You are on page 1of 25

Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473

Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

Perkawinan Beda Agama di Indonesia; Perspektif Yuridis, Agama-agama dan


Hak Asasi Manusia

Interfaith Marriage in Indonesia; Juridical Perspective, Religions and Human


Rights

Candra Refan Daus


Universitas Nurul Jadid, Indonesia
E-mail: candrarefandaus@gmail.com

Ismail Marzuki
Universitas Nurul Jadid, Indonesia
E-mail: ismail.mz2805@gmail.com

ABSTRACT
Interfaith marriage is a phenomenon that has become a polemic in Indonesia to date.
The implementation of interfaith marriages in Indonesia has become a discourse in various
juridical, religious and human rights perspectives. This study aims to describe the practice of
interfaith marriage in Indonesia from various juridical, religious and human rights perspectives.
This research is a type of qualitative research that describes juridical views, religions and
human rights towards the practice of interfaith marriage in Indonesia. This research is also a
type of library research with the primary data source being juridical documents dealing with
interfaith marriages in Indonesia, religious documents in Indonesia governing interfaith
marriages in Indonesia and also human rights documents. This research is also supported by
secondary data sources, other research results and other related documents. Methods of data
collection carried out through documentation. The results of this study indicate that a juridical
perspective covering the Marriage Law, religious law, and human rights tends to prohibit the
implementation of interfaith marriages. Interfaith marriages can have implications for the
validity of the marriage itself and the status of its offspring.
Keywords: Interfaith Marriage, Juridicalism, Religions, Human Rights

ABSTRAK
Perkawinan beda agama merupakan salah satu fenomena yang menjadi polemik di
Indonesia hingga saat ini. Pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia menjadi diskursus
dalam berbagai perspektif yuridis, agama-agama dan juga Hak Asasi Manusia. Penelitian ini
bertujuan mendeskripsikan praktik perkawinan beda agama di Indonesia dalam berbagai
perspektif yuridis, agama-agama dan Hak Asasi Manusia. Penelitian ini merupakan jenis
penelitian kualitatif yang mendeskripsikan pandangan yuridis, agama-agama dan Hak Asasi
Manusia terhadap praktik pernikahan beda agama di Indonesia. Penelitian ini juga berjenis
penelitian Pustaka (library research) dengan sumber data primer dokumen-dokumen yuridis
yang mengantur tentang pernikahan beda agama di Indonesia, dokumen agama-agama di
Indonesia yang mengatur tentang pernikahan beda agama di Indonesia dan juga dokumen Hak
Asasi Manusia. Penelitian ini juga di dukung sumber data sekunder, dokumen lain hasil
penelitian dan lainnya yang terkait. Metode pengumpulan data dilaksanakan melalui
dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perspektif yuridis meliputi Undang-
Undang Perkawinan, hukum agama-agama, dan hak asasi manusia cenderung melarang

40
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

pelaksanaan perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama dapat berimplikasi terhadap
keabsahan perkawinan itu sendiri dan status keturunannya.
Kata Kunci: Perkawinan Beda Agama, Yuridis, Agama-agama, Hak Asasi Manusia

PENDAHULUAN
Pernikahan beda Agama di Indonesia menjadi diskursus dalam berbagai
perspektif. Aspek yuridis memiliki perspektif sendiri terhadap praktik pernikahan beda
agama di Indonesia. Selain itu, agama-agama di Indonesia juga memiliki perspektif
yang berbeda-beda. Demikian juga perspektif Hak Asasi Manusia. Penelitian ini
berkontribusi bagi masyarakat Indonesia dalam memberikan wawasan berkaitan
perspektif yuridis, agama-agama dan Hak Asasi Manusia terhadap praktik pernikahan
beda agama di Indonesia.
Indonesia adalah negara dengan multi suku, bahasa, budaya, serta agama.
Kondisi keberagaman ini dapat menciptakan terbentuknya hubungan sosial antar
kelompok masyarakat yang majemuk hingga berujung pada perkawinan, diantaranya
adalah perkawinan antar agama.1 Praktik pernikahan beda agama ini melahirkan
berbagai pandangan baik secara yuridis, agama dan juga Hak Asasi Manusia.
Pedoman tentang perkawinan yang berlaku untuk masyarakat Indonesia diatur
dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan juga termasuk perbuatan hukum yang
diakui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28 B ayat (1)
sebagai hak asasi bagi seluruh masyarakat Indonesia.2 Bagi warga Negara Indonesia,
peraturan tersebut merupakan sebuah peraturan yang bernilai positif dari sudut
pandang yuridis formal. Undang-undang perkawinan ini, tidak hanya memuat asas-
asas, tetapi juga terdapat pedoman hukum yang dijadikan arahan dan diberlakukan
untuk semua warga negara Indonesia.3

1
Tengku Erwinsyahbana, “Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama dan Problematika
Yuridisnya,” Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 1 (2 Juli 2019): 97–114,
https://doi.org/10.24246/jrh.2018.v3.i1.p97-114.
2
Made Widya Sekarbuana, Ida Ayu Putu Widiawati, dan I Wayan Arthanaya, “Perkawinan Beda
Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia,” Jurnal Preferensi Hukum 2, no. 1 (19
Maret 2021): 16–21, https://doi.org/10.22225/jph.2.1.3044.16-21.
3
Nur Asiah, “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang
Perkawinan Dan Hukum Islam,” Samudera Keadilan: Jurnal Hukum 2, no. 1 (2 Desember
2018): 204–14.

41
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

Fenomena perkawinan seperti perkawinan beda agama ternyata tidak


dijelaskan secara langsung oleh Undang-Undang Perkawinan (UUP) seperti dalam pasal
2 ayat (1) UUP yang menjelaskan tentang keabsahan perkawinan jika dilakukan
menurut aturan hukum dari masing-masing agama dan kepercayaan. Fenomena
seperti ini yang akhirnya mencuat polemik serta pemikiran pro dan kontra. Terlebih
lagi hak asasi manusia merupakan apsek sosial yang diakui dunia. Indonesia juga telah
memberikan dasar hukum atas keistimewaan tersebut dalam Undang-Undang 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Terdapat pula pasal 29 dalam undang-undang
tersebut yang menyebutkan tentang kebebasan bagi semua lapisan masyarakat dalam
beragama dan beribadah sesuai keyakinannya tersendiri.
Sulitnya pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia menjadikan
perkawinan beda agama sebagai suatu paradoks dan menuai kontroversi dalam usulan
memeluk agama dalam status perkawinan. Akibatnya, kedua calon mempelai beda
agama akan kesulitan tehadap upayanya dalam memperbarui status hubungannya
menjadi perkawinan yang sah, sehingga salah satu pihak perlu memilih antara agama
dirinya atau agama pasangannya. Di samping itu, kebebasan dalam beragama sudah
menjadi jaminan yang diberikan oleh negara. Hal ini yang kemudian dianggap
deskriminatif karena terdapatnya penafian terhadap perkawinan beda agama sebab
sudah keluar berdasarkan prinsip Hak Asasi Manusia.4
Masalah perkawinan di Indonesia secara keseluruhan sudah mendapatkan
konsepsi aturan hukum, yakni Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975. Dalam sudut pandang Hak Asasi Manusia setiap warga negara
memiliki hak preogatif untuk melangsungkan perkawinan apabila sudah mencapai usia
cakap untuk membangun hubungan keluarga. Di samping itu, tugas negara adalah
mencatat, menerbitkan akta perkawinan dan memberikan perlindungan. Akan tetapi
realitanya negara kurang menyadari mengenai perkawinan beda agama, berdasarkan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tidak memberi penetapan terhadap perkawinan
beda agama secara pasti. Larangan perkawinan beda agama lantas dikritisi lebih lanjut

