You are on page 1of 4

Moulay Idris

Siapa dia?
Ia Bernama lengkap Idris bin Abdullah bin Hasan bin Ali, juga dikenal sebagai “Idris
yang tua” (Arab: Idris Al-Akbar)[1]. Garis keturunannya menyambung sampai Hasan bin Ali,
yang merupakan putra dari Fatimah dan cucu dari Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan
pewaris Bani Abbasiyah dan dianggap sebagai pendiri Dinasti Idrissiyah yang nantinya akan
menjadi tonggak awal berdirinya Kerajaan Maroko, seperti yang kita ketahui saat ini.
Penyebutan “Moulay” di depan namanya, merupakan istilah yang digunakan orang-orang
Maghribul Aqsha (wilayah Maroko) untuk memuliakan keturunan Nabi SAW. Hal ini berbeda
dengan daerah lain, yang menisbatkan gelar Syarif atau Sayyid untuk anak keturunan Ali dan
Fatimah dari anak cucu Hassan dan Hussein. Kadang, keturunan Hussain disebut dengan
“Sayyid” dan keturunan Hassan disebut dengan “Syarif”. Unsur yang suci ini dibarengi
penyebutannya dengan shalawat kepada Nabi SAW. Sebagaimana shalawat adalah
kebanggaan abadi umat Islam, yakni penghormatan yang berkaitan dengan syafaat yang
diharapkan dari kakek mereka, Nabi terpilih Muhammad SAW[2].

Konflik Dinasti Umayyah - Abassiyah dengan para Syi’ah dan Alawiyyun


Ketika berbicara tentang kisah hidup Moulay Idris, pasti tak dapat dipisahkan dengan
kisah Sejarah berdirinya Dinasti Idrissiyah di Maroko. Dimulai pada tahun 670 M, Saat
pasukan Bani Umayyah di bawah pimpinan Uqbah bin Nafi’ berhasil menaklukan Afrika
Utara dan sekitarnya, termasuk Maroko hingga ke Pantai Atlantik. Maka berawal dari
peristiwa inilah budaya dan ajaran Islam masuk ke wilayah tersebut dan berkembang pesat
menjadi peradaban besar dalam sejarah Islam.
Pada Masa berakhirnya kekhalifahan Bani Umayyah, disintegrasi politik diantara mereka
mengakibatkan lepasnya wilayah-wilayah yang berada jauh dari jangkauan pemerintah pusat
Bani Umayyah termasuk daerah Maghribul Aqsha. Hal ini menjadi salah satu faktor yang
mendukung berdirinya Dinasti Abbasiyah, dimana mereka berhasil membentuk kelompok
solidaritas yang merasa tertindas pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Salah satu
kelompok yang bersekutu dengan Bani Abbas untuk menumbangkan Dinasti Umayyah
adalah kelompok Syi’ah dan Alawiyyun.
Saat berdirinya pemerintahan Bani Abbasiyah, Awal kekhalifahan mereka juga tidak
luput berkonflik dengan para kelompok Syi’ah dan Alawiyyun, terutama saat Khalifah Al-
Mansur berkuasa. Dikarnakan, para pemimpin Abbasiyah yang melakukan revolusi terhadap
sisa-sisa Dinasti Umayyah, berakibat pada penindasan kaum Syi’ah dan Alawiyyun, sehingga
mereka juga berbalik melakukan berbagai pemberontakan pada pemerintahan Abbasiyah.
Akan tetapi pada tahun 763 M, saat khalifah Al-Mahdi memimpin, dia berhasil
menyelesaikan konflik dan membuat mereka tenang sampai sekitar seperempat abad yakni
pada 763-785 M[3][4].

