You are on page 1of 12

View metadata, citation and similar papers at core.ac.

uk brought to you by CORE


provided by Portal Jurnal Universitas Serang Raya

AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, Juni 2018. Hlm 43-54

Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama


Menurut Hukum Perkawinan Indonesia
Fitria Agustin
Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Serang Raya
Email : fitriahisaan@gmail.com

Abstract
Article 2 paragraph (1) of Law Number 1 Year 1974 contains provisions that marriage shall
be considered valid if done according to the law of their respective religion and belief. The above
provision implies no marriage outside the law of each of his or her religion and belief. Intermarriages
between people of different religions will obviously cause problems as a result of the law of their
marriage, most of which include the rights and duties of each husband and wife, property in marriage,
as well as the position of the child in a marriage relationship. Problems will arise when the child has
been born starting from the pattern of upbringing until when the child is adult and ably performs
legal acts such as marriage, inheritance, and so forth. This research is intended to get answers to the
problems: (1) How the position of the Child from Marriage parents of different religions? 2) How
does the child's relationship with her parents' parent if the child chooses a religion differently from
both parents? The invention of the answer to this question is pursued by the Empirical Normative
Legal Research Method. The law acts as a Norm (Legislation), with due regard to social reality. The
results of the study are: (1) The marriage of religious differences according to the Marriage Law is
considered invalid as well as the child born of the Marriage. (2) A child born of a different religious
marriage only has a nasab with his mother.
Keywords: marriage, religious difference, the position of the child

Abstrak
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 memuat ketentuan bahwa perkawinan dianggap sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan di
atas mengisyaratkan tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu. Perkawinan antar orang yang berlainan agama jelas akan menimbulkan
permasalahan sebagai akibat hukum dari perkawinan mereka, yang sebagian besar meliputi hak dan
kewajiban masing-masing suami dan istri, harta dalam perkawinan, maupun kedudukan anak dalam
hubungan perkawinan. Permasalahan akan timbul ketika anak telah dilahirkan dimulai dari pola
pengasuhan sampai ketika anak dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukum seperti menikah,
menerima warisan, dan sebagainya. Penelitian ini ditujukan agar mendapat jawaban atas
permasalahan : (1) Bagaimana kedudukan Anak dari Perkawinan orangtuanya yang berbeda agama ?
2) Bagaimana hubungan anak dengan nasab orangtuanya jika anak memilih agama berbeda dengan
kedua orangtuanya? Penemuan jawaban atas pertanyaan ini ditempuh dengan Metode Penelitian
Hukum Normatif Empiris. Hukum bertindak sebagai Norma (Perundang-undangan), dengan
memperhatikan kenyataan sosial. Hasil Penelitian adalah : (1) Perkawinan beda agama menurut
Undang-undang Perkawinan dianggap tidak sah begitupula anak yang dilahirkan dari Perkawinan
tersebut. (2) Anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama hanya memiliki nasab dengan
ibunya.
Kata Kunci: perkawinan, beda agama, kedudukan anak

Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut


Hukum Perkawinan Indonesia 43
AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, Juni 2018. Hlm 43-54

PENDAHULUAN masing seperti bidang ibadah.1 Setiap


Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor warganegara mempunyai hak-hak yang wajib
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditegaskan diakui (recognized) oleh negara dan wajib
bahwa : Perkawinan ialah ikatan lahir bathin dihormati (respected), dilindungi (protected),
antara seorang pria dengan seorang wanita dan difasilitasi (ficilitated), serta dipenuhi
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk (fulfilled), oleh Negara.2
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan Menurut Masykuri Abdillah, eksistensi
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hukum Islam di Indonesia mempunyai 2
Dimulai dengan definisi ini, maka perkawinan bentuk : 1) Sebagai hukum formal yang
tetap diharapkan mengacu pada asas-asas dilegislasikan sebagai hukum positif untuk
Ketuhanan yang Maha Esa. Dalam hal ini umat Islam di Indonesia.; 2) Sebagai hukum
kedudukan Hukum Islam yang dialurkan normatif yang diimplementasikan secara sadar
dalam Undang-Undang Perkawinan mengatur oleh umat Islam. 3 Negara kita, sesuai dengan
bagaimana momentum Perkawinan yang difalsafahkan dalam sila 1 Pancasila
dilaksanakan. adalah Negara dengan berdasarkan Ketuhanan
Memperbincangan kedudukan hukum Yang Maha Esa. Maka sepatutnya kita
Islam dalam Undang-Undang Dasar 1945 memahami bahwa urusan dalam Perkawinan
dapat dilihat secara khusus dipahami dari Pasal yang diatur negara tidak boleh berlepas dari
29 ayat (1) UUD 1945. Dalam Pasal 29 ayat (1) tuntunan agama. Perkawinan mempunyai
ini dinyatakan bahwa negara berdasarkan hubungan yang erat sekali dengan agama
Ketuhanan Yang Maha Esa. Kaidah sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
fundamental dalam pasal ini dapat ditafsirkan unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur
diantaranya adalah : Pertama, dalam negara bathin/rohani.
Republik Indonesia ini tidak boleh ada atau Yang dimaksud dengan “Perkawinan
berlaku hukum yang bertentangan dengan antar Orang yang Berlainan Agama” di sini
kaidah-kaidah agama yang berlaku bagi ialah Perkawinan orang Islam (pria/wanita)
pemeluk agama yang berlaku di Indonesia. dengan orang bukan Islam (pria/wanita).
Kedua, negara wajib menjalankan syariat Dalam hal ini, islam membedakan hukumnya
semua agama yang berlaku di Indonesia, sebagai berikut : 4
bilamana untuk menjalankan syariat tersebut 1. Perkawinan antar seorang pria Muslim
memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ini dengan wanita Musyrik
berarti bahwa negara wajib mengatur dan 2. Perkawinan antar seorang pria Muslim
menjalankan hukum yang berasal dari ajaran dengan wanita Ahlul Kitab
agama untuk kepentingan bangsa Indonesia. 3. Perkawinan antar seorang wanita
Ketiga, syariat yang pelaksanaannya tidak Muslimah dengan seorang pria Non
memerlukan bantuan negara dapat dijalankan Muslim
sendiri oleh pemeluk agama yang Pemerintah Indonesia sebagai
bersangkutan. Ini berarti hukum yang berasal penyelenggara Negara dalam setiap
dari agama yang berlaku di Indonesia yang penggalan sejarah rezimnya selalu mengakui
dapat dijalankan sendiri oleh pemeluknya beberapa agama dan kepercayaan yang boleh
menurut kepercayaan pemeluk agama masing- hidup dan berkembang secara terbatas,

