Professional Documents
Culture Documents
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
Ismail Marzuki
Universitas Nurul Jadid, Indonesia
E-mail: ismail.mz2805@gmail.com
ABSTRACT
Interfaith marriage is a phenomenon that has become a polemic in Indonesia to date.
The implementation of interfaith marriages in Indonesia has become a discourse in various
juridical, religious and human rights perspectives. This study aims to describe the practice of
interfaith marriage in Indonesia from various juridical, religious and human rights perspectives.
This research is a type of qualitative research that describes juridical views, religions and
human rights towards the practice of interfaith marriage in Indonesia. This research is also a
type of library research with the primary data source being juridical documents dealing with
interfaith marriages in Indonesia, religious documents in Indonesia governing interfaith
marriages in Indonesia and also human rights documents. This research is also supported by
secondary data sources, other research results and other related documents. Methods of data
collection carried out through documentation. The results of this study indicate that a juridical
perspective covering the Marriage Law, religious law, and human rights tends to prohibit the
implementation of interfaith marriages. Interfaith marriages can have implications for the
validity of the marriage itself and the status of its offspring.
Keywords: Interfaith Marriage, Juridicalism, Religions, Human Rights
ABSTRAK
Perkawinan beda agama merupakan salah satu fenomena yang menjadi polemik di
Indonesia hingga saat ini. Pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia menjadi diskursus
dalam berbagai perspektif yuridis, agama-agama dan juga Hak Asasi Manusia. Penelitian ini
bertujuan mendeskripsikan praktik perkawinan beda agama di Indonesia dalam berbagai
perspektif yuridis, agama-agama dan Hak Asasi Manusia. Penelitian ini merupakan jenis
penelitian kualitatif yang mendeskripsikan pandangan yuridis, agama-agama dan Hak Asasi
Manusia terhadap praktik pernikahan beda agama di Indonesia. Penelitian ini juga berjenis
penelitian Pustaka (library research) dengan sumber data primer dokumen-dokumen yuridis
yang mengantur tentang pernikahan beda agama di Indonesia, dokumen agama-agama di
Indonesia yang mengatur tentang pernikahan beda agama di Indonesia dan juga dokumen Hak
Asasi Manusia. Penelitian ini juga di dukung sumber data sekunder, dokumen lain hasil
penelitian dan lainnya yang terkait. Metode pengumpulan data dilaksanakan melalui
dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perspektif yuridis meliputi Undang-
Undang Perkawinan, hukum agama-agama, dan hak asasi manusia cenderung melarang
40
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
pelaksanaan perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama dapat berimplikasi terhadap
keabsahan perkawinan itu sendiri dan status keturunannya.
Kata Kunci: Perkawinan Beda Agama, Yuridis, Agama-agama, Hak Asasi Manusia
PENDAHULUAN
Pernikahan beda Agama di Indonesia menjadi diskursus dalam berbagai
perspektif. Aspek yuridis memiliki perspektif sendiri terhadap praktik pernikahan beda
agama di Indonesia. Selain itu, agama-agama di Indonesia juga memiliki perspektif
yang berbeda-beda. Demikian juga perspektif Hak Asasi Manusia. Penelitian ini
berkontribusi bagi masyarakat Indonesia dalam memberikan wawasan berkaitan
perspektif yuridis, agama-agama dan Hak Asasi Manusia terhadap praktik pernikahan
beda agama di Indonesia.
Indonesia adalah negara dengan multi suku, bahasa, budaya, serta agama.
Kondisi keberagaman ini dapat menciptakan terbentuknya hubungan sosial antar
kelompok masyarakat yang majemuk hingga berujung pada perkawinan, diantaranya
adalah perkawinan antar agama.1 Praktik pernikahan beda agama ini melahirkan
berbagai pandangan baik secara yuridis, agama dan juga Hak Asasi Manusia.
Pedoman tentang perkawinan yang berlaku untuk masyarakat Indonesia diatur
dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan juga termasuk perbuatan hukum yang
diakui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28 B ayat (1)
sebagai hak asasi bagi seluruh masyarakat Indonesia.2 Bagi warga Negara Indonesia,
peraturan tersebut merupakan sebuah peraturan yang bernilai positif dari sudut
pandang yuridis formal. Undang-undang perkawinan ini, tidak hanya memuat asas-
asas, tetapi juga terdapat pedoman hukum yang dijadikan arahan dan diberlakukan
untuk semua warga negara Indonesia.3
1
Tengku Erwinsyahbana, “Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama dan Problematika
Yuridisnya,” Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 1 (2 Juli 2019): 97–114,
https://doi.org/10.24246/jrh.2018.v3.i1.p97-114.
2
Made Widya Sekarbuana, Ida Ayu Putu Widiawati, dan I Wayan Arthanaya, “Perkawinan Beda
Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia,” Jurnal Preferensi Hukum 2, no. 1 (19
Maret 2021): 16–21, https://doi.org/10.22225/jph.2.1.3044.16-21.