Perang Fakh
Keadaan damai berubah menjadi keadaan perang dengan kaum Syi’ah dan Alawiyyun,
ketika Musa Al-Hadi menduduki kekhalifahan pada tahun 785 M. Dimana Al-Hadi menganut
paham politik yang berseberangan dengan ayahnya Al-Mahdi. Dia menganiaya kaum
Alawiyyun, memberlakukan mereka seperti tahanan kerajaan dan menuduh mereka dengan
tuduhan-tuduhan palsu. Salah satunya, menuduh mereka melanggar ajaran Islam dengan
melakukan hal-hal yang diharamkan. Dia menjatuhkan hukuman pada mereka. Kemudian
mengalungkan tali dileher mereka dan memerintahkan mereka diarak keliling kota dengan
punggung terbuka untuk mempermalukan mereka. Dia menuntut agar mereka di arak setiap
hari, sehingga menjauhkan mereka dari umat Islam
Tindakan ini membuat kaum Syi’ah dan Alawiyyun marah, sehingga pemuka mereka
bernama Husein bin Ali, keturunan Hasan bin Ali, Bersama dengan kerabatnya Yahya bin
Abdullah dan Idris bin Abdullah (Moulay Idris) berencana melakukan pemberontakan di
Makkah selama ibadah haji tahunan. Maka pada tanggal 11 juni 786 M, Husein bin Ali
Bersama dengan pengikutnya yang berjumlah 300 orang berangkat menuju Makkah.
Mengetahui kejadian ini, khalifah Abbasiyah Musa Al-Hadi menunjuk pamannya untuk
menangani para pemberontak. Dengan pasukan Abbasiyah yang lebih unggul jumlah dan
perlengkapan, dibanding dengan kaum Alawiyyun, maka yang terjadi bukanlah pertempuran
melainkan pembantaian. Kedua kubu bertemu di wadi Fakh (sekitar 4 kilometer barat laut
Makkah). Pertempuran dimulai saat fajar, dimana pasukan Abbasiyah pun memenangkan
perperangan dengan telak. Lebih dari seratus pengikut husein tewas, dan kepala mereka
dibawa pasukan Abbasiyah untuk dilaporkan pada Al-Hadi, sedangkan yang lain
memanfaatkan aman untuk menyerah. Para jenazah yang tewas tidak terkubur di medan
perang selama tiga hari; Bani Abbasiyah tidak mengizinkan penguburan mereka sampai
binatang dan burung memakannya. Para ahli Sejarah menyebutkan bahwa, pertempuran ini
begitu hebatnya sampai sebelum dan sesudah Karbala, tidak ada bencana yang lebih parah
dan mengerikan daripada perang Fakh. Banyak puisi Syi’ah meratapi kematian mereka dan
sebagainya[6].

Pelarian Idris bin Abdullah dan Berdirinya Dinasti Idrissiyah


Qodarullah, pada saat pasukan Abbasiyah sedang membasmi mereka, Idris bin Abdullah
Bersama saudaranya Yahya bin Abdullah berhasil selamat dan melarikan diri dari pasukan
Abbasiyah. Menyadari hal ini, Al-Hadi serius mencari dan memburu kaum Alawiyyun yang
berhasil melarikan diri. Ia mengarahkan pandangannya ke jalan-jalan dan memasang
pengintai diseluruh pinggiran negri.
Disini Idris Bersama budaknya bernama Rashid, menghindari kesulitan ini dengan
melakukan kamuflase dan mendandaninya dengan pakaian tua yang robek. Ditambahkannya
pula bahwa Rashid menjadikan Idris seperti budaknya. Dalam keadaan ini, Idris
meninggalkan hijaz setelah meninggalkan keluarga dan uangnya di Madinah. Idris
memanfaatkan kesempataan untuk menyelinap pada rombongan jamaah haji yang pergi
kerumah masing-masing menuju Mesir dan Afrika. Idris dan saudaranya berpencar, Yahya
bin Abdullah memilih wilayah Dailam (kini Iran), sedangkan Idris bin Abdullah memilih
wilayah Maghreb (kini Maroko).
Idris bin Abdullah tiba di Walila pada tahun 788 M. Walila adalah sebuah situs Volubillis
milik kekaisaran romawi. Saat di Walila, ia menemukan sebuah kota didekat kaki Gunung
Zerhoun (kini menjadi nama tempat dan makam “Moulay Idris Zerhoun”) yang dihuni oleh
suku asli Berber. Suku asli Berber ini dipimpin oleh kepala suku Awraba yang kuat bernama
Ishaq bin Muhammad. Latar belakang bahwa Idris masih keturunan Rasulullah SAW. ini pun
menjadi faktor utama diterimanya ia oleh Ishaq. Idris pun akhirnya menikah dengan putri
Ishaq, yang Bernama Khanza Al-Ouarbi atau yang dikenal juga dengan Kenza. Momen ini
dianggap sebagai konsolidasi dan kelahiran Dinasti Idrissiyah. Dengan istrinya ini, ia
mempunyai seorang putra yang bernama Idris II. Kelahiran Idris II ini dianggap sebagai cikal
bakal terbentuknya Dinasti Arab pertama kali diluar Timur Tengah. Yang menjadi wilayah
terbesar kekuasaan Islam setelah Andalusia. Wilayah ini pun dinamai dengan Maroko[3][5].
Idris melebarkan kekuasaannya hingga ke utara Maroko dan menemukan Kota Fez yang
nantinya dijadikan sebagai ibukota Dinasti Idrisid oleh putranya, Idris II. Dinasti pertama
yang ada di Maroko tersebut merupakan penganut Syi’ah-Alawiy. Bertahun-tahun sering
terjadi konflik antara Dinasti Idrissiyah dan Dinasti Abbasiyah. Pada tahun 790 M, Idris
tertangkap di wilayah Tlemcen, Algeria. Penangkapan ini sebagai bentuk balas dendam
Harun Al-Rasyid yang Ketika itu memimpin Khilafah Abbasiyah. Idris dibunuh oleh utusan
Al-Rasyid bernama Ibnu Jarir Al-Shammah dengan cara diracuni dan meninggal pada tahun
791 M.