4
Sekarbuana, Widiawati, dan Arthanaya, “Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia di Indonesia.”

42
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

karena tidak sesuai dengan instrumen hukum berbentuk Undang-undang Nomor 39


Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di sisi lain dalam ajaran Hak Asasi Manusia
yang diusung oleh Barat menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh dibedakan hanya
kerena latar belakang agamanya, terlebih untuk melangsungkan perkawinan.5
Kasus perkawinan beda agama pernah terjadi di Surabaya pada 26 April 2022
lalu. Permohonan perkawinan beda agama ini dilakukan oleh kedua belah pihak yang
telah melangsungkan perkawinan beda agama dan berkedudukan di Surabaya.
Permohonan mereka ditetapkan oleh Imam Supriyadi selaku hakim tunggal di
Pengadilan Negeri Surabaya. Dinas Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan
(Dispendukcapil) Surabaya menerbitkan Surat Nikah Beda Agama setelah melalui
beberapa tahapan proses. Menurut Agung, sebagai juru bicara Pengadilan Negeri
Surabaya. Ia menjelaskan, keduanya menikah menurut keyakinan agama masing-
masing, yakni menurut rukun Islam dan Kristen. Namun, saat hendak mendaftarkan
pernikahannya di Kantor Catatan Sipil dan Kependudukan Kota Surabaya, mereka
ditolak dengan alasan pasangan itu berbeda keyakinan. Selain itu, pejabat
Dispendukcapil Surabaya disarankan untuk meminta penetapan dari Pengadilan Negeri
tempat para pemohon berdomisili secara sah. “Dalam konteks itulah mereka
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya,” kata Agung. Hakim tunggal
Imam Supriyadi yang menangani kasus ini mengacu pada Pasal 21 (3) Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan bersama dengan Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23
Tahun 2006 terkait pengelolaan kependudukan. Selanjutnya, pada tanggal 26 April
2022, Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan mengabulkan gugatan para pemohon.
Pertama, memperbolehkan pelamar untuk mendaftarkan perkawinan beda agama di
hadapan petugas Kantor Catatan Sipil dan Kependudukan Surabaya. Kedua, meminta
petugas Catatan Sipil dan Kependudukan Surabaya untuk mencatatkan perkawinan
beda agama. Pemohon masuk ke buku nikah dan segera menerbitkan akta nikah.
"Hakim Imam Supriyadi tidak melihat adanya larangan perkawinan beda agama
menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang

5
Istiqomah dan Nanda Chairunissa, “Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Perspektif Hukum
Islam Dan Hak Asasi Manusia,” Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Bung Karno 1, no. 1
(1 Juni 2022), https://www.ejurnal.ubk.ac.id/index.php/iusfacti/article/view/239/180.

43
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu, pembentukan rumah tangga
dengan mempertahankan keyakinan agamanya masing-masing merupakan hak asasi
para pemohon," ucap Agung.6
Berdasarkan fenomena kasus perkawinan beda agama di atas, berbagai
problematika diskursus pernikahan beda agama di Indonesia yang melahirkan berbagai
perspektif, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan praktik perkawinan beda agama di
Indonesia dalam berbagai perspektif yuridis, agama-agama dan Hak Asasi Manusia.
Perspektif yuridis diharapkan memberikan wawasan berkaitan status yuridis pernikahan
beda agama di Indonesia. Perspektif agama-agama juga diharapkan menjadi pedoman
bagi para pemeluk agama dalam melaksanakan praktik pernikahan beda agama.
Sementara itu, perspektif Hak Asasi Manusia memberikan wawasan terhadap praktik
pernikahan beda agama di Indonesia yang merupakan negara dengan multi agama.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang mendeskripsikan
pandangan yuridis, agama-agama dan Hak Asasi Manusia terhadap praktik pernikahan
beda agama di Indonesia. Penelitian ini juga berjenis penelitian pustaka (library
research) dengan sumber data primer dokumen-dokumen yuridis yang mengatur
tentang pernikahan beda agama di Indonesia, dokumen agama-agama di Indonesia
yang mengatur tentang pernikahan beda agama di Indonesia dan juga dokumen Hak
Asasi Manusia. Penelitian ini juga di dukung sumber data sekunder, dokumen lain hasil
penelitian dan lainnya yang terkait. Metode pengumpulan data dilaksanakan melalui
dokumentasi. Penilitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yakni mengkaji
perundangan-undangan, buku, jurnal, artikel dan bahan hukum lainnya yang
berlandasan pada objek penelitian ini. Adapun tahapan analisa dalam penelitian ini
dimulai dengan mengumpulkan data kualitatif, kemudian dilanjutkan dengan
menguraikan data yang telah dikumpulkan untuk menjawab tujuan penelitian.

6
liputan6.com, “Kasus Pernikahan Beda Agama di Surabaya, Ini Keputusan Pengadilan Negeri,”
Situs Berita, Liputan 6 (blog), 22 Juni 2022,
https://www.liputan6.com/jatim/read/4992362/kasus-pernikahan-beda-agama-di-surabaya-ini-
keputusan-pengadilan-negeri.

44
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG


PERKAWINAN
Suatu hubungan lahir dan batin yang terikat pada seorang wanita dan seorang
pria dengan tujuan membangun rumah tangga yang penuh dengan kebahagiaan
dengan berlandaskan iman kepada Allah merupakan definisi dari perkawinan yang
tertuang dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari definisi tersebut
kemudian terbentuklah lima komponen dalam suatu perkawinan, yaitu (1) Ikatan
suami dan istri yang didasarkan pada iman kepada Allah; (2) Membangun rumah
tangga yang sakinah, mawadah, warahmah; (3) Ikatan yang menegaskan status suami
dan istri; (4) Ikatan yang terjadi antara seorang pria dengan wanita; (5) Adanya ikatan
lahir dan batin. Oleh karena itu kemudian dapat disimpulkan bahwa perkawinan ialah
suatu ikatan yang dapat dikatakan suci karena tidak dapat melupakan ajaran agama
yang menjadi kepercayaan suami dan istri. Diantara tujuan dalam pernikahan
diantaranya ialah untuk membangun keluarga yang bahagia, harmonis, damai, dan
aman bagi seluruh anggota keluarga termasuk suami dan istri. Untuk itu kemudian
dipahami bahwa tujuan dari hidup bersama dalam ikatan pernikahan tidak hanya untuk
melakukan hubungan seksual semata.7
Ditetapkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan resmi mencabut Pasal 11 ayat (2) RUU Perkawinan 1973 yang
menyebutkan bahwa perbedaan agama bukan termasuk halangan perkawinan. UU No.
1 Tahun 1974 memberikan pengertian mengenai perkawinan antara dua warga negara
Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlawanan, disebabkan ketidaksamaan
status warga negara dan salah seorang diantaranya merupakan warga negara
Indonesia (Pasal 57). Perkawinan yang terjadi karena perbedaan status
kewarganegaraan merupakan hal yang ada dibalik pasal tersebut. Hal ini menegaskan
jika tidak terdapat pemaparan mengenai perkawinan dengan perbedaan Agama,
sehingga dapat disimpulkan bahwasannya pernikahan dengan latar belakang Agama
yang berbeda kemudian tidak termasuk dalam label perkawinan campuran. Pasal 2

7
Fitria Agustin, “Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama menurut Hukum Perkawinan
Indonesia,” Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 1 (20 Juli 2018): 43,
https://doi.org/10.30656/ajudikasi.v2i1.574.

