Professional Documents
Culture Documents
AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, Juni 2018. Hlm 43-54
Abstract
Article 2 paragraph (1) of Law Number 1 Year 1974 contains provisions that marriage shall
be considered valid if done according to the law of their respective religion and belief. The above
provision implies no marriage outside the law of each of his or her religion and belief. Intermarriages
between people of different religions will obviously cause problems as a result of the law of their
marriage, most of which include the rights and duties of each husband and wife, property in marriage,
as well as the position of the child in a marriage relationship. Problems will arise when the child has
been born starting from the pattern of upbringing until when the child is adult and ably performs
legal acts such as marriage, inheritance, and so forth. This research is intended to get answers to the
problems: (1) How the position of the Child from Marriage parents of different religions? 2) How
does the child's relationship with her parents' parent if the child chooses a religion differently from
both parents? The invention of the answer to this question is pursued by the Empirical Normative
Legal Research Method. The law acts as a Norm (Legislation), with due regard to social reality. The
results of the study are: (1) The marriage of religious differences according to the Marriage Law is
considered invalid as well as the child born of the Marriage. (2) A child born of a different religious
marriage only has a nasab with his mother.
Keywords: marriage, religious difference, the position of the child
Abstrak
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 memuat ketentuan bahwa perkawinan dianggap sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan di
atas mengisyaratkan tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu. Perkawinan antar orang yang berlainan agama jelas akan menimbulkan
permasalahan sebagai akibat hukum dari perkawinan mereka, yang sebagian besar meliputi hak dan
kewajiban masing-masing suami dan istri, harta dalam perkawinan, maupun kedudukan anak dalam
hubungan perkawinan. Permasalahan akan timbul ketika anak telah dilahirkan dimulai dari pola
pengasuhan sampai ketika anak dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukum seperti menikah,
menerima warisan, dan sebagainya. Penelitian ini ditujukan agar mendapat jawaban atas
permasalahan : (1) Bagaimana kedudukan Anak dari Perkawinan orangtuanya yang berbeda agama ?
2) Bagaimana hubungan anak dengan nasab orangtuanya jika anak memilih agama berbeda dengan
kedua orangtuanya? Penemuan jawaban atas pertanyaan ini ditempuh dengan Metode Penelitian
Hukum Normatif Empiris. Hukum bertindak sebagai Norma (Perundang-undangan), dengan
memperhatikan kenyataan sosial. Hasil Penelitian adalah : (1) Perkawinan beda agama menurut
Undang-undang Perkawinan dianggap tidak sah begitupula anak yang dilahirkan dari Perkawinan
tersebut. (2) Anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama hanya memiliki nasab dengan
ibunya.
Kata Kunci: perkawinan, beda agama, kedudukan anak
1 2
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia : Rokilah, Implikasi Kewarganegaraan Ganda bagi
Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Warganegara Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum
Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi ; Seri “Ajudikasi”, Vol. 1 No. 2, Serang-Banten : Desember
Disertasi, Badan Litbang dan Diklat Departemen 2017, hlm. 55
3
Agama RI, 2008, hlm. 131 Ibid., hlm. 132
4
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, CV. Haji Mas
Agung, Jakarta, 1998, hlm. 4
bahkan bertanggung jawab atas eksistensi orangtuanya yang berbeda agama serta
agama, kehidupan beragama, dan kerukunan hubungan anak dengan nasab orangtuanya jika
hidup beragama. Dalam kaitan itu, sekurang- anak memilih agama berbeda dengan kedua
kurangnya terdapat tujuh aturan perundang- orangtuanya.
undangan terkait yang telah dilaksanakan.