3
Nur Asiah, “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang
Perkawinan Dan Hukum Islam,” Samudera Keadilan: Jurnal Hukum 2, no. 1 (2 Desember
2018): 204–14.
41
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
4
Sekarbuana, Widiawati, dan Arthanaya, “Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia di Indonesia.”
42
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
5
Istiqomah dan Nanda Chairunissa, “Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Perspektif Hukum
Islam Dan Hak Asasi Manusia,” Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Bung Karno 1, no. 1
(1 Juni 2022), https://www.ejurnal.ubk.ac.id/index.php/iusfacti/article/view/239/180.
43
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu, pembentukan rumah tangga
dengan mempertahankan keyakinan agamanya masing-masing merupakan hak asasi
para pemohon," ucap Agung.6
Berdasarkan fenomena kasus perkawinan beda agama di atas, berbagai
problematika diskursus pernikahan beda agama di Indonesia yang melahirkan berbagai
perspektif, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan praktik perkawinan beda agama di
Indonesia dalam berbagai perspektif yuridis, agama-agama dan Hak Asasi Manusia.
Perspektif yuridis diharapkan memberikan wawasan berkaitan status yuridis pernikahan
beda agama di Indonesia. Perspektif agama-agama juga diharapkan menjadi pedoman
bagi para pemeluk agama dalam melaksanakan praktik pernikahan beda agama.
Sementara itu, perspektif Hak Asasi Manusia memberikan wawasan terhadap praktik
pernikahan beda agama di Indonesia yang merupakan negara dengan multi agama.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang mendeskripsikan
pandangan yuridis, agama-agama dan Hak Asasi Manusia terhadap praktik pernikahan
beda agama di Indonesia. Penelitian ini juga berjenis penelitian pustaka (library
research) dengan sumber data primer dokumen-dokumen yuridis yang mengatur
tentang pernikahan beda agama di Indonesia, dokumen agama-agama di Indonesia
yang mengatur tentang pernikahan beda agama di Indonesia dan juga dokumen Hak
Asasi Manusia. Penelitian ini juga di dukung sumber data sekunder, dokumen lain hasil
penelitian dan lainnya yang terkait. Metode pengumpulan data dilaksanakan melalui
dokumentasi. Penilitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yakni mengkaji
perundangan-undangan, buku, jurnal, artikel dan bahan hukum lainnya yang
berlandasan pada objek penelitian ini. Adapun tahapan analisa dalam penelitian ini
dimulai dengan mengumpulkan data kualitatif, kemudian dilanjutkan dengan
menguraikan data yang telah dikumpulkan untuk menjawab tujuan penelitian.
6
liputan6.com, “Kasus Pernikahan Beda Agama di Surabaya, Ini Keputusan Pengadilan Negeri,”
Situs Berita, Liputan 6 (blog), 22 Juni 2022,
https://www.liputan6.com/jatim/read/4992362/kasus-pernikahan-beda-agama-di-surabaya-ini-
keputusan-pengadilan-negeri.
44
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
7
Fitria Agustin, “Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama menurut Hukum Perkawinan
Indonesia,” Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 1 (20 Juli 2018): 43,
https://doi.org/10.30656/ajudikasi.v2i1.574.
45
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang diselenggarakan mengikuti aturan yang sudah ditetapkan agama dan
kepercayaan masing-masing, kemudian diteruskan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan
syarat kumulatif pengesahan perkawinan di Indonesia adalah dengan mencatatkan
perkawinan sesuai perturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua paparan dalam pasal itu menjelaskan tentang perkawinan tercover
dalam UU No. 1 Tahun 1974. Namun, pada pasal 2 ayat (1) berisi tentang penjelasan
bahwa status sebuah perkawinan dikatakan sah jika dilaksanakan sesuai dengan
aturan dan agama masing-masing. Kemudian, dijelaskan juga dengan lahirnya
pernyataan pada pasal tersebut kemudian disimpulkan bahwa tidak ada perkawinan
yang tidak sesuai dengan masing-masing kepercayaannya tidak bisa terjadi, hal ini
sesuai dengan aturan dalam UUD 1945.8 Pasal 8 F Undang-Undang Perkawinan juga
memberi pernyataan terkait hal ini bahwasanya setiap orang yang mempunyai
hubungan dilarang melangsungkan perkawinan jika hubungannya tidak sesuai dengan
aturan yang ditetapkan agama, peraturan perundang-undangan, atau peraturan lain
yang berlaku. Pasal ini menciptakan pemahaman yang berbeda disebabkan
beragamnya penafsiran mengenai perkawinan beda agama yang terjadi.9
Fenomena perkawinan beda menjadi salah satu permasalahan hukum yang
berkepanjangan tanpa ditemukannya solusi yang jelas dan tuntas. Indonesia telah
memiliki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang dijadikan
dasar hukum dalam menangani kasus perkawinan, akan tetapi dalam pelaksanannya
masih terdapat kekurangan. Diantaranya seperti perkawinan beda agama yang sampai
saat ini belum diatur dengan tegas dalam undang-undang, Sementara pada
kenyataannya kondisi masyarakat Indonesia menganut lebih dari satu agama
diantaranya yaitu: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu Buddha, dan Konghucu.10
8
Annisaa Firdayanti Surotenojo, “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Ditijau Dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam,” Lex Privatum 6, no. 8
(Oktober 2018): 192–202.