Idrissiyah sepeninggalnya
Setelah ayahnya terbunuh, Idris II dibesarkan oleh suku ibunya, Awraba. Mereka
meninggalkan Walila, Volubillis, menuju Fes. Disana Idris II mendapat Pendidikan terbaik.
Kecerdasannya mengingatkan kita pada Ibnu Sina, seorang ilmuwan muslim yang hampir
menguasai semua bidang ilmu pengetahuan. Ia mengerti dan menghafal isi Al-Quran pada
umur 8 tahun.
Dua puluh tahun setelahnya, Idris II membangun Kembali kota Fes. Dari sana ia
mengajarkan islam dan mendirikan kembali Dinasti Idrissiyah dibawah konsep ketauhidan
Islam. Meskipun Idris mempunyai simpati Syi’ah, negara yang didirikan putranya, Idris II
adalah Sunni dalam hal doktrin agama. Referensi yang ditemukan belakangan mengungkap
bahwa, Idris II adalah pendakwah di negeri Maroko sejak tidak kurang dari seperempat abad.
Oleh karena itu, ia tahu tentang medan dakwah nya dan kecenderungan-kecenderungannya
untuk menerima pemimpin dari kalangan Ahlul Bait (keluarga rasul). Ketika beliau kembali
untuk membangun rezim Idrissiyah, rakyat Maroko menemukan bahwa para syarif adalah
jalan keluar politik yang paling ideal bagi krisis keagamaan-sosial mereka. Dengan membaiat
Idris II, mereka mengembalikan ikatan dengan pokok kekhalifahan. Namun, kali ini ikatan
tersebut dengan pilihan mereka, karena Idris II bukanlah penakluk dan agresor. Pilihan di
seputar cabang keturunan nabi ini memberikan mereka kesempatan untuk menanamkan benih
spiritualitas yang berkembang pada fenomena sufi di kemudian hari[2].
Idris II sukses menjadikan Maroko sebagai salah satu pusat Ilmu Pengetahuan dan
Kebudayaan Islam. Pada masa kekuasaan Idris II inilah Dinasti Idrissiyah melepaskan diri
dari Dinasti Abbasiyah. Idris II meninggal dunia pada usia 35 tahun pada tahun 828 M.
Dinasti ini berakhir pada 974 M. Pasca wafatnya Idris II, para penerusnya kebanyakan
melemah, kecuali Yahya bin Muhammad dan Yahya IV.

Referensi
1.^ DPpedia. (2001). Idris I of Morocco. 1(1).
2.^ Dedi Wahyudin. (2023). Panorama Pemikiran Islam Ulama Maroko. Lombok Barat. Alfa Press
Creative.
3.^ Purbiah Permatasari. (2015, 17 Maret). Moulay Idris, Kota Kelahiran Maroko. Diakses pada 9
maret 2024. Dari https://seberanglosari.wordpress.com/2015/03/17/moulay-idris-kota-kelahiran-
maroko/2/.
4.^ )39(12.)39(10 .‫ المختصرفي تاريخ المغرب‬.)2020( . ‫يوسف بوستي‬.
5.^ Noah Tesch. (2016). Dynasty Idrisyd : history of North Africa. Britannica.
6.^)2(,)1(‫ ف‬.‫ دار النهضة العربية للطباعة والنشر‬.‫ بيروت‬.‫ دولة األوارسة في المغرب‬.)1987( . ‫الدكتور سعدون عباس نصرهللا‬.

You might also like