Eksistensi peraturan perundang-undangan KERANGKA KONSEPTUAL
tersebut, selain berfungsi sebagai pelindung Jenis penelitian yang digunakan adalah
kesucian agama, ketentraman hidup beragama, Penelitian Pustaka (Library Research) yang
dan pendorong bagi umat beragama untuk bersifat normatif yaitu dengan melaksanakan
menjalankan agamanya, sekaligus merupakan penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka
pembeda dengan sistem yang berlaku di negara berupa literatur dan Perundang-undangan
lain. 5 yang berhubungan dengan kedudukan anak
Inilah yang menjadi landasan mengapa akibat perkawinan orangtuanya yang berbeda
negara harus mempertimbangkan kaidah agama. Jenis data yang digunakan adalah data
agama dalam penerapan hukumnya termasuk sekunder yang tersusun dalam bentuk literatur
dalam hal perkawinan. Masalah dalam yang terdiri dari buku-buku, jurnal-jurnal,
perkawinan yang berbeda agama akan perundang-undangan, maupun tulisan-tulisan
menimbulkan akibat hukum bagi kedudukan lainnya yang berkaitan dengan kedudukan
anak. Dalam hal ini bagaimana status anak akibat dari perkawinan orangtuanya yang
perkawinan pemeluk agama yang berbeda ini? berbeda agama.
Bagaimana pula kedudukan anak yang Teknik analisis yang dipergunakan
dilahirkan sebagai akibat hukum dari adalah Analisis Kualitatif yaitu dengan
perkawinan berbeda agama ini? Bagaimana memperhatikan keterkaitan data dengan
kedudukan nasab jika anak memilih salah satu permasalahan, maupun keterkaitan data
agama orangtuanya atau memilih agama yang dengan data lain sehingga diperoleh
berbeda dengan agama orang tuanya? Semua kesimpulan yang benar. Penarikan kesimpulan
pertanyaan di atas adalah mungkin dilakukan dengan memulai dari hal-hal yang
dipertanyakan jika terjadi perkawinan bersifat umum untuk kemudian diterapkan
dimaksud. pada hal yang bersifat khusus.
Dalam hal ini tinjauan penulis hanya Metode yang digunakan dalam
menajam pada landasan dalam Undang- penelitian ini adalah Metode Penelitian Hukum
Undang Perkawinan saja yaitu Undang- Normatif Empiris, dimana Hukum bertindak
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang sebagai Kaidah / Norma. Dalam hal ini yang
Perkawinan, dimana dalam hal ini Perkawinan menjadi titik fokus adalah Hukum sebagai
Berbeda Agama hanya menunjuk pada Normwissenschaft yang menitikberatkan pada
Pemeluk Agama Islam yang menikah dengan Hukum sebagai Tata Perundang-Undangan
Pemeluk Agama selain Islam. Adapun yang diberlakukan sebagai Hukum Positif di
pemeluk Agama selain Islam yang kemudian Indonesia. Analisa dititikberatkan pada
melakukan perkawinan dengan pemeluk peraturan perundang-undangan yang menjadi
agama lain diluar agamanya tidak dibahas pada koseptual terhadap masalah yang terjadi dan
penulisan ini. Hal ini untuk menghindari bagaimana penerapannya.
kerancuan dan kesalahpahaman rujukan dalam Secara historis berlaku berbagai hukum
kaidah agama. perkawinan bagi berbagai golongan
Berdasarkan uraian latar belakang
masalah di atas, maka dirumuskan masalah
mengenai kedudukan Anak dari Perkawinan
5
M. Saerozi, Bila Negara Mengatur Agama, Jurnal Agama Islam Negeri Mataram, Vol. VIII, Edisi 12,
Studi Islam dan Masyarakat “Ulumuna”, Institut No. 2, Juli-Des 2003, hlm. 264
6
Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga (Harta-harta
Benda dalam Perkawinan), PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2016, hlm. 41-42
7 8
Salim H.S. dan Erlies Septiana Nurbaini, Ibid., hlm. 150
9
Perbandingan Hukum Perdata (Comparative Civil Rosnidar Sembiring, Op. Cit., hlm. 42-43
Law), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm.