45
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang diselenggarakan mengikuti aturan yang sudah ditetapkan agama dan
kepercayaan masing-masing, kemudian diteruskan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan
syarat kumulatif pengesahan perkawinan di Indonesia adalah dengan mencatatkan
perkawinan sesuai perturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua paparan dalam pasal itu menjelaskan tentang perkawinan tercover
dalam UU No. 1 Tahun 1974. Namun, pada pasal 2 ayat (1) berisi tentang penjelasan
bahwa status sebuah perkawinan dikatakan sah jika dilaksanakan sesuai dengan
aturan dan agama masing-masing. Kemudian, dijelaskan juga dengan lahirnya
pernyataan pada pasal tersebut kemudian disimpulkan bahwa tidak ada perkawinan
yang tidak sesuai dengan masing-masing kepercayaannya tidak bisa terjadi, hal ini
sesuai dengan aturan dalam UUD 1945.8 Pasal 8 F Undang-Undang Perkawinan juga
memberi pernyataan terkait hal ini bahwasanya setiap orang yang mempunyai
hubungan dilarang melangsungkan perkawinan jika hubungannya tidak sesuai dengan
aturan yang ditetapkan agama, peraturan perundang-undangan, atau peraturan lain
yang berlaku. Pasal ini menciptakan pemahaman yang berbeda disebabkan
beragamnya penafsiran mengenai perkawinan beda agama yang terjadi.9
Fenomena perkawinan beda menjadi salah satu permasalahan hukum yang
berkepanjangan tanpa ditemukannya solusi yang jelas dan tuntas. Indonesia telah
memiliki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang dijadikan
dasar hukum dalam menangani kasus perkawinan, akan tetapi dalam pelaksanannya
masih terdapat kekurangan. Diantaranya seperti perkawinan beda agama yang sampai
saat ini belum diatur dengan tegas dalam undang-undang, Sementara pada
kenyataannya kondisi masyarakat Indonesia menganut lebih dari satu agama
diantaranya yaitu: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu Buddha, dan Konghucu.10

8
Annisaa Firdayanti Surotenojo, “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Ditijau Dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam,” Lex Privatum 6, no. 8
(Oktober 2018): 192–202.
9
Raphon Fajar Rhr, “Keabsahan Perkawinan Warga Negara Indonesia Yang Berbeda Agama
(Analisis Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dengan Pasal 35 Huruf A
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006),” CORE, 2013, 1–20.
10
Andi Syamsulbahri dan Adama Mh, “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Al-Syakhshiyyah Jurnal Hukum

46
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

Seluruh aturan yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
kemudian dihapus secara resmi dengan adanya pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974. Hal ini
dikarenakan UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak tegas perihal sistem yang
diberlakukan, contoh kasusnya ialah perihal perkawinan beda agama yang belum ada
dalam UU sampai detik ini. Dalam UU hanya dipaparkan perihal aturan perkawinan
campuran, yakni berbeda kewarganegaraan. Pasal yang menyinggung soal perkawinan
beda agama ialah pasal 2 ayat satu dan ayat dua. Paparan yang menjelaskan
mengenai kategori sah dan tidaknya status suatu perkawinan merupakan intisari dari
pasal 2 ayat 1 dengan melandaskan pada norma dari masing-masing mempelai.
Kemudian yang memaparkan bahwa setiap agama memiliki ketentuan umum
mewajibkan seluruh perkawinan yang terjadi harus tercatat ialah intisari dari ayat 2.
Terkait pengaturan perkawinan di Indonesia yang menjadi problematika di
masyarakat, hukum memberikan kepercayaan penuh kepada setiap agama di
Indonesia untuk berperan penting dalam menyikapi perkawinan beda agama. Dengan
demikian berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 didaptati
bahwa pelaksanaan perkawinan tidak boleh dilakukan oleh pasangan beda agama demi
mengantisipasi adanya penyelewengan agama dan hambatan-hambatan yang
kemungkinan terjadi, kecuali pada akhirnya salah satu pihak memilih mengikuti agama
pasangannya, maka sejak saat itulah perkawinannya bisa dicatatkan dalam pencatatan
perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan.11
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/ 2014 Tentang Perkawinan
Beda Agama. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi melakukan verifikasi kesesuaian UU
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal
28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2) , Pasal 28I ayat (1) dan
(2), Pasal 28J ayat (2) , dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Pertimbangan Mahkamah
Konstitusi yang pertama terkait jaminan kebebasan memeluk agama bagi tiap-tiap
penduduk dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945 tentang

Keluarga Islam dan Kemanusiaan 2, no. 1 (25 Juli 2020): 75–85, https://doi.org/10.35673/as-
hki.v2i1.895.
11
Andi Syamsulbahri dan Adama Mh, “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Al-Syakhshiyyah Jurnal Hukum
Keluarga Islam dan Kemanusiaan 2, no. 1 (25 Juli 2020): 75–85, https://doi.org/10.35673/as-
hki.v2i1.895.

47
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

prinsip Ketuhanan da hubungan perkawinan. Mahkamah Konstitusi berpendapat


bahwa setiap warga negara tidak dapat dipisahkan dari agama dalam segala
tindakannya. Termasuk diantaranya tindakan warga negara adalah perkawinan.
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa perkawinan merupakan hak konstitusional
yang harus dilindungi dan dihormati oleh negara. Hak konstisional yang dimaksud
meliputi kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain. Untuk menghindari
perselisihan terkait hak-hak konstitusional tersebut, negara membutuhkan aturan
untuk penegakannya.
Pertimbangan Mahkamah Konstusi selanjutnya, mengenai pernyataan para
pihak tentanng terdapatnya pelanggaran hak perundang-undangan terkait
pelangsungan perkawinan dan membangun keluarga secara sah dalam pasal 2 ayat (1)
UU Perkawinan yang bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi menyikapi hal ini dengan menegaskan bahwa setiap warga negara harus
menaati semua aturan yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang. Penegasan ini
bertujuan untuk mewujudkan sikap toleransi dan pengakuan atas hak dan kebebasan
orang lain, juga untuk menciptakan keadilan sesuai pertimbangan etika dan norma-
norma di masyarakat. Semua ini membantu terealisasinya pelaksanaan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi meninjau terkait adanya dugaan
pelanggaran hak. Dalam kaitan ini, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa Undang-
Undang Perkawinan mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut dan
menyesuaikan dengan seluruh realitas masyarakat. Mengenai pendapat Mahkamah
Konstitusi tentang pihak-pihak yang merasa dirugikan karena ditemukan unsur
paksaan dalam Pasal 2 ayat (2) yang memaksa setiap warga negara dalam konteks
perkawianan untuk berpedoman hukum agamanya masing-masing. Menanggapi hal
ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permasalahan terkait perkawinan sudah
diatur oleh hukum Indonesia. Oleh karena itu, semua hal yang berhubungan dengan
perkawinan harus dipatuhi dan tidak menentang peraturan perundang-undangan.
Tujuan dari adanya aturan mengenai perkawinan ialah agar dapat membantu Negara
terkait hak dan kewajibannya, hal tersebut ditegaskan oleh pihak mahkamah
konstitusi. Selanjutnya, membangun rumah tangga yang bahagia tidak hanya ketika di
dunia akan tetapi sampai akhirat merupakan tujuan lanjutan dari adanya peraturan

48
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

yang secara tegas tercatat dalam UU perkawinan. Mahkamah Konstitusi kembali


menaggapi dugaan tentang adanya pelanggaran perundang-undangan dalam hak
menjalankan agama dan hak kebebasan beragama. Hal ini disebabkan bercampur
aduknya pelaksanaan ajaran agama dan administrasi, sehingga interprestasi agama
tentang perkawinan terdikte oleh negara. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
kehidupan beragama dan bernegara harus berkiblat pada UUD 1945 dan Pancasila.
Mahkamah Konstitusi memandang agama sebagai landasan dari sekumpulan individu
yang meiliki kesamaan spiritual menjadi komunitas. Dalam hal ini negara memiliki
peran dalan memberikan pedoman dan perlindungan bagi warga negaranya dalam
membangun keluarga dan melangsungkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Lain daripada itu, Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan bahwa aspek spiritual
dan aspek sosial juga perlu diperhatikan dalam perkawinan. Sedangkan pencatatan
perkawianan merupakan kewenangan negara dan pengesahannya menjadi
kewenangan masing-masing agama.
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Maria Farida Idrati selaku Hakim
Mahkamah Konstitusi. Maria berpendapat bahwa orang yang tatat beragama
cenderung lebih sulit untuk berpindah dari agama yang diimaninya. Pernyataan
tersebut diperkuat oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 29 UUD 1945, Pasal 28E, dan Pasal 28I
ayat (1) UUD 1945. Maria menambahkan, sudah sepatutnya negara memberikan solusi
yang jelas untuk masyarakat yang terpaksa melakukan perkawinan beda agama. Hal
ini ditujukan untuk menjamin dan melindungi hak asasi dan hak perundang-undangan.
Maria mengakui bahwa pasal 2 ayat (1) memang memiliki dampak ketidakpatuhan
masyarakat terhadap undang-undang disebabkan permasalahan antar agama hingga
penyelundupan hukum. Menurut Maria, penyelesaian sengketa perkawinan beda
agama dengan menambahkan “sepanjang tafsir hukum dan keyakinan agama
diserahkan kepada masing-masing calon mempelai” dalam pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan. Penambahan frasa ini justru menimbulkan ketidakpastian dan multitafsir.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 diterbitkan. Putusan tersebut
dibacakan dalam sidang paripurna Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 18 Juni 2015 oleh
delapan hakim Mahkamah Konstitusi. Dalam kesimpulannya, Mahkamah Konstitusi