1 2
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia : Rokilah, Implikasi Kewarganegaraan Ganda bagi
Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Warganegara Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum
Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi ; Seri “Ajudikasi”, Vol. 1 No. 2, Serang-Banten : Desember
Disertasi, Badan Litbang dan Diklat Departemen 2017, hlm. 55
3
Agama RI, 2008, hlm. 131 Ibid., hlm. 132
4
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, CV. Haji Mas
Agung, Jakarta, 1998, hlm. 4

Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut


44 Hukum Perkawinan Indonesia
AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, Juni 2018. Hlm 43-54

bahkan bertanggung jawab atas eksistensi orangtuanya yang berbeda agama serta
agama, kehidupan beragama, dan kerukunan hubungan anak dengan nasab orangtuanya jika
hidup beragama. Dalam kaitan itu, sekurang- anak memilih agama berbeda dengan kedua
kurangnya terdapat tujuh aturan perundang- orangtuanya.
undangan terkait yang telah dilaksanakan.
Eksistensi peraturan perundang-undangan KERANGKA KONSEPTUAL
tersebut, selain berfungsi sebagai pelindung Jenis penelitian yang digunakan adalah
kesucian agama, ketentraman hidup beragama, Penelitian Pustaka (Library Research) yang
dan pendorong bagi umat beragama untuk bersifat normatif yaitu dengan melaksanakan
menjalankan agamanya, sekaligus merupakan penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka
pembeda dengan sistem yang berlaku di negara berupa literatur dan Perundang-undangan
lain. 5 yang berhubungan dengan kedudukan anak
Inilah yang menjadi landasan mengapa akibat perkawinan orangtuanya yang berbeda
negara harus mempertimbangkan kaidah agama. Jenis data yang digunakan adalah data
agama dalam penerapan hukumnya termasuk sekunder yang tersusun dalam bentuk literatur
dalam hal perkawinan. Masalah dalam yang terdiri dari buku-buku, jurnal-jurnal,
perkawinan yang berbeda agama akan perundang-undangan, maupun tulisan-tulisan
menimbulkan akibat hukum bagi kedudukan lainnya yang berkaitan dengan kedudukan
anak. Dalam hal ini bagaimana status anak akibat dari perkawinan orangtuanya yang
perkawinan pemeluk agama yang berbeda ini? berbeda agama.
Bagaimana pula kedudukan anak yang Teknik analisis yang dipergunakan
dilahirkan sebagai akibat hukum dari adalah Analisis Kualitatif yaitu dengan
perkawinan berbeda agama ini? Bagaimana memperhatikan keterkaitan data dengan
kedudukan nasab jika anak memilih salah satu permasalahan, maupun keterkaitan data
agama orangtuanya atau memilih agama yang dengan data lain sehingga diperoleh
berbeda dengan agama orang tuanya? Semua kesimpulan yang benar. Penarikan kesimpulan
pertanyaan di atas adalah mungkin dilakukan dengan memulai dari hal-hal yang
dipertanyakan jika terjadi perkawinan bersifat umum untuk kemudian diterapkan
dimaksud. pada hal yang bersifat khusus.
Dalam hal ini tinjauan penulis hanya Metode yang digunakan dalam
menajam pada landasan dalam Undang- penelitian ini adalah Metode Penelitian Hukum
Undang Perkawinan saja yaitu Undang- Normatif Empiris, dimana Hukum bertindak
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang sebagai Kaidah / Norma. Dalam hal ini yang
Perkawinan, dimana dalam hal ini Perkawinan menjadi titik fokus adalah Hukum sebagai
Berbeda Agama hanya menunjuk pada Normwissenschaft yang menitikberatkan pada
Pemeluk Agama Islam yang menikah dengan Hukum sebagai Tata Perundang-Undangan
Pemeluk Agama selain Islam. Adapun yang diberlakukan sebagai Hukum Positif di
pemeluk Agama selain Islam yang kemudian Indonesia. Analisa dititikberatkan pada
melakukan perkawinan dengan pemeluk peraturan perundang-undangan yang menjadi
agama lain diluar agamanya tidak dibahas pada koseptual terhadap masalah yang terjadi dan
penulisan ini. Hal ini untuk menghindari bagaimana penerapannya.
kerancuan dan kesalahpahaman rujukan dalam Secara historis berlaku berbagai hukum
kaidah agama. perkawinan bagi berbagai golongan
Berdasarkan uraian latar belakang
masalah di atas, maka dirumuskan masalah
mengenai kedudukan Anak dari Perkawinan
5
M. Saerozi, Bila Negara Mengatur Agama, Jurnal Agama Islam Negeri Mataram, Vol. VIII, Edisi 12,
Studi Islam dan Masyarakat “Ulumuna”, Institut No. 2, Juli-Des 2003, hlm. 264

Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut


Hukum Perkawinan Indonesia 45
AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, Juni 2018. Hlm 43-54

warganegara dan berbagai daerah seperti tercapai kesejahteraan spirituil dan


berikut : 6 materiil.
1) Bagi orang-orang Indonesia Asli yang 2) Suatu perkawinan adalah sah bilamana
beragama Islam berlaku hukum agama dilakukan menurut hukum masing-masing
yang telah diresipir dalam Hukum Adat agamanya dan kepercayaannya itu, dan
2) Bagi orang-orang Indonesia lainnya harus dicatat menurut peraturan
berlaku Hukum Adat perundangan yang berlaku.
3) Bagi orang-orang Indonesia Asli yang 3) Perkawinan menganut asas monogami,
beragama Kristen berlaku namun apabila dikehendaki oleh yang
Huweliksordonantie Christen Indonesia bersangkutan, karena hukum dan agama
(S. 1933 No. 74) dari yang bersangkutan mengizinkannya,
4) Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga seorang suami dapat beristri lebih dari
Negara Indonesia keturunan Cina berlaku seorang, setelah memenuhi persyaratan
ketentuan-ketentuan Kitab Undang- tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
Undang Hukum Perdata dengan sedikit 4) Batas umur untuk kawin bagi pria ialah 19
perubahan. (sembilan belas) tahun, dan bagi wanita 16
5) Bagi orang-orang Timur Asing lainnya (enam belas) tahun
dan Warga Negara Indonesia keturunan 5) Untuk mencapai tujuan perkawinan, maka
Timur Asing lainnya tersebut berlaku dianut prinsip mempersulit terjadinya
Hukum Adat mereka; perceraian, yaitu dengan menyatakan
6) Bagi orang-orang Eropa dan Warga alasan-alasan tertentu serta harus
Negara Indonesia keturunan Eropa dan dilakukan di depan sidang Pengadilan
yang disamakan dengan mereka berlaku 6) Hak dan kedudukan isteri adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seimbang dengan hak dan kedudukan
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 suami.
Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah Selanjutnya yang menjadi syarat-syarat
menegaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan Perkawinan seperti yang diatur dalam Pasal 6
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :
membentuk keluarga (rumahtangga) yang 1) Adanya persetujuan kedua calon
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan mempelai
Yang Maha Esa. Ditegaskan dalam penjelasan 2) Adanya izin dari orangtua / wali bagi
bahwa sebagai negara yang berdasarkan calon mempelai yang belum berumur 21
Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan tahun
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan 3) Umur calon mempelai pria sudah
agama sehingga perkawinan bukan saja mencapai 19 tahun dan mempelai wanita
mempunyai unsur lahir / jasmani, tetapi juga sudah mencapai 16 tahun
unsur bathin / rohani. 4) Antara kedua calon mempelai tidak ada
Beberapa asas yang tercantum dalam hubungan darah / keluarga yang dilarang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang kawin
Perkawinan adalah sebagai berikut : 5) Tidak terikat hubungan perkawinan
1) Tujuan Perkawinan adalah membentuk dengan oranglain
keluarga yang bahagia dan kekal. Masing- 6) Tidak bercerai untuk kedua kali dengan
masing pihak yaitu suami dan istri perlu suami atau itri yang sama, yang hendak
saling membantu dan melengkapi agar dikawini

6
Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga (Harta-harta
Benda dalam Perkawinan), PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2016, hlm. 41-42

Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut


46 Hukum Perkawinan Indonesia
AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, Juni 2018. Hlm 43-54

7) Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat PEMBAHASAN


kawin lagi sebelum lewat waktu tunggu Kedudukan Perkawinan Berbeda Agama
Adapun Akibat Hukum dari Perkawinan menurut Hukum Perkawinan Indonesia
adalah sebagai berikut : Momentum Perkawinan dikatakan sah,
1) Hak dan Kewajiban Suami Isteri (Pasal 30 apabila : 7
sampai dengan Pasal 34), bahwa 1) Telah dilangsungkan menurut hukum
kedudukan suami isteri adalah seimbang, agama atau kepercayaannya masing-
dengan suami sebagai kepala keluarga dan masing-masing
isteri sebagai ibu rumahtangga dengan 2) Dicatat menurut peraturan
kewajiban yang telah ditentukan, dan perundang-undangan
masing-masing pihak berhak untuk Tujuan diadakan ketentuan Pasal 2
melakukan perbuatan hukum. Dalam hal ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
ini jika suami dan isteri melalaikan adalah untuk menghindari konflik hukum
kewajibannya, maka masing-masing dapat antar hukum adar, hukum agama dan hukum
mengajukan gugatan ke pengadilan. antar golongan. 8
2) Harta benda dalam perkawinan (Pasal Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
35), bahwa akan terjadi apa yang disebut Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan
sebagai harta bersama sepanjang kedua definisi bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir
belah pihak baik suami dan isteri tidak batin antara seorang pria dengan seorang
mengadakan pemisahan harta secara wanita sebagai suami –istri dengan tujuan
khusus. Yang dimaksud harta bersama membentuk keluarga (rumah tangga yang
adalah harta benda yang diperoleh selama bahagia) dan kekal berdasarkan Ketuhanan
perkawinan. Sedang harta yang dibawa Yang Maha Esa. Berdasarkan pengertian
oleh masing-masing pihak disebut harta tersebut, terdapat 5 (Lima) unsur dalam
bawaan, dan dalam hal ini masing-masing Perkawinan, yaitu : 9
pihak mempunyai hak sepenuhnya untuk 1) Ikatan Lahir Batin
melakukan perbuatan hukum mengenai 2) Antara seorang pria dengan seorang
harta bendanya. wanita
3) Kedudukan anak yang dilahirkan dalam 3) Sebagai suami istri
atau sebagai akibat perkawinan yang sah 4) Membentuk keluarga (rumah tangga)
(Pasal 42), bahwa anak yang sah ini yang bahagia dan kekal
memiliki hak waris atas harta kedua orang 5) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
tuanya. Menurut Pasal 1 Undang-Undang
Pasal 3 dalam Kompilasi Hukum Islam Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
juga menyebutkan tujuan dari perkawinan merumuskan, bahwa ikatan suami istri
menurut Hukum Islam yaitu untuk berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang perkawinan merupakan perikatan yang suci.
sakinah, mawaddah dan rahmah. Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama
yang dianut suami-istri. Hidup bersama suami-
istri dalam perkawinan tidak semata-mata
untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada
pasangan suami-istri, tetapi dapat membentuk
rumahtangga yang bahagia, rumahtangga yang
rukun, aman dan harmonis antara suami-istri.

7 8
Salim H.S. dan Erlies Septiana Nurbaini, Ibid., hlm. 150
9
Perbandingan Hukum Perdata (Comparative Civil Rosnidar Sembiring, Op. Cit., hlm. 42-43
Law), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm.
149

Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut


Hukum Perkawinan Indonesia 47
AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, Juni 2018. Hlm 43-54

Perkawinan salah satu perjanjian suci antara DKI Jakarta memfatwakan tentang Hukum
seorang laki-laki dengan seorang perempuan Perkawinan antara Pemeluk Agama Islam
untuk membentuk keluarga bahagia. 10 (muslim) dengan Pemeluk Agama Lain (non
Salah satu asas yang tercantum dalam muslim), dengan Fatwa Nomor : 13 / Fatwa /
Undang-Undang Perkawinan adalah MUI-DKI / II / 2000 yang menyempurnakan
Perkawinan hanya sah bilamana dilakukan atas seruan MUI DKI Jakarta tentang
menurut hukum masing-masing agamanya dan Perkawinan Antar Agama, tanggal 26
kepercayaannya. Artinya, Perkawinan akan Muharram 1407 H / 30 September 1986,
dianggap sah bilamana perkawinan itu sebagai berikut :16
dilaksanakan menurut hukum agama atau 1. Bahwa perkawinan seorang pemeluk
kepercayaan agama yang dianut oleh calon agama Islam laki-laki (muslim) dengan
mempelai. Kedua calon mempelai harus perempuan musyrikah (mengakui
seagama atau seiman, kecuali hukum banyak Tuhan) atau perkawinan
agamanya atau kepercayaannya itu seorang pemeluk agama Islam
menentukan lain. (Prinsip pada Pasal 2 ayat (1) perempuan (muslimah) dengan laki-
Undang-Undang Perkawinan). 11 laki musyrik adalah haram dan tidak
Ibnu Hazm berpendapat bahwa tidak sah. Hal ini didasarkan pada firman
dihalalkan bagi seorang wanita muslimah Allah SWT dalam Al Quran surat Al
menikahi seorang lelaki yang tidak beragama Baqarah ayat 221 yang artinya :
Islam. Tidak pula dihalalkan bagi seorang kafir “Dan janganlah kamu nikahi wanita-
untuk memiliki seorang hamba sahaya yang wanita musyrik, sebelum mereka
muslim dan juga seorang budak wanita beriman. Sesungguhnya wanita
muslimah.12 Al Imam Abul A’la al Maududi budak yang mukmin lebih baik dari
menyatakan bahwa sesungguhnya bahwa wanita musyrik, walaupun dia
perkawinan dengan orang-orang nonmuslim, menarik hatimu. Dan janganlah
walaupun dibolehkan bagi lelaki muslimin kamu menikahkan orang-orang
dengan hukum makruh, disamping ada juga musyrik (dengan wanita-wanita
sebagian ulama yang berpendapat hukumnya mukmin) sebelum mereka beriman.
haram, tapi yang pasti ulama sepakat bahwa Sesungguhnya budak yang mukmin
perkawinan itu diharamkan bagi wanita lebih baik dari orang musyrik
muslimah selamanya.13 walaupun dia menarik hatimu.
Bagi gereja Khatolik, perkawinan Mereka mengajak ke neraka, sedang
antara seseorang yang beragama Khatolik Allah mengajak ke surga dan
dengan orang yang bukan Khatolik, dan tidak ampunan dengan izin-Nya. Dan
dilakukan menurut hukum agama Khatolik Allah menerangkan ayat-ayatNya
dianggap tidak sah.14 Perkawinan antara (perintah-perintahNya) kepada
pemeluk agama yang berbeda dimana salah manusia supaya mereka mengambil
satu calon mempelai beragama Hindu tidak pelajaran (Q.S. Al Baqarah, 2 : 221)
diperbolehkan dan Pedande / Pendeta akan
menolak untuk mengesahkan perkawinan Abdurrahman al Jaziry dalam Kitab Al
tersebut.15 Majelis Ulama Indonesia (MUI) Fiqh ‘Ala al Madzabihib al Arba’ah