149
Perkawinan salah satu perjanjian suci antara DKI Jakarta memfatwakan tentang Hukum
seorang laki-laki dengan seorang perempuan Perkawinan antara Pemeluk Agama Islam
untuk membentuk keluarga bahagia. 10 (muslim) dengan Pemeluk Agama Lain (non
Salah satu asas yang tercantum dalam muslim), dengan Fatwa Nomor : 13 / Fatwa /
Undang-Undang Perkawinan adalah MUI-DKI / II / 2000 yang menyempurnakan
Perkawinan hanya sah bilamana dilakukan atas seruan MUI DKI Jakarta tentang
menurut hukum masing-masing agamanya dan Perkawinan Antar Agama, tanggal 26
kepercayaannya. Artinya, Perkawinan akan Muharram 1407 H / 30 September 1986,
dianggap sah bilamana perkawinan itu sebagai berikut :16
dilaksanakan menurut hukum agama atau 1. Bahwa perkawinan seorang pemeluk
kepercayaan agama yang dianut oleh calon agama Islam laki-laki (muslim) dengan
mempelai. Kedua calon mempelai harus perempuan musyrikah (mengakui
seagama atau seiman, kecuali hukum banyak Tuhan) atau perkawinan
agamanya atau kepercayaannya itu seorang pemeluk agama Islam
menentukan lain. (Prinsip pada Pasal 2 ayat (1) perempuan (muslimah) dengan laki-
Undang-Undang Perkawinan). 11 laki musyrik adalah haram dan tidak
Ibnu Hazm berpendapat bahwa tidak sah. Hal ini didasarkan pada firman
dihalalkan bagi seorang wanita muslimah Allah SWT dalam Al Quran surat Al
menikahi seorang lelaki yang tidak beragama Baqarah ayat 221 yang artinya :
Islam. Tidak pula dihalalkan bagi seorang kafir “Dan janganlah kamu nikahi wanita-
untuk memiliki seorang hamba sahaya yang wanita musyrik, sebelum mereka
muslim dan juga seorang budak wanita beriman. Sesungguhnya wanita
muslimah.12 Al Imam Abul A’la al Maududi budak yang mukmin lebih baik dari
menyatakan bahwa sesungguhnya bahwa wanita musyrik, walaupun dia
perkawinan dengan orang-orang nonmuslim, menarik hatimu. Dan janganlah
walaupun dibolehkan bagi lelaki muslimin kamu menikahkan orang-orang
dengan hukum makruh, disamping ada juga musyrik (dengan wanita-wanita
sebagian ulama yang berpendapat hukumnya mukmin) sebelum mereka beriman.
haram, tapi yang pasti ulama sepakat bahwa Sesungguhnya budak yang mukmin
perkawinan itu diharamkan bagi wanita lebih baik dari orang musyrik
muslimah selamanya.13 walaupun dia menarik hatimu.
Bagi gereja Khatolik, perkawinan Mereka mengajak ke neraka, sedang
antara seseorang yang beragama Khatolik Allah mengajak ke surga dan
dengan orang yang bukan Khatolik, dan tidak ampunan dengan izin-Nya. Dan
dilakukan menurut hukum agama Khatolik Allah menerangkan ayat-ayatNya
dianggap tidak sah.14 Perkawinan antara (perintah-perintahNya) kepada
pemeluk agama yang berbeda dimana salah manusia supaya mereka mengambil
satu calon mempelai beragama Hindu tidak pelajaran (Q.S. Al Baqarah, 2 : 221)
diperbolehkan dan Pedande / Pendeta akan
menolak untuk mengesahkan perkawinan Abdurrahman al Jaziry dalam Kitab Al