49
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

memutuskan menolak seluruh permohonan perkawinan beda agama. Mahkamah


Konstitusi menilai permohonan itu tidak memiliki dasar hukum.12

PERKAWINAN ANTAR AGAMA PERSPEKTIF YURISPRUDENSI


Yurisprudensi merupakan suatu keputusan hakim yang ditetapkan secara
mandiri sebagai bentuk strategi dalam menyelesaikan suatu kasus yang di kuasakan
kepada dirinya. A. Ridwan Halim memaparkan bahwa yurisprudensi adalah sebuah hal
yang menjadi keputusan hakim atas terjadinya suatu kasus yang dalam UU belum
dirumuskan aturannya. Sehingga, hal ini akan menjadi kiblat dalam menyelesaikan
kasus serupa oleh hakim yang lain.
Perkawinan yang terjadi dengan melibatkan orang Indonesia yang menganut
aturan serta hukum yang berbeda merupakan definisi dari perkawinan campuran
sebagaimana tertuang dalam pasal 1 Reglement op de Gemengde Huwelijken (GHR).
Mengenai pernyataan tersebut kemudian muncul tiga kubu mengenai pelaksanaan
GHR tersebut, kubu yang pertama menyatakan bahwa perkawinan antar agama dan
juga antar tempat sudah diatur dalam GHR, kubu kedua menyatakan bahwa dalam
GHR tidak memuat aturan mengenai perkawinan antar agama maupun antar tempat,
kemudian kubu yang terakhir menyatakan bahwa GHR hanya mengeluarkan aturan
mengenai perkawinan antar agama akan tetapi tidak mengeluarkan aturan perkawinan
antar tempat.13
Pasal 7 ayat (2) GHR dan Pasal 6 ayat (1) GHR kemudian menjadi UU yang
tetap diberlakukan karena belum dalam UU Perkawinan secara spesifik. Hal ini
didasarkan pada bunyi pasal 66 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa sejauh sudah
tertuang dalam UU ini dinyatakan tidak berlaku. UU ini sementara diakui sah untuk
dipergunakan, dengan tujuan menghindari kekosongan hukum. Dalam yurispridensi
telah tercantum tentang status sahnya perkawinan antar agama, akan tetapi hal ini
tidak bisa berlaku untuk masyarakat Islam. Hal ini dibuktikan dengan suatu ikatan
perkawinan yang dilakukan oleh pasangan selebriti Indonesia yakni Jamal Mirdad yang
beragama Islam dan calon Istrinya Lidya Kandou yang beragama Kristen. Salah satu

12
Danu Aris Setiyanto, “Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
68/ Puu-Xii/2014 Dalam Persperktif Ham,” Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam 9, no. 1 (1
Maret 2017): 13, https://doi.org/10.14421/ahwal.2016.09102.
13
Muhammad Solikhuddin, “Polemik Pernikahan Beda Agama dalam Tinjauan Hukum Profetik,”
Tafáqquh: Jurnal Penelitian Dan Kajian Keislaman 2, no. 2 (Desember 2014): 16–35.

50
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

upaya keduanya ialah mencoba mencatat perkawinannya di KUA, akan tetapi upaya
tersebut tidak dapat diterima oleh pihak KUA. Upaya selanjutnya mereka mencoba
mencatatkannya ke Kantor Catatan Sipil (KCS). Namun upaya mereka tidak berhenti di
situ, mereka mencoba mengajukan permohonan perkawinan beda agama ke
pengadilan, saat itu hakim Endang Sri Kawuryan mengabulkan permohonan mereka
untuk melangsungkan perkawinan, perkawinan mereka berlangsung di KCS Jakarta
Pusat pasca mendapat izin dari pengadilan.
Melihat dari contoh kasus perkawinan beda agama yang dilakukan Jamal Midad
dan Lidya Kandou maka perkawinan beda agama diperbolehkan sesuai dasar hukum
Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan: “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-
peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-
undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Oleh karena itu arti dari kalimat terkahir yang
berbunyi “perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak
berlaku” adalah selama belum ada Undang-Undang Perkawinan yang mengatur
mengenai hal ini, maka undang-undang sebelumnya dinyatakan tetap berlaku. Dengan
demikian, dengan mempertimbangkan undang-undang sebelumnya, Pasal 7 GHR
dalam kasus ini masih dapat diterima. Selain itu, dalam Yurisprudensi Mahkamah
Agung No 1400 K/Pdt/1986, pada 20 Januari 1989, memutuskan bahwa perkawinan
beda agama diperbolehkan di KCS hanya setelah memberikan kewenangan untuk
mencatatkan perkawinan beda agama.14

PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA DI INDONESIA


1. Perspektif Agama Islam
Tuhan menciptakan semua makhluknya berpasang-pasangan karena pada
hakikatnya manusia tidak dapat hidup sendirian yang merupakan definisi dari manusia

14
Z Zulfadhli dan M Muksalmina, “Legalitas Hukum Perkawinan Beda Agama Di Indonesia,”
Jurnal Inovasi Penelitian 2, no. 6 (November 2019): 12, https://doi.org/10.47492/jip.v2i6.1014.

51
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

sebagai makhluk sosial, yakni manusia sejatinya tidak mampu hidup secara individu
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa peran dan bantuan orang lain.15 Setiap
makhluk hidup pasti membutuhkan pekawinan tak terkecuali manusia, hewan, dan
juga tumbuhan. Perkawinan merupakan tradisi untuk kelangsungan hidup manusia
yang memiliki aturan yang menyesuaikan perkembangan peradaban manusia.16
Manusia diciptakan Tuhan dengan memberinya hawa nafsu dilengkapi dengan akal
yang keduanya tidak dimiliki oleh makhluk lain, hewan hanya memiliki nafsu dan
malaikat hanya mempunyai akal. Sebagai makhluk yang berakal tentunya terdapat
tatanan dalam kehidupan manusia berupa aturan hukum yang mempunyai tujuan guna
mengatur perilaku manusia dalam menerepkan tata tertib, menjaga keadilan, juga
meminimalisir terjadinya kekacauan di lingkungan masyarakat.17
Perkawinan memiliki makna sama dengan pernikahan dalam Agama islam, yaitu
suatu ijab qabul yang tertuang dalam aturan syariat Islam dengan tujuan
mengesahkan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan menjadi
suami dan istri. Dasar dari pernyataan tersebut terdapat dalam kalam Allah surah Ar-
Rum ayat ke-21 yang artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu paasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar- Rum: 21).18
Al-Qur’an menjadi pedoman yang paling utama dalam ajaran Islam untuk
mengatur segala perbuatan hukum, termasuk diantaranya adalah perkawinan. Dalam
sudut pandang Islam perkawinan dinilai sebagai sesuatu yang sakral karena
melibatkan Tuhan dalam perjanjiannya yang disebut akad ijab qabul. Kompilasi Hukum
Islam menyatakan bahwa adapun hal yang ada dalam perintah Presiden RI Tahun
1991 yakni Soeharto yang kemudian ditulis di tiga buku, diantaranya ialah kewarisan,
perkawinan dan perwakafan. Pada pasal 2 menjelaskan bahwa perkawinan atau

15
Akhmad Munawar, “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku di Indonesia,”
Al-Adl : Jurnal Hukum 7, no. 13 (Juni 2015): 21–31.
16
Novita Lestari, “Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Mizani 4, no. 1
(2017): 43–52.
17
Munawar, “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku di Indonesia.”
18
Mega Meirina, “Hukum Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam” 2
(2023).