9
Raphon Fajar Rhr, “Keabsahan Perkawinan Warga Negara Indonesia Yang Berbeda Agama
(Analisis Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dengan Pasal 35 Huruf A
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006),” CORE, 2013, 1–20.
10
Andi Syamsulbahri dan Adama Mh, “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Al-Syakhshiyyah Jurnal Hukum
46
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
Seluruh aturan yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
kemudian dihapus secara resmi dengan adanya pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974. Hal ini
dikarenakan UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak tegas perihal sistem yang
diberlakukan, contoh kasusnya ialah perihal perkawinan beda agama yang belum ada
dalam UU sampai detik ini. Dalam UU hanya dipaparkan perihal aturan perkawinan
campuran, yakni berbeda kewarganegaraan. Pasal yang menyinggung soal perkawinan
beda agama ialah pasal 2 ayat satu dan ayat dua. Paparan yang menjelaskan
mengenai kategori sah dan tidaknya status suatu perkawinan merupakan intisari dari
pasal 2 ayat 1 dengan melandaskan pada norma dari masing-masing mempelai.
Kemudian yang memaparkan bahwa setiap agama memiliki ketentuan umum
mewajibkan seluruh perkawinan yang terjadi harus tercatat ialah intisari dari ayat 2.
Terkait pengaturan perkawinan di Indonesia yang menjadi problematika di
masyarakat, hukum memberikan kepercayaan penuh kepada setiap agama di
Indonesia untuk berperan penting dalam menyikapi perkawinan beda agama. Dengan
demikian berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 didaptati
bahwa pelaksanaan perkawinan tidak boleh dilakukan oleh pasangan beda agama demi
mengantisipasi adanya penyelewengan agama dan hambatan-hambatan yang
kemungkinan terjadi, kecuali pada akhirnya salah satu pihak memilih mengikuti agama
pasangannya, maka sejak saat itulah perkawinannya bisa dicatatkan dalam pencatatan
perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan.11
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/ 2014 Tentang Perkawinan
Beda Agama. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi melakukan verifikasi kesesuaian UU
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal
28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2) , Pasal 28I ayat (1) dan
(2), Pasal 28J ayat (2) , dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Pertimbangan Mahkamah
Konstitusi yang pertama terkait jaminan kebebasan memeluk agama bagi tiap-tiap
penduduk dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945 tentang
Keluarga Islam dan Kemanusiaan 2, no. 1 (25 Juli 2020): 75–85, https://doi.org/10.35673/as-
hki.v2i1.895.
11
Andi Syamsulbahri dan Adama Mh, “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Al-Syakhshiyyah Jurnal Hukum
Keluarga Islam dan Kemanusiaan 2, no. 1 (25 Juli 2020): 75–85, https://doi.org/10.35673/as-
hki.v2i1.895.
47
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
48
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
49
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
12
Danu Aris Setiyanto, “Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
68/ Puu-Xii/2014 Dalam Persperktif Ham,” Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam 9, no. 1 (1
Maret 2017): 13, https://doi.org/10.14421/ahwal.2016.09102.
13
Muhammad Solikhuddin, “Polemik Pernikahan Beda Agama dalam Tinjauan Hukum Profetik,”
Tafáqquh: Jurnal Penelitian Dan Kajian Keislaman 2, no. 2 (Desember 2014): 16–35.
50
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
upaya keduanya ialah mencoba mencatat perkawinannya di KUA, akan tetapi upaya
tersebut tidak dapat diterima oleh pihak KUA. Upaya selanjutnya mereka mencoba
mencatatkannya ke Kantor Catatan Sipil (KCS). Namun upaya mereka tidak berhenti di
situ, mereka mencoba mengajukan permohonan perkawinan beda agama ke
pengadilan, saat itu hakim Endang Sri Kawuryan mengabulkan permohonan mereka
untuk melangsungkan perkawinan, perkawinan mereka berlangsung di KCS Jakarta
Pusat pasca mendapat izin dari pengadilan.