tersebut.15 Majelis Ulama Indonesia (MUI) Fiqh ‘Ala al Madzabihib al Arba’ah
10 14
Ibid., hlm. 43 O.S. Eoh, Perkawinan antar Agama dalam Teori dan
11
Ibid., hlm. 51 Praktek, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001,
12
Abdul Muta’al al Jabri, Apa Bahayanya Menikah hlm. 119
15
dengan Wanita Nonmuslim? Tinjauan Fiqh dan Ibid., hlm. 125
16
Politik, Gema Insani Press, Jakarta, 2003, hlm. 22 Majelis Ulama Indonesia, Fiqh Indonesia (Himpunan
13
Ibid., hlm. 27 Fatwa-fatwa Aktual), Editor : M. Hamdan Rasyid, Al
Mawardi Prima, Jakarta, 2003, hlm. 171
(Beirut : Dar al Fiqr, 1995), juz ke 4, (menjadi isteri) bagi mereka yang
halaman 75-76, menyatakan sebagai bukan muslim; sedang mereka
berikut : 17 (yang bukan muslim) pun tidak
“Dan tidak halal bagi seorang halal (menjadi suami) bagi mereka
muslimah kawin dengan laki-laki (wanita mukmin/muslim)” (Q.S. Al
ahli kitab, sebagaimana juga tidak Mumtahanah, 60 :10)
halal dengan laki-laki (bukan
muslim) lainnya, karena syarat sah 3. Dalam keadaan tertentu, seorang pria
nya perkawinan seorang muslimah muslim diperbolehkan menikah
adalah calon suami harus laki-laki dengan wanita ahli kitab (Yahudi dan
muslim. Dalilnya ialah firman Nasrani) dengan syarat-syarat yang
Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang sangat ketat. Hal ini didasarkan pada
artinya : {dan janganlah kamu firman Allah dalam Al Quran surat Al
kawini wanita-wanita musyrik Maa’idah ayat 5 yang artinya : 19
hingga mereka beriman} dan “Pada hari ini dihalalkan bagimu
firmanNya yang ditujukan kepada yang baik-baik. Makanan
laki-laki : {dan janganlah kamu (sembelihan) orang-orang yang
kawinkan laki-laki musyrik diberi alkitab itu halal bagimu, dan
(dengan wanita muslim) hingga makanan kamu halal pula bagi
mereka beriman}. Kedua ayat ini mereka. (Dan dihalalkan
menegaskan bahwa tidak halal bagi mengawini) wanita-wanita yang
laki-laki muslim mengawini wanita menjaga kehormatan diantara
musyrik dan tidak halal bagi wanita wanita-wanita yang beriman dan
muslimah mengawini laki-laki wanita-wanita yang menjaga
musyrik dalam keadaan kehormatan diantara orang-orang
bagaimanapun, kecuali setelah yang diberi Alkitab sebelum kamu,
mereka beriman (masuk Islam).” bila kamu telah membayar
maskawin mereka dengan maksud
2. Wanita muslimah, haram dan tidak sah menikahinya, tidak dengan maksud
secara mutlak menikah dengan laki- berzina dan tidak (pula)
laki kafir, baik musyrik, ahli kitab menjadikannya gundik-gundik.
(Yahudi dan Nasrani) maupun yang Barangsiapa yang kafir sesudah
lain. Jika dipaksakan, maka beriman (tidak menerima hukum-
pernikahannya batal dan tidak sah. Jika hukumIslam) maka hapuslah
mereka melakukan hubungan suami- amalannya dan ia dihari akhirat
isteri, maka hukumnya haram. Hal ini termasuk orang-orang merugi.”