10 14
Ibid., hlm. 43 O.S. Eoh, Perkawinan antar Agama dalam Teori dan
11
Ibid., hlm. 51 Praktek, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001,
12
Abdul Muta’al al Jabri, Apa Bahayanya Menikah hlm. 119
15
dengan Wanita Nonmuslim? Tinjauan Fiqh dan Ibid., hlm. 125
16
Politik, Gema Insani Press, Jakarta, 2003, hlm. 22 Majelis Ulama Indonesia, Fiqh Indonesia (Himpunan
13
Ibid., hlm. 27 Fatwa-fatwa Aktual), Editor : M. Hamdan Rasyid, Al
Mawardi Prima, Jakarta, 2003, hlm. 171

Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut


48 Hukum Perkawinan Indonesia
AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, Juni 2018. Hlm 43-54

(Beirut : Dar al Fiqr, 1995), juz ke 4, (menjadi isteri) bagi mereka yang
halaman 75-76, menyatakan sebagai bukan muslim; sedang mereka
berikut : 17 (yang bukan muslim) pun tidak
“Dan tidak halal bagi seorang halal (menjadi suami) bagi mereka
muslimah kawin dengan laki-laki (wanita mukmin/muslim)” (Q.S. Al
ahli kitab, sebagaimana juga tidak Mumtahanah, 60 :10)
halal dengan laki-laki (bukan
muslim) lainnya, karena syarat sah 3. Dalam keadaan tertentu, seorang pria
nya perkawinan seorang muslimah muslim diperbolehkan menikah
adalah calon suami harus laki-laki dengan wanita ahli kitab (Yahudi dan
muslim. Dalilnya ialah firman Nasrani) dengan syarat-syarat yang
Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang sangat ketat. Hal ini didasarkan pada
artinya : {dan janganlah kamu firman Allah dalam Al Quran surat Al
kawini wanita-wanita musyrik Maa’idah ayat 5 yang artinya : 19
hingga mereka beriman} dan “Pada hari ini dihalalkan bagimu
firmanNya yang ditujukan kepada yang baik-baik. Makanan
laki-laki : {dan janganlah kamu (sembelihan) orang-orang yang
kawinkan laki-laki musyrik diberi alkitab itu halal bagimu, dan
(dengan wanita muslim) hingga makanan kamu halal pula bagi
mereka beriman}. Kedua ayat ini mereka. (Dan dihalalkan
menegaskan bahwa tidak halal bagi mengawini) wanita-wanita yang
laki-laki muslim mengawini wanita menjaga kehormatan diantara
musyrik dan tidak halal bagi wanita wanita-wanita yang beriman dan
muslimah mengawini laki-laki wanita-wanita yang menjaga
musyrik dalam keadaan kehormatan diantara orang-orang
bagaimanapun, kecuali setelah yang diberi Alkitab sebelum kamu,
mereka beriman (masuk Islam).” bila kamu telah membayar
maskawin mereka dengan maksud
2. Wanita muslimah, haram dan tidak sah menikahinya, tidak dengan maksud
secara mutlak menikah dengan laki- berzina dan tidak (pula)
laki kafir, baik musyrik, ahli kitab menjadikannya gundik-gundik.
(Yahudi dan Nasrani) maupun yang Barangsiapa yang kafir sesudah
lain. Jika dipaksakan, maka beriman (tidak menerima hukum-
pernikahannya batal dan tidak sah. Jika hukumIslam) maka hapuslah
mereka melakukan hubungan suami- amalannya dan ia dihari akhirat
isteri, maka hukumnya haram. Hal ini termasuk orang-orang merugi.”
didasarkan pada firman Allah dalam Al (Q.S. Al Maa’idah, 5 : 5)
Quran surat Al Mumtahanah ayat 10
yang artinya : 18 Adapun syarat-syarat yang harus
“Apabila kamu mengetahui bahwa dipenuhi oleh seorang pria yang ingin
mereka benar-benar wanita menikah dengan wanita ahli kitab
mukmin (muslim), maka janganlah (Yahudi dan Nasrani) adalah sebagai
kamu mengembalikan mereka berikut :
kepada suaminya (yang non a. Pernikahan itu harus dilakukan
muslim); karena mereka (wanita berdasarkan syari’at Islam dengan
mukmin/muslim) itu tidak halal memenuhi syarat-syarat dan rukun-
17 19
Ibid., hlm. 172 Ibid., 178
18
Ibid., 174

Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut


Hukum Perkawinan Indonesia 49
AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, Juni 2018. Hlm 43-54

rukun pernikahan yang disebutkan isteri mempunyai kesan positif


dalam kitab-kitab fiqh. Seperti terhadap ajaran-ajaran agama Islam
adanya calon suami, calon isteri, yang tercermin dari sikap dan
wali dan dua orang saksi yang perilaku suami, yang akhirnya
beragama Islam dan bersifat adil diharapkan isteri dengan kesadaran
serta ijab qabul. Disamping itu sendiri, tanpa paksaan siapapun
harus dicatat pada Kantor Urusan bersedia memeluk agama Islam.
Agama (KUA) kecamatan Imam Syafi’i meriwayatkan
setempat sesuai dengan ketentuan bahwa Atha berkata : 20
perundang-undangan yang “Orang-orang Nasrani Arab
berlaku. Jika pernikahan dilakukan bukanlah Ahli Kitab. Yang
di gereja di hadapan pastur yang dikatakan Ahli Kitab hanyalah
memberkatinya atau hanya dicatat mereka yang berasal dari Bani
di Kantor Catatan Sipil, maka Israel dan orang-orang yang
pernikahannya tidak sah. diberikan kepada mereka kitab
b. Calon suami berkeyakinan, bahwa Taurat dan Injil. Adapun orang
ia tidak akan terpengaruh dengan yang masuk kepada agama mereka,
agama isteri, sehingga dia tidak tidak dianggap sebagai golongan
akan murtad atau berpindah ke mereka (Ahli Kitab).”
agama isteri. Karena agama Islam Selain itu, Imam Syafi’i. Ulama
mewajibkan kepada umatnya untuk Malikiyah dan Hanafiyah telah
mempertahankan agama Islam menyatakan bahwa orang-orang Ahli
hingga akhir hayat. (Q.S. Ali Kitab adalah orang-orang musyrik (al
Imran, 3 : 102) Ahkam Ibnu Hazm, Juz 2, halaman
c. Calon suami (pria muslim) benar- 148). 21
benar yakin bahwa ia akan mampu 4. Jika pria muslim yang hendak menikah
memenuhi kewajibannya sebagai dengan Ahli Kitab (Yahudi atau
seorang ayah yang beragama Islam, Nasrani) tidak mampu memenuhi
termasuk dalam mendidik anak- syarat-syarat di atas, maka haram
anaknya sesuai dengan ajaran baginya menikahi wanita non muslim,
Islam, sehingga mereka akan apalagi jika mafsadah (bahaya) nya
tumbuh dan berkembang menjadi jelas-jelas lebih besar daripada
muslim dan muslimah yang taat. manfaatnya.
Karena agama Islam mewajibkan 5. Sehubungan dengan fatwa ini, Komisi
kepada umatnya untuk mendidik Fatwa MUI DKI Jakarta menyerukan
anak-anaknya sehingga mereka kepada para pemuda muslim dan
menjadi muslimin dan muslimat muslimah agar tidak berpacaran
yang taat dan akhirnya selamat apalagi menikah dengan orang-orang
serta terlindung dari siksa api non muslim.
neraka. (Q.S. At Tahrim, 66 : 6) 6. Apabila ada seorang pria non muslim
d. Calon suami (pria muslim) benar- menyatakan ingin masuk Islam karena
benar yakin bahwa dia akan mampu hendak mengawini seorang wanita
memenuhi kewajibannya sebagai muslimah, maka hendaknya wali
seorang suami, termasuk dalam wanita tersebut membuat suatu
menggauli isteri dengan baik perjanjian kawin yang menyatakan,
(mu’asyarah bil ma’ruf), sehingga bahwa jika suami murtad dari agama

