon untuk melangsungkan
perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota
Surakarta dan memerintahkan kepada kepada Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda
agama Para Pemohon tersebut di atas ke dalam Register Pencatatan
Perkawinan.
Dari alat bukti dan keterangan para saksi, diketahui bahwa pemohon telah
melakukan perkawinan tanggal 20 Juli 2019 di Gereja San Inigo Dirjodipuran

1547
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

Surakarta, yaitu menurut tata cara agama Katolik dan para pemohon tetap pada
kepercayaannya masing-masing.
Pada pertimbangan hukum, para pemohon dianggap telah melampirkan
alat bukti yang sah dan lengkap, serta ditambah keterangan dari kedua orang tua
para pemohon serta seluruh keluarga besar menyetujui dan memberi izin
kepada Pemohon 1 dan Pemohon 2 untuk melangsungkan perkawinan dan
Pemohon 2 menyatakan bersedia menikah secara agama katolik di
Gereja/Paroki San Inigo Dirjodipuran Surakarta.
Selanjutnya, para Majelis Hakim mempertimbangkan surat dari Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tentang penolakan
permohonan pencatatan dan penerbitan akta perkawinan yang diajukan oleh
para pemohon dan mempertimbangkan wewenang serta wilayah hukum dari
pengadilan negeri Surakarta, maka Majelis Hakim memutuskan bahwa
Pengadilan Negeri Surakarta berwenang memeriksa dan memutus perkara ini.
Terkait dengan permohonan ini, Majelis Majelis Hakim
mempertimbangkan beberapa Pasal, yaitu:
1. Pasal 29 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
2. Pasal 28B (perubahan kedua) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
4. Pasal 35 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
5. Penjelasan Umum atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 24 Tahun
2013.
Dalam pertimbangan lain, Majelis Majelis Hakim juga
mempertimbangkan Para Pemohon yang berdasarkan kesepakatan bersama
yang didukung dan direstui keluarga dan pemuka agama Katolik, telah
melangsungkan perkawinannya pada tanggal 20 Juli 2019 di Gereja Katolik

1548
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

Paroki San Inigo Dirjodipuran Surakarta, yang diberikati oleh Romo Ignatius
Nandy Winarta, sehingga dengan demikian Pemohon II dianggap telah
menundukkan diri untuk mengikuti tata cara agama Katolik dalam
melangsungkan perkawinannya dengan Pemohon I.
Majelis Hakim juga mempertimbangkan pada kenyataan pergaulan hidup
masyarakat tidak dapat dipungkiri terjadinya perkawinan antar penduduk yang
beda agama, sedangkan dari aspek yang lain tidak terdapat peraturan yang
mengatur hal tersebut, oleh karena itu untuk mencegah terjadinya
penyimpangan dalam kehidupan masyarakat dimana seorang pria dan wanita
hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah (Kumpul
Kebo) karena berbeda agama sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinan
yang sah, maka hukum harus memberi jalan keluar terutama memberi
perlindungan dan pengakuan status pribadi dan status hukum dalam setiap
peristiwa penting yang dialami masyarakat/penduduk khususnya dalam hal
perkawinan.
Atas pertimbangan tersebut, Majelis Hakim akhirnya mengabulkan
permohonan dari para pemohon dan memberikan izin kepada para pemohon
untuk mencatatkan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta serta memerintahkan kepada Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan
pencatatan tentang perkawinan beda agama Para Pemohon tersebut di atas ke
dalam Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu
G. Perkawinan Beda Agama ditinjau dari Peraturan Perundang
Undangan di Indonesia (Studi kasus Penetapan Nomor
278/Pdt.P/2019/PN.Skt
Perkawinan menurut Pasal 1 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019
Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan ialah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

1549
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”26

Dalam penelitian kali ini, penulis akan lebih berfokus terhadap bagaimana
perkawinan beda agama menurut undang undang di Indonesia. Perkawinan
beda agama di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak dahulu, sejak zaman
kerajaan dahulu juga sudah ada yang melakukan perkawinan beda agama yaitu
Rakai Pikatan yang beragama Hindu dan Pramodharwan yang beragama
Buddha. Seiring berjalannya waktu, perkawinan beda agama di Indonesia juga
diatur dalam HCR yang mengkategorikan perkawinan beda agama dalam
perkawinan campuran sesuai dengan Pasal 7 Ayat (2) GHR. Definisi
perkawinan campuran menurut Pasal 1 GHR ialah “perkawinan antara orang
orang di Indonesia yang tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan”.
Indonesia merupakan negara yang beragam, sejak dahulu, berbagai suku, agama
dan ras hidup di Indonesia, dengan adanya keberagaman tersebut, konflik juga
tidak bisa terhindarkan. Salah satunya ialah perihal pembahasan untuk
pembentukan undang undang yang mengatur tentang perkawinan. Saat itu
banyak sekali desakan desakan politik dari para pihak terutama dari golongan
mayoritas yaitu masyarakat Islam, maka dari itu Undang Undang Nomor 1
Tahun 1974 dapat dikatakan banyak mendapatkan pengaruh dari hukum Islam.
Perkawinan beda agama sendiri tidak diatur secara spesifik dalam peraturan
perundang undangan di Indonesia. Dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun
2019 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa sebuah perkawinan dianggap
sah jika dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing masing dan
Pasal 8 huruf (f) juga memberikan penegasan yaitu “Perkawinan dilarang antara
dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