52
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

pernikahan merupakan mitssaqan ghalidzan yaitu perjanjian yang sesungguhnya dalam


menunaikan perintah Allah dan bagi yang menepatinya bernilai ibadah.19
Indonesia adalah bangsa dengan penduduk yang menganut beragam agama.
Perbedaan agama inilah yang menciptakan hubungan sosial antara setiap orang
dengan bermacam-macam agama. Dari hubungan sosial seperti ini terkadang berujung
pada hubungan yang diharamkan jaran Islam seperti perkawinan beda agama, karena
bertentangan dengan ajaran Islam yakni dalam QS. Al-Baqarah ayat 221 yang artinya:
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh,
hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik
meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik
(dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman”.
Menurut pandangan Islam, kehidupan dari keluarga pasangan beda agama
tidak akan menciptakan kesempurnaan dan dapat menimbulkan berbagai kesulitan
yang hanya dirasakan oleh pelaku perkawinan beda agama dalam rumah tangganya
seperti: pelaksanan ibadah, pembinaan tradisi keagamaan, adab memulai aktivitas dan
lain-lain.20 Sebagian besar ulama saat ini berpendapat bahwa pernikahan tidak sah
hukumnya apabila seorang muslimah menikah dengan pria nonmuslim. Dalam kitab al-
Muhadzdzab juz II halaman 44 menyebutkan bahwa Yahudi dan Nasrani saat ini sudah
mengalami perubahan yang mengakibatkan tidak disahkannya perkawinan antara lelaki
muslim dengan wanita ahli kitab. Dari pernyataan tersebut menegaskan bahwa hukum
pria muslim menikahi wanita ahli kitab, yakni Yahudi dan Nasrani adalah haram karena
agama mereka sepertihalnya seorang muslim yang murtad dan sudah termasuk
adalam agama yang batil.21
2. Perspektif Agama Kristen Protestan
Setiap agama memiliki perbedaan dalam menanggapi berbagai fenomena dan
peristiwa yang terjadi, demikian juga pada konteks perkawinan beda agama. Di mana
Agama Kristen Protestan tidak mengahalangi pemeluknya untuk melangsungkan

19
Muhammad Ilham, “Nikah Beda Agama dalam Kajian Hukum Islam dan Tatanan Hukum
Nasional,” TAQNIN: Jurnal Syariah dan Hukum 2, no. 1 (24 Juni 2020),
https://doi.org/10.30821/taqnin.v2i1.7513.
20
Nur Cahaya, “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam,” Hukum Islam 18, no.
2 (1 Agustus 2019): 141, https://doi.org/10.24014/hi.v18i2.4973.
21
Abd Razak Musahib, “Kajian Pernikahan Bedah Agama Menurut Hukum Islam,” Jurnal Inovasi
Penelitian 1, no. 11 (April 2021): 6, https://doi.org/10.47492/jip.v1i11.476.

53
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

perkawinan beda agama, sebagaimana pemberlakuan hukum di Indonesia.22 Menurut


Kristen Protestan perkawinan pada dasarnya ialah penyatuan pria dan wanita
berdasarkan kodratnya sebagai manusia untuk meneruskan keturunannya. Pada
umumnya Gereja ini menolak perkawinan beda agama, kecuali dalam keadaan yang
mendesak, barulah gereja memberikan izin, asalkan memenuhi persyaratan tertentu.
Adapun syarat dan ketentuan dari masing-masing Gereja Prostestan tidak selalu
sama.23
Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (MPL-
PGI) tahun 1989 merilis pernyataan bahwa perkawinan beda agama menjadi
kewenangan intitusi pemerintah untuk mencatat dan mengsahkan perkawinan melalui
kantor catatan sipil. Artinya gereja wajib mengukuhkan dan memberkati perkawinan
yang sudah sahkan secara hukum terlebih dahulu. Akan tetapi dalam pelaksanaanya,
pemeberkatan nikah di gereja digelar sebelum pencatatan sipil. Fakta dilapangan
gereja-gereja di Indonesia memiliki sudut padang yang bervariasi mengenai
perkawinan beda agama, diantaranya sebagai berikut; pertama, gereja yang setuju
terhadap perkawinan beda agama akan merekomendasikan terlebih dahulu kepada
calon pasangan untuk melakukan pernikahan secara sipil tanpa perlu pindah agama.
Setelah dianggap sah secara hukum, kemudian di akhir acara dilaksanakan disiplin
gereja dan pemberkatan perkawinan untuk kedua mempelai. Kedua, gereja
memberkati dan merestui perkawinan beda agama dilaksanakan di gereja, dengan
ketentuan pasangan non kristen berkenan untuk menaati semua aturan dan memeluk
Agama Kristen. Beberapa gereja Kristen juga ada yang tidak menekankan untuk
pindah agama, tetapi harus mendapatkan persetujuan dari pemuka agama asal untuk
diizinkan melangsungkan pernikahan di gereja. Ketiga, gereja menolak perkawinan
beda agama dan tidak akan pernah menghendaki perkawinan beda agama diatur
dalam agama mereka. Bahkan sampai ada orang Kristen yang dikeluarkan dari anggota
jemaat gereja karena menikah dengan pasangan beda agama. Selain tiga sudut
pandang di atas, pasangan juga harus memenuhi persyaratan untuk melangsungkan

22
Rifki Rufaida dan Erfaniah Zuhriyah, “Perkawinan Beda Agama Dalam Sistem Perundang-
Undangan” 7 (2022).
23
Imam Wahyujati, “Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia,” ’Aainul Haq: Jurnal
Hukum Keluarga Islam 1, no. 2 (27 Juni 2022): 49–63.

54
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

pernikahan di gereja. Persyaratan yang diberikan biasanya terdiri dari surat baptis,
formulir pemberkatan, peneguhan sidi dari masing-masing pihak, dan surat keterangan
keikutsertaan bimbingan pra-nikah dari gereja setempat.24
3. Perspektif Agama Katolik
Pada dasarnya perkawinan dalam hukum Gereja Katolik ialah hak semua
orang yang secara usia sudah dianggap dewasa. Pria dan wanita yang sudah dewasa
tidak mempunyai halangan untuk menikah. Asalkan kedua memepelai bebas untuk
saling mencintai tanpa adanya ancaman, ketakutan, dan tekanan. Terdapat 3 jenis
hukum perkawinan menurut Gereja Katolik. Pertama, pasangan yang dibaptis menjadi
Katolik keduaya disebut sakramen perkawinan. Kedua, sakramen perkawinan antara
orang Katolik dengan orang Kristen yaitu prinsip di mana keduanya dibaptis dalam
perkawinan secara Katolik oleh pastor atau diakon yang diistilahkan dengan sebutan
mixta religio (perkawinan beda gereja). Hukum dari perkawinan beda gereja ini sah,
akan tetapi harus memperoleh izin dari pihak pengurus gereja, uskup atau delegasi. Di
Semerang izin ini diperoleh dari Romo Vikep. Ketiga, Disparitas Cultus atau halangan
dalam perkawinan beda agama disebabkan salah satu pihak pasangan belum dibatis.
Diantaranya yang belum dibaptis seperti Islam, Hindu, Buddha, Konghucu bahkan
Ateis.25
Agama Katolik tidak mengesahan perkawinan beda agama karena masih
dianggap halangan, kecuali mendapat dispensasi sesuai Kanon 1086 §2 yang berbunyi
“Dari halangan itu (beda agama) janganlah diberikan dispensasi, kecuali, telah
dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kanon 1125 dan 1126”. Dalam kanon ini
menyebutkan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk dibolehkannya
melangsungkan perkawinan beda agama, sebagaimana sudah disebutkan dalam kanon
1125 dan 1126. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
Pertama, Kanon 85 menegaskan bahwa hanya undang-undang yang murni
bersifat gerejawi yang memberi izin dispensasi. Jadi, peraturan mengenai dispensasi
perkawinan beda agama merupakan kewenangan otoritas gereja. Dispensasi adalah

24
Irma Esther, “3 Hukum Nikah Beda Agama Menurut Kristen Protestan,” Organisasi
Keagamaan, TuhanYesus.org (blog), 17 November 2017, https://tuhanyesus.org/hukum-nikah-
beda-agama-menurut-kristen.
25
Siti Nur Fatoni dan Iu Rusliana, “Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas Agama di
Kota Bandung,” Varia Hukum 1, no. 1 (2019): 95–114.