Melihat dari contoh kasus perkawinan beda agama yang dilakukan Jamal Midad
dan Lidya Kandou maka perkawinan beda agama diperbolehkan sesuai dasar hukum
Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan: “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-
peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-
undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Oleh karena itu arti dari kalimat terkahir yang
berbunyi “perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak
berlaku” adalah selama belum ada Undang-Undang Perkawinan yang mengatur
mengenai hal ini, maka undang-undang sebelumnya dinyatakan tetap berlaku. Dengan
demikian, dengan mempertimbangkan undang-undang sebelumnya, Pasal 7 GHR
dalam kasus ini masih dapat diterima. Selain itu, dalam Yurisprudensi Mahkamah
Agung No 1400 K/Pdt/1986, pada 20 Januari 1989, memutuskan bahwa perkawinan
beda agama diperbolehkan di KCS hanya setelah memberikan kewenangan untuk
mencatatkan perkawinan beda agama.14
14
Z Zulfadhli dan M Muksalmina, “Legalitas Hukum Perkawinan Beda Agama Di Indonesia,”
Jurnal Inovasi Penelitian 2, no. 6 (November 2019): 12, https://doi.org/10.47492/jip.v2i6.1014.
51
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
sebagai makhluk sosial, yakni manusia sejatinya tidak mampu hidup secara individu
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa peran dan bantuan orang lain.15 Setiap
makhluk hidup pasti membutuhkan pekawinan tak terkecuali manusia, hewan, dan
juga tumbuhan. Perkawinan merupakan tradisi untuk kelangsungan hidup manusia
yang memiliki aturan yang menyesuaikan perkembangan peradaban manusia.16
Manusia diciptakan Tuhan dengan memberinya hawa nafsu dilengkapi dengan akal
yang keduanya tidak dimiliki oleh makhluk lain, hewan hanya memiliki nafsu dan
malaikat hanya mempunyai akal. Sebagai makhluk yang berakal tentunya terdapat
tatanan dalam kehidupan manusia berupa aturan hukum yang mempunyai tujuan guna
mengatur perilaku manusia dalam menerepkan tata tertib, menjaga keadilan, juga
meminimalisir terjadinya kekacauan di lingkungan masyarakat.17
Perkawinan memiliki makna sama dengan pernikahan dalam Agama islam, yaitu
suatu ijab qabul yang tertuang dalam aturan syariat Islam dengan tujuan
mengesahkan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan menjadi
suami dan istri. Dasar dari pernyataan tersebut terdapat dalam kalam Allah surah Ar-
Rum ayat ke-21 yang artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu paasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar- Rum: 21).18
Al-Qur’an menjadi pedoman yang paling utama dalam ajaran Islam untuk
mengatur segala perbuatan hukum, termasuk diantaranya adalah perkawinan. Dalam
sudut pandang Islam perkawinan dinilai sebagai sesuatu yang sakral karena
melibatkan Tuhan dalam perjanjiannya yang disebut akad ijab qabul. Kompilasi Hukum
Islam menyatakan bahwa adapun hal yang ada dalam perintah Presiden RI Tahun
1991 yakni Soeharto yang kemudian ditulis di tiga buku, diantaranya ialah kewarisan,
perkawinan dan perwakafan. Pada pasal 2 menjelaskan bahwa perkawinan atau
15
Akhmad Munawar, “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku di Indonesia,”
Al-Adl : Jurnal Hukum 7, no. 13 (Juni 2015): 21–31.
16
Novita Lestari, “Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Mizani 4, no. 1
(2017): 43–52.
17
Munawar, “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku di Indonesia.”
18
Mega Meirina, “Hukum Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam” 2
(2023).
52
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
19
Muhammad Ilham, “Nikah Beda Agama dalam Kajian Hukum Islam dan Tatanan Hukum
Nasional,” TAQNIN: Jurnal Syariah dan Hukum 2, no. 1 (24 Juni 2020),
https://doi.org/10.30821/taqnin.v2i1.7513.
20
Nur Cahaya, “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam,” Hukum Islam 18, no.
2 (1 Agustus 2019): 141, https://doi.org/10.24014/hi.v18i2.4973.
21
Abd Razak Musahib, “Kajian Pernikahan Bedah Agama Menurut Hukum Islam,” Jurnal Inovasi
Penelitian 1, no. 11 (April 2021): 6, https://doi.org/10.47492/jip.v1i11.476.
53
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
22
Rifki Rufaida dan Erfaniah Zuhriyah, “Perkawinan Beda Agama Dalam Sistem Perundang-
Undangan” 7 (2022).
23
Imam Wahyujati, “Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia,” ’Aainul Haq: Jurnal
Hukum Keluarga Islam 1, no. 2 (27 Juni 2022): 49–63.
54
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
pernikahan di gereja. Persyaratan yang diberikan biasanya terdiri dari surat baptis,
formulir pemberkatan, peneguhan sidi dari masing-masing pihak, dan surat keterangan
keikutsertaan bimbingan pra-nikah dari gereja setempat.24
3. Perspektif Agama Katolik
Pada dasarnya perkawinan dalam hukum Gereja Katolik ialah hak semua
orang yang secara usia sudah dianggap dewasa. Pria dan wanita yang sudah dewasa
tidak mempunyai halangan untuk menikah. Asalkan kedua memepelai bebas untuk
saling mencintai tanpa adanya ancaman, ketakutan, dan tekanan. Terdapat 3 jenis
hukum perkawinan menurut Gereja Katolik. Pertama, pasangan yang dibaptis menjadi
Katolik keduaya disebut sakramen perkawinan. Kedua, sakramen perkawinan antara
orang Katolik dengan orang Kristen yaitu prinsip di mana keduanya dibaptis dalam
perkawinan secara Katolik oleh pastor atau diakon yang diistilahkan dengan sebutan
mixta religio (perkawinan beda gereja). Hukum dari perkawinan beda gereja ini sah,
akan tetapi harus memperoleh izin dari pihak pengurus gereja, uskup atau delegasi. Di
Semerang izin ini diperoleh dari Romo Vikep. Ketiga, Disparitas Cultus atau halangan
dalam perkawinan beda agama disebabkan salah satu pihak pasangan belum dibatis.