26
Indonesia, Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), Pasal 1

1550
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

yang berlaku, dilarang kawin.” Pasal dalam Undang Undang tersebut secara
jelas menyatakan bahwa sah atau tidaknya sebuah perkawinan bergantung
kepada masing-masing agama yang dianut oleh para pihak yang melakukan
perkawinan. Maka dari itu peran sebuah agama dalam perkawinan di Indonesia
sangat penting, tentu dikarenakan Indonesia merupakan negara yang
menjunjung tinggi nilai nilai agama. Perihal perkawinan beda agama, dapat
diartikan bahwa boleh atau tidaknya dilakukan hal tersebut, bergantung kepada
agama dari kedua pihak yang ingin melangsungkan perkawinan tersebut. Salah
satu hukum positif di Indonesia yang berhubungan dengan perihal agama ialah
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Berkaitan dengan topik yang diangkat oleh penulis, Pasal 44 Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa
seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam dan juga dalam Pasal 40 huruf (c) menyatakan
bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu yaitu salah satunya ialah wanita yang tidak
beragama Islam.

1551
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

Perkawinan beda agama juga disebutkan dalam penjelasan Pasal 35


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
dalam penjelasan Undang Undang tersebut, perkawinan beda agama merupakan
salah satu perkawinan yang dapat disahkan melalui penetapan pengadilan.
Sebuah perkawinan yang dapat dimohonkan kepada pengadilan
merupakan sebuah perkawinan yang ditolak oleh kantor catatan sipil daerah
setempat, sesuai dengan Pasal 21 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019
Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Dalam permohonan yang dipakai dalam sebagai studi kasus dalam
penelitian ini, beberapa hukum positif yang tercantum dalam kasus ini ialah:
1. Pasal 29 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
2. Pasal 28B (perubahan kedua) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
3. Pasal 21 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
4. Pasal 35 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan dan Penjelasannya.
Penulis dalam permohonan tersebut ada beberapa peraturan yang terkait
perkawinan beda agama namun tidak tercantum, yaitu Pasal 8 huruf (f) Undang
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 44 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 2 Ayat (1) Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa sah
atau tidaknya sebuah perkawinan diserahkan kepada agamanya masing masing,
dalam kasus ini pihak perempuan beragama Islam, maka seharusnya turut
mempertimbangkan Kompilasi Hukum Islam sebagai peraturan untuk orang
yang beragama Islam di Indonesia dalam pertimbangan di penetapan tersebut.

1552
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

Penulis beranggapan Pasal 8 huruf (f) Undang Undang Nomor 16 Tahun


2019 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
merupakan pasal yang berkaitan dengan perkawinan beda agama, pasal tersebut
menyatakan bahwa sebuah perkawinan dilarang antara dua orang yang
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dikarenakan salah satu mempelai beragama Islam, penulis beranggapan bahwa
seharusnya hakim ikut menyertakan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
Tentang Kompilasi Hukum Islam sebagai pertimbangan. Dalam Pasal 44
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam jelas
menyatakan bahwa “Wanita Islam tidak boleh menikah dengan laki laki yang
bukan beragama Islam.”
Terkait dengan Pasal 21 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, penulis beranggapan
bahwa pasal tersebut kurang tepat penerapannya dalam penetapan ini, penulis
beranggapan bahwa majelis hakim kurang tepat dikarenakan dalam pasal 21
Ayat (3) menyatakan bahwa “Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan
acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan
penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan
dilangsungkan” dalam kasus ini, menurut Fotokopi Surat Perkawinan
(Testimonium Matrimonii) Buku IV No.499, antara Agustinus Dwi Nugroho
dengan Ika Dede Yuniar, tertanggal 20 Juli 2019, perkawinan sudah
dilangsungkan, dan permohonan dari pemohon ialah untuk mencatatkan
perkawinan maka penulis beranggapan pasal tersebut tidak relevan dan tidak
sesuai dengan permohonan dari pemohon. Dari uraian tersebut, perihal teori
teori yang digunakan dalam penelitian ini, maka peraturan tentang perkawinan
beda agama di Indonesia belum sesuai dengan teori teori tersebut, jika dikaitkan
dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 setelah
amandemen yang menyatakan bahwa perkawinan dan membentuk keluarga
merupakan hak asasi manusia 28B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