20
Abdul Muta’al al Jabri, Op.Cit., hlm. 43 21
Ibid., hlm. 96

Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut


50 Hukum Perkawinan Indonesia
AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, Juni 2018. Hlm 43-54

Islam atau kembali ke agama asalnya, Kitab. Yang dikatakan Ahli Kitab hanyalah
maka perkawinan menjadi batal dan mereka yang berasal dari Bani Israel dan
mereka harus dipisahkan karena suami orang-orang yang diberikan kepada mereka
menjadi murtad. Kitab Taurat dan Injil. Adapun orang yang
Dalam Islam, hukum dipandang masuk kepada agama mereka, tidak dianggap
sebagai bagian dari dari ajaran agama, dan sebagai golongan mereka (Ahli Kitab). 25
norma-norma hukum bersumber pada Dalam perkawinan orang tuanya yang
agama. Umat Islam meyakini bahwa berbeda agama, hubungan anak dengan orang
Hukum Islam berdasarkan wahyu Ilahi. tuanya memiliki banyak ketentuan yang antara
Oleh karena itu, ia disebut Syariah, yang lain : 26
berarti jalan yang digariskan Tuhan untuk 1) Jika bapaknya beragama Islam sedang
manusia. 22 ibunya bukan beragama Islam, maka
Syariah Islam memelihara dan selama ia belum memilih agama mana
menjaga nilai-nilai moral. Untuk tujuan ini, yang akan ia anut, ia akan dianggap
ada banyak ketentuan di dalam syariah mengikuti agama Bapaknya. Namun
untuk memelihara dan melindungi tia-tiap jika ternyata ketika dewasa ia memilih
nilai moral. 23 mengikuti agama ibunya yang bukan
beragama Islam atau agama selain
Kedudukan Anak akibat Perkawinan kedua orangtuanya (bukan beragama
Orang Tuanya yang Berbeda Agama Islam) maka anak ini akan terputus
Anak yang dilahirkan dari perkawinan hubungan nasabnya dengan orang
seorang wanita muslimah dengan laki-laki non tuanya yang beragama Islam
muslim dianggap anak tidak sah. Ketentuan ini (Bapaknya)
didasarkan pada Fatwa MUI yang menyatakan 2) Jika Bapaknya bukan beragama Islam
bahwa wanita muslimah haram dan tidak sah sedang ibunya beragama Islam, maka
secara mutlak menikah dengan laki-laki kafir, ia dianggap anak tidak sah, karena ia
baik musyrik, ahli kitab, maupun yang lain. akan dibangsakan menurut keturunan
Jika dipaksakan maka pernikahannya dianggap bapaknya. Namun jika ternyata ketika
batal dan tidak sah, demikian pula jika mereka dewasa ia memilih memeluk agama
melakukan hubungan suami istri maka Islam, maka ia hanya memiliki
hukumnya haram. 24 hubungan nasab dengan ibunya yang
Anak yang dilahirkan dari hubungan beragama Islam saja, dan hubungan
perkawinan antara laki-laki muslim dengan nasab (keturunan) antara ia dengan
wanita non muslim dianggap tidak sah, karena bapaknya terputus.27
pembolehan laki-laki menikah selain dengan Perwalian anak yang dilahirkan
wanita muslimah hanya kepada wanita ahli dari hubungan perkawinan antara laki-
kitab. Saat ini disepakati tidak ada lagi ahli laki yang beragama Islam dengan
kitab, karena hampir setiap orang menyatakan wanita yang beragama selain Islam
diri sebagai pemeluk agama tertentu. Imam menjadi tanggung jawab dan berada di
Syafi’i meriwayatkan bahwa Atha berkata : bawah penguasaan Bapaknya. Jika
“Orang-orang Nasrani Arab bukanlah Ahli sang anak adalah seorang wanita, maka
22
Moh. Lutfi Nurcahyono, Pembaruan Metode Asy Syamil Press dan Grafika, Bandung, 2000, hlm.
Penemuan Hukum Islam : Pendekatan Terpadu 81
24
Hukum Islam dan Sosial, Jurnal Studi Keislaman Majelis Ulama Indonesia, Op.Cit., hlm. 176
“Ulumuna”, Vol. 16 No. 1 (Juni) 2012, Institut 25
Ibid.
Agama Islam Negeri Mataram, ISSN 1411-3457, 26
Abdul Muta’al al Jabri, Op. Cit., hlm. 43
hlm. 27 27
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, CV. Toha
23
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam : Putra, Semarang, 1978, hlm. 512
Penerapan Syariah Islam dalam Konteks Modernitas,

Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut


Hukum Perkawinan Indonesia 51
AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, Juni 2018. Hlm 43-54

ketika ia akan menikah maka ayahnya beragama Islam dan tidak terhalang karena
(bapaknya) sah untuk menjadi wali hukum untuk menjadi ahli waris. 30
nikahnya. Jika ia memilih agama selain Kata “beragama Islam” dalam hal
Islam, maka perwaliannya tidak lagi ini tentu menegaskan bahwa selain
ada pada bapaknya. Jika ia wanita beragama Islam tidak bisa menjadi Ahli
maka wali nikahnya tidak bisa Waris bagi Pewaris yang beragama Islam.
diwakilkan kepada ayahnya Dengan begitu amat tegas dinyatakan
(bapaknya) karena perbedaan agama pentingnya agama dalam pembagian harta
antara keduanya. Perwalian bagi anak waris.
yang dilahirkan dari hubungan
perkawinan antara wanita yang PENUTUP
beragama Islam dengan laki-laki yang Kesimpulan
beragama selain Islam hanya Berdasarkan uraian permasalahan
dikuasakan kepada ibunya saja. Anak tersebut di atas, maka dapat diuraikan
yang dilahirkan dalam hubungan kesimpulan sebagai berikut :
perkawinan ini hanya memiliki 1. Bahwa berdasarkan Undang-Undang
hubungan nasab dengan ibunya saja.28 Perkawinan di Indonesia, perkawinan
Ahli Waris laki-laki maupun antar pemeluk agama yang berbeda
perempuan terhalang mendapat harta dianggap tidak sah. Dalam hal ini Laki-
warisan jika terdapat salah satu sebab laki muslim tetap dilarang menikah
berikut, yaitu : 29 dengan Wanita nonmuslim, begitupun
1) Perbedaan Agama Wanita Muslimah dilarang menikah
2) Pembunuh dengan Laki-laki Nonmuslim.
3) Budak Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Berdasarkan fatwa MUI DKI UU Nomor 1 Tahun 1974 maka
Jakarta, ditetapkan hal-hal yang perkawinan dianggap sah apabila
berhubungan dengan kewarisan dilakukan menurut agama dan
sebagai berikut : kepercayaannya masing-masing.
1) Berdasarkan ajaran Islam, sesudah Momentum Perkawinan dikatakan sah,
kedua orangtua meninggal dunia, maka apabila telah dilangsungkan menurut
seluruh harta benda yang ditinggalkan hukum agama atau kepercayaannya
menjadi hak milik keluarga yang masing-masing-masing.
menjadi ahli waris. 2. Anak yang dilahirkan dari perkawinan
2) Harta peninggalan orangtua yang seorang wanita muslimah dengan laki-
beragama Islam hanya bisa diwariskan laki non muslim dianggap anak tidak
kepada anak-anaknya yang beragama sah. Ketentuan ini didasarkan pada
Islam pula dan tidak dapat diwarisi Fatwa MUI yang menyatakan bahwa
oleh anak-anaknya yang tidak wanita muslimah haram dan tidak sah
beragama Islam. secara mutlak menikah dengan laki-
Spesifikasi sistem hukum waris laki kafir, baik musyrik, ahli kitab,
Islam menurut Al Quran salah satunya maupun yang lain. Jika dipaksakan
adalah Ahli Waris adalah orang yang maka pernikahannya dianggap batal
berhak mewarisi karena hubungan dan tidak sah, demikian pula jika
kekerabatan (nasab) atau hubungan mereka melakukan hubungan suami
perkawinan (nikah) dengan pewaris, istri maka hukumnya haram. Anak
yang dilahirkan dari hubungan
28 30
Ibid., hlm. 513 Rosnidar Sembiring, Op. Cit., hlm. 199
29
Ibid., hlm. 516

Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut


52 Hukum Perkawinan Indonesia
AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, Juni 2018. Hlm 43-54

perkawinan antara laki-laki muslim H. S. , Salim dan Erlies Septiana Nurbaini.


dengan wanita non muslim dianggap Perbandingan Hukum Perdata
tidak sah, karena pembolehan laki-laki (Comparative Civil Law). Jakarta :
menikah selain dengan wanita PT. RajaGrafindo Persada, 2015
muslimah hanya kepada wanita ahli Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqh Islam Lengkap.
kitab. Saat ini disepakati tidak ada lagi Semarang : CV. Toha Putra, 1978
ahli kitab, karena hampir setiap orang Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana
menyatakan diri sebagai pemeluk Islam : Penerapan Syariah Islam
agama tertentu. dalam Konteks Modernitas. Bandung
: Asy Syamil Press dan Grafika, 2000
Saran Sembiring, Rosnidar. Hukum Keluarga
Berdasarkan kesimpulan di atas, perlu (Harta-harta Benda dalam
dikemukakan beberapa saran sebagai berikut : Perkawinan). Jakarta : PT.
1. Diharapkan ada sosialisasi kembali RajaGrafindo Persada, 2016
secara berkala dan menyeluruh terkait Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Jakarta :
dengan Perkawinan yang Berbeda CV. Haji Mas Agung, 1998
Agama se awal mungkin. Lembaga Jurnal
Perkawinan beserta strukturalnya Nurcahyono, Moh. Lutfi. Pembaruan Metode
hendaknya lebih banyak Penemuan Hukum Islam :
menyampaikan dan memberi Pendekatan Terpadu Hukum Islam
pemahaman mengenai hal ini. dan Sosial. Jurnal Studi Keislaman
2. Diharapkan Lembaga Perkawinan juga “Ulumuna”, Vol. 16 No. 1 (Juni)
memberikan himbauan berkala dan 2012, ISSN 1411-3457, Institut
berkelanjutan jika ternyata sudah Agama Islam Negeri Mataram : 2012
terlanjur menemukan beberapa kasus M. Saerozi, Bila Negara Mengatur Agama,
kejadian terkait kedudukan anak yang Jurnal Studi Islam dan Masyarakat
Orangtuanya Berbeda Agama. Peran “Ulumuna”, Vol. VIII, Edisi 12, No.
serta lembaga terkait dalam hal 2, Juli-Des 2003, Institut Agama
pemahaman dan perlindungan baik Islam Negeri Mataram : 2003
administrasi dan hak-hak sebagai Rokilah. Implikasi Kewarganegaraan Ganda
subjek hukum amat berarti. bagi Warganegara Indonesia. Jurnal
Ilmu Hukum “Ajudikasi”, Vol. 1 No.
DAFTAR PUSTAKA 2, Serang-Banten : Desember 2017
Buku-buku Peraturan Perundang-Undangan
Al Jabri, Abdul Muta’al. Apa Bahayanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Lembar Negara Tahun
Menikah dengan Wanita Nonmuslim?
1974 Nomor 1; Tambahan Lembar
Tinjauan Fiqh dan Politik. Jakarta : Negara Nomor 3019
Gema Insani Press, 2003 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Eoh, O.S. Perkawinan antar Agama dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
Teori dan Praktek. Jakarta : PT. 1991, Direktorat Pembinaan Badan
RajaGrafindo Persada, 2001 Peradilan Agama Islam ; Direktorat
Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Indonesia : Kajian Posisi Hukum Agama Islam; Departemen Agama
Islam dalam Politik Hukum Republik Indonesia, 2001
Pemerintahan Orde Baru dan Era Majelis Ulama Indonesia, Fiqh Indonesia
Reformasi. Seri Disertasi, Badan (Himpunan Fatwa-fatwa Aktual),
Litbang dan Diklat Departemen Editor : M. Hamdan Rasyid, Al
Agama RI, 2008 Mawardi Prima, Jakarta, 2003

Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut


Hukum Perkawinan Indonesia 53
AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, Juni 2018. Hlm 43-54

Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut


54 Hukum Perkawinan Indonesia

You might also like