Diantaranya yang belum dibaptis seperti Islam, Hindu, Buddha, Konghucu bahkan
Ateis.25
Agama Katolik tidak mengesahan perkawinan beda agama karena masih
dianggap halangan, kecuali mendapat dispensasi sesuai Kanon 1086 §2 yang berbunyi
“Dari halangan itu (beda agama) janganlah diberikan dispensasi, kecuali, telah
dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kanon 1125 dan 1126”. Dalam kanon ini
menyebutkan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk dibolehkannya
melangsungkan perkawinan beda agama, sebagaimana sudah disebutkan dalam kanon
1125 dan 1126. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
Pertama, Kanon 85 menegaskan bahwa hanya undang-undang yang murni
bersifat gerejawi yang memberi izin dispensasi. Jadi, peraturan mengenai dispensasi
perkawinan beda agama merupakan kewenangan otoritas gereja. Dispensasi adalah
24
Irma Esther, “3 Hukum Nikah Beda Agama Menurut Kristen Protestan,” Organisasi
Keagamaan, TuhanYesus.org (blog), 17 November 2017, https://tuhanyesus.org/hukum-nikah-
beda-agama-menurut-kristen.
25
Siti Nur Fatoni dan Iu Rusliana, “Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas Agama di
Kota Bandung,” Varia Hukum 1, no. 1 (2019): 95–114.
55
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
26
Postinus Gulo, “Dispensasi Gereja Katolik dalam Perkawinan Beda Agama (2),” Situs Berita
Agama, Katolikana (blog), 8 Juni 2020, https://www.katolikana.com/2020/06/08/dispensasi-
hukum-gereja-katolik-dalam-perkawinan-beda-agama-2/.
27
Matias Meindra Kwardhana, Dominikus Rato, dan Emi Zulaika, “PERKAWINAN BEDA AGAMA
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANGPERKAWINAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM KANONIK,” 1974.
56
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
28
Jane Marlen Makalew, “AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA,”
LEX PRIVATUM 1, no. 2 (2013): 132–44.
29
Mutiarany Mutiarany Dan Dsk Putu Ayu Leni Agustini, “Sudhi Wadani Dalam Perkawinan
Hukum Adat Bali,” Justice Voice 1, No. 2 (5 Januari 2023): 81–90,
Https://Doi.Org/10.37893/Jv.V1i2.193.
30
Makalew, “AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA.”
57
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
harus terpenuhi, diantaranya (1) Membuat surat pernyataan bahwa dirinya sukarela
bersedia menganut agama Hindu, tanpa adanya keterpaksaan dan tekanan dari pihak
lain; (2) Membuat surat permohonan kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
yang berwenang; (3) Menyelesaikan administrasi yang berupa suat permohonan untuk
sudhi wadani, pas foto, dan fotokopi KTP. Selain persyaratan administrasi juga
terdapat persyaratan untuk melaksanakan upacara sudhi wadani antara lain yaitu: (1)
Prayascita; (2) Pejati; (3) Air suci; (4) Dupa/api; (5) Sesajen Byakala dan sesajen
pelengkap lainnya. Berikut merupakan tahapan-tahapan dalam upacara sudhi wadani:
1) Menyertakan surat pernyataan masuk Agama Hindu dalam pengajuan surat
permohonan kepada PHDI sesuai administrasi di atas; 2) PHDI mengutus salah satu
rohaniwan untuk memimpin upacara sudhi wadani berdasarkan surat permohonan; 3)
Pelaksanaan upacara sudhi wadani dilakukan sesuai tanggal yang telah ditetapkan
sebeumnya, yang digelar di kediaman pasangan yang beragama Hindu lebih dulu; 4)
Upacara sudhi wadani menghadirkan masayarakat sekitar untuk dijadikan saksi; 5)
Diakhir prosesi upacara sudhi wadani, salah satu jajaran PHDI sebagai perwakilan
memberikan beberapa nasehat dasar Agama Hindu. Kemudian sesi penanda tanganan
setelah prosesi sudhi wadani berakhir.31
5. Perspektif Agama Buddha
Dalam ajaran Budhha, perkawinan bukanlah lembaran baru kehidupan dan
tidak ada paksaan untuk menikah bagi pemeluknya. Meskipun demikian, pada
kenyataannya menurut sebagian besar masyarakat perkawinan merupakan bagian dari
pola hidup untuk membentuk keluarga, meruskan keturunan dan kebutuhan biologis
lainnya. Agama Buddha tidak menghalangi pemeluknya untuk menjalin hubungan
dengan pasangan beda agama dalam ikatan perkawinan. Menurut Bikkhu Uttamo
dalam ceramahnya, perkawinan dapat menciptakan rasa saling menghargai dan
memahami perbedaan juga tidak saling mementingkan diri sendiri atas keluarganya.