1553
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan konsep dasar dari perkawinan
di Indonesia, maka penulis merasa kepastian hukum perihal perkawinan beda
agama di Indonesia masih belum terlaksana, penulis merasa belum ada hukum
positif di Indonesia yang mengatur secara jelas tentang perkawinan beda agama
dan belum mencakup keadilan yang mewakili semua kepentingan warga negara
Indonesia mengenai perkawinan beda agama.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bagian kesimpulan ini, penulis akan menjabarkan jawaban singkat
mengenai Perkawinan Beda Agama dalam Peraturan Perundang Undangan di
Indonesia (Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT) yang penulis
angkat sebagai rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini. Penulis
beranggapan bahwa peraturan mengenai perkawinan beda agama di Indonesia
tidak sesuai dengan teori yang dipakai dalam penulisan ini, yaitu teori keadilan
dan kepastian hukum, perkawinan beda agama di Indonesia masih belum diatur
secara pasti dalam peraturan perundang undangan di Indonesia, tetapi ada
beberapa Pasal yang terkait dengan perkawinan beda agama seperti Pasal 2
Ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f) Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan dan Pasal 40 dan 44 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Berdasarkan uraian tersebut dari permasalahan yang diangkat bahwa
dalam penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT, penulis beranggapan bahwa masih
ada beberapa peraturan yang terkait dengan perkawinan beda agama yang
seharusnya dapat disertakan sebagai pertimbangan dalam penetapan tersebut
seperti Pasal 8 huruf (f) Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang

1554
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

Perkawinan dan Pasal 44 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang


Kompilasi Hukum Islam.
B. Saran
1. Bagi Majelis Hakim
Majelis hakim dalam menetapkan penetapan perkawinan beda agama ini
haruslah mempunyai pertimbangan hukum yang kuat dan sesuai dengan
peraturan perundang undangan yang berlaku serta harus melihat kepada
putusan putusan sebelumnya.
2. Bagi Pemerintah
Penulis menyarankan kepada pemerintah agar melakukan kajian ulang
terhadap peraturan mengenai perkawinan khususnya perkawinan beda
agama dikarenakan nilai nilai masyarakat saat ini sudah berkembang dan
agar dapat memenuhi rasa keadilan dan kepastian dalam masyarakat

IV. DAFTAR PUSTAKA


A. Buku
Afandi, Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta: Rineka
Cipta, 1997
Djaja, Benny. Perjanjian Kawin Sebelum, Saat, dan Sepanjang Perkawinan.
Jakarta:Kencana, 2020
Makraf, Jamhari dan Asep Saepudin Jahar. Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis
Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih Dan Hukum Internasional.
Jakarta: Kencana Prenadamadia Group, 2013.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Cetakan ke-9, Edisi Revisi. Jakarta:
Kencana, 2016.
Prawirohamidjojo, Soetojo. Pluralisme dalam Perundang Undangan Perkawinan di
Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press, 1986
Soekanto, Soerjono dan A. Pitlo. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2013

1555
Mohammad Rifqy Fakhriza & Mia Hadiati
ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Penetapan 278/Pdt.P/2019/PN.SKT)
Volume 4 Nomor 1, Juni 2021
E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

B. Peraturan Perundang Undangan


Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

________. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 Tentang


Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

________. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975


Tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.

________. Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),


________. Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

________. Undang Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang
Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

________. Undang Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi


Kependudukan

C. Artikel Jurnal Cetak


Ashsubli, Muhammad. “Undang-Undang Perkawinan Dalam Pluralitas Hukum
Agama. Jurnal Cita Hukum.” Vol II No. 2 Desember 2016
Bimasakti, Muhammad Adiguna. “Keabsahan Perkawinan Beda Agama Dan
Kewenangan Mengadili Sengketanya Dalam Perspektif Hukum Antar Tata
Hukum Indonesia. Journal of Islamic Law Studies, Sharia Journal” FHUI.
Edisi 9 Mei 2019
Palandi, Anggreini Carolina. “Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama Di Indonesia”
Lex Privatum, Vol.1/N o.2/Apr-Jun/2013

1556

You might also like