didasarkan pada firman Allah dalam Al (Q.S. Al Maa’idah, 5 : 5)
Quran surat Al Mumtahanah ayat 10
yang artinya : 18 Adapun syarat-syarat yang harus
“Apabila kamu mengetahui bahwa dipenuhi oleh seorang pria yang ingin
mereka benar-benar wanita menikah dengan wanita ahli kitab
mukmin (muslim), maka janganlah (Yahudi dan Nasrani) adalah sebagai
kamu mengembalikan mereka berikut :
kepada suaminya (yang non a. Pernikahan itu harus dilakukan
muslim); karena mereka (wanita berdasarkan syari’at Islam dengan
mukmin/muslim) itu tidak halal memenuhi syarat-syarat dan rukun-
17 19
Ibid., hlm. 172 Ibid., 178
18
Ibid., 174
20
Abdul Muta’al al Jabri, Op.Cit., hlm. 43 21
Ibid., hlm. 96
Islam atau kembali ke agama asalnya, Kitab. Yang dikatakan Ahli Kitab hanyalah
maka perkawinan menjadi batal dan mereka yang berasal dari Bani Israel dan
mereka harus dipisahkan karena suami orang-orang yang diberikan kepada mereka
menjadi murtad. Kitab Taurat dan Injil. Adapun orang yang
Dalam Islam, hukum dipandang masuk kepada agama mereka, tidak dianggap
sebagai bagian dari dari ajaran agama, dan sebagai golongan mereka (Ahli Kitab). 25
norma-norma hukum bersumber pada Dalam perkawinan orang tuanya yang
agama. Umat Islam meyakini bahwa berbeda agama, hubungan anak dengan orang
Hukum Islam berdasarkan wahyu Ilahi. tuanya memiliki banyak ketentuan yang antara
Oleh karena itu, ia disebut Syariah, yang lain : 26
berarti jalan yang digariskan Tuhan untuk 1) Jika bapaknya beragama Islam sedang
manusia. 22 ibunya bukan beragama Islam, maka
Syariah Islam memelihara dan selama ia belum memilih agama mana
menjaga nilai-nilai moral. Untuk tujuan ini, yang akan ia anut, ia akan dianggap
ada banyak ketentuan di dalam syariah mengikuti agama Bapaknya. Namun
untuk memelihara dan melindungi tia-tiap jika ternyata ketika dewasa ia memilih
nilai moral. 23 mengikuti agama ibunya yang bukan
beragama Islam atau agama selain
Kedudukan Anak akibat Perkawinan kedua orangtuanya (bukan beragama
Orang Tuanya yang Berbeda Agama Islam) maka anak ini akan terputus
Anak yang dilahirkan dari perkawinan hubungan nasabnya dengan orang
seorang wanita muslimah dengan laki-laki non tuanya yang beragama Islam
muslim dianggap anak tidak sah. Ketentuan ini (Bapaknya)
didasarkan pada Fatwa MUI yang menyatakan 2) Jika Bapaknya bukan beragama Islam
bahwa wanita muslimah haram dan tidak sah sedang ibunya beragama Islam, maka
secara mutlak menikah dengan laki-laki kafir, ia dianggap anak tidak sah, karena ia
baik musyrik, ahli kitab, maupun yang lain. akan dibangsakan menurut keturunan
Jika dipaksakan maka pernikahannya dianggap bapaknya. Namun jika ternyata ketika
batal dan tidak sah, demikian pula jika mereka dewasa ia memilih memeluk agama
melakukan hubungan suami istri maka Islam, maka ia hanya memiliki
hukumnya haram. 24 hubungan nasab dengan ibunya yang
Anak yang dilahirkan dari hubungan beragama Islam saja, dan hubungan
perkawinan antara laki-laki muslim dengan nasab (keturunan) antara ia dengan
wanita non muslim dianggap tidak sah, karena bapaknya terputus.27
pembolehan laki-laki menikah selain dengan Perwalian anak yang dilahirkan
wanita muslimah hanya kepada wanita ahli dari hubungan perkawinan antara laki-
kitab. Saat ini disepakati tidak ada lagi ahli laki yang beragama Islam dengan
kitab, karena hampir setiap orang menyatakan wanita yang beragama selain Islam
diri sebagai pemeluk agama tertentu. Imam menjadi tanggung jawab dan berada di
Syafi’i meriwayatkan bahwa Atha berkata : bawah penguasaan Bapaknya. Jika
“Orang-orang Nasrani Arab bukanlah Ahli sang anak adalah seorang wanita, maka
22
Moh. Lutfi Nurcahyono, Pembaruan Metode Asy Syamil Press dan Grafika, Bandung, 2000, hlm.
Penemuan Hukum Islam : Pendekatan Terpadu 81
24
Hukum Islam dan Sosial, Jurnal Studi Keislaman Majelis Ulama Indonesia, Op.Cit., hlm. 176
“Ulumuna”, Vol. 16 No. 1 (Juni) 2012, Institut 25
Ibid.