Dapat diasumsikan dari pemaparan yang sudah dijelaskan bahwa Buddha tidak
melarang perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama dapat dilangsungkan
selama pasangan tersebut mampu mematuhi aturan prosesi perkawinan Buddhis,
sesuai putusan yurisprudensi Mahkamah Agung yang sebelumnya pernah mengabulkan
31
Ni Nyoman Rahmawati, “PENGESAHAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSFEKTIF
HUKUM HINDU,” Belom Bahadat 8, no. 1 (30 Juni 2019), https://doi.org/10.33363/bb.v8i1.341.
58
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
permohonan perkawinan beda agama. Oleh karena itu, dari sini dapat disimpulkan
bahwa dalam Agama Buddha perkawinan beda agama sah untuk dilakukan dan bisa
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil selaku instansi pencatat perkawinan.32
6. Perspektif Agama Konghucu
Perkawinan beda agama pada dasarnya dalam ajaran Khonghucu tidak
diperbolehkan. Candra Setiawan selaku mantan ketua umum Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia (MATAKIN) mengatakan bahwa upacara pengukuhan perawinan
hanya bisa dilakukan bagi mereka yang beragama Khonghucu.
Agama Khonghucu tidak dapat mengukuhkan perkawinan jika salah satu
pasangan tidak mengimani ajaran Khonghucu karena dalam upacara pengkuhan
perkawinannya terdapat sumpah untuk mengakui Khonghucu sebagai kepercayaannya.
MATAKIN berpendapat bahwa upacara pengukuhan perkawinan hanya bisa dilakukan
jika kedua pihak beragama Khonghucu. Maka dari itu, pihak pasangan yang berbeda
agama tidak dapat mengkiuti upacara pengkuhan perkawinan. Meskipun demikian,
perkawinan beda agama tetap bisa dilakukan karena ajaran Khonghucu tidak
sepenuhnya menghalangai perkawinan beda agama. Khonghucu memandang
perbedaan suku, bangsa, budaya, sosial bahkan agama tidak menjadi penghalang
untuk dilangsungkannnya perkawinan. Sealin itu, ajaran Khonghucu tidak pernah
memaksa pemeluk agama lain utuk menganut agama Khonghucu.33
Menurut Wakil Ketua Umum MATAKIN, Uung Sedana, penganut Khonghucu
tetap bisa mengikuti upacara pengukuhan meskipun menikah dengan pasangan beda
agama. Mereka mengabulkan permintaan perkawinan beda agama. Namun tidak dapat
mencatatatkan perkawinan dan memberikan surat pemberkatan. Surat akan
dikeluarkan ketika pihak pasangan yang berbeda agama berpindah keyakinan menjadi
Khonghucu.34
32
Sukhema Dewi, “Pandangan Pernikahan Beda Agama dalam Buddhis dan Penerapan Hukum
Indonesia,” Situs Berita Agama, Buddhazine.com (blog), 15 Desember 2017,
https://buddhazine.com/pandangan-pernikahan-beda-agama-dalam-buddhis-dan-penerapan-
hukum-indonesia/.
33
Laily Dwi Setiarini, “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” 19, no. 85
(2021).
34
Taslim HM Yasin, “Toleransi Beragama Perspektif Islam dan Kong Hu Cu,” Abrahamic
Religions: Jurnal Studi Agama-Agama 1, no. 1 (27 April 2021): 41,
https://doi.org/10.22373/arj.v1i1.9442.
59
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
35
Sekarbuana, Widiawati, dan Arthanaya, “Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia di Indonesia.”
60
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
perkawinan, artinya tanpa ada sebuah paksaan maupun tekanan, hal ini merupakan
bagian dari paraturan yang tercantum dalam Undang-Undang.36
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian dan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa Indonesia melarang praktik perkawinan beda agama. Meskipun sebelumnya
telah ada ketentuan undang-undang yang mengatur perkawinan campuran atau
Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR), akan tetapi saat ini perkawinan beda
agama bukan lagi termasuk dalam perkawinan campuran, sejak ditetapkannya pada 2
Januari 1974 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
resmi mencabut Pasal 11 ayat (2) RUU Perkawinan 1973 yang menyebutkan bahwa
perbedaan agama bukan termasuk halangan perkawinan. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
diselenggarakan mengikuti aturan yang sudah ditetapkan agama dan kepercayaan
masing-masing. Perkawinan beda agama menurut Mahkamah Konstitusi dalam amar
putusannya menyatakan menolak permohonan perkawinan beda agama untuk
seluruhnya. Perspektif Yurisprudensi pernikahan beda agama diperbolehkan di KCS
hanya setelah memberikan kewenangan untuk mencatatkan perkawinan beda agama
selama belum ada Undang-Undang Perkawinan yang mengatur mengenai hal ini, maka
undang-undang sebelumnya dinyatakan tetap berlaku.