55
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

kelonggaran yang diberikan otoritas gereja setelah melalui banyak pertimbangan


terhadap syarat-syarat yang sudah diberikan. Kedua, pihak Katolik meminta dispensasi
perkawinan beda agama dengan penuh kerendahan hati melalui pastor paroki. Ketiga,
dispensasi perkawinan beda agama diberikan oleh otoritas gereja yakni uskup
diosesan, administrator apostolik, administrator diosesan, vikaris episkopal, atau vikaris
jenderal (kanon 479 §1-2 dan kanon 1078 §1). Alasan yang dapat diterima dalam
pemberian dispensasi adalah alasan yang logis dan rasional (kanon 90 §1).
Menurut perspektif John P. Beal, alasan wajar dan masuk akal yang dapat
diterima dalam pemberian dipensasi perkawinan beda agama yaitu dengan adanya
janji untuk bertanggung jawab dalam memimpin keluarganya, mendidik anak-anaknya
sesuai iman Katolik, dan tidak akan meninggalkan kewajiban-kewajiban Katolik. Poin
pentingnya adalah selama alasan dispensasi tidak berdampak negatif pada kegiatan
spiritual Katolik maka permohonan dispensasi dapat diterima dalam artian tidak
melakukan pemalsuan dan penipuan kebenaran karena mengakibatkan tidak sahnya
reskrip dispensasi.26
Dalam Agama Katolik perkawinan beda agama dapat dicacatkan, jika pihak
non Katolik berkenan mematuhi aturan-aturan perkawinan Gereja Katolik supaya
perkawinannya memperoleh pengakuan, pengesahan, dan pencatatan di Kantor
Catatan Sipil. Mematuhi hukum Katolik bukan berarti beralih keyakinan atau pindah
agama menjadi Katolik. Akan tetapi hanya bersifat kesepakatan untuk mematuhi
protokol upacara perkawinan Gereja Katolik, sebab tidak pernah ada paksaan untuk
berpindah keyakinan menjadi Katolik sekalipun itu pihak dari pasangan yang bukan
Katolik tidak dipaksa berpindah agama agar perkawinannya dapat diakui dan disahkan.
Gereja Katolik memaklumi akan adanya perbedaan agama, hal ini dibuktikan dalam
Kitab Hukum Kanonik melalui perturan beda agama yang termuat di dalamnya.
Pemberlakuan Kitab Hukum Kanonik tidak hanya diterapkan di Gereja Indonesia,
melainkan bersifat universal.27

26
Postinus Gulo, “Dispensasi Gereja Katolik dalam Perkawinan Beda Agama (2),” Situs Berita
Agama, Katolikana (blog), 8 Juni 2020, https://www.katolikana.com/2020/06/08/dispensasi-
hukum-gereja-katolik-dalam-perkawinan-beda-agama-2/.
27
Matias Meindra Kwardhana, Dominikus Rato, dan Emi Zulaika, “PERKAWINAN BEDA AGAMA
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANGPERKAWINAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM KANONIK,” 1974.

56
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

4. Perspektif Agama Agama Hindu


Setiap agama pada prinsipnya mempunyai perbedaan dalam menyikapi
berbagai fenomena yang terjadi, demikian pada fenomena perkawinan beda agama,
Agama Hindu mengambil sikap untuk melarang perkawinan beda agama.28 Aturan ini
sudah disebutkan dalam Kitab Manawa Dharmasastra, buku ke-III (Tritiyo ‘dhyayah)
pasal 27 yang berbunyi:
“Acchadya carcayitwa ca, sruti sila wate swayam, ahuya danam kanyaya,
brahma dharmah prakirtitah” Artinya: Penyerahan seorang gadis yang sudah
dirias dan sudah memberikan jamuan (permata) kepada sang ahli Weda yang
baik perangainya didatangkan (oleh ayah si gadis) dinamakan cara Brahmana
Wiwaha.29
Tafsiran dari pasal tersebut adalah gadis yang sudah dirias yaitu gadis yang
berbudi luhur, berpendidikan dan taat beragama agar bisa menciptakan keluarga yang
tentram dan bahagia. Dan maksud dari memberikan jamuan kepada sang ahli Weda
adalah sebelum pasangan tersebut melanjutkan hubungannya ke jenjang perkawinan
harus terlebih dahulu mengormati orang tua yaitu dengan meminta izin atas
perkawinan kepada orang tua mereka dihadapan ahli Weda (Wiku). Jika
perkawinannya beda agama maka pihak pasangan non-Hindu harus mengikuti upacara
sudhi wadani terlebih dahulu sebelum upacara ritual pawiwahan (perkawinan).
Upacara sudhi wadani adalah upacara pegesahan status seseorang menjadi Hindu dari
agama yang dianut sebelumnya, tanpa adanya keterpaksaan.30
Perkawinan beda agama tidak disahkan dalam Agama Hindu sebagaimana
uraian di atas, Jadi jika pasangan beda agama ingin disahkan pekawinannya secara
Hindu maka pihak non-Hindu harus pindah menjadi Hindu terlebih dahulu melalui
upacara sudhi wadani yang dilakukan sebelum upacara pawiwahan, dipimpin oleh
seorang pandhita dengan mengahdirkan tiga saksi atau trisaksi yakni: Bhuta Saksi,
Manusia Saksi, dan Dewa Saksi. Dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat yang

28
Jane Marlen Makalew, “AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA,”
LEX PRIVATUM 1, no. 2 (2013): 132–44.
29
Mutiarany Mutiarany Dan Dsk Putu Ayu Leni Agustini, “Sudhi Wadani Dalam Perkawinan
Hukum Adat Bali,” Justice Voice 1, No. 2 (5 Januari 2023): 81–90,
Https://Doi.Org/10.37893/Jv.V1i2.193.
30
Makalew, “AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA.”

57
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

harus terpenuhi, diantaranya (1) Membuat surat pernyataan bahwa dirinya sukarela
bersedia menganut agama Hindu, tanpa adanya keterpaksaan dan tekanan dari pihak
lain; (2) Membuat surat permohonan kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
yang berwenang; (3) Menyelesaikan administrasi yang berupa suat permohonan untuk
sudhi wadani, pas foto, dan fotokopi KTP. Selain persyaratan administrasi juga
terdapat persyaratan untuk melaksanakan upacara sudhi wadani antara lain yaitu: (1)
Prayascita; (2) Pejati; (3) Air suci; (4) Dupa/api; (5) Sesajen Byakala dan sesajen
pelengkap lainnya. Berikut merupakan tahapan-tahapan dalam upacara sudhi wadani:
1) Menyertakan surat pernyataan masuk Agama Hindu dalam pengajuan surat
permohonan kepada PHDI sesuai administrasi di atas; 2) PHDI mengutus salah satu
rohaniwan untuk memimpin upacara sudhi wadani berdasarkan surat permohonan; 3)
Pelaksanaan upacara sudhi wadani dilakukan sesuai tanggal yang telah ditetapkan
sebeumnya, yang digelar di kediaman pasangan yang beragama Hindu lebih dulu; 4)
Upacara sudhi wadani menghadirkan masayarakat sekitar untuk dijadikan saksi; 5)
Diakhir prosesi upacara sudhi wadani, salah satu jajaran PHDI sebagai perwakilan
memberikan beberapa nasehat dasar Agama Hindu. Kemudian sesi penanda tanganan
setelah prosesi sudhi wadani berakhir.31
5. Perspektif Agama Buddha
Dalam ajaran Budhha, perkawinan bukanlah lembaran baru kehidupan dan
tidak ada paksaan untuk menikah bagi pemeluknya. Meskipun demikian, pada
kenyataannya menurut sebagian besar masyarakat perkawinan merupakan bagian dari
pola hidup untuk membentuk keluarga, meruskan keturunan dan kebutuhan biologis
lainnya. Agama Buddha tidak menghalangi pemeluknya untuk menjalin hubungan
dengan pasangan beda agama dalam ikatan perkawinan. Menurut Bikkhu Uttamo
dalam ceramahnya, perkawinan dapat menciptakan rasa saling menghargai dan
memahami perbedaan juga tidak saling mementingkan diri sendiri atas keluarganya.
Dapat diasumsikan dari pemaparan yang sudah dijelaskan bahwa Buddha tidak
melarang perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama dapat dilangsungkan
selama pasangan tersebut mampu mematuhi aturan prosesi perkawinan Buddhis,
sesuai putusan yurisprudensi Mahkamah Agung yang sebelumnya pernah mengabulkan

31
Ni Nyoman Rahmawati, “PENGESAHAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSFEKTIF
HUKUM HINDU,” Belom Bahadat 8, no. 1 (30 Juni 2019), https://doi.org/10.33363/bb.v8i1.341.