Agama Islam Negeri Mataram, ISSN 1411-3457, 26
Abdul Muta’al al Jabri, Op. Cit., hlm. 43
hlm. 27 27
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, CV. Toha
23
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam : Putra, Semarang, 1978, hlm. 512
Penerapan Syariah Islam dalam Konteks Modernitas,
ketika ia akan menikah maka ayahnya beragama Islam dan tidak terhalang karena
(bapaknya) sah untuk menjadi wali hukum untuk menjadi ahli waris. 30
nikahnya. Jika ia memilih agama selain Kata “beragama Islam” dalam hal
Islam, maka perwaliannya tidak lagi ini tentu menegaskan bahwa selain
ada pada bapaknya. Jika ia wanita beragama Islam tidak bisa menjadi Ahli
maka wali nikahnya tidak bisa Waris bagi Pewaris yang beragama Islam.
diwakilkan kepada ayahnya Dengan begitu amat tegas dinyatakan
(bapaknya) karena perbedaan agama pentingnya agama dalam pembagian harta
antara keduanya. Perwalian bagi anak waris.
yang dilahirkan dari hubungan
perkawinan antara wanita yang PENUTUP
beragama Islam dengan laki-laki yang Kesimpulan
beragama selain Islam hanya Berdasarkan uraian permasalahan
dikuasakan kepada ibunya saja. Anak tersebut di atas, maka dapat diuraikan
yang dilahirkan dalam hubungan kesimpulan sebagai berikut :
perkawinan ini hanya memiliki 1. Bahwa berdasarkan Undang-Undang
hubungan nasab dengan ibunya saja.28 Perkawinan di Indonesia, perkawinan
Ahli Waris laki-laki maupun antar pemeluk agama yang berbeda
perempuan terhalang mendapat harta dianggap tidak sah. Dalam hal ini Laki-
warisan jika terdapat salah satu sebab laki muslim tetap dilarang menikah
berikut, yaitu : 29 dengan Wanita nonmuslim, begitupun
1) Perbedaan Agama Wanita Muslimah dilarang menikah
2) Pembunuh dengan Laki-laki Nonmuslim.
3) Budak Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Berdasarkan fatwa MUI DKI UU Nomor 1 Tahun 1974 maka
Jakarta, ditetapkan hal-hal yang perkawinan dianggap sah apabila
berhubungan dengan kewarisan dilakukan menurut agama dan
sebagai berikut : kepercayaannya masing-masing.
1) Berdasarkan ajaran Islam, sesudah Momentum Perkawinan dikatakan sah,
kedua orangtua meninggal dunia, maka apabila telah dilangsungkan menurut
seluruh harta benda yang ditinggalkan hukum agama atau kepercayaannya
menjadi hak milik keluarga yang masing-masing-masing.
menjadi ahli waris. 2. Anak yang dilahirkan dari perkawinan
2) Harta peninggalan orangtua yang seorang wanita muslimah dengan laki-
beragama Islam hanya bisa diwariskan laki non muslim dianggap anak tidak
kepada anak-anaknya yang beragama sah. Ketentuan ini didasarkan pada
Islam pula dan tidak dapat diwarisi Fatwa MUI yang menyatakan bahwa
oleh anak-anaknya yang tidak wanita muslimah haram dan tidak sah
beragama Islam. secara mutlak menikah dengan laki-
Spesifikasi sistem hukum waris laki kafir, baik musyrik, ahli kitab,
Islam menurut Al Quran salah satunya maupun yang lain. Jika dipaksakan
adalah Ahli Waris adalah orang yang maka pernikahannya dianggap batal
berhak mewarisi karena hubungan dan tidak sah, demikian pula jika
kekerabatan (nasab) atau hubungan mereka melakukan hubungan suami
perkawinan (nikah) dengan pewaris, istri maka hukumnya haram. Anak
yang dilahirkan dari hubungan
28 30
Ibid., hlm. 513 Rosnidar Sembiring, Op. Cit., hlm. 199
29
Ibid., hlm. 516