Perspektif Agama Islam memandang bahwa pernikahan tidak sah hukumnya
apabila seorang muslimah menikah dengan pria nonmuslim. Perspektif Agama Kristen
tentang perkawinan beda terbagai kedalam tiga kategori, yaitu pro artinya setuju
terhadap perkawinan beda agama akan merekomendasikan terlebih dahulu kepada
calon pasangan untuk melakukan pernikahan secara sipil tanpa perlu pindah agama,
kemudian kontra ringan yang artinya gereja memberkati dan merestui perkawinan
beda agama dilaksanakan di gereja, dengan ketentuan pasangan non kristen berkenan
untuk menaati semua aturan dan memeluk Agama Kristen, dan kontra berat yang
artinya gereja menolak perkawinan beda agama dan tidak akan pernah menghendaki
perkawinan beda agama diatur dalam agama mereka. Menurut pandangan Agama
36
Alfian Yusuf, Irit Suseno, dan Endang Prasetyawati, “Perkawinan Beda Agama Dalam
Prespektif Hak Asasi Manusia,” Jurnal Akrab Juara 6, no. 1 (Februari 2021): 68–83.
61
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
Katolik perkawinan beda agama tidak dapat disahkan, karena masih dianggap
halangan, kecuali mendapat dispensasi sesuai Kanon 1086 yang berbunyi “Dari
halangan itu (beda agama) janganlah diberikan dispensasi, kecuali, telah dipenuhi
syarat-syarat yang disebut dalam kanon 1125 dan 1126”. Pandangan Agama Hindu
tidak mengesahkan perihal perkawinan beda Agama. Jika pasangan beda agama ingin
disahkan pekawinannya secara Hindu maka pihak non-Hindu harus pindah menjadi
Hindu terlebih dahulu melalui upacara sudhi wadani yang dilakukan sebelum upacara
pawiwahan. Sedangkan menurut pandangan Agama Buddha perkawinan beda agama
sah untuk dilakukan dan bisa dicatatkan di Kantor Catatan Sipil selaku instansi
pencatat perkawinan. Agama Konghucu mengabulkan permintaan perkawinan beda
agama. Namun tidak dapat mencatatatkan perkawinan dan memberikan surat
pemberkatan. Sementara itu perspektif HAM memperbolehkan praktik perkawinan
beda agama berlandaskan Pasal 28B ayat 1 tentang hak berkeluarga dan pasal 22
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Bagian Kelima tentang Hak Kebebasan Pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, Fitria. “Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama menurut Hukum
Perkawinan Indonesia.” Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 1 (20 Juli 2018):
43. https://doi.org/10.30656/ajudikasi.v2i1.574.
Asiah, Nur. “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-
Undang Perkawinan dan Hukum Islam.” Samudera Keadilan: Jurnal Hukum 2,
no. 1 (2 Desember 2018): 204–14.
Cahaya, Nur. “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam.” Hukum Islam
18, no. 2 (1 Agustus 2019): 141. https://doi.org/10.24014/hi.v18i2.4973.
Dewi, Sukhema. “Pandangan Pernikahan Beda Agama dalam Buddhis dan Penerapan
Hukum Indonesia.” Situs Berita Agama. Buddhazine.com (blog), 15 Desember
2017. https://buddhazine.com/pandangan-pernikahan-beda-agama-dalam-
buddhis-dan-penerapan-hukum-indonesia/.
Erwinsyahbana, Tengku. “Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama dan Problematika
Yuridisnya.” Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 1 (2 Juli 2019): 97–114.
https://doi.org/10.24246/jrh.2018.v3.i1.p97-114.
Esther, Irma. “3 Hukum Nikah Beda Agama Menurut Kristen Protestan.” Organisasi
Keagamaan. TuhanYesus.org (blog), 17 November 2017.
https://tuhanyesus.org/hukum-nikah-beda-agama-menurut-kristen.
62
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
Fatoni, Siti Nur, dan Iu Rusliana. “Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas
Agama di Kota Bandung.” Varia Hukum 1, no. 1 (2019): 95–114.
Gulo, Postinus. “Dispensasi Gereja Katolik dalam Perkawinan Beda Agama (2).” Situs
Berita Agama. Katolikana (blog), 8 Juni 2020.
https://www.katolikana.com/2020/06/08/dispensasi-hukum-gereja-katolik-
dalam-perkawinan-beda-agama-2/.
HM Yasin, Taslim. “Toleransi Beragama Perspektif Islam dan Kong Hu Cu.” Abrahamic
Religions: Jurnal Studi Agama-Agama 1, no. 1 (27 April 2021): 41.
https://doi.org/10.22373/arj.v1i1.9442.