58
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

permohonan perkawinan beda agama. Oleh karena itu, dari sini dapat disimpulkan
bahwa dalam Agama Buddha perkawinan beda agama sah untuk dilakukan dan bisa
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil selaku instansi pencatat perkawinan.32
6. Perspektif Agama Konghucu
Perkawinan beda agama pada dasarnya dalam ajaran Khonghucu tidak
diperbolehkan. Candra Setiawan selaku mantan ketua umum Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia (MATAKIN) mengatakan bahwa upacara pengukuhan perawinan
hanya bisa dilakukan bagi mereka yang beragama Khonghucu.
Agama Khonghucu tidak dapat mengukuhkan perkawinan jika salah satu
pasangan tidak mengimani ajaran Khonghucu karena dalam upacara pengkuhan
perkawinannya terdapat sumpah untuk mengakui Khonghucu sebagai kepercayaannya.
MATAKIN berpendapat bahwa upacara pengukuhan perkawinan hanya bisa dilakukan
jika kedua pihak beragama Khonghucu. Maka dari itu, pihak pasangan yang berbeda
agama tidak dapat mengkiuti upacara pengkuhan perkawinan. Meskipun demikian,
perkawinan beda agama tetap bisa dilakukan karena ajaran Khonghucu tidak
sepenuhnya menghalangai perkawinan beda agama. Khonghucu memandang
perbedaan suku, bangsa, budaya, sosial bahkan agama tidak menjadi penghalang
untuk dilangsungkannnya perkawinan. Sealin itu, ajaran Khonghucu tidak pernah
memaksa pemeluk agama lain utuk menganut agama Khonghucu.33
Menurut Wakil Ketua Umum MATAKIN, Uung Sedana, penganut Khonghucu
tetap bisa mengikuti upacara pengukuhan meskipun menikah dengan pasangan beda
agama. Mereka mengabulkan permintaan perkawinan beda agama. Namun tidak dapat
mencatatatkan perkawinan dan memberikan surat pemberkatan. Surat akan
dikeluarkan ketika pihak pasangan yang berbeda agama berpindah keyakinan menjadi
Khonghucu.34

32
Sukhema Dewi, “Pandangan Pernikahan Beda Agama dalam Buddhis dan Penerapan Hukum
Indonesia,” Situs Berita Agama, Buddhazine.com (blog), 15 Desember 2017,
https://buddhazine.com/pandangan-pernikahan-beda-agama-dalam-buddhis-dan-penerapan-
hukum-indonesia/.
33
Laily Dwi Setiarini, “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” 19, no. 85
(2021).
34
Taslim HM Yasin, “Toleransi Beragama Perspektif Islam dan Kong Hu Cu,” Abrahamic
Religions: Jurnal Studi Agama-Agama 1, no. 1 (27 April 2021): 41,
https://doi.org/10.22373/arj.v1i1.9442.

59
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPSEKTIF HAK ASASI MANUSIA


Indonesia sebagai negara dengan berbagai suku, adat, bahasa, budaya dan
agama tidak berarti ada batasan dalam interaksi sosial karena manusia pada dasarnya
adalah makhluk sosial pasti membutuhkan orang lain. Diantara kebutuhan tersebut
adalah kebutuhan untuk memiliki pasangan dan terus memiliki anak setelah menikah.
Sebelum menikah, laki-laki dan perempuan perlu benar-benar memahami makna
perkawinan sebagaimana yang tertuang dalam UU No. Pada tanggal 1 Januari 1974. Di
dalamnya disebutkan bahwa hubungan yang memiliki sebuah tujuan yakni
membangun keluarga, rumah tangga yang sakina, mawadah, warahmah atau bahagia
dengan menjadikan iman kepada Tuhan sebagai pedomannya, dan dijalin oleh seorang
pria dan wanita dengan status suami dan istri merupakan definisi dari perkawinan. Dari
pengertian tersebut kemudian dapat diambil kesimpulan bahwasannya perkawinan
merupakan kemantapan yang ada dalam diri seorang wanita dan pria untuk
melangsungkan kehidupan secara bersama degan ikatan lahir dan juga batin.35
Kedudukan hak asasi manusia di Indonesia menjadi sangat penting sejak
diamandemenkannya Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini diketahui karena peraturan
terkait hak asasi manusia semakin meluas. Di sisi lain terdapat Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 yang prinsip dasarnya adalah hak-hak toleransi Indonesia terhadap hak asasi
manusia. Bagian Kedua tentang Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan dalam
Pasal 10 sebagai berikut: (1) Melaui sebuah perkawinan yang sah, maka setiap individu
berhak untuk dapat meneruskan keturunan dan membangun keluarga, (2)
Sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang bahwa suatu perkawinan dapat
dikatakan sah apabila pihak mempelai yang menghendaki, artinya tanpa ada paksaan.
Ayat pertama berisi tentang hak setiap warga tentang memiliki keturunan dan
membangun keluarga dapat diperoleh dengan melangsungkan perkawinan yang sah.
Ayat kedua berisi tentang hak individu yang memiliki kebebasan dalam melaksanakan

35
Sekarbuana, Widiawati, dan Arthanaya, “Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia di Indonesia.”

60
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

perkawinan, artinya tanpa ada sebuah paksaan maupun tekanan, hal ini merupakan
bagian dari paraturan yang tercantum dalam Undang-Undang.36

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian dan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa Indonesia melarang praktik perkawinan beda agama. Meskipun sebelumnya
telah ada ketentuan undang-undang yang mengatur perkawinan campuran atau
Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR), akan tetapi saat ini perkawinan beda
agama bukan lagi termasuk dalam perkawinan campuran, sejak ditetapkannya pada 2
Januari 1974 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
resmi mencabut Pasal 11 ayat (2) RUU Perkawinan 1973 yang menyebutkan bahwa
perbedaan agama bukan termasuk halangan perkawinan. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
diselenggarakan mengikuti aturan yang sudah ditetapkan agama dan kepercayaan
masing-masing. Perkawinan beda agama menurut Mahkamah Konstitusi dalam amar
putusannya menyatakan menolak permohonan perkawinan beda agama untuk
seluruhnya. Perspektif Yurisprudensi pernikahan beda agama diperbolehkan di KCS
hanya setelah memberikan kewenangan untuk mencatatkan perkawinan beda agama
selama belum ada Undang-Undang Perkawinan yang mengatur mengenai hal ini, maka
undang-undang sebelumnya dinyatakan tetap berlaku.
Perspektif Agama Islam memandang bahwa pernikahan tidak sah hukumnya
apabila seorang muslimah menikah dengan pria nonmuslim. Perspektif Agama Kristen
tentang perkawinan beda terbagai kedalam tiga kategori, yaitu pro artinya setuju
terhadap perkawinan beda agama akan merekomendasikan terlebih dahulu kepada
calon pasangan untuk melakukan pernikahan secara sipil tanpa perlu pindah agama,
kemudian kontra ringan yang artinya gereja memberkati dan merestui perkawinan
beda agama dilaksanakan di gereja, dengan ketentuan pasangan non kristen berkenan
untuk menaati semua aturan dan memeluk Agama Kristen, dan kontra berat yang
artinya gereja menolak perkawinan beda agama dan tidak akan pernah menghendaki
perkawinan beda agama diatur dalam agama mereka. Menurut pandangan Agama

36
Alfian Yusuf, Irit Suseno, dan Endang Prasetyawati, “Perkawinan Beda Agama Dalam
Prespektif Hak Asasi Manusia,” Jurnal Akrab Juara 6, no. 1 (Februari 2021): 68–83.