Ilham, Muhammad. “Nikah Beda Agama dalam Kajian Hukum Islam dan Tatanan
Hukum Nasional.” TAQNIN: Jurnal Syariah dan Hukum 2, no. 1 (24 Juni 2020).
https://doi.org/10.30821/taqnin.v2i1.7513.
Istiqomah, dan Nanda Chairunissa. “Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia.” Jurnal Berkala Fakultas Hukum
Universitas Bung Karno 1, no. 1 (1 Juni 2022).
https://www.ejurnal.ubk.ac.id/index.php/iusfacti/article/view/239/180.
Kwardhana, Matias Meindra, Dominikus Rato, dan Emi Zulaika. “Perkawinan Beda
Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dalam Perspektif Hukum Kanonik,” 1974.
Lestari, Novita. “Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Mizani 4,
no. 1 (2017): 43–52.
liputan6.com. “Kasus Pernikahan Beda Agama di Surabaya, Ini Keputusan Pengadilan
Negeri.” Situs Berita. Liputan 6 (blog), 22 Juni 2022.
https://www.liputan6.com/jatim/read/4992362/kasus-pernikahan-beda-agama-
di-surabaya-ini-keputusan-pengadilan-negeri.
Makalew, Jane Marlen. “Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama di Indonesia.” Lex
Privatum 1, no. 2 (2013): 132–44.
Meirina, Mega. “Hukum Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”
2 (2023).
Munawar, Akhmad. “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku di
Indonesia.” Al-Adl : Jurnal Hukum 7, no. 13 (Juni 2015): 21–31.
Musahib, Abd Razak. “Kajian Pernikahan Bedah Agama Menurut Hukum Islam.” Jurnal
Inovasi Penelitian 1, no. 11 (April 2021): 6.
https://doi.org/10.47492/jip.v1i11.476.
Mutiarany, Mutiarany, dan Dsk Putu Ayu Leni Agustini. “Sudhi Wadani Dalam
Perkawinan Hukum Adat Bali.” Justice Voice 1, no. 2 (5 Januari 2023): 81–90.
https://doi.org/10.37893/jv.v1i2.193.
Rahmawati, Ni Nyoman. “Pengesahan Perkawinan Beda Agama Dalam Persfektif
Hukum Hindu.” Belom Bahadat 8, no. 1 (30 Juni 2019).
https://doi.org/10.33363/bb.v8i1.341.
63
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2023, 40-64
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License
Rhr, Raphon Fajar. “Keabsahan Perkawinan Warga Negara Indonesia Yang Berbeda
Agama (Analisis Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dengan
Pasal 35 Huruf A Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006).” CORE, 2013, 1–20.
Rufaida, Rifki, dan Erfaniah Zuhriyah. “Perkawinan Beda Agama Dalam Sistem
Perundang-Undangan” 7 (2022).
Sekarbuana, Made Widya, Ida Ayu Putu Widiawati, dan I Wayan Arthanaya.
“Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia.”
Jurnal Preferensi Hukum 2, no. 1 (19 Maret 2021): 16–21.
https://doi.org/10.22225/jph.2.1.3044.16-21.
Setiarini, Laily Dwi. “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” 19,
no. 85 (2021).
Setiyanto, Danu Aris. “Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 68/ Puu-Xii/2014 Dalam Persperktif Ham.” Al-Ahwal: Jurnal Hukum
Keluarga Islam 9, no. 1 (1 Maret 2017): 13.
https://doi.org/10.14421/ahwal.2016.09102.
Solikhuddin, Muhammad. “Polemik Pernikahan Beda Agama dalam Tinjauan Hukum
Profetik.” Tafáqquh: Jurnal Penelitian Dan Kajian Keislaman 2, no. 2 (Desember
2014): 16–35.
Surotenojo, Annisaa Firdayanti. “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Ditijau Dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Islam.”
Lex Privatum 6, no. 8 (Oktober 2018): 192–202.
Syamsulbahri, Andi, dan Adama Mh. “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.” Al-Syakhshiyyah
Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan 2, no. 1 (25 Juli 2020): 75–85.
https://doi.org/10.35673/as-hki.v2i1.895.
Wahyujati, Imam. “Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia.” ’Aainul Haq:
Jurnal Hukum Keluarga Islam 1, no. 2 (27 Juni 2022): 49–63.
Yusuf, Alfian, Irit Suseno, dan Endang Prasetyawati. “Perkawinan Beda Agama Dalam
Prespektif Hak Asasi Manusia.” Jurnal Akrab Juara 6, no. 1 (Februari 2021): 68–
83.
Zulfadhli, Z, dan M Muksalmina. “Legalitas Hukum Perkawinan Beda Agama di
Indonesia.” Jurnal Inovasi Penelitian 2, no. 6 (November 2019): 12.
https://doi.org/10.47492/jip.v2i6.1014.
64