61
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

Katolik perkawinan beda agama tidak dapat disahkan, karena masih dianggap
halangan, kecuali mendapat dispensasi sesuai Kanon 1086 yang berbunyi “Dari
halangan itu (beda agama) janganlah diberikan dispensasi, kecuali, telah dipenuhi
syarat-syarat yang disebut dalam kanon 1125 dan 1126”. Pandangan Agama Hindu
tidak mengesahkan perihal perkawinan beda Agama. Jika pasangan beda agama ingin
disahkan pekawinannya secara Hindu maka pihak non-Hindu harus pindah menjadi
Hindu terlebih dahulu melalui upacara sudhi wadani yang dilakukan sebelum upacara
pawiwahan. Sedangkan menurut pandangan Agama Buddha perkawinan beda agama
sah untuk dilakukan dan bisa dicatatkan di Kantor Catatan Sipil selaku instansi
pencatat perkawinan. Agama Konghucu mengabulkan permintaan perkawinan beda
agama. Namun tidak dapat mencatatatkan perkawinan dan memberikan surat
pemberkatan. Sementara itu perspektif HAM memperbolehkan praktik perkawinan
beda agama berlandaskan Pasal 28B ayat 1 tentang hak berkeluarga dan pasal 22
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Bagian Kelima tentang Hak Kebebasan Pribadi.

DAFTAR PUSTAKA

Agustin, Fitria. “Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama menurut Hukum
Perkawinan Indonesia.” Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 1 (20 Juli 2018):
43. https://doi.org/10.30656/ajudikasi.v2i1.574.
Asiah, Nur. “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-
Undang Perkawinan dan Hukum Islam.” Samudera Keadilan: Jurnal Hukum 2,
no. 1 (2 Desember 2018): 204–14.
Cahaya, Nur. “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam.” Hukum Islam
18, no. 2 (1 Agustus 2019): 141. https://doi.org/10.24014/hi.v18i2.4973.
Dewi, Sukhema. “Pandangan Pernikahan Beda Agama dalam Buddhis dan Penerapan
Hukum Indonesia.” Situs Berita Agama. Buddhazine.com (blog), 15 Desember
2017. https://buddhazine.com/pandangan-pernikahan-beda-agama-dalam-
buddhis-dan-penerapan-hukum-indonesia/.
Erwinsyahbana, Tengku. “Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama dan Problematika
Yuridisnya.” Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 1 (2 Juli 2019): 97–114.
https://doi.org/10.24246/jrh.2018.v3.i1.p97-114.
Esther, Irma. “3 Hukum Nikah Beda Agama Menurut Kristen Protestan.” Organisasi
Keagamaan. TuhanYesus.org (blog), 17 November 2017.
https://tuhanyesus.org/hukum-nikah-beda-agama-menurut-kristen.

62
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

Fatoni, Siti Nur, dan Iu Rusliana. “Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas
Agama di Kota Bandung.” Varia Hukum 1, no. 1 (2019): 95–114.
Gulo, Postinus. “Dispensasi Gereja Katolik dalam Perkawinan Beda Agama (2).” Situs
Berita Agama. Katolikana (blog), 8 Juni 2020.
https://www.katolikana.com/2020/06/08/dispensasi-hukum-gereja-katolik-
dalam-perkawinan-beda-agama-2/.
HM Yasin, Taslim. “Toleransi Beragama Perspektif Islam dan Kong Hu Cu.” Abrahamic
Religions: Jurnal Studi Agama-Agama 1, no. 1 (27 April 2021): 41.
https://doi.org/10.22373/arj.v1i1.9442.
Ilham, Muhammad. “Nikah Beda Agama dalam Kajian Hukum Islam dan Tatanan
Hukum Nasional.” TAQNIN: Jurnal Syariah dan Hukum 2, no. 1 (24 Juni 2020).
https://doi.org/10.30821/taqnin.v2i1.7513.
Istiqomah, dan Nanda Chairunissa. “Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia.” Jurnal Berkala Fakultas Hukum
Universitas Bung Karno 1, no. 1 (1 Juni 2022).
https://www.ejurnal.ubk.ac.id/index.php/iusfacti/article/view/239/180.
Kwardhana, Matias Meindra, Dominikus Rato, dan Emi Zulaika. “Perkawinan Beda
Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dalam Perspektif Hukum Kanonik,” 1974.
Lestari, Novita. “Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Mizani 4,
no. 1 (2017): 43–52.
liputan6.com. “Kasus Pernikahan Beda Agama di Surabaya, Ini Keputusan Pengadilan
Negeri.” Situs Berita. Liputan 6 (blog), 22 Juni 2022.
https://www.liputan6.com/jatim/read/4992362/kasus-pernikahan-beda-agama-
di-surabaya-ini-keputusan-pengadilan-negeri.
Makalew, Jane Marlen. “Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama di Indonesia.” Lex
Privatum 1, no. 2 (2013): 132–44.
Meirina, Mega. “Hukum Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”
2 (2023).
Munawar, Akhmad. “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku di
Indonesia.” Al-Adl : Jurnal Hukum 7, no. 13 (Juni 2015): 21–31.
Musahib, Abd Razak. “Kajian Pernikahan Bedah Agama Menurut Hukum Islam.” Jurnal
Inovasi Penelitian 1, no. 11 (April 2021): 6.
https://doi.org/10.47492/jip.v1i11.476.
Mutiarany, Mutiarany, dan Dsk Putu Ayu Leni Agustini. “Sudhi Wadani Dalam
Perkawinan Hukum Adat Bali.” Justice Voice 1, no. 2 (5 Januari 2023): 81–90.
https://doi.org/10.37893/jv.v1i2.193.
Rahmawati, Ni Nyoman. “Pengesahan Perkawinan Beda Agama Dalam Persfektif
Hukum Hindu.” Belom Bahadat 8, no. 1 (30 Juni 2019).
https://doi.org/10.33363/bb.v8i1.341.

63
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

Rhr, Raphon Fajar. “Keabsahan Perkawinan Warga Negara Indonesia Yang Berbeda
Agama (Analisis Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dengan
Pasal 35 Huruf A Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006).” CORE, 2013, 1–20.
Rufaida, Rifki, dan Erfaniah Zuhriyah. “Perkawinan Beda Agama Dalam Sistem
Perundang-Undangan” 7 (2022).
Sekarbuana, Made Widya, Ida Ayu Putu Widiawati, dan I Wayan Arthanaya.
“Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia.”
Jurnal Preferensi Hukum 2, no. 1 (19 Maret 2021): 16–21.
https://doi.org/10.22225/jph.2.1.3044.16-21.
Setiarini, Laily Dwi. “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” 19,
no. 85 (2021).
Setiyanto, Danu Aris. “Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 68/ Puu-Xii/2014 Dalam Persperktif Ham.” Al-Ahwal: Jurnal Hukum
Keluarga Islam 9, no. 1 (1 Maret 2017): 13.
https://doi.org/10.14421/ahwal.2016.09102.
Solikhuddin, Muhammad. “Polemik Pernikahan Beda Agama dalam Tinjauan Hukum
Profetik.” Tafáqquh: Jurnal Penelitian Dan Kajian Keislaman 2, no. 2 (Desember
2014): 16–35.
Surotenojo, Annisaa Firdayanti. “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Ditijau Dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Islam.”
Lex Privatum 6, no. 8 (Oktober 2018): 192–202.
Syamsulbahri, Andi, dan Adama Mh. “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.” Al-Syakhshiyyah
Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan 2, no. 1 (25 Juli 2020): 75–85.
https://doi.org/10.35673/as-hki.v2i1.895.
Wahyujati, Imam. “Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia.” ’Aainul Haq:
Jurnal Hukum Keluarga Islam 1, no. 2 (27 Juni 2022): 49–63.
Yusuf, Alfian, Irit Suseno, dan Endang Prasetyawati. “Perkawinan Beda Agama Dalam
Prespektif Hak Asasi Manusia.” Jurnal Akrab Juara 6, no. 1 (Februari 2021): 68–
83.
Zulfadhli, Z, dan M Muksalmina. “Legalitas Hukum Perkawinan Beda Agama di
Indonesia.” Jurnal Inovasi Penelitian 2, no. 6 (November 2019): 12.
https://doi.org/10.47492/jip.v2i6.1014.

64

You might also like